Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

CA SERVIKS STADIUM III B + ANEMIA DERAJAT


SEDANG

Oleh:

Nur Mahmudah, S.Ked 04054821820090


Rd. Nurizki Abriyanti, S.Ked 04054821820091
Vicra Adhitya, S.Ked 04054821820051
Rulitia Nairiza, S.Ked 04054821820092

Pembimbing:

Dr. H. Irawan Sastradinata, SpOG(K), MARS

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus :

CA SERVIKS SUSPEK STADIUM III B + ANEMIA


DERAJAT SEDANG

Oleh:
Nur Mahmudah, S.Ked 04054821820090
Rd. Nurizki Abriyanti, S.Ked 04054821820091
Vicra Adhitya, S.Ked 04054821820051
Rulitia Nairiza, S.Ked 04054821820092

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 31 Desember 2018 – 10 Maret 2019.

Palembang, Januari 2019

Dr. H. Irawan Sastradinata, SpOG (K), MARS

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Kanker serviks” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Pusat Dr.
Moh. Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Dr. H. Irawan Sastradinata, SpOG (K), MARS selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat
selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
membangun sangat penulis harapkan. Demikian penulisan tugas ilmiah ini,
semoga bermanfaat.

Palembang, Januari 2019

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
HALAMAN PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
PENDAHULUAN 5
STATUS PASIEN 7
TINJAUAN PUSTAKA 13
ANALISIS MASALAH 29
DAFTAR PUSTAKA 31

BAB I
PENDAHULUAN

Kanker serviks dan lesi prakanker merupakan permasalahan besar pada


kesehatan wanita. Kanker serviks merupakan kanker nomor urut dua terbanyak
pada wanita di dunia dan merupakan kanker paling sering pada negara
berkembang.1 Kanker serviks terjadi di bagian bawah uterus yang terhubung ke
vagina, di sel-sel serviks. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 527.624 kasus
baru dan 265.672 kematian dikarenakan kanker serviks. Tingkat kanker serviks
tertinggi di negara Afrika Timur (termasuk Zimbabwe) dan terendah di negara-
negara Asia Barat, sedangkan di negara Asia Tenggara kanker serviks menempati
urutan kedua. Mayoritas penyebab kematian akibat kanker serviks di kalangan
perempuan pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.2
HPV telah diketahui berimplikasi pada 99,7% pada karsinoma skuamosa
serviks di dunia.3 Hubungan antara infeksi HPV genital dan kanker serviks
pertama kali dikenali pada awal 1980an oleh Harold Zur Hausen, seorang
virologis Jerman.4 Lebih dari 200 tipe HPV telah dikenali berdasarkan perbedaan
susunan DNA. Tipe-tipe spesifik dari HPV berkecenderungan menunjukkan
tropisme jaringan, dan berdasarkan tipe epitel yang diinfeksi, tipe HPV biasanya
dijelaskan sebagai tipe kutaneus atau mukosal. Pada umumnya, tipe kutaneus
menginfeksi epitel berkeratinisasi (terutama pada kulit dari tangan dan kaki),
sedangkan tipe mukosal menginfeksi epitel tak berkeratinisasi, utamanya epitel
traktus anogenital, walaupun mereka juga dapat ditemukan pada mukosa oral,
konjungtiva, dan saluran pernapasan. Dari berbagai jenis HPV, sekitar 30
menginfeksi traktus genital melalui kontak seksual. Tipe HPV genital menginfeksi
utamanya serviks, vagina, vulva, penis, dan anus. Tipe HPV genital ini lebih lanjut
dibagi menjadi tipe high risk dan low risk, berdasarkan hubungannya terhadap
kanker traktus genital. Tipe HPV low risk termasuk tipe 6, 11, 42, 43, dan 44
biasanya menyebabkan benign anogenital warts. Tipe HPV high risk
menyebabkan kanker anogenital dan yang termasuk adalah tipe 16, 18, 31, 33, 34,
35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68, dan 70.5
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku seksual usia dini
dan meningkatnya insidensi infeksi human papillomavirus (HPV) sebagai
penyebab kanker serviks meningkat di kalagan wanita usia muda. Terdapat studi
yang telah memperkirakan bahwa lebih dari 80% wanita aktif secara seksual akan
terinfeksi HPV.6 Infeksi onkogenik HPV adalah agen etiologi utama kanker
serviks 90% disebabkan oleh HPV tipe 16 dan HPV tipe 18.7
Studi molekular dari karsinogenesis HPV telah mengungkapkan
mekanisme dasar dimana HPV melakukan replikasi, dan transformasi sel serta
menginvasi sistem imun. Data epidemiologis dan klinis telah membawa pada
pembaharuan teknis skrining, termasuk tes klinis untuk infeksi HPV onkogenik
dan protokol tatalaksana yang didasarkan pada pemahaman yang lebih baik
mengenai sifat infeksi HPV dan penyakit premalignansi serviks.8
Sekarang ini terdapat tiga vaksin yang diizinkan dan tersedia yaitu
bivalent HPV virus like particle vaccine (2vHpV), quadrivalent HPV virus like
particle vaccine (4vHPV) dan nine-valent HPV virus-like particle vaccine
(9vHPV) yang memberikan perlindungan terhadap HPV 16 dan 18. Penggunan
vaksin HPV memiliki efek yang menguntungkan pada tingkat populasi 3 tahun
setelah pengenalan vaksin HPV. Selama bertahun-tahun penggunaan tes
papanicolaou (PAP) merupakan standar skrining dari kanker serviks untuk
mengurangi kejadian 60-90% dan tingkat kematian 90%, akan tetapi keterbatasan
tes ini adalah sensitivitas 50% dan proporsi spesimen tidak adekuat. Saat ini telah
diperkenalkan HPV deoxyribonucleic acid (DNA) sebagai alat skrining untuk
hampir semua kanker serviks yang telah menunjukkan sensitivitas lebih tinggi.
Analisis gabungan dari empat uji coba terkontrol secara acak dari skrining serviks
berbasis HPV versus sitologi konvensional menunjukkan bahwa skrining serviks
berbasis HPV memberikan perlindungan 60%-70% lebih besar terhadap invasif
kanker dibandingkan dengan skrining berbasis sitologi.
Pada dasarnya, kanker serviks dapat dicegah. Seiring dengan meningkatnya
angka kejadian kanker serviks serta tingginya kematian karena kanker serviks,
oleh karena itu penting bagi dokter umum untuk mengetahui, mendeteksi dini,
serta mencegah kanker serviks agar dapat menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas di Indonesia. Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
tahun 2012, kompetensi seorang dokter umum adalah dapat mendiagnosis kanker
serviks dan menentukan rujukan yang paling tepat ke layanan kesehatan yang
lebih tinggi (SKDI 2). Oleh karena itu laporan kasus ini dibuat untuk cara
pencegahan, mengetahui dasar diagnosis dan mengetahui tata laksana dari kanker
serviks sebagai bahan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga
pasien.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. N bt AL
Umur : 50 tahun (1 April 1968)
Alamat : Jl. Jl. Melati 2 Dusun 1 Sukadamai, Pedamaran I,
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Suku Bangsa : Sumatera
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 15 Januari 2019 pukul: 18.15 WIB
No. RM : 1086008

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis pada tanggal 15 Januari 2019)


Keluhan Utama

Sejak ± 12 jam SMRS, Os keluar darah dari kemaluan yang semakin


banyak.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 4 bulan yang lalu os mengeluh sering keluar darah dari
kemaluan, tidak teratur, terjadi terutama setelah berhubungan suami istri.
Os juga mengeluh sering keluar cairan putih kekuningan dari kemaluan.
Pasien mengeluh lemas, pusing, dan nafsu makan menurun. BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
± 2 bulan yang lalu os mengeluh semakin sering keluar darah dari
kemaluan setiap berhubungan intim. Os juga mengeluh cairan putih
kekuningan dan berbau dari kemaluan yang tidak kunjung hilang. Os
kemudian ke Poli Ginekologi RSMH dan dijadwalkan untuk dilakukan
biopsi dan dilakukan beberapa pemeriksaan. Os dikatakan menderita
kanker leher rahim. Sudah dilakukan clinical staging pada Os dengan
diagnosa: Ca Cervix stadium IIIB. Os direncanakan kemoterapi pada
tanggal 22 Januari 2019.
Sejak ± 12 jam SMRS, os mengeluh keluar darah dari kemaluan,
warna merah segar bercampur dengan gumpalan darah berwarna merah
kehitaman dan cukup banyak, banyaknya 2-3x ganti pembalut. Os juga
merasakan nyeri pada perut bagian bawah (+), keputihan (+). Os
mengaku sebelumnya pernah keluar cairan putih kekuningan dan berbau
dari kemaluan, nyeri saat buang air kecil (-), BAB dan BAK sedikit. (+),
riwayat trauma daerah panggul dan kemaluan (-), badan lemas (+), sesak
nafas (-), nyeri-nyeri tulang (-). Os juga mengeluh nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun.

Status sosial ekonomi dan gizi : rendah


Status reproduksi : Menarche usia 14 tahun, siklus haid
teratur 28 hari, menopause 2 tahun
yang lalu.
Status pernikahan : 4kali;
1. 2 tahun cerai-hidup
2. 6 bulan cerai-hidup
3. 10 tahun, suami meninggal
4. 12 tahun sampai dengan sekarang
Status persalinan : P3A0;
1. Anak 1 : Lahir tahun 1991
2. Anak 2 : Lahir tahun 1994
3. Anak 3 : Lahir tahun 1997

Riwayat Penyakit Dahulu


R/ Keluhan serupa sebelumnya (-)
R/ Mengkonsumsi obat-obatan atau jamu (-)
R/ Alergi obat (-)
R/ Darah tinggi (-)
R/ Kencing manis (-)
R/ Keganasan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
Riwayat penyakit keganasan dalam keluarga (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis (Tanggal 15 Januari 2019)
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 84x/m, reguler, isi dan tegangan cukup
Laju nafas : 18x/m, teratur
Suhu : 36,5oC
Berat Badan : 46 kg
Tinggi Badan : 154 cm
IMT : 19,4 kg/m2 (normal)
Pemeriksaan Spesifik
Kepala : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Payudara : hiperpigmentasi -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi :BJ I&II (+), Murmur (-), Gallop (-)
Paru-paru : Inspeksi : Statis dan dinamis simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) ,Rhonki (-/-),Wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, simetris, teraba massa (-), nyeri tekan (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)

2.4 Pemeriksaan Ginekologi (Tanggal 15 Januari 2019)


Pemeriksaan Luar : Abdomen datar, lemas, simetris, FUT tidak
teraba, massa (-), NT(+), tanda cairan bebas (-)
Pemeriksaan Dalam
 Inspekulo: Portio berdungkul-dungkul, rapuh, mudah berdarah,
tampak massa eksofilik, flour (+), fluksus (+), darah aktif.
 Vaginal Toucher: Teraba portio berdungkul-dungkul, rapuh,
mudah berdarah, infiltrasi 1/3 proksimal vagina, AP kanan/kiri
tegang
 Rectal Toucher: TSA baik, mukosa licin, ampula recti kosong,
nyeri tekan (-), CFS ka/ki = 0% :0%

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium ( 15 Januari 2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1 Hb 6,9 g/dL 11.4-15.0 g/dL
2 Eritrosit 2,52.108/mm3 4,0- 5,7 108/mm3
3 Leukosit 7,8.103/mm3 4.73-10.89 103/mm3
4 Hematokrit 20% 35-45 %
5 Trombosit 406.103/µL 189-436 103/µL
6 Basofil 0% 0-1%
7 Eosinofil 0% 1-6%
8 Neutrofil 87 % 50-70%
9 Limfosit 7% 20-40 %
10 Monosit 6% 2-8 %
11 SGOT 17 U/L 0-32 U/L
12 SGPT 6 U/L 0-31 U/L
13 Glukosa darah 100 mg/dl <200 mg/dl
(sewaktu)
14 Ureum 32 mg/dl 16,6-48,5 mg/dl
15 Albumin 4,3 mg/dl 3,5-5,0 mg/dl
16 Kreatinin 1,12 mg/dl 0,50-0,90 mg/dl
17 Kalsium 9 mg/dl 8,8-10,2 mg/dl
18 Natrium 146 mEq/L 135-155 mEq/L
19 Kalium 4,5 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L

Hasil pemeriksaan patologi anatomi (25 Oktober 2018)


- Makroskopis : diterima 2 potong jaringan warna putih kecoklatan masing-
masing ukuran 2x1x1 cm dan 1,9x1,5x0,8 cm, pada
potongan padat warna putih sebagian coklat kehitaman,
kenyal, sebagian rapuh.
- Mikroskopis: sediaan berasal dari biopsi serviks berupa area perdarahan
diantaranya dijumpai massa tumor membentuk struktur
pulau-pulau sebagian terbesar satu-satu terdiri dari sel-sel
dengan bentuk poligonal inti bulat oval, vesikular, kromatin
ksar, anak inti prominent, sitoplasma eosinofilik, mitosis
abnormal dapat dijumpai, massa tumor telah menginvasi
stroma jaringan ikat fibrokolagen bersebuk sel-sel radang
limfosit, neutrofil, dan sel plasma. Limvangioinvasi (-).
- Kesan : Moderately differentiated non keratinizing squamous cell
carcinoma pada biopsi cerviks.

Pemeriksaan Penunjang Ultrasonography (USG)

Kesan: Suspek massa malignansi pada serviks + hidronefrosis kiri & kanan

Hasil rontgen thoraks


Kesan : rontgen thoraks normal, tidak ditemukan tanda metastase ke paru.

2.6 Diagnosis Kerja


Kanker serviks stadium IIIB + anemia derajat sedang

2.7 Penatalaksanaan
 Observasi tanda vital dan perdarahan
 Perbikan keadaan umum
 IVFD RL gtt XX/menit
 Rencana Transfusi PRC hingga Hb ≥12 g/dL

2.8 Prognosis
Ad Vitam: Dubia Ad Malam
Ad Functionam: Dubia Ad Malam
Ad sanationam: Dubia Ad Malam

2.9 Follow Up
Tanggal-
Catatan Kemajuan Tatalaksana
Jam
16 Januari S: perdarahan (+) berkurang, badan lemas (+) P:
2019
O: Keadaan umum:  Observasi TTV dan
07.00 perdarahan
Keadaan umum: tampak sakit sedang
 IVFD RL gtt xx/m
Kesadaran: compos mentis  Tampon vagina sampai
dengan 24 jam
TD: 120/80 mmHg  Pronalges suppositoria
HR: 82 x/menit prn
 Diet TKTP
RR: 20 x/menit  Rencana transfusi PRC
T: 36.7’ C hingga Hb ≥12 g/dL
A: Kanker serviks stadium IIIB + Anemia  Rencana
Ringan
radiokemoterapi setelah
perbaikan KU

17 Januari S: perdarahan (+) spotting, badan lemas (+) P:


2019
O: - Observasi TTV dan
07.00 perdarahan
Keadaan umum: - IVFD RL gtt xx/m
Keadaan umum: tampak sakit sedang - Pronalges suppositoria
prn
Kesadaran: compos mentis - Diet TKTP
- Rencana transfusi PRC
TD: 110/70 mmHg
hingga Hb ≥12 g/dL
HR: 88 x/menit
- Rencana
RR: 20 x/menit radiokemoterapi setelah
T: 36.5’ C perbaikan KU

A: Kanker serviks stadium IIIB + Anemia


Ringan

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.9

3.2 EPIDEMIOLOGI10,11
Kanker serviks adalah kanker paling umum kedua yang terjadi pada
wanita di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat kasus baru
527.624 dan 265,672 kematian akibat kanker serviks. Tingkat kejadian tertinggi
kanker serviks berada di Negara Afrika Timur (termasuk Zimbabwe) dan tingkat
kejadian terendah di Negara Asia Barat. Peningkatan kejadian kanker serviks
akibat perilaku seksual usia dini meningkatkan insiden infeksi human
papillomavirus (HPV) sebagai penyebab kanker serviks. Sub-Sahara Afrika,
Amerika Selatan dan Asia Tenggara memiliki prevalensi HPV tertinggi dengan
25%, 15% dan 8% wanita yang terinfeksi, masing-masing. Di Amerika Serikat,
kanker serviks adalah kanker paling umum ke-12 pada wanita dengan 11.000
kasus dan 3.500 kematian dilaporkan pada tahun 2008.
Menurut International Agency for Research on Cancer tahun 2012
menunjukkan bahwa kanker serviks menjadi permasalahan pada kesehatan
masyarakat, tingkat kejadian hampir setengah juta kematian dan lebih dari
seperempat juta setiap tahunnya. Kaus terbanyak terjadinya kanker serviks pada
negara berkembang dimana sistem skrinig yang tidak memadai atau tidak efektif.
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7
secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke-6 di negara kurang
berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2%
mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia).

3.3 KLASIFIKASI12
Klasifikasi kanker dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) klasifikasi
berdasarkan histopatologi, (2) klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi
serviks, dan (3) klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO.
3.3.1 Klasifikasi berdasarkan histopatologi
 CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya. berdasarkan pada kehadiran dari dysplasia
yang dibatasi pada dasar ketiga dari lapisan cervix, atau epithelium
(dahulu disebut dysplasia ringan). Ini dipertimbangkan sebagai low-
grade lesion (luka derajat rendah).
 CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya,
dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi (high-grade lesion). Ia
merujuk pada perubahan-perubahan sel dysplastic yang dibatasi pada
dasar duapertiga dari jaringan pelapis (dahulu disebut dysplasia sedang
atau moderat).
 CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel. adalah luka
derajat tinggi (high grade lesion). Ia merujuk pada perubahan-
perubahan prakanker pada sel-sel yang mencakup lebih besar dari
duapertiga dari ketebalan pelapis cervix, termasuk luka-luka ketebalan
penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan carcinoma yang
parah ditempat asal.

Gambar 1. Klasifikasi Cervical Intraepithelial Neoplasia 12


3.3.2. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks
 ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined
Significance) Kata "squamous" menggambarkan sel-sel yang tipis dan
rata yang terletak pada permukaan dari cervix. Satu dari dua pilihan-
pilihan ditambahkan pada akhir dari ASC: ASC-US, yang berarti
undetermined significance, atau ASC-H, yang berarti tidak dapat
meniadakan HSIL (lihat bawah).
 LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion) berarti perubahan-
perubahan karakteristik dari dysplasia ringan diamati pada sel-sel
cervical. 8
 HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion) merujuk pada
fakta bahwa sel-sel dengan derajat yang parah dari dysplasia terlihat.

3.3.3. Klasifikasi berdasarkan stadium klinis


Federation Internationale de Gynecologie et d’Obstetrique (FIGO) dan American
Joint Committe on Cancer telah meyusun pembagian stage kanker serviks, namun yang
paling bayak di gunakan adalah FIGO. Menurut International Federation of Gynecology
and Obstertric (FIGO) standar yang biasanya digunakan untuk stadium dari kanker serviks
harus dapat mempertimbangkan parameter klinik yaitu ukuran, kedalaman penetrasi
kedalaman jaringan, penyebaran baik diluar atau didalam serviks.

Tabel 1. Definisi Stage FIGO12

Stage Description Illustration

I Proses terbatas pada serviks


walaupun ada perluasan ke korpus
uteri

IA Kanker preklinik, hanya bisa di


identifikasi dengan mikroskop.

IA1 Pengukuran stroma invasi ≤3 mm


dan kedalaman ≤7

IA2 Pengukuran stroma invasi >3 mm


dan < 5mm, kedalaman ≤ 7 mm
IB Lesi terbatas pada cervix, ukuran lesi
lebih besar dari stage 1A

IB1 Lesi klinik <4 cm

IB2 Lesi klinik >4 cm

II Proses keganasan sudah keluar dari


serviks dan menjalar ke2/3 bagian
atas vagina dan ke parametrium,
tetapi tidak sampai dinding panggul.

IIA Penyebaran hanya ke vagina,


parametrium masih bebas dari
infiltrat tumor.

IIA1 Lesi klinis ≤4.0 cm.


IIA2 Lesi klinis >4.0 cm.

IIB Penyebaran ke parametrium


uni/bilateral tetapi belum sampai ke
dinding panggul.

III Penyebaran telah sampai ke 1/3


bagian distal vagina / ke parametrium
sampai dinding panggul.

IIIA Penyebaran telah sampai ke 1/3


bagian distal vagina, sedang ke
parametrium tidak dipersoalkan asal
tidak sampai dinding panggul.

IIIB Penyebaran sudah sampai ke dinding


panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan
dinding panggul (frozen pelvic)/
proses pada tk klinik I/II, tetapi sudah
ada gangguan faal ginjal.

IV Proses keganasan telah keluar dari


panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau kandung
kemih.
IVA Proses sudah keluar dari panggul
kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektum dan atau kandung
kemih.

IVB Telah terjadi penyebaran organ jauh.

Gambar 2. Stadium Kanker Serviks International Federation of Gynecology and


Obstertric (FIGO)
Tabel 2. Klasifikasi tingkat keganasan menurut sistem TNM 12
Tingkat Kriteria
T Tidak ditemukan tumor primer
T1S Karsinoma pra invasif (KIS)
T1 Karsinoma terbatas pada serviks
T1a Pra klinik: karsinoma yang invasif terlibat dalam histologik
T1b Secara klinik jelas karsinoma yang invasif
T2 Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum sampai
dinding panggul, atau Ca telah menjalar ke vagina, tetapi belum
sampai 1/3 bagian distal
T2a Ca belum menginfiltrasi parametrium
T2b Ca telah menginfiltrasi parametrium
T3 Ca telah melibatkan 1/3 distal vagina / telah mencapai dinding panggul
(tidak ada celah bebas)
T4 Ca telah menginfiltrasi mukosa rektum, kandung kemih atau meluas
sampai diluar panggul
T4a Ca melibatkan kandung kemih / rektum saja, dibuktikan secara
histologik
T4b Ca telah meluas sampai di luar panggul
Nx Bila memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa regional. Tanda -/+
ditambahkan untuk tambahan ada/tidaknya informasi mengenai
pemeriksaan histologik, jadi Nx+ / Nx-.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi
N1 Kelenjar limfa regional berubah bentuk (dari CT Scan panggul,
limfografi)
N2 Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul dengan
celah bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor
M0 Tidak ada metastasis berjarak jauh
M1 Terdapat metastasis jarak jauh, termasuk kele. Limfa di atas bifurkasio
arrteri iliaka komunis.

3.4 FAKTOR RISIKO13


Semua wanita dapat berisiko berkembangnya kanker serviks. Faktor utama
mendasari kanker serviks adalah infeksi HPV. Namun terdapat faktor lain yang
dapat meningkatkan risiko wanita terkena kanker serviks termasuk merokok,
kebiasan melakukan diet, usia, ras, status ekonomi, riwayat hubungan seksual,
penggunaan kontrasepsi oral, paritas tinggi dan immunodefisiensi virus.

3.4.1. Faktor seksual


Sejumlah penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa risiko tertular
infeksi HPV genital dan kanker serviks dipengaruhi oleh aktivitas seksual.
Seseorang berisiko lebih besar terinfeksi HPV jika ia memiliki banyak pasangan
seksual atau merupakan mitra dari seseorang yang memiliki banyak pasangan
seksual. Aktivitas seksual pada usia dini juga meningkatkan risiko infeksi HPV
wanita yang aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun memiliki risiko lebih
tinggi terkena kanker serviks hal ini memungkinkan lebih tinggi untuk
mendapatkan infeksi HPV yang merupakan penyebab utama karsinogenesis
serviks, seperti halnya riwayat penyakit menular seksual lainnya, kutil kelamin,
Pap smear tidak normal atau kanker penis pada seorang individual atau
pasangannya. Penggunaan kondom mungkin tidak cukup melindungi individu dari
paparan HPV karena virus dapat ditularkan melalui kontak dengan jaringan yang
terinfeksi yang tidak dilindungi oleh kondom.13,14
Selain aktivitas seksual, usia merupakan penentu penting risiko infeksi HPV.
Kebanyakan kanker serviks muncul di squamocolumnar junction antara epitel
kolumnar endoserviks dan epitel skuamosa dari ektoserviks. Di sini, terjadi
perubahan metaplastik terus menerus. Perubahan metaplastik terbesar berlangsung
pada pubertas dan kehamilan pertama serta menurun setelah menopause.
Prevalensi HPV mencapai puncak pada dewasa muda (18 hingga 30 tahun) dan
menurun pada usia yang lebih tua. Sebanyak 46% wanita yang berkuliah mungkin
mengalami infeksi HPV pada saluran genital. Namun, kanker serviks lebih sering
terjadi pada wanita yang lebih tua dari 35 tahun, menunjukkan infeksi pada usia
yang lebih muda dan perkembangan yang lambat menjadi kanker.13

3.4.2 Faktor virus13


Infeksi serviks persisten (sering di definisikan sebagai infeksi yang
terdeteksi lebih dari sekali dalam selang waktu 6 bulan atau lebih) dengan tipe
HPV onkogenik (terutama HPV-16 dan HPV-18) adalah faktor risiko penting
untuk perkembangan high-grade displasia dan kanker invasif. Risiko dari
perkembangan tergantung pada tipe HPV. Pemantauan 4-6 tahun dari 1.643 wanita
dengan sitologi normal menunjukkan bahwa perempuan dengan tes PCR positif
ditemukan DNA HPV risiko tinggi memiliki risiko 116 kali lebih besar untuk
mengalami CIN 3 dibanding wanita dengan tes DNA negatif. Risiko
pengembangan untuk HPV-16 dan HPV-18 lebih besar daripada jenis HPV
lainnya, sekitar 40%.
Telah diusulkan bahwa viral load berkorelasi langsung dengan tingkat
keparahan penyakit. Studi menggunakan PCR tipe spesifik kuantitatif untuk HPV
risiko tinggi dan HPV risiko rendah telah menunjukkan bahwa HPV-16 dapat
mencapai viral load yang jauh lebih tinggi daripada jenis lainnya, dan viral load
HPV-16 yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan keparahan penyakit serviks.
Studi lain menggunakan Hybrid Capture IITM (Digene Diagnostics, Gaithersburg,
MD) telah menunjukkan peningkatan viral load tipe HPV risiko tinggi pada lesi
high-grade. Namun, HPV risiko tinggi mampu menginduksi tumor ganas bahkan
ketika mereka ada pada viral load yang rendah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi dengan beberapa jenis
HPV dapat terjadi. Sebagian besar infeksi ganda mengandung dua jenis HPV,
tetapi sampel dengan dua, tiga, empat atau lima jenis juga terlihat. Kehadiran
beberapa jenis HPV cenderung meningkatkan tingkat keparahan penyakit serviks.
Infeksi beberapa jenis HPV, dengan setidaknya satu jenis risiko tinggi, ditemukan
di 12% pasien dengan sitologi normal dan pada 35% pasien dengan displasia
ringan atau sedang.

3.4.3 Faktor Non-virus


Respon imun primer terhadap infeksi HPV adalah cell mediated; oleh
karena itu, kondisi yang merusak kekebalan cell mediated seperti transplantasi
ginjal atau penyakit HIV, meningkatkan risiko akuisisi dan perkembangan HPV.
Penggunaan jangka panjang kontrasepsi oral merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk penyakit serviks high grade menurut beberapa penelitian. Wanita
dengan HPV positif dan menggunakan kontrasepsi oral lebih dari lima tahun akan
meningkatkan risiko berkembangnnya karsinoma sel skuamosa invasif. Wilayah
Upstream Regulatory Region (URR) HPV berisi rangkaian yang mirip dengan
elemen responsif glukokortikoid yang dapat diinduksi oleh hormon steroid seperti
progesteron (komponen aktif kontrasepsi oral) yang memungkin melakukan
transkripsi gen awal E2 secara bebas. Akibatnya hormon steroid dapat
meningkatkan traskripsi virus dan menstimulasi perkembangan malignan.15
Risiko kanker serviks juga tampaknya dipengaruhi secara independen oleh
variabel lain termasuk merokok dan paritas. Terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko dua kali lipat dari perkembangan
kanker serviks pada perokok dibandingkan yang tidak merkok. Penekanan
imunitas lokal diinduksi oleh merokok dan aktivitas mutagenik komponen rokok
telah ditunjukkan terjadi pada penurunan jumlah sel-sel imun Langerhans di epitel
serviks, dan dapat berkontribusi pada infeksi persistens HPV atau transformasi
maligna yang serupa dengan itu terlihat di paru-paru. Kehamilan multipel,
konsumsi alcohol dan diet juga diduga merupakan faktor risiko.13,16
Telah diusulkan bahwa infeksi virus menular seksual merupakan kofaktor
pada perkembangan kanker serviks. Diduga bahwa koinfeksi dengan virus herpes
simpleks tipe 2 mungkin memainkan peran dalam inisiasi kanker serviks.
Cytomegalovirus (CMV), virus herpes manusia 6 (HHV-6) dan HHV-7 juga telah
terdeteksi di serviks. Infeksi Chlamydia trachomatis telah dikaitkan dengan
kanker serviks, tetapi arti dari asosiasi ini masih belum jelas.13
Predisposisi genetik merupakan komponen besar dalam kanker serviks.
Heritabilitas genetik berperan pada 27% dari efek faktor yang mendasari untuk
perkembangan tumor. Heritabilitas dapat mempengaruhi banyak faktor yang
berkontribusi terhadap perkembangan kanker serviks, termasuk kerentanan
terhadap infeksi HPV, kemampuan untuk membersihkan infeksi HPV, dan waktu
untuk perkembangan penyakit.13
Status ekonomi yang rendah merupakan salah satu risiko untuk terjadinya
masalah kesehatan. Terdapat fakta yang menyebutkan bahwa perempuan dengan
status ekonomi rendah sering mendapatkan penghasilan rendah, gizi buruk,
kurang kesadaran tentang maslah kesehatan, dan perilaku preventif, serta tingkat
kesadaran melakukukan skrining kanker serviks, akibatnya banyak mereka lebih
rentan terkena kanker serviks.17

3.5 HUMAN PAPILLOMA VIRUS18


 Struktur Virus
Papillomavirus terdiri dari struktur icosahedral (diameter 50-69
nm). struktur virus HPV terdiri dari lingkaran beruntai ganda (episome)
dengan rata-rata 8000 pasangan basa yang mengandung delapan atau
Sembilan ORF. Meskipun jumlah gen terbatas oleh ukuran kecil dari
genom papillomavirus. Berdasarkan struktur mapping menunjukkan
bahwa mantel virus mengandung 360 molekul protein L1 yangg disusun
menjadi 72 kapsomer yang masing-masing dibuat menjadi 5 molekul L1.
Interaksi antar kapsomer membutuhkan C-terminal tail dari protein L1.
Papillomavirus juga mengandung sejumlah protein L2, yang sepenuhnya
tidak terpapar pada permukaan virion. Selama terjadinya infeksi, L2 dapat
mengikat matriks ekstraseluler dan pembelahan selama infeksi.
 Susunan Genom
Semua papillomavirus mengandung gen inti yang terlibat dalam
replikasi (E1 dan E2) dan pembungkus (L1 dan L2) dengan keragaman
yang lebih besar dari gen yang ditetapkan (E6, E7, E5, dan E4) yang
memiliki peran dalam mendorong masuknya ke siklus sel dan pelepasan
virus. E1 mengkoding virus DNA spesifik DNA helicase yang diperlukan
untuk mereplikasi genom virus dan amplifIkasi dan seperti L1 (protein
kapsid mayor). E2 dapat mengikat ke pada kedua virus dan genom seluler.
Ini akan melindungi tipe HPV pada N-terminal dan dan C terminal domain
dan fungsi pada transkripsi virusm replikasi dan partisi pada genom.
Fungsi E2 tergantung dengan interaksi dengan produk gen selular dan
memodifikasi peranan normal untuk kepenting virus.
E6 dan E7 dapat diatur tingkat transkripsinya oleh E2, dan
berperan penting Dalam siklus masuknya sel in semua tipe HPV yang
memungkinkan terjadinya amplifikasi genom pada lapisan themid
epitelium dan menghambat aspek dari imunitas bawaan. Protein E4
berperan dalam virus keluar dalam permukaan epitel). E5 berperan sebagai
membrane signaling, sedangkan saat suah berada di dalam sel E5 tersebut
hilang karena diduga tidak berperan enting dalam proses transformasi sel.
E6 dan E7 dianggap bertanggung jawab atas transformasi sel. E6 dan E7
merupakan gen protein yang berperan dalam proses terjadinya kanker. E6
dan E7 akan mengubah kompleks dengan pRb dan p53, yang
memodifikasi siklus sel untuk mempertahankan inangnya agar replikasi
genom viral dan ekspresi gen dapat terjadi.

3.6 PATOGENESIS14
Penularan HPV terjadi terutama oleh kontak kulit-ke-kulit. Sel basal dari
epitel skuamosa kompleks dapat terinfeksi oleh HPV. Jenis sel lain tampaknya
relatif resisten. Diasumsikan bahwa siklus replikasi HPV dimulai dengan
masuknya virus ke dalam sel-sel lapisan basal epitelium. Maka dari itu,
kemungkinan infeksi HPV pada lapisan basal membutuhkan abrasi ringan atau
mikrotrauma pada epidermis. Begitu berada di dalam sel, replikasi DNA HPV
berlanjut ke permukaan epitelium. Di lapisan basal, replikasi virus dianggap tidak
produktif, dan virus menetapkan dirinya dalam salinan episome jumlah rendah
menggunakan DNA host sebagai mesin replikasi untuk mensintesis DNA dengan
rata-rata satu pada setiap siklus sel. Pada keratinosit terdiferensiasi dari epitel
lapisan suprabasal, virus beralih ke mode lingkaran-bergulir (rolling-circle) dari
replikasi DNA, memperbanyak salinan DNA, mensintesis protein kapsid, dan
menyebabkan rakitan virus.

1.) Biologi Molekular14


Kanker serviks adalah salah satu contoh yang paling dipahami tentang
bagaimana infeksi virus dapat menyebabkan keganasan. Mekanisme molekuler
infeksi HPV onkogenik disajikan pada gambar 1. Tipe HPV risiko tinggi
dapat dibedakan dari tipe HPV risiko rendah oleh struktur dan fungsi produk E6
dan E7. Pada lesi jinak yang disebabkan oleh HPV, DNA virus terletak
ekstrachromosomal di nukleus. Pada neoplasia intraepitel high-grade dan kanker
invasif, DNA HPV umumnya diintegrasikan ke dalam genom host. Integrasi DNA
HPV mengganggu atau menghapus wilayah E2, yang menyebabkan hilangnya
ekspresi gen ini. Hal ini mengganggu fungsi E2, yang biasanya menurunkan
transkripsi gen E6 dan E7, dan menyebabkan ekspresi gen E6 dan E7 yang
meningkat. Fungsi E6 dan produk E7 selama infeksi HPV produktif adalah untuk
menumbangkan jalur pengaturan pertumbuhan sel dan memodifikasi lingkungan
seluler untuk memfasilitasi replikasi virus. Produk gen E6 dan E7
menyebabkan deregulasi siklus pertumbuhan sel host dengan mengikat dan
menginaktivasi dua tumor suppressing proteins: p53 dan pRb. Produk gen HPV
E6 berikatan dengan p53 dan menargetkannya untuk degradasi cepat. Sebagai
akibatnya, kegiatan normal p53 yang mengatur arrest G1, apoptosis, dan
perbaikan DNA dibatalkan. Protein E6 dari HPV risiko rendah tidak mengikat p53
pada tingkat terdeteksi dan tidak berpengaruh pada stabilitas p53 in vitro. Produk
gen HPV E7 berikatan pRb dan ikatan ini mengganggu kompleks antara pRb dan
faktor transkripsi seluler E2F-1,menghasilkan pembebasan E2F-1, yang
memungkinkan transkripsi gen yang produknya diperlukan agar sel memasuki
fase S dari siklus sel. Produk gen E7 juga dapat berhubungan dengan yang lain
protein seluler interaktif mitotis seperti siklin E. Hasilnya adalah stimulasi seluler
sintesis DNA dan proliferasi sel. Protein E7 dari tipe HPV risiko rendah mengikat
pRb dengan afinitas lebih rendah. Selanjutnya, produk gen E5 menginduksi
peningkatan aktivitas kinase protein aktif-mitogen, sehingga meningkatkan
respons seluler terhadap faktor pertumbuhan dan diferensiasi. Ini menghasilkan
proliferasi kontinyu dan penundaan diferensiasi dari sel host.
Inaktivasi protein p53 dan pRb dapat meningkatkan laju proliferasi dan
ketidakstabilan genomik. Sebagai akibatnya, sel host menumpuk dan semakin
banyak kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki, menyebabkan perubahan
menjadi sel-sel kanker berubah. Selain efek onkogen yang diaktifkan
dan ketidakstabilan kromosom, mekanisme potensial yang berkontribusi terhadap
transformasi termasuk metilasi DNA viral dan seluler, aktivasi telomerase, dan
faktor hormonal dan immunogenetik.

Gambar 3. Mekanisme Molekular dari Infeksi HPV Onkogenik14

2.) Perjalanan Alamiah Kanker Serviks14


Patogenesis kanker serviks dimulai oleh infeksi HPV dari epitel serviks
selama hubungan seksual. Meskipun ditemukan persentase yang tinggi dari wanita
muda yang aktif secara seksual terkena HPV infeksi, hanya persentase yang
sangat kecil terus berkembang menjadi kanker serviks Beberapa penelitian telah
menyarankan bahwa sebagian besar wanita berhasil membersihkan infeksi HPV,
mungkin melalui sistem kekebalan yang kompeten. Sekitar, 90% lesi mengalami
regresi secara spontan dalam 12 hingga 36 bulan. Faktor-faktor lain seperti
predisposisi genetik, frekuensi reinfeksi, variasi genetik intratypic
dalam tipe HPV, koinfeksi dengan lebih dari satu jenis HPV dan kadar hormon
juga mempengaruhi kemampuan untuk membersihkan infeksi HPV.
Bukti pentingnya sistem kekebalan host dalam mencegah perkembangan
penyakit serviks berasal dari analisis infeksi HPV pada wanita dengan human
immunodeficiency virus (HIV) positif. Infeksi HPV dengan tipe virus berisiko
tinggi, persistensi infeksi HPV dan keberadaan lesi intraepitel skuamosa lebih
sering terjadi pada kelompok immunocompromised ini daripada wanita
imunokompeten. Respon imun seluler host dimediasi oleh sel T sitotoksik dan
membutuhkan interaksi epitop virus dengan molekul histokompatibilitas kelas I.
Respon imun humoral juga berkembang, tetapi imunoglobulin G (IgG) dan IgA
spesifik HPV tingkat lokal spesifik di jaringan tidak berkorelasi dengan klirens
virus. Namun, IgA spesifik HPV tingkat sistemik memiliki berkorelasi dengan
klirens virus. Sebaliknya, IgG spesifik HPV tingkat sistemik telah terdeteksi lebih
sering pada pasien dengan infeksi HPV persisten.
Perkembang alami kanker serviks adalah proses penyakit berkelanjutan
yang berlangsung secara bertahap dari neoplasia intraepitel ringan servikal (CIN;
cervical intraepithelial neoplasia) ke derajat neoplasia yang lebih berat (CIN 2
atau CIN 3) dan akhirnya ke kanker invasif. Infeksi HPV risiko tinggi terjadi di
awal kehidupan, mungkin bertahan, dan dalam hubungan dengan faktor-faktor
lain yang mempromosikan transformasi sel, dapat menyebabkan secara bertahap
perkembangan ke penyakit yang lebih parah. Sebuah model untuk pengembangan
kanker serviks disajikan di gambar 2. Displasia ringan dan sedang terkait dengan
replikasi virus dan pelepasan virus terus-menerus, dan sebagian besar lesi ini
secara spontan regresi. Perkembangan ke lesi tingkat tinggi (CIN 2/3) dan
akhirnya kanker invasif biasanya dikaitkan dengan konversi genom virus dari
bentuk episomal ke bentuk terintegrasi, bersama dengan inaktivasi atau
penghapusan wilayah dan ekspresi E2 dari gen produk E6 / E7. Kemajuan ke
kanker umumnya terjadi selama periode 10 hingga 20 tahun. Beberapa lesi
menjadi kanker lebih cepat, beberapa dalam 2 tahun.
Gambar 4. Model Perkembangan Kanker Serviks14

3.) Siklus Infeksi HPV13,14


Seperti dijelaskan sebelumnya, HPV memiliki predileksi untuk sel-sel epitel
serviks, yang dikelompokan menjadi monolayer basal yang tidak terdiferensiasi
dan epidermis non-proliferasi terdiferensiasi suprabasal. Lapisan basal berada di
atas membran basal, di bawah ini adalah lapisan stroma serviks. Sel basal imatur
yang membelah akan bergerak ke atas ke lapisan epidermis dimana mereka akan
lepas sebagai bagian dari proses alami maturasi epitel. Traumatic micro-abrasions,
seperti yang terjadi selama hubungan seksual, mengekspos sel-sel lapisan basal
yang masih naïf ke HPV. Mekanisme invasi virus belum dipahami dengan baik
tetapi diyakini dimediasi reseptor dan beberapa laporan telah melibatkan heparin
sulfat sebagai molekul kandidat yang terlibat. dalam proses ini. Replikasi HPV
bergantung pada dan menggunakan mesin replikatif normal dari sel serviks, yang
ditumbangkan oleh dua protein virus, E1 dan E2. Virus ini dipertahankan pada
umumnya ~ 100 salinan episomal per sel basal dan infeksi awal memicu ledakan
replikasi virus hingga ke tingkat ini. Sel-sel basal yang terinfeksi HPV terus
membelah dan masing-masing membentuk dua sel anak yang mengandung materi
genom virus. Satu sel dari pasangan tetap berada di lapisan basal dan
mempertahankan kapasitas pembaginya, oleh karena itu bertindak sebagai
repositori untuk replikasi virus, yang membutuhkan pembelahan sel aktif untuk
mempertahankan siklus hidupnya. Sel anak lainnya terus naik melalui lapisan
suprabasal, di mana ia berdiferensiasi dan akhirnya terlepas dari permukaan epitel.
Untuk memastikan bahwa sel-sel serviks dipertahankan dalam keadaan
pertumbuhan dan pembelahan yang konstan, protein awal HPV diekspresikan,
yang merangsang dan menyebarkan pertumbuhan sel melalui tindakan gen E5, E6
dan E7. Setelah diferensiasi seluler di lapisan suprabasal, genom virus direplikasi
menjadi 10.000 atau lebih salinan / sel, dan ekspresi gen virus akhir E4, L1 dan
L2 dipicu. Protein L1 (mayor) dan L2 (minor) membentuk struktur kapsid di
sekitar material genomik virus. Setelah perakitan ini selesai dalam sel, partikel
virus matang dilepaskan dari sel epitel selama pelepasan terminal dari permukaan
epitel.11,13,14 Dipostulasikan bahwa protein virus E4 memfasilitasi pelepasan dan
penyebaran HPV dari rangka keratin dalam keratinocytes dengan merusak filamen
keratin pada sel skuamosa yang rusak.19

3.7 MANIFESTASI KLINIS19


Infeksi HPV menular seksual mengarah ke salah satu dari tiga hasil tergantung
pada jenis HPV mana yang terlibat.
 Yang pertama adalah kutil anogenital (kondiloma acuminatum) pada atau di
sekitar kelamin dan dubur pada pria dan wanita. Kutil anogenital umumnya terkait
dengan HPV-6 dan HPV-11 dan tidak menyebabkan kanker. Sebagian besar
asimtomatik dan dapat sembuh secara spontan dalam 3 hingga 4 bulan, tetap
sama, atau peningkatan ukuran dan jumlah. Pilihan pengobatan termasuk ablasi,
eksisi, atau agen topikal seperti 0,5% podophyllin (Podocon) atau 5,0% imiquimod
(Aldara). Ketika kutil anogenital berwarna merah-coklat, mereka harus dikenai
biopsi karena mereka mungkin adalah papulosis Bowenoid yang disebabkan oleh
HPV-16 atau HPV-18 dan secara histologis menunjukkan arsitektur kondilomatosa
dengan neoplasia intraepitelial. Lesi ini mungkin jarang berevolusi menjadi
karsinoma in situ.19
 Hasil kedua adalah infeksi laten atau tidak aktif, di mana terinfeksi karena gejala
yang terlihat jarang diproduksi dan area yang terinfeksi tetap sitologis normal.
DNA HPV hadir pada sekitar 10% wanita dengan epitel serviks sitologi yang
normal. DNA HPV yang terdeteksi terutama berisiko rendah HPV-6, -11, dan
lainnya (Tabel 3)
 Hasil ketiga adalah infeksi aktif, yang dikaitkan dengan tipe HPV risiko tinggi di
mana virus menyebabkan perubahan pada sel yang terinfeksi yang dapat
menyebabkan penis, uretra, kandung kemih, vagina, vulva, atau neoplasia
intraepitel serviks. Jenis HPV risiko tinggi (Tabel 3) termasuk jenis yang terkait
dengan lesi tingkat tinggi dan kanker serviks dan jenis yang diidentifikasi sebagai
risiko menengah yang kurang sering terwakili dalam kanker tetapi sering terlihat
pada SIL (9, 10, 15, 38, 42, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 79, 80, 82, 90, 91, 105,
122). Infeksi ini dapat menyebabkan kanker serviks. Penelitian prospektif telah
menunjukkan bahwa 15 hingga 28% wanita di mana DNA HPV terdeteksi
mengembangkan SIL dalam 2 tahun, dibandingkan dengan hanya 1 hingga 3%
wanita yang tidak terdeteksi DNA HPV. Khususnya, risiko pengembangan untuk
HPV-16 dan -18 lebih besar (sekitar 40%) dibandingkan jenis HPV lainnya.

Tabel 3. Tipe HPV dan Penyakit yang Berhubungan19

Karena banyak wanita yang diskrining secara rutin, temuan yang paling
umum adalah hasil tes Papanicolaou (Pap) yang abnormal. Biasanya, pasien ini
tidak menunjukkan gejala.
Secara klinis, gejala pertama kanker serviks adalah perdarahan vagina
abnormal, biasanya postcoital. Ketidaknyamanan vagina, cairan berbau busuk
(malodorous discharge), dan disuria tidak jarang.
Tumor tumbuh dengan memanjang di sepanjang permukaan epitel, baik
skuamosa dan kelenjar, ke atas ke rongga endometrium, sepanjang epitel vagina,
dan lateral ke dinding panggul. Dapat menyerang kandung kemih dan rektum
secara langsung, menyebabkan sembelit, hematuria, fistula, dan obstruksi ureter,
dengan atau tanpa hydroureter atau hidronefrosis. Tiga serangkai edema tungkai,
nyeri, dan hidronefrosis menunjukkan keterlibatan dinding panggul. Situs umum
untuk metastasis jauh termasuk kelenjar getah bening ekstrapelvis, hati, paru-paru,
dan tulang.

Pemeriksaan fisik
Pada pasien dengan kanker serviks stadium awal, temuan pemeriksaan fisik
bisa relatif normal. Ketika penyakit berkembang, serviks dapat menjadi abnormal
dalam penampilan, dengan erosi kasar, ulkus, atau massa. Kelainan ini dapat
meluas ke vagina. Pemeriksaan rektum dapat mengungkapkan massa eksternal
atau darah kotor dari erosi tumor.
Temuan pemeriksaan panggul bimanual sering mengungkapkan metastasis
panggul atau parametrium. Jika penyakit melibatkan hati, hepatomegali dapat
berkembang. Metastasis pulmonal biasanya sulit untuk dideteksi pada
pemeriksaan fisik kecuali jika efusi pleura atau obstruksi bronkus menjadi jelas.
Leg edema menunjukkan obstruksi limfatik atau vaskular yang disebabkan oleh
tumor.

3.8 DIAGNOSIS
Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah
kanker serviks, dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi
prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini kanker serviks disertai
dengan kemampuan dalam penatalaksanaan yang tepat akan dapat menurunkan
angka kematian akibat kanker serviks.6,8,10
a. Keputihan
Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk
akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
b. Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks.
Perdarahan timbul akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama
makin sering terjadi diluar senggama.
c. Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
d. Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase jauh.

Beberapa studi telah mengkonfirmasi bahwa infeksi serviks oleh tipe HPV
risiko tinggi adalah prekursor untuk kanker serviks. Kanker serviks sebagai proses
penyakit yang terus menerus berkembang secara bertahap dari neoplasia
intraepitel serviks ringan (CIN1) ke tingkat yang lebih parah dari neoplasia dan
lesi microinvasive (CIN2 atau CIN3).20 Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
CIN1 dan CIN2-CIN3 memiliki proses yang berbeda, dengan CIN1 menunjukkan
infeksi HPV menular seksual terbatas dan CIN2 atau CIN3 menjadi satu-satunya
prekursor kanker serviks.21 Risiko pengembangan displasia ringan hingga
displasia berat hanya 1% per tahun, sedangkan risiko pengembangan displasia
sedang hingga displasia berat adalah 16% dalam 2 tahun dan 25% dalam 5 tahun.
Meskipun demikian, deteksi dini dan pengobatan dini HPV pada lesi prakanker
dapat mencegah perkembangan kanker.22 HPV tidak dapat dikultur di
laboratorium dari spesimen klinis dan tes imunologi untuk mendeteksi infeksi
HPV. Alat diagnostik utama adalah sitologi dan histologi. Baru-baru ini, metode
molekuler untuk mendeteksi sekuens DNA HPV pada spesimen klinis telah
diperkenalkan.

1. Sitologi Konvensional
Metode utama untuk mendeteksi HPV risiko tinggi masih berupa
Papanicolaou-staines (Pap smear). Metode ini dinamai oleh patolog George
Papanicolaou tahun 1949 sebelum penyebab kanker serviks diketahui.23 Pap
smear telah membantu mengurangi insiden kanker serviks dan angka kematian
sekitar setengah hingga dua pertiga. Pap smear adalah alat skrining yang
mencari perubahan dalam sel-sel zona transformasi serviks. Seringkali
perubahan ini disebabkan oleh HPV.
Klasifikasi Pap smear telah berevolusi dan telah disempurnakan seiring
waktu. Klasifikasi saat ini adalah Sistem Bethesda (Tabel 4) yang
diperkenalkan pada tahun 1988 diubah pada tahun 1991 untuk menggantikan
Sistem CIN, dan diperbarui lagi pada tahun 1999. 24 Sistem CIN didasarkan
pada jaringan dan diperkenalkan pada tahun 1973 untuk melihat konsep
kontinum penyakit dari lesi prekursor ke kanker invasif. Sistem Bethesda
dikembangkan untuk mencerminkan pemahaman lanjutan dari neoplasia
servikal dan untuk memperkenalkan terminologi diagnostik histologis
deskriptif yang seragam. Sistem Bethesda dimodifikasi pada tahun 1991 untuk
mencerminkan laboratorium aktual dan pengalaman klinis. Lalu dimodifikasi
lagi pada tahun 2001, dengan mempertimbangkan peningkatan pemanfaatan
teknologi skrining serviks, tes molekuler adjuvan, pelajaran dari litigasi, dan
pemahaman dari biologi neoplasia serviks. 25
Sistem Bethesda 2001 mengklasifikasikan kelainan sel skuamosa ke
dalam empat kategori:
 ASC (sel skuamosa atipikal),
 LSIL (lesi intraepitel skuamosa derajat rendah),
 HSIL (lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi),
 Karsinoma sel skuamos.

Tabel 4. Sistem Klasifikasi Bethesda untuk Dysplasia Sel Skuamosa Serviks25

Prosedur Pap smear memiliki beberapa keterbatasan. Sampel yang tidak


memadai sekitar 8% dari spesimen yang diterima. Tingkat negatif palsu
setinggi 20-30% telah dilaporkan. Hasil negatif palsu dapat terjadi dari
penggumpalan sel ketika sel-sel tidak menyebar secara merata dan seragam
pada slide mikroskop. Kadang-kadang, kandungan lain dari spesimen serviks
seperti darah, bakteri, atau ragi mengotori sampel dan mencegah deteksi sel-
sel abnormal. Jika terkena udara terlalu lama sebelum diperbaiki pada slide,
sel-sel serviks dapat menjadi terdistorsi. Kesalahan manusia mungkin
merupakan ancaman utama untuk interpretasi secara akurat. Rata-rata Pap
smear slide mengandung 50.000-300.000 sel yang harus diperiksa. Pada tahun
1988, Clinical Laboratory Improvement Act (CLIA) menetapkan pedoman
nasional yang membatasi teknisi untuk membaca lebih dari 100 slide per
hari.26 Selain itu, CLIA telah mengkonfirmasikan bahwa untuk secara manual
menyeleksi ulang 10% dari pap smear negatif untuk mengurangi jumlah hasil
negatif palsu.

2. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu
alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya.
Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan standar bila ditemukan pap smear
yang abnormal. Pemeriksaan dengan kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan
pembesaran, melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian
asam asetat. Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi
pemeriksaan meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk
membuat diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan kapan dan dimana biopsi
harus dilakukan.

3. Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal di bagian yang telah dilakukan
kolposkopi. Jika kanalis servikalis sulit dinilai, sampel diambil secara konisasi.

4. Histologi27
Pasien dengan temuan Pap smear abnormal yang tidak memiliki lesi
serviks yang berat biasanya dievaluasi dengan kolposkopi dan biopsi
kolposkopi langsung. Kolposkopi dapat mendeteksi displasia derajat rendah
dan tingkat tinggi tetapi tidak mendeteksi penyakit mikroinvasive. Jika tidak
ada kelainan yang ditemukan atau jika seluruh sambungan squamocolumnar
tidak dapat divisualisasikan, biopsi kerucut serviks dilakukan. Biopsi dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi sebagian besar diagnosis dengan mengamati
ciri patologis karakteristik infeksi HPV seperti hiperplasia epitel (acanthosis)
dan vakuolisasi sitoplasma degeneratif (koilocytosis) pada keratinosit yang
terdiferensiasi dengan nuklei atipikal. Selain itu, stain dapat digunakan yang
mendeteksi antigen HPV atau asam nukleat HPV. Antibodi monoklonal dan
poliklonal untuk mendeteksi antigen umum HPV. epitop linear di tengah-
tengah protein kapsid utama secara luas diekspresikan di antara subtipe HPV
yang berbeda. Antibodi bound dideteksi oleh pewarnaan immunocytochemical
peroxidase-antiperoxidase. Pewarnaan biasanya terbatas pada inti sel yang
terinfeksi tetapi kadang-kadang juga terlihat pada sitoplasma sel koilositik.
DNA HPV atau RNA dapat ditunjukkan dalam jaringan biopsi dengan
hibridisasi in situ dengan probe yang dilabeli dengan radioisotop atau ligan
kimiawi reaktif yang dideteksi oleh autoradiografi, fluoresensi, atau deteksi
reaksi warna. Hibridisasi in situ dapat melokalisasi urutan asam nukleat HPV
sel individual sambil mempertahankan morfologi sel dan jaringan untuk
memungkinkan penilaian simultan dari perubahan morfologis yang terkait
dengan lesi. Untuk deteksi HPV, probe nonisotop direkomendasikan dan
metode enzimatik lebih disukai daripada metode fluoresensi untuk
memudahkan interpretasi. Karakteristik sinyal dapat mencerminkan bentuk
episomal atau terintegrasi dari DNA target viral. Intensitas sinyal dapat
mencerminkan nomor salinan. Target amplikasi atau teknik in situ sinyal
amflikasi telah dikembangkan untuk mendeteksi secara imunogenesis
sejumlah kecil rangkaian asam nukleat HPV dengan sensitivitas tinggi dengan
menggunakan mikroskopi medan terang. Sistem Gen-Point adalah sistem
amplifikasi sinyal terkatalisasi otomatis menggunakan probe biotinilasi untuk
deteksi imunohistokimia HPV di bagian-bagian jaringan biopsi yang
terstruktur. Pemrosesan otomatis termasuk baking, deparaffinization,
pengkondisian sel, pewarnaan, dan counterstaining. Pengujian ini mampu
mendeteksi sedikitnya 1-2 salinan urutan target per inti dan lebih sensitif
daripada satu langkah (mendeteksi 20-50 salinan HPV) atau prosedur
immunoenzimatik tiga langkah (10-15 salinan) yang tidak diamplifikasi yang
lebih sering digunakan.27

3.9 TATALAKSANA28
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang
sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / tim
onkologi). Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada stadium
kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan dalam tata laksana
kanker serviks antara lain:

3.9.1 Terapi Lesi Prakanker Serviks


Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong NIS
(Neoplasia Intraepital Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,
medikamentosa, terapi destruksi dan terapi eksisi.
Tindakan observasi dilakukan pada tes Pap dengan hasil HPV, atipia, NIS
1 yang termasuk dalam lesi intraepitelial skuamosa derajad rendah (LISDR).
Terapi nis dengan destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi
intraeoitelial serviks derajat tinggi). Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan
untuk LISDR dan LISDT. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi
adalah pada terapi destruksi tidak mengangkat lesi tetapi pada terapi eksisi ada
spesimen lesi yang diangkat.

Tabel 5. Klasifikasi lesi prakanker serviks dan penanganannya28


Terapi NIS dengan destruksi lokal
Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah-daerah terpilih yang
mengandung epitel abnormal yang nkelak akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.
Krioterapi adalah suatu cara penyembuhan penyakit dengan cara
mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu 0 0 C. Pada suhu sekurang-
kurangnya 250Csel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai
akibat dari pembekuan sel-sel tersebut, terjadi perubahan tingkat seluller dan
vaskular, yaitu: 1. sel-sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; 2.konsentrasi
elektrolit dalam sel terganggu; 3. Syok termal dan denaturasi kompleks lipid
protein; dan 4. Status umum sistem mikrovaskular. Pada saat ini hampir semua
alat menggunakan N20.
Elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan
kedalaman 2-3mm. Lesi NIS 1 yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat
pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.
Diatermi Elektroagulasi Radikal dapat memusnahkan jaringan lebih luas
(sampai kedalaman 1cm) dan efektif dibandingkan elektrokauter tapi harus
dilakukan dengan anestesia umum. Tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
dianjurkan hanya terbatas pada NIS1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.
CO2 Laser adalah muatan listrik yang berisi campuran gas helium,
nitrogen dan gas CO2 yang menimbulkan sinar laser dengan gelombang 10,6 u.
Perbedaan patologis dapat dibedakan dalam 2 bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis.
Terapi NIS dengan eksisi
Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut pada
serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan untuk
diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks.

Gambar 5. Cone biopsi28


Punch Biopsi yaitu menggunakan alat yang tajam untuk menjumput
sampel kecil jaringan serviks.

Gambar 6. Punch biopsi28


Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): menggunakan arus listrik
yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan abnormal kanker
serviks.
Gambar 7. Loop Electrosurgical Excision Precedure28

Trakelektomi radikal (radical trachelectomy) : Dokter bedah mengambil


leher rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar getah bening di panggul. Pilihan ini
dilakukan untuk wanita dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk hamil di
kemudian hari.

Gambar 8. Trakelektomi radikal28

Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk


mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik,
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit jantung,
ginjal dan hepar. Ada 2 histerektomi :
1. Total Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks
2. Radikal Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung
telur, tuba falopi maupun kelenjar getah bening di dekatnya

Gambar 9. Histerektomi28
Histerektomi radikal primer menguntungkan karena dapat dilakukan
surgical staging. . Operasi radikal yang memerlukan waktu yang cukup
lama, tidak mungkin tanpa terjadi komplikasi. Oleh karena itu, persiapan
operasi perlu dilakukan dengan cermat sehingga dapat mengurangi
komplikasi seperti lazimnya komplikasi operasi, yaitu :
1. Trias pokok komplikasi (perdarahan, infeksi dan trauma tindakan
operasi).
2. Komplikasi emboli (kardiovaskular dan paru).
3. Komplikasi lainnya
Emboli dan emboli paru yang berat
Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya emboli paru, yaitu:
1. Operasi yang lama saat mengangkat jaringan
lemak di pelvis.
2. Invasi sel karsinoma yang dapat menimbulkan
emboli melalui proses “hiperkoagulasi”
Komplikasi alat perkemihan
Manipulasi yang cukup lama dan bervariasi sekitar pelvis menyebabkan
kemungkinan terjadi komplikasi alat perkemihan pada:
1. Disfungsi vesikouterina
Kejadian ini berkaitan dengan upaya penyisihan dan upaya
pemotongan ligamentum kardinale yang terlalu ke lateral dan
pemotongan ligamentum sakrouterinum terlalu dekat dengan rektum.
2. Fistula
Manipulasi yang berat di sekitar vesika urinaria
Infeksi pascaoperatif
Infeksi yang berat dapat menimbulkan komplikasi berantai, seperti:
 Sepsis meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
 Memperpanjang hospitalisasi
 Terjadi wound dehicense
 Pembentukan abses sekitar pelvis.

3.9.2. Terapi Kanker Serviks Invasif28


1. Pembedahan
2. Radioterapi
Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar X) untuk merusak sel-
sel kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada
serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik.
Kanker serviks stadium II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda
radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan
kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker
serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan
sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti
rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis
kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel
kanker sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat
paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Ada 2
macam radioterapi, yaitu :
a. Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar
Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran
biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
b. Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan
selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit.
Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.

Komplikasi-komplikasi sesudah terapi radiologik antara lain:16,29


a. Komplikasi umum
Gejala umum yang sering timbul adalah nafsu makan menurun,
rasa mual, lesu, dan tidak ada gairah kerja. Pada keadaan yang
lebih berat terdapat muntah-muntah, tidak bisa makan, lemah,
sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Berat ringannya
gejala-gejala sangan dipengaruhi oleh status fisik dan psikologi
penderita.
b. Komplikasi lokal
Gejala-gejala yang timbul ialah gejala-gejala dari alat-alat tubuh
yang terkena radiasi secara langsung, yaitu:
 Problema koitus (pengkerutan vagina)
 Fistel radiologik
 Gejala sistitis
 Proktitis hemoragik
 Fibrosis daerah pelvis demikian luas terutama pada
penyinaran yang luas dengan dosis yang tinggi sehingga
timbul frozen pelvis dengan kemungkinan penyempitan
vagina, rectum, kandung kencing atau ureter.
 Atropi mucosa rectum yang disertai teleangiektasi yang
sewaktu-waktu bila defekasi keras dapat menimbulkan
perdarahan
 Nekrosis pada dinding vagina dengan kemungkinan
timbulnya fistula rectovaginalis atau fistula vesikovaginalis.

Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh


melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina
menjadi lebh sempit dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan
nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini,
penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan
bahan dasar air. Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering
berkemih.

3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan
utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai
penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant.
Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin
sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi
digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih
baik. Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase
karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan
keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus
kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin Platamin),
PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain – lain. Cara pemberian
kemoterapi dapat secara oral, disuntikkan dan diinfus.
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi
awal / bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA
adalah cisplatin, flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling
sering digunakan untuk kanker serviks stage IVB / recurrent adalah :
mitomycin. pacitaxel, ifosamide, topotecan telah disetujui untuk digunakan
bersama dengan cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat
digunakan ketika operasi / radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak
menampakkan hasil; kanker serviks yang timbul kembali / menyebar ke
organ lain. Kemoterapi dapat digunakan sebagai :
1. Terapi utama pada kanker stadium lanjut.
2. Terapi adjuvant/tambahan – setelah pembedahan untuk meningkatkan
hasil pembedahan dengan menghancurkan sel kanker yang mungkin
tertinggal dan mengurangi resiko kekambuhan kanker.
3. Terapi neoadjuvan – sebelum pembedahan untuk mengurangi ukuran
tumor.
4. Untuk mengurangi gejala terkait kanker yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan memperbaiki kehidupan pasien (stadium lanjut /
kanker yang kambuh)
5. Memperpanjang masa hidup pasien (stadium lanjut / kanker yang
kambuh)

Efek samping dari kemoterapi adalah :


1. Lemas
Timbulnya mendadak atau perlahan dan tidak langsung menghilang
saat beristirahat, kadang berlangsung terus sampai akhir pengobatan.
2. Mual dan muntah
Mual dan muntah berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan
obat anti mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan.
3. Gangguan pencernaan
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada
yang diare sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai
terjadi sembelit.
Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat,
buah dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi
kehilangan cairan.
Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika
memungkinkan olahraga.
4. Sariawan
5. Rambut rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga
minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan
rambut patah didekat kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah
kemoterapi.
6. Otot dan saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa
pada jari tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki.
7. Efek pada darah
Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja
sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah,
sehingga jumlah sel darah merah menurun. Yang paling sering
adalah penurunan sel darah putih (leukosit). Penurunan sel darah
terjadi setiap kemoterapi, dan test darah biasanya dilakukan sebelum
kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah
kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat menyebabkan: 29
a. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit
adalah sel darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada
juga beberapa obat kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan
leukosit.
b. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan
darah, apabila jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan
pendarahan, ruam, dan bercak merah pada kulit.
c. Anemia
Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan
penurunan Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel
darah merah. Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan
lemah, mudah lelah, tampak pucat.
1. Kulit menjadi kering dan berubah warna
2. Lebih sensitive terhadap sinar matahari.
3. Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang

4. Terapi paliatif
Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada
peningkatan kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang
mengandung nutrisi, pengontrol sakit (pain control). Manajemen Nyeri
Kanker Berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan
obat, yaitu :
a. Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain
Asetaminofen, OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
b. Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah
kelompok opioid ringan seperti kodein dan tramadol
c. Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok
opioid kuat seperti morfin dan fentanil29

Penatalaksanaan karsinoma serviks dibagi berdasarkan stadium30


1. Karsinoma serviks mikroinvasive
 Histerektomi totalis
2. Stadium IA1
 Total Abdominal Histerektomi (TAH)/Total Vaginal Histerektomi (TVH).
Bila disertai Vaginal Intra Epitelial Neoplasma (VAIN) dilakukan
pengangkatan vaginal cuff.
3. Stadium IA2
 Histerektomi radikal tipe 2 dan limfe adenektomi pelvis
4. Ca invasive
 Biopsi untuk konfirmasi diagnosis
5. Stadium IB1 – IIA < 4cm
 Jika mempunyai prognosis baik dapat dikontrol dengan operasi dan radio
terapi
6. Stadium IB2 – IIA >4cm
 Kemoradiasi primer
 Histerektomi radikal primer + limfadenektomi + radiasi neoadjuvan
 Kemoterapi neo adjuvan
7. Ca serviks stadium lanjut meliputi stadium IIB, III, IV A
 Pengobatan terpilih adalah radioterapi lengkap yaitu radiasi eksterna
dilanjutkan intrakaviter radioterapi. Terapi variasi yang sering diberikan
khemoradiasi, khemoterapi yang sering diberikan antara lain
cisplatinum, pachitaxel, docetaxel, fluorourasil, gemcitabine
8. Stadium IV B
 Pengobatan yang diberikan bersifat paliatif, radioterapi paliatif yang
diberikan

3.10 VAKSIN27
Vaksin HPV sebagai pilihan paling efektif untuk mencegah kanker serviks
yang direkomendasikan untuk 11 dan 12 tahun anak perempuan, karena, tidak ada
bukti yang jelas dalam metode kontrasepsi untuk memberikan perlindungan.
Kemunculan saat ini dari dua yaitu vaksin quadrivalent (Gardasil) dan vaksin
bivalen (Cervarix) telah merumuskan VLP non-infeksi yang paling spesifik untuk
HPV 16 dan 18, dicapai melalui teknologi DNA rekombinan, memperoleh
perlindungan dan secara substansial mengurangi insidensi kanker serviks. Dari
perspektif teknis, vaksinasi ini telah dikategorikan berdasarkan sifat mereka
sendiri (Tabel 6).

a. Vaksin profilaksis
Protein L1 yang dikodekan di antara spesies virus Papilloma yang berbeda
untuk mengidentifikasi protein kapsid HPV. Oleh karena itu, jenis vaksin ini
diproduksi oleh protein kapsid virus L1 untuk membentuk partikel mirip virus
(VLPs) dan untuk menginduksi tingkat tinggi antibodi penetralisir ketika
diekspresikan dalam sistem rekombinan. Dalam uji klinis fase I / II, vaksinasi
intramuskular dari VLPs ini ditemukan untuk menginduksi titer antibodi yang
signifikan dalam sekresi serviks HPV 16 yang terinfeksi.31

b. Vaksin terapeutik32
Berbeda dengan profilaksis, determinan antigenik ini berasal dari protein
HPV awal (misalnya, E2, E6, dan E7) daripada protein akhir. Karena protein virus
asing, E6 dan E7 memiliki peptida / epitop antigenik lengkap dari protein seluler
mutan. Dengan demikian, itu menjadi target yang baik untuk mengembangkan
vaksin antigen spesifik untuk HPV 16 dan selain E6, E7 telah menunjukkan
karakterisasi imunologi yang berlimpah. Vaksin ini pada dasarnya diklasifikasikan
menurut vektor berikut.
 Vaksin vektor virus dan bakteri
Dalam uji klinis fase II, virus Vaccinia rekombinan hidup yang dikodekan E6 dan
E7 dari HPV 16, 18 dikonjugasi dengan molekul MHC kelas I dengan menggunakan
vektor Vaccinia. Ini telah diberikan pada tahap awal pasien kanker serviks untuk
menghasilkan aktivitas CTL yang kuat [84]. Dengan menggunakan bakteri yang
dilemahkan (misalnya, Listeria monocytogenes, Escherichia coli) berfungsi sebagai
pembawa untuk mengantarkan plasmid yang menyandikan gen atau protein yang
menarik bagi antigen presenting cells (APCs). Setelah fagositosis, produksi
listeriolisin O dari L. monocytogenes pindah ke sitoplasma dan memfasilitasi
pengiriman antigen ke jalur MHC-I dan MHC-II. Salmonella yang dilemahkan dan
Bacillus Calmette–Guerin (Mycobacterium bovis) disebut sebagai vektor vaksin
bakteri yang aman, menyandikan protein HPV 16- L1 dan E7 untuk menginduksi
antibosi spesifik E7 dan respon imun sitotoksik. 28 Seperti vaksin viral, ia juga
memiliki kekebalan yang sudah ada yang menghambat batas imunisasi ulang.

 Protein, vaksin dendritik dan DNA


Produksi HPV 16 menyandikan E7 peptida berbasis vaksin dapat lebih ditingkatkan
dengan menggunakan adjuvant, protein fusi atau epitop peptida anchor-modified.
Vaksin DNA memungkinkan ekspresi antigen yang berkelanjutan pada kompleks
MHC-peptida. Ini melewati vaksin berbasis peptida dengan langsung ditransduksi
pengkodean DNA untuk antigen di APC dan peptida yang disintesis dapat disajikan
pada molekul HLA pasien sendiri. 30 Penggabungan DCs adalah mediator utama
vaksin DNA, meningkatkan potensi intrinsik lemah dari vaksin DNA. Ini juga
menginduksi respon imun dengan memodifikasi gerakan antigen intraseluler atau
interseluler untuk meningkatkan potensi vaksin DNA. Karena DC memiliki rentang
hidup yang terbatas, administrasi dari DNA yang mengandung E7 dengan protein
anti-apoptosis meningkatkan kelangsungan hidup DC dan tanggapan imun spesifik
E7 untuk pengobatan tumor. 31 Strategi lain untuk meningkatkan persalinan dan
antigenisitas vaksin HPV DNA adalah penggunaan enkapsulasi, menunjukkan
rekombinan, full-length, E7-pulsed, autologous DC, dapat menimbulkan tanggapan
CD8 + CTL spesifik terhadap HPV 16 atau 18 kanker serviks yang terinfeks.
Kesimpulannya, ini menghadapi lebih banyak tantangan bila dibandingkan dengan
vaksin profilaksis dalam merangsang sistem kekebalan dan keadaan pasien kanker
yang immunocompromised.32

Tabel 6. Berbagai jenis vaksinasi terhadap HPV 16 & 18 yang terinfeksi


kanker serviks31
Pada bulan Juni 2006, United States and Drug Administration (FDA)
menyetujui vaksin HPV quadrivalent profilaksis (GARDASIL), untuk digunakan
pada wanita berusia 9–26 tahun. Pada bulan Oktober 2009, vaksin HPV bivalen
profilaksis (CERVARIX) dilisensikan untuk digunakan pada wanita berusia 10-25
tahun. Vaksin quadrivalent tersusun atas partikel-partikel mirip virus berbasis
protein rekombinan dari HPV 6, 11, 16 dan 18. Fase II dan studi fase III telah
menunjukkan kemanjuran 100% dalam mencegah lesi displastik serviks pada
wanita berusia 16-26 tahun, yang tidak terinfeksi oleh salah satu jenis vaksin
HPV. Khasiat pada wanita dengan tipe vaksin simultan DNA HPV positif dan
seropositifitas adalah 25%. Efek samping yang paling umum dengan nyeri tempat
suntikan (masing-masing 84 vs 48,6% pada kelompok perlakuan dan plasebo).
Diharapkan bahwa vaksin akan mencapai pengurangan risiko seumur hidup 20-
70% untuk kanker serviks, pada pasien berusia 12 tahun. Vaksin biasanya
diberikan dalam tiga dosis 0,5 ml pada 0, 2 dan 6 bulan. Vaksin bivalen
mengandung protein L1 rekombinan dari HPV 16 dan 18, dan studi fase III dari
18, 644 wanita yang diikuti selama 35 bulan menunjukkan kemanjuran hingga
93% dalam pencegahan lesi CIN 2 karena HPV 16 dan 18. Mirip dengan vaksin
quadrivalent, ada tingkat komplikasi yang lebih tinggi di tempat suntikan. Jadwal
dosis adalah 0,5 ml pada 0, 1–2, dan 6 bulan untuk total tiga dosis. Penggunaan
vaksin profilaksis berbasis-L2 rekombinan serta pengembangan target obat
terhadap aktivitas protein awal (E6 dan E7) adalah beberapa contoh.
3.11 PEMANTAUAN7,8
Tiap 3 bulan selama 2 tahun pertama, kemudian tiap 6 bulan, tergantung
keadaan. Jangan lupa meraba kelenjar inguinal dan supraclavikla, abdomen,
abdominal vaginal, dan abdominalrektal, pemeriksan sitologik puncak vagina, dan
foto rontgen thoraks (setiap 6 bulan).
Kolposkopi untuk meneliti puncak vagina, serta bentuk-bentuk praganas.
Rektoskopi, sistoskopi, renogram, Intra Venous Pyelografi (IVP), dan CT scan
panggul, hanya dilakukan menurut indikasi.

3.12 PROGNOSIS8
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah: umur, keadaan umum,
tingkat klinik keganasan, ciri histologi sel tumor, kemampuan tim penolong, dan
sarana pengobatan.
Tabel 7. Angka ketahanan hidup 5 tahun menurut data internasional8
Tingkat AKH-5 Thn
IA Hampir 100%
IB 88%
IIA 68%
IIB 44%
III 18-39%
IVA 18-34%

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Pasien perempuan, 50 tahun, P3A0, datang dengan keluhan utama keluar


darah dari kemaluan yang cukup banyak sehingga badan menjadi lemas di luar
siklus haid, Keluhan ini telah dirasakan sejak ± 6 bulan yang lalu, dirasakan cukup
sering namun tidak terus menerus lalu pasien berobat ke rumah sakit di Bengkulu
dan keluhan menghilang. Namun, ± 4 bulan yang lalu, os mengeluh semakin
sering keluar darah dari kemaluan setiap berhubungan intim. Os juga mengeluh
muncul kembali cairan putih kekuningan dan berbau dari kemaluan yang tidak
kunjung hilang lalu pasien berobat ke RS Hermina dan dirujuk ke RSMH. Sejak
± 12 jam SMRS Perdarahan semakin sering ditemui diluar siklus menstruasi,
berupa darah segar yang bercampur dengan gumpalan darah berwarna merah
kehitaman dan cukup banyak sehingga pasien harus mengganti pembalut sekitar
2-3 kali per hari. Hal ini menunjukkan pasien mengalami suatu perdarahan dari
kemaluan yang abnormal. Pertimbangan klinis mengenai keluhan perdarahan dari
kemaluan yang abnormal dapat disebabkan oleh keganasan, gangguan
endokrinologi atau fertilitas, infeksi genital, gangguan medis lain, atau trauma.
Pasien juga memiliki keluhan tambahan berupa perdarahan setelah melakukan
senggama (post coital bleeding). Perdarahan setelah senggama dapat disebabkan
adanya kelainan pada serviks, uteris, labia, maupun uretra. Pada wanita berusia
muda yang belum menopause umumnya asal perdarahan adalah serviks dan
penyebab perdarahan yang harus diperhatikan adalah keberadaan kanker serviks.
Pada kasus ini didapatkan pendarahan dari kemaluan yang terjadi juga diluar
senggama dimana 75-80% pendarahan yang terjadi diluar senggama merupakan
salah satu gejala khas pada karsinoma serviks stadium lanjut.
Berdasarkan anamnesis lebih lanjut, ditemukan faktor resiko lain yang
menjadi predisposisi terjadinya kanker serviks menurut literatur terdapat pada
pasien ini dari anamnesa yaitu, usia pasien yang masih muda saat melakukan
hubungan seksual, yang mana pada pasien ini telah menikah pada usia 17 tahun.
Jumlah kehamilan dan partus pada pasien ini termasuk multipara dimana pasien
telah mengandung sebanyak 3 kali dan telah melahirkan 3 kali. Aktivitas seksual
dini dan kehamilan multipel merupakan faktor risiko dari kejadian kanker serviks.
Hal ini dikarenakan kanker serviks muncul di squamocolumnar junction antara
epitel kolumnar endoserviks dan epitel skuamosa dari ektoserviks karena adanya
perubahan metaplastik terus menerus, perubahan metaplastik terbesar berlangsung
pada pubertas.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum didapatkan pasien tampak sakit
sedang. Pada pemeriksaan fisik spesifik kepala didapatkan konjungtiva anemis (+/
+), bisa dikarenakan perdarahan yang dialami pasien.
Pada pemeriksaan fisik, yang mendukung diagnosa kearah kanker serviks
pada pasien ini adalah dari pemeriksaan status ginekologi, dimana pada
pemeriksaan dalam inspekulo didapatkan bahwa portio berdungkul-dungkul,
rapuh, mudah berdarah, tampak massa eksofilik ukuran 3x4 cm, flour (+), fluksus
(+), darah aktif. Pada pemeriksaan Vaginal toucher terdapat, Portio berdungkul-
dungkul, rapuh, mudah berdarah, teraba massa eksofilik ukuran 3x4x3 cm, adnexa
parametrium kanan tegang, kiri lemas, cavum douglas tak menonjol. Pemeriksaan
rectal toucher terdapat tonus sphingter ani baik, mukosa licin, massa intra lumen
(-), CUT normal, ampula recti kosong, adnexa parametrium kanan tegang, kiri
lemas, CFS kanan 0%, dan CFS kiri 0%. Hasil pemeriksaan tersebut merupakan
khas pada karsinoma serviks, dan dalam penegakkan diagnosis harus dikonfirmasi
dengan biopsi serviks. Pada pasien belum ditemukan perluasan ke kandung
kemih, rektum, maupun metastase jauh.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium tanggal 15 Januari 2019,
didapatkan sitopenia atau jumlah sel-sel darah yang menurun, yaitu Hb 8,2 gr/dL,
eritrosit 3.510.000/mm3, hematokrit 24%, dan trombosit 83.000/µL. Kadar Hb,
eritrosit, dan hematokrit yang rendah dapat dikarenakan perdarahan yang dialami
oleh pasien serta dapat dikategorikan dengan anemia derajat sedang (kadar Hb<11
g/dL) dan didukung dengan pemeriksaan fisik terdapat konjungtiva anemis. Selain
itu juga, pada pasien didapatkan kadar Kreatinin yang tinggi, yaitu 1.14 mg/dL,
yang menandakan terganggunya fungsi ginjal pasien. Fungsi ginjal pasien dapat
terganggu karena adanya infiltrasi tumor yang menyebabkan obstruksi total ureter
sehingga dapat terjadi hidronefrosis.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status ginekologis, serta
pemeriksaan penunjang semuanya mendukung diagnosis karsinoma serviks. Pada
pemeriksaan histopatologi biopsi serviks, didapatkan hasil moderately
differentiated non keratinizing squamous cell carcinoma cervix. Biopsi serviks
merupakan gold standard dalam penegakkan diagnosis kanker serviks. Menurut
FIGO, apabila proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3
bagian atas vagina disertai gangguan faal ginjal maka dapat diklasifikasikan
sebagai tingkat keganasan IIIB. Oleh karena itu, pada pasien dapat ditegakkan
diagnosis karsinoma serviks stadium IIIB disertai anemia derajat sedang.
Saat ini pasien terdiagnosis dengan karsinoma serviks stadium IIIB dengan
anemia derajat sedang. Pada karsinoma serviks stadium IIIB, kanker telah tumbuh
pada dinding pelvis dan memblokade ureter sehingga dapat menimbulkan
hidronefrosis, namun belum menyebar ke nodus limfatikus. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien ini adalah tatalaksana nonfarmakologis dan farmakologis
dengan tujuan memperbaiki kondisi umum pasien, meningkatkan kualitas hidup,
dan mencegah penyebaran lebih lanjut. Tatalaksana nonfarmakologis yang perlu
diberikan ialah tirah baring dan pemberian terapi cairan dengan IVFD RL gtt
XX/menit. Pasien juga termanifestasi dengan anemia derajat sedang sehingga
direncanakan pemberian transfusi darah PRC sebanyak 500 ml (2 kantong)
dengan target Hb=12 g/dL. Pada Ca serviks stadium lanjut meliputi stadium IIB,
III, IV A maka pengobatan terpilih adalah kemoradiasi. Radioterapi yang
dilakukan adalah radioterapi lengkap yaitu radiasi eksterna dilanjutkan
intrakaviter radioterapi. Sedangkan, kemoterapi yang sering diberikan antara lain
cisplatin, pachitaxel, docetaxel, fluorourasil, gemcitabine. Pemberian kemoterapi
pada kombinasi kemoradiasi bertujuan untuk meningkatkan respon radiasi respon
radiasi. Kemoterapi bersifat sebagai radiosenstitizer, sedangkan pemberian radiasi
dengan sinar x-ray energi tinggi ditujukan untuk membunuh sel kanker. Sitopenia
merupakan salah satu efek samping akut dari radioterapi pada daerah abdomen
dan pelvis sehingga evaluasi hematologi sebelum dan setelah terapi perlu
dilakukan. Selain itu, pasien dengan karsinoma serviks stadium IIIB perlu
dilakukan evaluasi fungsi ginjal. Dalam hal ini, dokter umum memiliki tingkat
kemampuan 2 yakni mendiagnosis dan merujuk pada penanganan kasus
karsinoma serviks. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap
penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.
Prognosis pada kasus ini adalah quo ad vitam dubia, quo ad functionam
dubia, serta quo ad sanationam dubia ad malam, literatur menyatakan 5-year
survival rate pada kanker serviks stadium IIIB adalah 32%. Bahkan, kanker
serviks yang tidak diobati atau tidak memberi respon terhadap pengobatan 95%
akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbulnya gejala. Pada pasien
yang diberikan radioterapi saja angka kekambuhan mencapai 62%, sedangkan
pada pasien dengan kemoradiasi angka kekambuhan mencapai 42% dengan
peningkatan 5-year survival rate menjadi 57% (radioterapi)- 63% (kemoradiasi).
DAFTAR PUSTAKA
1. E.L. Franco, E. Duarte and A. Ferencz. 2011. Canadian Medical
Association Journal 164, 1017.
2. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, et al. 2013. ‘Globocan 2012
v1.0, cancer incidence and mortality worldwide: IARC cancerbase.
3. S. Andersson, E. Rylander, B. Larsson, A. Strand, C. Silfversvard and
E. Wilander. 2001. European Journal of Cancer 37, 246.
4. Obalek, S., S. Jablonska, and G. Orth. 1985. HPV-associated
intraepithelial neoplasia of external genitalia. Clin. Dermatol. 3:104–113.
5. Holowaty, P., A. B. Miller, T. Rohan, and T. To. 1999. Natural
dysplasia of the uterine cervix. J. Natl. Cancer Inst. 91:252–258.
6. Gbadegesin M.A., Soremekun Oluwasola T.A.O., Okolo C.A.,
Oluwasola A.O 2017. An Overview of the Genetic of Cervical Cancer. Med 5.
47-57.
7. Hoffman, B.L., et al. 2016. William Gynecology: 3rd edition. New
York: McGraw-Hill Education.
8. Kiviat, N. B., and L. A. Koutsky. 1993. Specific human
papillomavirus types as the causal agents of most cervical intraepithelial
neoplasia: implications for current views and treatment. J. Natl. Cancer Inst.
85:934–935.
9. Spitzer, M. 1998. Cervical screening adjuncts: recent advances.
Am. J. Obstet. Gynecol. 179:544–556.
10. Cannistra, S. A., & Niloff, J. M. (1996). Cancer of the uterine cervix.
N Engl J Med, 334(16), 1030-1038.
11. Papanicolaou, G. N. 1949. A survey of actualities and potentialities
of exfoliative cytology in cancer diagnosis. Ann. Intern. Med. 31:661–674
12. National Cancer Institute. Stage Information About Cervical
Cancer.Available at:
http://www.cancer.gov/cancertopics/treatment/cervical update : January
30, 2018. Last accessed December 17th 2018.
13. Solomon, D., D. Davey, R. Kurman, A. Moriarity, D. O’Connor, M.
Prey, S. Raab, M. Sherman, D. Wilbur, T. Wright, and
14. N. Young. 2002. The 2001 Bethesda System. Terminology for
reporting results of cervical cytology. JAMA 287:2114–2119. Richart, R. M.
1973. Cervical intraepithelial neoplasia. Pathol. Annu. 3:301–328.
15. Brinton, L. A., Herrero, R., Reeves, W. C., de Britton, R. C., Gaitan,
E., & Tenorio, F. (1993). Risk factors for cervical cancer by histology. Gynecol
Oncol, 51(3), 301-306.
16. Moreno, V., Bosch, F. X., Munoz, N., Meijer, C. J., Shah, K. V.,
Walboomers, J. M., Herrero, R., & Franceschi, S. (2002). Effect of oral
contraceptives on risk of cervical cancer in women with human
papillomavirus infection: the IARC multicentric case-control study. Lancet,
359(9312), 1085-1092.

58
17. Gaffikin, L., Ahmed, S., Chen, Y. Q., McGrath, J. M., & Blumenthal,
P. D. (2003). Risk factors as the basis for triage in low-resource cervical
cancer screening programs. Int J Gynaecol Obstet, 80(1), 41-47.
18. Li, H. C. (1993). [Mutation and expression of Rb gene in human
esophageal cancer]. Zhonghua Zhong Liu Za Zhi, 15(6), 412-414.
19. Clinical Laboratory Improvement Amendments of 1988. 1988. P.L.
100– 578. Congress. Rec. 134:3828–3863.
20. Hutchinson, M. L., L. M. Isenstein, A. Goodman, A. A. Hurley, K. L.
Douglass, K. K. Mui, F. W. Patten, and D. J. Zahniser. 1994. Homogeneous
sampling accounts for increased diagnostic accuracy using the ThinPrep
Processor. Am. J. Clin. Pathol. 101:215–219
21. Sheets, E. E., N. M. Constantine, S. Sinisco, B. Dean, and E. S. Cibas.
1995. Colposcopically-directed biopsies provide a basis for comparing the
accuracy of ThinPrep and Papanicoloau smears. J. Gynecol. Technol. 1:27–
34.
22. W. J. Frable. 1996. PapNet-directed rescreening of cervicovaginal
smears: a study of 101 cases of atypical squamous cells of undetermined
significance. Am. J. Clin. Pathol. 105:711–718.
23. Lizard, G, M.-J. De´mares-Poulet, P. Roignot, and P. Gambert. 2001.
In situ hybridization detection of single-copy human papillomavirus on
isolated cells using a catalyzed signal amplification system:GenPoint™.
Diagn. Cytopathol. 24:112–116.
24. Bosch, F., M. M. Manos, N. Munoz, M. Sherman, A. M. Jansen, J.
Peto, M. H. Schiffman, V. Moreno, R. Kurman, K. V. Shah, and International
Biological Study on Cervical Cancer (IBSCC) Study Group. 1995. Prevalence
of human papillomavirus in cervical cancer: a worldwide perspective. J.
Natl. Cancer Inst. 87:796–802.
25. Zerbini, M., S. Venturoli, M. Cricca, G. Gallinella, P. De Simone, S.
Costa, D. Santini, and M. Musiani. 2001. Distribution and viral load of type
specific HPVs in different cervical lesions as detected by PCR-ELISA. J. Clin.
Pathol. 54:377–380.
26. Kleter, B., L. J. van Doorn, L. Schrauwen, A. Molijn, S. Sastrowijoto,
J. TerSchegget, J. Lindeman, B. Ter Harmsel, M. Burger, and W. Quint. 1999.
Development and clinical evaluation of a highly sensitive PCR-reverse
hybridization line probe assay for detection and identification of anogenital
human papillomavirus. J. Clin. Microbiol. 37:2508–2517.
27. Teni B, Maria V. Cisplatin and platinum drugs at the molecular level
(Review). Oncol Rep 2003;10(6):1663–82
28. American Cancer Society. New Screening Guidlines for Cervical
Cancer. 2012. Available at : http://www.cancer.org/cancer/news/new-
screening-guidelines-for-cervical-cancer Accesed December 17th 2018.
29. Castellsague, X., Bosch, F. X., & Munoz, N. (2002). Environmental
co-factors in HPV carcinogenesis. Virus Res, 89(2), 191-199.

59
30. Sigurdsson, K., Taddeo, F. J., Benediktsdottir, K. R., Olafsdottir, K.,
Sigvaldason, H., Oddsson, K., & Rafnar, T. (2007). HPV genotypes in CIN 2-3
lesions and cervical cancer: a population-based study. Int J Cancer, 121(12),
2682-2687.

60

Anda mungkin juga menyukai