Anda di halaman 1dari 39

REFERAT Januari 2019

“ULKUS PEPTIKUM“

DISUSUN OLEH :
MOH. SAHRUL SIDDIQ
N 111 17 105

PEMBIMBING KLINIK
dr. Eva Yunita W., Sp.PD

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Moh. Sahrul Siddiq

No. Stambuk : N 111 17 105

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Judul Referat : Ulkus Peptikum

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Januari 2019

Pembimbing Klinik Ko – Assisten

dr. Eva Yunita W, Sp.PD Moh. Sahrul Siddiq


NIP. N 111 17 105

2
BAB I
PENDAHULUAN

Tukak peptik merupakan penyakit akibat gangguan pada saluran


gastrointestinal atas yang disebabkan sekresi asam dan pepsin yang berlebihan
oleh mukosa lambung. Tukak peptikum terdiri dari tukak lambung dan tukak
duodenum. Patogenesis terjadinya tukak peptikum adalah ketidakseimbangan
antara faktor agesif yang dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang
memelihara keutuhan mukosa lambung dan duodenum.1
Berdasarkan penelitian di Amerika, sekitar 500.000 orang tiap tahunnya
menderita tukak lambung dan 70% diantaranya berusia 25-64 tahun. Sebanyak
48% penderita tukak lambung disebabkan karena infeksi Helicobacter pylori dan
24% karena penggunaan obat NSAID. Saat ini, Helicobacter pylori merupakan
penyebab utama tukak peptik, disamping NSAID, alkohol, dan sindrom Zollinger
Ellison. Prevalensi infeksi Helicobacter pylori di negara berkembang lebih tinggi
di banding dengan negara maju. Prevalensi pada populasi di negara maju sekitar
30-40% sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. 2
Pengobatan tukak peptik ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan
dan komplikasi. Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit tukak peptik
tergantung pada penyebabnya. Dari waktu ke waktu manajemen tukak peptik
semakin lebih baik seiring ditemukannya faktor-faktor penyebab dan ditunjang
dengan kemajuan dalam bidang farmasi yang berhasil menemukan dan
mengembangkan obat-obat yang sangat berpotensi untuk menyembuhkan tukak
peptik. Terapi kombinasi obat diperlukan untuk penyakit tukak peptik, antara lain
reseptor antagonis H2 (H2RA), penghambat pompa proton (PPI), mucous
promotor, free radical inhibiton, antibiotik untuk eradikasi HP dan obat-obat
lainnva. 2,3
Penggunaan obat yang tidak rasional masih sering dijumpai di pusat-pusat
kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Ketidaktepatan indikasi, obat,
pasien, dan dosis dapat menyebabkan kegagalan terapi. Gaya hidup yang kurang

3
sehat seperti merokok, konsumsi makanan dan minuman cepat saji serta minuman
beralkohol dapat meningkatkan tetjadinya angka kekambuhan dan komplikasi
perdarahan pada saluran cerna. kanker bahkan kematian. 2

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung


1. Anatomi Lambung

Gambar 1. Anatomi Lambung


Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu
cardia, fundus, corpus, dan pylorus. Cardia merupakan bagian atas yang
langsung berhubungan dengan esofagus, tepat di bawah sphincter
esofagus setinggi vertebrae torakal ke-10 dan berada di bagian posterior
yang menghadap ke costae ke-7. Bagian kiri cardia yang disebut
Fundus merupakan bagian kubah di daerah sinistra yang langsung
bersentuhan dengan diafragma dan letaknya setinggi sulcus inercostal
ke-5. Corpus merupakan bagian tengah dari lambung yang berukuran
paling besar. Corpus dibatasi oleh pankreas dan bagian descenden
diafragma. Sementara pylorus merupakan bagian berbentuk saluran/

5
cerobong pada bagian ujung dari lambung. Sphincter pylorus
merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada ujung pylorus yang
bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi vertebrae
lumbal ke-1 dan 2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini
mengatur pergerakan chyme menuju usus halus dan menghambat aliran
balik ke arah lambung. Pylorus terbagi menjadi bagian antrum
(menghubungkan corpus dari gaster), canal (menghubungkan gaster
ke duodenum), dan sphincter (otot polos yang menghubungkan pylorus ke
duodenum).4
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang
menghasilkan mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk
mencegah terjadinya autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung
membentuk cekungan ke arah dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits
(sumur lambung) yang memperluas area penghasil enzim dan zat lainnya.5
Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel
yang antara lain5:
-
Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat
asam
-
Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit.
B12
-
Sel Zimogen (Chief Cell) menghasilkan pepsinogen yang akan
diubah menjadi pepsin di lumen lambung
-
Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu
sekretin, gastrin dan kolesistokinin

Secara skematis, susunan kelenjar Tubuloalveolar dapat dilihat pada


Gambar 2.

6
Gambar 2. Gambaran skematis sel pada kelenjar Tubuloalveolar

Sel Parietal (Sel HCl / Oxytic cell) dalam keadaan tidak


terstimulasi, sitoplasmanya didominasi oleh vesikel tubular dan kanalikuli
intraselular dengan mikrovili yang pendek pada permukaan apikalnya.
Dalam keadaan terstimulasi, sel ini akan mengekpresikan H+,K+- ATPase
pada membran vesikel tubular dan kanalikuli intraselular akan
bertranformasi dengan membentuk mikrovili yang panjang.6 Gambar 3
menunjukkan perbandingan antara sel parietal pada keadaan istirahat
dengan keadaan terstimulasi.

2. Fisiologi Lambung
Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan produk dari sekresi
gaster yang mampu menginduksi kerusakan pada mukosa. Sekresi asam

7
pada gaster terjadi dalam dua keadaan yakni pada keadaan basal dan pada
keadaan terstimulasi. Pada keadaan basal, produksi asam dipengaruhi
oleh irama sirkadian impuls kolinergik melalui nervus vagus dan impuls
histaminergik yang berasal dari sumber gaster itu sendiri. Pada keadaan
ini, asam lambung mencapai level puncak pada malam hari dan menurun
hingga level terendah pada pagi hari.6

Gambar 3. Sel Parietal dalam keadaan istirahat dan terstimulasi

Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase


antaralain fase sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan
rasa makanan merupakan komponen dari fase sefalik yang mampu
mempengaruhi sekresi gaster melalui stimulasi nervus vagus. Fase
gastrik teraktivasi ketika makanan mencapai lambung, dimana komponen
nutrient menstimulasi Sel Arginafin untuk mensekresikan gastrin yang
mampu menstimulasi aktivasi dari sel parietal. Fase intestinal diinisiasi
ketika makanan mencapai duodenum. Fase penghasilan asam ini dapat
dihambat oleh hormone somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin
pada mukosa gaster. Somatostatin dapat menghambat secara langsung
(menghambat kerja sel parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan
produksi histamin dan pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin).7
Fase sekresi asam lambung secara skematis dijelaskan pada Gambar 4.

8
Gambar 4. Fase Sekresi Gaster dan Regulasinya

2.2 Definisi Ulkus Peptikum


Menurut The American Collage of Gastroenterology, ulkus
peptikum berasal dari kata “ulcer” yang berarti luka berlubang dan kata
“peptic” yang mengacu pada masalah yang disebabkan oleh asam
lambung.5 Secara anatomis, ulkus peptikum merupakan defek mukosa/
submukosa yang berbatas tegas dapat menembus lapisan muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat menyebabkan perforasi.
Secara klinis, ulkus adalah hilangnya epitel dengan diameter ≥ 5mm yang
dapat diamati secara endoskopi atau radiologi.8 Terminologi ulkus harus
dibedakan dengan erosi, erosi adalah kerusakan mukosa yang tidak meluas
hingga lapisan di bawah mukosa. 3
Ulkus Peptikum didefinisikan sebagai kerusakan intergritas
mukosa pada gaster dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya
inflamasi aktif.9 Ulkus yang mengenai mukosa gaster disebut Ulkus Gaster
sedangkan ulkus yang terjadi pada duodenum disebut sebagai Ulkus
Duodenum yang masing-masing memiliki ciri khas masing-masing.6

9
2.3 Epidemiologi
Tukak gaster tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda
tergantung pada sosial ekonomi, demografi, dijumpai lebih banyak pada
pria meningkat pada usia lanjut dan kelompok sosial ekonomi rendah
dengan puncak pada dekade keenam. lnsidensi dan kekambuhan/ rekurensi
saat ini menurun sejak ditemukan kuman HP sebagai penyebab dan
dilakukan terapi eradikasi. Di Britania Raya sekitar 6-20% penduduk
menderita tukak pada usia 55 tahun, sedang prevalensinya 2-496. Di USA
ada 4 juta pasien gangguan asam-pepsin, prevalensi 12% pada pria dan
10% perempuan dengan angka kematian pasien 15.000 pertahun dan
menghabiskan dana $10 Milyar/tahun.1
Secara klinis tukak duodeni lebih sering dijumpai dari pada tukak
gaster. Pada beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak tukak
gaster daripada tukak duodeni. Pada autopsi tukak gaster dan duodeni
dijumpai hampir sama banyak, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.1
Autopsi biasanya dilakukan pada usia lanjut, dimana pemakaian
obat OAINS meningkat, sehingga kejadian tukak gaster juga meningkat.1
Tukak gaster ukuran Iebih besar dan lebih menonjol, sehingga pada
pemeriksaan autopsi lebih sering/mudah dijumpai dibandingkan tukak
duodeni.1

2.4 Etiologi
Lambung sebagai reservoir/lumbung makanan berfungsi menerima
makanan/minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan
kedalam duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan semua
jenis makanan, minuman dan obat-obatan akan mengalami iritasi kronik.
Lambung dilindungi terhadap faktor iritan oleh lapisan mukus/mukus
barier, epitel, tetapi beberapa faktor iritan seperti makanan minuman dan
obat anti inflamasi non steroid (OAINS), alkohol dan empedu yang dapat
menimbulkan defek lapisan mukus dan terjadi difusi balik ion H+,
sehingga timbul gastritis akut/kronik dan tukak gaster. Dengan

10
ditemukannya kuman HP sebagai penyebab gastritis dan tukak peptik, saat
ini dianggap HP merupakan penyebab utama tukak gaster, di samping
OAINS, dan penyebab yang jarang adalah Sindroma Zollinger Ellison dan
penvakit Crohn duodenal.1

2.5 Patofisiologi
1. Infeksi Helicobater Pylori
Helicobater pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk
basil. Bakteri ini pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth
Australia. Pada tahun 1993 nama bakteri ini diganti menjadi
Helicobacter Pylori.10
Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan
bakteri ini mampu bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan
6% dari total protein bakteri. Bakteri ini juga menghasilkan VacA
(Vacuolating Cytotoxin) yang menyebabkan apoptosis pada sel
eukariotik dengan cara pembentukan vakuola sitoplasma multipel
berukuran besar. 10, 11

Gambar 5. Reaksi enzim Urease yang menetralisir pH lambung

Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang


memproduksi mukus. Bakteri ini melekat pada glikoprotein yang
terdapat di permukaan dari sel epitel dengan menggunakan fimbriae.
Selanjutnya bakteri akan berpindah ke lapisan mukosa. Urease yang
dihasilkan bakteri ini mampu memproduksi ammonia, berperan dalam
menciptakan suasana netral bagi pertumbuhan bakteri. Ketika bakteri
melakukan aktivitas pada lapisan mukosa gaster, mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi dengan adanya infiltrasi dari sel-sel
mononuclear pada lapisan lamina propria. Reaksi ini akan terus
meningkat hingga mampu memicu terjadinya inflamasi hebat dengan

11
munculnya netrofil, limfosit serta terbentuknya mikroabses. Inflamasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh efek dari urease dan VacA. Selain
itu, adanya bakteri ini pada mukosa mampu menstimulasi NAP
(Neutrophil Activating Protein). Proses inflamasi yang terus menerus
ini mengakibatkan terjadinya kematian pada sel epitel dan memicu
terjadinya ulkus. 10, 11

Gambar 6. Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan


mikroskop electron

Infeksi primer Helicobacter Pylori tidak memberikan gejala


spesifik. Gejala mual dan nyeri abdomen bagian atas mulai dirasakan
pada minggu kedua. Namun nyeri abdomen bersifat intermitten dengan
kualitas yang rendah. Dalam waktu 1 tahun, nyeri semakin jelas,
frekuensi dan intensitas meningkat, disertai dengan mual, muntah,
anoreksia dan nyeri epigatrium. Beberapa pasien bahkan tidak
mengeluhkan gejala apapun selama hampir satu decade. Infeksi bakteri
ini mampu menyebabkan terjadinya perforasi gaster dengan
perdarahan serta menimbulkan terjadinya peritonitis. 10, 11

12
Penegakkan diagnosis paling sensitif untuk mengetahui
keterlibatan dari Helicobater pylori adalah dengan menggunakan
endoskopi. Pada endoskopi dilakukan biopsi dan kultur pada mukosa
gaster. Metode non invasive adalah dengan menggunakan pemeriksaan
Urea Breath Test. Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk
13
mengkonsumsi C -14C yang telah dilabel urea. Jumlah urea pada
gaster akan dihitung sesuai dengan jumlah CO2 pada pernapasan.6, 10, 11
2. Penggunaan NSAID
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID) merupakan
golongan obat yang memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik,
analgesic dan anti inflamasi. Obat ini mampu menurunkan suhu tubuh
pada keadaan demam sehingga efektif sebagai antipiretik. Obat
golongan ini berguna untuk analgesic pada nyeri ringan hingga sedang
seperti myalgia, sakit gigi, dysmenorrhea dan sakit kepala. Berbeda
dengan analgesic opioid, obat ini tidak menimbulkan depresi SSP.
Sebagai agen anti inflamasi, NSAID digunakan secara luas dalam
pengobatan nyeri kronik seperti artritis rheumatoid, osteoarthritis,
arthritis gout, dan ankhilosing spondylitis.12
NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari COX
(Cyclooxigenase) baik COX-1 maupun COX-2. COX-2 adalah COX
dominan yang memproduksi prostaglandin selama proses inflamasi.
Prostaglandin menimbulkan beberapa manifestasi inflamasi local
maupun sistemik seperti vasodilatasi, hyperemia, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, tumor dan dolor.12 Prostaglandin
memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan perbaikan
mukosa gastroduodenal. Cidera pada mukosa terjadi karena adanya
paparan dengan NSAID. NSAID dalam lingkungan gaster yang asam
bersifat lipofilik terionisasi, sehingga mampu bermigrasi melintasi
membran lipid sel epitel dan menimbulkan kerusakan pada
intraselular. NSAID yang berada pada gaster juga mampu
menimbulkan difusi kembali dari ion H dan Pepsin yang menyebabkan

13
kerusakan lebih lanjut.6 Pada gambar di bawah ini, secara singkat
faktor-faktor yang berkaitan dengan pathogenesis ulkus peptikum.

Gambar 7. Gambaran Skematik faktor yang mempengaruhi


terjadinya Ulkus Peptikum

3. Faktor pathogenesis yang tidak berhubungan dengan NSAID dan


Helicobater pylori pada Ulkus Peptikum
Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis
ulkus peptikum. Pada perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih
sering dibandingkan pada orang yang bukan perokok, menurunkan
tingkat penyembuhan, mengganggu respon terapi serta meningkatkan
komplikasi. Beberapa hipotesis menyebutkan rokok mampu
menurunkan produksi bikarbonat pada duodenum proksimal,
peningkatan risiko infeksi Helicobater pylori dan menginduksi
pembentukan radikal bebas yang berbahaya terhadap mukosa.6, 13
Faktor psikologis dipikirkan memiliki keterkaitan terhadap
terjadinya ulkus peptikum namun studi menunjukkan factor psikologis
tidak memiliki hubungan bermakna terhadap insiden ulkus. Factor
psikologis ini lebih dikaitkan dengan insiden Dyspepsia Non Ulcer.6, 13
Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus
peptikum. Dari penelitian didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan

14
kafein memiliki hubungan bermakna dengan insidensi ulkus
peptikum.6, 13

2.6 Manifestasi Klinis


Nyeri abdomen adalah gejala umum yang ditemukan pada pasien
dengan gangguan pencernaan. Nyeri epigatrium pada ulkus peptikum
dirasakan seperti terbakar atau seperti digerogoti. Pola nyeri khas pada
Ulkus duodenum yaitu nyeri muncul 0 – 3 jam setelah makan dan
berkurang dengan makanan serta konsumsi antasida. Pada Ulkus Gaster,
nyeri dipicu oleh makanan dan mual serta ditemukan penurunan berat
badan.6 Nyeri yang terus menerus, menjalar hingga punggung tidak
berkurang dengan makanan atau antasida mengindikasikan adanya
penetrasi ke pancreas. Nyeri yang muncul tiba-tiba pada semua regio
abdomen menunjukkan adanya perforasi. Pada gejala nyeri yang disertai
dengan muntah makanan yang belum tercerna mengindikasikan adanya
obstruksi lambung. BAB yang berwarna hitam menunjukkan adanya
perdarahan pada gaster. 6, 13
Berdasarkan kriteria diagnosis Rome III, gejala dari ulkus
peptikum menyerupai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional
adalah adanya gejala yang diperkirakan berasal di saluran cerna atas, tanpa
adanya penyakit organik, sistemik, atau metabolik.16

Tabel 1. Kriteria Dispepsia Fungsional Berdasarkan Rome III

15
Awalnya dispepsia fungsional dibedakan menjadi 3 tipe gejala
dominan, yaitu ‘ulcer-like’, ‘reflux-like’, dan ‘dysmotility-like’.
Mengingat lebih banyak gejala dipicu oleh konsumsi makanan (±80%),
saat ini dibagi menjadi dua subtipe: Sindrom Nyeri Epigastrium (nyeri
epigastrium atau rasa terbakar) (Tabel 2) dan Sindrom Distress
Postprandial (rasa penuh pasca-makan dan cepat kenyang) (Tabel 3).16

Tabel 2. Kriteria Dispepsia Fungsional Tipe Nyeri Epigastrium

Tabel 3. Kriteria Dispepsia Fungsional Tipe Distress Postprandial

16
2.7 Pendekatan Diagnosis
Diagnosis tukak gaster dltegakkan berdasarkan: 1). Pengamatan
klinis, dispepsia (sakit dan discomfort), kelainan fisik yang dijumpai,
sugesti pasien tukak. 2). Hasil pemeriksaan penunjang (radiologi dan
endoskopi). 3). Hasil biopsi untuk pemeriksaan tes CLO, histopatologi
kuman HP.1
Diferensial diagnosa tukak peptik: 1). Dispepsia non tukak; 2).
Dispepsia fungsional; 3). Tumor Iambung/saluran cerna atas proksimal; 4).
Gastro esophageal reflux disease (GERD); 5). Penyakit vascular; 6).
Penyakit pankreato bilier; 7). Penvakit Gastroduodenal Crohn’s.1
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang yang berperan dalam penegakkan
diagnosis. Modalitas yang dapat digunakan yaitu radiografi (barium
enema) dan endoskopi. Radiografi dengan barium paling umum digunakan
untuk menegakkan ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas mencapai 90%.
Sensitivitas ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran < 0,5 cm,
adanya jaringan parut, atau pada pasien pasca operasi. Endoskopi lebih
sensitif dan spesifik dalam menilai gangguan gastrointestinal. Gambaran
radiologi pada ulkus peptikum dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan
endoskopi, memungkinkan untuk melihat visualisasi langsung dari mukosa
gaster dan duodenum, serta mampu mengambil sampel jaringan untuk
mengesampingkan kemungkinan keganasan. Pemeriksaan endoskopi
mampu mengidentifikasi lesi berukuran kecil yang tidak dapat ditemukan
pada pemeriksaan radiologi.6,9,13 Gambar 9 memperlihatkan adanya ulkus
peptikum pada gaster dan duodenum.

17
Gambar 8. Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus

Gambar 9. Gambaran ulkus Dueodenum dan Ulkus Gaster pada


Ulkus menggunakan Endoskopi

Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat


menggunakan beberapa modalitas. Deteksi infeksi Helicobater pylori
dapat memanfaatkan tes serologi, Urea Breath Test, dan Tes antigen
Helicobater pylori fekal. 6, 13

18
2.9 Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan
asupan makanan. Pola makan dengan jumlah besar harus mulai
dihindari karena mampu membebani lambung. Menghindari makan
malam 3-4 jam sebelum tidur karena dapat memicu pelepasan gastrin
dan HCl yang lebih banyak. Pola makan yang diajurkan adalah pola
makan dengan jumlah kecil namun dengan intensitas yang ditingkatkan.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja gaster dan menurunkan
sekresi asam lambung yang mampu menimbulkan sensasi nyeri. Pasien
diminta untuk mengurangi konsumsi alcohol, kafein, kopi yang
memiliki keterikatan dengan kejadian ulkus peptikum.9
2. Medikanmentosa
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam
pengobatan ulkus peptikum antara lain:
1. Penetralisir Asam (Antasida)
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan
HCl menghasilkan garam dan air. Ia juga memiliki sifat
protektif terhadap mukosa dengan menstimulasi produksi
prostaglandin. Kemampuan atau kapasitas netralisasi asam
lambung bervariasi bergantung pada derajat disolusi (tablet vs
cairan), kelarutan dalam air, laju reaksi dengan asam, dan laju
pengosongan lambung. 12
Semua antasida menghambat penyerapan sejumlah obat
seperti digoxin, phenytoin, cimetidine, fluoroquinolone.
Mekanismenya adalah dengan berikatan pada obat tersebut atau
meningkatkan pH lambung sehingga mempengaruhi kelarutan
obat (terutama obat-obat basa lemah atau asam lemah). 12
Efek samping penggunaan antasida bervariasi sesuai
dengan bentuk dan sediaan dari antasida, antaralain:12
- Natrium bikarbonat (NaHCO3)

19
NaHCO3 + HCl  CO2 + NaCl
Karbon dioksida menyebabkan distensi lambung dan
sendawa. Senyawa alkali ini langsung diserap tubuh
sehingga berpotensi menyebabkan alkalosis metabolik.
- Kalsium karbonat (CaCO3)
CaCO3 + HCl  CO2 + CaCl2
Kelarutan kalsium karbonat kurang dan reaksinya lebih
lambat dari natrium bikarbonat. Kalsium karbonat juga
menyebabkan sendawa. Dosis berlebih NaHCO3 atau
CaCO3 ditambah dengan makanan kaya kalsium dapat
menyebabkan hiperkalsemia, insufisiensi renal dan alkalosis
metabolik (milk-alkali syndrome).
- Magnesium Hidroksida [Mg(OH)2] / Aluminium hidroksida
[Al(OH)3]
Mg(OH)2 + HCl  MgCl2 + H2O
Al(OH)3 + HCl  AlCl3 + H2O
Kedua senyawa ini bereaksi lama dengan HCl. Namun,
tidak menyebabkan sendawa karena tidak menghasilkan gas.
Alkalosis metabolik juga jarang terjadi. Hal ini disebabkan
garam Mg yang tak diserap dapat menyebabkan diare
osmotik diimbangi dengan garam Al yang memberikan efek
konstipasi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi
keduanya menghasilkan efek netralisasi yang seimbang dan
lama. Baik Mg maupun Al akan diserap untuk kemudian
dieksresi melalui ginjal maka dari itu tidak dianjurkan
pemberian jangka panjang pada pasien insufisiensi renal.

2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine
(paling poten), dan nizatidine. Antagonis reseptor H2 diserap di
lumen intestinal kecuali nizatidine. Selanjutnya akan mengalami

20
metabolisme first pass di hati sehingga bioavailabilitasnya (F)
menurun hingga 50%. Nizatidine hanya sedikit mengalami
metabolisme sehingga bioavailabilitasnya hampir 100%. Waktu
paruh di serum berkisar 1-4 jam, bergantung pada dosis yang
diberikan. Antagonis H2 dieliminasi melalui metabolisme hati,
filtrasi glomerulus, dan sekresi tubular. Obat ini dapat melewati
plasenta dan juga dapat disekresikan ke dalam ASI.14
Manusia memiliki 4 jenis reseptor histamin dalam tubuh,
yaitu reseptor H1, H2, H3 dan H4. Reseptor H2 di lambung
salahsatunya berfungsi meningkatkan sekresi gastrin yang pada
akhirnya akan menstimulus produksi asam lambung. Antagonis H2
bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H2 di sel parietal
sehingga menekan sekresi asam. Volume sekresi gastrin dan pepsin
juga ikut menurun.14
Antagonis H2 sangat efektif menginhibisi sekresi asam pada
malam hari, sekitar 90%, yang mana sekresinya sangat bergantung
terhadap histamin. Namun pengaruhnya menurun menjadi sekitar
60-80% pada siang hari karena sekresi asam di siang hari
utamanya dipengaruhi oleh gastrin dan Asetilkolin akibat adanya
makanan yang masuk.14
Sebaiknya obat ini tidak diberikan kepada wanita hamil dan
menyusui bila tidak mendesak. Antagonis H2 ini dapat melintasi
plasenta dan disekresikan ke dalam ASI. Walaupun belum
ditemukan adanya data yang menyatakan ARH2 berbahaya,
kewaspadaan harus dipertahankan.14

3. Proton Pump Inhibitors (PPI)


Yang termasuk obat-obat PPI adalah Omeprazole,
esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole. PPI
merupakan prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk
dapat teraktivasi. Dengan demikian, beberapa jenis PPI diproduksi

21
dengan lapisan pelindung untuk mencegah zat aktif yang berada di
dalamnya terdegradasi oleh pH asam lambung. Setelah masuk ke
lumen intestinum yang alkali, lapisan tersebut akan larut. Prodrug
diabsorpsi enterosit dan mengalami metabolisme fase 1 di hati
(first pass hepatic metabolism) dan kemudian masuk ke sirkulasi
sistemik. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP)
terutama CYP2C19 dan CYP3A4. 14
Waktu paruh PPI sekitar 1,5 jam, namun efek inhibisi
asamnya berlangsung hingga 24 jam. PPI sangat kuat berikatan
dengan protein. Ia tidak mengalami eliminasi di renal. PPI
diberikan 30 menit sebelum makan. Obat ini dapat pecah bersama
makanan di lambung pecah di lambung kemudian akan berikatan
dengan berbagai gugus sulfihidril yang ada di makanan sehingga
bioavailabilitasnya akan menurun sampai 50%.12, 14
Dari sirkulasi sistemik, PPI berdifusi ke kompartemen asam
sel parietal lambung. Di sini, prodrug terprotonasi (adisi proton
atau H+) dan mengalami aktivasi insitu menjadi sulfonamid
tetrasiklik. PPI bekerja dengan memblokir jalur akhir sekresi asam
lambung. Bentuk aktif Sulfonamid akan berikatan kovalen dengan
gugus sulfihidril enzim H+/K+ ATPase (enzim pompa proton).
Ikatan tersebut menyebabkan produksi asam lambung terhenti 80-
95%. Penghambatan bersifat ireversibel dan produksi asam baru
dapat terjadi kembali setelah 3-4 hari setelah pengobatan
dihentikan.14

4. Agen Protektif Mukosa


a. Sukralfat
Merupakan kompleks garam sukrosa dengan Al(OH)3
yang tersulfatasi. Sukralfat dipecah menjadi sukrosa sulfat serta
garam Al. Obat ini hampir tak dapat diserap tubuh dan
dikeluarkan bersama feses. 12

22
Di dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk
pasta kental yang melindungi ulkus atau erosi hingga 6 jam.
Sukrosa sulfat yang bermuatan sangat negatif akan berikatan
dengan dasar ulkus/ erosi yang bermuatan positif. Terbentuk
barrier fisik sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Barier
ini akan memberi kesempatan sel dibawahnya untuk
mensekresikan Prostaglandin dan HCO3 untuk perbaikan
mukosa.12,14
Walaupun sukralfat dengan selektif menutupi ulkus,
namun ia juga dapat berikatan dengan berbagai obat lain,
seperti, digoxin, phenytoin, cimetidine, fluoroquinolone.12
b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah
prostaglandin terutama PGE dan PGF. Misoprostol adalah
senyawa metil yang analog dengan PGE1. Obat ini diserap dan
dimetabolisasi menjadi bentuk metabolit yang aktif . Waktu
paruhnya sekitar 30 menit, sehingga butuh 3-4 kali minum
per hari. Walaupun Misoprostol dieksresikan melalui urin,
tidak perlu penurunan dosis pada pasien insufisiensi renal.14
Misoprostol memiliki fungsi ganda, sebagai
penghambat sekresi asam sekaligus pelindung mukosa. Obat ini
menstimulasi sekresi mukus dan HCO3 dan meningkatkan laju
darah di mukosa. Selain itu, obat ini juga berikatan dengan
reseptor Prostaglandin di sel parietal, menurunkan cAMP yang
distimulasi histamin, sehingga memberikan efek inhibisi asam
walaupun hanya sedikit. 12,14
Efek samping pada sejumlah pasien dilaporkan
mengalami diare dan nyeri abdomen. Prostaglandin juga
memiliki fungsi lain seperti merangsang kontraksi uterus,
sehingga misoprostol menjadi kontraindikasi pada wanita
hamil. Namun setelah melahirkan, obat ini dapat diberikan

23
karena mampu menghentikan perdarahan post-partum. Sampai
saat ini belum ditemukan adanya interaksi signifikan
misoprostol dengan obat lain. 12, 14

Golongan Obat Contoh Obat Dosis


Penekan Sekresi Asam
1. Antasida Mylanta, Maalox 100-140meq 1 – 3
jam setelah makan
2. Antagonis reseptor Cimetidin 400 mg
H2 Ranitidin 300 mg
Famotidin 40 mg
Nizatidine 300 mg
3. Penghambat Pompa Omeprazol 20 mg/ hari
Proton Lansoprazol 30 mg/ hari
Rabeprazol 20 mg/ hari
Pantoprazol 40 mg/ hari
Esomeprazol 20 mg/ hari
Agen Proteksi Mukosa
1. Sukralfat Sukralfat 1 gram q/d
2. Prostaglandin Misoprostol 200 pikogram q/d
Analog

Tabel 4. Golongan Obat dan Dosis yang digunakan dalam


Terapi pada Ulkus Peptikum

Selain obat-obatan di atas, untuk ulkus peptikum yang disebabkan


oleh infeksi Helicobater pylori digunakan beberapa antibiotic yang
berfungsi mengeradikasi bakteri tersebut. Penggunaan antibiotik tunggal
pada infeksi memberikan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan
pemberian antibiotic kombinasi. Adapun antibiotic yang digunakan
antaralain metronidazole, tetrasiklin, klaritromisn, dan senyawa Bismuth.
Triple therapy yang digunakan diawal adalah penggunaan 2 antibiotik
ditambah dengan satu diantara PPI, Antagonis H2 memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih baik. Penggunaan obat-obat yang menekan

24
produksi asam bertujuan untuk mengurangi gejala dan meningkatkan
proses eradikasi bakteri. Dalam pemilihan antibiotic perlu diperhatikan
beberapa faktor seperti efikasi obat, toleransi pasien serta resistensi obat. 14

Meskipun Triple Therapy efektif dalam eradikasi Helicobater


pylori, namun dapat menimbulkan penurunan dari kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Terapi ini harus dikonsumsi selama 14 hari, dua kali
dalam sehari. Oleh sebab itu, edukasi kepada pasien amat dibutuhkan agar
tidak terjadi resistensi dan mampu mencapai target eradikasi.6 Tabel di
bawah ini merupakan regimen yang direkomendasi untuk eradikasi
Helicobacter pylori.

Obat Dosis
Triple Therapy
1. Bismuth subsalisilat 2 tablet 4x sehari
plus 250 mg 4x sehari
Metronidazol plus 500 mg 4x sehari
Tetrasiklin 400 mg, 2x sehari
2. Ranitidin Bismuth 500 mg , 2x sehari
citrate plus 500 mg, 2x sehari
Tetrasiklin plus 20 mg, 2x sehari
Claritromisin 250-500 mg, 2x
3. Omeprazole plus sehari
Claritromisin plus 500 mg , 2x sehari
Metronidazol atau 1 gram, 2x sehari
Amoksisilin
Quadruple Therapy
Omeprazol 20 -30 mg/hari
Bismuth subsalisilat 2 tablet 4x sehari
Metronidazol 250 mg 4x sehari
Tetrasiklin
500 mg 4x sehari

Tabel 5. Regimen yang direkomendasikan untuk eradikasi


Helicobater pylori

Untuk kasus ulkus peptikum yang diinduksi oleh NSAID,


intervensi yang harus dilakukan adalah menghentikan penggunaan NSAID

25
yang menyebabkan ulkus. Jika tidak mungkin, NSAID dapat diganti
dengan rejimen lain yang lebih selektif terhadap COX-2 (celecoxib,
rofecoxib) yang digunakan secara bersamaan dengan misoprostol, atau
Antagonis H2 dosis tinggi. 6, 14

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya adalah:3
- Perdarahan: hematemesis/melena dengan tanda syok apabila perdarahan
masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik menyebabkan anemia
defisiensi Fe.
- Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Penetrasi tukak yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba tembus
kebelakang.
- Gastric outlet obstruction bila ditemukan gejala mual dan muntah, perut
kembung dan adanya suara deburan (succusion splash) sebagai tanda
retensi cairan dan udara, dan berat badan menurun.
- Keganasan dalam duodenum (walaupun jarang).

2.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang
terjadi. Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H
pylori, menghindari NSAID, dan penggunaan yang tepat terapi anti
sekresi. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat kekambuhan ulkus
60-90% menjadi sekitar 10-20%. 15
Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam
beberapa dekade terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu
pertimbangan semua pasien dengan ulkus duodenum, tingkat mortalitas
karena perdarahan ulkus sekitar 5%. Selama 20 tahun terakhir, tingkat
mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah walaupun muncul
histamin-2 reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun, bukti dari
meta- analisis dan studi lain telah menunjukkan penurunan tingkat

26
mortalitas dari perdarahan ulkus peptikum ketika PPI intravena digunakan
setelah terapi endoskopi berhasil. 15

27
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. D
Umur : 69 Tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Binangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 7 Desember 2018
Ruangan : Paviliun Seroja Kelas III

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Muntah bercampur darah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan masuk rumah sakit dengan keluhan muntah bercampur
dengan darah berwarna kehitaman sebanyak 2 kali yang dialami sejak 2
jam sebelum masuk rumah sakit. Muntah berisi makanan, air dan darah
yang berwarna kehitaman, dan diawali dengan mual. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut pada bagian ulu hati sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit, nyeri dirasakan seperti panas terbakar, secara terus menerus
sepanjang hari dan mereda saat pasien beristirahat. Untuk keluhan seperti
batuk, demam, nyeri dada, sesak napas disangkal oleh pasien. Nafsu
makan pasien baik, BAK(+) lancar dan BAB berwarna kehitaman. Dahulu
pasien mengaku meminum obat maag dan meminum obat anti nyeri.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Pasien sudah mengalami BAB berwarna kehitaman sejak 1 bulan yang
lalu.

28
Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
Tidak ada yang mengalami hal yang seperti ini dikeluarga pasien. Riwayat
DM (-), riwayat hipertensi (-), riwayat asma (-)

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum :
SP : Sakit Sedang/Composmentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,8C

Kepala :
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal

Mata :

Konjugtiva : Anemis (+/+)

Skelera : Ikterik (-/-)

Pupil : Isokor (+), diameter (2,5 mm/2,5 mm), RCL (+/+),


RCTL (+/+)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)

Leher :

Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran

Tiroid : Tidak ada pembesaran

29
JVP : 5 (+3) cm H20

Massa lain : Tidak ada

Dada :

Paru-paru

Inspeksi : Simetris bilateral

Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor (+) kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikular (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

Batas Atas : SIC III linea parasternalis sinistra

Batas Kanan : SIC V linea midclavicularis dextra

Batas Kiri : SIC VI linea midcalvicularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2, murmur (-)

Perut

Inspeksi : Tampak datar

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : Tympani (+) seluruh regio abdomen

Palpasi : Terdapat nyeri tekan (+) di regio epigastrik

30
Anggota gerak :

Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

IV. Anjuran Pemeriksaan


1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan USG abdomen
3. Pemeriksaan gula darah sewaktu
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Pemeriksaan Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE)

V. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium :
Darah Rutin : Nilai Rujukan
WBC : 13,5 x 103/µL ( ) ( 4,0 - 10,0 x 103/µL )
RBC : 2,42 x 106/µL ( ) ( 3,8 - 5,8 x 106/µL )
HGB : 7,7 g/dL ( ) ( 11,5 - 16,0 g/dL )
PLT : 158 x 103/µL (N) ( 150 - 500 x 103/µL )
HCT : 23,3 % ( ) ( 37% - 47% )

GDS : 184,2 mg/dL ( ) ( 70,0 – 140,0 mg/dL )

Radiologi : USG abdomen


Kesan :
1) Gastritis

EKG : -

31
VI. RESUME
Pasien MRS dengan keluhan hematemesis 2 kali sejak 2 jam SMRS,
diawali dengan nausea. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada abdomen
regio epigastrik, seperti panas terbakar, berkurang saat istirahat. Nyeri
dada (-), batuk (-), febris (-), dyspneu (-), melena (+), BAK lancar, riwayat
konsumsi obat maag dan NSAID.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjugtiva anemis (+/+), pada
pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan pada region
epigastrik.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan RBC, Hb menurun dan
WBC dan GDS meningkat. WBC : 13,5 x 103/µL; RBC : 2,42 x 106/µL;
HGB : 7,7 g/dL; GDS : 184,2 mg/dL.

VII. Diagnosis Kerja :


Ulkus peptikum

VIII. Diagnosis Banding :


 Gastritis erosif

IX. Penatalaksanaan :
Non Medikamentosa :
 Tirah baring/istirahat
 Diet lunak dan rendah serat
 Transfusi PRC jika Hb <10 mg/dL
 Hindari penggunaan obat-obat tanpa anjuran dokter

Medikamentosa :

 IVFD NaCl 20 tpm


 Inj. Omeprazole 40 mg/10 ml /12 jam/iv
 Sucralfat Syrup 3x2 sdm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/10 ml /12 jam/iv

32
X. Diagnosis Akhir
Ulkus Peptikum

XI. Prognosis
Qua ad Vitam : Dubia ad bonam
Qua ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Qua ad Sanationam : Dubia ad bonam

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Ulkus peptikum merupakan defek mukosa/submukosa yang berbatas


tegas dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga
dapat menyebabkan perforasi. Secara klinis, ulkus adalah hilangnya epitel dengan
diameter ≥ 5mm yang dapat diamati secara endoskopi atau radiologi.
Pada pasien ini di diagnosa sebagai ulkus peptikum berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis pasien dengan keluhan keluhan muntah bercampur dengan darah
berwarna kehitaman sebanyak 2 kali yang dialami sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit. Muntah berisi makanan, air dan darah yang berwarna kehitaman, dan
diawali dengan mual. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut pada bagian ulu hati
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri dirasakan seperti panas terbakar,
secara terus menerus sepanjang hari dan mereda saat pasien beristirahat. Untuk
keluhan seperti batuk, demam, nyeri dada, sesak napas disangkal oleh pasien.
Nafsu makan pasien baik, BAK(+) lancar dan BAB berwarna kehitaman. Dahulu
pasien mengaku meminum obat maag dan meminum obat anti nyeri. Pasien sudah
mengalami BAB berwarna kehitaman sejak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan
fisik Sakit Sedang, kesadaran composmentis. Tanda-tanda vital tekanan darah
130/70 mmHg, nadi 84 kali/menit, respirasi 18 x/menit dan suhu 36,8ºC,
didapatkan konjugtiva anemis (+/+), pada pemeriksaan abdomen palpasi
didapatkan nyeri tekan regio epigastrik.
Pada pemeriksaan penujang untuk darah rutin didapatkan WBC 13,5 x
103/µL, RBC 2,42 x 106/µL, HGB: 7,7 g/dL, PLT: 158 x 103/µL dan HCT 23,3 %.
Pada pemeriksaan gula darah didapatkan gula darah puasa 184,2 mg/dL. Pada
pemeriksaan radiologi didapatkan kesan gastritis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien didiagnosis sebagai Ulkus peptikum dimana terdapat gejala fisik

34
khas pada pasien yaitu hematemesis, melena, nyeri ulu hati seperti terbakar,
konjungtiva anemis akibat kehilangan darah, dan nyeri tekan di regio epigastrik.
Lambung dilindungi terhadap faktor iritan oleh lapisan mukus/mukus
barier, epitel, tetapi beberapa faktor iritan seperti makanan minuman dan obat anti
inflamasi non steroid (OAINS), alkohol dan empedu yang dapat menimbulkan
defek lapisan mukus dan terjadi difusi balik ion H+, sehingga timbul gastritis
akut/kronik dan tukak gaster. Dengan ditemukannya kuman HP sebagai penyebab
gastritis dan tukak peptik, saat ini dianggap HP merupakan penyebab utama tukak
gaster, di samping OAINS, dan penyebab yang jarang adalah Sindroma Zollinger
Ellison dan penvakit Crohn duodenal. Pada pasien didaptkan memiliki riwayat
mengonsumsi obat maag dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
kemungkinan adanya infeksi dari bakteri dapat dilihat dari hasil laboratorium
darah lengkap dari pasien dimana terdapat peningkatan dari sel darah putih
(WBC) pasien.1
Nyeri abdomen adalah gejala umum yang ditemukan pada pasien dengan
gangguan pencernaan. Nyeri epigatrium pada ulkus peptikum dirasakan seperti
terbakar atau seperti digerogoti. Pola nyeri khas pada Ulkus duodenum yaitu nyeri
muncul 0 – 3 jam setelah makan dan berkurang dengan makanan serta konsumsi
antasida. Pada Ulkus Gaster, nyeri dipicu oleh makanan dan mual serta ditemukan
penurunan berat badan. Pada pasien ini didapatkan nyeri abdomen pada bagian
epigastrik yang rasanya seperti panas terbakar.6
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang yang berperan dalam penegakkan diagnosis. Modalitas
yang dapat digunakan yaitu radiografi (barium enema) dan endoskopi. Radiografi
dengan barium paling umum digunakan untuk menegakkan ulkus peptikum. Pada
pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan USG
Abdomen dan dipatkan hasil dengan kesan gastritis.6,9,13
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan
makanan. Pola makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena mampu
membebani lambung. Menghindari makan malam 3-4 jam sebelum tidur karena
dapat memicu pelepasan gastrin dan HCl yang lebih banyak. Pola makan yang

35
diajurkan adalah pola makan dengan jumlah kecil namun dengan intensitas yang
ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja gaster dan
menurunkan sekresi asam lambung yang mampu menimbulkan sensasi nyeri.
Pasien diminta untuk mengurangi konsumsi alcohol, kafein, kopi yang memiliki
keterikatan dengan kejadian ulkus peptikum. Pada pasien telah diberikan terapi
nonmedikamentosa berupa tirah baring, mengonsumsi makanan yang lunak dan
rendah serat, transfusi PRC dikarenakan Hb pasien <10 mg/dL dan menghidari
penggunaan obat AINS tanpa anjuran dari dokter.9
Pada pasien telah diberikan terapi medikamentosa yaitu IVFD NaCl 20
tpm, Inj. Omeprazole 40 mg/10 ml /12 jam/iv, Sucralfat Syrup 3x2 sdm, Inj.
Ceftriaxone 1 gr/10 ml /12 jam/iv, dimana omeprazole merupakan obat golongan
proton pump inhibitor (PPI) yang bekerja dengan memblokir jalur akhir sekresi
asam lambung. Bentuk aktif Sulfonamid akan berikatan kovalen dengan gugus
sulfihidril enzim H+/K+ ATPase (enzim pompa proton). Ikatan tersebut
menyebabkan produksi asam lambung terhenti 80-95%. Penghambatan bersifat
ireversibel dan produksi asam baru dapat terjadi kembali setelah 3-4 hari setelah
pengobatan dihentikan.14
Sucralfat syrup diberikan untuk melindungi permukaan dari lambung. Di
dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk pasta kental yang melindungi
ulkus atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa sulfat yang bermuatan sangat negatif akan
berikatan dengan dasar ulkus/ erosi yang bermuatan positif. Terbentuk barrier
fisik sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Barier ini akan memberi
kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan Prostaglandin dan HCO 3 untuk
perbaikan mukosa. Walaupun sukralfat dengan selektif menutupi ulkus, namun ia
juga dapat berikatan dengan berbagai obat lain, seperti, digoxin, phenytoin,
cimetidine, fluoroquinolone.12,14

36
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan dan pem bahasan Kasus dapat disimpulkan


sebagai berikut :
- Ulkus peptikum texjadi akibat terputusnya integritas mukosa dengan
gambaran bulat atau oval berukumn 5>mm yang mencapai lapisan mukosa,
sub mukosa sampai lapisan muskular. Ulkus peptikum terdiri dari ulkus
lambung dan ulkus duodenum.
- Manifestasi umum dari ulkus peptikum adalah nyeri ulu hati, mual, muntah,
dan melena. Pada ulkus lambung nyeri ulu hati muncul saat makan, sedangkan
penderita ulkus duodenum merasakan nyeri berkurang setelah makan.
- Penegakkan diagnosis ulkus peptikum berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fiSik, dan pemeriksaan penunjang diantaranya endoskopi dan biopsi patologi
H. Pylori.
- Pengobatan yang dapat diberikan pada pendeita ulkus peptikum adalah
golongan proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, mucosa
protective agent, acid supressing drug, dan analog prostaglandi.
- Prognosis pada ulkus peptikum yaitu dubia ad bonam. Hal itu disebabkan
karena kemajuan dalam kombinasi pengobatan dan terapi support yang
diberikan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Tarigan, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata KM, editors. Jakarta: Interna Publishing, 2014
2. Alfiati N, Mutmainah N, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Tukak
Peptik di Instalasi Rawat Inap RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun
2014. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015; p. 1-2
3. Akil, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata KM, editors. Jakarta: Interna Publishing, 2014
4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. Asia: John Wiley & Sons, 2009. p. 921 – 950
5. Junqueira, Carlos. Histologi Dasar Teks dan Altas Edisi X. 2007. Jakarta:
EGC. Hal 196-197; 213-216
6. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008
7. Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-
Hill Companies page 795-800
8. Price, A Sylvia. Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC. Jakarta. 2007 Hal 1388
9. Shyne, P. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. Departement of Emergency Medicine,
Emory University School of Medicine. 2009. diakses dari www. Emedicine.org
10. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGraw−Hill
Companies. Page 918-919
11. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection
Disease 4th Edition. 2004. The McGraw−Hill Companies. Page 380-384
12. Modern pharmacology with Clinical Applications 425-428
13. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of
Gastroenterology, Bethesda, Maryland. 2008.
14. Laurence, L. Bruton. Goodman & Gilman’s, The Pharmacological Basis of
Theurapeutics 11th edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Page 967-972
15. Anand BS. Peptic ulcer disease. [online]. Update: June 20th 2011. Available
from URL : http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview#showall

38
16. Purnamasari L. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia.
Continuing Medical Education. CDK-259. Vol. 44, No. 12, pp 870-73.
Viewed on 17 January 2019, from
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_10_259CME-
Faktor%20Risiko,%20Klasifikasi,%20dan%20Terapi%20Sindrom%20Dispep
sia.pdf

39

Anda mungkin juga menyukai