Anda di halaman 1dari 26

Referat

TATALAKSANA NYERI PASCA OPERASI

Oleh :
Karisya Tri Andini, S.Ked 04054821719122
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034

Pembimbing :
dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An KAKV

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Sebuah Referat yang berjudul “Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” telah


dipresentasikan oleh:

Nama / NIM : 1. Karisya Tri Andini, S. Ked 04054821719122


2. Masayu Shavira R S, S.Ked 04084821820034
3. Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Tanggal : Mei 2018
Dosen pembimbing : dr. Fredi Heru, Sp.An. KAKV

Sebagai syarat ilmiah Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif FK


Unsri.

Palembang, Mei 2018


Pembimbing

dr. Fredi Heru, Sp.An, KAKV


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” untuk memenuhi tugas referat yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Fredi Heru, Sp.An. KAKV, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, Mei 2018

Penulis
Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi

Karisya Tri Andini1, Masayu Shavira R S2, Liaw Yin Jin3, Fredi Heru4

1. Program Profesi Dokter Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan,


Indonesia
2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya,
Sumatera Selatan, Indonesia

E-mail: anestesi56@yahoo.com

Abstrak

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang ada atau berpotensi terjadi. Nyeri pascaoperasi
merupakan respon normal terhadap intervensi bedah dan menjadi penyebab pemulihan tertunda
pada pasien pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang tidak diobati dapat mengurangi kepuasan
pasien serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Perawatan tidak adekuat nyeri pasca operasi
menjadi hal penting, tidak hanya menyebabkan hasil yang lebih buruk pascaoperasi tetapi juga
meningkatkan risiko nyeri pascaoperasi yang persisten. Penatalaksanaan nyeri yang tepat
dibutuhkan untuk menekan rasa nyeri dan mencegah berbagai dampak negatif yang
ditimbulkannya. Obat yang terutama digunakan sebagai analgetik adalah analgetik opioid,
nonopioid, serta antagonis dan agonis-antagonis opioid.

Kata kunci : Nyeri, pascaoperasi, analgetik


Management of Post-Surgical Pain

Karisya Tri Andini1, Masayu Shavira R S2, Liaw Yin Jin3, Fredi Heru4

1. Medical Faculty of Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

2. Anesthesiology dan Intensive Therapy Department, Medical Faculty of Universitas


Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

E-mail: anestesi56@yahoo.com

_______________________________________________________________________________

Abstract
Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with existing or potential tissue
damage. Postoperative pain is a normal response to surgical intervention and leads to delayed
recovery in postoperative patients. Untreated postoperative pain can reduce patient satisfaction and
increase morbidity and mortality. Inadequate post-operative pain treatment is important, not only
leads to worse postoperative outcomes but also increases the risk of persistent postoperative pain.
Appropriate pain management is needed to suppress pain and prevent the negative effects it
causes. Drugs used primarily as analgesics are analgesic opioids, nonopioids, and antagonists and
opioid antagonists.

Keywords: Pain, postoperative, analgetic


LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sesungguhnya
maupun potensi kerusakan jaringan.1 Setiap orang pasti mengalami dan
merasakan nyeri selama perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri kualitas dan
kuantitasnya berbeda dari satu orang ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri,
waktu, dan penyebab.1
Operasi merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri kronis.
Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 5130 pasien pasca operasi dan trauma,
sebanyak 22,5% pasien mengalami nyeri pasca operasi. Salah satu jenis tindakan
operasi yang paling sering menimbulkan terjadinya nyeri kronis pasca operasi
adalah tindakan amputasi dengan insiden sebesar 85% diikuti dengan tindakan
operasi di regio thoraks sebesar 65% dan regio jantung sebesar 55%.3
Nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisis yang
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Nyeri juga merupakan salah satu reaksi
dari radang. Rangsangan tersebut memacu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut
mediator nyeri. Mediator yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf
bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Lalu rangsangan tersebut disalurkan ke
otak, dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri.1
Rasa nyeri akan disertai respon stres yang antara lain berupa
meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas.2
Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara adekuat, memicu respon stres
yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan
menurunkan fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme,
pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk
kualitas kesehatan. Oleh karena itu, penatalaksaan nyeri yang tepat dibutuhkan
untuk menekan rasa nyeri dan mencegah berbagai dampak negatif yang
ditimbulkannya. Obat-obatan yang terutama digunakan sebagai analgesik atau
penghilang nyeri adalah golongan analgesik opioid, nonopioid, serta antagonis
dan agonis-antagonis opioid.2
DEFINISI NYERI
Berdasarkan International Association for the Study of Pain nyeri
digambarkan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial terjadi
kerusakan jaringan.1 Pada sebagian besar pasien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh
suatu cedera atau rangsangan yang yang cukup kuat yang berpotensi
mencederai.1,2 Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri
seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P
yang akan mengakibatkan respon nyeri.3 Nyeri adalah sensasi tidak
menyenangkan sebagai respon dari luka baik secara fisik maupun fisiologi.
Respon nyeri di transmisikan dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat dan
diatur dari pusat yang lebih tinggi.3
Nyeri memiliki fungsi protektif, memicu respons terhadap stres berupa
penarikan, melarikan diri, atau imobilisasi bagian tubuh. Namun apabila fungsi
protektif ini berakhir, nyeri yang berlanjut dapat melemahkan pasien karena sering
disertai oleh suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung,
tekanan darah, dan laju pernafasan.1,2
Nyeri bersifat subjektif sehingga respon tiap individu berbeda. Walaupun
merupakan pengalaman subjektif dengan komponen sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan, nyeri memperlihatkan beberapa bukti objektif. Mengamati
ekspresi wajah pasien, mendengarkan tangisan atau erangan, memperhatikan
tanda-tanda vital seperti denyut jantung, tekanan darah, laju pernafasan dapat
memberikan petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien.2
Umumnya nyeri dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu nyeri
nosiseptif dan nyeri neuropatik.4 Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang dimulai dari
teraktivasinya nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai akibat dari adanya stimulus kuat
baik mekanik, termal atau kimiawi.2 Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Nyeri nosiseptif terdiri dari
empat rangkaian proses yang terlibat yakni transduksi, modulasi, transmisi, dan
persepsi. Nyeri nosiseptif sering disebut sebagai nyeri akut. Ciri khas suatu nyeri
akut adalah selain ditandai dengan adanya kerusakan jaringan, yang akan diikuti
dengan proses inflamasi bersifat self-limited, artinya berlangsung singkat dan
segera menghilang seirama dengan penyembuhannya. Lazimnya berlangsung dari
beberapa hari sampai beberapa minggu. Jika nyerinya berlangsung lebih dari 3
bulan, disebut sebagai nyeri kronik.5

PATOFISIOLOGI NYERI
Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut
mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor.
Nosiseptor adalah saraf aferen primer yang menerima dan menyalurkan
rangsangan nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor
yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang
menimbulkan nyeri. Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh, dengan
jumlah terbesar pada kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka,
dan sendi. Reseptor nyeri di viscera tidak terdapat di parenkim organ internal,
tetapi terdapat di permukaan peritoneum, membran pleura, duramater, dan dinding
pembuluh darah.2,6
Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan yakni neuro
aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion simpatis.
Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen yang membawa
impuls dari medulla spinalis ke jaringan dan organ efektor. Badan sel dari neuron
aferen primer terletak di akar dorsal (posterior) nervus spinalis. Setelah keluar dari
badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi
dua prosesus yakni satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan yang lain
mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan
ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran (Gambar 1). Serat aferen A-
alfa (A-α) dan A-beta (A-β) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki
kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespons terhadap sentuhan, tekanan,
dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak berespons terhadap rangsangan
yang mengganggu sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Sebaliknya, serat aferen primer A-delta (A-δ) yang bergaris tengah kecil dan
sedikit bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons
secara maksimal hanya apabila lapangan reseptif mereka mendapat rangsangan
nyeri yang mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Impuls
nyeri disallurkan secara relatif lambat dibandingkan dengan transmisi sensorik di
serat A-α dan A-β yang besar karena garis tengahnya yang kecil dan tidak
memiliki serat mielin (serat A-C).2,6

Gambar 1. Komponen suatu saraf perifer kulit tipikal. Aferen primer mencakup (1) serat A-alfa
(A-α) dan A-beta (A-β) yang besar dan bermielin (tidak diperlihatkan) serta membawa impuls
yang memerantai sentuhan, tekanan, dan propriosepsi dan (2) serat A-delta (A-δ) yang kecil
bermielin dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls nyeri. Aferen-aferen primer ini
menyatu di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke Zona Lissauer. Serat pascaganglion
simpatis adalah serat eferen, dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.2

Aferen primer C dan A-δ dapat dibedakan oleh dua tipe nyeri yang
ditimbulkan, yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat
disalurkan ke medulla spinalis oleh serat A-δ dan dirasakan dalam waktu 0,1
detik. Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas
menusuk, tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap
rangsangan mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit
tetapi tidak dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam. Nyeri lambat disalurkan
oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu.
Nyeri lambat memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan dengan kualitas seperti
terbakar, berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan
mekanis, suhu, atau kumiawi di kulit atau sebagian besar jaringan atau organ
dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena sistem persarafan nyeri
yang ganda ini, maka cidera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang
tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-δ) diikuti oleh
nyeri tumpul, seperti terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan
oleh serat nyeri C).2,6
Antara stimulus cidera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat
empat proses tersendiri yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi melibatkan proses penyaluran impuls
nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke
otak. Modulasi melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas
di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi adalah pengalaman subjektif nyeri yang
bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.2,6
Transduksi adalah suatu proses rangsangan yang mengganggu menyebabkan
depolarisasi nosiseptor dan memicu stimulis nyeri. Salah satu kemungkinan
mekanisma transduksi adalah pengaktifan nosiseptor oleh zat-zat kimia penghasil
nyeri yang dibebaskan di tempat cidera jaringan (Gambar 2).2,6
Gambar 2. Mekanisme pengaktifan dan sensitisasi nosiseptor di daerag cidera jaringan. A.
Pengaktifan langsung dengan tekanan intensif yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel
menyebabkan dibebaskannya kalium (K+) intrasel dan sintesis prostaglandin (PG) dan bradikinin
(BK). Prostahlandin meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri terhadap bradikinin, yaitu zat kimia
pengahasil nyeri yang paling kuat. B. pengaktifan sekunder. Impuls yang dihasilkan di reseptor
nyeri disalurkan tidak saja ke medulla spinalis tetapi juga ke cabang-cabang terminal lain, tempat
impuls tersebut menyebabkan pelepasan substansi P (SP) dan peptide lain. Zat P menyebabkan
vasodilatasi dan edema neurogenik disertai pelepasan lebih lanjut bradikinin; zat ini juga
menyebabkan pelepasan histamin (H) dasi sel mast dan serotonin (5-HT) dari trombosit.2

Berbeda dengan sebagian besar reseptor sensorik lain di tubuh, reseptor


nyeri sangat sedikit atau sama sekali tidak beradaptasi. Pada kenyataannya,
dengan rangsangan yang mengganggu dan berkepanjangan, kerusakan jaringan,
atau peradangan, reseptor nyeri malah semakin peka, disebut hiperalgesia, disertai
penurunan ambang nyeri. Berbagai zat kimia ditemukan di daerah cidera dan
masing-masing memiliki kemampuan yang berlainan dalam merangsang
nosiseptor. Banyak dari zat kimia ini dibebaskan dari jaringan yang rusak (ion
kalium, histamin), oleh sel mast yang aktif (seperti stimulan nyeri yang kuat,
bradikinin), atau oleh sel T yang telah tersensitisasi dan makrofag aktif (berbagai
zat yang disebut sitokin, termasuk toksin, faktor nekrosis tumor [TNF]). Selama
proses inflamasi banyak zat kimia lain yang disintesi dan dibebaskan. Diantaranya
adalah metabolit-metabolit asam arakidonat, prostaglandin, dan leukotrien.
Keduanya diproduksi dalam jenjang reaksi kimia yang diawali dengan penguraian
enzimatik fosfolipid yang dibebaskan dari membran lapis-ganda lemak sel yang
rusak.2
Selain zat-zat yang dibebaskan dari sel yang rusak atau disintesis di tempat
cidera, nosiseptor itu sendiri mengeluarkan zat-zat kimia yang meningkatkan
kepekaan terhadap nyeri, termasuk zat P. Zat P adalah suatu neuropeptida yang
menyebabkan vosodilatasi, peningkatan aliran darah, edema disertai pembebasan
lebih lanjut bradikinin, pembebasan serotonin dari trombosit, dan pengeluaran
histamin dari sel mast.2
Aktivitas nosiseptor menimbulkan beberapa efek melalui serangkaian proses
kompleks, termasuk pemanjangan nyeri lama setelah stimulus berhenti serta
penyebaran bertahap hiperalgesia dan nyeri tekan. Obat yang menghambat zat-zat
kimia ini, seperti kortikosteroisteroid atau obat antiinflamasi nonsteroid (AINS;
misalnya, aspirin), yang mengurangi peradangan dan menghambat sintesis
prostaglandin, dapat mengurangi nyeri.2

JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT


Jalur Asendens
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
medula spinalis dorsal (Gbr. 52-3). Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda
dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis (posterior) medula spinalis.
Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu
dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina.
Dua dari lapisan ini (lamina II dan III), yang disebul substansia gelatinosa, sangat
penting dalam transmisi dan modulasi nyeri. Substansia gelatinosa dihipotesiskan
merupakan suatu tempat mekanisme gerbang yang dijelaskan dalam teori
pengendalian gerbang (lihat pembahasan selanjutnya).2,6
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuron-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior
dan kemudian menyatu di traktus spinotalamikus anterolateralis (dahulu disebut
traktus lateralis), yang naik ke talamus dan struktur otak lainnya. Dengan
demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontralateral sisi
tubuh tempat impuls tersebut berasal. Seperti adanya dua tipe nyeri yang
disalurkan oleh nosiseptor (nyeri cepat dan nyeri lambat), juga terdapat dua jalur
spinotalamikus sejajar yang menyalurkan impuls-impuls ini ke otak: traktus
neospinotalamikus dan traktus paleospinotalamikus.2,6
Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A-
 ke daerah talamus. Sistem ini terutama berakhir secara teratur di dalam nukleus
posterolateral ventralis hipotalamus. Nyeri disebut sensasi talamus karena
mungkin dibawa ke kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di talamus kemudian
memproyeksikan akson-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk
membawa impuls nyeri ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis.
Dipostulasikan bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik-diskriminatif
nyeri akut yang dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri.2,6
Traktus paleospinotalamikus, yang meruyalurkan impuls yang dimulai di
nosiseptor tipe C lambat- kronik, adalah suatu jalur multisinaps difus yang
membawa impuls ke formasio relikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus
parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus
sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena impuls paleospinotalamikus
disalurkan secara lebih lambat daripada impuls di traktus neospinotalamikus,
maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi
yang lokalisasinya samar. Sistem ini memengaruh ekspresi nyeri dalam hal
toleransi, perilaku, dan respons autonomy simpatis. Besar kemungkinannya
bahwa sensasi viseral disalurkan oleh sistem ini. Sistem ini sangat penting pada
nyeri kronik, dan memperantarai respons otonom terkait, perilaku emosional, dan
penurunan ambang yang sering terjadi. Dengan demikian, jalur
paleosinotalamikus disebut sebagai suatu sistem nosireseptor motivasional dan
memengaruhi.2,6 Perlu dicatat bahwa kedua traktus ini tidak menyalurkan impuls
nyeri secara eksklusif; sebagai contoh, traktus neospinotalamikus juga
menyalurkan sensasi sentuhan kasar dan tekanan.2,6
Jalur Desendens
Derah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi
persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional
persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons
rasional terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf
pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif.2,6
Jalur-jalur desendens serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke
bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri
yang datang melalui suatu mekanisme umpan-balik yang melibatkan substansia
gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Karenanya, jalur-jalur desendens dapat
memengaruhi impuls nyeri di tingkat spinal. Salah satu jalur desendens yang telah
diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik
adalah jalur yang mencakup tiga komponen berikut (Gbr. 52-4; Payne Gonzales,
1999; Guyton dan Hall, 2000):
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah 1 mengirim impuls ke nukleus rafe magnus
(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan
nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus di 2 ke bawah ke kolumna dorsalis
medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis.2,6

PENILAIAN KLINIS NYERI


Penatalaksanaan nyeri memerlukan penilaian dan usaha yang cermat untuk
memahami pengalaman nyeri pasien dan mengidentifikasi kausa sehingga kausa
tersebut dapat dihilangkan. Pertama dokter harus melakukan anamnesis teliti yang
mencakup data mengenai nyeri seperti tercantum di tabel 1.2
Tabel 1. Data Esensial yang Perlu Dikumpulkan untuk Menilai Nyeri 2

Karakteristik Nyeri Pertanyaan untuk Pasien


Lokasi Dimana terasa nyeri?
Apakah nyeri menyebar?
Apakah nyeri di permukaan atau di dalam?
Cara awitan Kapan nyeri dimulai? Apakah nyeri timbul
mendadak atau perlahan?
Apakah ada kejadian tertentu yang tampaknya
menimbulkan nyeri saat nyeri tersebut dimulai?
Pola (penentuan waktu, Kapan nyeri timbul (pagi, siang, malam)?
frekuensi, durasi) Seberapa sering nyeri timbul?
Apakah nyerinya terus menerus atau hilang timbul?
Seberapa lama nyeri menetap?
Faktor yang memperberat dan Apa yang kira-kira memicu nyeri?
memperingan Apa yang menyebabkan nyeri berkurang (misalnya
beristirahat, tidur, berganti posisi, makanan, atau
obat)?
Kualitas Seperti apa nyeri terasa (misalnya berdenyut, tumpul,
pegal, tajam seperti tertusuk, perih, seperti terbakar)?
Intensitas Seberapa hebat nyerinya (Minta pasien mengukur
nyeri menggunakan skala analog visual atau verbal
sebelum dan sesudah pengobatan)?
Gejala terkait Apakah ada masalah lain yang ditimbulkan oleh
nyeri (misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia)?
Efek pada gaya hidup Apakah nyeri mengganggu aktivitas anda di rumah,
pekerjaan, atau interaksi sosial normal?
Apakah nyeri mengganggu keseharian hidup anda
(misalnya makan, tidur, aktivitas seksual, menyetir)?
Metode untuk mengurangi Apa yang pernah dapat menolong mengurangi nyeri
nyeri anda?
Apa yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri
anda?
Pasien dapat menunjukkan lokasi nyeri dengan menunjuk bagian tubuh atau
menandakannya di gambar tubuh manusia. Perlu diketahui apakah nyeri bersifat
superfisial atau dalam. Nyeri dari lesi superfisial biasanya tidak menimbulkan
masalah karena penyebab dan akibat sudah jelas. Namun, lokasi yang tepat
menjadi sangat penting pada nyeri dalam yang beralih ke suatu dermatom saat
terdapat keterlibatan struktur somatik dalam atau viscera.2

Cara awitan adalah faktor penting untuk menilai nyeri. Nyeri yang memiliki
awitan mendadak dan hampir langsung mencapai puncak intensitas menunjukan
ruptur jaringan. Faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri penting dalam
memberikan data mengenai mekanisme nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan
bernafas, menelan, atau defekasi menyebabkan perhatian terfokus pada sistem
pernafasan, esofagus, dan usus bagian bawah.2

Kualitas nyeri dapat dinilai secara sederhana dengan meminta pasien


menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka sendiri (misalnya tumpul, berdenyut,
seperti terbakar). Pasien perlu ditanya mengenai gejala yang berkaitan dengan
nyeri. Respons autonom seperti mual dan muntah sering terjadi pada nyeri akut
yang parah. Pemeriksa harus menyediakan kesempatan yang luas untuk
membahas apa arti nyeri bagi pasien dengan menanyakan tentang dampak nyeri
pada gaya hidup. Perlu pula ditanyakan tentang metode terapi untuk mengobati
nyeri yang pernah dilakukan pasien dan efektivitasnya.2

Selain mengumpulkan data subjektif mengenai nyeri, pengamatan langsung


terhadap perilaku nonverbal dan verbal dapat memberikan petunjuk tambahan
mengenai pengalaman nyeri pasien. Perilaku nonverbal seperti wajah meringis,
menangis, ayunan langkah atau postur yang abnormal, ketegangan otot, dan
tindakan melindungi bagian tubuh yang nyeri merupakan indikator nyeri yang
sering dijumpai. Sinyal verbal dan emosional yang menandakan nyeri mencakup
menangis, mengerang, iritabilitas, ekspresi kemarahan atau kesedihan, dan
perubahan nada suara atau kelancaran bicara. Perilaku diatas dipengaruhi oleh
jenis kelamin dan budaya. Nyeri akut sering mengaktifkan respon simpatis yang
menyebabkan meningkatnya kecepatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan
darah, kepucatan, flushing, berkeringat, dan dilatasi pupil. Nyeri yang intens dan
sangat singkat juga dapat diikuti oleh respon parasimpatis rebound.2,3

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien, seperti:


1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.7

Gambar 4. Wong-baker faces pain rating scale

2. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin yakni tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.7

Gambar 5. Verbal rating scale (VRS)


3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka
5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.7

Gambar 6. Numerical rating scale.

4. Visual Analogue Scale (VAS)


Alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau
keparahan nyeri pasien. Skala ini pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun
1948 yang terdiri dari sebuah garis horizontal yang dibagi secara rata menjadi
sepuluh segmen dengan nomor 0 sampai 10. Pasien diberitahu bahwa 0
menyatakan “tidak ada nyeri sama sekali” dan 10 menyatakan “nyeri yang paling
parah yang dapat dibayangkan”. Pasien kemudian diminta untuk menandai angka
yang menurut mereka paling tepat dalam menjelaskan tingkat nyeri yang mereka
rasakan pada suatu waktu. VAS dimodifikasi yang digunakan pada anak atau
orang dewasa dengan gangguan kognitif dengan menggantikan angka dengan
kontinum wajah tersenyum sampai menangis. Berdasarkan VAS, maka nyeri
dibagi atas nyeri ringan dengan nilai VAS : < 4, nyeri sedang dengan nilai VAS :
4 -7, dan nyeri berat dengan nilai VAS : >7 (8-10).7
Gambar 7. Visual analog scale.

PENATALAKSANAAN NYERI

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri


sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yakni farmakologik dan nonfarmakologik. Untuk
mencapai tujuan meredakan nyeri pada pasien, dokter perlu menggunakan
pengetahuan tentang aspek-aspek neuropatofisiologi nyeri sebagai dasar untuk
melakukan berbagai intervensi, menilai nyeri secara rutin dengan menggunakan
instrumen yang sesuai baik sebelum maupun setelah pengobatan, menggunakan
berbagai metode penghilang nyeri secara farmakologis dan nonfarmakologis, dan
mencatat efektivitas berbagai intervensi untuk meredakan nyeri. Untuk melakukan
konsultasi pasien diperlukan perencanaan, dan dokter semampunya dapat
menciptakan suatu hubungan yang hangat, berempati, dan menimbulkan respek.2

Pendekatan Farmakologik

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.


Terdapat tiga kelompok obat nyeri yakni analgesik nonopioid, analgesik opioid,
dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Penatalaksanaan farmakologik dengan
obat-obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap.1,2

Analgesia Non Opioid : Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai


sedang menggunakan analgesik nonopioid. Tersedia bermacam-macam OAINS
dengan efek antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi dengan adanya perbedaan
dalam lama kerja, efek samping, dan harga. Asam asetilsalisilat dan ibuprofen
mungkin merupakan OAINS yang paling sering digunakan. OAINS sangat efektif
untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronis, dan
nyeri ringan akibat kanker.1,2

OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
terutama PGE1, PGE2, dan PGI2 mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara
sinergistis dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera seperti bradikinin
dan histamin yang menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS
mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer dengan
menghambat sintesis prostaglandin.1,2

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau


toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yakni peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Namun dosis puncak tertentu
tersebut (ceiling dose) mungkin lebih tinggi daripada dosis awal anjuran, dengan
demikian penambahan dosis dapat diterima. Penyulit tersering yang berkaitan
dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu
perdarahan (aspirin), penglihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan
berkurangnya fungsi ginjal.1,2

Pengembangan tipe OAINS baru yang lebih spesifik bergantung pada


pemahaman mengenai dua kelas siklooksigenase (COX) utama. Enzim golongan
ini membentuk salah satu dari beberapa jalur untuk metabolisme asam arakidonat,
yaitu produk pemecahan sel manusia yang rusak dan mati. Salah satu kelas, COX-
1, secara konstitusif diekspresikan dan diperlukan untuk fungsi fisiologik normal
di banyak sistem tubuh. Kelas kedua, COX-2, diinduksi oleh peradangan dan
bertanggung jawab menghasilkan berbagai hasil akhir peradangan yang
menimbulkan nyeri. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat
jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk
prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti
melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerolus di ginjal. Dengan demikian,
inhibitor COX-2 memperkecil efek samping iritasi lambung dan penurunan fungsi
ginjal, sekaligus menghasilkan efek antiinflamasi yang baik. Contoh inhibitor
COX-2 adalah celecoxib dan rofecoxib.1,2

Asetaminofen hampir sama efeknya dengan aspirin dalam sifat analgesik-


antipiretik. Namun asetaminofen kurang memiliki efek antiinflamasi, karena obat
ini merupakan inhibitor COX yang lemah apabila terdapat peroksida dalam
konsentrasi tinggi seperti yang dijumpai di jaringan perifer yang meradang.
Sebaliknya, asetaminofen memiliki kemampuan menghambat COX di otak,
tempat konsentrasi peroksida rendah sehingga obat ini memiliki efek antipiretik.
Keunggulan asetaminofen dibandingkan aspirin sebagai obat antipiretik dan
analgesik adalah obat ini tidak menimbulkan efek pada kardiovaskular atau
pernafasan dan tidak menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa, fungsi
trombosit, atau aktivitas COX-1 di lambung dan ginjal. Apabila asetaminofen
atau aspirin tidak efektif untuk menghilangkan nyeri, maka keduanya dapat
dikombinasikan dengan suatu narkotik lemah seperti oksikodon atau kodein agar
lebih efektif meredakan nyeri. Kekurangan utama asetaminofen adalah obat ini
dapat menyebabkan kerusakan hati fatal dalam dosis yang berlebihan.1,2

Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek berlebihan dosis narkotik yang paling
serius adalah depresi pernafasan dan sedasi. Obat opioid lain adalah kombinasi
agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan butorfanol. Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala
putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan
tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan seperti depresi pernafasan dibandingkan dengan agonis opioid murni.2

Analgesia Opoid

Opoid saat ini adalah analgesik paling kuat tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan
patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin
(dari morpheus, kata Yunani untuk dewa impian) adalah suatu alkaloid yang
berasal dari getah tumbuhan poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan
sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif, dan euforik. Morfin
adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.2

Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek


analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opoid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opiod endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opiod eksogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opoid endogen (endorfin-enkefalin) yaitu morfin memiliki efek agonis yakni
meningkatkan kerja reseptor. Dengan mengikat reseptor opiod di nuklues
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem descendens
yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medula spinalis, morfin juga
dapat menghambat transmisi impuls nosiseptor yang datang dengan mengikat
reseptor opiod di substansia gelatinosa.2

Efek opiod dapat bergantung pada tipe reseptor yang diikat. Telah cukup
banyak yang diketahui tentang tiga tipe reseptor opiod yakni reseptor μ, Δ, Κ.
Tipe reseptor yang paling penting untuk analgetik klinis disebut resptor μ, karna
afinitasnya terhadap morfin. Banyak obat dari golongan morfin adalah agonis μ,
walaupun potensinya berbeda-beda. Pengetahuan tentang dosis ekuianalgesik obat
opiod bermanfaat dalam mengganti obat atau cara pemberian.
Obat-obat golongan opiod memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernapasan, mual dan muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opiod berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi
untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opiod tertentu
terbentuk apabila opoid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada
terapi kanker, walaupun terdapat toleransi-silang yang cukup luas di antara obat-
obat opoid, hal tersebut tidaklah komplet. Karakteristik ini menjadi dasar teoritis
untuk mengganti suatu obat opoid yang sudah tidak efektif lagi dengan opoid lain.
Karena toleransi –silang yang tidak sempurna, ASA Task Force
merekomendasikan bahwa apabila terbentuk toleransi terhadap suatu opoid, maka
perhitungan dosis ekuianalgesik opioid lain harus dikurangi 25% sampai 50%.
Petunjuk yang sama menspesifikasi bahwa dosis substitusi metadon harus
dikurangi 75%. Ketergantungan fisik adalah juga suatu proses fisiologik yang
ditandai dengan timbulnya gejala-gejala putus-obat setelah pengehentian
mendadak suatu obat opoid atau setelah pemberian antagonis.Sindrom putus obat
ini diperkirakan disebabkan oleh aktifitas cerminan noradrenergik di SSP yang
tertekan selama pemberian opioid jangka panjang. Adiksi, atau ketergantungan
psikologik, mengacu kepada sindrom perilaku menimbun obat dan peningkatan
dosis tanpa pengawasan. Kita perlu membedakan antara toleransi, ketergantungan,
dan adiksi, karena bukti-bukti mengisyaratkan bahwa pasien sering mendapat obat
nyeri kurang dari seharusnya (undermediation) karena ketakutan yang berlebihan
(baik oleh petugas maupun pasien) akan terjadinya ketergantungan pada pasien.
Kekhawatiaran ini tidak beralasan kerana adiksi sangat jarang terjadi apabila
opioid digunakan untuk mengobati pasien yang menderita nyeri. Pelu diingati
bahwa kebutuhan dosis analgetik setiap pasien berbeda-beda dan dosis harus
dititrasi secara individu. Selama tahun-tahun terakhir, telah dicapai banyak
kemajuan dalam metode-metode pemberian opioid yang membantu
menghilangkan nyeri.2
Salah satu kemajuan dalam metode pemberian opioid adalah “pemberian
terus-menerus”. Dan bukan “dosis sesuai keperluan”. PRN (pasien perlu meminta
obat dari perawat). Pemberian obat secara terus-menerus memiliki keunggulan
berupa kadar anagetik dalam darah yang konstan dan mencegah timbulnya nyeri
yang hebat, yang lebih sulit diatasi apabila telah terjadi. Karena cara terbaik untuk
mengatasi nyeri adalah dengan mencegahnya, dikembangkan sistem analgesia
yang dikendalikan oleh pasien (PCA). Sesuai yang disyaratkan ooleh namanya,
perangkat PCA menyalurkan morfin (atau opioid lain) dalam dosis yang sudah
ditentukan melaui selang intravena (IV) tetap saat pasien menekan suatu tombol.
Alat ini berisi obat dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien
selama 12-24 jam dan biasanya diprogram sehingga terdapat minimal jedah waktu
15-30 menit diantara dua dosis. Alat PCA paling sering digunakan untuk
mengendalikan nyeri pasca operasi dan nyeri kanker. Sebagian dari keunggulan
PCA adalah mengatasi nyeri secara lebih baik dengan dosis yang lebih rendah,
sedasi yang lebih rendah, semakin singkatnya penundaan antara kebutuhan akan
analgesia dan hilangnya nyeri. Pemberian opioid dan anastetik lokal melalui
neural aksis (disebut hantaran obat neuroaksial) menyalurkan obat secara
langsung di reseptor. Rute pemberian adalah ke ruang epidura, subarakhnoid, dan
intraventrikel. Pemberian obat epidural dan subarakhnoid dapat dilakukan dengan
kateterisasi perkutis, reservoir, atau implantasi sebuat kateter dan pompa.
Keunggulan sistem penyaluran neural langsung ini adalah bahwa sistem ini tidak
bergantung pada penyerapan sistemik, menghasilkan analgesia dengan efek
samping lebih sedikit dibandingkan obat yang diberikan secara sistemis, dan
memerlukan dosis yang lebih kecil.2
KESIMPULAN

Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi dalam
tubuh. Menurut International Association for Study of Pain, nyeri adalah
pengalaman sensoris dan motoris yang tidak menyenangkan sehubungan dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
dua yakni nyeri nosiseptik dan nyeri non nosiseptik. Nyeri nosiseptik dibagi
menjadi nyeri somatik dan visceral sedangkan nyeri non nosiseptik dibagi menjadi
nyeri neurogenik dan nyeri psikogenik. Antar stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri yakni transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Penilaian nyeri merupakan elemen yang
penting untuk menentukan terapi nyeri pasca pembedahan. Skala penilaian nyeri
dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Terdapat beberapa
skala penilaian pada pasien seperti Wong Baker Faces, Pain Rating Scale, Verbal
Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan Verbal Analog Scale. Tatalaksana
nyeri yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga
penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi dan
nonfarmakoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lovich-Sapola, Jessica, Charles E. Smith, Christopher P. Brandt.


Postoperative Pain Control. 2015. Elsevier Inc: 1-18
2. Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. dalam Sylvia A Price & Lorraine M
Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. New York:
Elvesier Science;2003.p.1063
3. Krenzischek DA, Dunwoody CJ, Polomano RC, Rathmell JP.
Pharmacotherapy for acute pain: implications for practice. J Perianesth
Nurs. 2008;23:S28-S42. Abstract
4. Morgan GE, Mikhail SE, Murray MJ.Pain management. In Morgan GE,
Mikhail SE, Murray MJ editors. Clinical anesthesiology .4th ed.New
York.Mc Graw Hill;2006.p. 359-71
5. Eisenberg E, Borsook D, Lebell AA; Pain in the Terminally III. The
massachustts General Hospital Handbook of Pain Management. 1st ed.
Little Brown 1996.
6. Reddi, Danielle, Natasha Curran. Chronic Pain After Surgery:
Pathophysiology, Risk Factors And Prevention. 2014. London: Postgrad
Med J 90: 222-227
7. Hadinoto H, Setiawan, Soetedjo. Pengenalan dan Tatalaksana Nyeri.
Semarang: Universitas Diponegoro Press;1996; 1-20.

Anda mungkin juga menyukai

  • Case OMK
    Case OMK
    Dokumen57 halaman
    Case OMK
    esya putrri oktaregina
    Belum ada peringkat
  • Case CTS
    Case CTS
    Dokumen32 halaman
    Case CTS
    disanovellin
    Belum ada peringkat
  • TORAKS_PA
    TORAKS_PA
    Dokumen3 halaman
    TORAKS_PA
    esya putrri oktaregina
    Belum ada peringkat
  • Difteri
    Difteri
    Dokumen15 halaman
    Difteri
    esya putrri oktaregina
    Belum ada peringkat
  • Difteri
    Difteri
    Dokumen15 halaman
    Difteri
    esya putrri oktaregina
    Belum ada peringkat
  • Translate Esya
    Translate Esya
    Dokumen10 halaman
    Translate Esya
    esya putrri oktaregina
    Belum ada peringkat