Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

ANEMIA APLASTIK

Oleh :

Maulana Aqil Mubarak, S.Ked 04054821618115

Intan Fajrin Karimah, S.Ked 04084821618186

Pembimbing

Dr. Dian Puspita Sari, SpA(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN/FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

2016

1
2

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Anemia Aplastik

Oleh:

Maulana Aqil Mubarak, S.Ked


Intan Fajrin Karimah, S.Ked

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, November 2016

Pembimbing

dr. Dian Puspita Sari, SpA(K)


3

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini
dengan judul “Anemia Aplastik”.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Dian Puspita Sari, Sp.A, M.Kes selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan
laporan kasus ini.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa


laporan kasus ini masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan.
Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan laporan
kasus, penulis ucapkan banyak terimakasih.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga dapat berguna bagi kita
semua.

Palembang, November 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
4

DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN................................................................................. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 20
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau


konsentrasi hemoglobin di bawah nilai normal.1 Anemia didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan
nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah
merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis) atau kehilangan
darah berlebihan.2

Epidemiologi anemia bergantung pada jenis anemia itu sendiri. Perbedaan insidensi
ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat-obatan
yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidensi virus hepatitis yang
lebih tinggi.1 Menurut WHO pada tahun 2011 sebanyak 43.121 anak di bawah 5 tahun
mengalami anemia.3 Anemia aplastik adalah penyakit yang langka terjadi, dan hampir
setengah dari kejadian anemia ini terjadi pada tiga dekade pertama kehidupan. Insidensi
kejadian anemia ini pada negara barat adalah 2 : 1.000.000 kasus per tahun dan
meningkat 2-3x lebih banyak pada daerah Asia.4

Anemia aplastik adalah suatu kegagalan dari sumsum tulang belakang dalam
memproduksi komponen dari sel darah. Penyakit ini ditandai dengan anemia,
leukopenia, dan trombositopenia, serta hipoplasia sumsusm tulang. 1 Aplasia yang hanya
mengenai sisten eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik), yang hanya
mengenai system granulopoetik saja disebut agranulositosis (Penyakit Schultz),
sedangkan yang hanya mengenai system trombopetik disebut amegakariositik
trombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini.5

Etiologi dari anemia aplastik bisa faktor kongenital seperti anemia Fanconi, dan
juga faktor didapat yang bisa disebabkan oleh obat, bahan kimia, infeksi, radiasi,
ataupun idiopatik yang paling banyak dijumpai. Lebih dari 70% anak-anak menderita

anemia aplastik dengan deraja berat pada saat didiagnosis, hal ini mendorong   para

klinisi   untuk   dapat   melakukan   diagnosis   dan   tatalaksana   yang   tepat   pada   penderita

anemia aplastik.5

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan tatalaksana kasus anemia aplastik?

1.3 Tujuan Umum


Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan tatalaksana kasus anemia aplastik.

1.4 Tujuan Khusus


 Mengetahui definisi dan klasifikasi anemia
 Mengetahui gejala klinis dan tatalaksana pasien dengan anemia aplastik

1.5 Manfaat
 Menambah pengetahuan tentang anemia aplastik
 Dapat dijadikan sumber informasi referensi dalam diagnosis dan tatalaksana
kasus anemia aplastik.
BAB II

STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : FBS
b. Umur : 15 tahun 10 bulan (23 Desember 2000)
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Nama Ayah : Tn. S
e. Nama Ibu : Ny. Y
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Jl Dusun II Talang Cempedak No 6, Kel Jejawi Kec Jejawi
Kab Ogan Komering Ilir
i. Dikirim oleh : dr. Hadi
j. MRS Tanggal : 24 Oktober 2016

II. ANAMNESIS
Tanggal : Selasa, 25 Oktober 2016
Diberikan oleh : Ibu Penderita (Alloanamnesis)

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Keluhan utama : Pucat
2. Keluhan tambahan : Gusi Berdarah, benjolan di rahang bawah kiri,
sesak napas,
3. Riwayat perjalanan penyakit :
± 7 hari sebelum masuk rumah sakit, anak tampak pucat. Bagian bawah
kelopak mata, telapak tangan dan wajah pucat. Ketika beraktivitas, anak lebih
mudah lelah, tidak ada sesak napas. Selain itu, anak mengalami gusi berdarah
(+) ketika menyikat gigi, mimisan (-), BAB hitam (-), BAK normal seperti biasa,
mual (-), muntah (-), demam (-), penurunan nafsu makan (+), berat badan turun
(-), kuning (-), perut cembung (-), nyeri tulang (-), terdapat benjolan di rahang
bawah sebelah kanan, benjolan dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan,
konsistensi lunak, ukuran sebesar biji jagung. Kemudian anak dibawa ke bidan
dan diberikan vitamin penambah darah.
± 12 jam sebelum masuk rumah sakit, wajah, telapak tangan dan kelopak
mata bawah anak tampak semakin pucat dan anak tampak lemas, sesak napas
(+), gusi berdarah (+) dan sulit berhenti, lebam – lebam di tungkai (+), mimisan
(-), BAB hitam (-), BAK normal seperti biasa, mual (-), muntah (-), demam(-),
benjolan (+). Penderita lalu dibawa berobat ke dokter umum, didiagnosa
menderita anemia. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 3,2
eritrosit 900.000 leukosit 4290 MCV 115,6 MCH 37,8 MCHC 32,7, penderita
lalu dirujuk ke IGD RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat pucat sebelumnya disangkal
 Riwayat gusi berdarah dan darah sukar membeku sebelumnya disangkal
 Riwayat sering lebam – lebam di tangan dan tungkai sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


 Masa kehamilan : aterm (9 bulan 10 hari)
 Partus : spontan
 Tempat : di rumah
 Ditolong oleh : bidan
 Tanggal : 23 Desember 2000
 BB : 2700 gram
 PB : ibu lupa
 Lingkar Kepala : ibu lupa
 Kondisi saat lahir : lahir langsung menangis
 Riwayat ibu demam : tidak ada
 Riwayat KPSW : tidak ada
 Riwayat ketuban hijau, kental, dan bau: tidak ada

Riwayat Makanan
 ASI : 0 – 9 bulan
 Susu botol : 6 – 24 bulan
 Nasi tim/lembek : 6 – 18 bulan
 Nasi biasa : 12 bulan – sekarang
 Daging : 2 tahun – sekarang (1x seminggu)
 Ikan : 4 x seminggu
 Tempe : sering
 Tahu : jarang
 Sayuran : setiap hari (2x sehari)
 Buah : setiap hari
 Kesan : kuantitas : cukup
kualitas: cukup
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
BCG √ (usia lupa)
DPT 1 √ (usia lupa) DPT 2 √ (usia lupa) DPT 3 √ (usia lupa)
Hepatitis B √ (usia lupa) Hepatitis B 2 √ (usia lupa) Hepatitis B 3 √ (usia lupa)
1
Polio 1 √ (usia lupa) Polio 2 √(usia lupa) Polio 3 √ (usia lupa)
Campak √ (usia lupa) Polio 4 √ (usia lupa)
Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat Keluarga
Ayah ibu
Perkawinan pertama pertama
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Tukang Ojek Pedagang
Penyakit yang pernah diderita - -

Riwayat Perkembangan
 Tengkurap : 6 bulan
 Merangkak : 7 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Berdiri : 9 bulan
 Berjalan : 12 bulan
 Berbicara : 14 bulan
 Kesan : perkembangan motorik dalam batas normal

III. PEMERIKSAAN FISIK (25 Oktober 2016)


A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum :tampak sakit sedang
Kesadaran :compos mentis
BB :38 kg
PB :150 cm
Status gizi
BB/U :38/53 x 100 = 71,69% (moderate wasting)
TB/U :150/162 x 100 = 92,59% (mild stunting)
BB/TB :38/41 x 100 = 92,68 % (normal)
Kesan :gizi cukup
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (+), ikterus (-), dismorfik (-)
Suhu :36,5oC
Respirasi :24 x/menit
Tekanan darah :100/70 mmHg (Tekanan darah normal)
Nadi :84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Kulit :sianosis (-), pallor (+), ptekiae (-), ekimosis (-), purpura
(-), hematom (+)

Pemeriksaan Khusus
KEPALA
Bentuk : normocepali, simetris, dismorfik (-)
Rambut : warna hitam, lurus, halus, tidak mudah dicabut, distribusi merata.
Mata : edema palpebra (-), konj anemis (+), sklera ikterik (-) refleks
cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ᴓ 3mm.
Hidung : deformitas (-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
mukosa hiperemis (-), hipertropi konka (-), sekret (-), mimisan (-)
Telinga : deformitas (-), meatus akustikus eksternus lapang, serumen (+)
minimal
Mulut : kelainan kongenital (-), bibir sianosis (-), cheilitis (-) stomatitis
(-), atropi papil (-), gusi berdarah (+)
Tenggorok : faring hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T1/T1, detritus (-),
kirpta (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (+) regio colli dekstra, uk
0,5 x 0,5 cm

THORAX
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)

JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas kiri jantung ICS
V 1 jari medial dari linea axillaris anterior sinistra, dan batas
kanan jantung ICS V linea parasternalis dextra.
Auskultasi : HR 84 ×/menit, bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (+),
gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : datar, pelebaran pembuluh darah (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, cubitan perut
kembali lambat (-)
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal (4x/menit)

EKSTREMITAS
akral hangat, pucat, CRT <3’’, edema (-), nyeri sendi (-).
Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Tungkai Tungkai Kiri Lengan Lengan


Kanan Kanan Kiri

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan +5 +5 +5 +5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni

Klonus - - - -

Reflek fisiologis (tidak (tidak (tidak (tidak


dilakukan) dilakukan) dilakukan) dilakukan)

Reflek patologis - - - -

 Fungsi sensorik : Dalam batas normal


 Fungsi nervi craniales : -
 GRM : Kaku kuduk tidak ada

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 25 Oktober 2016
Hematologi
Hb : 3,2 g/dL #
Eritrosit (RBC) : 0,84 x 106/mm3 *
Leukosit (WBC) : 3,0 x 103/mm3 *
Hematokrit : 10% #
Trombosit : 9 x 103/µL #
MCV : 113,1 fL *
MCH : 38 pg *
MCHC : 34 g/dL
LED : 125 mm/jam *
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil : 0%
 Eosinofil : 0%*
 Netrofil : 44 %
 Limfosit : 46 % *
 Monosit : 10 % *
Gambaran Sumsum Tulang
 Kepadatan Sel : hiposeluler, partikel (+), globul lemak (+)
 Trombopoesis : aktivitas tampak menurun, megakariosit tidak ditemukan
 Eritropoesis : Aktivitas menurun, ditemukan NRBC 9%
 Granulopoesis : Aktivitas tampak cukup, ditemukan mieloblast 5%,
promielosit 2%, mielosit 25%, metamielosit 25%, stab
20%, segmen 40%, eosinofil 1%, monosit 1%
 Lain-lain : limfoblast 3%, limfosit 69%
 Kesan : mendukung diagnosa anemia aplastik
 Saran : monitor darah tepi hematologi rutin

Tanggal 30 Oktober 2016


Hematologi
Hb : 11,2 g/dL *
Eritrosit (RBC) : 3,59 x 106/mm3 *
Leukosit (WBC) : 3,5 x 103/mm3 *
Hematokrit : 32 % *
Trombosit : 16 x 103/µL #
MCV : 88,9 fL
MCH : 31 pg
MCHC : 35 g/dL *
LED : 39 mm/jam *
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil : 0%
 Eosinofil : 1%
 Netrofil : 21 % *
 Limfosit : 72 % *
 Monosit : 6%
Retikulosit : 0,8 %

Kimia Klinik
Hati
AST/SGOT : 14 U/L
ALTSGPT : 11 U/L
Albumin : 4,5 g/dL
Ginjal
Ureum : 16 mg/dL *
Asam Urat : 2,7 mg/dL
Kreatinin : 0,44 mg/dL *

Elektrolit
Kalsium : 9,4 mg/dL
Natrium : 140 mEq/L
Kalium : 3,6 mEq/L
Klorida : 107 mmol/L *
Tanggal 04 November 2016
Hematologi
Hb : 11,0 g/dL *
Eritrosit (RBC) : 3,57 x 106/mm3 *
Leukosit (WBC) : 4,1 x 103/mm3 *
Hematokrit : 31 % *
Trombosit : 39 x 103/µL #
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil : 0%
 Eosinofil : 0%*
 Netrofil : 41 % *
 Limfosit : 49 % *
 Monosit : 10 % *

IV. RESUME
Anak perempuan, usia 15 tahun dirujuk ke IGD RSMH dengan keluhan utama
pucat dan keluhan tambahan gusi berdarah dan sesak napas disertai sakit kepala. ± 7
hari sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat terutama terlihat di kedua
telapak tangan dan bibir, disertai gusi berdarah, lalu penderita berobat ke bidan dan
diberikan vitamin penambah darah. ± 12 jam sebelum masuk rumah wajah, telapak
tangan dan kelopak mata bawah anak tampak semakin pucat dan anak tampak lemas,
sakit kepala (+) seperti terikat di sekeliling kepala, sesak napas (+), gusi berdarah (+)
dan sulit berhenti, lebam – lebam di tungkai (+), mimisan dan BAB hitam disangkal dan
benjolan di rahang bawah sebelah kanan, dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan,
konsistensi lunak. Anak lalu dibawa ke dokter umum dan dikatakan anemia. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 3,2 eritrosit 900.000 leukosit 4290 MCV
115,6 MCH 37,8 MCHC 32,7, penderita lalu dirujuk ke IGD RSMH.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,8 oC, napas 22 x/menit,
nadi 128 x/menit. Pada pemeriksaan keadaan spesifik didapatkan conjungtva anemis
(+), terdapat pembesaran KGB di region coli dekstra uk 0,5 x 0,5 cm.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Oktober 2016, diperoleh hasil Hb: 3,2
g/dL, Eritrosit (RBC) : 0,84 x 106/mm3, Leukosit (WBC): 3,0 x 103/mm3, Hematokrit:
10%, Trombosit: 9 x 103/µL, LED: 125 mm/jam. Pada pemeriksaan BMP yang
dilakukan pada 24 Oktober 2016 didapatkan kesan mendukung diagnosa anemia
aplastik.

V. DAFTAR MASALAH
 Anemia Gravis
 Sesak napas
 Trombositopenia
 Leukopenia

VI. DIAGNOSIS BANDING


Anemia gravis ec anemia aplastik
Anemia gravis ec leukemia akut
Anemia gravis + trombositopenia ec ITP

VII. DIAGNOSIS KERJA


Anemia gravis ec anemia aplastik

VIII. TATALAKSANA
- O2 Nasal 2 L/menit
- R/ transfuse PRC, pertama 150 cc, selanjutnya 4 x 200 cc
- Transfusi TC 3 x 9 unit
- IVFD D5 ½ NS gtt X
- Observasi perdarahan
- Observasi gangguan oksigenasi
- Rencana BMP
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
X. FOLLOW UP

Tanggal/ RENCANA
CATATAN KEMAJUAN (S/O/A)
Jam TATALAKSANA
25-10-2016 S : pucat (+), sesak (+), gusi berdarah (+), P:
06.30 WIB demam (+) - Transfusi PRC (150)
(200) (200) (200)
O: - Transfusi TC 3 x 9 unit
Keadaan Umum: - IVFD D5 ½ NS GTT X
- Tampak sakit sedang - PO lactulosa syrup 3 x 1
- Sens: compos mentis cth
- TD: 100/60 mmHg - Inj. Ampisilin 3 x 1 g
- T: 37,8 oC. - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Nadi: 98 x/m, mg
- RR: 30 x/m, - Rencana BMP
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+/+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: teraba benjolan uk 0,5 x 0,5 cm
region colli dekstra
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas. H/L tak teraba,
bising usus (+) normal
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
A : Anemia gravis + gingival bleeding +
limfadenopati regio colli dekstra +
trombositopenia

26-10-2016 P:
06.30 WIB S : pucat (+), sesak (-), sakit kepala (+), - Transfusi PRC (150)
demam (+) (200) (200) (200)
- Transfusi TC 3 x 9 unit
O: - IVFD D5 ½ NS GTT X
Keadaan Umum: - PO lactulosa syrup 2 x 1
- Tampak sakit sedang cth
- Sens: compos mentis - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (2)
- TD: 100/60 mmHg - Inj. Gentamisin 2 x 100
- T: 37,7 oC. mg (2)
- Nadi: 108 x/m,
- RR: 30 x/m,
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: teraba benjolan uk 0,5 x 0,5 cm
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
A : anemia gravis + limfadenopati regio
colli dekstra + trombositopenia

27-10-2016 P:
06.30 WIB - Transfusi PRC (150)
S : pucat (+), sesak (+), gusi berdarah (+), (200) (200) (200)
demam (+) - Transfusi TC 3 x 9 unit
- IVFD D5 ½ NS GTT X
O: - PO lactulosa syrup 2 x 1
Keadaan Umum: cth
- Tampak sakit sedang - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (3)
- Sens: compos mentis - Inj. Gentamisin 2 x 100
- TD: 100/60 mmHg mg (3)
o
- T: 37,6 C.
- Nadi: 102 x/m,
- RR: 30 x/m,
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+/+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: teraba benjolan uk 0,5 x 0,5 cm
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
A : suspek anemia aplastik + limfadenopati
regio colli dekstra
28-10-2016 P:
06.30 WIB - Transfusi PRC (150)
S : pucat (+), gusi berdarah (-), demam (+) (200) (200) (200)
- Transfusi TC 9 unit (1)
O: (2) (3)
Keadaan Umum: - IVFD D5 ½ NS GTT X
- Tampak sakit sedang - PO lactulosa syrup 2 x 1
- Sens: compos mentis cth
- TD: 110/70 mmHg - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (4)
- T: 37,6 oC. - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Nadi: 108 x/m, mg (4)
- RR: 26 x/m, - Inj. Asam traneksamat 3
Keadaan Spesifik: x 500 mg
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (-)
- Leher: perbesaran KGB (-)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
29-10-2016 A : anemia aplastik P:
06.30 WIB - Transfusi PRC (150)
(200) (200) (200)
S : pucat (+), perdarahan (-), demam (+) - Transfusi TC 9 unit (1)
(2) (3)
O: - IVFD D5 ½ NS GTT X
Keadaan Umum: - PO lactulosa syrup 2 x 1
- Tampak sakit sedang cth
- Sens: compos mentis - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (5)
- TD: 110/70 mmHg - Inj. Gentamisin 2 x 100
o
- T: 37,8 C. mg (5)
- Nadi: 108 x/m, - Inj. Asam traneksamat 3
- RR: 26 x/m, x 500 mg (2)
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: perbesaran KGB (-)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
30-10-2016 A : anemia aplastik P:
06.30 WIB - Transfusi PRC (150)
(200) (200) (200)
- Transfusi TC 9 unit (1)
S : pucat (+), perdarahan (-), demam (+) (2) (3)
- IVFD D5 ½ NS GTT X
O: - PO lactulosa syrup 2 x 1
Keadaan Umum: cth
- Tampak sakit sedang - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (6)
- Sens: compos mentis - Inj. Gentamisin 2 x 100
- TD: 110/70 mmHg mg (6)
- T: 37,5 oC. - Inj. Asam traneksamat 3
- Nadi: 108 x/m, x 500 mg (3)
- RR: 26 x/m,
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: perbesaran KGB (-)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
31-10-2016 3”
06.30 WIB A : anemia aplastic P:
- Transfusi TC 9 unit (1)
(2) (3)
- IVFD D5 ½ NS GTT X
S : pucat (+), perdarahan (-), demam (-) - PO lactulosa syrup 2 x 1
cth
O: - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (7)
Keadaan Umum: stop
- Tampak sakit sedang - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Sens: compos mentis mg (7) stop
- TD: 100/70 mmHg - Inj. Asam traneksamat 3
- T: 37,1 oC. x 500 mg (4)
- Nadi: 99 x/m,
- RR: 24 x/m,
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: perbesaran KGB (-)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
01-11-2016 Bising usus (+) normal 4 x menit
06.30 WIB - Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT < P:
3” - Transfusi TC 9 unit (1)
A : anemia aplastik (2) (3)
- IVFD D5 ½ NS GTT X
- PO lactulosa syrup 2 x 1
S : pucat (+), perdarahan (-), demam (-), cth
menstruasi (darah tidak terlalu banyak) - Inj. Asam traneksamat 3
x 500 mg (5)
O: Protokol anemia aplastic:
Keadaan Umum: - Injeksi metilprednisolon
- Tampak sakit sedang 2 x 17,5 mg selama 4
- Sens: compos mentis hari (1)
- TD: 110/80 mmHg - Dilanjutkan prednison
- T: 36,5 C. o 2x 17,5 PO setelah
- Nadi: 102 x/m, injeksi selesai
- RR: 23 x/m, - Sandlimun 2 x 125 mg
Keadaan Spesifik: (1)
- Kepala: konjungtiva anemis (+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: perbesaran KGB (-)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
02-11-2016 Bising usus (+) normal 4 x menit
06.30 WIB - Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3” P:
A : anemia aplastik - Transfusi TC 9 unit (1)
(2) (3)
- IVFD D5 ½ NS GTT
XV
S : pucat (+), perdarahan (-), demam (-), - PO lactulosa syrup 2 x 1
masih menstruasi cth
- Inj. Ampisilin 3 x 1 g (8)
O: stop
Keadaan Umum: - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Tampak sakit sedang mg (8) stop
- Sens: compos mentis - Inj. Asam traneksamat 3
- TD: 110/80 mmHg x 500 mg (5)
- T: 36,5 C.o Protokol anemia aplastic:
- Nadi: 102 x/m, - Injeksi metilprednisolon
- RR: 23 x/m, 2 x 17,5 mg selama 4
Keadaan Spesifik: hari (1)
- Kepala: konjungtiva anemis (+), - Dilanjutkan prednison
perdarahan gusi (+) 2x 17,5 PO setelah
- Leher: perbesaran KGB (-) injeksi selesai
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di - Sandlimun 2 x 125 mg
kedua bagian thoraks (1)
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba,
Bising usus (+) normal 4 x menit
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT <
3”
A : anemia aplastik
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hematopoiesis1,5

Hematopoiesis dimulai pada minggu ketiga gestasi dengan eritropoiesis dalam


yolk sac. Pada usis 2 bulan gestasi tempat utama hematopoiesis berpindah ke hati. Usia
gestasi 5 hingga 6 bulan, proses hematopoiesis bergeser dari hati ke sumsum tulang.
Bayi yang lahir premature dapat memiliki hematopoiesis ekstramedular sumsum tulang.
Selama masa bayi, hampir seluruh rongga sumsum tulang bersifat hematopoietik secara
aktif. Dengan bertumbuhnya anak, hematopoiesis berpindah ke tulang-tulang korpus
(vertebra, sternum, iga, dan pelvis), dan secara bertahap sumsum tulang akan digantikan
lemak.

Hemolisis atau kerusakan sumsum tulang dapat menyebabkan terjadinya


repopulasi sumsum tulang pada rongga yang sebelumnya telah mengalami penghentian
hematopoiesis atau menyebabkan keterlambatan pergeseran hematopoiesis. Anak
dengan thalassemia dan penyakit hemolitik kronik dapat memiliki lingkar kepala yang
besar dan tulang tengkorak yang menonjol sebagai akibat peningkatan eritopoiesis
dalam rongga medular tulang tengkorak. Hepatosplenomegali pada pasien dengan
penyakit hemolitik kronik menandakan adanya hematopoiesis ekstramedular. Ketika
pasien mengalami sitopenia, pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi
mengenai proses yang menyebabkan rendahnya produksi sel yang ada.

Sel-sel hematopoietik terdiri dari:

- Kompartemen kecil dari sel punca progenitor pluripotent yang secara morfologis
mirip dengan limfosit kecil dan mempunyai kemampuan membentuk semua
elemen myeloid
- Kompartemen besar dari sel-sel myeloid, eritroid, megariositik yang
berkemampuan berproliferasi menjadi turunannya
- Kompartemen besar dari sel-sel matur pasca mitosis.
Gambar 1. Hematopoiesis prenatal dan postnatal5
Eritropoiesis

Eritropoiesis dikendalikan oleh eritropoietin, suatu glikoprotein yang merangsang sel


punca pluripoten primitif untuk berdiferensiasi sepanjang jalur eriroid dan dihasilkan
oleh jukstaglomerular ginjal sebagai respon terhadap hipoksia jaringan lokal. Kadar
hemoglobin fetus yang secara normal tinggi merupakan hasil produksi eritropoietin
dimulai pada saat hematopoiesis hepatik di awal gestasi. Eritropoietin merangsang
produksi erythroid colony forming unit. Sel eritroid yang dapat dikenali paling dini
secara in vivo adalah eritroblas, yang membentuk delapan atau lebih anak sel. Nukleus
SDM imatur secara bertahap menjadi piknotik seiring bertambah maturnya sel, dan
akhirnya dilepaskan dari sumsum tulang sebagai retikulosit. Prekursor SDM yang
sangat khusus ini terkait dengan produksi rantai globin, enzim glikolitik dan hem.

Selama masa embrionik dan janin, gen globin teraktivasi dan terinaktivasi secara
sekuensial. Hemoglobin embrionik diproduksi selama eritropoiesis yolk sac, kemudian
digantikan hemoglobin fetal selama fase hepatik. Selama trimester ketiga, produksi
rantai gamma secara bertahap berkurang dan digantikan rantai beta menghasilkan
hemoglobin A (α2β2)

Granulopoiesis
Leukosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu fagosit dan limfosit. Fagosit terdiri dari
granulosit dan monosit, granulosit sendiri terbagi menjadi 3 jenis yaitu neutrofil, basofil
dan eosinofil. Sel prekursor limfosit dan sel plasma membentuk populasi imunosit.
Dalam perkembangannya, neutrofil dan makrofag mempunyai asal yang sama yaitu sel-
sel progenitor GM-CSF (granulocyte-monocyte-colony-stimulating factor), dihasilkan
oleh monosit dan limfosit. GM-CSF meningkatkan masuknya sel prekursor primitif ke
dalam jalur myeloid diferensiasi. G-CSF (granulocyte colony-stimulating factor)
meningkatkan produksi prekursor granulosit yang lebih matur. GM-CSF dan G-CSF,
bekerja bersama, dan mampu meningkatkan produksi neutrofil, memendekkan waktu
produksi dasar dari sel punca menjadi neutrofil matur yang biasanya berlangsung 10-14
hari, dan merangsang aktivitas fungsional. Selama maturasi, terdapat kumpulan mitosis
prekursor neutrofil-mieloblas, promielosit, dan mielosit yang mengandung granul
primer. Kumpulan pasca-mitosis terdiri atas metamielosit, batang, dan leukosit PMN
matur yang mengandung granul spesifik.

Thrombopoiesis

Megakariosit adalah sel raksasa berinti banyak yang diturunkan dari sel punca primitif
dan bersifat poliploidi (16-32 kali lipat kandungan DNA normal) karen pembelahannya
melalui sel inti dan bukan sitoplasmik. Trombosit terbentuk dari invaginasi membran sel
megakariosit dan dilepaskan dari perifer. Thrombopoietin adalah pengatur utama
produksi trombosit. Trombosit menempel pada permukaan subendotel dan endotel yang
rusak melalui reseptor spesifik untuk protein adhesif, fakton von Willebrand, dan
fibrinogen. Trombosit juga memliki granul spesifik yang siap melepas kandungan
mereka setelah stimulasi dan memicu proses agregasi trombosit. Trombosit bersirkulasi
selama 7-10 hari dan tidak memiliki inti.
Gambar 2. Hematopoiesis1

3.2 Anemia Aplastik


3.2.1 Definisi
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum
tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh
pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang
dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia
hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat
anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.6
3.2.2 Etiologi dan Patogenesis
Anemia aplastik dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu:
anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial (inherited); idiopathik
(tidak diketahui).6 Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer (kongenital,
idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, penyebab lain).7 Berikut ini merupakan
penjelasan mengenai ketiga penyebab tersebut.
Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Bahan Kimia. Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-
20an, keracunan benzene dapat berdampak pada sumsum tulang, benzene juga sering
digunakan sebagai bahan pelarut. Benzene merupakan bahan kimia yang paling
berhubungan dengan anemia aplastik.6 Terdapat juga hubungan antara penggunaan
insektisida menggunakan benzene dengan anemia aplastik. Selain itu DDT
(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan dalam insektisida.6
Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia pertama dan
kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik fatal. Zat ini
meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit.
Obat. Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia aplastik.
Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia aplastik yaitu obat dose
dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent (kloramfenikol,
fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).7
Radiasi. Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi
local dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik
dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena
akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia
aplastik kronik.6 Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh: (a) secara
langsung oleh jumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen; atau
(b) secara tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul
kecil reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan.
Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala bentuk
radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energi tingkat
tinggi sinar γ, yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap
partikel α dan β (tingkat energi β yang rendah membakar tetapi tidak menembus kulit).
Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat
menimbulkan anemia aplastik.8
Virus. Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi
sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti
parvovirus, herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai
penyebab anemia aplastik.8
Penyebab lain. Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan
anemia aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa
anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis.
Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik lupus
erythematosus.6 Selain itu terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan
berkaitan dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum jelas.8
Familial (Inherited) Anemia Aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik
antara lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.7
3.2.3 Patofisiologi
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses
hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif
hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang. Mekanisme
pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene,
obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak.
Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun
sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan
sumsum tulang setelah graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis.
Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang
berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci
melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai
faktor penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi
hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon γ dan tumor nekrosis factor α.
Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat
menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat
memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.9
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel
batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari
pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel
induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan
hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.9
Patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendekatan
utama untuk pengobatannya: penggantian sel induk yang tidak sempurna dengan cara
transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak.9
3.2.4 Gejala dan Tanda Klinik
Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang
disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan
kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan
namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari
neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik
6

merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan
pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis).
Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur.
Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.7,8
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/ul (10x109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk
pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau
trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia
aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif
seperti leukemia atau limpoma. 7

3.2.5 Kelainan Laboratorium


Penemuan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat
pansitopenia yang beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang
rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol.
Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang
sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid
yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda
menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami
pengurangan, tetapi fungsinya masih normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb
6

<7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding
Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat. 7

Penemuan pada Sumsum Tulang. Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal


mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik.
Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin
merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini.
Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study
Group sebagai sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel
dengan kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil
kurang dari 500/ul (0.5 x 109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ul (20 x109/liter),
dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in
vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming Unit-
Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming Unit Erythroid
(BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda pengurangan dalam sel
primitif.6
Penemuan Radiologi. Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat
digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat
memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik
morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia
aplastik.6
Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan
hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor
myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang
Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah
merah.1

Gambar 3. A. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal B. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi
dari pasien anemia aplastik 3

3.2.6 Diagnosis Laboratorium


Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah
pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya
infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang.9 Anemia aplastik dapat digolongkan menjadi
ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan pansitopenia. Menurut
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) kriteria
diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai satu dari tiga sebagai berikut :
(a) hemoglobin kurang dari 10 g/dL, atau hematokrit kurang dari 30%; (b) trombosit
kurang dari 50 x 109/L; dan (c) leukosit kurang dari 3.5 x 10 9/L, atau neutrofil kurang
dari 1.5 x 109/L. Retikulosit < 30 x 109/L (<1%). Gambaran sumsum tulang (harus
ada spesimen adekuat) : (a) penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya
semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hyperplasia eritroid fokal dengan
deplesi segi granulosit dan megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna
atau infiltrasi neoplastik. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi
terapeutik harus dieksklusi.7 2

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia


aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan
diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al. Tergolong
anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut : paling
sedikit dua dari tiga : (a) granulosit < 0.5x109/L; (b) trombosit < 20x109/L ; (c)
corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum tulang < 25% atau selularitas < 50%
dengan < 30% sel-sel hematopoetik.2
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 0.2 x 109/L. Anemia
aplastic yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat
(nonserve aplastic anemia).7
3.2.7 Diagnosis Banding
Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan penyakit.
Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar sering dapat
mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih
susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan.
Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang
meliputi Fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN),
myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, agranulocytosis,
dan pure red cell aplasia. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai
penyakit-penyakit tersebut.
Fanconi’s anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana
merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan
terlihat pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi
pada kulit, mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada
saluran urogenital, dan cacat mental. Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis
sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom
setelah dibiakkan menggunakan zat kimia yang meningkatkan penekanan kromosom
(seperti diepoxybutane atau mitomycin C).9
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. PNH adalah sebuah kerusakan yang
didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh hemolysis
intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria yang bersifat sementara dan
life-threatening venous thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan
eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis.
Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada
rangkaian klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas
pasien dengan PHN dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat
dengan menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan
cara aliran sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti
tes hemolysis sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.9
Myelodiysplastic Sindrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel
batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal
sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan
peripheral sitopenias, disfungsional elemen darah, dan memungkinkan perubahan
leukemi. Sumsum tulang pada MDS memiliki tipe hiperselular atau normoselular,
walaupun hiposelular biasanya juga ditemukan. Sangat penting membedakan
hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena diagnosis yang ditegakkan untuk
penanganan dan prognosis.9
Idiopathic Myelofibrosis. Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah
hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan
pasien. Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau
fibrosis kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.9
Aleukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang
yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang
dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau
pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.9
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi
eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan
normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.9
Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi
produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit.

3.2.8 Tatalaksana
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien
dengan anemia aplastic mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi
yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).10
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu
terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang
(terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang
terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang. Berikut
ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat
dikoreksi.7
Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene mulut,
identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum
ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman
gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin semisintetik (ampisilin)
dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil
biakan sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7
hari panas tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan
ampotericin-B atau flukonasol parenteral.7
Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika
adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC)
jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat
simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal, karena akan
menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk
transplantasi sumsum tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.7,8
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat trombosit jika
terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm 3. Pemberian
trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi
anti trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.7
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.7
Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12
minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati
Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah belum
jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada
respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau
Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk
meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.7
Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu: 1.) Terapi
imunosupresif; 2.) Transplantasi sumsum tulang.
Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama dalam
pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor
yang cocok.8 Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte
globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi.
ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic growth factor
sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat
tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan
utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi
imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A
dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi
lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis
tinggi.7,8
Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi
definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang kompatibel
sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik berat.
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40
tahun, diberikan siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease (GvHD),
transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70%
kasus, dengan kesembuhan komplit.7 Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok
dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih
muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.8

3.2.9 Prognosis dan Perjalanan Penyakit


Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. 10 Prognosis dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu: (a) kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan
(merupakan 10%-15% kasus); (b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan
remisi dan kambuh. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus; dan (c) penderita
yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil
penderita.8

3.3 Idiopathic Thrombocytopenic Purpura


3.3.1 Definisi
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang
dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan
destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama limpa.11
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah kelainan akibat trombositopenia
yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi sekarang diketahui bahwa sebagian
besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun karena itu disebut juga sebagai
autoimmune thrombocytopenic purpura. 12
3.3.2 Etiologi
Dalam kebanyakan kasus, penyebab ITP tidak diketahui. Seringkali pasien yang
sebelumnya terinfeksi oleh virus (rubella, rubeola, varisela) atau, sekitar tiga minggu
menjadi ITP. Hal ini diyakini bahwa tubuh, ketika membuat antibodi terhadap virus,
"sengaja" juga membuat antibodi yang dapat menempel pada sel-sel platelet. Tubuh
mengenali setiap sel dengan antibodi sebagai sel asing dan menghancurkan mereka.
Itulah sebabnya ITP juga disebut sebagai imuno thrombocytopenic purpura.11
Sumsum tulang adalah jaringan lembut, kenyal yang berada di tengah tulang
panjang dan bertanggung jawab untuk membuat sel-sel darah, termasuk trombosit.
Sumsum tulang merespon rendahnya jumlah trombosit dan menghasilkan lebih banyak
untuk mengirim ke tubuh. Sel-sel di sumsum tulang pada pasien dengan ITP, akan
banyak trombosit muda yang telah dihasilkan. Namun, hasil tes darah dari sirkulasi
darah akan menunjukkan jumlah trombosit yang sangat rendah. Tubuh memproduksi
sel-sel normal, tetapi tubuh juga menghancurkan mereka. Dalam kebanyakan kasus, tes
darah lainnya normal kecuali untuk rendahnya jumlah trombosit. Pada pasien ITP,
trombosit biasanya bertahan hanya beberapa jam, dibandingkan dengan trombosit yang
normal yang memiliki umur 7 sampai 10 hari. Trombosit sangat penting untuk
pembentukan bekuan darah.11
3.3.3 Patofisiologi
ITP disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Diperkirakan bahwa ITP diperantai oleh
suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopenia pada neonatus yang
lahir dari ibu yang menderita ITP, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient
trombositopenia pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari
seorang penderita ITP. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor
Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita akan
terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Sebagian kecil
yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti autoantibodi oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit, kadar trombopoetin tidak meningkat,
menunjukan adanya masa megakariosit normal. 13
Untuk sebagian kasus ITP yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita ITP dengan tipe ini dapat dikatakan menderita ITP kronik tetapi
stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat aman. Pada kasus berat, auto
antibodi dapat langsung meyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga
megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani
pengobatan untuk menghindari resiko perdarahan internal atau organ dalam.11
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi ITP
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurang kompleks glikoprotein
IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein
Ib/IX,Ia/IIa,IV dan V dan determinasi trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang
bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji
antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan
pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk
menimbulkan trombositopenia.
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein
IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein
Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini.
1. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji
antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian
mengalami proses internalisasi dan degradasi.
2. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain.
3. Sel penyaji antigen yang teraktifasi mengekspresikan peptida baru pada
permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi
antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi menfasilitasi proliferasi
inisiasi CD4 positif Tcell clone (Tcell clone 1) dan spesifitas tambahan (Tcell
clone 2)
4. Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (Bcell
clone 2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis
antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi
antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B cell clone 1. 11,12,13
3.3.4 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari idiopatik trombositopenia purpura adalah meningkatnya
perdarahan akibat menurunnya jumlah platelet. Bentuk perdarahan dalam: 1) Purpura.
Perdarahan yang terjadi pada kulit dan membran mukosa (seperti di dalam mulut) yang
berwarna keunguan. Lebam yang tidak jelas penyebabnya, 2) Petekie. Bintik-bintik
merah di kulit. Terkadang bintik merah saling menyatu dan mungkin terlihat seperti
ruam. Bintik merah merupakan perdarahan di bawah kulit, 3) Perdarahan yang sulit
berhenti, 4) Perdarahan dari gusi, 5) Mimisan, 6) Menstruasi yang berkepanjangan pada
wanita, 7) Hematuria, 8) Perdarahan saluran cerna, 9) Perdarahan intrakranial
merupakan komplikasi yang paling serius pada ITP.
3.3.5 Diagnosis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, perlu dilakukan pada setiap pasien saat kunjungan pertama kali ke
saranakesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data
dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, dan untuk menentukan tata laksana
selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali tanda-tanda perdarahan dan faktor resiko. Tanda
perdarahan seperti munculnya petekie, purpura, perdarahan yang sulit berhenti,
perdarahan pada gusi, mimisan spontan, perdarahan konjungtiva, perdarahan saluran
cerna seperti melena, hematuria, dan menstruasi yang berkepanjangan pada wanita.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya purpura dan petekie, perdarahan
mukokutan, mungkin bisa ditemukan adanya splenomegali (10% pada anak) yang
jarang terjadi.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap dapat
ditemukan adanya penurunan jumlah trombosit dengan leukosit dan eritrosit dalam
batas normal (tidak terjadi perdarahan masif), pemeriksaan darah tepi ditemukan
penurunan sel trombosit dengan atau tanpa megatrombosit, pemeriksaan sumsum tulang
didapatkan peningkatan megakariosit. Pada pemeriksaan PT dan APTT dalam batas
normal.

3.4 Leukimia Limfositik Akut


3.4.1 Definisi
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi
leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan
timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia,
trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening,
meningens, otak, kulit, atau testis).
Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi
neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel
bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukemia.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Leukemia juga digolongkan menurut
tipe sel darah putih yang terkena. Maksudnya, leukemia dapat muncul dari sel limfoid
(disebut leukemia limfositik) atau mieloid (disebut leukemia mieloid). Secara
keseluruhan, leukemia dibagi menjadi: Leukemia limfositik kronik/LLK (mengenai
orang berusia lebih 55 tahun, dan jarang sekali mengenai anak-anak), leukemia mieloid
kronik / LMK (mengenai orang dewasa), leukemia limfositik akut/LLA (mengenai
anak-anak, tetapi dapat juga mengenai dewasa dan leukemia mieloid akut (mengenai
anak maupun orang dewasa dan merupakan 20 % leukemia pada anak).
3.4.2 Etiologi
Penyebab leukemia tidak diketahui, tetapi dapat diakibatkan interaksi sejumlah
faktor yaitu:
1. Neoplasia. Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit neoplastik lain,
misalnya proliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel, dan
infiltrasi organ. Lebih dari itu, kelainan sumsum kronis lain dapat berubah bentuk
akhirnya menjadi leukemia akut, misalnya polisitemia vera, mieosklerosis atau
anemia aplastik. Leukemia nyata menunjukkan perluasan klonal yang timbul
dengan mutasi somatik sumsum tunggal, sel limfoid tepi atau timus seperti
dilihatkan dengan teknik kromosomal, isoenzim, imunologis, dan kultur in-vitro.
Leukemia selanjutnya dapat mengembangkan “subclone” dengan perkembangan
abnormalitas baru dan satu atau lebih “subclone” dapat menjadi lebih besar dan
menggantikan “clone” permulaan, seperti diperlihatkan oleh perubahan leukemia
granulositik kronis (CGL = chronic granulocytic leukemia) dari fase kronis ke fase
akut. Biasanya “subclone” lebih ganas dan sering terdapat abnormalitas
kromosom (cytogenetic)
2. Infeksi. Pada manusia, terdapat bukti kuat untuk etiologi virus baik pada satu
jenis leukemia/limfoma sel T dan pada limfoma Burkitt. HTLV (virus leukemia T
manusia = the human T leukemia virus) dan retrovirus jenis cRNA, telah
ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan oleh kultur pada sel pasien dengan jenis
khusus leukemia/limfoma sel T yang umum pada provinsi tertentu di Jepang dan
yang terjadi sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro Karibia dan
Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr, suatu virus DNA, telah dibiak dari jaringan
limfoma Burkitt dan, pada kasus ini, penyakit ini diduga timbul karena infeksi EB
pada orang dengan pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan
malaria kronis. Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia
adalah kambuhnya leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam
kasus setelah transplantasi sumsum tulang untuk leukemia akut.
3. Radiasi. Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukemogenik. Terdapat
insiden leukemia tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom atom di Jepang,
pada pasien “ankylosing spondylitis” yang telah menerima penyinaran spinal dan
pada anak-anak yang ibunya menerima sinar X abdomen selama hamil.
4. Genetik dan Perubahan kromosom. Ada laporan beberapa kasus yang terjadi
pada satu keluarga dan pada kembar identik. Lebih dari itu, ada insiden yang
meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya sindroma Down (dimana
leukemia terjadi dengan peningkatan fekuensi 20-30 kali lipat), anemia Fanconi,
sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.
5. Zat kimia. Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan displasia sumsum
tulang dan perubahan kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa.
Zat pelarut dan kimia industri lainnya dapat menyebabkan leukemia lebih jarang
tetapi sukar membuktikan ini pada kasus individual. Zat khemoterapi merupakan
penyebab yang ditetapkan mantap, khususnya obat yang mengalkilasi seperti
khlorambusil, mustin dan melfalan, dan prokarbazin. Leukemia, khususnya AML
mielomonositik (M4) dan eritroleukemik (M6), bisa pada pasien limfoma yang
diobat dengan radiasi dan dengan obat-obatan ini.14,15
3.4.3 Patofisiologi
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi, imunologi, dan
genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan atas pemeriksaan
aspirat sumsum tulang. Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi, walaupun dalam
satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada klasifikasi morfologik yang memuaskan.
Sistem Perancis-Amerika-Inggris (PAI) membedakan tiga subtipe morfologi, L1, L2,
dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil, dengan sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih
besar, dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih banyak, bentuk irregular, dan nukleoli
nyata, dan sel L3 mempunyai kromatin inti homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas,
dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata.
Kelainan kromoson dapat diidentifikasi setidak-tidaknya 80-90% LLA anak.
Kariotip dari sel leukemia mempunyai arti penting diagnostik, prognostik, dan
terapeutik. Hal ini dikarenakan kariotip dari sel leukemia menunjukkan tepat pada
penelitian molekular untuk mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada transformasi
leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel
leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali kromosom struktural misalnya
translokasi.
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu
diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia
di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya juga terlibat. Karena itu, tidak
ada sistem pembagian stadium untuk LLA.
Secara imunologik, bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik
yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan
masuk ke dalam tubuh manusia seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur
antigen manusia itu. Bila struktur antigen individu tidak sesuai dengan struktur antigen
virus, maka virus tersebut akan ditolak seperti penolakan tubuh terhadap benda asing.
Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh,
terutama kulit dan selaput lender yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga
antigen jaringan). Oleh WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A
(Human Leucocyte locus A). sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum
genetika, sehingga agaknya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia
tidak dapat diabaikan.
Perkembangan LLA, seperti halnya keganasan hematologi lainnya, dipercayai
melibatkan proses transformasi yang terjadi pada suatu sel progenitor yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan ekspansi klonal yang tidak terbatas. Proses leukemogenik
berlaku pada jalur sel limfoid, sel B, atau sel T sehingga terbentuknya subtipe LLA yang
berlainan, tergantung tingkat diferensiasi sel pada saat proses tersebut berlangsung.
Kira-kira 80% dari kasus LLA menunjukkan cell-surface marker dari prekursor sel B.
Hanya 1-2% dari kasus saja yang menunjukkan fenotipe tipikal dari sel B yang matang.
LLA sel T berlaku pada 15-20% dari kasus LLA dan biasanya berkaitan dengan faktor
lain dalam diagnosis seperti umur yang lebih tua, laki-laki, hitung sel darah putih yang
tinggi, serta penyakit ekstramedular dan semua hal yang menguatkan indikasi untuk
kemoterapi. Selain itu, identifikasi abnormalitas kromosom spesifik turut memegang
peran penting dalam penentuan terapi dan prognosis bagi subtipe LLA tertentu.16
3.4.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi ALL menyerupai leukemia granulositik akut dengan tanda dan gejala
dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan sumsum tulang)
atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblast ganas di
sumsum tulang menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan
manifestasi utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia.
Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu: 1) Mudah lelah, letargi, pusing, sesak,
nyeri dada, 2) Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise, 3) Nyeri tulang dan sendi
(karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel limfoblast), biasanya terjadi pada anak, 4)
Demam, banyak berkeringat pada malam hari (hipermetabolisme), 5) Infeksi mulut,
saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gram negatif usus, 6)
Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria, 7) Hepatomegali, splenomegali,
limfadenopati, 8) Massa di mediastinum (T-ALL), 9) Leukemia SSP (Leukemia
cerebral): nyeri kepala, tekanan intrakranial naik, muntah, kelumpuhan saraf otak (VI
dan VII), kelainan neurologik fokal, dan perubahan status mental.14,15,17
3.4.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan
oleh pemeriksaan sumsum tulang atau limpa. Pada stadium ini limpa mungkin tidak
membesar, bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya terlihat gejala pucat
yang mendadak dengan atau tanpa trombositopenia. Dalam keadaan ini pemeriksaan
sumsum tulang dapat memastikan diagnosis.
Pada stadium praleukemia, gejala lebih tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang
dapat memperlihatkan gambaran normal atau gambaran lain yang nonleukemik (misal
anemia aplastik, ITP menahun, diseritropoesis). Dengan pemeriksaan mikroskop
electron sebenarnya telah dapat dilihat adanya sel patologis.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan anemia aplastik,
trombositopenia (ITP, ATP, demam berdarah atau infeksi lain). Bila pada pemeriksaan
jasmani ditemukan splenomegali, maka diagnosis lebih terarah pada leukemia akut.
ATP dan trombositopenia ‘biasa’ tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah
tepi, kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi juga menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia (terdapat pansitopenia), diagnosis lebih condong
pada anemia aplastik atau leukemia.

Leukemia Limfositik Akut Anemia Aplastik


Usia Sering pada anak berusia 3-5 Biasanya terjadi pada anak besar
tahun (>6 tahun)
Etiologi i. Masih belum jelas i. Kongenital : Sindrom Fanconi
ii. Kemungkinan besar virus dengan kelainan bawaan
iii. Faktor eksogen dan ii. Didapat
endogen - bahan kimia/obat
- radiasi
- infeksi
- keganasan, penyakit ginjal,
endokrin
- idiopatik
Gejala Klinis i. pucat mendadak i. Anemia (pucat)
ii. panas karena sering infeksi ii. Panas (demam)
iii. perdarahan iii. Perdarahan
iv. splenomegali, iv. Tidak ada organomegali
hepatomegali,
limfadenopati
Gambaran i. Pansitopenia i. Pansitopenia
Darah Tepi ii. Limfositosis (monoton)ii. Limfositosis relatif
iii. Terdapat sel blas iii. Mungkin terdapat sel plasma,
monosit bertambah
Gambaran i. Gambaran monoton; sel i. Gambaran sel sumsum tulang
Sumsum limfopoetik patologis yang sangat kurang
Tulang ii. Aplasia sekunder ii. Banyak jaringan penyokong,
jaringan lemak
iii. Aplasia sistem eritropoetik,
granulopoetik, trombopoetik
BAB IV

ANALISA KASUS
Seorang anak perempuan dirujuk ke RSMH dengan keluhan utama pucat. Menurut
waktu terjadinya, pucat dapat terjadi baik secara akut atau kronik. Penyebab pucat yang
terjadi secara akut dapat dipikirkan adanya perdarahan masif, leukemia akut, anemia
aplastik, anemia hemolitik autoimun akut dan G6PD deficiency anemia hemolitik.
Sedangkan secara kronik penyebabnya bisa thalassemia atau anemia defisiensi besi,
asam folat, vitamin B12, serta penyakit kronik. Dari anamnesis didapatkan bahwa pucat
terjadi sejak 7 hari SMRS, yang berarti pucat terjadi secara akut. Hal tersebut dapat
menyingkirkan diagnosis banding anemia dengan etiologi seperti yang telah disebutkan
di atas.
Dari anamnesis, tidak ditemukan bukti perdarahan masif ataupun riwayat trauma
akut yang bisa menyebabkan manifestasi anemia dan juga tidak ditemukan riwayat
perdarahan kronis. Walaupun demikian, ditemukan keluhan gusi yang sering berdarah
jika sedang menyikat gigi. Hal ini bisa mengarahkan kita kepada kondisi
trombositopenia yang membuat pasien rentan mengalami pendarahan. Pada pasien ini
dalam pemeriksaan fisik ditemukan ekimosis, hal ini mendukung terjadinya
trombositopenia. Riwayat batuk lama, sering demam, atau mengidap penyakit tertentu
dalam jangka waktu lama disangkal, dan dari pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat
dan pertumbuhan tinggi dan berat badan yang kurang kemungkinan anemia penyakit
kronik bisa disingkirkan tapi harus dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan anak mengeluh gampang lelah
dan sesak, serta ditemukan tanda-tanda anemia seperti konjungtiva anemis dan akral
pucat. Ditemukan juga gusi yang berdarah dan lebam pada tungkai anak yang
merupakan tanda khas dari trombositopenia.
Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di rahang bawah sebelah kiri dengan
konsistensi lunak, dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengganggu
aktivitas. Hal ini kemungkinan karena adanya infeksi pada anak ini. Dimana benjolan
pada rahang bawah merupakan pembengkakan pada kelenjar getah bening yang
umumnya terjadi ketika adanya infeksi setempat.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien rujukan dari dokter umum dan
memberikan hasil lab berupa Hb 3,2 Leukosit 4290 eritrosit 900.000 MCV 115,6 MCH
32,8 MCHC 32,7. Dapat disimpulkan adanya kondisi eritrositopenia dan leukopenia, hal
ini mengarahkan diagnosis kearah kegagalam dari sumsum tulang dalam memproduksi
sel darah, salah satunya anemia aplastik. Untuk pemeriksaan lebih komprehensif,
dilakukan kembali pemeriksaan laboratorium darah rutin dan bone marrow puncture
pada pasien. Didukung hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb kurang dari
normal, RBC kurang dari normal, WBC kurang dari normal, trombosit kurang dari
normal, (kesan: anemia, leukopenia, trombositopenia). Dipastikan melalui hasil
gambaran sumsum tulang pada kepadatan sel adalah hiposeluler, partikel (+), globul
lemak (+), pada trombopoesis didapatkan aktivitas yang menurun dan tidak ditemukan
megakariosit, pada eritropoesis ditemukan aktivitas yang menurun (kesan: mendukung
diagnose anemia aplastik).
Pasien berusia 15 tahun dan tidak memiliki riwayat keluarga yang memiliki
keluhan yang sama dengan pasien, sehingga dapat diduga bahwa ini adalah anemia
aplastik didapat. Pasien tidak pernah sakit sebelumnya, dan tidak pernah mengonsumsi
obat-obatan, dan tidak tinggal di dekat pabrik atau terpapar radiasi sebelumnya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa anemia aplastik bersifat idiopatik.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana simptomatis berupa transfusi PRC (150)
(200) (200) (200) (200) dikarenakan hb target pada pasien ini adalah 8 g/dl, transfusi
TC 3x9 unit, dan IVFD D5 ½ NS gtt X. Anemia aplastik adalah penyakit life-
threatening kegagalan sumsum tulang yang bila tidak ditatalaksana dengan cepat akan
meningkatkan angka mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
2. Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Yogyakarta:
Penerbit KALIKA
3. WHO. Global anemia prevalence and trends 1995-2011. Geneva: World Health
Organization
4. Young NS, Phillip S, Rodrigo TC. Aplastic Anemia. Curr Opin Hematol. Vol
15(3): 162-163. 2008
5. Purnomo BH, Sutaryo, Ugrasena I. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
6. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps
TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.
7. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik
Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.
8. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment.
[serial online]1999;70:46-52.
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi/reprint/103/11/46. Diakses pukul
20.25, tanggal 5 Nov 2016.
9. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In:
Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology.
2nd ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.
10. Bakhshi S. Aplastic Anemia. http://emedicine.medscape.com/article/198759.
Diakses pada pukul 20.55, tanggal 5 Nov 2016.
11. Purwanto I. Purpura Trombositopenia imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed.
Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.
12. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006. P 241-53.
13. Cines DB, Blanchette VS. Immune Trombositopenic purpura. N Engl J Med.
2002; 346 (13): 995-1008
14. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi.
Cetakan ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2009.
15. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi 15. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2000
16. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik
Rudolph. Edisi 20. EGC, Jakarta: 2006
17. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1.
Cetakan ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007

Anda mungkin juga menyukai