I. PENDAHULUAN
Pada masa reproduksi dan keadaan tidak hamil, endometrium berubah
menurut siklus sesuai dengan pengaruh estrogen dan progesteron dari ovarium.
Morfologi endometrium tergantung perubahan kadar estrogen dan progesteron.1,2
Siklus menstruasi normal pada manusia dapat dibagi menjadi dua segmen:
siklus ovarium dan siklus endometrium. Siklus ovarium lebih lanjut dibagi
menjadi:
1. Fase folikuler, umpan balik hormonal menyebabkan matang folikel pada
tengah siklus dan mempersiapkan untuk ovulasi. Kurang lebih panjang fase
folikuller antara 10 sampai 14 hari.
2. Fase luteal, waktu dari ovulasi sampai awal menstruasi, dengan waktu kurang
lebih 14 hari.
Sistem endokrin yang mengawasi siklus haid merupakan proses yang
majemuk. Endometrium dipengaruhi secara siklik oleh estrogen dan progesteron
dan dipengaruhi oleh hormon gonadotropin dari adenohipofisis dan releasing
hormone dari hipotalamus.2,3
Siklus endometrium terdiri dari 4 fase:
1. Fase menstruasi atau deskuamasi
Pada masa ini endometrium dilepaskan dari dinding uterus disertai
dengan perdarahan, hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut dengan
stratum basale, stadium ini berlangsung 4 hari. Dengan haid itu keluar darah,
potongan potongan endometrium dan lendir dari cervik. Darah tidak membeku
karena adanya fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan
potongan potongan mukosa. Hanya kalau banyak darah keluar maka fermen
tersebut tidak mencukupi hingga timbul bekuan bekuan darah dalam darah
haid.1, 3
2
Pertumbuhannya berlebihan atau penebalan pada dinding uterus yang dapat terjadi
pada semua bagian endometrium.4,5
2.2. Epidemiologi
Hiperplasia endometrium ialah lesi yang dapat menjadi prekursor kanker
endometrium. Sementara kanker endometrium adalah keganasan ginekologi yang
sering ditemukan di negara maju. Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di Amerika
pada tahun 2005. Hiperplasia endometrium sering ditemukan pada wanita
pascamenopause. Meski banyak pada pascamenopause, namun wanita pada usia
berapa pun dapat berisiko jika terpapar dengan estrogen eksogen. Kelainan ini
cukup sering ditemukan pada wanita muda dengan anovulasi kronik.5,6
Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada wanita dengan obesitas dan
penggunaan terapi pengganti hormon. Studi yang dilakukan oleh Kurman
menyatakan hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi
kanker, 3% pada hiperplasia kompleks, 8% pada hiperplasia sederhana atipik.
Sementara hiperplasia komleks atipik, 29% akan progresi menjadi kanker.2,3,4
2.4. Patogenesis
Kebanyakan kasus hiperplasia endometrium disebabkan oleh tingginya
kadar estrogen, dengan relatif tidak cukupnya kadar progesterone-like hormone
yang biasanya menetralkan efek proliferatif estrogen pada jaringan ini. Hal ini
dapat terjadi akibat efek estrogen endogen maupun eksogen. Estrogen adalah
hormone steroid seks dengan 10 atom C dan dibentuk terutama dari 17-keto-
steroid androstenedion. Jenis yang terpenting ialah estradiol (E2) selain itu estron
(E1) dan estriol (E3) juga memiliki efek estrogen meskipun lemah, perbandingan
efek biologis ketiga hormone tersebut E2:E1:E3=10:5:1 selain di ovarium. Estrogen
juga dihasilkan di adrenal, plasenta, jaringan lemak, testis dan susunan syaraf
pusat. Estrogen endogen berlebih contohnya pada kondisi anovulasi kronik yang
diasosiasikan dengan polycystic ovary syndrome pada wanita premenopuse. Pada
wanita perimenopause ataupun postmenopause yang masih menghasilkan
estrogen, meskipun berkurang namun tanpa ovulasi, juga dapat mengakibatkan
efek yang sama. Obesitas juga berperan untuk unopposed estrogen exposure
karena tingginya kadar estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi androgen pada
jaringan adiposa dan konversi dari androstenedione menjadi estrone pada otot dan
adiposa.1,8
Hiperplasia endometrium dapat pula karena tumor ovarium yang mensekresi
estradiol, seperti granulosa cell tumors. Berbagai formula terapi sulih estrogen
tanpa progesteron telah diasosiasikan dengan peningkatan hiperplasia
endometrium dan adenokarsinoma. Bahkan Tamoxifen, campuran estrogen
agonis-antagonis yang biasa digunakan pada wanita dengan kanker payudara, juga
telah terbukti meningkatkan risiko hiperplasia endometrium dan adenokarsinoma
6 hingga 7 kali lipat.8,9
8
2.6.1. Mikroskopik
Hiperplasia ditandai dengan peningkatan rasio kelenjar-stroma dan
gambaran pola yang abnormal. Kelenjar dapat bervariasi dalam bentuk dan
ukuran. Dilatasi dan penonjolan epitel kelenjar kedalam stroma menggambarkan
derajat abnormalitas arsitektur. Dengan peningkatan derajat abnormalitas
arsitektur, kelenjar menjadi kompleks dan bercabang dengan tepi yang tidak
teratur dan terlipat kedalam lumen. Peningkatan proliferasi kelenjar menjadi
ramai/padat dan menekan stroma dan memberikan gambaran “back to back
glandular crowding.”
Gambaran yang paling penting dalam menilai hiperplasia endometrium
adalah ada atau tidaknya atipia nukleus. Sel-sel hiperplasia tanpa atipia
mengandung nukleus yang oval, basal dan halus dengan kontur yang halus dan
seragam seperti pada kelenjar proliferasi normal. Sebaliknya, sel-sel dengan
nukleus atipia berlapis-lapis dan menunjukkan kehilangan polaritas dan
peningkatan rasio nukleus-sitoplasma. Nukleus membesar, dengan bentuk dan
10
2.7. Diagnosis
Diagnosis hiperplasia endometrium hanya dapat ditegakkan dari
pemeriksaan patologi anatomi dari pemeriksaan jaringan yang berasal dari biopsi
endometrium atau dilatasi kuretase (D & C). Tingginya variabilitas morfologi dari
proliferasi endometrium menyebabkan sulitnya menentukan kriteria diagnosis.
Kesulitan yang lain lagi adalah adanya fragmentasi dan sedikitnya bahan biopsy
ataupun kuretase yang terambil. Pemeriksaan USG transvaginal juga dapat
menentukan ketebalan endometrium dimana bila tebal endometrium lebih dari 6
mm pada hari ke 4-6 haid dicurigai adanya hiperplasia endometrium.5
2.9. Klasifikasi
Hiperplasi endometrium diklasifikasikan berdasarkan tingkatan dari
kompleksitas arsitekturnya (simple atau kompleks) dan dari gambaran sitologinya
(hiperplasi atau hiperplasia atipik). Menurut World Health Organization (WHO)
dan The International Society of Gynecologic Pathologists terdapat 2 jenis yaitu
tipikal dan atipikal, yang dibagi lagi menjadi 4 jenis hiperplasia yakni simpel,
kompleks, simpel atipik, dan kompleks atipik. Klasifikasi ini didasarkan pada
risiko progresif menjadi kanker endometrium. Faktor utama menentukan hal
tersebut ialah adanya sitologi atipik yang secara bermakna meningkatkan
kemungkinan menjadi kanker.4,8
2. Polip endometrium
Polip endometrium biasanya terjadi pada masa peri dan
postmenopouse dan dapat dalam bentuk single atau multiple. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat dari reaksi tidak seharusnya dari focus pada
endometrium terhadap stimulasi estrogen. Endometrium disusun oleh
kelenjar-kelenjar dengan berbagai ukuran, yang mana sering berbentuk
kistik dan stroma yang selular yang berisi pembuluh darah berdinding
tebal. Lapisan epitel kelenjar menunjukan metaplasia yang bervariasi dan
tanda-tanda inflamasi skunder mungkin terlihat, tapi perubahan kearah
keganasan jarang terjadi.8
18
4. Atrofi kistik
Perbedaan atrofi kistik dengan hiperplasia simple adalah tidak
adanya aktivitas mitosis, pada hiperplasia simple terdapat sel epitel
kolumnar pseudostratification dengan aktivitas mitosis yang bervariasi.10
2.11. Tatalaksana
Pasien dengan hiperplasia dapat diterapi dengan terapi progestin atau
histerektomi, tergantung dari usia dan adanya keinginan untuk memiliki anak.
Wanita-wanita muda dengan hiperplasia sederhana seringkali berhasil diterapi
dengan pil kontrasepsi oral, progesterone periodik withdrawal atau progestin
dosis tinggi. Histerektomi dianjurkan pada pasien dengan hiperplasia atipikal
kompleks. Pasien-pasien yang masih memiliki keinginan untuk memiliki anak
atau mereka yang memiliki masalah kesehatan lain yang menyulitkan operasi
dapat diterapi dengan progestin dosis tinggi sambil diawasi dengan ketat melalui
biopsi endometrial yang diulang setiap 3-6 bulan.1,4,12
Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial
tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi
cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap
bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari)
merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa
atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari)
kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien
dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan
21
dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan. 4,5,11,12
Biopsi endometrial berkala atau USG transvaginal dianjurkan untuk
dilakukan pada pasien dengan hiperplasia atipikal setelah terapi progestin, karena
kemungkinan adanya kanker yang tidak terdiagnosa pada 25% dari kasus, 29%
kemungkinan progresi ke arah kanker dan angka kekambuhan yang tinggi setelah
diterapi dengan progestin. Pasien peri dan postmenopause dengan hiperplasia
atipikal yang mengalami kekambuhan setelah terapi progestin atau yang tidak
dapat mentoleransi efek samping maka dianjurkan untuk histerektomi vaginal atau
abdominal. 5
sampai terjadi ovulasi atau siap untuk induksi ovulasi dan bereproduksi.
Sebaliknya wanita berusia kurang dari 40 tahun dengan karsinoma
diferensiasi baik biasanya memerlukan terapi pembedahan14.
Follow-up Kuretase
Endometrial evaluation
in 3-6 months
Atypical
Endometrial evaluation
in 3-6 months
Kuretase
Follow-up Histerektomi
2.12. Prognosis
Lesi pada hiperplasia atipikal umumnya akan mengalami regresi dengan
terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan
hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami
karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga
memiliki karsinoma endometrial.5
III. KESIMPULAN
28
6. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, CunninghamFG.
editors. Williams Gynecology. 22nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008
7. Tavassoli FA, Deville P ed. Pathology and genetics of tumours of breast and female
genital organs. 5th vol. Lyon: IARC press; 2003
8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 7nd ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
9. Mazur M, Kurman RJ. Diagnosis of endometrial biopsies and curettings: a practical
approach . 2nd ed. New York: Spinger; 2005
10. Chandrasoma P,Taylor CR. Concise Pathology.3rd Ed. New York: McGraw-Hill; 2006
11. Berek J. Berek & Novak's Gynecology. 14th Ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007
12. Rubin E, Reisner HM. Essentials of Rubin's Pathology. 5th Edition. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins; 2009
13. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass' Office Gynecology. 6th Edition. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006
14. Simon RL. Hiperplasia endometrium. Dalam: Friedman EA, Borten M, Chapin DS. Seri
skema diagnosis dan penatalaksanaan ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: EGC. 1998; 176-7