Anda di halaman 1dari 29

1

I. PENDAHULUAN
Pada masa reproduksi dan keadaan tidak hamil, endometrium berubah
menurut siklus sesuai dengan pengaruh estrogen dan progesteron dari ovarium.
Morfologi endometrium tergantung perubahan kadar estrogen dan progesteron.1,2
Siklus menstruasi normal pada manusia dapat dibagi menjadi dua segmen:
siklus ovarium dan siklus endometrium. Siklus ovarium lebih lanjut dibagi
menjadi:
1. Fase folikuler, umpan balik hormonal menyebabkan matang folikel pada
tengah siklus dan mempersiapkan untuk ovulasi. Kurang lebih panjang fase
folikuller antara 10 sampai 14 hari.
2. Fase luteal, waktu dari ovulasi sampai awal menstruasi, dengan waktu kurang
lebih 14 hari.
Sistem endokrin yang mengawasi siklus haid merupakan proses yang
majemuk. Endometrium dipengaruhi secara siklik oleh estrogen dan progesteron
dan dipengaruhi oleh hormon gonadotropin dari adenohipofisis dan releasing
hormone dari hipotalamus.2,3
Siklus endometrium terdiri dari 4 fase:
1. Fase menstruasi atau deskuamasi
Pada masa ini endometrium dilepaskan dari dinding uterus disertai
dengan perdarahan, hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut dengan
stratum basale, stadium ini berlangsung 4 hari. Dengan haid itu keluar darah,
potongan potongan endometrium dan lendir dari cervik. Darah tidak membeku
karena adanya fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan
potongan potongan mukosa. Hanya kalau banyak darah keluar maka fermen
tersebut tidak mencukupi hingga timbul bekuan bekuan darah dalam darah
haid.1, 3
2

Gambar 1.1. Endometrium Fase Menstruasi

Luka endometrium yang terjadi akibat pelepasan endometrium secara


berangsur angsur sembuh dan ditutup kembali oleh selaput lendir baru yang
tumbuh dari sel sel epitel kelenjar endometrium. Pada waktu ini tebal
endometrium ± 0,5 mm, stadium sudah mulai waktu stadium menstruasi dan
berlangsung ± 4 hari.
2. Fase intermenstruum atau stadium proliferasi
Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal ± 3,5 mm. Fase ini
berlangsung dari hari ke 5 sampai hari ke 14 dari siklus haid. Fase proliferasi
dapat dibagi dalam 3 subfase yaitu:
A. Fase proliferasi dini
Fase proliferasi dini berlangsung antara hari ke 4 sampai hari ke 9.
Fase ini dikenal dari epitel permukaan yang tipis dan adanya regenerasi
epitel, terutama dari mulut kelenjar. Kelenjar kebanyakan lurus, pendek
dan sempit. Bentuk kelenjar ini merupakan ciri khas fase proliferasi; sel
sel kelenjar mengalami mitosis. Sebagian sediaan masih menunjukkan
suasana fase menstruasi dimana terlihat perubahan perubahan involusi dari
epitel kelenjar yang berbentuk kuboid. Stroma padat dan sebagian
menunjukkan aktivitas mitosis, sel selnya berbentuk bintang dan lonjong
3

dengan tonjolan tonjolan anastomosis. Nukleus sel stroma relatif besar


karena sitoplasma relatif sedikit. 2,4
B. Fase proliferasi akhir
Fase ini berlangsung pada hari ke 11 sampai hari 14. Fase ini dapat
dikenal dari permukaan kelenjar yang tidak rata dan dengan banyak
mitosis. Inti epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma
bertumbuh aktif dan padat.2,4

Gambar 1.2. Endometrium Fase Proliferasi

C. Fase pramenstruum atau stadium sekresi


Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke 14
sampai ke 28. Pada fase ini endometrium kira kira tetap tebalnya, tetapi
bentuk kelenjar berubah menjadi panjang, berkeluk keluk dan
mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata. Dalam endometrium
telah tertimbun glikogen dan kapur yang kelak diperlukan sebagai
makanan untuk telur yang dibuahi. Memang tujuan perubahan ini adalah
untuk mempersiapkan endometrium menerima telur yang dibuahi, pada
fase ini dibagi atas:
4

D. Fase sekresi dini


Dalam fase ini endometrium lebih tipis daripada fase sebelumnya
karena kehilangan cairan, tebalnya ± 4 – 5 mm. Pada saat ini dapat
dibedakan beberapa lapisan, yaitu:
1. Stratum basale
Yaitu lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan
lapisan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada
kelenjar.
2. Stratum spongiosum
Yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini
disebabkan oleh banyak kelenjar yang melebar dan berkeluk keluk dan
hanya sedikit stroma di antaranya.
3. Stratum kompaktum
Yaitu lapisan atas yang padat. Saluran saluran kelenjar sempit,
lumennya berisi sekret dan stromanya edema. 1,3
4. Fase sekresi lanjut
Endometrium dalam fase ini tebalnya 5 – 6 mm. Dalam fase ini
terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium
sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkeluk keluk dan
kaya dengan glikogen. Fase ini sangat ideal untuk nutrisi dan
perkembangan ovum. Sitoplasma sel sel stroma bertambah. Sel stroma
menjadi sel desidua jika terjadi kehamilan.2

Gambar 1.3. Endometrium Fase Sekresi


5

Gambar 1.4. Siklus Menstruasi

Gambar 1.5. USG Endometrium saat Ovulasi


II. HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
2.1. Definisi
Hiperplasia endometrium adalah proliferasi kelenjar dengan bentuk dan
ukuran tidak teratur (ireguler) serta memiliki rasio kelenjar-stroma yang
meningkat.1 Hiperplasia endometrium adalah kondisi abnormal berupa
pertumbuhan berlebihan endometrium. Kelainan ini merepresentasikan spektrum
perubahan biologis dan morfologis dari kelenjar dan stroma endometrium yang
bervariasi antara perubahan yang sifatnya benigna yang disebabkan status
hormonal yang abnormal sampai pada suatu penyakit yang sifatnya premalignan.
6

Pertumbuhannya berlebihan atau penebalan pada dinding uterus yang dapat terjadi
pada semua bagian endometrium.4,5

2.2. Epidemiologi
Hiperplasia endometrium ialah lesi yang dapat menjadi prekursor kanker
endometrium. Sementara kanker endometrium adalah keganasan ginekologi yang
sering ditemukan di negara maju. Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di Amerika
pada tahun 2005. Hiperplasia endometrium sering ditemukan pada wanita
pascamenopause. Meski banyak pada pascamenopause, namun wanita pada usia
berapa pun dapat berisiko jika terpapar dengan estrogen eksogen. Kelainan ini
cukup sering ditemukan pada wanita muda dengan anovulasi kronik.5,6
Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada wanita dengan obesitas dan
penggunaan terapi pengganti hormon. Studi yang dilakukan oleh Kurman
menyatakan hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi
kanker, 3% pada hiperplasia kompleks, 8% pada hiperplasia sederhana atipik.
Sementara hiperplasia komleks atipik, 29% akan progresi menjadi kanker.2,3,4

2.3. Faktor Resiko


Faktor resiko pada penderita perdarahan uterus abnormal karena
hyperplasia endometrium adalah
 Usia sekitar menopause
 Skip menstrual period atau have no periods at all
 Overweight
 Diabetes
 Polycystic ovary syndrome (PCOS)
7

 Mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron untuk mengganti estrogen yang


sudah tidak diproduksi lagi dan untuk mengurangi gejala dari
menopause.6,7

2.4. Patogenesis
Kebanyakan kasus hiperplasia endometrium disebabkan oleh tingginya
kadar estrogen, dengan relatif tidak cukupnya kadar progesterone-like hormone
yang biasanya menetralkan efek proliferatif estrogen pada jaringan ini. Hal ini
dapat terjadi akibat efek estrogen endogen maupun eksogen. Estrogen adalah
hormone steroid seks dengan 10 atom C dan dibentuk terutama dari 17-keto-
steroid androstenedion. Jenis yang terpenting ialah estradiol (E2) selain itu estron
(E1) dan estriol (E3) juga memiliki efek estrogen meskipun lemah, perbandingan
efek biologis ketiga hormone tersebut E2:E1:E3=10:5:1 selain di ovarium. Estrogen
juga dihasilkan di adrenal, plasenta, jaringan lemak, testis dan susunan syaraf
pusat. Estrogen endogen berlebih contohnya pada kondisi anovulasi kronik yang
diasosiasikan dengan polycystic ovary syndrome pada wanita premenopuse. Pada
wanita perimenopause ataupun postmenopause yang masih menghasilkan
estrogen, meskipun berkurang namun tanpa ovulasi, juga dapat mengakibatkan
efek yang sama. Obesitas juga berperan untuk unopposed estrogen exposure
karena tingginya kadar estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi androgen pada
jaringan adiposa dan konversi dari androstenedione menjadi estrone pada otot dan
adiposa.1,8
Hiperplasia endometrium dapat pula karena tumor ovarium yang mensekresi
estradiol, seperti granulosa cell tumors. Berbagai formula terapi sulih estrogen
tanpa progesteron telah diasosiasikan dengan peningkatan hiperplasia
endometrium dan adenokarsinoma. Bahkan Tamoxifen, campuran estrogen
agonis-antagonis yang biasa digunakan pada wanita dengan kanker payudara, juga
telah terbukti meningkatkan risiko hiperplasia endometrium dan adenokarsinoma
6 hingga 7 kali lipat.8,9
8

Gambar 2.1. Hubungan Berdasar Gangguan Endometrium

Gambar 2.2. Pengaruh Estrogen Terhadap Endometrium

2.5. Gejala dan Tanda


Hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium mempunyai gejala
perdarahan abnormal maka dapat dilakukan anamnesis yang mengarah kepada
keganasan untuk menyingkirkan diagnosis karsinoma endometrium. Biasanya
pada tipe hiperplasia tanpa atipia bersifat asimtomatik, selain itu dapat juga
9

ditemukan gejala perdarahan setelah menopause, vaginal discharge, kram pada


abdominal bawah.6,7

2.6. Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik


2.6.1. Makroskopik
Hiperplasia endometrium biasanya tampil dalam bentuk seperti beledu,
berbentuk bulatan dengan permukaan pucat, jaringan berlubang-lubang (spongy)
dengan batas yang tidak jelas. Penebalan yang difus merupakan gambaran yang
khas, tetapi pertumbuhan fokal secara berlebihan dapat juga terjadi dan
memberikan gambaran seperti polip. Jumlah jaringan yang didapat dan hasil
kuretase biasanya banyak, tetapi dapat bervariasi dan paling banyak didapat pada
fase sekresi pada siklus yang normal. Oleh karena itu, diagnosis hiperplasia
ditegakkan dari gambaran histologi dan bukan dari jumlah jaringan yang didapat.
Jumlah jaringan yang sedikit dapat menggambarkan sampling yang tidak
adekuat.1,7,8

2.6.1. Mikroskopik
Hiperplasia ditandai dengan peningkatan rasio kelenjar-stroma dan
gambaran pola yang abnormal. Kelenjar dapat bervariasi dalam bentuk dan
ukuran. Dilatasi dan penonjolan epitel kelenjar kedalam stroma menggambarkan
derajat abnormalitas arsitektur. Dengan peningkatan derajat abnormalitas
arsitektur, kelenjar menjadi kompleks dan bercabang dengan tepi yang tidak
teratur dan terlipat kedalam lumen. Peningkatan proliferasi kelenjar menjadi
ramai/padat dan menekan stroma dan memberikan gambaran “back to back
glandular crowding.”
Gambaran yang paling penting dalam menilai hiperplasia endometrium
adalah ada atau tidaknya atipia nukleus. Sel-sel hiperplasia tanpa atipia
mengandung nukleus yang oval, basal dan halus dengan kontur yang halus dan
seragam seperti pada kelenjar proliferasi normal. Sebaliknya, sel-sel dengan
nukleus atipia berlapis-lapis dan menunjukkan kehilangan polaritas dan
peningkatan rasio nukleus-sitoplasma. Nukleus membesar, dengan bentuk dan
10

ukuran yang tidak teratur, hiperkromatik dengan kelompok kromatin kasar,


penebalan membran nukleus yang tidak teratur, dan mempunyai nukleoli yang
menonjol. Nukleus cenderung berbentuk bulat bila dibandingkan dengan nukleus
endometrium proliferatif dan hiperplasia tanpa atipia yang oval. Nukleus sering
menunjukkan gambaran jernih atau vesikuler dengan tumpukan kromatin
disekeliling membran nukleus.
Nukleus atipia bervariasi baik dalam hal kualitatif maupun kuantitatif. Tidak
semua kelenjar mengandung sel-sel atipik dan pada satu kelenjar dapat dijumpai
sebagian sel adalah atipik dan lainnya tidak. Sel-sel atipik yang jarang dapat
diabaikan, tetapi jika secara mudah dijumpai sel atipia, maka harus ditegakkan
diagnosis hiperplasia atipik. Atipia dibagi menjadi ringan, sedang dan berat1,7,8

2.7. Diagnosis
Diagnosis hiperplasia endometrium hanya dapat ditegakkan dari
pemeriksaan patologi anatomi dari pemeriksaan jaringan yang berasal dari biopsi
endometrium atau dilatasi kuretase (D & C). Tingginya variabilitas morfologi dari
proliferasi endometrium menyebabkan sulitnya menentukan kriteria diagnosis.
Kesulitan yang lain lagi adalah adanya fragmentasi dan sedikitnya bahan biopsy
ataupun kuretase yang terambil. Pemeriksaan USG transvaginal juga dapat
menentukan ketebalan endometrium dimana bila tebal endometrium lebih dari 6
mm pada hari ke 4-6 haid dicurigai adanya hiperplasia endometrium.5

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Sebagai pemeriksaan gold standard hiperplasia endometrium adalah
pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi endometrium, sedangkan pemeriksaan
penunjang noninvasif yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi transvaginal,
namun pemeriksaan ini belum dapat menggantikan pemeriksaan patologi
anatomi.4 Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu
dapat dipikirkan karsinoma endometrium, abortus inkomplit, leiomioma, polip. 6
11

2.9. Klasifikasi
Hiperplasi endometrium diklasifikasikan berdasarkan tingkatan dari
kompleksitas arsitekturnya (simple atau kompleks) dan dari gambaran sitologinya
(hiperplasi atau hiperplasia atipik). Menurut World Health Organization (WHO)
dan The International Society of Gynecologic Pathologists terdapat 2 jenis yaitu
tipikal dan atipikal, yang dibagi lagi menjadi 4 jenis hiperplasia yakni simpel,
kompleks, simpel atipik, dan kompleks atipik. Klasifikasi ini didasarkan pada
risiko progresif menjadi kanker endometrium. Faktor utama menentukan hal
tersebut ialah adanya sitologi atipik yang secara bermakna meningkatkan
kemungkinan menjadi kanker.4,8

1. Hiperplasia Simpel Nonatipik


Pada hiperplasia simpel didapatkan dilatasi kistik kelenjar dimana
diluar kelenjar dikelilingi stroma seluler yang berlimpah, kelenjar sedikit
membesar dengan secara fokal ramai. Terdapat berbagai campuran pola dan
aktivitas mitosis, batas sel kelenjar berbentuk pseudostratified dan kolumnar
dengan sitoplasma amphophilic. Stroma lebih rapat dari pada endometrium
fase proliferasi10
12

Gambar 2.3. Simpel Hiperplasia

2. Hiperplasia Kompleks Nonatipik


Pada keadaan ini didapatkan kelenjar yang ramai dan bercabang
dengan tepi yang irregular terdapat sedikit stroma. Lapisan epitel biasanya
antara 2-4 lapis tapi ada juga kelenjar yang mempunyai sedikit lapisan.

Gambar 2.6. Kompleks Atipik Hiperplasia


13

Aktivitas mitosis bervariasi dan biasanya kurang dari 4 gambaran mitosis


pada 10 lapangan pandang. Inti sel oval, jernih dan seragam. Sel stroma berbentuk
kumparan dan tertekan oleh proliferasi kelenjar.10

Tabel 2.1. Gambaran morfologi hiperplasia tanpa atipik


Gambaran sitologi
• Nukleus:
- Pseudostratifikasi
- Berbentuk cerutu sampai oval dengan kontur halus
- Distribusi kromatin yang merata
- Nukleoli kecil sampai tidak kelihatan
- Aktivitas mitosis bervariasi
• Sitoplasma: Bervariasi, sering amfofilik
Kelenjar
• Ireguler, bentuk bervariasi, beberapa mengalarni dilatasi
• Bercabang, berlipat kedalam dan penonjolan
• Hiperplasia simpel: Secara acak terletak diantara stroma yang
banyak
• Hiperplasi kompleks:
- Terletak secara rapat diantara stroma yang sedikit
14

- Batas sangat ireguler


Gambaran yang sering berkaitan
- Pertumbuhan polypoid
- Sel bersilia
- Venula permukaan
- Pemecahan dan perdarahan
Dikutip dari Mazur7

3. Hiperplasia simple atipik


Keadaan ini didapatkan sel dengan inti yang atipik dengan kehilangan
polaritas dan meningkatnya rasio inti sitoplasma. Inti membesar dengan
bentuk dan ukuran yang irregular dengan gumpalan kromatin yang kasar,
membrane inti yang menebal irregular dan anak inti yang menonjol. Inti
berbentuk bulat sedang pada endometrium proliferasi atau hiperplasia
berbentuk oval. Tampilan inti dapat jernih atau vesicular akibat kondensasi
kromatin disekeliling membrane inti.10

Tabel 2.2. Gambaran morfologi hiperplasia atipik


Gambaran sitologi*
• Nukleus:
- Stratifikasi tanpa polaritas
- Membesar, bundar dengan bentuk ireguler
- Kromatin yang kasar sehingga membentuk gambaran vesikuler
- Nukleoli prominen
- Aktivitas mitosis bervariasi
• Sitoplasma: Eosinofili, difus atau lokal
Kelenjar
• Ireguler, bentuk bervariasi, beberapa mengalami dilatasi
• Hiperplasia simpel atipik: Secara acak terletak diantara stroma yang banyak
• Hiperplasi kompleks atipik:
- Terletak secara rapat diantara stroma yang sedikit
- Dinding yang sangat ireguler
15

Gambaran yang sering berkaitan


- Pelipatan papiler kedalam kelenjar (tanpa jembatan)
- Stroma yang sedikit
- Sel bersilia
- Perubahan skuamosa
* Nukleus atipik dapat dijumpai, meliputi sebagian besar dinding sel pada kelenjar
yang terlibat
Dikutip dari Mazur7

Gambar 2.5. Simpel Atipik Hiperplasia

4. Hiperlasia kompleks Atipik


Terdapat gambaran atipik seperti tipe simple hanya kelenjar yang
komplek dan ramai dengan tepi ireguler. Lapisan epitel dan aktivitas mitosis
yang bervariasi. 10
16

Gambar 2.6. Kompleks Atipik Hiperplasia

2.10. Diagnosis Banding


1. Kelainan fase proliferasi endometrium
Kelainan ini mirip gambaran hiperplasia endometrium simple tapi
dengan lesi fokal yang mempunyai karakteristik pembesaran kelenjar-
kelenjar dengan bentuk yang irregular secara fokal selang-seling berada
diantara kelenjar proliferasi normal. 10
17

Gambar 2.7. Kelainan Proliferasi Endometrium

2. Polip endometrium
Polip endometrium biasanya terjadi pada masa peri dan
postmenopouse dan dapat dalam bentuk single atau multiple. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat dari reaksi tidak seharusnya dari focus pada
endometrium terhadap stimulasi estrogen. Endometrium disusun oleh
kelenjar-kelenjar dengan berbagai ukuran, yang mana sering berbentuk
kistik dan stroma yang selular yang berisi pembuluh darah berdinding
tebal. Lapisan epitel kelenjar menunjukan metaplasia yang bervariasi dan
tanda-tanda inflamasi skunder mungkin terlihat, tapi perubahan kearah
keganasan jarang terjadi.8
18

Gambar 2.8. Polip Endometrium

3. Kelenjar endometrium dengan perubahan sel siliata


Kelenjar endometrium dengan perubahan sel siliata sering
ditemukan bersamaan dengan hiperplasia simple dan kompleks, kelenjar
siliata biasanya sedikit dilatasi, keadaan inin tidak perlu dikhawatirkan.
Jika ditemukan tanpa hiperplasia kelainan ini disebut perubahan sel siliata
(tubal metaplasia).10

Gambar 2.9. Hiperplasia Komplek Tubal Metaplasia


19

4. Atrofi kistik
Perbedaan atrofi kistik dengan hiperplasia simple adalah tidak
adanya aktivitas mitosis, pada hiperplasia simple terdapat sel epitel
kolumnar pseudostratification dengan aktivitas mitosis yang bervariasi.10

Gambar 2.10 Atrofi Kistik

5. Endometrial glandular dan stromal breakdown


Keadaan ini biasa disebabkan estrogen withdrawal, kelenjar tipe
proliferasi banyak muncul karena tidak adanya stroma. Kelenjar sering
berfragmentasi, adanya nuclear dust pada sitoplasma terdapat pula
kelompok-kelompok sel stroma dan kelenjar yang berfragmentasi
dikelilingi oleh darah. Pada hiperplasia komplek tepi kelenjar lebih
irregular dan kompleks. Kelenjar berfragmentasi, nuclear dust dan
kelompok sel stroma biasanya tidak ada pada hiperplasia.10,11
20

Gambar 2.11. Endometrial Glandular dan Stromal Breakdown

2.11. Tatalaksana
Pasien dengan hiperplasia dapat diterapi dengan terapi progestin atau
histerektomi, tergantung dari usia dan adanya keinginan untuk memiliki anak.
Wanita-wanita muda dengan hiperplasia sederhana seringkali berhasil diterapi
dengan pil kontrasepsi oral, progesterone periodik withdrawal atau progestin
dosis tinggi. Histerektomi dianjurkan pada pasien dengan hiperplasia atipikal
kompleks. Pasien-pasien yang masih memiliki keinginan untuk memiliki anak
atau mereka yang memiliki masalah kesehatan lain yang menyulitkan operasi
dapat diterapi dengan progestin dosis tinggi sambil diawasi dengan ketat melalui
biopsi endometrial yang diulang setiap 3-6 bulan.1,4,12
Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial
tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi
cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap
bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari)
merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa
atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari)
kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien
dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan
21

dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan. 4,5,11,12
Biopsi endometrial berkala atau USG transvaginal dianjurkan untuk
dilakukan pada pasien dengan hiperplasia atipikal setelah terapi progestin, karena
kemungkinan adanya kanker yang tidak terdiagnosa pada 25% dari kasus, 29%
kemungkinan progresi ke arah kanker dan angka kekambuhan yang tinggi setelah
diterapi dengan progestin. Pasien peri dan postmenopause dengan hiperplasia
atipikal yang mengalami kekambuhan setelah terapi progestin atau yang tidak
dapat mentoleransi efek samping maka dianjurkan untuk histerektomi vaginal atau
abdominal. 5

Gambar 2.12. Alur Tatalaksana Hiperplasia Endometrium


Penatalaksanaan pasien-pasien dengan hiperplasia endometrium adalah
berdasarkan pertimbangan faktor klinis didukung oleh temuan mikroskopik.
Faktor yang paling penting adalah usia dan adanya atipik sitologi12.
22

A. Wanita usia reproduksi (40 tahun atau kurang)


Kebanyakan wanita pada kelompok usia reproduksi dengan
perdarahan abnormal rnempunyai kelainan hormonal nonspesifik dan akan
sembuh sendiri. Wanita tersebut berisiko rendah untuk mengalami
karsinoma. Penelitian pada 460 wanita berusia 40 tahun atau kurang, 6
diantaranya (1,6%) menderita hiperplasia ringan (hiperplasia simpel) tetapi
tidak ada yang menderita hiperplasia atipik maupun karsinoma. Oleh
karena itu sebagian besar wanita dengan perdarahan abnormal pada
kelompok ini tidak memerlukan biopsi endometrium. Wanita dengan
faktor risiko untuk mengalami kanker endometrium seperti penyakit
ovarium polikistik atau obesitas dan wanita dengan perdarahan yang
persisten harus dilakukan tindakan biopsi endometrium13.
Diagnosis hiperplasia simpel atau kompleks, maka pasien-pasien
tersebut dapat diterapi secara konservatif karena lesi tersebut berisiko
sangat rendah (1-2%) untuk berkembang menjadi karsinoma. Karena
perkembangan menjadi karsinoma memakan waktu sekitar 10 tahun dan
hiperplasia tanpa atipik sitologi akan berkembang menjadi hiperplasia
atipik terlebih dahulu sebelum menjadi karsinoma, maka cukup di follow-
up dengan biopsi endometrium periodik10,12,13.
Penanganan konservatif pada wanita muda dengan hiperplasia
simpel dan hiperplasia kompleks menghasilkan kehamilan pada 29% dan
20% pada wanita tersebut pada satu penelitian. Wanita muda dengan
hiperplasia atipik yang ingin mempertahankan fertilitasnya dapat
diberikan terapi hormonal dengan estrogen-progesteron selama minimal
6 bulan, tiga bulan setelah lengkapnya periode pengobatan ini,
endometrium harus dikuret dengan hasil kuret jinak, pasien harus
diamati adanya menstruasi yang teratur dan pola ovulasi. Pasien
anovulasi diobati dengan medroxyprogesterone (Provera) 10 mg per oral
tiap hari selama 10 hari, untuk mengatasi stimulasi estrogen terhadap
endometrium. Penggunaan estrogen secara periodik harus diteruskan
23

sampai terjadi ovulasi atau siap untuk induksi ovulasi dan bereproduksi.
Sebaliknya wanita berusia kurang dari 40 tahun dengan karsinoma
diferensiasi baik biasanya memerlukan terapi pembedahan14.

Skema 2.1. Tatalaksana Hiperplasia Endometrium Usia Reproduktif

Premenopause <40 tahun

Tanpa faktor risiko Dengan faktor risiko

Follow-up Induksi Ovulasi Supresi dengan progesteron

B. Wanita perimenopausal (40-55 tahun)


Perdarahan abnormal pada kelompok usia perimenopausal dapat
ditangani seperti wanita yang lebih muda karena wanita perimenopausal
juga mempunyai risiko yang rendah untuk terjadinya karsinoma. Sebagian
besar hiperplasia simpel dan kompleks pada kelompok usia 40 sampai 50
tahun berhubungan dengan anovulasi dan sembuh sendiri. Wanita tanpa
faktor risiko terjadinya karsinoma endometrium dapat diikuti, sedangkan
yang dengan faktor risiko harus dilakukan biopsi atau aspirasi Vabra.
Pasien dengan diagnosis hiperplasia atipik dapat diterapi dengan
progesteron atau histerektomi15.
Sekitar 60% hiperplasia atipik juga mengalami regresi tetapi
tingkat kejadian karsinoma residual pada uterus setelah kuretase
meningkat dengan peningkatan usia. Pada pasien berusia 40 sampai 55
tahun, terapi harus dinilai per individu. Sering terjadi regresi dan risiko
terjadinya karsinoma residual lebih rendah dibandingkan dengan wanita
yang lebih tua. Oleh karena itu observasi atau supresi dengan progesteron,
prakteknya diberikan Provera 20 mg per oral per hari selama 10 hari (hari
24

ke-16 sampai 25 siklus menstruasi) diulangi setiap 30 hari selama 6 bulan,


atau Depo-Provera 200 mg IM setiap 2 bulan untuk 3 dosis (skema 3).
Dilakukan biopsi endometrium setiap 3 bulan. Pasien akan mengalami
perdarahan yang tak teratur dan harus diberitahu untuk mengurangi
kecemasan. Jika lesi persisten, harus dilakukan histerektomi15.

Skema 2. Tatalaksana Hiperplasia Endometrium Usia Perimenopause


Perimenopause 41-55 tahun

Tanpa faktor risiko Dengan faktor risiko

Follow-up Kuretase

Skema 3. Penatalaksanaan Hiperplasia Endometrium pada Pasien yang Berusia 40


Tahun atau lebih
Atypical

Progesin D & C (=hysteroscopy) Hysterectomy


follow in patients (with other
<50 year indications)

Endometrial evaluation
in 3-6 months

Atypical

In medically high Hysterectomy


risk patients ir patients
40-50 years of age: Progestin

Endometrial evaluation
in 3-6 months

C. Wanita Pascamenopausal (Lebih dari 55 tahun)


25

Wanita pada kelompok usia pascamenopause dengan perdarahan


abnormal mempunyai risiko yang bermakna untuk mengalami karsinoma
maupun hiperplasia atipik. Perdarahan abnormal yang terjadi memerlukan
evaluasi segera dengan biopsi endometrium. Penegakan diagnosis
hiperplasia atau hiperplasia atipik harus dinilai dengan kuretase bertingkat.
Jika hasil kuretase menunjukkan hiperplasia tanpa atipia, penanganan
konservatif merupakan pilihan karena hiperplasia jenis ini berhubungan
dengan rangsangan estrogen dan terapi hormon eksogen atau akibat
perubahan perifer androgen menjadi estrogen pada jaringan lemak13,14.
Hiperplasia sebagian besar (80%) diterapi dengan
medroksiprogesteron asetat 10mg per hari selama 14 hari, tidak ada yang
berkembang menjadi karsinoma pada penelitian prospektif pada 65 wanita
postmenopause. Penanganan konservatif, baik hanya dengan observasi
maupun terapi dengan medroksiprogesteron asetat dengan kuretase adalah
adekuat. Kejadian perdarahan ireguler berulang yang tidak bereaksi
terhadap terapi hormonal memerlukan tindakan histerektomi14.
Histerektomi merupakan terapi pilihan pada diagnosis hiperplasia
atipik dan hasil kuretase. Wanita pascamenopause dengan risiko
pembedahan yang tidak memungkinkan dilakukan histerektomi, terapi
dilanjutkan dengan megestrol asetat 20-40 mg sehari dapat diberikan
secara efektif untuk menggantikan tindakan pembedahan. Penelitian
pada 70 wanita dengan hiperplasia kompleks (38 wanita) dan hiperplasia
atipik (32 wanita) dimana tindakan pembedahan tidak dilakukan pada
93% pasien dengan waktu follow-up rata-rata lebih dari 5 tahun
menunjukkan bahwa hiperplasia (atipik dan nonatipik) mengalami
regresi sempurna pada 85% kasus. Tidak ada lesi yang berkembang
menjadi karsinoma.
Wanita pascamenopause dengan hiperplasia maupun hiperplasia
atipik yang mendapatkan estrogen eksogen. Penghentian penggunaan
estrogen biasanya cukup untuk membuat proliferasi regresi setelah
rangsangan untuk perkembangannya dihentikan. Pemberian
26

medroksiprogesteron siklik maupun kontinu pada wanita yang memakai


estrogen dapat mengurangi risiko terjadinya hiperplasia endometrium
dan karsinoma. Menggunakan regimen 7-14 hari pemberian
medroksiprogesteron oral 10mg pada wanita pascamenopause yang
memakai estrogen, terdapat 5 kasus karsinoma endometrium pada 5402
wanita yang memakai terapi estrogen kontinu. Insidensi ini tidak lebih
tinggi dari wanita pascamenopause tanpa terapi estrogen, yang mana
insidensi yang diperkirakan untuk terjadinya kanker endometrium adalah
1-2 per 1000 wanita15.
Biopsi dan kuretase endometrium merupakan tindakan utama
dalam evaluasi wanita dengan perdarahan abnormal pada kelompok usia
ini, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa evaluasi dengan
ultrasonografi transvaginal dapat menurunkan tindakan kuretase 50-
70%, penelitian ini menunjukkan bahwa pada wanita pascamenopause
yang tidak diterapi sulih hormon, tidak dijumpai adanya karsinoma pada
wanita dengan ketebalan endometrium kurang dari 5mm. Metode ini
tidak akurat pada wanita pramenopause dan pasien dengan terapi sulih
estrogen. Peranan ultrasonografi transvaginal dalam skrining dan
evaluasi perdarahan abnormal masih memerlukan penelitian lebih
lanjut15.

Skema 2.4. Tatalaksana Pada Usia Pascamenopause


27

Pascamenopause >55 tahun

Kuretase

Follow-up Histerektomi

2.12. Prognosis
Lesi pada hiperplasia atipikal umumnya akan mengalami regresi dengan
terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan
hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami
karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga
memiliki karsinoma endometrial.5

III. KESIMPULAN
28

1. Hiperplasia endometrium merupakan kondisi abnormal berupa


pertumbuhan berlebihan endometrium.
2. Keadaan ini dapat menggambarkan suatu perubahan yang sifatnya benigna
sampai pada suatu kondisi maligna sehingga dapat menjadi suatu
prekursor kanker endometrium.
3. Biasanya disebabkan oleh tingginya kadar estrogen, tetapi dapat juga
disebabkan oleh tumor ovarium yang mensekresi estradiol.
4. Pemeriksaan patologi anatomi merupakan gold standard dalam
menegakkan diagnosis, dengan dilakukan biopsi atau D&C selain itu juga
dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur ketebalan
endometrium.
5. Terdapat 4 jenis hiperplasia endometrium menurut WHO yang bermakna
meningkatkan kemungkinan menjadi kanker endometrium

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Wiknjosastro H. editor. Ilmu kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-SP;
2007.hal. 551-70.
2. Kurman RJ. Blaustein’s pathology of the female genital tract. 6 th Ed. New York: Spinger;
2010
3. Underwood JC. General and systematic pathology. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier;2007
4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrasp LC, Haulth JC, Wenstrom KD. editors.
Williams obstetrics. 23rd ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
5. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynaecologic endocrinology and infertility,7 th ed.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2005
29

6. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, CunninghamFG.
editors. Williams Gynecology. 22nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008
7. Tavassoli FA, Deville P ed. Pathology and genetics of tumours of breast and female
genital organs. 5th vol. Lyon: IARC press; 2003
8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 7nd ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
9. Mazur M, Kurman RJ. Diagnosis of endometrial biopsies and curettings: a practical
approach . 2nd ed. New York: Spinger; 2005
10. Chandrasoma P,Taylor CR. Concise Pathology.3rd Ed. New York: McGraw-Hill; 2006
11. Berek J. Berek & Novak's Gynecology. 14th Ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007
12. Rubin E, Reisner HM. Essentials of Rubin's Pathology. 5th Edition. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins; 2009
13. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass' Office Gynecology. 6th Edition. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006
14. Simon RL. Hiperplasia endometrium. Dalam: Friedman EA, Borten M, Chapin DS. Seri
skema diagnosis dan penatalaksanaan ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: EGC. 1998; 176-7

Anda mungkin juga menyukai