Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Gresham Arceliusindi Mulya 04054821820083

Yudha Dwi Satrio NS 04054821820142

Pembimbing:

dr. Ria Nova, SpA (K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2019

I
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Gresham Arceliusindi Mulya 04054821820083

Yudha Dwi Satrio NS 04054821820142

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 29 Juli – 7 Oktober
2019.

Palembang, Agustus 2019

Pembimbing,

dr. Ria Nova, SpA (K)

II
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Penyakit Jantung
Rematik” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ria Nova,
Sp.A (K) selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan
sehingga tugas laporan kasus ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Demikian lah penulisan tugas ilmiah ini, semoga
bermanfaat.

Palembang, Agustus 2019

Tim Penulis

III
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN........................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................24
BAB IV ANALISIS KASUS..................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................46

IV
BAB I
PENDAHULUAN

Demam rematik dan penyakit jantung rematik telah lama dikenal. Demam rematik
(DR) dan atau Penyakit jantung rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah suatu sindroma
klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan
yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu
poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit
Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele)
dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Demam rematik terjadi
sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi,
jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.
Penyakit demam rematik dapat menyebabkan peradangan pada seluruh bagian jantung
terutama pada katup-katup jantung yang akan mengalami fibrosis (scar) dan sebagian
besar yaitu 50% nya mengenai katup mitral, menyebabkan manifestasi kronik pada masa
dewasa bahkan kematian.
Setiap tahun kurang lebih didapatkan 300.000 kasus PJR baru di dunia. Lebih dari
100.000 kasus baru demam rematik didiagnosa setiap tahunnya, khususnya pada kelompok
anak usia 6-15 tahun. Angka kejadian yang tinggi di negara berkembang berhubungan
dengan sosial ekonomi yang rendah, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, infeksi
tenggorok yang tidak diobati atau penanganan yang lambat, lingkungan yang padat,
industrialisasi, dan urbanisasi.Sementara dinegara maju insiden penyakit ini mulai
menurun karena tingkat perekonomian lebih baik dan upaya pencegahan penyakit lebih
sempurna. Menurut WHO tahun 2001, dari seluruh kematian akibat penyakit
kardiovaskuler, terdapat 1,96% disebabkan oleh PJR. Menurut laporan Depkes RI tahun
2004, jumlah kematian akibat PJR sebesar 120 orang dari 1.064 penderita PJR yang
dirawat inap diseluruh rumah sakit di Indonesia. Secara Nasional mortalitas akibat PJR
cukup tinggi dan ini merupakan penyebab kematian utama penyakit jantung sebelum usia
40 tahun.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. BR
b. Umur : 11 tahun (07 Maret 2008)
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Nama Ayah : Tn. D
e. Nama Ibu : Ny. E
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Tanjung Miring, Rambang Kuang, Ogan Ilir
i. MRS Tanggal : 16 Juli 2019

II. ANAMNESIS
Tanggal : Rabu, 30 Juli 2019
Diberikan oleh : Penderita dan ibu penderita (autoanamnesis/alloanamnesis)
A. Riwayat Perjalanan Penyakit
Keluhan utama : Sesak napas
Keluhan tambahan : Demam
Riwayat perjalanan penyakit :
+ 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak, sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca atau emosi, suara mengi ketika sesak (-), sesak berkurang
ketika istirahat. Jantung dirasakan berdebar-debar (+). Demam (+), naik turun,
menggigil (-), panas turun ketika pasien minum paracetamol. Batuk (-), nyeri
menelan (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), bintik-bintik atau ruam merah di
kulit (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), gerakan-gerakan cepat tanpa tujuan dan
sukar dikendalikan (-), benjolan pada tubuh (-). Pasien juga mengeluh sering
mengalami nyeri sendi yang berpindah sebelumnya. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien belum berobat.
± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh demam (+),
menggigil (-). Sesak masih ada, sesak berkurang ketika istirahat, batuk (-), nyeri

2
menelan (-). Nyeri sendi yang berpindah (+), nyeri perut (-) nyeri kepala (-), mual
(-) dan muntah (-), bintik-bintik atau ruam merah di kulit (-), gusi berdarah (-),
mimisan (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penderita hanya mengonsumsi
paracetamol hingga keluhan membaik.
± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak semakin hebat, sesak semakin
meningkat dengan aktivitas dan mudah lelah. Sesak berkurang sedikit dengan
beristirahat (+). Penderita terbangun pada malam hari karena sesak (+) dan
membaik dengan posisi tertentu. Nyeri sendi (+), demam (+), menggigil (-), mual
(-), muntah (-). Nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (+). Bengkak kedua tungkai
kaki (+), perut penderita semakin membesar (+). BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Penderita dibawa ke IGD RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

B. Riwayat sebelum masuk rumah sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan
Perawatan antenatal : Periksa ke bidan ( 1 bulan 1 kali)
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Kelahiran
Masa kehamilan : 38 minggu (cukup bulan)
Partus : Spontan
Tempat : Di rumah
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 7 Maret 2008
BB : 2900 gram
PB : 48 cm
Lingkar Kepala : Ibu lupa
Kondisi saat lahir : Lahir langsung menangis
Riwayat KPSW : Tidak ada

2. Riwayat Makanan
ASI : 0 – 6 bulan (1 payudara, setiap bayi menangis,
lamanya ± 15 menit)
Susu botol : 0 – 24 bulan (3x sehari, ± 50cc)

3
Nasi tim/lembek : 6 – 12 bulan (3x sehari, @ 3 sdt)
Nasi biasa : 12 bulan – sekarang (3x sehari, @ 2 centong nasi)
Daging : 2 x seminggu (@ 1 potong ayam)
Ikan : 1 x seminggu (@ ½ potong ikan)
Tempe : 1-2 x seminggu (@ 1 potong)
Tahu : 1-2 x seminggu (@ 1 potong)
Sayuran : 2 x seminggu (@ 1 porsi)
Buah : jarang
Kesan :asupan makanan cukup secara kuantitas tapi tidak
cukup secara kualitas

C. Riwayat Imunisasi
Vaksin I II III IV V

BCG √ (2 bulan)
Scar (+)

DPT √(2 bulan) √(3bulan) √(4bulan) √(18bulan)

POLIO √(2 bulan) √(3bulan) √(4bulan) √(5 bulan) √(18bulan)

HEPATITIS B √(2 bulan) √(3bulan) √(4bulan)

HiB √(2 bulan) √(3bulan) √(4bulan)

CAMPAK √(9 bulan)

Kesan : imunisasi dasar PPI lengkap

D. Riwayat Keluarga
Ayah ibu
Perkawinan pertama pertama
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Buruh IRT
Penyakit yang pernah diderita - -

E. Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan

4
Berat Badan : 31 kg
Tinggi Badan : 130 cm
BB/U : P25-P10
TB/U : <P3
BB/TB : 114%
Kesan : Gizi baik dengan perawakan pendek

Perkembangan
 Berbalik : 3 bulan

5
 Tengkurap : 5 bulan
 Merangkak : 7 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Berdiri : 10 bulan
 Berjalan : 14 bulan
 Berbicara : 18 bulan
Kesan : Perkembangan sesuai usia

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah bekerja sebagai buruh dan ibu penderita sebagai ibu rumah tangga.
Pendapatan perbulan tidak menentu ± Rp. 2.500.000,-/bulan.
Kesan : sosial ekonomi menengah ke bawah.

G. Riwayat Sanitasi dan Higienitas


Penderita tinggal dirumah sendiri, dengan penghuni berjumlah 5 orang. Bangunan
rumah terbuat dari bata dan semen dan lantai terbuat dari tanah, sebagian semen.
Sumber air yang digunakan untuk MCK dan minum berasal dari PDAM. Tempat
pembuangan sampah berada ±500 m dari rumah penderita, sampah dikumpulkan
di plastik sebelum dibuang ke tempat pembuangan di belakang rumah penderita.

H. Riwayat Kebiasaan
- Kebiasaan makan jajanan sekolah
- Kebiasaan tidak cuci tangan sebelum makan
- Kebiasaan tidak sikat gigi sebelum tidur

I. Riwayat penyakit yang pernah diderita


- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat batuk pilek yang disertai nyeri menelan berulang ada
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat biru saat kecil (-)
- Riwaat nyeri sendi (+)
- Riwayat bercak merah muda pada kulit (-)
- Riwayat sakit gigi dan bolong sejak usia 7 tahun, pasien tidak pernah berobat
6
III. PEMERIKSAAN FISIK (Rabu, 30 Juli 2019)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :N : 117x/menit, reguler, isi kurang
RR : 26x/menit
S : 36,7oC
TD : 100/60mmHg
Status : BB : 31 kg BB/U : P25-P10
Antropometri PB : 130 cm TB/U : <P3
BB/TB : 114%
Kesan : Gizi Baik dengan perawakan pendek

Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor ᴓ 3mm
Telinga : Deformitas (-/-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus (-),
nyeri tekan mastoid (-), serumen (+) minimal
Hidung : Deformitas (-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
mukosa hiperemis (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, bibir sianosis (-), cheilitis (-) stomatitis (-),
atropi papil (-), gusi berdarah (-), tampak
Tenggorok : Faring hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T1-T1, detritus (-),
kripta (-)
Leher : JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Dada : simteris, retraksi (-)
Pulmo :
I : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris statis dan
dinamis
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor pada kedua lapang paru.
A : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

7
Cor :
I : Ictus cordis terlihat pada ICS VI linea axillaris anterior sinistra
P : Ictus cordis teraba pada ICS VI linea axillaris anterior sinistra,
thrill (+)
P : Batas atas jantung linea parasternalis ICS II, batas kiri jantung
ICS VI linea axillaris anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS
V linea midclavicularis dextra.
A : HR 117 x/menit, bunyi jantung I-II (+) normal, reguler,
murmur pansistolik (+) derajat 4/6 dengan punctum maksimum di
area apeks, menjalar ke aksilla, gallop (-)
Abdomen :
I : Datar, pelebaran pembuluh darah (-)
P : Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar teraba 2 cm
bawah arcus costae dan 2 cm bawah processus xiphoideus, tepi
tumpul permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : Bising usus (+) 4x/m
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill time< 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-)

IV. STATUS NEUROLOGIKUS


Lengan Lengan
Fungsi motorik Kaki kanan Kaki kiri
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks fisiologis Tidak ada kelainan
Refleks patologis Tidak ada kelainan
Gejala rangsang
Tidak ada kelainan
menigeal
Fungsi motorik Dalam batas normal
Nervi craniales Dalam batas normal

8
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (16 Juli 2019)

Pemeriksaan laboratorium Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,0 12-14.4 g/dL
Eritrosit 5.61 4.75-4.85 106/mm3
Leukosit 13.13 4.5-13.5 103/mm3
Hematokrit 40 36-42 %
Trombosit 208 217-497 103/µL
MCV 70.6 75-87 fL
MCH 21 25-31 pg
MCHC 30 33-35 g/dL
RDW-CV 21.20 11-15 %
LED 4 <15 mm/jam
Hitung jenis leukosit
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3 1-6 %
Neutrofil 53 50-70 %
Limfosit 36 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
IMUNOSEROLOGI
PETANDA INFEKSI
CRP Kuantitatif <5 <5 mg/L
ASTO Reaktif Non reaktif

Pemeriksaan laboratorium (23 Juli 2019)

Pemeriksaan laboratorium Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,4 12-14.4 g/dL
Eritrosit 6.86 4.75-4.85 106/mm3
Leukosit 23.99 4.5-13.5 103/mm3
Hematokrit 48 36-42 %
Trombosit 726 217-497 103/µL
RDW-CV 22.20 11-15 %
LED 39 <15 mm/jam

9
IMUNOSEROLOGI
PETANDA INFEKSI
CRP Kuantitatif <5 <5 mg/L

Pemeriksaan laboratorium (1 Agustus 2019)

Pemeriksaan laboratorium Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,3 12-14.4 g/dL
Eritrosit 6.25 4.75-4.85 106/mm3
Leukosit 35.24 4.5-13.5 103/mm3
Hematokrit 42 36-42 %
Trombosit 854 217-497 103/µL
MCV 67.8 75-87 fL
MCH 21 25-31 pg
MCHC 31 33-35 g/dL
RDW-CV 22.00 11-15 %
LED 3 <15 mm/jam
Hitung jenis leukosit
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-6 %
Neutrofil 73 50-70 %
Limfosit 20 20-40 %
Monosit 7 2-8 %

Pemeriksaan Rontgen Thoraks

10
Gambar 1. Rontgen Thorax AP

Pada pemeriksaan foto Toraks AP didapatkan:


- Jantung membesar ke kanan dan ke kiri
- Trakea di tengah
- Hilus kanan dan kiri tidak menebal
- Tak tampak infiltrate maupun nodul di kedua paru
- Diaphragma licin
- Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Kesan: Kardiomegali

Pemeriksaan Echocardiografi (19 Juli 2019)

11
Kesan:
Severe tricuspid regurgitation + severe mitral regurgitation, prolaps ANVL +
moderate aortic regurgitation + severe pulmonal regurgitation

VI. RESUME
Anak perempuan, usia 11 tahun dibawa ke IGD RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang dengan keluhan sesak semakin hebat. + 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit, pasien mengeluh sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau emosi, sesak
berkurang ketika istirahat. Berdebar-debar (+), demam (+). Panas turun ketika pasien
minum paracetamol. Pasien juga mengeluh sering mengalami nyeri sendi yang
berpindah sebelumnya. Pasien belum berobat. ± 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, penderita mengeluh demam (+), Sesak masih ada. Nyeri sendi yang berpindah
(+). Penderita hanya mengonsumsi paracetamol hingga keluhan membaik. ± 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, sesak semakin hebat, sesak semakin meningkat dengan

12
aktivitas dan mudah lelah. Sesak berkurang sedikit dengan beristirahat (+). Penderita
terbangun pada malam hari karena sesak (+) dan membaik dengan posisi tertentu.
Nyeri sendi (+), demam (+), jantung berdebar-debar (+). Bengkak kedua tungkai kaki
(+), perut penderita semakin membesar (+). BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Penderita dibawa ke IGD RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, suhu 36,7oC, napas
26 x/menit, nadi 117 x/menit. Pada pemeriksaan keadaan spesifik didapatkanictus
cordisterlihat, ictus cordis teraba di ICS VI aksila anterior sinistra disertai dengan
thrill, batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas kiri jantung ICS VI linea
axillaris anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V linea midclavicularis dextra
dengan kesan terdapat pembesaran jantung, HR 117x/menit, terdapat bising (murmur)
pansistolik derajat 4/6 dengan punctum maksimum di area apeks.
Pada pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil Hb 12,0 g/dL, RBC
5,16x106/mm3, Trombosit 208.000/μl, MCV 70.6 fL, MCH 21 pg, MCHC 30 g/dL,
RDW-CV 21.20, ASTO (+); pemeriksaan rontgen thorax diperoleh kardiomegali
(gambaran jantung yang membesar), pemeriksaan echocardiografi diperoleh gambaran
regurgitasi katup-katup sedang-berat.

VII. DAFTAR MASALAH


1. Sesak
2. Demam
3. Nyeri sendi

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Congestive Heart Failure (CHF) NYHA III ec. Regurgitasi Mitral Berat +
Regurgitasi Aorta Sedang + Regurgitasi Trikuspid Berat + Regurgitasi Pulmonal
Berat + Penyakit Jantung Rematik e.c Bakteri Streptococcus
2. CHF NYHA III ec. Infective Endocarditis ec Penyakit Jantung Rematik e.c Bakteri
Streptococcus

IX. DIAGNOSIS KERJA

13
1. Congestive Heart Failure (CHF) NYHA III ec. Regurgitasi Mitral Berat +
Regurgitasi Aorta Sedang + Regurgitasi Trikuspid Berat + Regurgitasi Pulmonal
Berat + Penyakit Jantung Rematik

X. TATALAKSANA
Non-farmakologis
- Istirahat, posisi ½ duduk
- Diet Jantung III
- Balance cairan
Farmakologis
- Benzatin penisilin G 1 x 1.200.000 unit IM
- Prednison 60 mg (3-3-3-3) mulai tapering off minggu ke-3
- Furosemid 2x30 mg IV
- Spironolacton 2x25 mg PO
- Aspirin 6x500 mg IV mulai minggu ke-3, dikurangi dosisnya setelah 2 minggu
pengobatan
- Captopril 2x12.5 mg PO
- PCT 500 mg jika suhu > 38,5oC
Edukasi
- Mengurangi aktivitas fisik dan stres
- Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik profilaksis sekunder dan efek
samping pengobatan
- Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan
mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis
- Menjelaskan prognosis penyakit

XI. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
Tanggal 31 Juli 2019

14
S Sesak berkurang
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 121 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,7oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
JVP (5+2) cm H2O
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung Inspeksi: Ictus cordis terlihat ICS VI axillarisanterior
sinistra
Palpasi : Ictus cordisteraba pada ICS VI axillarisanterior
sinistra disertai thrill (+)
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra, dan
batas kanan jantung ICS V linea midclavicularis dextra.
Auskultasi: HR 121 x/menit. BJ I-II (+) normal reguler,
murmur (+) sistolik, gallop (-)
Abdomen Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar
teraba 2 cm BAC dan 2 cm BPX,
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 4 x / menit
Genitalia Tidak diperiksa

15
Ekstremitas Edema (-), sianosis (-), capillary refilltime< 3 detik,
akralhangat (+), nyeri sendi (-), clubbingfinger (-)
A Decompensasio cordis NYHA III e.c. Penyakit Jantung
Rematik
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
Oksigen 2 liter per menit via nasal canule jika sesak
Farmakologis
- Inj. Benzatin penisilin G 1 x1.200.000 unit IM
(diberikan 17/7/2019)
- Prednison 60mg (3-3-2-3) po
- Furosemide 2 x 30 mg iv
- Spironolacton 2 x 25 mg
- Captopril 2 x 12,5 mg po

Tanggal 1 Agustus 2019


S Sesak berkurang
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 118 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,8oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
JVP (5+2) cm H2O
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung Inspeksi: Ictus cordis terlihat ICS VI axillarisanterior

16
sinistra
Palpasi : Ictus cordisteraba pada ICS VI axillarisanterior
sinistra disertai thrill (+)
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra, dan
batas kanan jantung ICS V linea midclavicularis dextra.
Auskultasi: HR 118 x/menit. BJ I-II (+) normal
reguler,murmur (+) sistolik, gallop (-)
Abdomen Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar
teraba 2 cm BAC dan 2 cm BPX,
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 4 x / menit
Genitalia Tidak diperiksa
Ekstremitas Edema (-), sianosis (-), capillary refilltime< 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-), clubbingfinger (-)
A Decompensasio cordis NYHA III e.c. Penyakit Jantung
Rematik
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
Oksigen 2 liter per menit via nasal canule jika sesak
Farmakologis
- Inj. Benzatin penisilin G 1 x1.200.000 unit IM
(diberikan 17/7/2019)
- Prednison 60mg (3-3-2-3) po
- Furosemide 2 x 30 mg iv
- Spironolacton 2 x 25 mg
- Captopril 2 x 12,5 mg po

Tanggal 2 Agustus 2019


S Sesak berkurang
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang

17
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 113 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,8oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
JVP (5+2) cm H2O
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung Inspeksi: Ictus cordis terlihat ICS VI axillarisanterior
sinistra
Palpasi : Ictus cordisteraba pada ICS VI axillarisanterior
sinistra disertai thrill (+)
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra, dan
batas kanan jantung ICS V linea midclavicularis dextra.
Auskultasi: HR 113 x/menit. BJ I-II (+) normal
reguler,murmur (+) sistolik, gallop (-)
Abdomen Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar
teraba 2 cm BAC dan 2 cm BPX,
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 4 x / menit
Genitalia Tidak diperiksa
Ekstremitas Edema (-), sianosis (-), capillary refilltime< 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-), clubbingfinger (-)
A Decompensasio cordis NYHA III e.c. Penyakit Jantung

18
Rematik
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
Oksigen 2 liter per menit via nasal canule jika sesak
Farmakologis
- Inj. Benzatin penisilin G 1 x1.200.000 unit IM
(diberikan 17/7/2019)
- Prednison 60mg (3-2-2-3) po
- Furosemide 2 x 30 mg iv
- Spironolacton 2 x 25 mg
- Captopril 2 x 12,5 mg po

BAB III

19
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Penyakit Jantung Rematik (PJR) merupakan kerusakan katup jantung yang
disebabkan oleh respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus yang terjadi saat
demam rematik sebelumnya. PJR lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami
keterlibatan jantung berat pada serangan demam rematik akut. Walaupun karditis dan
deman rematik dapat mengenai perkardium, miokardium dan endokardium, namun
kelainan yang menetap hanya ditemukan pada endokardium, terutama katup jantung.
Katup yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa
insufisiensi tetapi bila penyakit telah berlangsung lama dapat berupa stenosis.
Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang menyerang multisistem akibat
infeksi dari Streptokokus β-hemolitikus grup A pada faring (faringitis) yang biasanya
menyerang anak dan dewasa muda. Demam rematik menyebabkan terjadinya peradangan
yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan jaringan ikat. Pada daerah endemik, 3%
pasien yang mengalami faringitis oleh Streptokokus berkembang menjadi demam rematik
dalam 2 - 3 minggu setelah infeksi saluran nafas bagian atas tersebut.

ETIOLOGI
Streptokokus adalah bakteri gram positif yang ciri khasnya berpasangan atau
membentuk rantai selama pertumbuhannya. Terdapat sekitar dua puluh spesies
Streptokokus, termasuk Streptococcus pyogenes (grup A), Streptococcus agalactie (grup
B) dan Enterococci (grup D). Secara morfologi, Streptokokus merupakan bakteri
berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai yang membentuk gambaran
diplokokus atau terlihat seperti bentuk batang. Panjang rantai sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dinding sel Streptokokus mengandung protein
(antigen M, R, dan T), karbohidrat (spesifik untuk tiap grup), dan peptidoglikan. Pada
Streptokokus grup A, terdapat juga pili yang tersusun dari sebagian besar protein M yang
dilapisi asam lipoteikoat. Pili ini berperan penting dalam perlekatan Streptokokus ke sel
epitel.
Banyak Streptokokus mampu menghemolisa sel darah merah secara in vitro
dengan berbagai derajat. Apabila Streptokokus menghemolis sempurn sel darah merah
yang ditandai dengan adanya area yang bersih (clear zone) disebut sebagai β-hemolitikus.

20
Sedangkan apabila hemolisa dari sel darah merah tidak sempurna dan menghasilkan
pigmen berwarna hijau disebut α-hemolitikus. Dan Streptokokus lain yang tidak
mengalami hemolisa disebut γ-hemolitikus.
Streptokokus β-hemolitikus grup A, seperti Steptococcus pyogenes merupakan
agen pencetus yang menyebabkan terjadinya demam rematik akut. Tidak semua serotip
Streptokokus grup A dapat menimbulkan demam rematik. Serotip tertentu Streptokokus β-
hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari
penderita dengan demam rematik akut. Namun, karena serotip tidak diketahui pada saat
diagnosis klinis faringitis Streptokokus, klinisi harus menganggap bahwa semua
Streptokokus grup A mempunyai kemampuan menyebabkan demam rematik, karena itu
semua episode faringitis Streptokokus harus diobati.
Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes. Apabila
tidak ada antibodi spesifik tipe-M, organisme ini mampu bertahan terhadap proses
fagositosis oleh polimorfonuklear. Protein M dan antigen pada dinding sel Streptokokus
memiliki peranan penting dalam patogenesis demam rematik.

PATOGENESIS
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik, yakni
agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host (manusia), dan
faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas dan
melekat pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan organisme ini mampu
menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan pada faring selama 2 minggu,
sampai antibodi spesifik terhadap Streptokokus selesai dibentuk.
Protein M, faktor virulen yang terdapat pada dinding sel Streptokokus, secara
immunologi memiliki kemiripan dengan struktur protein yang terdapat dalam tubuh
manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup jantung (laminin), sinovial
(vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nukleus kaudatus (lysogangliosides) yang
terdapat diotak . Adanya kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya
respon autoimun pada demam rematik. Kelainan respon imun ini didasarkan pada
reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang akan
mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin
dan antibodi spesifik yang secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip
dengan antigen Streptokokus. Seperti pada korea Sydenham, ditemukan antibodi pada

21
nukleus kaudatus otak yang lazim ditemukan terhadap antigen membran sel Streptokokus.
Dan ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi silang dengan
N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A, membuktikan bahwa antibodi
bertanggung jawab terhadap kerusakan katup jantung.
Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya demam rematik, namun
mekanisme yang pasti belum diketahui. Resiko terjadinya demam rematik setelah faringitis
oleh Streptokokus, pada mereka yang mempunyai kerentanan secara genetik, adalah
sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan secara genetik. Telah
diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B dari 75% penderita demam rematik, sedangkan
hanya didapatkan 16% pada yang bukan penderita. Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa antigen HLA-DR merupakan petanda PJR.
Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan demam
rematik. Kebersihan lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, sarana kesehatan
yang kurang memadai juga pemberian antibiotik yang tidak adekuat pada pencegahan
primer dan sekunder demam rematik, meningkatkan insidensi penyakit ini.

MANIFESTASI KLINIS
Terdapat periode laten selama 3 minggu (1-5 minggu) antara infeksi
Streptokokus dengan munculnya manifestasi klinis demam rematik. Namun pada korea
dan karditis, periode latennya mungkin memanjang sampai 6 bulan. Gejala faringitis
Streptokokus umumnya tidak spesifik, hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
antibodi terhadap Streptokokus. Manifestasi klinis demam rematik yang paling sering
dijumpai adalah demam dan poliarthritis. Poliarthitis didapati pada 60-75% kasus dan
karditis pada 50-60%. Prevalensi terjadinya korea bervariasi antar populasi, yakni
antara 2-30%. Sedangkan eritema marginatum dan nodulus subkutan jarang dijumpai,
sekitar kurang dari 5% kasus demam rematik.
1. Manifestasi Mayor
a. Karditis
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam rematik akut dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. 40-60% pasien
demam rematik akut berkembang menjadi PJR. Karditis ini mempunyai gejala yang
nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, demam ringan, mengeluh nafas pendek,
nyeri dada dan arthalgia. Karena manifestasi yang tidak spesifik dan lamanya

22
timbul gejala, setiap pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan
teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk
elektrokardiografi dan ekokardiografi harus selalu dilakukan. Pasien yang pada
pemeriksaan awal tidak dijumpai adanya karditis harus terus dipantau sampai tiga
minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2-3 minggu pascainfeksi, maka
selanjutnya ia jarang muncul.
Miokardium, endokardium dan perikardium juga sering terlibat dalam karditis.
Miokarditis biasanya terjadi dengan adanya takikardi, pembesaran jantung dan
adanya tanda gagal jantung. Perikarditis sering dialami dengan adanya nyeri pada
jantung dan nyeri tekan. Pada auskultasi juga sering dijumpai adanya bising gesek yang
terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan viseral. Bising gesek ini dapat
didengar saat sistolik maupun diastolik. Diagnosa karditis ditegakkan dengan menemukan
1 dari 4 kriteria dibawah ini:
 Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukkan adanya
insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja, tanpa adanya bising jantung organik
tidak dapat disebut sebagai karditis.
 Perikarditis (bising gesek, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan EKG).
 Kardiomegali pada foto toraks, dan
 Gagal jantung kongestif

b. Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi yang paling sering dari demam rematik, terjadi
pada sekitar 70% pasien demam rematik. Arthritis menunjukkan adanya radang sendi
aktif yang ditandai nyeri hebat, bengkak, eritema dan demam. Nyeri saat istirahat yang
menghebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah
serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis
sembuh dalam 1 minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu.
Arthritis demam rematik ini berespon baik dengan pemberian asam salisilat.

23
c. Korea Sydenham
Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus demam rematik dan dua kali lebih
sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada
susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari
korea ini cukup lama, sekitar 3 minggu sampai 3 bulan dari terjadinya demam rematik.
Gejala awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas. Lalu diikuti dengan gerakan
yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan inkoordinasi muskular. Semua otot
dapat terkena, namun otot wajah dan ekstremitas adalah yang paling mencolok.
Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan namun menghilang
saat pasien beristirahat (. Emosi pasien biasanya labil, mudah menangis,
kehilangan perhatian, gelisah dan menunjukkan ekspresi yang tidak sesuai. Apabila
proses bicara terlibat, pasien terlihat berbicara tertahan-tahan dan meledak-
ledak.Meskipun tanpa pengobatan, korea dapat menghilang dalam 1-2 minggu. Namun
pada kasus berat, meskipun diobati, korea dapat bertahan 3- 4 bulan bahkan sampai 2
tahun.

d. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada demam rematik yang terjadi
kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, makular, berwarna merah jambu atau
kemerahan dengan tepi eritema yang menjalar dari satu bagian ke bagian lain,
mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, dengan
bagian tengah yang terlihat lebih pucat, muncul paling sering pada batang tubuh dan
tungkai proksimal namun tidak melibatkan wajah. Eritema biasanya hanya dijumpai
pada pasien karditis, seperti halnya nodulus subkutan.

e. Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis
(Carapetis, 2010). Ukuran nodul bervariasi antara 0,5-2 cm, tidak nyeri, padat dan
dapat bebas digerakkan. Kulit yang menutupinya dapat bebas digerakkan dan pucat,
tidak menunjukkan tanda peradangan. Nodul ini biasanya muncul pada karditis rematik
dan menghilang dalam 1-2 minggu.

24
2. Manifestasi Minor
Demam hampir selalu terjadi pada poliarthritis rematik. Suhunya jarang mencapai
40oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan.
Arthralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya nyeri, merah,
hangat) juga sering dijumpai. Arthalgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam rematik akut dengan gagal jantung
oleh karena distensi hati. Anoreksia, mual dan muntah juga sering muncul, namun
kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epistaksis
berat juga mungkin dapat terjadi. Pada penderita yang belum diobati, biakan usapan
faring sering positif bakteri Streptokokus hemolitikus. Titer antisteptolisin-O (ASTO)
akan meningkat. Kadar antibodi ini akan mencapai puncak sekitar satu bulan
pascainfeksi dan menurun sampai normal setelah sekitar 2 tahun, kecuali pada
insufisiensi mitral yang dapat bertahan selama beberapa tahun. Laju endap darah juga
hampir selalu meningkat, begitu juga dengan protein C-reaktif.
Pada pemeriksaan EKG, sering menunjukkan sinus takikardia, namun
terkadang dapat dijumpai normal. Pemanjangan interval P-R terjadi pada 28-40% pasien.
Pemanjangan interval P-R ini tidak berhubungan dengan kelainan katup atau
perkembangannya.

Diagnosis
Demam rematik dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, dapat sendiri
atau bersama-sama. Tidak ada satu manifestasi klinis atau uji laboratorium yang cukup
khas untuk diagnostik, kecuali korea Sydenham murni, dan karena diagnosis harus
didasarkan pada kombinasi beberapa temuan. Semakin banyak jumlah manifestasi
klinis maka akan semakin kuat diagnosis.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria untuk
diagnostik yang didasarkan pada manifestasi klinis dan penemuan laboratorium sesuai
dengan kegunaan diagnostiknya. Manifestasi klinis demam rematik dibagi menjadi
kriteria mayor dan minor, berdasarkan pada prevalensi dan spesifisitas dari manifestasi
klinis tersebut.
Dasar diagnosis pada pasien demam rematik: (1) Highly probable (sangat mungkin)
yaitu jika ditemui 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2
manifestasi minor disertai bukti infeksi Streptokokus β-hemolitikus grup A yaitu

25
dengan peningkatan ASTO atau kultur positif. (2) Doubtful diagnosis (meragukan)
yakni jika terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi
minor namun tidak terdapat bukti infeksi Streptokokus β-hemolitikus grup A. (3)
Exception (pengecualian) yakni jika diagnosis demam rematik dapat ditegakkan bila
hanya ditemukan korea saja atau karditis indolen saja.
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan melanjutkan penggunaan kriteria Jones
yang diperbaharui (tahun 1992) untuk demam rematik serangan pertama dan serangan
rekuren demam rematik pada pasien yang diketahui tidak mengalami penyakit
jantung rematik. Untuk serangan rekuren demam rematik pada pasien yang sudah
mengalami penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan menggunakan minimal
dua kriteria minor disertai adanya bukti infeksi SGA sebelumnya.

Tabel 1 . Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik


dan Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
 Demam rematik serangan pertama  Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren  Dua mayor atau satu mayor dan dua
tanpa PJR minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren  Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
 Korea Sydenham  Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
 PJR (stenosis mitral murni atau  Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi mitral untuk mendiagnosis sebagai PJR
dan/atau gangguan katup aorta)

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor


 Karditis  Klinis
 Poliartritis migrans - Artralgia
 Korea - Demam
 Eritema marginatum  Laboratorium
 Nodulus subkutan - Peningkatan reaktan fase akut yaitu:
LED dan atau CRP yang meningkat
- Interval PR yang memanjang

26
ASTO (Anti Streptolisin Titer O)
Streptokokus merupakan bakteri gram positif yang memiliki banyak grup (A-H dan
K-O). Organisme ini memproduksi enzim, dimana streptokokus grup C, D, dan A
memproduksi enzim yang sama, yaitu streptolisin O. Streptolisin O merupakan toksin
hemolitik oksigen-labil yang menyebabkan hemolisis pada sel darah merah.
Ketika tubuh terinfeksi oleh salah satu grup streptokokus tersebut, tubuh
memproduksi antibodi terhadap toksin streptolisin O yang disebut sebagai antistreptolisin
O atau ASO. Titer ASO merupakan tes yang digunakan untuk mengukur kadar antibodi ini
dalam serum darah. Kadar antibodi ini mulai meningkat pada minggu ke 1-3 setelah
infeksi streptokokal, mencapai puncak pada minggu ke 3-5, kemudian perlahan menurun
dan kembali pad akadar normal dalam 6-12 bulan, sehingga hasil tes positif dapat
mengindikasikan adanya infeksi yang sedang berlangsung ataupun mendukung penegakan
diagnosis komplikasi post infeksi streptokokus. Tes ulang perlu dilakukan pada 10 hari
setelah tes pertama untuk melihat peningkatan titer.
Banyak manusia terpapar oleh bakteri streptokokus tanpa menunjukkan gejala,
sehingga keberadaan ASO sendiri tidak dapat mengindikasikan adanya penyakit, namun
titer dalam kadar lebih dari 166 Todd unit secara umum dianggap sebagai peningkatan
yang nyata dan dianggap sebagai ASO positif pada dewasa.

PENATALAKSANAAN
Semua pasien demam rematik akut harus menjalani tirah baring, jika mungkin di
rumah sakit. Lama dan tingkat tirah baring tergantung pada sifat dan keparahan serangan.
Pasien harus diperiksa setiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk memulai
pengobatan dini apabila terjadi gagal jantung. Karena karditis hampir selalu terjadi dalam
2-3 minggu sejak awal serangan, maka pengamatan ketat harus dilakukan selama masa itu.
Tabel 2.PedomanTirahBaringdanRawatJalanpadaPasienDemamRematik
Karditis Karditis
Hanya Artritis Karditis Berat
Ringan Sedang
Tirah baring 1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu Selama masih
terdapat gagal
jantung
kongestif

27
Ambulasi 1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
bertahap (boleh
rawat jalan bila
tidak mendapat
steroid)

Eradikasi Streptokokus merupakan syarat utama dalam pengobatan demam rematik


akut, sedangkan pengobatan lain bergantung pada manifestasi klinis penyakit. Pengobatan
Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan cara pengobatan faringitis Streptokokus,
yakni:
 Benzatin penicillin G, dosis tunggal
- Untuk BB ≥ 27 kg: dosis 1,2 juta unit, dan
- Untuk BB ≤ 27 kg : dosis 600.000-900.000 unit
 Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari
 Jika alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
- Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin, sefadroksil
- Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maks. 1,8 g/hari) selama 10
hari
- Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari dosis tunggal (dosis maks. 500 mg) selama 5 hari
- Klaritomisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis (maks. 250 mg/hari) selama 10 hari
- Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 kali sehari (dosis maksimum 1g/hari)
selama 10 hari
 Alternatif lain:
- Penisilin V (Phenoxymethylpenicilin) oral: BB > 27 kg 2-3 x 500 mg
BB ≤ 27 kg 2-3 x 250 mg
- Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (maks. 1 g) selama 10 hari

Pengobatan antiradang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut


demam rematik. Pada pasien arthritis, manifestasi akan berkurang dengan pemberian obat
antiradang (salisilat atau steroid). Pada pasien karditis terutama karditis berat, aspirin
sering kali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia,
sehingga harus ditangani dengan steroid, misalnya prednisone. Kriteria beratnya karditis
adalah: (1) Karditis minimal, jika tidak jelas ditemukan adanya kardiomegali. (2) Karditis

28
sedang apabila dijumpai kardiomegali ringan, dan (3) Karditis berat apabila jelas terdapat
kardiomegali yang disertai tanda gagal jantung.

Tabel 3. Panduan Obat Anti Inflamasi


Karditis Karditis
Hanya Artritis Karditis Berat
Ringan Sedang
Prednison - - 2-4 mgg* 2-6 mgg*
Aspirin a. 100
mg/kgBB/hr
dalam 4-6
dosis (2
mgg)
b. Kemudian 3-4 mgg** 6-8 mgg 2-4 bln
dosis
dikurangi
menjadi 60
mg/kgBB/ha
ri (4-6 mgg)

Dosis:
Prednison : 2 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 2 minggu dan diturunkan sedikit
demi sedikit (tapering off ) dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg
setiap 2-3 hari.Bila penurunan ini dimulai, aspirin 75 mg/kgbb/hari dalam 2
minggu dan dilanjutkan selama 6 minggu
Aspirin : 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 4-6 dosis; setelah minggu ke-2 dosis aspirin
diturunkan menjadi 60 mg/kgbb/hari.
Pada pasien korea yang ringan, umumnya hanya membutuhkan tirah baring. Pada
kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat
yang paling sering diberikan adalah fenobarbital dan haloperidol. Fenobarbital diberikan
dalam dosis 15-30 mg tiap 6-8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5mg),
kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg tiap 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus
berat, kadang diperlukan 0,5 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea,
kecuali pada kasus yang sangat berat dapat diberikan steroid.
PENCEGAHAN

29
Pencegahan primer demam rematik berarti mengeradikasi Streptokokus saat terjadi
infeksi saluran pernafasan bagian atas (faringitis) dengan pemberian antibiotik yang
adekuat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya demam rematik akut. Diagnosis faringitis
yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memberikan terapi antibiotik yang tepat juga.
Antibiotik akan efektif mengeradikasi Streptokokus dari saluran pernafasan atas dan
mencegah demam rematik, apabila diberikan dalam 9 hari sejak munculnya gejala
faringitis.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya demam rematik
berulang dan penyakit jantung rematik. Pencegahan sekunder ini wajib dilakukan pada
pasien yang pernah mengalami demam rematik baik dengan atau tanpa adanya gangguan
pada katup jantung. Untuk pencegahan sekunder digunakan:
Benzatin penisilin G:
BB ≤ 27 kg = 600.000 unit
Setiap 3 atau 4 minggu, i.m
BB > 27 kg = 1,2 juta unit
Alternatif lain:
Penisilin V : 2x 250 mg, oral
Sulfadiazin : BB ≤ 27 kg 500 mg sekali sehari
BB > 27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat diberikan:
- Eritromisin
- Klaritomisin
- Azitromisin
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai
faktor, yakni: waktu serangan, jumlah serangan demam rematik sebelumnya, usia pertama
kali terkena demam rematik, ada atau tidaknya PJR, ada atau tidaknya riwayat keluarga
yang menderita PJR, tingkat sosioekonomi dan keadaan lingkungan lainnya (WHO, 2004).
Makin muda saat terkena demam rematik, makin besar kemungkinan kumat, namun
setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi
pada 5 tahun pertama. Pasien dengan karditis lebih mudah kumat daripada pasien tanpa
karditis.

Tabel 4. Durasi Pencegahan Sekunder yang Disarankan (WHO, 2004)

30
Lama pemberian setelah serangan
Kategori
terakhir
Demam rematik dengan karditis dan Selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun,
penyakit jantung residual (kelainan katup pada beberapa kondisi (risiko tinggi terjadi
persisten) rekuren) dapat seumur hidup

Demam rematik dengan karditis tetapi tanpa Selama 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
penyakit jantung residual (tanpa kelainan
katup)

Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun

DECOMPENSATIO CORDIS
DEFINISI
Decompensatio cordis atau gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung
tidak mampu untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

PATOFISIOLOGI
Jantung normal dapat merespon penigkatan kebutuhan metabolisme menggunakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan cardiac output. Ini meliputi: respon sistem
saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, pengencangan dan pelebaran otot
jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, vasokonstruksi arteri renal dan
aktivasi sistem renin-angiotensin, dan respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH
dari reabsorpsi cairan. Mekanisme gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung sehingga curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal.
Konsep curah jantung baik: CO = HR x SV (CO: Cardiac Output/curah jantun, HR: Heart
Rate/frekuensi jantung, SV: Stroke Volume). Bila curah jantung berkurang, sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila
mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan , maka volume
sekuncup jantung yang mempertahankan curah jantung. Pada gagal jantung dengan
masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang
dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Tiga faktor yang mempengaruhi
volume sekuncup adalah preload, kontraktilitas, dan afterload.

31
TANDA DAN GEJALA
 Tanda
 Mekanisme kompensasi
 Takikardi
 Kardiomegali
 Kongesti vena pulmonal
 Takipnea
 Sesak napas
 Retraksi subkostal
 Wheezing pada bayi
 Kongesti vena sistemik
 Hepatomegali
 Distensi pembuluh darah di leher
 Edema pergelangan kaki
 Berkurangnya keluaran jantung (cardiac output)
 Ekstremitas dingin
 Berkurangnya kualitas/isi nadi
 Pengisian kapiler lama
 Gejala
 Bayi
 Pola makan buruk
 Gagal tumbuh kembang
 Napas pendek
 Keringat berlebihan
 Infeksi rekuren saluran perapasan bawah
 Anak-anak besar dan dewasa
 Malaise
 Napas pendek saat aktivitas
 Toleransi untuk berolahraga yang berkurang
 Penambahan berat badan (retensi cairan)
 Orthopnea

32
DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis, diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang meliputi foto dada, elektrokardiografi, ekhografi, analisis gas
darah, dan melihat petanda biologis gagal jantung.
Kriteria Framingham adalah suatu kriteria untuk mendiagnosis Congestive Heart
Failure (CHF) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan gagal jantung kongestif.
Kriteria ini dibuat pada tahun 1993 oleh grup peneliti Framingham Heart Study dan masih
digunakan hingga sekarang oleh seluruh tenaga kesehatan diseluruh dunia.
Diagnosis CHF ditegakan dengan kriteria Framingham jika terdapat minimal 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Berikut adalah Kriteria Framingham:
Kriteria Mayor

 Paroxysmal nocturnal dyspnea


 Distensi vena di leher
 Rales (ronkhi kering)
 Acute pulmonary edema
 Hepatojugular Reflux
 S3 Gallop
 Radiographic cardiomegaly
 Berat  badan berkurang 4,5 kg dalam 5 hari (sesudah diberi terapi gagal jantung)
 Central venous pressure lebih dari 16 cm H2O (menggunakan catheter vena)
 Pulmonary edema, visceral congestion, atau cardiomegaly pada
saat autopsy (untuk kepentingan diagnosis visum)

Kriteria Minor
 Batuk malam hari
 Efusi pleura
 Takikardi (>120 kali per menit)
 Edema pada kedua pergelangan kaki (angkle edema)
 Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari nilai maksimum
(menggunakan spirometri)

33
Kriteria Minor tidak bisa digunakan jika ada penyakit penyerta lain seperti pulmonary
hypertension,chronic lung disease, cirrhosis, ascites, atau nephrotic syndrome.

Kriteria Framingham memiliki sensitivitas yang baik tetapi spesifisitas-nya kurang baik:

 Sensitivity: 96%

 Specificity: 78%

a. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya:
-Sesak napas, terutama saat beraktivitas
- Sering berkeringat (Peningkatan tonus simpatis)
- Ortopnea : Sesak nafas yang mereda pada posisi tegak
- Dapat dijumpai mengi
- Edema di perifer atau pada bayi biasanya di kelopak mata
b. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik, antara lain:
- Kompensasi karena fungsi jantung yang menurun maka akan tampak:
 Takikardia
 Irama galop
 Peningkatan rangsangan simpatis, keringat dan kulit dingin/ lembab
 Kardiomegali
 Gagal tumbuh
- Tanda kongesti vena pulmonalis (gagal jantung kiri)
 Takipnea
 Ortopnea
 Wheezing atau ronki pada auskultasi paru
 Sesak nafas terutama saat beraktivitas
Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan)
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Edema perifer: palpebra udem pada bayi, udem tungkai pada anak,
 Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul
c. Pemeriksaan penunjang

34
 Elektrokardiogram (EKG): pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada
semua pasien diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal
jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya
dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%)
 Foto Toraks: merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik
 Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga
gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit),
elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan
urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.
Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien
dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama
pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin
Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau
antagonis aldosterone.

KLASIFIKASI
Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan New York Heart Association ada empat, yaitu:
 Kategori I: Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
 Kategori II: Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
 Kategori III: Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
 Kategori IV: Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat gejala
saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

35
Klasifikasi Ross dapat digunakan untuk menentukan derajat gagal jantung pada anak yaitu:
0 1 2
Berkeringat dingin Kepala kepala dan badan kepala dan badan
waktu aktivitas waktu aktivitas
Takipneu Jarang kadang-kadang sering
Pola nafas Normal retraksi dispneu
Laju nafas (x/menit)
 0-1 tahun <50 50-60 >60
 1-6 tahun <35 35-45 >45

 7-10 tahun <25 25-35 >35

 11-14 tahun <18 18-28 >28


HR (x/menit)
 0-1 tahun <160 160-170 >170
 1-6 tahun <105 105-115 >115

 7-10 tahun <90 90-100 >100

 11-14 tahun <80 80-90 >90


Jarak tepi hepar dari <2 cm 2-3 cm >3 cm
batas kostae
 Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
 Gagal jantung ringan : 3-6 poin
 Gagal jantung sedang : 7-9 poin
 Gagal jantung berat : 10-12 poin

PENATALAKSANAAN
1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi ditidurkan dengan posisi 30-
45 derajat.
2. Berikan oksigen (2-4 L/menit)
3. Berikan cairan ¾ kebutuhan normal perhari. Bila terdapat anemia berat berikan
transfusi darah (packed cell) terlebih dahulu, jumlah: 5-10 cc/kgBB diberikan
selama 2-3 jam
4. Medikamentosa:
a. Diuretika (furosemid) 1-2 mg/Kg/ kali iv diberikan dua kali per hari
b. Digitalisasi

36
Digitalisasi awal digoksin 30-50 ʮg/ KgBB sehari peroral dengan cara
pemberian:
 ½ dosis diberikan pertama kali
 ¼ dosis 8 jam kemudian
 ¼ dosis diberikan 16 jam setelah dosis pertama
Dosis pemeliharaan digoksin (oral) 10-20 ʮg/ Kg diberikan ada hari kedua
dan seterusnya. Indikasi digitalis: takikardia, atrial flutter, kardiomiopati.
Untuk dekompensasi dengan NYHA derajat I-III dapat langsung dengan
dosis pemeliharaan. Hati-hati pemberian digitalis pada DR/PJR,
bronkopneumonia. Digitalis tidak boleh diberikan pada stenosis aorta,
stenosis pulmonal, koarktasio aorta, anemia (Hb< 6g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
Dapat diberikan kaptopril oral, dengan dosis 0,1-2 mg/KgBB/kali dengan
dosis maksimum 6 mg/KgBB/hari (dipilih dosis rendah), diberikan dalam
tiga kali pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD), bronkopneumonia, anemia,
CHD, dll.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk menilai:
 Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas, berat badan
 Tekanan vena jugularis
 Pembesaran hati, edema
 Produksi urin dalam 24 jam

PROGNOSIS
Tergantung faktor pencetus/ penyebab yang mendasari;
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam: dubia ad malam
 Ad fungsionam: dubia ad malam

37
BAB IV
ANALISIS KASUS

Anak BR, perempuan, usia 11 tahun dibawa ke RSMH dengan keluhan utama sesak
disertai keluhan tambahan berupa demam. Anak BR didiagnosis dengan penyakit jantung

38
rematik dengan gagal jantung NYHA III berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan
keluhan sesak. Sesak yang dialami pasien tidak disertai dengan bunyi mengi pada
pernapasan, sesak cenderung dipengaruhi aktivitas dan berkurang ketika beristirahat. Sesak
bisa terjadi oleh beberapa mekanisme, seperti gangguan mekanik terhadap proses
ventilasi, kelemahan pompa napas, peningkatan usaha respiratorik dan sebagainya.
Gangguan mekanik terhadap proses ventilasi bisa berupa adanya obstruksi di saluran napas
(seperti asma), atau gangguan pengembangan paru. Kondisi asma pada anak BR dapat
disingkirkan karena tidak adanya bunyi mengi serta tidak adanya riwayat alergi pada
keluarga dan sesak saat inhalasi benda tertentu. Anak BR mengalami sesak yang lebih
dikaitkan dengan kondisi kelainan jantung, oleh karena pada anamnesis didapatkan bahwa
sesak lebih cenderung muncul pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu) dan
membaik dengan perubahan posisi. Pada PND, sesak timbul malam hari saat resorbsi
cairan intersitial masuk kedalam sistem sirkulasi sehingga menimbulkan bebanuntuk
jantung. Pasien membutuhkan perubahan posisi tidur sebab pada posisi terlentang hal ini
akan meningkatkan volume darah intratorakal dan jantung. Ventrikel kiri yang curahnya
sudah cukup menurun membuat tekanan akhir diastolik ventrikel meningkat akibat volume
residu ventrikel meningkat dan akhirnya membuat tekanan atrium kiri (left atrial pressure,
LAP) meningkat. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang keanyaman vaskular paru,
membuat peningkatan tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru yang melebihi tekanan
onkotik vaskular dan akan terjadi transudasi cairan ke dalam intersitial. Hal ini
menimbulkan edema intersitial yang di akhirnya menimbulkan edema paru. Edema paru
ini yang menjadi dasar mekanisme gangguan pengembangan paru dan .menimbulkan sesak
Gagal jantung yang dialami anak BR merupakan gagal jantung dengan klasifikasi
NYHA III, karena keluhan sesak yang mengganggu mulai dirasakan ketika beraktivitas
ringan dan membaik dengan istirahat. Selain sesak, sebelumnya pasien juga mengeluhkan
nyeri sendi dan demam. Selama perawatan di RSMH keluhan nyeri sendi sudah berkurang.
Nyeri sendi bersifat hilang timbul dan sering bergantian dengan sendi-sendi besar lainnya.
Nyeri sendi ini merupakan atralgia, suatu kondisi yang berbeda dengan artritis. Pada
artritis, nyeri sendi akan disertai dengan tanda objektif berupa bengkak, eritema dan panas.
Semua gejala ini tidak mesti ada, namun yang paling mencolok adalah nyeri pada saat
istirahat yang semakin hebat saat gerakan aktif atau pasif. Gejala atralgia termasuk dalam
kriteria minor pada kriteria Jones. Anamnesis terkait demam telah disingkirkan diagnosis
banding berupa malaria dan demam berdarah. Demam yang dialami anak BR lebih

39
dikaitkan kepada penyakit kolagen dan endokarditis karena adanya nyeri sendi dan sesak
napas serta ditemuinya bising jantung. Demam termasuk dalam kriteria minor dari kriteria
Jones. Demam pada demam rematik umumnya ringan jenisnya adalah demam remiten
tanpa variasi diurnal yang lebar, suhu jarang melebihi 39 oC, dan biasanya kembali normal
atau hampir normal dalam 2-3 minggu meskipun tanpa pengobatan.
Pemeriksaan fisik jantung pada anak BR ditemukan batas jantung yang membesar
serta bising sistolik berupa bising pansistolik. Bising atau murmur terjadi akibat turbulensi
aliran darah berbalik dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutupan katup yang tidak
sempurna (mitral regurgitation). Derajat bising yang dimiliki anak BR adalah 4/6 berupa
bising yang keras disertai getaran bising (thrill).
Pemeriksaan fisik abdomen pada anak BR ditermukan adanya hepatomegali yang
merupakan manifestasi dari gagal jantung kanan. Pada keadaan gagal jantung kanan akut
karena ventrikel kanan tidak bisa berkontrasi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium
kanan dan vena kava superior dan inferior, pada keadaan ini edema perifer, hepatomegali,
splenomegali belum terjadi. Pada gagal jantung yang kronis, ventrikel kanan pada saat fase
sistolik tidak mampu memompakan darah keluar dengan efektif, sehingga tekanan akhir
diastol ventrikel kanan meninggi dan membuat tekanan di atrium kanan meninggi. Hal ini
akan diikuti dengan bendungan di vena kava superior, inferior serta seluruh sistem vena,
sehingga menimbulkan hepatomegali dan edema perifer.
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil Hb 12,0 g/dL, RBC 5,16x106/mm3,
Trombosit 208.000/μl, MCV 70.6 fL, MCH 21 pg, MCHC 30 g/dL, RDW-CV 21.20,
ASTO (+), pada rontgen thoraks ditemukan kardiomegali, pada pemeriksaan
echocardiografi didapatkan kesan mitral regurgitasi berat, aorta regurgitasi sedang,
pulmonal regurgitasi berat, dan trikuspid regurgitasi berat. Dari seluruh hasil pemeriksaan
penunjang yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa anak BR mengalami penyakit jantung
rematik. Pada anak ini kadar serum hemoglobin masih dalam batas normal tetapi
borderline pada batas bawah nilai normal, dapat dilihat juga pada nilai indeks eritrosit
yang menurun, mulai terdapat tanda-tanda anemia pada pasien ini.
Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
ada, pasien didiagnosis sebagai demam rematik akut dengan Penyakit Jantung Rematik
(PJR), oleh karena memenuhi kriteria WHO tahun 2002-2003 untuk diagnosis Demam
Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan kriteria Jones), pada kasus ditemukan

40
2 kriteria mayor yaitu adanya karditis dan poliartritis migrans ditambah 2 kriteria minor
yaitu adanya atralgia dan demam didukung hasil pemeriksaan lab berupa bukti ASTO (+).
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan tirah baring sesuai derajat keparahan
PJR, diberikan Benzatin penisilin G 1 x 1.200.000 unit IM sekali suntik sesuai berat badan.
Pemberian profilaksis sekunder dari injeksi IM dilakukan secara reguler setiap 3-4 minggu
selama minimal 10 tahun karena karditis ditemukan pada kasus ini. Terapi anti-inflamasi
pada PJR dapat diberikan aspirin atau prednison. Pemberian prednison 2 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 2-6 minggu, sehingga diberikan dengan dosis 60 mg per hari.
Pemberian prednison pada kasus ini diindikasikan karena ditemukan kasus karditis berat.
Dosis prednisone di tapering off pada minggu ke 3 pemberian dan mulai diberikan aspirin.
Aspirin diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari selama 2-4 bulan, sehingga diberikan
dengan dosis 6x500 mg per hari. Terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi
bertahap menjadi 60 mg/kgBB/hari. Sesak pada kasus diatasi dengan pemberian
furosemide 2 x 30 mg, yang merupakan diuretik untuk mengurangi beban preload jantung.
Kombinasi dengan spironolakton untuk menahan kalium. Pada kasus juga diberikan
captopril 2 x 12,5 mg untuk mengurangi beban kerja jantung yang disebabkan karena
gagal jantung. Pada pasien ini disarankan untuk meningkatkan higienitas, hindari aktivitas
yang terlalu melelahkan, kepatuhan minum obat dan kontrol secara berkala untuk
memantau keadaan jantung pasien.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia yang berarti bila kesembuhan anak BR
masih diragukan, tergantung pada kepatuhan penderita dalam pengobatan. Pada pasien dan
keluarga anak BR diberikan edukasi bahwa penderita harus kontrol ulang di minggu ke-4
untuk mendapatkan terapi Penisilin Benzatin G 1.200.000 IU IM untuk pencegahan
sekunder terhadap infeksi Streptococcus sp. Keluarga pasien dijelaskan bahwa perlu
pemberian ulang Penisilin Benzatin G pada minggu ke 4 yang diberikan selama minimal
10 tahun tiap 4 minggu karena pasien sudah termasuk dalam kriteria diagnosis penyakit
jantung rematik menurut WHO makan disarankan kepada pasien untuk kontrol rutin ke
poli anak sehingga perkembangan dari penyakit jantung rematik ini mengarah pada
prognosis yang lebih baik. keluarga pasien juga mendapatkan penjelasan bahwa unntuk
kondisi penderita (karditis dengan gagal jantung) perlu tirah baring ketat selama masih
terdapat tanda-tanda gagal jatung kongestif.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Beirnsten, D. 2016. Rheumatic Heart Disease. In Behrman, R.E., Kliegman, R., and
Arvin, A.M.Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 21st. Philadelphia: Elsevier.
2. Carapetis JR, McDonald M, Wilson NJ. 2005. Acute rheumatic fever. Lancet.
366:155–68.

42
3. Divisi Kardiologi. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Divisi Kardiologi. Palembang:
Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin.
4. Mirabel, M., et al. 2014. Prevention of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease. Circulation. 130: e36-e37.
5. Park, Myung K. 2014. Rheumatic Heart Disease. Park’s Pediatric Cardiology for
Practitioners. Ed 6th. Philadelphia:Elsevier.
6. Shulman, ST. 2016. Rheumatic Fever. In Behrman, R.E., Kliegman, R., and Arvin,
A.M.Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 21st. Philadelphia: Elsevier.
7. World Health Organization, 2004. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease : A
Report of a WHO Expert Consultation, Geneva 29 October - 1 November 2001.
Geneva: World Health Organization.
8. Coccia CBI, Palkowski GH, Schweitzer B,Motsohi T, Ntusi NAB. 2015.
Dyspnea:pathophysiology and clinical approach.SAMJ. 106: 32-36.
9. Seckeler MD, Hoke TR. 2011. The worldwideepidemiology of acute rheumatic
feverand rheumatic heart disease. ClinEpidemiol. 3:67–84.
10. Harimurti GM. 2004. Demam rematik. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo S,
RoebionoPS, editors. Buku ajar kardiologi. Jakarta:Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia; hlm. 129-131.

43

Anda mungkin juga menyukai