Oleh :
Karisya Tri Andini, S.Ked 04054821719122
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034
Pembimbing :
dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An KAKV
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” untuk memenuhi tugas referat yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Fredi Heru, Sp.An. KAKV, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.
Penulis
Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi
Karisya Tri Andini1, Masayu Shavira R S2, Liaw Yin Jin3, Fredi Heru4
E-mail: anestesi56@yahoo.com
Abstrak
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang ada atau berpotensi terjadi. Nyeri pascaoperasi
merupakan respon normal terhadap intervensi bedah dan menjadi penyebab pemulihan tertunda
pada pasien pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang tidak diobati dapat mengurangi kepuasan
pasien serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Perawatan tidak adekuat nyeri pasca operasi
menjadi hal penting, tidak hanya menyebabkan hasil yang lebih buruk pascaoperasi tetapi juga
meningkatkan risiko nyeri pascaoperasi yang persisten. Penatalaksanaan nyeri yang tepat
dibutuhkan untuk menekan rasa nyeri dan mencegah berbagai dampak negatif yang
ditimbulkannya. Obat yang terutama digunakan sebagai analgetik adalah analgetik opioid,
nonopioid, serta antagonis dan agonis-antagonis opioid.
Karisya Tri Andini1, Masayu Shavira R S2, Liaw Yin Jin3, Fredi Heru4
E-mail: anestesi56@yahoo.com
_______________________________________________________________________________
Abstract
Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with existing or potential tissue
damage. Postoperative pain is a normal response to surgical intervention and leads to delayed
recovery in postoperative patients. Untreated postoperative pain can reduce patient satisfaction and
increase morbidity and mortality. Inadequate post-operative pain treatment is important, not only
leads to worse postoperative outcomes but also increases the risk of persistent postoperative pain.
Appropriate pain management is needed to suppress pain and prevent the negative effects it
causes. Drugs used primarily as analgesics are analgesic opioids, nonopioids, and antagonists and
opioid antagonists.
PATOFISIOLOGI NYERI
Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut
mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor.
Nosiseptor adalah saraf aferen primer yang menerima dan menyalurkan
rangsangan nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor
yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang
menimbulkan nyeri. Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh, dengan
jumlah terbesar pada kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka,
dan sendi. Reseptor nyeri di viscera tidak terdapat di parenkim organ internal,
tetapi terdapat di permukaan peritoneum, membran pleura, duramater, dan dinding
pembuluh darah.2,6
Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan yakni neuro
aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion simpatis.
Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen yang membawa
impuls dari medulla spinalis ke jaringan dan organ efektor. Badan sel dari neuron
aferen primer terletak di akar dorsal (posterior) nervus spinalis. Setelah keluar dari
badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi
dua prosesus yakni satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan yang lain
mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan
ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran (Gambar 1). Serat aferen A-
alfa (A-α) dan A-beta (A-β) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki
kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespons terhadap sentuhan, tekanan,
dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak berespons terhadap rangsangan
yang mengganggu sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Sebaliknya, serat aferen primer A-delta (A-δ) yang bergaris tengah kecil dan
sedikit bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons
secara maksimal hanya apabila lapangan reseptif mereka mendapat rangsangan
nyeri yang mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Impuls
nyeri disallurkan secara relatif lambat dibandingkan dengan transmisi sensorik di
serat A-α dan A-β yang besar karena garis tengahnya yang kecil dan tidak
memiliki serat mielin (serat A-C).2,6
Gambar 1. Komponen suatu saraf perifer kulit tipikal. Aferen primer mencakup (1) serat A-alfa
(A-α) dan A-beta (A-β) yang besar dan bermielin (tidak diperlihatkan) serta membawa impuls
yang memerantai sentuhan, tekanan, dan propriosepsi dan (2) serat A-delta (A-δ) yang kecil
bermielin dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls nyeri. Aferen-aferen primer ini
menyatu di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke Zona Lissauer. Serat pascaganglion
simpatis adalah serat eferen, dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.2
Aferen primer C dan A-δ dapat dibedakan oleh dua tipe nyeri yang
ditimbulkan, yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat
disalurkan ke medulla spinalis oleh serat A-δ dan dirasakan dalam waktu 0,1
detik. Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas
menusuk, tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap
rangsangan mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit
tetapi tidak dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam. Nyeri lambat disalurkan
oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu.
Nyeri lambat memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan dengan kualitas seperti
terbakar, berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan
mekanis, suhu, atau kumiawi di kulit atau sebagian besar jaringan atau organ
dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena sistem persarafan nyeri
yang ganda ini, maka cidera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang
tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-δ) diikuti oleh
nyeri tumpul, seperti terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan
oleh serat nyeri C).2,6
Antara stimulus cidera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat
empat proses tersendiri yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi melibatkan proses penyaluran impuls
nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke
otak. Modulasi melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas
di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi adalah pengalaman subjektif nyeri yang
bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.2,6
Transduksi adalah suatu proses rangsangan yang mengganggu menyebabkan
depolarisasi nosiseptor dan memicu stimulis nyeri. Salah satu kemungkinan
mekanisma transduksi adalah pengaktifan nosiseptor oleh zat-zat kimia penghasil
nyeri yang dibebaskan di tempat cidera jaringan (Gambar 2).2,6
Gambar 2. Mekanisme pengaktifan dan sensitisasi nosiseptor di daerag cidera jaringan. A.
Pengaktifan langsung dengan tekanan intensif yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel
menyebabkan dibebaskannya kalium (K+) intrasel dan sintesis prostaglandin (PG) dan bradikinin
(BK). Prostahlandin meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri terhadap bradikinin, yaitu zat kimia
pengahasil nyeri yang paling kuat. B. pengaktifan sekunder. Impuls yang dihasilkan di reseptor
nyeri disalurkan tidak saja ke medulla spinalis tetapi juga ke cabang-cabang terminal lain, tempat
impuls tersebut menyebabkan pelepasan substansi P (SP) dan peptide lain. Zat P menyebabkan
vasodilatasi dan edema neurogenik disertai pelepasan lebih lanjut bradikinin; zat ini juga
menyebabkan pelepasan histamin (H) dasi sel mast dan serotonin (5-HT) dari trombosit.2
Cara awitan adalah faktor penting untuk menilai nyeri. Nyeri yang memiliki
awitan mendadak dan hampir langsung mencapai puncak intensitas menunjukan
ruptur jaringan. Faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri penting dalam
memberikan data mengenai mekanisme nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan
bernafas, menelan, atau defekasi menyebabkan perhatian terfokus pada sistem
pernafasan, esofagus, dan usus bagian bawah.2
PENATALAKSANAAN NYERI
Pendekatan Farmakologik
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek berlebihan dosis narkotik yang paling
serius adalah depresi pernafasan dan sedasi. Obat opioid lain adalah kombinasi
agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan butorfanol. Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala
putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan
tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan seperti depresi pernafasan dibandingkan dengan agonis opioid murni.2
Analgesia Opoid
Opoid saat ini adalah analgesik paling kuat tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan
patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin
(dari morpheus, kata Yunani untuk dewa impian) adalah suatu alkaloid yang
berasal dari getah tumbuhan poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan
sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif, dan euforik. Morfin
adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.2
Efek opiod dapat bergantung pada tipe reseptor yang diikat. Telah cukup
banyak yang diketahui tentang tiga tipe reseptor opiod yakni reseptor μ, Δ, Κ.
Tipe reseptor yang paling penting untuk analgetik klinis disebut resptor μ, karna
afinitasnya terhadap morfin. Banyak obat dari golongan morfin adalah agonis μ,
walaupun potensinya berbeda-beda. Pengetahuan tentang dosis ekuianalgesik obat
opiod bermanfaat dalam mengganti obat atau cara pemberian.
Obat-obat golongan opiod memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernapasan, mual dan muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opiod berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi
untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opiod tertentu
terbentuk apabila opoid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada
terapi kanker, walaupun terdapat toleransi-silang yang cukup luas di antara obat-
obat opoid, hal tersebut tidaklah komplet. Karakteristik ini menjadi dasar teoritis
untuk mengganti suatu obat opoid yang sudah tidak efektif lagi dengan opoid lain.
Karena toleransi –silang yang tidak sempurna, ASA Task Force
merekomendasikan bahwa apabila terbentuk toleransi terhadap suatu opoid, maka
perhitungan dosis ekuianalgesik opioid lain harus dikurangi 25% sampai 50%.
Petunjuk yang sama menspesifikasi bahwa dosis substitusi metadon harus
dikurangi 75%. Ketergantungan fisik adalah juga suatu proses fisiologik yang
ditandai dengan timbulnya gejala-gejala putus-obat setelah pengehentian
mendadak suatu obat opoid atau setelah pemberian antagonis.Sindrom putus obat
ini diperkirakan disebabkan oleh aktifitas cerminan noradrenergik di SSP yang
tertekan selama pemberian opioid jangka panjang. Adiksi, atau ketergantungan
psikologik, mengacu kepada sindrom perilaku menimbun obat dan peningkatan
dosis tanpa pengawasan. Kita perlu membedakan antara toleransi, ketergantungan,
dan adiksi, karena bukti-bukti mengisyaratkan bahwa pasien sering mendapat obat
nyeri kurang dari seharusnya (undermediation) karena ketakutan yang berlebihan
(baik oleh petugas maupun pasien) akan terjadinya ketergantungan pada pasien.
Kekhawatiaran ini tidak beralasan kerana adiksi sangat jarang terjadi apabila
opioid digunakan untuk mengobati pasien yang menderita nyeri. Pelu diingati
bahwa kebutuhan dosis analgetik setiap pasien berbeda-beda dan dosis harus
dititrasi secara individu. Selama tahun-tahun terakhir, telah dicapai banyak
kemajuan dalam metode-metode pemberian opioid yang membantu
menghilangkan nyeri.2
Salah satu kemajuan dalam metode pemberian opioid adalah “pemberian
terus-menerus”. Dan bukan “dosis sesuai keperluan”. PRN (pasien perlu meminta
obat dari perawat). Pemberian obat secara terus-menerus memiliki keunggulan
berupa kadar anagetik dalam darah yang konstan dan mencegah timbulnya nyeri
yang hebat, yang lebih sulit diatasi apabila telah terjadi. Karena cara terbaik untuk
mengatasi nyeri adalah dengan mencegahnya, dikembangkan sistem analgesia
yang dikendalikan oleh pasien (PCA). Sesuai yang disyaratkan ooleh namanya,
perangkat PCA menyalurkan morfin (atau opioid lain) dalam dosis yang sudah
ditentukan melaui selang intravena (IV) tetap saat pasien menekan suatu tombol.
Alat ini berisi obat dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien
selama 12-24 jam dan biasanya diprogram sehingga terdapat minimal jedah waktu
15-30 menit diantara dua dosis. Alat PCA paling sering digunakan untuk
mengendalikan nyeri pasca operasi dan nyeri kanker. Sebagian dari keunggulan
PCA adalah mengatasi nyeri secara lebih baik dengan dosis yang lebih rendah,
sedasi yang lebih rendah, semakin singkatnya penundaan antara kebutuhan akan
analgesia dan hilangnya nyeri. Pemberian opioid dan anastetik lokal melalui
neural aksis (disebut hantaran obat neuroaksial) menyalurkan obat secara
langsung di reseptor. Rute pemberian adalah ke ruang epidura, subarakhnoid, dan
intraventrikel. Pemberian obat epidural dan subarakhnoid dapat dilakukan dengan
kateterisasi perkutis, reservoir, atau implantasi sebuat kateter dan pompa.
Keunggulan sistem penyaluran neural langsung ini adalah bahwa sistem ini tidak
bergantung pada penyerapan sistemik, menghasilkan analgesia dengan efek
samping lebih sedikit dibandingkan obat yang diberikan secara sistemis, dan
memerlukan dosis yang lebih kecil.2
KESIMPULAN
Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi dalam
tubuh. Menurut International Association for Study of Pain, nyeri adalah
pengalaman sensoris dan motoris yang tidak menyenangkan sehubungan dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
dua yakni nyeri nosiseptik dan nyeri non nosiseptik. Nyeri nosiseptik dibagi
menjadi nyeri somatik dan visceral sedangkan nyeri non nosiseptik dibagi menjadi
nyeri neurogenik dan nyeri psikogenik. Antar stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri yakni transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Penilaian nyeri merupakan elemen yang
penting untuk menentukan terapi nyeri pasca pembedahan. Skala penilaian nyeri
dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Terdapat beberapa
skala penilaian pada pasien seperti Wong Baker Faces, Pain Rating Scale, Verbal
Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan Verbal Analog Scale. Tatalaksana
nyeri yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga
penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi dan
nonfarmakoterapi.
DAFTAR PUSTAKA