Anda di halaman 1dari 3

2.

2 Phenytoin
2.2.1 Definisi Phenytoin
Phenytoin merupakan obat antiepilepsi yang masuk dalam golongan hidantoin.
Phenytoin merupakan obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi , kecuali bangkitan lena.
Sekarang hal ini telah tergeser oleh obat yang profil keamanannya lebih baik yaitu asam
valproat dan lamotrigin. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C 5 penting
untuk pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkann gugus alkil berkaitan dengan efek
sedasi, efek yang terdapat pada mefenitoin akan tetapi tidak pada phenytoin. Adanya gugus
metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya mefenitoin dan hasil Ndemetilasi oleh enzim mikrosom hati yang menghasilkan metabolit tidak aktif .
2.2.2 Mekanisme kerja Phenytoin
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan
penyebaran kejang. Namun, umumnya obat anti epilepsi lebih cenderung bersifat membatasi
proses penyebaran kejang dari pada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum
ada dua mekanisme kerja, yakni : peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi
yang kemudian memodifikasi konduksi ion : Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas
neurotransmiter, meliputi :
1. Inhibis kanal Na+ pada membran sel akson.
2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus yang berperan sebagai peace maker
untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks.
3. Peningkatan inhibisi GABA
a. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Clb. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi reuptake dan
metabolisme GABA.
4. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui :
a. Blok reseptor NMDA
b. Blok reseptor AMPA

2.2.3 Farmakodinamik Phenytoin

Phenytoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi SSP. Dosis toksik dapat
menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebri. Sifat antikonvulsi
phenyytoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di
otak. Efek stabilisasi membran sel oleh phenytoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran
sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Phenytoin
mempengaruhi berbagai sistem fisiologik; dalam hal ini, khususnya konduktans Na +, K+, Ca2+
neuron, potensial membran dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA.

2.2.4 Farmakokinetika Phenytoin


Absorpsi phenytoin yang diberikan secara peroral berlangsung lambat, sesekali tidak
lengkap; 10% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak
dalam plasma dicapai dalam waktu 3-12 jam. Bila loading dose perlu diberikan 600-800 mg,
dalam dosis terbagi antara 8-12 jam. Kadar efektif dalam plasma akan tercapai dalam waktu
24 jam. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak
lebih rendah daripada kadar dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah. Pengikatan phenytoin oleh
albumin plasma kira-kira 90%. Pada keadaan hipoalbuminemia/ uremia terjadi penurunan
protein plasma, kadar phenytoin plasma total juga menurun, tetapi phenytoin bebas tidak jelas
menurun, sehingga bila pada keadaan ini dosis phenytoin ditambah dapat mengakibatkan
terjadinya toksisitas. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan pemakai obat kontrasepsi
oral, fraksi bebas kira-kira 10%, sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati
atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata 15%. Pada pasien epilepsi
fraksi bebas berkisar anatara 5,8%-12,6%. Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf
sehingga kerjanya lebih lama, tetapi awal kerja lebih lambat dibandingkan dengan
phenobarbital. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi dengan enzim
mikrosom hati. Metabolit utamanya adalah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi oleh
enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peningkatan
dosis akan meningkatkan kadar phenytoin dalam serum secara tidak proporsional dan
menyebabkan intoksikasi. Oksidasi pada satu gugus fenil dapat menghilangkan efek anti
konvulsinya. Sebagian besar metabolit phenytoin diekskresi bersama empedu, kemudian
mengalami reabsorpsi yang selanjutnya di absorpsi kembali dan mengalami biotransformasi
lanjutan sebelum akhirnya di ekskresikan melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya
mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi.

2.2.5 Interaksi Obat

Anda mungkin juga menyukai