Oleh:
Pembimbing:
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus :
Oleh:
Nur Mahmudah, S.Ked 04054821820090
Rd. Nurizki Abriyanti, S.Ked 04054821820091
Vicra Adhitya, S.Ked 04054821820051
Rulitia Nairiza, S.Ked 04054821820092
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 31 Desember 2018 – 10 Maret 2019.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Kanker serviks” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Pusat Dr.
Moh. Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Dr. H. Irawan Sastradinata, SpOG (K), MARS selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat
selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
membangun sangat penulis harapkan. Demikian penulisan tugas ilmiah ini,
semoga bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
HALAMAN PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
PENDAHULUAN 5
STATUS PASIEN 7
TINJAUAN PUSTAKA 13
ANALISIS MASALAH 29
DAFTAR PUSTAKA 31
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. N bt AL
Umur : 50 tahun (1 April 1968)
Alamat : Jl. Jl. Melati 2 Dusun 1 Sukadamai, Pedamaran I,
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Suku Bangsa : Sumatera
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 15 Januari 2019 pukul: 18.15 WIB
No. RM : 1086008
Kesan: Suspek massa malignansi pada serviks + hidronefrosis kiri & kanan
2.7 Penatalaksanaan
Observasi tanda vital dan perdarahan
Perbikan keadaan umum
IVFD RL gtt XX/menit
Rencana Transfusi PRC hingga Hb ≥12 g/dL
2.8 Prognosis
Ad Vitam: Dubia Ad Malam
Ad Functionam: Dubia Ad Malam
Ad sanationam: Dubia Ad Malam
2.9 Follow Up
Tanggal-
Catatan Kemajuan Tatalaksana
Jam
16 Januari S: perdarahan (+) berkurang, badan lemas (+) P:
2019
O: Keadaan umum: Observasi TTV dan
07.00 perdarahan
Keadaan umum: tampak sakit sedang
IVFD RL gtt xx/m
Kesadaran: compos mentis Tampon vagina sampai
dengan 24 jam
TD: 120/80 mmHg Pronalges suppositoria
HR: 82 x/menit prn
Diet TKTP
RR: 20 x/menit Rencana transfusi PRC
T: 36.7’ C hingga Hb ≥12 g/dL
A: Kanker serviks stadium IIIB + Anemia Rencana
Ringan
radiokemoterapi setelah
perbaikan KU
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.9
3.2 EPIDEMIOLOGI10,11
Kanker serviks adalah kanker paling umum kedua yang terjadi pada
wanita di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat kasus baru
527.624 dan 265,672 kematian akibat kanker serviks. Tingkat kejadian tertinggi
kanker serviks berada di Negara Afrika Timur (termasuk Zimbabwe) dan tingkat
kejadian terendah di Negara Asia Barat. Peningkatan kejadian kanker serviks
akibat perilaku seksual usia dini meningkatkan insiden infeksi human
papillomavirus (HPV) sebagai penyebab kanker serviks. Sub-Sahara Afrika,
Amerika Selatan dan Asia Tenggara memiliki prevalensi HPV tertinggi dengan
25%, 15% dan 8% wanita yang terinfeksi, masing-masing. Di Amerika Serikat,
kanker serviks adalah kanker paling umum ke-12 pada wanita dengan 11.000
kasus dan 3.500 kematian dilaporkan pada tahun 2008.
Menurut International Agency for Research on Cancer tahun 2012
menunjukkan bahwa kanker serviks menjadi permasalahan pada kesehatan
masyarakat, tingkat kejadian hampir setengah juta kematian dan lebih dari
seperempat juta setiap tahunnya. Kaus terbanyak terjadinya kanker serviks pada
negara berkembang dimana sistem skrinig yang tidak memadai atau tidak efektif.
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7
secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke-6 di negara kurang
berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2%
mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia).
3.3 KLASIFIKASI12
Klasifikasi kanker dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) klasifikasi
berdasarkan histopatologi, (2) klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi
serviks, dan (3) klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO.
3.3.1 Klasifikasi berdasarkan histopatologi
CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya. berdasarkan pada kehadiran dari dysplasia
yang dibatasi pada dasar ketiga dari lapisan cervix, atau epithelium
(dahulu disebut dysplasia ringan). Ini dipertimbangkan sebagai low-
grade lesion (luka derajat rendah).
CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya,
dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi (high-grade lesion). Ia
merujuk pada perubahan-perubahan sel dysplastic yang dibatasi pada
dasar duapertiga dari jaringan pelapis (dahulu disebut dysplasia sedang
atau moderat).
CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel. adalah luka
derajat tinggi (high grade lesion). Ia merujuk pada perubahan-
perubahan prakanker pada sel-sel yang mencakup lebih besar dari
duapertiga dari ketebalan pelapis cervix, termasuk luka-luka ketebalan
penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan carcinoma yang
parah ditempat asal.
3.6 PATOGENESIS14
Penularan HPV terjadi terutama oleh kontak kulit-ke-kulit. Sel basal dari
epitel skuamosa kompleks dapat terinfeksi oleh HPV. Jenis sel lain tampaknya
relatif resisten. Diasumsikan bahwa siklus replikasi HPV dimulai dengan
masuknya virus ke dalam sel-sel lapisan basal epitelium. Maka dari itu,
kemungkinan infeksi HPV pada lapisan basal membutuhkan abrasi ringan atau
mikrotrauma pada epidermis. Begitu berada di dalam sel, replikasi DNA HPV
berlanjut ke permukaan epitelium. Di lapisan basal, replikasi virus dianggap tidak
produktif, dan virus menetapkan dirinya dalam salinan episome jumlah rendah
menggunakan DNA host sebagai mesin replikasi untuk mensintesis DNA dengan
rata-rata satu pada setiap siklus sel. Pada keratinosit terdiferensiasi dari epitel
lapisan suprabasal, virus beralih ke mode lingkaran-bergulir (rolling-circle) dari
replikasi DNA, memperbanyak salinan DNA, mensintesis protein kapsid, dan
menyebabkan rakitan virus.
Karena banyak wanita yang diskrining secara rutin, temuan yang paling
umum adalah hasil tes Papanicolaou (Pap) yang abnormal. Biasanya, pasien ini
tidak menunjukkan gejala.
Secara klinis, gejala pertama kanker serviks adalah perdarahan vagina
abnormal, biasanya postcoital. Ketidaknyamanan vagina, cairan berbau busuk
(malodorous discharge), dan disuria tidak jarang.
Tumor tumbuh dengan memanjang di sepanjang permukaan epitel, baik
skuamosa dan kelenjar, ke atas ke rongga endometrium, sepanjang epitel vagina,
dan lateral ke dinding panggul. Dapat menyerang kandung kemih dan rektum
secara langsung, menyebabkan sembelit, hematuria, fistula, dan obstruksi ureter,
dengan atau tanpa hydroureter atau hidronefrosis. Tiga serangkai edema tungkai,
nyeri, dan hidronefrosis menunjukkan keterlibatan dinding panggul. Situs umum
untuk metastasis jauh termasuk kelenjar getah bening ekstrapelvis, hati, paru-paru,
dan tulang.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien dengan kanker serviks stadium awal, temuan pemeriksaan fisik
bisa relatif normal. Ketika penyakit berkembang, serviks dapat menjadi abnormal
dalam penampilan, dengan erosi kasar, ulkus, atau massa. Kelainan ini dapat
meluas ke vagina. Pemeriksaan rektum dapat mengungkapkan massa eksternal
atau darah kotor dari erosi tumor.
Temuan pemeriksaan panggul bimanual sering mengungkapkan metastasis
panggul atau parametrium. Jika penyakit melibatkan hati, hepatomegali dapat
berkembang. Metastasis pulmonal biasanya sulit untuk dideteksi pada
pemeriksaan fisik kecuali jika efusi pleura atau obstruksi bronkus menjadi jelas.
Leg edema menunjukkan obstruksi limfatik atau vaskular yang disebabkan oleh
tumor.
3.8 DIAGNOSIS
Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah
kanker serviks, dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi
prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini kanker serviks disertai
dengan kemampuan dalam penatalaksanaan yang tepat akan dapat menurunkan
angka kematian akibat kanker serviks.6,8,10
a. Keputihan
Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk
akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
b. Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks.
Perdarahan timbul akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama
makin sering terjadi diluar senggama.
c. Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
d. Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase jauh.
Beberapa studi telah mengkonfirmasi bahwa infeksi serviks oleh tipe HPV
risiko tinggi adalah prekursor untuk kanker serviks. Kanker serviks sebagai proses
penyakit yang terus menerus berkembang secara bertahap dari neoplasia
intraepitel serviks ringan (CIN1) ke tingkat yang lebih parah dari neoplasia dan
lesi microinvasive (CIN2 atau CIN3).20 Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
CIN1 dan CIN2-CIN3 memiliki proses yang berbeda, dengan CIN1 menunjukkan
infeksi HPV menular seksual terbatas dan CIN2 atau CIN3 menjadi satu-satunya
prekursor kanker serviks.21 Risiko pengembangan displasia ringan hingga
displasia berat hanya 1% per tahun, sedangkan risiko pengembangan displasia
sedang hingga displasia berat adalah 16% dalam 2 tahun dan 25% dalam 5 tahun.
Meskipun demikian, deteksi dini dan pengobatan dini HPV pada lesi prakanker
dapat mencegah perkembangan kanker.22 HPV tidak dapat dikultur di
laboratorium dari spesimen klinis dan tes imunologi untuk mendeteksi infeksi
HPV. Alat diagnostik utama adalah sitologi dan histologi. Baru-baru ini, metode
molekuler untuk mendeteksi sekuens DNA HPV pada spesimen klinis telah
diperkenalkan.
1. Sitologi Konvensional
Metode utama untuk mendeteksi HPV risiko tinggi masih berupa
Papanicolaou-staines (Pap smear). Metode ini dinamai oleh patolog George
Papanicolaou tahun 1949 sebelum penyebab kanker serviks diketahui.23 Pap
smear telah membantu mengurangi insiden kanker serviks dan angka kematian
sekitar setengah hingga dua pertiga. Pap smear adalah alat skrining yang
mencari perubahan dalam sel-sel zona transformasi serviks. Seringkali
perubahan ini disebabkan oleh HPV.
Klasifikasi Pap smear telah berevolusi dan telah disempurnakan seiring
waktu. Klasifikasi saat ini adalah Sistem Bethesda (Tabel 4) yang
diperkenalkan pada tahun 1988 diubah pada tahun 1991 untuk menggantikan
Sistem CIN, dan diperbarui lagi pada tahun 1999. 24 Sistem CIN didasarkan
pada jaringan dan diperkenalkan pada tahun 1973 untuk melihat konsep
kontinum penyakit dari lesi prekursor ke kanker invasif. Sistem Bethesda
dikembangkan untuk mencerminkan pemahaman lanjutan dari neoplasia
servikal dan untuk memperkenalkan terminologi diagnostik histologis
deskriptif yang seragam. Sistem Bethesda dimodifikasi pada tahun 1991 untuk
mencerminkan laboratorium aktual dan pengalaman klinis. Lalu dimodifikasi
lagi pada tahun 2001, dengan mempertimbangkan peningkatan pemanfaatan
teknologi skrining serviks, tes molekuler adjuvan, pelajaran dari litigasi, dan
pemahaman dari biologi neoplasia serviks. 25
Sistem Bethesda 2001 mengklasifikasikan kelainan sel skuamosa ke
dalam empat kategori:
ASC (sel skuamosa atipikal),
LSIL (lesi intraepitel skuamosa derajat rendah),
HSIL (lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi),
Karsinoma sel skuamos.
2. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu
alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya.
Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan standar bila ditemukan pap smear
yang abnormal. Pemeriksaan dengan kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan
pembesaran, melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian
asam asetat. Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi
pemeriksaan meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk
membuat diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan kapan dan dimana biopsi
harus dilakukan.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal di bagian yang telah dilakukan
kolposkopi. Jika kanalis servikalis sulit dinilai, sampel diambil secara konisasi.
4. Histologi27
Pasien dengan temuan Pap smear abnormal yang tidak memiliki lesi
serviks yang berat biasanya dievaluasi dengan kolposkopi dan biopsi
kolposkopi langsung. Kolposkopi dapat mendeteksi displasia derajat rendah
dan tingkat tinggi tetapi tidak mendeteksi penyakit mikroinvasive. Jika tidak
ada kelainan yang ditemukan atau jika seluruh sambungan squamocolumnar
tidak dapat divisualisasikan, biopsi kerucut serviks dilakukan. Biopsi dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi sebagian besar diagnosis dengan mengamati
ciri patologis karakteristik infeksi HPV seperti hiperplasia epitel (acanthosis)
dan vakuolisasi sitoplasma degeneratif (koilocytosis) pada keratinosit yang
terdiferensiasi dengan nuklei atipikal. Selain itu, stain dapat digunakan yang
mendeteksi antigen HPV atau asam nukleat HPV. Antibodi monoklonal dan
poliklonal untuk mendeteksi antigen umum HPV. epitop linear di tengah-
tengah protein kapsid utama secara luas diekspresikan di antara subtipe HPV
yang berbeda. Antibodi bound dideteksi oleh pewarnaan immunocytochemical
peroxidase-antiperoxidase. Pewarnaan biasanya terbatas pada inti sel yang
terinfeksi tetapi kadang-kadang juga terlihat pada sitoplasma sel koilositik.
DNA HPV atau RNA dapat ditunjukkan dalam jaringan biopsi dengan
hibridisasi in situ dengan probe yang dilabeli dengan radioisotop atau ligan
kimiawi reaktif yang dideteksi oleh autoradiografi, fluoresensi, atau deteksi
reaksi warna. Hibridisasi in situ dapat melokalisasi urutan asam nukleat HPV
sel individual sambil mempertahankan morfologi sel dan jaringan untuk
memungkinkan penilaian simultan dari perubahan morfologis yang terkait
dengan lesi. Untuk deteksi HPV, probe nonisotop direkomendasikan dan
metode enzimatik lebih disukai daripada metode fluoresensi untuk
memudahkan interpretasi. Karakteristik sinyal dapat mencerminkan bentuk
episomal atau terintegrasi dari DNA target viral. Intensitas sinyal dapat
mencerminkan nomor salinan. Target amplikasi atau teknik in situ sinyal
amflikasi telah dikembangkan untuk mendeteksi secara imunogenesis
sejumlah kecil rangkaian asam nukleat HPV dengan sensitivitas tinggi dengan
menggunakan mikroskopi medan terang. Sistem Gen-Point adalah sistem
amplifikasi sinyal terkatalisasi otomatis menggunakan probe biotinilasi untuk
deteksi imunohistokimia HPV di bagian-bagian jaringan biopsi yang
terstruktur. Pemrosesan otomatis termasuk baking, deparaffinization,
pengkondisian sel, pewarnaan, dan counterstaining. Pengujian ini mampu
mendeteksi sedikitnya 1-2 salinan urutan target per inti dan lebih sensitif
daripada satu langkah (mendeteksi 20-50 salinan HPV) atau prosedur
immunoenzimatik tiga langkah (10-15 salinan) yang tidak diamplifikasi yang
lebih sering digunakan.27
3.9 TATALAKSANA28
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang
sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / tim
onkologi). Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada stadium
kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan dalam tata laksana
kanker serviks antara lain:
Gambar 9. Histerektomi28
Histerektomi radikal primer menguntungkan karena dapat dilakukan
surgical staging. . Operasi radikal yang memerlukan waktu yang cukup
lama, tidak mungkin tanpa terjadi komplikasi. Oleh karena itu, persiapan
operasi perlu dilakukan dengan cermat sehingga dapat mengurangi
komplikasi seperti lazimnya komplikasi operasi, yaitu :
1. Trias pokok komplikasi (perdarahan, infeksi dan trauma tindakan
operasi).
2. Komplikasi emboli (kardiovaskular dan paru).
3. Komplikasi lainnya
Emboli dan emboli paru yang berat
Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya emboli paru, yaitu:
1. Operasi yang lama saat mengangkat jaringan
lemak di pelvis.
2. Invasi sel karsinoma yang dapat menimbulkan
emboli melalui proses “hiperkoagulasi”
Komplikasi alat perkemihan
Manipulasi yang cukup lama dan bervariasi sekitar pelvis menyebabkan
kemungkinan terjadi komplikasi alat perkemihan pada:
1. Disfungsi vesikouterina
Kejadian ini berkaitan dengan upaya penyisihan dan upaya
pemotongan ligamentum kardinale yang terlalu ke lateral dan
pemotongan ligamentum sakrouterinum terlalu dekat dengan rektum.
2. Fistula
Manipulasi yang berat di sekitar vesika urinaria
Infeksi pascaoperatif
Infeksi yang berat dapat menimbulkan komplikasi berantai, seperti:
Sepsis meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Memperpanjang hospitalisasi
Terjadi wound dehicense
Pembentukan abses sekitar pelvis.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan
utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai
penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant.
Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin
sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi
digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih
baik. Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase
karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan
keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus
kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin Platamin),
PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain – lain. Cara pemberian
kemoterapi dapat secara oral, disuntikkan dan diinfus.
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi
awal / bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA
adalah cisplatin, flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling
sering digunakan untuk kanker serviks stage IVB / recurrent adalah :
mitomycin. pacitaxel, ifosamide, topotecan telah disetujui untuk digunakan
bersama dengan cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat
digunakan ketika operasi / radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak
menampakkan hasil; kanker serviks yang timbul kembali / menyebar ke
organ lain. Kemoterapi dapat digunakan sebagai :
1. Terapi utama pada kanker stadium lanjut.
2. Terapi adjuvant/tambahan – setelah pembedahan untuk meningkatkan
hasil pembedahan dengan menghancurkan sel kanker yang mungkin
tertinggal dan mengurangi resiko kekambuhan kanker.
3. Terapi neoadjuvan – sebelum pembedahan untuk mengurangi ukuran
tumor.
4. Untuk mengurangi gejala terkait kanker yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan memperbaiki kehidupan pasien (stadium lanjut /
kanker yang kambuh)
5. Memperpanjang masa hidup pasien (stadium lanjut / kanker yang
kambuh)
4. Terapi paliatif
Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada
peningkatan kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang
mengandung nutrisi, pengontrol sakit (pain control). Manajemen Nyeri
Kanker Berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan
obat, yaitu :
a. Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain
Asetaminofen, OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
b. Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah
kelompok opioid ringan seperti kodein dan tramadol
c. Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok
opioid kuat seperti morfin dan fentanil29
3.10 VAKSIN27
Vaksin HPV sebagai pilihan paling efektif untuk mencegah kanker serviks
yang direkomendasikan untuk 11 dan 12 tahun anak perempuan, karena, tidak ada
bukti yang jelas dalam metode kontrasepsi untuk memberikan perlindungan.
Kemunculan saat ini dari dua yaitu vaksin quadrivalent (Gardasil) dan vaksin
bivalen (Cervarix) telah merumuskan VLP non-infeksi yang paling spesifik untuk
HPV 16 dan 18, dicapai melalui teknologi DNA rekombinan, memperoleh
perlindungan dan secara substansial mengurangi insidensi kanker serviks. Dari
perspektif teknis, vaksinasi ini telah dikategorikan berdasarkan sifat mereka
sendiri (Tabel 6).
a. Vaksin profilaksis
Protein L1 yang dikodekan di antara spesies virus Papilloma yang berbeda
untuk mengidentifikasi protein kapsid HPV. Oleh karena itu, jenis vaksin ini
diproduksi oleh protein kapsid virus L1 untuk membentuk partikel mirip virus
(VLPs) dan untuk menginduksi tingkat tinggi antibodi penetralisir ketika
diekspresikan dalam sistem rekombinan. Dalam uji klinis fase I / II, vaksinasi
intramuskular dari VLPs ini ditemukan untuk menginduksi titer antibodi yang
signifikan dalam sekresi serviks HPV 16 yang terinfeksi.31
b. Vaksin terapeutik32
Berbeda dengan profilaksis, determinan antigenik ini berasal dari protein
HPV awal (misalnya, E2, E6, dan E7) daripada protein akhir. Karena protein virus
asing, E6 dan E7 memiliki peptida / epitop antigenik lengkap dari protein seluler
mutan. Dengan demikian, itu menjadi target yang baik untuk mengembangkan
vaksin antigen spesifik untuk HPV 16 dan selain E6, E7 telah menunjukkan
karakterisasi imunologi yang berlimpah. Vaksin ini pada dasarnya diklasifikasikan
menurut vektor berikut.
Vaksin vektor virus dan bakteri
Dalam uji klinis fase II, virus Vaccinia rekombinan hidup yang dikodekan E6 dan
E7 dari HPV 16, 18 dikonjugasi dengan molekul MHC kelas I dengan menggunakan
vektor Vaccinia. Ini telah diberikan pada tahap awal pasien kanker serviks untuk
menghasilkan aktivitas CTL yang kuat [84]. Dengan menggunakan bakteri yang
dilemahkan (misalnya, Listeria monocytogenes, Escherichia coli) berfungsi sebagai
pembawa untuk mengantarkan plasmid yang menyandikan gen atau protein yang
menarik bagi antigen presenting cells (APCs). Setelah fagositosis, produksi
listeriolisin O dari L. monocytogenes pindah ke sitoplasma dan memfasilitasi
pengiriman antigen ke jalur MHC-I dan MHC-II. Salmonella yang dilemahkan dan
Bacillus Calmette–Guerin (Mycobacterium bovis) disebut sebagai vektor vaksin
bakteri yang aman, menyandikan protein HPV 16- L1 dan E7 untuk menginduksi
antibosi spesifik E7 dan respon imun sitotoksik. 28 Seperti vaksin viral, ia juga
memiliki kekebalan yang sudah ada yang menghambat batas imunisasi ulang.
3.12 PROGNOSIS8
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah: umur, keadaan umum,
tingkat klinik keganasan, ciri histologi sel tumor, kemampuan tim penolong, dan
sarana pengobatan.
Tabel 7. Angka ketahanan hidup 5 tahun menurut data internasional8
Tingkat AKH-5 Thn
IA Hampir 100%
IB 88%
IIA 68%
IIB 44%
III 18-39%
IVA 18-34%
BAB IV
ANALISIS MASALAH
58
17. Gaffikin, L., Ahmed, S., Chen, Y. Q., McGrath, J. M., & Blumenthal,
P. D. (2003). Risk factors as the basis for triage in low-resource cervical
cancer screening programs. Int J Gynaecol Obstet, 80(1), 41-47.
18. Li, H. C. (1993). [Mutation and expression of Rb gene in human
esophageal cancer]. Zhonghua Zhong Liu Za Zhi, 15(6), 412-414.
19. Clinical Laboratory Improvement Amendments of 1988. 1988. P.L.
100– 578. Congress. Rec. 134:3828–3863.
20. Hutchinson, M. L., L. M. Isenstein, A. Goodman, A. A. Hurley, K. L.
Douglass, K. K. Mui, F. W. Patten, and D. J. Zahniser. 1994. Homogeneous
sampling accounts for increased diagnostic accuracy using the ThinPrep
Processor. Am. J. Clin. Pathol. 101:215–219
21. Sheets, E. E., N. M. Constantine, S. Sinisco, B. Dean, and E. S. Cibas.
1995. Colposcopically-directed biopsies provide a basis for comparing the
accuracy of ThinPrep and Papanicoloau smears. J. Gynecol. Technol. 1:27–
34.
22. W. J. Frable. 1996. PapNet-directed rescreening of cervicovaginal
smears: a study of 101 cases of atypical squamous cells of undetermined
significance. Am. J. Clin. Pathol. 105:711–718.
23. Lizard, G, M.-J. De´mares-Poulet, P. Roignot, and P. Gambert. 2001.
In situ hybridization detection of single-copy human papillomavirus on
isolated cells using a catalyzed signal amplification system:GenPoint™.
Diagn. Cytopathol. 24:112–116.
24. Bosch, F., M. M. Manos, N. Munoz, M. Sherman, A. M. Jansen, J.
Peto, M. H. Schiffman, V. Moreno, R. Kurman, K. V. Shah, and International
Biological Study on Cervical Cancer (IBSCC) Study Group. 1995. Prevalence
of human papillomavirus in cervical cancer: a worldwide perspective. J.
Natl. Cancer Inst. 87:796–802.
25. Zerbini, M., S. Venturoli, M. Cricca, G. Gallinella, P. De Simone, S.
Costa, D. Santini, and M. Musiani. 2001. Distribution and viral load of type
specific HPVs in different cervical lesions as detected by PCR-ELISA. J. Clin.
Pathol. 54:377–380.
26. Kleter, B., L. J. van Doorn, L. Schrauwen, A. Molijn, S. Sastrowijoto,
J. TerSchegget, J. Lindeman, B. Ter Harmsel, M. Burger, and W. Quint. 1999.
Development and clinical evaluation of a highly sensitive PCR-reverse
hybridization line probe assay for detection and identification of anogenital
human papillomavirus. J. Clin. Microbiol. 37:2508–2517.
27. Teni B, Maria V. Cisplatin and platinum drugs at the molecular level
(Review). Oncol Rep 2003;10(6):1663–82
28. American Cancer Society. New Screening Guidlines for Cervical
Cancer. 2012. Available at : http://www.cancer.org/cancer/news/new-
screening-guidelines-for-cervical-cancer Accesed December 17th 2018.
29. Castellsague, X., Bosch, F. X., & Munoz, N. (2002). Environmental
co-factors in HPV carcinogenesis. Virus Res, 89(2), 191-199.
59
30. Sigurdsson, K., Taddeo, F. J., Benediktsdottir, K. R., Olafsdottir, K.,
Sigvaldason, H., Oddsson, K., & Rafnar, T. (2007). HPV genotypes in CIN 2-3
lesions and cervical cancer: a population-based study. Int J Cancer, 121(12),
2682-2687.
60