ANEMIA APLASTIK
Oleh :
Pembimbing
2016
i
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Anemia Aplastik
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang.
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini dengan
judul “Anemia Aplastik”.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Dian Puspita Sari, Sp.A, M.Kes selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
laporan kasus ini masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan.
Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan laporan
kasus, penulis ucapkan banyak terimakasih.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga dapat berguna bagi kita semua.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Epidemiologi anemia bergantung pada jenis anemia itu sendiri. Perbedaan insidensi
ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat-obatan
yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidensi virus hepatitis yang lebih
tinggi.1 Menurut WHO pada tahun 2011 sebanyak 43.121 anak di bawah 5 tahun
mengalami anemia.3 Anemia aplastik adalah penyakit yang langka terjadi, dan hampir
setengah dari kejadian anemia ini terjadi pada tiga dekade pertama kehidupan. Insidensi
kejadian anemia ini pada negara barat adalah 2 : 1.000.000 kasus per tahun dan meningkat
2-3x lebih banyak pada daerah Asia.4
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan dari sumsum tulang belakang dalam
memproduksi komponen dari sel darah. Penyakit ini ditandai dengan anemia, leukopenia,
dan trombositopenia, serta hipoplasia sumsusm tulang.1 Aplasia yang hanya mengenai
sisten eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik), yang hanya mengenai
system granulopoetik saja disebut agranulositosis (Penyakit Schultz), sedangkan yang
hanya mengenai system trombopetik disebut amegakariositik trombositopenik purpura
(ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini.5
Etiologi dari anemia aplastik bisa faktor kongenital seperti anemia Fanconi, dan juga
faktor didapat yang bisa disebabkan oleh obat, bahan kimia, infeksi, radiasi, ataupun
1
2
idiopatik yang paling banyak dijumpai. Lebih dari 70% anak-anak menderita anemia
aplastik dengan deraja berat pada saat didiagnosis, hal ini mendorong para klinisi untuk
dapat melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada penderita anemia aplastik.5
1.5 Manfaat
Menambah pengetahuan tentang anemia aplastik
Dapat dijadikan sumber informasi referensi dalam diagnosis dan tatalaksana kasus
anemia aplastik.
BAB II
STATUS PEDIATRIK
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : FBS
b. Umur : 15 tahun 10 bulan (23 Desember 2000)
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Nama Ayah : Tn. S
e. Nama Ibu : Ny. Y
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Jl Dusun II Talang Cempedak No 6, Kel Jejawi Kec Jejawi Kab
Ogan Komering Ilir
i. Dikirim oleh : dr. Hadi
j. MRS Tanggal : 24 Oktober 2016
II. ANAMNESIS
Tanggal : Selasa, 25 Oktober 2016
Diberikan oleh : Ibu Penderita (Alloanamnesis)
3
4
ketika menyikat gigi, mimisan (-), BAB hitam (-), BAK normal seperti biasa,
mual (-), muntah (-), demam (-), penurunan nafsu makan (+), berat badan turun (-
), kuning (-), perut cembung (-), nyeri tulang (-), terdapat benjolan di rahang
bawah sebelah kanan, benjolan dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan,
konsistensi lunak, ukuran sebesar biji jagung. Kemudian anak dibawa ke bidan
dan diberikan vitamin penambah darah.
± 12 jam sebelum masuk rumah sakit, wajah, telapak tangan dan kelopak
mata bawah anak tampak semakin pucat dan anak tampak lemas, sesak napas (+),
gusi berdarah (+) dan sulit berhenti, lebam – lebam di tungkai (+), mimisan (-),
BAB hitam (-), BAK normal seperti biasa, mual (-), muntah (-), demam(-),
benjolan (+). Penderita lalu dibawa berobat ke dokter umum, didiagnosa
menderita anemia. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 3,2
eritrosit 900.000 leukosit 4290 MCV 115,6 MCH 37,8 MCHC 32,7, penderita lalu
dirujuk ke IGD RSMH.
BB : 2700 gram
PB : ibu lupa
Lingkar Kepala : ibu lupa
Kondisi saat lahir : lahir langsung menangis
Riwayat ibu demam : tidak ada
Riwayat KPSW : tidak ada
Riwayat ketuban hijau, kental, dan bau: tidak ada
Riwayat Makanan
ASI : 0 – 9 bulan
Susu botol : 6 – 24 bulan
Nasi tim/lembek : 6 – 18 bulan
Nasi biasa : 12 bulan – sekarang
Daging : 2 tahun – sekarang (1x seminggu)
Ikan : 4 x seminggu
Tempe : sering
Tahu : jarang
Sayuran : setiap hari (2x sehari)
Buah : setiap hari
Kesan : kuantitas : cukup
kualitas: cukup
6
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
BCG √ (usia lupa)
DPT 1 √ (usia lupa) DPT 2 √ (usia lupa) DPT 3 √ (usia lupa)
Hepatitis B 1 √ (usia lupa) Hepatitis B 2 √ (usia lupa) Hepatitis B 3 √ (usia lupa)
Riwayat Keluarga
Ayah ibu
Perkawinan pertama pertama
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Tukang Ojek Pedagang
Penyakit yang pernah diderita - -
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 14 bulan
Kesan : perkembangan motorik dalam batas normal
Pemeriksaan Khusus
KEPALA
Bentuk : normocepali, simetris, dismorfik (-)
Rambut : warna hitam, lurus, halus, tidak mudah dicabut, distribusi merata.
Mata : edema palpebra (-), konj anemis (+), sklera ikterik (-) refleks
cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ᴓ 3mm.
Hidung : deformitas (-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-), mukosa
hiperemis (-), hipertropi konka (-), sekret (-), mimisan (-)
Telinga : deformitas (-), meatus akustikus eksternus lapang, serumen (+)
minimal
Mulut : kelainan kongenital (-), bibir sianosis (-), cheilitis (-) stomatitis (-
), atropi papil (-), gusi berdarah (+)
8
Tenggorok : faring hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T1/T1, detritus (-),
kirpta (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (+) regio colli dekstra, uk 0,5
x 0,5 cm
THORAX
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas kiri jantung ICS
V 1 jari medial dari linea axillaris anterior sinistra, dan batas
kanan jantung ICS V linea parasternalis dextra.
Auskultasi : HR 84 ×/menit, bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (+), gallop
(-)
ABDOMEN
Inspeksi : datar, pelebaran pembuluh darah (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, cubitan perut
kembali lambat (-)
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal (4x/menit)
EKSTREMITAS
akral hangat, pucat, CRT <3’’, edema (-), nyeri sendi (-).
9
Pemeriksaan Neurologis
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Klonus - - - -
Reflek patologis - - - -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 25 Oktober 2016
Hematologi
Hb : 3,2 g/dL #
Eritrosit (RBC) : 0,84 x 106/mm3 *
Leukosit (WBC) : 3,0 x 103/mm3 *
Hematokrit : 10% #
Trombosit : 9 x 103/µL #
MCV : 113,1 fL *
10
MCH : 38 pg *
MCHC : 34 g/dL
LED : 125 mm/jam *
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0%
Eosinofil : 0%*
Netrofil : 44 %
Limfosit : 46 % *
Monosit : 10 % *
Gambaran Sumsum Tulang
Kepadatan Sel : hiposeluler, partikel (+), globul lemak (+)
Trombopoesis : aktivitas tampak menurun, megakariosit tidak ditemukan
Eritropoesis : Aktivitas menurun, ditemukan NRBC 9%
Granulopoesis : Aktivitas tampak cukup, ditemukan mieloblast 5%,
promielosit 2%, mielosit 25%, metamielosit 25%, stab
20%, segmen 40%, eosinofil 1%, monosit 1%
Lain-lain : limfoblast 3%, limfosit 69%
Kesan : mendukung diagnosa anemia aplastik
Saran : monitor darah tepi hematologi rutin
MCHC : 35 g/dL *
LED : 39 mm/jam *
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0%
Eosinofil : 1%
Netrofil : 21 % *
Limfosit : 72 % *
Monosit : 6%
Retikulosit : 0,8 %
Kimia Klinik
Hati
AST/SGOT : 14 U/L
ALTSGPT : 11 U/L
Albumin : 4,5 g/dL
Ginjal
Ureum : 16 mg/dL *
Asam Urat : 2,7 mg/dL
Kreatinin : 0,44 mg/dL *
Elektrolit
Kalsium : 9,4 mg/dL
Natrium : 140 mEq/L
Kalium : 3,6 mEq/L
Klorida : 107 mmol/L *
IV. RESUME
Anak perempuan, usia 15 tahun dirujuk ke IGD RSMH dengan keluhan utama pucat
dan keluhan tambahan gusi berdarah dan sesak napas disertai sakit kepala. ± 7 hari
sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat terutama terlihat di kedua telapak
tangan dan bibir, disertai gusi berdarah, lalu penderita berobat ke bidan dan diberikan
vitamin penambah darah. ± 12 jam sebelum masuk rumah wajah, telapak tangan dan
kelopak mata bawah anak tampak semakin pucat dan anak tampak lemas, sakit kepala (+)
seperti terikat di sekeliling kepala, sesak napas (+), gusi berdarah (+) dan sulit berhenti,
lebam – lebam di tungkai (+), mimisan dan BAB hitam disangkal dan benjolan di rahang
bawah sebelah kanan, dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan, konsistensi lunak. Anak
lalu dibawa ke dokter umum dan dikatakan anemia. Dilakukan pemeriksaan laboratorium
dengan hasil Hb 3,2 eritrosit 900.000 leukosit 4290 MCV 115,6 MCH 37,8 MCHC 32,7,
penderita lalu dirujuk ke IGD RSMH.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,8 oC, napas 22 x/menit,
nadi 128 x/menit. Pada pemeriksaan keadaan spesifik didapatkan conjungtva anemis (+),
terdapat pembesaran KGB di region coli dekstra uk 0,5 x 0,5 cm.
13
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Oktober 2016, diperoleh hasil Hb: 3,2
g/dL, Eritrosit (RBC) : 0,84 x 106/mm3, Leukosit (WBC): 3,0 x 103/mm3, Hematokrit:
10%, Trombosit: 9 x 103/µL, LED: 125 mm/jam. Pada pemeriksaan BMP yang dilakukan
pada 24 Oktober 2016 didapatkan kesan mendukung diagnosa anemia aplastik.
V. DAFTAR MASALAH
Anemia Gravis
Sesak napas
Trombositopenia
Leukopenia
VIII. TATALAKSANA
- O2 Nasal 2 L/menit
- R/ transfuse PRC, pertama 150 cc, selanjutnya 4 x 200 cc
- Transfusi TC 3 x 9 unit
- IVFD D5 ½ NS gtt X
- Observasi perdarahan
- Observasi gangguan oksigenasi
- Rencana BMP
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
14
Tanggal/ RENCANA
CATATAN KEMAJUAN (S/O/A)
Jam TATALAKSANA
25-10-2016 S : pucat (+), sesak (+), gusi berdarah (+), P:
06.30 WIB demam (+) - Transfusi PRC (150)
(200) (200) (200)
O: - Transfusi TC 3 x 9 unit
Keadaan Umum: - IVFD D5 ½ NS GTT X
- Tampak sakit sedang - PO lactulosa syrup 3 x 1
- Sens: compos mentis cth
- TD: 100/60 mmHg - Inj. Ampisilin 3 x 1 g
- T: 37,8 oC. - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Nadi: 98 x/m, mg
- RR: 30 x/m, - Rencana BMP
Keadaan Spesifik:
- Kepala: konjungtiva anemis (+/+),
perdarahan gusi (+)
- Leher: teraba benjolan uk 0,5 x 0,5 cm
region colli dekstra
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di
kedua bagian thoraks
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
- Abdomen: datar, lemas. H/L tak teraba,
bising usus (+) normal
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT < 3”
A : Anemia gravis + gingival bleeding +
limfadenopati regio colli dekstra +
trombositopenia
O: P:
Keadaan Umum: - Transfusi TC 9 unit (1)
- Tampak sakit sedang (2) (3)
- Sens: compos mentis - IVFD D5 ½ NS GTT XV
- TD: 110/80 mmHg - PO lactulosa syrup 2 x 1
- T: 36,5 C. o cth
- Nadi: 102 x/m, - Inj. Ampisilin 3 x 1 g (8)
- RR: 23 x/m, stop
Keadaan Spesifik: - Inj. Gentamisin 2 x 100
- Kepala: konjungtiva anemis (+), mg (8) stop
perdarahan gusi (+) - Inj. Asam traneksamat 3
- Leher: perbesaran KGB (-) x 500 mg (5)
- Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor di Protokol anemia aplastic:
kedua bagian thoraks - Injeksi metilprednisolon
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur 2 x 17,5 mg selama 4 hari
(-), gallop (-) (1)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-), - Dilanjutkan prednison 2x
wheezing (-) 17,5 PO setelah injeksi
- Abdomen: datar, lemas, H/L tak teraba, selesai
Bising usus (+) normal 4 x menit - Sandlimun 2 x 125 mg
- Ekstremitas: akral pucat, hangat CRT < 3” (1)
A : anemia aplastik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hematopoiesis1,5
- Kompartemen kecil dari sel punca progenitor pluripotent yang secara morfologis
mirip dengan limfosit kecil dan mempunyai kemampuan membentuk semua
elemen myeloid
- Kompartemen besar dari sel-sel myeloid, eritroid, megariositik yang
berkemampuan berproliferasi menjadi turunannya
20
21
Eritropoiesis
Selama masa embrionik dan janin, gen globin teraktivasi dan terinaktivasi secara
sekuensial. Hemoglobin embrionik diproduksi selama eritropoiesis yolk sac, kemudian
digantikan hemoglobin fetal selama fase hepatik. Selama trimester ketiga, produksi rantai
gamma secara bertahap berkurang dan digantikan rantai beta menghasilkan hemoglobin
A (α2β2)
22
Granulopoiesis
Leukosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu fagosit dan limfosit. Fagosit terdiri dari granulosit
dan monosit, granulosit sendiri terbagi menjadi 3 jenis yaitu neutrofil, basofil dan
eosinofil. Sel prekursor limfosit dan sel plasma membentuk populasi imunosit. Dalam
perkembangannya, neutrofil dan makrofag mempunyai asal yang sama yaitu sel-sel
progenitor GM-CSF (granulocyte-monocyte-colony-stimulating factor), dihasilkan oleh
monosit dan limfosit. GM-CSF meningkatkan masuknya sel prekursor primitif ke dalam
jalur myeloid diferensiasi. G-CSF (granulocyte colony-stimulating factor) meningkatkan
produksi prekursor granulosit yang lebih matur. GM-CSF dan G-CSF, bekerja bersama,
dan mampu meningkatkan produksi neutrofil, memendekkan waktu produksi dasar dari
sel punca menjadi neutrofil matur yang biasanya berlangsung 10-14 hari, dan merangsang
aktivitas fungsional. Selama maturasi, terdapat kumpulan mitosis prekursor neutrofil-
mieloblas, promielosit, dan mielosit yang mengandung granul primer. Kumpulan pasca-
mitosis terdiri atas metamielosit, batang, dan leukosit PMN matur yang mengandung
granul spesifik.
Thrombopoiesis
Megakariosit adalah sel raksasa berinti banyak yang diturunkan dari sel punca primitif
dan bersifat poliploidi (16-32 kali lipat kandungan DNA normal) karen pembelahannya
melalui sel inti dan bukan sitoplasmik. Trombosit terbentuk dari invaginasi membran sel
megakariosit dan dilepaskan dari perifer. Thrombopoietin adalah pengatur utama
produksi trombosit. Trombosit menempel pada permukaan subendotel dan endotel yang
rusak melalui reseptor spesifik untuk protein adhesif, fakton von Willebrand, dan
fibrinogen. Trombosit juga memliki granul spesifik yang siap melepas kandungan mereka
setelah stimulasi dan memicu proses agregasi trombosit. Trombosit bersirkulasi selama
7-10 hari dan tidak memiliki inti.
23
Gambar 2. Hematopoiesis1
jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala bentuk radiasi. Sel pada
sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energi tingkat tinggi sinar γ, yang
dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap partikel α dan β (tingkat
energi β yang rendah membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang
mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastik.8
Virus. Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum
tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus,
herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia
aplastik.8
Penyebab lain. Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan
anemia aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa
anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis.
Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik lupus
erythematosus.6 Selain itu terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan
berkaitan dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum jelas.8
Familial (Inherited) Anemia Aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik antara
lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan gangguan
herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.7
3.2.3 Patofisiologi
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses
hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif
hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang. Mekanisme
pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat,
atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak.
Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun
sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan
sumsum tulang setelah graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis.
Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang
26
berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan
proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor
penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis
inhibiting cytokinesis seperti interferon γ dan tumor nekrosis factor α. Efek dari imun
sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa
hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap
terapi imunosupresif.9
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel
batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari
pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel induk
hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan hematopoetik
dengan jumlah normal atau meningkat.9
Patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendekatan utama
untuk pengobatannya: penggantian sel induk yang tidak sempurna dengan cara
transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak.9
3.2.4 Gejala dan Tanda Klinik
Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang
disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan
kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan
namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari
neutropenia.6 Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik
merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan
pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi
berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ
dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.7,8
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/ul (10x109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk
pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau
27
memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik
morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia
aplastik.6
Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan
hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor
myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang
Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.1
Gambar 3. A. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal B. Spesimen sumsum tulang
3
dengan biopsi dari pasien anemia aplastik
granulosit dan megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi
neoplastik. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
dieksklusi. 72
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi
eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan
normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.9
Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi
produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit.
3.2.8 Tatalaksana
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien
dengan anemia aplastic mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang
spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).10
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu
terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi
ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas
pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang. Berikut ini saya akan
bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini sulit
dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi.7
Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene mulut,
identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum
ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman
gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin semisintetik (ampisilin) dan
gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan
32
sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas
tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan
ampotericin-B atau flukonasol parenteral.7
Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika
adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC) jika
hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik.
Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan
eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsum
tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.7,8
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat trombosit jika
terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm3. Pemberian
trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi
anti trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.7
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.7
Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12
minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati
Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah belum jelas.
Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respon
sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau
Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk
meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.7
Terapi definitif
33
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi
definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu: 1.) Terapi imunosupresif;
2.) Transplantasi sumsum tulang.
Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama dalam
pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor
yang cocok.8 Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte
globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi.
ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic growth factor
sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat
tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan
utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi
imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A
dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi
lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi.7,8
Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi
definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang kompatibel
sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik berat. Transplantasi
sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40 tahun,
diberikan siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease (GvHD), transplantasi
sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70% kasus, dengan
kesembuhan komplit.7 Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok dengan
pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih muda dari 40
tahun yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.8
10%-15% kasus); (b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan
kambuh. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus; dan (c) penderita yang
mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita.8
memiliki umur 7 sampai 10 hari. Trombosit sangat penting untuk pembentukan bekuan
darah.11
3.3.3 Patofisiologi
ITP disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Diperkirakan bahwa ITP diperantai oleh
suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopenia pada neonatus yang
lahir dari ibu yang menderita ITP, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient
trombositopenia pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari seorang
penderita ITP. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami
percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang
diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita akan terjadi
mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Sebagian kecil yang
lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti autoantibodi oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit, kadar trombopoetin tidak meningkat,
menunjukan adanya masa megakariosit normal. 13
Untuk sebagian kasus ITP yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita ITP dengan tipe ini dapat dikatakan menderita ITP kronik tetapi
stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat aman. Pada kasus berat, auto
antibodi dapat langsung meyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga
megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani
pengobatan untuk menghindari resiko perdarahan internal atau organ dalam.11
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi ITP
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurang kompleks glikoprotein
IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein
Ib/IX,Ia/IIa,IV dan V dan determinasi trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang
bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji
36
antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan
neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan
trombositopenia.
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein
IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein
Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini.
1. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji
antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami
proses internalisasi dan degradasi.
2. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain.
3. Sel penyaji antigen yang teraktifasi mengekspresikan peptida baru pada
permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi
antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi menfasilitasi proliferasi
inisiasi CD4 positif Tcell clone (Tcell clone 1) dan spesifitas tambahan (Tcell
clone 2)
4. Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (Bcell
clone 2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis
antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi
antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B cell clone 1. 11,12,13
3.3.4 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari idiopatik trombositopenia purpura adalah meningkatnya
perdarahan akibat menurunnya jumlah platelet. Bentuk perdarahan dalam: 1) Purpura.
Perdarahan yang terjadi pada kulit dan membran mukosa (seperti di dalam mulut) yang
berwarna keunguan. Lebam yang tidak jelas penyebabnya, 2) Petekie. Bintik-bintik
merah di kulit. Terkadang bintik merah saling menyatu dan mungkin terlihat seperti ruam.
Bintik merah merupakan perdarahan di bawah kulit, 3) Perdarahan yang sulit berhenti, 4)
Perdarahan dari gusi, 5) Mimisan, 6) Menstruasi yang berkepanjangan pada wanita, 7)
37
manusia = the human T leukemia virus) dan retrovirus jenis cRNA, telah
ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan oleh kultur pada sel pasien dengan jenis
khusus leukemia/limfoma sel T yang umum pada provinsi tertentu di Jepang dan
yang terjadi sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro Karibia dan
Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr, suatu virus DNA, telah dibiak dari jaringan
limfoma Burkitt dan, pada kasus ini, penyakit ini diduga timbul karena infeksi EB
pada orang dengan pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan
malaria kronis. Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia adalah
kambuhnya leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam kasus setelah
transplantasi sumsum tulang untuk leukemia akut.
3. Radiasi. Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukemogenik. Terdapat
insiden leukemia tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom atom di Jepang,
pada pasien “ankylosing spondylitis” yang telah menerima penyinaran spinal dan
pada anak-anak yang ibunya menerima sinar X abdomen selama hamil.
4. Genetik dan Perubahan kromosom. Ada laporan beberapa kasus yang terjadi
pada satu keluarga dan pada kembar identik. Lebih dari itu, ada insiden yang
meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya sindroma Down (dimana
leukemia terjadi dengan peningkatan fekuensi 20-30 kali lipat), anemia Fanconi,
sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.
5. Zat kimia. Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan displasia sumsum
tulang dan perubahan kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa.
Zat pelarut dan kimia industri lainnya dapat menyebabkan leukemia lebih jarang
tetapi sukar membuktikan ini pada kasus individual. Zat khemoterapi merupakan
penyebab yang ditetapkan mantap, khususnya obat yang mengalkilasi seperti
khlorambusil, mustin dan melfalan, dan prokarbazin. Leukemia, khususnya AML
mielomonositik (M4) dan eritroleukemik (M6), bisa pada pasien limfoma yang
diobat dengan radiasi dan dengan obat-obatan ini.14,15
3.4.3 Patofisiologi
40
genetika, sehingga agaknya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak
dapat diabaikan.
Perkembangan LLA, seperti halnya keganasan hematologi lainnya, dipercayai
melibatkan proses transformasi yang terjadi pada suatu sel progenitor yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan ekspansi klonal yang tidak terbatas. Proses leukemogenik
berlaku pada jalur sel limfoid, sel B, atau sel T sehingga terbentuknya subtipe LLA yang
berlainan, tergantung tingkat diferensiasi sel pada saat proses tersebut berlangsung. Kira-
kira 80% dari kasus LLA menunjukkan cell-surface marker dari prekursor sel B. Hanya
1-2% dari kasus saja yang menunjukkan fenotipe tipikal dari sel B yang matang. LLA sel
T berlaku pada 15-20% dari kasus LLA dan biasanya berkaitan dengan faktor lain dalam
diagnosis seperti umur yang lebih tua, laki-laki, hitung sel darah putih yang tinggi, serta
penyakit ekstramedular dan semua hal yang menguatkan indikasi untuk kemoterapi.
Selain itu, identifikasi abnormalitas kromosom spesifik turut memegang peran penting
dalam penentuan terapi dan prognosis bagi subtipe LLA tertentu.16
42
ATP dan trombositopenia ‘biasa’ tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah
tepi, kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi juga menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia (terdapat pansitopenia), diagnosis lebih condong
pada anemia aplastik atau leukemia.
ANALISA KASUS
Seorang anak perempuan dirujuk ke RSMH dengan keluhan utama pucat. Menurut
waktu terjadinya, pucat dapat terjadi baik secara akut atau kronik. Penyebab pucat yang
terjadi secara akut dapat dipikirkan adanya perdarahan masif, leukemia akut, anemia
aplastik, anemia hemolitik autoimun akut dan G6PD deficiency anemia hemolitik.
Sedangkan secara kronik penyebabnya bisa thalassemia atau anemia defisiensi besi, asam
folat, vitamin B12, serta penyakit kronik. Dari anamnesis didapatkan bahwa pucat terjadi
sejak 7 hari SMRS, yang berarti pucat terjadi secara akut. Hal tersebut dapat
menyingkirkan diagnosis banding anemia dengan etiologi seperti yang telah disebutkan
di atas.
Dari anamnesis, tidak ditemukan bukti perdarahan masif ataupun riwayat trauma
akut yang bisa menyebabkan manifestasi anemia dan juga tidak ditemukan riwayat
perdarahan kronis. Walaupun demikian, ditemukan keluhan gusi yang sering berdarah
jika sedang menyikat gigi. Hal ini bisa mengarahkan kita kepada kondisi trombositopenia
yang membuat pasien rentan mengalami pendarahan. Pada pasien ini dalam pemeriksaan
fisik ditemukan ekimosis, hal ini mendukung terjadinya trombositopenia. Riwayat batuk
lama, sering demam, atau mengidap penyakit tertentu dalam jangka waktu lama
disangkal, dan dari pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat dan pertumbuhan tinggi dan
berat badan yang kurang kemungkinan anemia penyakit kronik bisa disingkirkan tapi
harus dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan anak mengeluh gampang lelah
dan sesak, serta ditemukan tanda-tanda anemia seperti konjungtiva anemis dan akral
pucat. Ditemukan juga gusi yang berdarah dan lebam pada tungkai anak yang merupakan
tanda khas dari trombositopenia.
Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di rahang bawah sebelah kiri dengan
konsistensi lunak, dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengganggu
aktivitas. Hal ini kemungkinan karena adanya infeksi pada anak ini. Dimana benjolan
44
45
pada rahang bawah merupakan pembengkakan pada kelenjar getah bening yang
umumnya terjadi ketika adanya infeksi setempat.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien rujukan dari dokter umum dan
memberikan hasil lab berupa Hb 3,2 Leukosit 4290 eritrosit 900.000 MCV 115,6 MCH
32,8 MCHC 32,7. Dapat disimpulkan adanya kondisi eritrositopenia dan leukopenia, hal
ini mengarahkan diagnosis kearah kegagalam dari sumsum tulang dalam memproduksi
sel darah, salah satunya anemia aplastik. Untuk pemeriksaan lebih komprehensif,
dilakukan kembali pemeriksaan laboratorium darah rutin dan bone marrow puncture pada
pasien. Didukung hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb kurang dari normal,
RBC kurang dari normal, WBC kurang dari normal, trombosit kurang dari normal,
(kesan: anemia, leukopenia, trombositopenia). Dipastikan melalui hasil gambaran
sumsum tulang pada kepadatan sel adalah hiposeluler, partikel (+), globul lemak (+), pada
trombopoesis didapatkan aktivitas yang menurun dan tidak ditemukan megakariosit, pada
eritropoesis ditemukan aktivitas yang menurun (kesan: mendukung diagnose anemia
aplastik).
Pasien berusia 15 tahun dan tidak memiliki riwayat keluarga yang memiliki
keluhan yang sama dengan pasien, sehingga dapat diduga bahwa ini adalah anemia
aplastik didapat. Pasien tidak pernah sakit sebelumnya, dan tidak pernah mengonsumsi
obat-obatan, dan tidak tinggal di dekat pabrik atau terpapar radiasi sebelumnya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa anemia aplastik bersifat idiopatik.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana simptomatis berupa transfusi PRC (150)
(200) (200) (200) (200) dikarenakan hb target pada pasien ini adalah 8 g/dl, transfusi TC
3x9 unit, dan IVFD D5 ½ NS gtt X. Anemia aplastik adalah penyakit life-threatening
kegagalan sumsum tulang yang bila tidak ditatalaksana dengan cepat akan meningkatkan
angka mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
2. Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Yogyakarta:
Penerbit KALIKA
3. WHO. Global anemia prevalence and trends 1995-2011. Geneva: World Health
Organization
4. Young NS, Phillip S, Rodrigo TC. Aplastic Anemia. Curr Opin Hematol. Vol
15(3): 162-163. 2008
5. Purnomo BH, Sutaryo, Ugrasena I. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
6. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps
TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.
7. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik
Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.
8. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment.
[serial online]1999;70:46-52.
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi/reprint/103/11/46. Diakses pukul
20.25, tanggal 5 Nov 2016.
9. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In:
Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology.
2nd ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.
10. Bakhshi S. Aplastic Anemia. http://emedicine.medscape.com/article/198759.
Diakses pada pukul 20.55, tanggal 5 Nov 2016.
11. Purwanto I. Purpura Trombositopenia imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed.
Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.
12. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006. P 241-53.
46
47
13. Cines DB, Blanchette VS. Immune Trombositopenic purpura. N Engl J Med.
2002; 346 (13): 995-1008
14. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi.
Cetakan ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2009.
15. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi 15. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2000
16. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik
Rudolph. Edisi 20. EGC, Jakarta: 2006
17. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1.
Cetakan ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007