Anda di halaman 1dari 7

1.

di klasifikasi, disebutkan dibagi juga menurut tingkat keparahannya, tapi tidak dijelaskan
pembagiannya bagaimana. bisa tolong dijelaskan?

Tinitus berdasarkan tingkat keparahan dampak fungsional dan fisiologis terhadap pasien
dibagi menjadi empat menurut Beisinger tahun 1998.
Derajat satu yaitu tidak menimbulkan tekanan yang dapat mengganggu kualitas hidup
penderita.
Derajat dua bila tinitus sudah mengganggu emosi, kognisi, perhatian, dan performa
penderita pada situasi tertentu, namun seringnya tidak mengganggu.
Derajat tiga bila sering menimbulkan gangguan, dan
Derajat empat bila selalu menyebabkan gangguan emosi, kognisi, perhatian, dan performa
penderita.

Beberapa kuesioner didesain untuk menilai dampak tinitus terhadap diri penderita,
contohnya Tinitus Handicap Inventory, Tinitus Questionnaire, Tinitus Functional Index, and
Tinitus Primary Function Questionnaire.

Tinnitus handicap inventory terdiri atas 3 subskala meliputi fungsional (11 item), emosional
(9 item), dan katastropik (5 item). Jawaban tiap item pertanyaan dapat ‘yes’, ‘no’, atau
‘sometimes’ dengan skor masing-masing 4, 0, dan 2. Nilai terendah 0 dan tertinggi 100.
Penilaian keparahan tinitus (skor total) meliputi no handicap (THI 0-16), mild (THI 18-36),
moderate (THI 38-56), severe (THI 58-76), dan katastropik (THI 78-100).
2. Apa saja pemeriksaan yang harus dilakukan saat ada penderita tinitus yg dtg?
Diagnosis tinitus didasarkan pada anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik THT-KL,
pemeriksaan pendengaran, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Anamnesis mempunyai peranan penting untuk mengetahui kualitas serta kuantitas
tinitus, lokasi, sifat (mendenging, mendesis, menderu, berdetak, gemuruh atau seperti riak
air) dan lama kejadian. Bila pada anamnesis didapatkan lama keluhan kurang dari satu bulan
dan durasi kurang dari satu menit dianggap tidak patologis. Tinitus dianggap patologis
umumnya terjadi minimal 5 menit, dan berulang lebih dari satu bulan.
Tinitus subyektif yang bersifat unilateral perlu dicurigai kemungkinan adanya
neuroma akustik atau riwayat trauma kepala. Pada tinitus subyektif bilateral kemungkinan
dapat disebabkan oleh intoksikasi obat, presbikusis, trauma bising dan penyakit sistemik.
Anamnesis pada penderita tinitus juga dilakukan dengan tujuan mengetahui tingkat
keparahan serangan tinitus yang berdampak dalam keseharian penderita. Keluhan tersebut
meliputi gangguan konsentrasi, stress, depresi hingga menimbulkan keinginan untuk bunuh
diri. Keluhan tersebut dihimpun dalam dua bentuk kuisioner terpadu, yaitu tinnitus
handicap inventory questioneres (THQ) dan tinnitus reaction questioneres (TRQ).3

Kualitas tinitus terbagi dalam dua jenis, yaitu bernada tinggi dan bernada rendah.
Tinitus bernada tinggi (mendenging) terjadi pada kelainan patologis di basal koklea, saraf
pendengar perifer dan sentral. Tinitus bernada rendah seperti gemuruh ombak khas pada
penyakit koklea (hidrops endolimfatika). Kuantitas dan intensitas tinitus penting
diperhatikan karena kemungkinan akan menyebabkan gangguan psikologis pada penderita.
Pada umumnya tinitus disertai dengan gangguan pendengaran, tetapi tidak semua
penderita menyadari hal tersebut karena sensasi bunyi yang diderita lebih dominan.

Pemeriksaan THT-KL dilakukan untuk melihat adanya kelainan di telinga luar dan
telinga tengah. Seringkali adanya serumen dapat menyebabkan keluhan tinitus. Perforasi
membran timpani dan kelainan di telinga tengah sesuai penyakit dapat menimbulkan
gangguan konduksi juga yang disertai tinitus.1
Pemeriksaan pendengaran, secara subyektif meliputi audiometri nada murni,
pemeriksaan obyektif menggunakan timpanometri,
pemeriksaan fungsi koklea menggunakan Otto Accpustic Emission (OAE), tes Short
Increment Sensitivity Index (SISI)
pemeriksaan untuk retrokoklea seperti Tone Decay dan Brainstem Evoked Response
Audiometry. Disamping itu pada penggunaan alat bantu dengar juga dibutuhkan
pengukuran terhadap Minimum masking level (MMI), dan Loudness discomfort level (LDL)
pada frekuensi 0.5, 1, dan 4 kHz.12
Pemeriksaan radiologis CT scan atau MRI dapat dilakukan untuk mengetahui
kelainan retrokoklear hingga intrakranial. Kelainan tinitus yang diduga akibat malformasi
vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan angiografi dan venogram Jugularis.
3. Bagaimana bising dapat menyebabkan tinitus dilihat dari patofisiologinya?

Kerusakan selektif di koklea


Paparan bising akan memberikan lesi pada koklea, Bising yang berbahaya
mengakibatkan populasi spesifik dari serabut-serabut saraf menjadi lebih sensitif dan
berlanjut mengalami kerusakan. Tinitus muncul setelah serabut-serabut saraf tersebut
mengalami degenerasi.18 Proses degenerasi serabut saraf aferen maupun eferen bersifat
permanen. Sesuai teori diskordan, tipe tinitus tergantung tempat lesi. Tinitus bertipe tonal
(frekuensi tertentu yang terkena) bila ada satu lesi, sedangkan bila terdapat banyak lesi,
tinitusnya bertipe komplek (banyak frekuensi yang terkena).

Gangguan sinyal auditori di nukleus koklear


Nukleus koklear terbagi dalam dua area meliputi dorsal cochlear nucleus dan ventral
cochlear nucleus. Masing-masing area mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu pembangkit
dan penghambat sinyal. Nukleus koklear dorsal merupakan bagian batang otak terpenting
sebagai tempat relay sinyal auditori dari sel-sel rambut koklea menuju ke otak. Proses
hambatan sinyal mempunyai peranan vital mencegah neuron lain untuk terus
membangkitkan sinyal.5 Suara keras dapat menimbulkan tinitus temporer tipe tonal akibat
gangguan sinyal dari SRL koklea. Nukleus koklear dorsal akan menganggap stimulus suara
tetap ada selama gangguan sinyal masih berlanjut meskipun tidak ada stimulus suara lagi. 1
Paparan bising dapat memblokade proses hambatan sinyal pada NKD. Proses
hambatan sinyal memerlukan neurotransmiter glisin. Neuron spesifik berfungsi sebagai
reseptor untuk menangkap glisin disebut glisin interneuron. Neuron glisin ini menjadi
penghubung antar neuron di NKD. Kerusakan atau kematian glisin interneuron
mengakibatkan masing-masing neuron beradaptasi sesuai dengan keinginannya. Adaptasi
berupa peningkatan atau penurunan jumlah reseptor glisin pada permukaan selnya. Proses
ini menimbulkan efek pada sistem hambatan sinyal secara keseluruhan dan memicu
pengiriman sinyal yang salah ke otak. Kerusakan permanen serabut saraf di NKD
menyebabkan terjadinya tinitus yang persisten.5

Synaptic plasticity
Paparan bising tidak hanya merusak sel-sel rambut di koklea, namun bisa juga
menyebabkan degenerasi atau kematian neuron di saraf akustik dan batang otak. Pada
binatang coba, degenerasi neuron di NKD terjadi dalam 2 minggu dan degenerasi neuron
pada saraf akustik dan nukleus koklear ventral setelah paparan bising selama 8 bulan, pada
manusia belum diketahui namun diperkirakan sama. Degenerasi neuron ini memicu proses
perbaikan otomatis berupa menumbuhkan kembali akson dan ujung saraf baru. Proses ini
terus berlanjut sampai koneksitas antar neuron terjadi.
Perbaikan neuron tidak selalu berhasil, beberapa neuron mampu menjalin
koneksitas seperti sebelum terjadi degenerasi. Penyambungan kembali beberapa neuron
pasca degenerasi disebut synaptic plasticity. Peristiwa synaptic plasticity memberi 2
konsekuensi yaitu selama neuron glisin masih tersedia maka proses hambatan sinyal dapat
dilakukan kembali untuk mencegah tinitus, sedangkan konsekuensi yang lain berupa
koneksitas yang keliru dengan neuron untuk non akustik sehingga sinyal auditori bercampur
dengan sinyal gerakan otot di leher dan kepala memicu suara tambahan seperti tinitus.

Pelepasan glutamat
Kerusakan sel rambut dan perangkat auditori melepaskan glutamat, neurotransmiter
eksitasi sinyal yang sangat neurotoksik. Glutamat memblokade jalur cyclo-oxygenase dan
merangsang jalur arachidonate melepaskan N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang dapat
mensensitisasi reseptor glutamat memperberat efek kerusakan auditori. Kerusakan lebih
berat meningkatkan produksi stres oksidatif berupa radikal bebas seperti nitric oxide dan
nitrit peroksida.19
Radikal bebas merangsang sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor alfa
dan interleukin-6 yang semakin memperluas kerusakan dengan cara merusak protein dan
lemak.12,19 Hasil akhirnya, kadar glutamat dan NMDA yang sangat tinggi di otak
menimbulkan ketidakseimbangan bangkitan dan hambatan sinyal suara. Proses bangkitan
lebih kuat dibanding proses hambatan sinyal sehingga menimbulkan tinitus.

4. Apakah peranan ginko biloba dalam terapi tinitus? . Dari yang anda ketahui, apakah terapi
tinitus yang paling baik?

Ginkgo biloba dahulu dipercaya merupakan suplemen herbal dalam bentuk ekstrak yang
dapat memberikan proteksi terhadap tinitus. Ginkgo mengandung flavone glycoside (24%)
dan terpene lactone (6%) sebagai vasodilator yang bisa meningkatkan aliran darah ke telinga
dalam dengan cara melancarkan aliran darah arteri serta merangsang metabolisme seluler.
Ginkgo efektif mencegah tinitus dengan mereduksi terbentuknya radikal bebas akibat stres
oksidatif sel rambut di koklea.
Namun dari jurnal terbaru, tidak disarankan. bahkan Ginkgo biloba dapat berinteraksi
dengan pengencer darah menyebabkan perdarahan pada pasien dengan penyakit
pembekuan yang mendasari.

yang paling disarankan: Cognitive behavioural therapy

Cognitif behavioral therapy


Terapi tinitus ini terbagi dalam 2 bagian meliputi terapi kognitif dan terapi kelakuan.
Terapi kognitif memfokuskan pada bagaimana cara agar tinitus dapat tertutupi dengan
mengganti pikiran-pikiran negatif menjadi pikiran positif. Terapi ini meliputi konseling dan
restrukturisasi kognitif. Konseling yang dilakukan berupa informasi tinitus tidak membaik
dalam waktu singkat, informasi menangani tinitus secara mandiri lewat self-help groups,
membantu penderita untuk memilih membatasi aktivitas saat serangan tinitus meningkat
dan memaksimalkan aktivitas saat intensitasnya menurun, serta penekanan untuk
menghindari paparan bising setelah mengalami NIHL dan tinitus.1
Restrukturisasi kognitif berupa suatu perubahan pemikiran berhubungan dengan
tinitus. Terapi ini membuat penderita memahami bahwa tinitus bukan sesuatu yang
memerlukan semua perhatiannya.1 Cognitif behavioral therapy merupakan terapi psikologi
yang secara klinik dapat meningkatkan kualitas hidup penderita tinitus. 26
Terapi kelakuan meliputi pembentukan imajinasi positif, pengontrolan perhatian,
dan latihan relaksasi. Imajinasi positif berupa pemikiran sesuatu yang menyenangkan untuk
mengalihkan tinitus. Penderita dirangsang dengan gambar visual berupa berjemur di pantai
dan imajinasi auditori seperti suara ombak atau suara angin menerpa daun. Pengontrolan
perhatian ditekankan pada kemampuan mengalihkan perhatian terhadap tinitus saat terjadi
serangan. Penderita memulainya dengan menempatkan 2 gambar secara bersebelahan
kemudian dirangsang dengan 2 stimulus auditori. 1 Latihan relaksasi berguna mengurangi
tegangan otot pada lengan, wajah, leher, bahu, perut, tungkai, dan kaki yang berkontribusi
menimbulkan tinitus.1,5
Rehabilitasi dengan terapi suara mengkombinasikan terapi konseling dan perangkat
auditoris (Active masking, Sound generator, alat bantu dengar dan neuromonic).

5. Bagaimana mekanisme terjadinya tinitus yg disebabkan oleh obat2an?

Kebisingan dan bahan ototoksik dapat merusak membran basilaris koklea, sel rambut
luar/outer hair cells (OHC) diikuti kerusakan sel rambut dalam/inner hair cells (IHC) yang
lebih resisten. Kondisi lainnya, terjadi perubahan rangkaian membrana tektorial dengan
stereosilia IHC dan menyebabkan depolarisasi. Kondisi modifikasi dari aktivitas aferen
auditorik ini akan menyebabkan persepsi tinnitus.
Disfungsi OHC merangsang pelepasan neurotransmiter secara berlebihan dari IHC
yang mengakibatkan peningkatan potensial endokoklear. Tinitus juga dapat disebabkan oleh
hiperaktivitas OHC akibat aktivitas patologis koklea dan edema sel rambut luar (peningkatan
elektromotilitas). Selain itu adanya kerusakan OHC mempengaruhi perubahan resistensi
sistem koklea yang dianggap bertangung jawab atas gelombang persisten pada telinga
dalam yang menimbulkan emisi otoakustik spontan dan tinitus.

Adanya trauma lokal/gangguan mekanik pada koklea berupa bahan ototoksik, trauma
bising, gangguan metabolik, gangguan neurologi dapat menyebabkan perubahan pemetaan
tonotopik pada korteks auditorik primer. Perubahan ini tidak selalu berhubungan dengan
gangguan pendengaran, tetapi dapat disertai adanya peningkatan emisi spontan dan
peningkatan sinkronisasi saraf.

6. Jelaskan patofisiologi tinitus objektif yg disebabkan oleh faktor mekanik & apa
contohnya?
Tinitus obyektif menimbulkan suara yang dapat didengar oleh penderita dan pemeriksa
lewat stetoskop.
Tinitus objektif ini biasanya intensitasnya berubah dengan pergerakan badan seperti
menggertakkan rahang, menekan kepala/leher.
Suara terdengar berupa klik, gebukan, rushing, atau suara lain yang atonal. Tinitus tersebut
merupakan presentasi dari beberapa proses mekanik di dalam atau di dekat telinga.
Contohnya adalah
-mioklonus palatal yaitu spasme rapid dari muskulus palatal 40-200x/menit, adapula yg
berkaitan dengan eye movement--> oculopalatal myoclonus
pada tipe mekanis, dapat diberikan karbamazepin dgn dosis awal 3x100 mg, ditingkatkan
3x200 mg dalam 3 minggu.
-spasme muskulus stapedial
- Tuba Eustachius Patulous (TEP) merupakan suatu keadaan dimana saluran tuba
Eustachius (TE) terbuka terus menerus, sehingga penderita mendengar suara saat bernafas,
melenan, mengunyah.

7. Apakah penyakit Meniere itu dan bagaimana mekanisme menyebabkan tinitus?

kelompok gejala episode vertigo, tuli sensorineural fluktuatif, tinitus, rasa penuh pada
telinga.

disebabkan hydrops endolimfatik yaitu pelebaran atau dilatasi sistem endolimfe serta
degenerasi elemen sensorik koklea maupun vestibuler. Dilatasi koklea terjadi pada
membran reisner sehingga membran bisa pecah dan terjadi percampuran cairan endolimfe
dan perilimfe, shg tjd perubahan kadar natrium dan kalium fisiologis yg berpengaruh pd
transduksi suara. Matriks ekstraseluler dapat menjadi jaringan fibrotik, yaitu pada koklea,
serabut saraf, atrofi stria muskularis, dan struktur jaringan penyangga pada organ korti.

Diagnosis Penyakit Meniere

 Audiometri yang dilakukan untuk membedakan apakah tuli disebabkan oleh


gangguan konduksi atau gangguan saraf. Pada penyakit meniere biasanya ditemukan
tuli sensorineural (gangguan saraf).
 Electronystagmogram, yang dilakukan untuk mengevaluasi fungsi keseimbangan
seseorang.
 Elektrokokleografi (ECoG) dapat dilakukan dan hasilnya dapat mengindikasikan
adanya peningkatan tekanan di telinga dalam.
 Tes respon auditorik batang otak (ABR), sebuah tes terkomputerisasi yang dapat
membantu dokter melihat jaras saraf auditorik ke otak.

9. Kira2 mengapa tinitus lebih banyak diderita pria dibanding wanita, dan meingkat seiring
usia?

Perbedaan ini mungkin disebabkan laki-laki lebih banyak dalam profesi terpapar bising,
seperti manufaktur, konstruksi, dan dinas militer. Laki-laki juga lebih cenderung
berpartisipasi dalam perilaku terpapar bising seperti berburu dan olahraga motor.

Tinnitus lebih sering terjadi pada populasi yang lebih tua karena gangguan pendengaran
yang berkaitan dengan usia dan akumulasi gangguan pendengaran yang akibat bising. selain
itu, organ2 telinga yang berdegenerasi memungkinkan lebih rentan terjadi tinitus.
Cross talk theory menjelaskan bahwa serabut saraf auditori intak dapat
berhubungan dengan saraf kranialis lain yang mengalami kerusakan pada selubung mielin.
Sinap baru (crosstalk) dapat terjadi antara masing-masing serabut saraf menghasilkan fase
penguncian (phase-locking) aktivitas spontan pada grup sel-sel saraf auditori. Pada kondisi
normal terdapat inhibisi yang diperantarai oleh asam gamma amino butyric acid (GABA)
yang memediasi mekanisme inhibisi dan eksitasi. Saat kondisi tanpa rangsangan suara dari
luar terbentuk di saat GABA menurun maka akan terbentuk pola neural yang mirip dengan
pola-pola neural hasil dari rangsangan suara asli.7
Teori plastisitas auditori menyebutkan bahwa kerusakan koklea memperbesar
aktivitas neural pada jalur auditori sentral. Perwujudan plastisitas auditori ini merupakan
suatu konsekuensi dari penyimpangan jalur sinyal. Pengurangan jalur sinyal dianalogkan
seperti sensasi anggota tubuh yang teramputasi yang oleh otak dianggap sebagai suara.
Bangkitan tinitus diduga berasal dari lobus temporal pada area korteks auditori dan
kolikulus inferior

2.3 Kelainan neurofisiologi


Dewasa ini dikemukakan teori keterlibatan susunan saraf sentral dalam mekanisme
persepsi tinitus berdasarkan teori neurofisiologi tinitus. Deteksi tinitus terjadi di area
subkorteks, persepsi pada area korteks, sistem limbik dan area prefrontal korteks.
Struktur otak di dinding medial (limbus) hemisfer serebri terdiri dari nukleus yang
berhubungan dengan hipokampus, amigdala dan girus fornikatus. Efek sistem limbik
dipengaruhi endokrin dan sistem otonomik motor. Sistem ini memantau perilaku multifaset
yaitu emosi, memori, motivasi dan perasaan bila teraktifasi menyebabkan emosi dan cemas.
Adanya aktivitas neuronal yang tidak seimbang dideteksi sebagai sinyal baru di area
subkorteks diteruskan ke korteks auditorius dievaluasi dan disimpan sebagai bunyi tinitus.
Jalur ini yang menjadi dasar untuk habituasi penderita dalam penatalaksanaan tinitus

Anda mungkin juga menyukai