Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

THALASSEMIA BETA MAYOR DENGAN AIHA

Oleh:

Bianca Dwinta Daryanto, S.Ked 04084821820041


Nanda Florencia, S.Ked 04084821921052

Pembimbing:
dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD, KHOM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

THALASSEMIA BETA MAYOR DENGAN AIHA

Oleh:

Bianca Dwinta Daryanto, S.Ked


Nanda Florencia, S.Ked

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang, Periode 29 Juli 2019 – 7 Oktober 2019.

Palembang, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD KHOM

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “Thalassemia Beta Mayor dengan AIHA”. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yenny Dian
Andayani, Sp.PD, KHOM selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini,
serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 16
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 42

3
BAB I
PENDAHULUAN

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan dan masuk ke


dalam kelompok hemoglobinopati yakni Kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi dalam atau dekat gen globin.1
Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai
globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi
terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bervariasi mulai dari
asimtomatik hingga gejala yang berat.
Thalassemia dikenal juga dengan anemia mediterania, namun istilah
tersebut dinilai kurang tepat karena penyakit ini dapat ditemukan dimana saja di
dunia khususnya di beberapa wilayah yang dikenal sebagai sabuk thalassemia.
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan
pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir
disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak
meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara
berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia
dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang
tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang
mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia beta berkisar 3-10%.
Transfusi darah merupakan tindakan transplantasi organ yang sederhana,
tetapi mengandung banyak risiko, seperti reaksi transfusi dan tertularnya penyakit
akibat tercemarnya darah donor oleh virus seperti hepatitis B, C, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dapat pula menyebabkan anemia hemolitik imun
yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit.
Anemia hemolitik imun adalah kondisi pada pasien di mana terdapat
autoantibodi yang melekat pada eritrosit dan menyebabkan lisis anemia hemolitik
adalah suatu penyakit yang heterogen baik karena adanya berbagai antibodi yang
berperan pada patogenesis penyakit ini ataupun karena berbagai penyakit yang
ikut mendasarinya patogenesis dan etiologinya kompleks mengharuskan

4
penanganan yang komprehensif tidak saja untuk menangani masalah anemia
namun juga pada penyakit yang mendasarinya.5

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien

Nama : Tn. J
Umur : 19 September 1996 (22 Tahun)
Alamat : Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Belum Bekerja
MRS : 25 Juni 2019
No. RM : 19018715

2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dari pasien dan alloanamnesis
dari ibu pasien pada tanggal 8 Agustus 2018
Keluhan Utama:
Badan lemas sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 6 tahun SMRS, penderita sering mengeluh badan terasa lemas seperti
tidak bertenaga, lemas terjadi terus menerus dan tidak berkurang dengan istirahat.
Penderita juga sering mengeluh mudah lelah saat beraktivitas, terutama aktivitas
sedang-berat. Keluhan disertai pusing, pusing dirasakan seperti melayang, mata
berkunang-kunang, tubuh penderita tampak pucat. Penderita juga merasa demam
(+) tetepi tidak terlalu tinggi. Batuk (-), mual (-), muntah (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), telinga berdenging (-), nyeri tulang (-), penurunan nafsu makan (-).
Penderita berobat ke RSUD Sekayu dan dikatakan anemia. Penderita sering di

6
transfusi darah ±11 kantong selama 6 tahun terakhir. Keluhan berkurang setelah di
transfusi.
Sejak 3 bulan SMRS, keluhan badan lemas muncul kembali, disertai pusing,
pandangan berkunang-kunang, mudah lelah, sulit untuk melakukan aktivitas
ringan. Penderita tampak kuning dan merasa perut membesar. Penderita tidak
mengeluh demam. Penderita lalu berobat ke RSUD Sekayu dan dikatakan
mengalami anemia. Penderita diberikan transfusi darah sebanyak 4 kantong,
keluhan berkurang.
Sejak 2 minggu SMRS, keluhan badan bertambah lemas dirasakan semakin
memberat, penderita lemas hingga tidak dapat melakukan aktivitas ringan.
Keluhan disertai pusing seperti melayang, mata berkunang-kunang, pucat, mata
dan seluruh tubuh menguning. Penderita juga mengeluh perut membesar. BAB
dan BAK normal. Demam (-), mual (-), muntah (-), gusi berdarah (-), mimisan (-),
menggigil (-), nyeri perut (-), penderita lalu berobat ke RSUD Sekayu dan
dikatakan Hb 2 mg/dL. Penderita dirawat inap selama 1 minggu dan diberikan
transfusi darah sebanyak 6 kantong, tetapi keluhan tidak membaik dan Hb tidak
kunjung naik. Penderita lalu di rujuk ke RSMH untuk tatalaksana lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat tampak pucat ± 6 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat keluarga yang mengalami keluhan serupa disangkal

7
Riwayat obat-obatan
Riwayat transfusi darah sejak 6 tahun yang lalu
Riwayat minum obat-obatan sebelumnya disangkal

Status Sosial Ekonomi:


Penderita adalah Sarjana Kesehatan Masyarakat
Kesan : Sosial ekonomi menengah

Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 8 Agustus 2019, pukul 16:00 WIB)


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, isi/kualitas cukup, reguler
Pernafasan : 20 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorako-abdominal
Suhu : 36,6 oC
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 140 cm
IMT : 20,4 (normoweight)

Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normochepali, facia fooley (+), hipertrofi gingiva (+)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Leher : JVP (5+2 cmH2O), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Memar (-), venektasi (-), benjolan (-)

Pulmo (Anterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada(-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-),
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

8
Pulmo (Posterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada(-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis dextra
Batas kanan bawah ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), scar (-), spider navi (-), caput
medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae, tepi
tumpul, permukaan rata. Lien teraba di garis schuffner IV
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Atas : Palmar pucat (+), palmar eritema (-), deformitas (-), CRT <2 detik.
Bawah : Plantar pucat (+), akral hangat (-), edema pretibia (-/-), deformitas (-),
CRT <2 detik.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Tanggal 6 Agustus 2019
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 2,5 g/dL 11,4-15,0

9
Leukosit 2,95 103/µL 4.73-10,89
Eritrosit 1,05 106/µL 4.0-5,7
Hematokrit 9 % 35-45
Trombosit 68 103/µL 189-436
MCV 82,5 fL 85-95
MCH 22 Pg 28-32
MCHC 29 g/dl 33-35
Hitung jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-6
Neutrofil 46 % 50-70
Limfosit 44 % 20-40
Monosit 9 % 2-8

Retikulosit 3.2 % 0,5 – 1,5


Kimia Klinik Hati
Bilirubin total 3,92 mg/dl 0,1-1,0 mg/dL
Bilirubin direk 0,61 mg/dl 0-0,2 mg/dL
Bilirubin indirek 3,31 mg/dl <0,8 mg/dL
SGOT 30 U/L 0-32
SGPT 31 U/L 0-31

23 Juli 2019
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit Normositik, nomokrom,
anisopoikilositosis (fragmentosit, tear
drop sel, anulosit), NRBC 8/100
Leukosit Jumlah menurun, limfosit atipik
Trombosit Jumlah menurun, bentuk normal
Kesan: pansitopenia ec proses hemolitik
26 Juli 2019

10
Haemoglobin Electrophoresis
Hb A 8,5 %
Hb F 87, 9 %
Hb A2 3,6 %
Kesan;
1. GDT: Anemia normositik nomkrom
2. Badan inklusi tidak ditemukan
3. Status besi: tidak diperiksa
4. HbF dan Hb A2 meningkat
Kesimpulan: Kemungkinan Beta Thalassemia Mayor belum dapat disingkirkan

30 Juli 2019
Comb Test
Direct Coomb Test +
Indirect Coomb Test +

2.5 Diagnosis Sementara


Thalassemia Beta Mayor + AIHA
Diagnosis Banding
-
2.6 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.7 Rencana pemeriksaan


 Cek darah rutin ulang

2.8 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
 Istirahat - IVFD Asering XX gtt/m
 Diet nasi biasa - Metilprednisolon 3x16 mg selama 7 hari P.O

11
 Edukasi - Neurodex 1x1 tab P.P
- Asam folat 3x1 tab P.O
- Rituximab 100 mg 1x/minggu selama 4 minggu
- Azatopin 2x50 mg P.O

2.10 Follow Up

Tanggal 9 Agustus 2019


S Badan lemas (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 98 x/menit

Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,5 oC

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (-),
facia fooley (+)

Leher JVP (5+2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri


Paru Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak
teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
dextra
Batas kanan bawah ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : HR = 98x/m, Bunyi jantung I dan II

12
reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Datar


Palpasi: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jari
dibawah arcus costae, tepi tempul, permukaan
rata. Lien teraba di garis schuffner IV
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Tidak diperiksa
Genitalia
Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(-)
Ekstremitas
A Thalassemia Beta Mayor + AIHA

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet Nasi Biasa
 Edukasi

Farmakologis
 Metilprednisolon 3x16 mg selama 7
hari P.O
 Neurodex 1x1 tab P.P
 Asam folat 3x1 tab P.O
 Rifoximab 100 mg 1x/minggu selama
4 minggu
 Azatopin 2x50 mg P.O

Tanggal 10 Agustus 2019


S Badan lemas (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/70 mmHg
88 x/menit irama irreguler, isi kurang, dan
Nadi tegangan lemah.
18 x/ menit
Pernapasan
Temperatur 36,0 oC
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (-),
facia fooley (+)

13
Leher JVP (5+2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak
teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
dextra
Batas kanan bawah ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : HR = Bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Datar


Palpasi: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jari
dibawah arcus costae, tepi tempul, permukaan
rata. Lien teraba di garis schuffner IV
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+)

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)

Pemeriksaan Hb: 3,2


Penunjang RBC: 1,43
WBC: 3,32
Trombosit: 71
RDW-CV: 33,00
A Thalassemia Beta Mayor + AIHA
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa

14
 Edukasi

Farmakologis
 Metilprednisolon 3x16 mg selama 7
hari P.O
 Neurodex 1x1 tab P.P
 Asam folat 3x1 tab P.O
 Rituximab 100 mg 1x/minggu selama
4 minggu
 Azatopin 2x50 mg P.O

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Thalassemia
3.1.1. Definisi Thalassemia
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan dan
masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni Kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam
atau di dekat gen globin. Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan
produksi satu atau lebih rantai globin a atau b ataupun rantai globin
lainnya dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian atau menyeluruh
rantai globin tersebut akibatnya terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya.1

3.1.2. Epidemiologi
Sebaran thalassemia tentang lebar dari Eropa selatan Mediterania,
Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia
Tenggara.
Tabel 1. Peta Sebaran Populasi Thalassemia
Jenis Thalassemia Peta Sebaran
Thalassemia- Populasi Mediteranian, Timur Tengah,
India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia
Selatan, Cina. Jarang terjadi di Afrika,
kecuali Liberia dan beberapa bagian
Afrika Utara Sporadik, dan terjadi pada
semua ras.
Thalassemia- Terentang dari Afrika ke Mediteranian,
Timur Tengah, Asia Timur dan
Tenggara. Hb Bart’s syndrome dan
HbH disease sebagian besar terbatas di
populasi Asia Tenggara dan
Mediteranian.

Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia


merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-
500.000 bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan
50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari
16
jumlah tersebut berasal dari negara berkembang. Indonesia termasuk salah
satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi
gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi
gen thalassemia beta berkisar 3-10%. Jika dihitung menggunakan prinsip
Hardy-Weinberg tentang frekuensi alel dari generasi ke generasi maka
setiap tahunnya akan lahir 2500 bayi dengan thalassemia mayor.
Data yang didapat dari seluruh rumah sakit pendidikan ternyata
hanya terdaftar sekitar 7670 pasien thalassemia mayor di seluruh
Indonesia. Data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
FKUI RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien
dengan rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru
terus meningkat hingga 75-100 orang/tahun, sedangkan usia tertua pasien
hingga saat ini adalah 43 tahun. Beberapa pasien sudah berkeluarga dan
dapat memiliki keturunan, bahkan diantaranya sudah lulus menjadi
sarjana.4

3.1.3. Etiologi
Lebih dari 200 mutasi ditemukan dan mayoritas dari mutasi ada
pada beta globulin gen area. Gen beta globulin delesi tidak banyak
ditemukan, kurangnya jumlah rantai beta globin atau tidak diproduksinya
beta globin karena mutasi. Mutasi menyebabkan kerusakan pada promoter
activity yang memproses RNA.2 Thalassemia alfa terjadi akibat mutasi
pada kromosom 16. Rantai globin alfa terbentuk sedikit atau tidak
terbentuk sama sekali sehingga rantai globin yang ada membentuk HbBart
(γ4) dan HbH (β4). Tetramer tersebut tidak stabil dan badan inklusi yang
terbentuk mempercepat destruksi eritrosit. Thalassemia beta terjadi akibat
mutasi gen globin beta sehingga produksi rantai globin beta menjadi
berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Rantai globin alfa yang
terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta sehingga
terjadi peningkatan HbF dan HbA2. Selain itu terbentuk pula rantai

17
tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah terurai. Rantai globin alfa
bebas tersebut tidak larut, kemudian membentuk presipitat yang memicu
lisis eritrosit di mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di sumsum tulang.3

3.1.4. Patogenesis thalassemia’


Thalassemia merupakan sindrom Kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen
globin. Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan
perubahan rantai globin Alfa atau Beta berupa perubahan kecepatan
sintesis atau kemampuan produksi rantai globin tertentu dengan akibat
menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut perubahan ini
diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen alfa atau beta
berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari 200 mutasi
gen thalassaemia yang diidentifikasi tidak jarang pada analisis DNA
thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi gen nya Hal inilah yang
merupakan kendala terapi gen pada thalassemia.1

3.1.5 Manifestasi Klinis


Thalassemia β
Thalassemia β dibagi menjadi 3 sindrom klinik ditambah satu
sindrom yang baru ditentukan:
a. Thalassemia β minor (trait)
Pada Thalassemia β minor tampilan klinis terlihat normal,
sering asimtomatik. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan
pada sedikit penderita.8
Pada Thalassemia β minor ditemukan anemia hemolitik
ringan yang asimptomatik. Gambaran darah tepi menunjukkan
mikrositik hipokrom (MCV dan MCH sangat rendah),
poikilositosis, sel target dan eliptosis, termasuk kemungkinan
ditemukan peningkatan eritrosit stippled. Hitung eritrosit normal
atau sedikit tinggi dan hemoglobin terentang antara 10 - 13g/dL.

18
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai
sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif. Umumya
kadar HbA2 tinggi (3,5 – 8%). Kadar HbF biasanya 1 – 5%. Pada
bentuk varian lain yang jarang, ditemukan HbF 5 – 20%. Apabila
pasangan membawa thalassemia β trait maka 25% risiko untuk
mendapat anak dengan thalassemia mayor.8,9

b. Thalassemia β mayor
Thalassemia β mayor biasanya ditemukan pada anak usia 6
bulan sampai 2 tahun. Thalassemia β mayor adalah bentuk
homozigot dari thalassemia β disertai anemia berat. Apabila diobati
dengan hipertransfusi, maka produksi HbF dan hiperplasia eritroid
menurun sehingga anak tumbuh normal sampai dekade ke 4 – 5.
Setelah itu timbul gejala “iron overload”.8,9
Pada anak yang tidak mendapat transfusi yang baik maka
akan timbul anemia yang khas yaitu Cooley’s anemia. Gejala mulai
dari pucat, kurus, hepatosplenomegali, perubahan tulang yang
nyata karena sumsum tulang mengalami ekspansi akibat
hiperplasia eritroid yang ekstrim dan ikterus. Gangguan pada
tulang wajah, penonjolan dahi, tulang pipi, dan dagu atas
(thalassemic face), rontgen tulang tengkorak: hair on end
appearance, gangguan pertumbuhan, gejala iron overload seperti
pigmentasi kulit, diabetes melitus, sirosis hati, atau gonadal
failure.8,9

19
Gambar1. Kiri:Tampilan wajah anak dengan thalassemia β mayor. Tulang
tengkorak menonjol dengan tulang frontal dan parietal yang menonjol;
tulang maksila membesar. Kanan: foto rontgen tengkorak pada thalassemia
β mayor, rambut berdiri “hair-to-end”9

Hasil pemeriksaan laboratorium terdapat kadar Hb rendah


mencapai 3 atau 4g%. Eritrosit hipokrom, sangat poikilositosis, termasuk
sel target, sel teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit
terjadi akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada darah tepi
ditemukan eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV
terentang antara 50 – 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan
sangat tipis, biasanya wrinked dan folded dan mengandung hemoglobin
clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 – 8%, hal ini kurang berkaitan
dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin α
yang berlebihan dan merusak membran sel merupakan penyebab kematian
prekursor sel darah merah intramedula, sehingga menimbulkan
eritropoesis inefektif.8
Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF dengan sedikit
peningkatan HbA2. HbA dapat tidak sama sekali muncul atau menurun.
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eriotroid dengan rasio eritroid
dengan mieloid 20:1. Besi serum meningkat, tetapi total iron binding
capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferin 80%
atau lebih. Ferritin serum biasanya meningkat.8

20
c. Thalassemia β intermedia
Penderita thalassemia yang dapat mempertahankan
hemoglobin minimum ±7 g% atau lebih tinggi tanpa mendapat
transfusi. Ketidakseimbangan sintesis rantai α dan β berada
diantara thalassemia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik
menyerupai gambaran thalassemia mayor yang sangat bergantung
tranfusi dan thalassemia trait yang asimtomatik.8
Gambaran klinik bervariasi dengan bentuk ringan walaupun
dengan anemia sedang sampai dengan anemia berat yang tidak
mentoleransi aktivitas berat dan fraktur patologik. Muatan besi
dijumpai walaupun tanpa transufi darah. Eritropoesis meningkat
namun tidak efektif, sehingga terjadi peningkatan turnover besi
dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran
cerna. Komplikasi jantung dan endokrin muncul 10 – 20 tahun
kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak
mendapat transfusi darah.8
Gambaran laboratoris menunjukkan morfologi eritrosit
menyerupai thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat
menunjukkan HbF 2 – 100%, HbA2 sampai dengan 7%, dan HbA 0
– 80%, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistribusikan
secara heterogen dalam peredaran darah.8

d. Pembawa sifat tersembunyi thalassemia β (silent carrier)


Kelainan Genotip
Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia
dengan variasi mutasi β yang heterogen, dimana hanya sedikit
gangguan di produksi rantai β, sehingga dihasilkan rasio yang
hampir normal antara rantai globin β dan α, tanpa menyebabkan
kelainan hematologis.8
Gambaran Fenotip

21
Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobin normal,
kadar HbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis yang
sangat ringan. Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat
dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga dekat)
pada anak dengan sindroma thalassemia β yang lebih berat
daripada orang tuanya yang menunjukkan thalassemia β trait.8

3.1.6. Diagnosis
Thalassemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang
membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis
thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor
umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.4
1. Anamnesis :
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.
Pada thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya
didapatkan pada usia yang lebih tua.
b. Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor
memerlukan transfusi berkala.
c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi
berulang.
d. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya
hepatosplenomegali.
e. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih
tinggi pada ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia
Tenggara. Thalassemia paling banyak di Indonesia
ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.
f. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari
pemeriksaan fisis pada anak dengan thalassemia yang bergantung
22
transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol,
mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi,
maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang,
perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.

3. Laboratorium Darah perifer lengkap (DPL)


a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat
dengan kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat
memiliki MCV dan MCH yang normal, sehingga nilai
normal belum dapat menyingkirkan kemungkinan
thalassemia trait dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting
untuk skrining pembawa sifat thalassemia (trait),
thalassemia δβ, dan high Persisten fetal hemoglobine
(HPFH)13,
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan
mean corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg
(hipokromik). Thalassemia mayor biasanya memiliki MCV
50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada
thalassemia, dan juga pada anemia defisiensi besi. MCH
lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi oleh
perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes).

4. Gambaran darah tepi


a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk
fragmentosit dan tear-drop), mikrositik hipokrom,
basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan
eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan
diseritropoiesis)
23
b. Total hitung dan neutrofil meningkat
c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan
leukopenia, neutropenia, dan trombositopenia.

Gambar. 1. Gambaran darah tepi pada thalassemia mayor

5. Red Cell Distribution Width (RDW)


RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi
besi memiliki RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi
seperti pada thalassemia mayor. Thalassemia trait memiliki
eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak/hanya sedikit
ditandai dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan
intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.
6. Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang.
Pasien thalassemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang
meningkat, sedangkan pada anemia defisiensi besi akan diperoleh
hasil yang rendah.
7. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

24
a. Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat
dipakai untuk mengidentifikasi dan menghitung varian
hemoglobin secara presumtif. Pemeriksaan alternatif dapat
dilakukan jika varian hemoglobin yang terdeteksi pada
HPLC relevan dengan klinis pasien.
b. HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus
thalassemia β berat, kecuali pasien telah menerima
transfusi darah dalam jumlah besar sesaat sebelum
pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi sama sekali pada
thalassemia β0 homozigot, sedangkan HbA masih
terdeteksi sedikit pada thalassemia β+. Peningkatan HbA2
dapat memandu diagnosis thalassemia β trait.
1) Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang
terjadi.
2) HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia β+ ringan.
3) HbA2 4-9% pada thalassemia heterozigot β0 dan β+
berat.
4) HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika
hemoglobin yang dominan adalah HbF dan HbE,
maka sesuai dengan diagnosis thalassemia β/HbE.
5) HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan
diagnosis thalassemia.
HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya
akibat kondisi defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi defisiensi
besi sebelum melakukan HPLC ulang untuk menilai kuantitas
subtipe Hb.
Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya defisiensi
besi, namun tidak menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait.
Bila defisiensi besi telah disingkirkan, nilai HbA2 normal, namun
indeks eritrosit masih sesuai dengan thalassemia, maka dapat

25
dicurigai kemungkinan thalassemia α, atau koeksistensi
thalassemia β dan δ.
8. Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif
(electrophoresis cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif
(metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2
menit), atau pemeriksaan elektroforesis menggunakan capillary
hemoglobin electrophoresis.
9. Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular
thalassemia, yang dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:
1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati
dengan pemeriksaan hematologi:
a. Diagnosis thalassemia β mayor yang telah banyak
menerima transfusi. Diagnosis dapat diperkuat dengan
temuan thalassemia β heterozigot pembawa sifat
thalassemia beta) pada kedua orang tua
b. Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β
dengan HbA2 normal, thalassemia α0, dan beberapa
thalassemia α+.
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.

26
2. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.

27
3.1.7. Tatalaksana4
1. Transfusi darah
Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah
untuk menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan
tumbuh kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah
sangat individual pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila
dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita
thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan
dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau
didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau
deformitas tulang akibat thalassemia.
Evaluasi sebelum transfusi
Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut
sebelum memulai transfusi pertama:
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron
binding capacity (TIBC)
b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT,
APTT, albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin direk.
c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin
d. Golongan darah: ABO, Rhesus
e. Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi
darah: antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi
Hepatitis C (anti-HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).
f. Bone age.

Cara pemberian transfusi darah


a. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb.
Bila kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang
ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan
5 mL/kg/jam.

28
b. Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15
g/dL22, sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya
diharapkan tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb
pretransfusi antara 9-10 g/dL dapat mencegah terjadinya
hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi darah
berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.
c. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi
dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang
ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan
kecepatan transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg per jam
untuk menghindari kelebihan cairan/overload.
d. Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang
sama (ABO, Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi dan
jika memungkinkan menggunakan darah leucodepleted
yang telah menjalani uji skrining nucleic acid testing (NAT)
untuk menghindari/meminimalkan tertularnya penyakit
infeksi lewat transfusi.
e. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus
ditransfusikan dalam waktu 30 menit sejak keluar dari bank
darah. Lama waktu sejak darah dikeluarkan dari bank darah
hingga selesai ditransfusikan ke tubuh pasien maksimal
dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan lebih cepat
(durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.
f. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL.
Diuretik furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga
2 mg/kg pada pasien dengan masalah gangguan fungsi
jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Pasien
dengan masalah jantung, kadar Hb pratransfusi
dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan
dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu.

29
g. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada
kondisi anemia berat interval transfusi berikutnya dapat
diperpendek menjadi 8-12 jam.
h. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb
dicatat, begitu pula dengan volume darah yang sudah
ditransfusikan. Data ini dievaluasi berkala untuk
menentukan kebutuhan transfusi pasien. Pasien tanpa
hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200
mL PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai
dengan panduan klinis dan laboratoris masing-masing
senter. Pada saat transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang
timbul dan kemungkinan terjadi reaksi hemolitik.
Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti
mengurangi kemungkinan reaksi transfusi

Jenis produk darah yang digunakan


Beberapa produk darah dapat dijumpai di bank darah, salah
satunya adalah eritrosit cuci/ washed erythrocyte (WE). Produk ini
memberikan beberapa keuntungan antara lain dapat menghilangkan
leukosit 50-95% dan eritrosit 15%. Komponen darah WE dapat
mengurangi risiko terjadinya reaksi alergi, dan mencegah reaksi
anafilaksis pada defisiensi IgA. Kerugian WE ini memiliki waktu simpan
yang pendek 4-6 jam dan memiliki risiko bahaya kontaminasi. Produk ini
tidak direkomendasikan pada thalassemia. Sekitar tahun 1860-1970 mulai
dikembangkan tehnik leukodepleted, yaitu berupa proses pemisahan buffy
coat (BC) yang mengandung leukosit dan trombosit dari PRC dengan
sedimentasi atau sentrifugasi sehingga leukosit menurun 60-80% dan
eritrosit menurun 20-30%. Teknik ini terbukti dapat mencegah dan
mengurangi dampak kontaminasi leukosit. Beberapa terminologi dapat
dijumpai di literatur adalah leukodepleted di Eropa dan leucoreduced di
US. Perbedaannya terletak pada jumlah leukosit yang dapat disaring, yaitu
leukodepleted dapat mengurangi leukosit hingga 107-108, sedangkan
30
leucoreduced < 105. Sedangkan jumlah leukosit pada 1 unit whole bood
(WB) adalah 2x109.
Reaksi transfusi
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik autoimun adalah komplikasi serius akibat
transfusi darah. Darah yang diberikan mungkin kompatibel pada
pemeriksaan awal, namun umur eritrosit sangat pendek dan kadar Hb
turun di bawah kadar Hb pratransfusi biasanya. Destruksi darah terjadi
pada darah pasien dan donor serta evaluasi serologi menunjukkan reaksi
antigen-antibodi luas. Kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian steroid,
agen imunosupresan, dan imunoglobulin intravena. Kejadian ini umumnya
terjadi pada transfusi pada usia dewasa.

2. Kelasi besi
Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di
berbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah
komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada pasien
thalassemia.
Indikasi kelasi besi
Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi
yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan
mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan besi dalam
tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa parameter seperti
jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi
transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration – LIC (biopsi, MRI,
atau feritometer). LIC minimal 3000 ug/g berat kering hati merupakan
batasan untuk memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang
invasif sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian
kelasi besi dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000
ng/mL, atau saturasi transferin >70%, atau apabila transfusi sudah
diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.

31
3. Nutrisi dan Suplementasi
Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat
proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang
menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi.
Nutrien yang perlu diperhatikan pada pasien thalassemia adalah zat besi.
Makanan yang banyak mengandung zat besi atau dapat membantu
penyerapan zat besi harus dihindari, misalnya daging merah, jeroan, dan
alkohol. Makanan yang rendah zat besi, dapat mengganggu penyerapan zat
besi, atau banyak mengandung kalsium dapat dikonsumsi lebih sering
yaitu sereal dan gandum. Pendapat lain menyebutkan pasien dalam terapi
kelasi besi tidak perlu membatasi diet dari makanan tertentu, karena
dikhawatirkan dapat semakin mengurangi kualitas hidup pasien.
Suplementasi vitamin E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari selama 4
minggu dipercaya dapat meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma, dan
dapat menjaga enzim antioksidan pada eritrosit sehingga kadarnya
mendekati nilai normal. Suplementasi vitamin D yang direkomendasikan
adalah 50.000 IU sekali seminggu pada pasien dengan kadar 25-hidroksi
vitamin D di bawah 20 ng/dL, diberikan hingga mencapai kadar normal.
Suplemen kalsium diberikan pada pasien dengan asupan kalsium yang
rendah. Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di
intraselular dan secara efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C dengan
dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari diberikan bersama desferoksamin
untuk meningkatkan ekskresi besi. Pemberian asam folat
direkomendasikan pula, karena defisiensi zat ini umum terjadi.
Pemberiannya terutama pada pasien yang merencanakan kehamilan. Asam
folat diberikan dengan dosis 1-5 mg/kg/hari atau 2x1 mg/hari.

4. Splenektomi
Indikasi splenektomi Transfusi yang optimal sesuai panduan saat
ini biasanya dapat menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi,

32
namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di
bawah ini:
a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya
(kebutuhan transfusi pasien thalassemia umumnya 180
mL/kg/tahun).
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia
atau trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh
penyakit atau kondisi lain.
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara
signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup
lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak
nyaman dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi
trauma.

Klinisi perlu mencermati kemungkinan splenomegali yang


disebabkan pemberian tranfusi darah yang tidak adekuat. Pada kondisi
tersebut ukuran limpa dapat mengecil dengan transfusi darah adekuat dan
kelasi besi yang intensif selama beberapa bulan kemudian dilakukan
evaluasi ulang apakah tindakan splenektomi dapat dihindari. Mengingat
risiko komplikasi splenektomi yang berat, maka splenektomi sedapat
mungkin dihindari dan hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat. Pasien
yang terindikasi splenektomi sedapat mungkin menunda splenektomi
hingga pasien berusia 5 tahun untuk mengurangi risiko terjadinya sepsis
berat pasca tindakan.

5. Transplantasi sumsum tulang


Hingga saat ini tata laksana kuratif pada thalassemia mayor hanya
transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell transplantation /
HSCT). Tiga faktor risiko mayor yang memengaruhi luaran dari
transplantasi adalah pasien dengan terapi kelasi besi yang tidak adekuat,
hepatomegali, dan fibrosis portal. Pasien dengan transplantasi HLA-
33
matched related allogenic tanpa faktor risiko memiliki tingkat harapan
hidup/overall survival (OS) 93% dan harapan hidup tanpa
penyakit/disease-free survival (DFS) 91%. Pasien dengan 1 atau 2 faktor
risiko memiliki OS 87% dan DFS 83%, sedangkan pasien dengan 3 faktor
risiko memiliki OS 79% dan DFS 58%. Risiko kematian pada
transplantasi sekitar 10%. Hasil terbaik diperoleh pada anak yang berusia
di bawah 3 tahun, sehingga transplantasi dipertimbangkan pada usia muda
sebelum pasien mengalami komplikasi akibat kelebihan besi. Berbagai
kemungkinan komplikasi transplantasi hendaknya dipertimbangkan secara
matang karena akan memperberat komplikasi yang sudah ada akibat
penyakit dasarnya.

3.1.7. Komplikasi Thalassemia4


1. Pemantauan komplikasi
Komplikasi pada thalassemia dapat terjadi akibat penyakit
dasarnya, akibat pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga
pemantauan komplikasi yang terjadi perlu dilakukan terus-
menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi anemia berat,
komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur
patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang,
perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang
menekan organ sekitarnya. Komplikasi pengobatan (akibat
transfusi) yaitu penumpukan besi pada organ jantung
(kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi,
khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat
transfusi seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat
dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi
hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan
besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi
karena hanya sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan

34
besi dalam jaringan dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat
mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman.
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang
diberikan. Desferoksamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Deferipron terutama menyebabkan neutropenia,
gangguan fungsi hati, dan ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati
dan ginjal.
2. Komplikasi pada jantung
Gejala yang timbul dapat berupa nyeri dada dan palpitasi, aritmia,
dan tanda-tanda gagal jantung secara umum. Perlu disingkirkan
kemungkian etiologi penyakit jantung yang berasal akibat penyakit lain
terkait thalassemia seperti hipotiroid, hipokalsemia, diabetes yang tidak
terkontrol, infeksi akut, trombosis, dan hipertensi pulmoner. Tata laksana
komplikasi jantung adalah dengan pemberian kelasi besi secara intensif
dengan menaikan dosis, pemakaian obat antigagal jantung, dan
antiaritmia. Transfusi dilakukan dengan kecepatan yang lebih lambat,
target Hb pratransfusi sekitar 10 g/dL, dan selama transfusi perlu
memperhatikan tanda-tanda overload cairan.
3. Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus,
osteoporosis, osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan
infertilitas. Klinisi hendaknya memahami bagaimana thalassemia
menyebabkan komplikasi endokrin sehingga dapat mengupayakan tumbuh
kembang optimal, termasuk perkembangan pubertas dan fertilitas,
mencegah komplikasi diabetes, tiroid, dan paratiroid terkait thalassemia,
serta menangani gangguan endokrin secara efektif dan benar.
4. Komplikasi pada hati

35
Komplikasi hati umum terjadi pada thalassemia karena risiko
tinggi transmisi virus dari transfusi darah, toksisitas besi pada parenkim
hati, sistem bilier, dan toksisitas obat kelasi besi.
5. Komplikasi pada sistem muskuloskeletal
Pasien yang tidak mendapatkan transfusi secara adekuat akan
mengalami deformitas tulang terutama pada tulang kepala dan tulang
wajah, maloklusi gigi, dan sinusitis rekuren (akibat drainase inadekuat).
Penanganan masalah ini dilakukan bersama dengan departemen THT serta
departemen gigi dan mulut. Transfusi yang adekuat dapat mencegah
deformitas tulang ireversibel akibat ekspansi sumsum tulang.
Kemungkinan lain masalah pada tulang berkaitan dengan kelasi besi
desferoksamin. Tanda-tanda yang perlu dicurigai adalah nyeri tulang atau
perawakan pendek. Lesi tulang berupa displasia kartilago terjadi pada
tulang panjang dan tulang belakang, sehingga tulang belakang tampak
pendek dan memberikan gambaran pseudorikets. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar kalsium, fosfat, alkalin
fosfatase, dan 25-hidroksi vitamin D darah. Pemeriksaan pencitraan seperti
MRI tulang belakang dan bone mineral density (BMD) dapat dilakukan
untuk pasien dengan keluhan nyeri tulang.

3.2. Anemia Hemolitik Autoimun


3.2.1. Definisi
Anemia hemolitik imun merupakan suatu kelainan dimana terdapat
antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga eritrosit mudah lisis dan umur
eritrosit memendek. Meskipun umur eritrosit pada orang dewasa berkisar
120 hari Namun disepakati bahwa umur eritrosit memendek adalah kurang
dari 100 hari jadi untuk timbulnya AIHA diperlukan adanya antibodi dan
proses destruksi eritrosit.5

3.2.2. Epidemiologi

36
Dilaporkan insiden anemia hemolitik imun sebesar
0,8/100.000/tahun dan prevalensinya sebesar 17/100.000.

3.2.3. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas
kemungkinan terjadi karena gangguan Central tolerance dan gangguan
pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.5

3.2.4. Patogenesis
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi terjadi
melalui aktivitas sistem komplemen aktivasi mekanisme atau kombinasi
keduanya.
Aktivasi sistem komplemen secara keseluruhan aktivasi sistem ini
akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah
hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan hemoglobin anemia dan
hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik
ataupun jalur alternatif. Antibodi antibodi yang memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. Imunoglobulin
M disebut juga aglutinin tipe dingin, sebaab antibodi ini berikatan dengan
antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu dibawah
suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.5

3.2.5. Gejala dan tanda


Lemas, mudah capek, sesak nafas adalah gejala yang sering
dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering
dilihat adalah konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan,
splenomegali, urine berwarna merah gelap, tanda laboratorium yang
dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan laktat
dehidrogenase, peningkatan serum haptoglobulin dan direct antiglobulin
test menunjukkan hasil positif.5

37
3.2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai
adanya rasa lelah mudah mengantuk sesak nafas cepatnya berlangsungan
gejala riwayat pemakaian obat riwayat sakit sebelumnya pemeriksaan fisik
didapatkan pucat, ikterik, splenomegali dan hemoglobinuria. pemeriksaan
fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang
mendasari pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar
hemoglobin yang rendah, MCV normal atau meningkay, bilirubin indirect
meningkat, LDH meningkat, dan retikulositosis,. Morfologi darah tepi
menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit.5

38
BAB IV
ANALISIS KASUS

Penegakkan diagnosis Thalassemia Beta Mayor dengan AIHA pada pasien


ini didapat dari data identifikasi pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Thalassemia merupakan sekelompok kelainan darah yang ditandai dengan
penurunan atau ketidakhadiran dari sintesis rantai globin normal. Berdasarkan
rantai yang sintesisnya terganggu, thalassemia dibagi menjadi thalassemia alfa
dan thalassemia beta.6 Thalassemia dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuandan terjadi pada sekitar 4,4 dari 10.000 kelahiran hidup.9 Penegakkan
diagnosis thalassemia dapat dilakukan melalui gambaran manifestasi dari
perjalanan penyakit berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pada anamnesis, ditemukan gejala umum anemia yaitu lesu, cepat lelah,
sakit kepala, pusing, mata berkunang-kunang.10 Anemia pada pasien ini terjadi
karena terdapat defisiensi atau absensi sintesis rantai globin beta, yang mengarah
ke rantai alfa yang berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai globin
lainnya, dan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsung tulang
dan dan sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan
gangguan pematangan prekursor eritroid eritropoiesis yang tidak efektif, sehingga
umur eritrosit menjadi pendek. Anemia ini lebih lanjut akan menjadi pendorong
(drive) proliferasi eritroid yang terus menerus dalam sumsum tulang yang
inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang.1
Pada pemeriksaan fisik pasien thalassemia beta mayor, terdapat
pembesaran hepar (hepatomegali) karena terjadi proses hematopoiesis
ekstrameduler dan hemolisis dari RBC. Selain itu, terdapat juga pembesaran lien
(splenomegali) yang disebabkan oleh kompensasi dari tingginya kadar Hb F yang
menyebabkan produksi eritropoetin meningkat akibat dari hipoksia jaringan.
Tingginya kadar eritropoetin yang dibentuk menyebabkan terjadinya hemopoesis
ekstrameduler.9

39
Pada thalassemia beta mayor, didapatkan penurunan kadar hemoglobin.
Penurunan kadar hemoglobin disebabkan oleh produksi hemoglobin yang normal
tertekan akibat defek sintesis satu atau lebih rantai globin. Pada anemia hemolitik,
terdapat peningkatan kadar bilirubin indirek karena adanya destruksi berlebih dari
eritrosit. Untuk membedakan ikterik pada anemia hemolitik dan hepatitis, dapat
dilihat dari kadar SGOT dan SGPT. Pada penderita dilakukan electrophoesis Hb
dan didapatkan kesan thalassemia beta mayor belum dapat disingkirkan, dan hasil
dari gambaran darah tepi yang menunjukkan adanya anemia hemolitik pada
penderita. Dari pemeriksaan coomb test direk dan indirek juga didapatkan hasil +,
yang bermakna bahwa menunjukkan adanya anemia hemolitik autoimun.
Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun. Keluhan
utama yang diungkapkan pasien adalah badan yang lemas sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Dalam riwayat perjalanan penyakit pasien yang perlu
ditekankan adalah keluhan badan lemas, mudah lelah bila beraktivitas yang
merupakan gejala umum anemia. Sekitar 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
pasien melakukan transfusi darah sebanyak 7 kantong tetapi keluhan tidak
berkurang.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit ringan
dengan nadi dalam rentang normal. Pada pemeriksaan mata didapatkan gambaran
konjungtiva palpebra pucat pada kedua mata, facies cooley (+). Pada palpasi
abdomen, didapatkan hepar teraba 4 jari di bawah arcus costae dengan permukaan
licin dan konsistensi kenyal, lien teraba Schuffner IV. Pada pemeriksaan
ekstremitas, didapatkan palmar pucat (+) dan akral pucat (+) pada kedua
ekstremitas atas dan bawah. Dari pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan tanda-
tanda anemia berupa konjungtiva palpebra pucat, palmar pucat, dan akral pucat.
Selain itu, didapatkan juga tanda-tanda anemia hemolitik autoimun (AIHA)
berupa badan kuning, hepatomegali, dan splenomegali.
Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, didapatkan nilai Hb rendah (2,6 g/dL), eritrosit menurun
(1,31x106/mm3), hematokrit menurun (10%), leukosit menurun (4,1x103/mm3),
trombosit menurun (51x103/mm3), diff. count (0/0/34/40/8). Dari hasil hitung

40
MCV (67,3 fl) dan MCH (21 pg) didapatkan morfologi sel darah merah anemia
hipokrom mikrositer. Pada pemeriksaan didapatkan nilai bilirubin total 6,90
mg/dL, bilirubin indirek 2,50 mg/dL, dan bilirubin direk 4,40 mg/dL. Pada pasien
ini didapatkan penunjang untuk diagnosis anemia berupa penurunan hemoglobin,
penurunan eritrosit, dan penurunan hematokrit. Selain itu, didapatkan juga
penunjang adanya suatu proses hemolitik berupa peningkatan nilai bilirubin total,
bilirubin indirek, dan bilirubin direk. Dari hasil pemeriksaan kimia hati, bilirubin
indirek meningkat lebih dari bilirubin direk dan tidak ada peningkatan nilai SGOT
SGPT yang menandakan peningkatan bilirubin ini akibat dari gangguan
prehepatik, yaitu proses hemolitik.
Baik anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium secara
umum maupun spesifik, keluhan pasien mengarah kepada manifestasi klinis dari
thalassemia β mayor. Pada anamnesis didapatkan tanda-tanda anemia berupa
badan lemas dan mudah lelah dengan riwayat transfusi karena anemia. Pada
pemeriksaan fisik mata didapatkan konjungtiva palpebra pucat, pada abdomen
didapatkan hepatosplenomegali. Sesuai dengan teori, pada thalassemia β mayor
tampilan klinis pasien lemas dan mudah lelah dan ditemukan hepatosplenomegali.
Dari pembahasan diatas maka disimpulkan bahwa pasien ini menderita
penyakit thalassemia beta mayor dengan AIHA. Pada penderita telah dilakukan
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian transfusi darah secara rutin,
pemberian kelasi besi, dan suplemen asam folat. Pasien diberikan tranfusi darah
meraha secara rutin dikarenakan sifat thalassemia yang merupakan anemia
hemolitik, sehingga pada waktu tertentu, eritrosit penderita akan hancur sehingga
hb akan menurun, dan pasien menjadi anemis. Kemudian pemberian kelasi besi
bertujuan untuk mencegah penumpukan zat besi di dalam tubuh. Hemoglobin
dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein. Apabila melakukan
transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan penumpukan zat besi dalam
darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk
mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang
kelebihan zat besi dari tubuh. Lalu pemberian asam folat adalah vitamin B yang
dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini

41
harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi
besi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Atinakusuma, D., dan Setyaningsih, I. 2014. Dasar-Dasar Thalassemia:


Salah Satu Jenis Hemoglobinopati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Keenam.
2. Tari, K., Ardalan, P.V., Abbaszadehdibavar, M., Atashi, A., Jalali, A.,
Gheidishahran. 2018. Thalassemia an Update: Molecularbasis Clinical
Features and Treatment. Internatioanl Journal of Biomedicine and Public
Health.
3. Angastiniotis, M., and Lobitz, S. 2018. Thalassemia: an Overview.
International Journal of Neonatal Screening.
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Thalassemia.
5. Hariadi, K.W.T., dan Pardjono, E. 2014. Anemia Hemolitik Imun. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam.
6. Cappellini, A. Cohen, J. Porter, A. Taher, dan V. Viprakasit. 2014.
Guidelines for The Management of Transfusion Dependent Thalassaemia
(TDT) 3rd Edition. Thalassaemia International Federation TIF Publication
No. 20; Hal. 17.
7. Vanichsetakul, P., 2011. Thalassemia:Detection, Management, Prevention
& Curative Treatment. The Bangkok Medical Journal. 113-118.
8. Wahidiyat, P. A., 2012. Thalassaemia in Indonesia. Bangkok:Thalassaemia
International Federation.
9. Herbert, L., J.R. Muncie, dan J.S. Campbell. 2009. Alpha and Beta
Thalassemia. Louisiana State University Health Sciences Center, New
Orleans, Louisiana; Hal. 1.
10. Hoffbrand, A.V. 2013. Kelainan Hemoglobin yang Bersifat Genetik dalam
Buku Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai