Anda di halaman 1dari 71

DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………
DAFTAR ISI..........................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS.................................................................................5
2.1 Identifikasi Pasien.........................................................................................

2.2 Anamnesis (Auto anamnesis, 6 Agustus2021)..............................................

2.3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................

2.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................

2.5 Pemeriksaan Radiologi................................................................................

2.6 Diagnosis Banding......................................................................................

2.7 Diagnosis Kerja...........................................................................................

2.8 Penatalaksanaan..........................................................................................

A. Non Medikamentosa...............................................................................

B. Medikamentosa.......................................................................................

C. Operatif...................................................................................................

2.9 Prognosis........................................................15

2.10 Follow Up......................................................15

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................19


3.1 Appendisitis.....................................................19

3.1.2 Anatomi....................................................................................................

3.1.3 Fisiologi....................................................................................................

3.1.4 Epidemiologi............................................................................................

1
3.1.5 Etiologi.....................................................................................................

3.1.6 Patofisiologi.............................................................................................

3.1.7 Klasifikasi Appendicitis...........................................................................

3.1.8 Manifestasi Klinis....................................................................................

3.1.9 Diagnosis Banding...................................................................................

3.1.10 Penatalaksanaan.....................................................................................

3.1.11 Komplikasi.............................................................................................

3.1.12 Prognosis................................................................................................

BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................65
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................71

2
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan infeksi bakteria yang dapat disebabkan oleh


berbagai faktor pencetusnya, namun sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai pencetus disamping
Hyperplasia jaringan limfoid, tumor Apendiks, dan cacing askaris dapat
menyebabkan sumbatan. Apendisitis adalah erosi mukosa apendisitis karena
parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat mempengaruhi terjadinya konstipasi
yang mengakibatkan timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan
tekanan Intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendisitis dan meningkatnya pertumbuhan kuman Flora kolon biasa.1,2
Angka kejadian Apendisitis menurut Word Health Organization
(WHO), data dari 35.539 pasien bedah dirawat di unit perawatan intensif,
di antaranya 8.622 pasien (25,1 %) mengalami masalah kejiwaan dan 2,47
pasien (7%) mengalami kecemasan. Angka kejadian apendisitis di Indosesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2017 sebesar 596.132
orang dengan persentase 3.36%. Angka Kejadian di Sumatera Utara
prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik
Medan pada tahun 2017 adalah 62,8. Profil kesehatan tentang penyakit
apendisitis di RSUD Pandan angka kejadian pada tahun 2016 sebanyak
199 pasien rawat inap.3,4
Apendisitis bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi
pada usia dewasa akhir dan balita, kejadian Apendisitis ini meningkat pada
usia remaja dan dewasa. Usia 20 - 30 Tahun bisa dikategorikan sebagai
usia produktif, dimana orang yang berada pada usia tersebut melakukan
banyak sekali kegiatan. Hal ini menyebabkan orang tersebut mengabaikan
nutrisi makanan yang dikonsumsinya. Akibatnya terjadi kesulitan buang
air besar yang akan menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus
dan pada akhimya menyebabkan sumbatan pada saluran apendisitis.2

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien


Nama : Ny. DO
JenisKelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 26 October 1990
Umur : 30 Tahun / 9 bulan / 17 hari
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Jl. Letjen Harun Harahap, Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Status : Menikah
MRS : 06 Agustus 2021
No. RM : SHP 00-28-37
Pembiayaan : Asuransi Allianz Life

2.2 Anamnesis (Auto anamnesis, 6 Agustus2021)


Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 7 jam yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke IGD RS Siloam Sriwijaya dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 7 jam SMRS. Nyeri dirasa menjalar di bagian ulu hati.
Nyeri dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan dan dirasa terus menerus.
Nyeri bertambah ketika batuk dan membaik. Pasien juga mengeluh badan
panas, keluhan juga disertai dengan mual (+), muntah (+), dengan isi
muntahan apa yang dimakan dan badan terasa lemas. Selain itu pasien juga
mengeluh nafsu makan menurun (+). keluhan badan kuning (-), flatus (+),
BAK (+) seperti biasa. Pasien sebelumnya pernah berobat ke RS Myria
Palembang dan mendapat obat untuk mengatasi keluhan namun tiidak
dilakukan USG sehingga beralih ke RS Siloam. Keluhan penurunan berat

4
badan tidak ada. Riwayat gangguan menstruasi tidak ada. Pasien mengaku
menstruasi rutin setiap bulan dan menstruasi tidak terlambat serta pasien
mengaku tidak ada riwayat perdarahan pervaginam selain saat menstruasi.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien menyangkal memiliki riwayat riwayat hipertensi, diabetes
melitus. Pasien juga menyangkal mengonsumsi alkohol dan rokok
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
hipertensi, kencing manis, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, alergi.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4, V5, M6)
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 21 x/menit
Suhu : 37,5 0C
Skala nyeri :5

Nyeri berdasarkan SOCRATES


Site (Lokasi) : Nyeri perut kanan bawah

5
Onset (Mulai timbul) : 7 jam sebelum masuk rumah sakit
Character (Sifat) : Nyeri tajam
Radiation (Penjalaran) : Nyeri menetap, penjalaran ke ulu hati
Association (Hubungan) : Sulit beraktivitas
Timing (Saat terjadinya) : Menetap
Exacerbating and relieving : Nyeri bertambah berat dan tidak bisa
factor: beraktivitas.
Severity (Tingkat keparahan) : 5

Keadaan Spesifik
Kepala:
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera kuning (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (+/+), oedem palpebra (-/-), eksoftslmus (-/-).
Hidung : Deviasi septum (-), epistaksis (-)
Telinga : Simetris, serumen kanan/kiri (+/+)
Mulut : Bibir kering (-) sedikit hitam, sianosis (-), lidahkotor (-), tonsil
(T1/T1), faring tidak hiperemis
Leher : Benjolan (-), Vena jugularis datar (tidak distansi), trakea di
tengah, pembesaran KGB (-/-), JVP 5-2 cmH2O
Thoraks :
Pulmo
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi Kiri Pengembangan dada saat statis Simetris, statis dan
maupun dinamis tampak dinamis
simetris. Retraksi iga: Supra
sternal (-/-), Intercostae (-/-)
Kanan Pengembangan dada saat statis Simetris, statis dan
maupun dinamis tampak dinamis
simetris. Retraksi iga: Supra
sternal (-/-), Intercostae (-/-)
Palpasi Kiri - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus

6
- Tidak tertinggal saat bernapas simetris
- Tidak teraba massa - Tidak tertinggal
saat bernapas
Kanan - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus
- Tidak tertinggal saat bernapas simetris
- Tidak teraba massa - Tidak tertinggal
saat bernapas
- Tidak teraba massa
Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang paru Sonor pada seluruh
lapang paru
Kanan Sonor pada seluruh lapang paru Sonor pada seluruh
lapang paru
Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular normal, Suara Nafas
Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) vesikular normal,
Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Kanan Suara Nafas vesikular normal, Suara Nafas
Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) vesikular normal,
Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictuskordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas kiri : ICS V, midklavikularis sinistra
- Batas atas : ICS II, línea parasternalis sinistra
Auskultasi
- Suara dasar : S1-S2 reguler, irama teratur, frekuensi 84x/menit
- Suara : murmur (-), gallop (-) tambahan

7
Abdomen:
Lihat Status Lokalis
Ekstremitas superior dan inferior
Akral hangat, tremor (-), deformitas (-), perdarahan (-), CRT <2 detik, Eritema
(-), nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah, atrofi (-), edema pada kedua
lengan dan tangan (-), hiperpigmentasi (-), pitting edema pretibia (-).

Status Lokalis Abdomen


Inspeksi : Datar, lemas, bergerak ketika inspirasi-ekspirasi, warna kulit tampak
kuning (-), erupsi (-), venektasi (-), scar (-), tumor (-), distensi
abdomen (-), caput medusae (-), jejas (-), bekas operasi (-).
Palpasi : Teraba panas, nyeri tekan kuadran kanan bawah, nyeri lepas di titik
Mc Burney, Rovsing sign (+), psoas sign (+), Dunphy sign (+),
obturator sign (+), ten horn sign (+), kocher sign (+), sitkovskiy
sign(+), bartomier sign (+), aure-rozanova sign (+), blumberg sign
(+), massa (-), nyeri tekan supra pubis (-), Ballotement (-), pulsasi
aorta abdominalis (-), hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.
Perkusi : Hipertimpani, nyeri ketuk perut kanan bawah, pekak hepar (+),
Undulasi (-), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 8 x/menit , metalic sound (-)

Alvarado Score
Feature Score Patient
Migration Pain 1 1
Anorexia 1 1
Nausea 1 1
Tenderness in right lower quadrant 2 2
Rebound pain 1 1
Elevated temperature 1 1
Leucocytosis 2 2

8
Shift of white blood cell count to the left 1 1
Total 10 10
Interpretasi : kemungkinan besar apendisitis (≥7)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Darah Rutin (06 Agustus 2021)
Hematologi Lengkap Hasil Nilai normal
Hemoglobin 13.3 g/dL 12.0 – 16.0
Leukosit 14.200 /mm3 5.000 –
10.000
Trombosit 212 ribu/mm3 150 – 400
Hematokrit 40,2 % 37 – 47
MCV 86.8 Fl 81.0 – 96.0
MCH 28.7 Pg 27.0 – 31.0
MCHC 33.1 g/L 32.0 – 36.0
Laju endap darah 10 mm 0 – 20

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0.4 % 0–1
Eosinofil 0.1 % 0–4
Neutrofil 89.7 % 50 – 70
Limfosit 3.9 % 20 – 40
Monosit 5.9 % 2–8
Ratio N/L 23.00 < 3.13
Golongan Darah ABO-Rhesus
Golongan darah A
Rhesus Positif
KOAGULASI
PT
Pasien (PT) 9.9 detik 9.9 – 11.8
INR 0.87
APTT

9
Pasien (APTT) 26.9 detik 25.5 – 42.1

Urin Rutin
Pemeriksaan Hasil Batas Normal
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.010 1.003 – 1.060
pH 5,0 4,5-8
Glukosa Negatif Negatif
Keton 2+ Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Negatif Negatif
Sedimen
- Leukosit 5 /lpb 0-5
- Eritrosit 4 /lpb 0-1
- Epitel Positif /lpk Positif
- Silinder Negatif Negatif
- Kristal Negatif Negatif
- Lain – lain Negatif Negatif

2.5 Diagnosis Banding


- Apendisitis akut
- Pelvic Inflamatory Disease (PID)
- Kehamilan Ektopik Terganggu

10
2.6 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan USG Abdomen dan Pelvis

Temuan :
Temuan :
Hepar : Normal
Lien : Normal
Sistem Vena Porta : Normal
Vena Cava Inferior : Normal
Vena Hepatika : Normal
Sistem Bilier : Normal
Kantung Empedu : Normal
Pankreas : Normal
Ginjal : Normal
- Kanan : Normal
- Kiri : Normal
Sistem Pelviokalises : Normal
Buli-buli : Normal
Kelenjar Getah Bening : Normal
Cairan Bebas : Normal

11
Uterus : Normal
Ovarium : Normal
- Kanan : Normal
- Kiri : Normal
Tulang : Normal
Mc Burney : Nyeri tekan probe spesifik
- Tampak bentukan appendiks yang melebar diameter 8.2 mm;
- Tak tampak fluid collection
- Organ abdomen lain dalam batas normal
Kesan :
Nyeri tekan probe spesifik pada area MC Burney disertai bentukan
menyerupai appendiks yang melebar, diameter +/- 8.2 mm pada Mc Burney
suggestive Appendicits

Pemeriksaan CT-Scan

Temuan :
Trakea : Normal
Karina : Normal

12
Bronkus utama kanan : Normal
Bronkus utama kiri : Normal
Paru kanan : Normal
Paru kiri : Normal
Fissura : Normal
Pleura : Normal
Pericardium : Normal
Jantung : Normal
Pembuluh darah : Normal
Mediastinum : Normal
Kelenjar getah bening : Normal
Esofagus : Normal
Gastroesofageal junction : Normal
Abdomen yang tervisualisasi : Normal
Tulang : Normal
Kesan :
Klinis ; Susp. Appedicitis acute
Dari CT-Scan high resolution thorax tidak didapatkan groundglass opacity
maupun konsolidasi di kedua paruyang mengarah pada pneumonia.
Mediastinum dan abdomen yang tervisualisasi dalam batas normal

Kesan : Klinis Suspect Appendicitis acute

2.7 Diagnosis Kerja


Apendisitis akut

2.8 Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana
tatalaksana
- Informed consent tindakan pembedahan apendektomi

13
B. Medikamentosa
- IVFD RL gtt 20x/mnt.
- Inf Paracetamol 1gr IV
- Konsul Sp.B
C. Operatif
- Rencana operasi Apendektomi Jumat, 6 Agustus 2021 Pukul 19.00 WIB

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
2.10 Follow Up
Follow up (6 Agustus 2021 16.40 WIB)
S : Konsultasi dr. Jeffry, Sp.B-KBD
O : pasien dilakukan USG didapakan hasil akut appedisitis
A : akut appedisitis
P:
- Observasi tanda vital
- Inf Paracetamol 1gr IV
- Rencana op Cito SILS appendisitis pukul 19.00

Follow up (6 Agustus 2021 21.00 WIB)


S: -
O:-
A : Akut appedisitis
P:
- Observasi tanda vital
- Indexon 5 mg
- Remopain 30 mg IV
- Tamoliv 1gr IV
- Rencana op Cito SILS appendisitis pukul 19.00

14
Follow up (7 Agustus 2021)
S: Sakit kepala, sesak pagi
O: Sens : Compos mentis
VAS : 1
TD : 110/70 mmHG
N: 80x/m
A : Post laparoskopi Appedektomi
P : Th/
- IVFD RL 1000cc/24 jam
- Drip Vipime 3x1gr dalam NS 100cc
- Inj ketorolac 3x30mg
- Drip Cernevit 2x1 vial
- Tamoliv 1gr (IV)

Follow up (8 Agustus 2021)


S: tidak adak keluhan
O: Sens : Compos mentis
VAS : 1
TD : 120/70 mmHG
N: 85x/m
A : Post laparoskopi Appedektomi
P : - Observasi tanda vital
Th/
- IVFD RL 1000cc/24 jam
- Drip Vipime 3x1gr dalam NS 100cc
- Inj ketorolac 3x30mg
- Drip Cernevit 2x1 vial
- Tamoliv 1gr (IV)

Follow up (9 Agustus 2021)


S: tidak adak keluhan

15
O: Sens : Compos mentis
VAS : 1
TD : 110/70 mmHG
N: 92x/m
A : Post laparoskopi Appedektomi
P : - Observasi tanda vital
Th/
- IVFD RL 1000cc/24 jam
- Drip Vipime 3x1gr dalam NS 100cc
- Inj ketorolac 3x30mg
- Drip Cernevit 2x1 vial
- Tamoliv 1gr (IV)

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Appendisitis
3.1.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks atau appendiks
vermiformis, yang lebih dikenal dengan usus buntu atau umbai cacing. Fungsi
appendiks belum diketahui tapi sering menimbulkan masalah kesehatan.
Perdangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
kompikasi yang umumnya berbahaya. Appendisitis akut dapat menyebabkan
kematian karena peritonitis dan syok. Appendisitis merupakan penyebab tersering
dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap pada semua golongan umur,
kegagalan menegakkan diagnosis dan keterlambatan penatalaksanaannya akan
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.2
Inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan merupakan penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat. Apabila terjadi proses
peradangan yang timbul secara mendadak pada daerah apendiks maka
disebut dengan apendisitis akut. Apendisitis akut merupakan
masalah kegawatdaruratan abdominal yang paling umum terjadi.
Peradangan apendisitis yang mengenai semua lapisan dinding organ,
dimana patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang
disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). 5
Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi
akut kuadran kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum
dari pembedahan abdomen darurat. Pria lebih banyak terkena daripada
wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa; insiden tertinggi adalah
mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun. Apendisitis yang tidak segera
ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi atau
sepsis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Apendisitis akut merupakan
kasus abdomen akut paling sering yang membutuhkan pembedahan
darurat. 6

17
3.1.2 Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang
akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Appendiks merupakan
organ berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm (kisaran 3 – 15 cm, dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya, dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi
penyebab rendahnya insidensi appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus,
appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya pada mesenterium bagian akhir ileum.1
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada
1/3 atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan
umbilicus (titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam
dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis
miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik
McBurney). Posisi ujung appendix yang bebas sangat berbeda-beda. Letak
appendix vermiformis berubahubah, tetapi biasanya appendix vermiformis
terletak retrosekal namun sering juga di temukan pada posisi lain. Pada kasus
selebihnya, posisi appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di retrocaecal (di
belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum)
2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus)
0,4%. Gejala klinis appendikitis ditentukan oleh letaknya appendiks.5

18
Gambar 3.1 Posisi appendiks

Perdarahan caecum terjadi melalui arteri ileocolica, cabang arteri


mecenterica superior. Perdarahan appendix vermiformis di pasok oleh arteri
appendicularis, cabang arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri.
Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.
Vena ileocolica, anak cabang vena mesenterica superior, mengantar balik darah
dari caecum dan appendix vermiformis. Pembuluh limfe dari caecum dan
appendix menuju ke kelenjar limfe dalam meso-appendix dan ke nodi lymphoidei
ileocilici yang teratur sepanjang arteri ileocolica. Pembuluh limfe eferen di
tampung oleh nodi lymphoidei mesenterici superiores. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.5

3.1.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah

19
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak
ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.
Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan5

3.1.4 Epidemiologi
a. Faktor host6 :
1) Umur
Apendisitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada
dewasa muda. Penelitian Addins di Amerika Serikat, apendisitis tertinggi
pada usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3
per 10.000 penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan
limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.
Jarang terjadi pada bayi dan anak karena appendiks yang berbentuk
kerucut pada usia ini sehingga tidak mudah mengalami obstruksi. Resiko
perforasi terbanyak pada usia 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada
remaja (30-40%) yang insiden tertinggi menurut umur adalah pada masa
anak.
2) Jenis kelamin
Perbandingan appendisitis sebelum pubertaas laki-laki : wanita = 1 :
1, pada pubertas 2 : 1, setelahnya sama lagi.

20
b. Faktor agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang
ada di usus besar, seperti infeksi dari bakteri E. Coli dan Streptokokus.
Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.
Penyebab lain yang diduga dapat menikmbulkan appendisitis adalah erosi
mukos appendiks karena E. histolytica.

c. Faktor Environment
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko
appendicitis yang lebih tinggi.

3.1.5 Etiologi
Faktor utama penyebab appendicitis: obstruksi (80%) dan infeksi
hematogen.8
a. Obstruksi :
1. Sumbatan pada lumen, jenisnya : fecalith, corpus allenum (biji-bijian : biji
cabe), parasit (cacing, terutama askaris), mengerasnya bubur barium
dalam lumen pada bekas pemeriksaan Ba in loop.
2. Bengkokan atau tekkukan appendiks (kingking), karena meso-appendiks
yang pendek dan adhesi sekitarnya.
3. Hipertrofi jaringan limfoid di tunika mukosa
b. Infeksi hematogen 10–20% kasus, penyebaran hematogen dari tempat lain.

3.1.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang

21
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
invasi bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. 8,9
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna.
Tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlekatan dengan
jaringan sekitarnya. Perlekatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.10

3.1.7 Klasifikasi Apendisitis


Adapun klasifikasi apendisitis berdasarkan klinik patologis adalah sebagai
berikut11:
a. Apendisitis Akut
1) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran

22
limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis
dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema dan tidak ada eksudat
serosa.
2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi
pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3) Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada
bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau
merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

b. Apendisitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat
satu dengan yang lainnya.

23
c. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
subcaecal, dan pelvic.

d. Apendisitis Perforasi:
Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik.

e. Apendisitis Kronis:
Apendisitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi
rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis
kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal,
sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel
radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa.
Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

3.1.8 Manifestasi Klinis


Menurut Baughman dan Hackley (2016), manifestasi klinis apendisitis
meliputi:
a. Anamnesa
- Nyeri samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau
umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia.

24
- Nyeri kemudian berpindah ke perut daerah kanan bawah di titik Mc
Burney yang dirasakan lebih tajam dan jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas
dan nyeri ketok.
- Konstipasi
- Demam (biasanya subfebris, yaitu antara 37,5-38,5 C).
- Leukositas

b. Pemeriksaan Fisik
- Tampak kesakitan, membungkuk, memegang perut kanan bawah
- Demam
- Status lokalis :
- Abdomen kuadran kanan bawah :
• Mc Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok (+) 
karena rangsang peritoneum

Gambar 3.2. McBurnet’s Point

• Defans muskuler (+) pada mm. Rectus abdominis


• Rovsing sign (+) bila perut sebelah kiri bawah (kontra Mc Burney)
ditekan dan didirong ke kanan akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah. Penekanan dan pendorongan perut ke kanan menyebabkan
organ di dalamnya ikut terdorong ke kanan, menekan appendiks,
menyentuh peritoneum, dan menyimbulkan nyeri di titik Mc Burney.

25
Gambar 3.3 Roving’s Sign

• Psoas sign (+) untuk appendisitos retro[eritoneal, ada 2 cara


pemeriksaan :
o Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan oleh
pemeriksa. Pasien disuruh aktif memfleksikan articulatio
coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara
aktif).
o Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperektensi oleh
pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara
pasif).


Obrurator
sign
(+)

Gambar 3.4. Psoas Sign

dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi


supine akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti terjadi kontak
dengan m. obrurator internus, artinya appendiks terletak di pelvis.

26
Gambar 3.5 Obturator Sign

• Dunphy sign (+), Menyuruh pasien untuk batuk. (+) akan muncul
nyeri di wilayah abdomen saat pasien batuk. (–) bila tidak ada nyeri
di wilayah abdomen saat pasien.
• Ten horn sign (+), Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
• Kocher sign (+), yaitu Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
• Sitkovskiy sign (+), (Rosenstein)’s sign yaitu Nyeri yang semakin
bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
• Bartomier-Michelson’s sign (+), yaitu Nyeri yang semakin
bertambah pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada
sisi kiri dibandingkan dengan posisi terlentang
• Aure-rozanova sign (+), Melakukan palpasi ringan dengan
menggunakan jari pada segitiga petit (petit triangle) (+) bila terasa
nyeri pada wilayah yang di palpas. (–) bila tidak terasa nyeri

27
Gambar 3.6 Petit Triangle

• Blumberg sign (+) disebut juga dengan nyeri rebound atau nyeri
lepas.
Melakukan penekanan perlahan, lalu melepaskan penekanan tersebut
secara tiba-tiba. Penekanan dilakukan secara tegak lurus di empat
kuadran abdomen. (+) bila terdapat nyeri lepas pada sepanjang titik
penekanan yang bisa menjalar hingga daerah kuadran kanan bawah
(kuadran disekitar apendiks); menandakan adanya apendisitis atau
peritonitis.

Gambar 3.7 Blumberg sign

• Rectal Touche : Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk


menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini

28
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika. Rectal toucher :
nyeri tekan pada jam 9-12

c. Skor Alvarado14
Prediksi klinis aturan (Clinical prediction rule’s /CPRs) mengukur
diagnosis gangguan target berdasarkan temuan gejala, tanda-tanda dan tes
diagnostik yang ada, sehingga memiliki nilai diagnostik atau prognostik
independen. Pada tahun 1986, Alvarado dibangun sistem penilaian klinis
10 poin, juga dikenal dengan singkatan MANTRELS, digunakan untuk
diagnosis apendisitis akut berdasarkan gejala, tanda dan tes diagnostik
pada pasien dengan dugaan apendisitis akut. Alvarado skor
memungkinkan stratifikasi risiko pada pasien dengan nyeri perut,
menghubungkan kemungkinan apendisitis untuk rekomendasi untuk
pulang, pengamatan atau intervensi bedah.

Tabel 3.1 Skor MANTRELS


Tanda Sko Definisi
r
Migrasi rasa nyeri ke regio perut
Migration 1
kanan bawah (Rovsing's Sign).
Nafsu makan menurun atau tidak
Anorexia 1
ada sama sekali.
Nausea 1 Mual-mual dan/atau muntah-muntah
Tenderness Nyeri tekan regio perut kanan bawah
2
(McBurney's sign)
Rebound pain 1 Nyeri lepas (Blumberg's sign)
Elevation of temperature 1 Suhu aksila > 37,5oC
Leukocytosis 2 Leukosit >10.000 sel/μl
Shift to the left Hitung jenis leukosit didominasi
1
oleh sel PMN (polimorfonuklear)

29
Intepretasi :
 Skor Alvarado ≤ 3, kemungkinan bukan apendisitis (unlikely
appendicitis).
 Skor Alvarado 4-6, mungkin apendisitis (possible appendicitis).
 Skor Alvarado 6-8, kemungkinan besar apendisitis (probable/likely
appendicitis).
 Skor Alvarado 9-10, pasti apendisitis (definite appendicitis).

Dalam menyingkirkan diagnosis apendisitis (skor ≤ 3), skor Alvarado


memiliki sensitivitas 96%. Dalam menegakan diagnosis apendisitis (skor
≥ 6), skor Alvarado memiliki sensitivitas 58-88%. Penyelidikan lebih
lanjut, seperti USG dan computed tomography (CT) scanning, dianjurkan
ketika apendisitis adalah dalam skor kisaran menengah.
 Untuk skor Alvarado ≤ 3, tidak perlu memerlukan CT scan untuk
mendiagnosis apendisitis.
 Untuk skor Alvarado 4-8, dianjurkan menggunakan CT scan untuk
mendiagnosis apendisitis lebih lanjut.
 Untuk skor Alvarado ≥ 9, langsung konsultasi dengan dokter bedah
untuk rencana operasi.

d. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah.
Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung
jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan
memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat
leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa peningkatan
jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang dapat

30
menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit inflamasi pelvik
terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang
terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah
leukosit darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit
berhubungan dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang
merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini.
Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik
merupakan fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis
ringan, mulai dari 10.000 - 18.000 sel/mm 3, biasanya terdapat pada pasien
apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada
setiap pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit
darah yang meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari
pasien dengan apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat
>18.000 sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa
perforasi
 Terdapat leukosit yang > 18.000 menandakan bahwa terjadi perforasi.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih
tinggi lagi
 Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri.
 Hemoglobin nampak normal.
 Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat.
 Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
 Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
 Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.

31
Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran
kemih. Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun
proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau
bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang
melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20
sel per lapangan pandang menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.
Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. Pemeriksaan ini
dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih, dan adanya keton
digunakan sebagai penanda penyakit. Sediment dapat normal atau terdapat
lekosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika.

e. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks. pemeriksaan ini dapat ditemukan
fekalit tidak berkalsifikasi, apendiks tidak berperforasi, serta abses apendiks.
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis
perforasi dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan: (1) adanya
perbedaan densitas pada lapisan apendiks vermiformis / hilangnya lapisan
normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks vermiformis; (3)
hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ; (4) peningkatan
ekogenitas lemak sekitar (5) adanya penimbunan cairan. Keadaan apendisitis

32
dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal dinding apendiks vermiformis
yang asimetris ; (2) cairan bebas intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau
multipel

Computed Tomography Scanning (CT-scan).


Ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%

Radiografi Konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian
dari pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu
dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering
terdapat gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pemeriksaan
tambahan radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan
leukosit berlabel radioaktif.
Tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti
penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan. Saat dilakukan pemeriksaan sinar-X abdomen, kurang dari
25% kasus akan memperlihatkan fekalit yang berkalsifikasi. Hasil
pemeriksaan sinar-X lain yang didapatkan meskipun tidak spesifik antara lain
penurunan pola gas, batas udara-cairan, pengaburan bayangan psoas,
obliterasi tanda bantalan lemak, dan lengkungan skoliotik kea rah kanan.

3.1.9 Diagnosis Banding


Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut
abdomen. Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di
dalam rongga peritoneum yang menghasilkan kelainan fisiologis sama seperti
apendisitis akut.

33
Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih tinggi dari 85%. Jika
kurang dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan diperlukan
diagnosa banding pre-operatif yang lebih teliti.
Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-operatif apendisitis yang
salah–bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus– dalam urutan menurun
dalam frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi patologis
organik, pelvic inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium terpuntir atau
ruptur folikel graaf, dan gastroenteritis akut.
Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi
anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan
komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.

a. Pasien Pediatri
Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalahartikan
sebagai apendisitis akut pada anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi
saluran nafas atas atau belum lama mereda. Nyeri biasanya tersebar dan nyeri
tekan tidak tepat terlokalisir seperti pada apendisitis. Terkadang ditemukan
voluntary guarding, tetapi jarang ditemukan true rigidiy. Limfadenopati
umum dapat ditemukan. Pemeriksaan labotarium hanya sedikit membantu
penegakan diagnosa yang tepat, walaupun limfositosis relatif menyarankan
terjadinya adenitis mesenterik. Observasi selama beberapa jam dapat
dilakukan bila diagnosis dicurigai adenitis mesenterik dicurigai, karena
merupakan penyakit self-limited.

b. Pasien Geriatri
Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada
pada abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan
apendisitis. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih
tua. CT-scan sering kali bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada pasien
yang lebih tua dengan nyeri perut kanan bawah dan presentasi klinis atipikal.
Pada pasien yang ditatalaksana secara konservatif, dianjurkan melakukan
pemantauan berkala kolon (kolonoskopi atau barium enema).

34
c. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalahartikan
sebagai apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur
folikel graaf, kista atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan
ektopik terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi
pada perempuan.
Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan
maka dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien
apendisitis tetapi hanya sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya
lebih rendah dan terdapat nyeri goyang serviks. Diplokokus intraselular dapat
tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan kasus apendisitis
dengan PID rendah pada perempuan di awal fase menstruasi dan tinggi pada
fase luteal. Penggunaan hal ini secara teliti menurunkan insidensi penemuan
negatif dalam laparoskopi pada perempuan muda hingga 15%.
Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan
folikuler yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan
ringan. Jika jumlah cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan,
maka dapat menstimulasi apendisitis. Nyeri dan nyeri tekan biasanya
menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau tidak ada. Karena
nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan
mittelschmerz.
Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan
gejala. Ketika kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya
serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan
bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan leukositosis. Baik USG
transvaginal dan CT-scan bisa membantu diagnosa.
Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi
komplit atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba
menjadi gangren dan memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi
kista dan fiksasi ovarium sebagai intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi

35
beberapa hari setelahnya, dapat dianjurkan karena sering kali sulit untuk
menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.
Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian ampulla)
dan ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium dapat menyerupai
apendisitis. Pasien dapat memiliki riwayat menstruasi abnormal, baik
melewatkan satu atau dua siklus atau hanya sedikit perdarahan vaginal.
Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil. Timbulnya nyeri
kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama. Diagnosa
KET seharusnya relatif mudah. Adanya massa pelvis dan peningkatan kadar
human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan karakteristiknya. Walaupun
jumlah leukosit sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai akibat
dari perdarahan intra-abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri
goyang serviks dan nyeri tekan adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat
ditegakkan dengan culdocentesis. Adanya darah dan khususnya jaringan
desidua adalah patognomonik. Tatalaksana KET adalah operasi darurat.

Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai


diagnosis banding, meliputi12 :
- Gastroenteritis dengan keluhan mual, muntah, dan diare mendahului rasa
sakit pada perut, hiperperistaltik.
- Demam dengue dengan keluhan sakit perut mirip peritonitis, rumple leed
positif, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
- Limfadenitis mesenterika dengan keluhan didahului enteritis dan
gastroenteritis, nyeri tekan perut samar.
- Intususepsi dengan keluhan nyeri kolik, muntah berwarna hijau, feses
terdapat darah dan lender.
- Infark omentum dengan keluhan teraba massa pada abdomen, nyeri tidak
berpindah.
- Divertikulitis dengan keluhan nyeri di periumbilikal atau kuadran kiri bawah,
demam, dan leukositosis.

36
- Infeksi panggul dengan keluhan salpingitis ditandai keputihan, dan infeksi
urin.
- Kista ovarium terpuntir dengan keluhan nyeri mendadak dan tajam, teraba
massa dalam rongga pelvis, tidak ada demam.
- Urolitiasis dengan keluhan nyeri kolik dari pinggang ke perut menjalar ke
inguinal kanan, nyeri costovertebral.

3.1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka maupun dengan
cara laparoskopi. Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4
sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak
terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan
pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional
operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah
di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian
antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Alternatif
lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam
rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.
Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi
lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara
kosmetik lebih baik. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi.12
Untuk pasien yang dicurigai :
1) Puasakan dan Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk
mengurangi gejala

37
a) Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
b) Pertimbangkan diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu terutama
pada wanita usia reproduksi.
c) Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan
2) Laparotomy
a) Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi
b) Rujuk ke dokter spesialis bedah.
3) Antibiotika preoperative
a) Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post opersi.
b) Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob
c) Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin,
atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides
 Antibotika
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer
untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme.
Antibiotik yang relatif non-toksik bagi pejamunya digunakan sebagai
agen kemoterapeutik dalam pengobatan penyakit infeksi pada
manusia, hewan, dan tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan
terbatas pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme, tetapi

38
penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan
semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip. Obat yang digunakan
untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan
harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat
tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak
toksik untuk hospes. Namun, sifat toksisitas selektif yang absolut
belum atau mungkin tidak akan diperoleh.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik memiliki dua
aktivitas yaitu bakteriostatik dan bakterisid. Bakteriostatik bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba sedangkan bakterisid bersifat
membunuh mikroba.
o Cefepime
Termasuk dalam golongan antibiotik sefalosporin generasi IV.
Obat ini bekerja dengan cara mengahambat sintesa dinding sel
bakteri. Cefepime memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif
lebih baik dibanding generasi ketiga, digunakan untuk pasien yang
dirawat di rumah sakit. Yang juga diberikan pada resisten
aminoglikosid. Cefepime memiliki resisten yang tinggi terhadap
hidrolisis pada hamper semua beta-laktamase. Penggunaan
klinisnya untuk streptococcus pneumonia, Pseudomonas,
pneumokokal, Kasus resistensi antibiotic, Proteus, Acinetobacter,
Enterobacter, Citrobacter, Serratia spp. (SPACE) Generasi ke 4
punya aktivitas thd gram negative lebih luas dibanding generasi
sebelumnya (SPACE dan pseudomonas). Dengan begitu, bakteri
tidak dapat bertahan hidup dan infeksi bisa teratasi. Oleh karena
sprektum luas dari aktvitas bakterisidal terhadap bakteri gram
positif dan negative, Cefepime dapat digunakan sebagai terapi
tunggal untuk menentukan indikasi organisme penyebab penyakit.
Selain itu, cefepime juga digunakan untuk mengatasi demam pada
pasien yang menderita neutropenia, yaitu rendahnya jumlah salah
satu jenis sel darah putih.

39
Data mikrobiologis menunjukkan kerentanan in vitro E. coli
terhadap cefepime lebih besar dari 90% di Amerika Utara dan
Eropa tetapi jauh lebih rendah di Asia, Timur Tengah, dan
Amerika Latin. Secara keseluruhan, berdasarkan data yang
tersedia, cefepime direkomendasikan untuk pengobatan pasien
dengan infeksi intra-abdomen. Pengobatan ini disarankan untuk
digunakan terutama terapi empiris pada pasien berisiko tinggi
karena aktivitas anti-pseudomonal yang kuat
Pada kebanyakan infeksi berat ringan atau sedang dapat
diberikan sebagai agen tunggal cefoxitin, ertapenem,
moksifloksasin, atau tigecycline. Sebagai resimen kombinasi
biasanya digunakan sefalosporin generasi pertama atau kedua, atau
bahkan seftriakson dengan metronidazol untuk banyak infeksi
ringan hingga sedang, seperti radang usus buntu berlubang.
Carbapenem (piperacillin-tazobactam dan kemudian rejimen
kombinasi dengan ceftazidime atau cefepime) dapat digunakan
untuk infeksi berat, pasien dengan cIAI dan skor keparahan tinggi.
Biasanya ini adalah orang-orang yang pergi ke ICU. Pada
kelompok ini dianjurkan ceftazidime dengan metronidazol atau
klindamisin. Ceftazidime tidak memiliki aktivitas gram positif
yang baik; sebaliknya Cefepime jauh lebih baik terhadap
organisme gram positif. Jika pasien alergi terhadap beta-laktam
maka harus diberikan kuinolon (Moxifloxacin) atau kombinasi
kuinolon (Ciprofloxacin atau levofloxacin) dengan metronidazol.
Obat ini tersedia dalam bentuk suntik dan hanya bisa
diberikan oleh dokter atau petugas medis di bawah pengawasan
dokter. efepime akan disuntikkan melalui pembuluh darah vena
(intravena/IV) atau melalui otot (intramuskular/IM) oleh dokter
atau petugas medis di bawah pengawasan dokter. Tujuan
penggunan obat untuk mengatasi infeksi bakteri di saluran
pernapasan, saluran kemih, atau pada organ di dalam perut.

40
Dewasa: 1000–2.000 mg per hari yang dibagi dalam 2 kali
pemberian. Penyuntikan dilakukan secara perlahan selama 30
menit. Dosis dapat ditambahkan hingga 4.000 mg, tergantung pada
tingkat keparahan infeksi. Anak-anak: 100–150 mg/kgBB per hari
yang dibagi dalam 2–3 kali pemberian.
o Metronidazole
Metronidazole adalah (1b-hidroksi-etil)2-metil-5-nitriimidazol
yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air
atau alkohol. Metronidazole merupakan obat antibakteri dan anti
protozoa sintetik derivat nitroimidazole yang mempunyai aktivitas
bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazol diindikasikan
untuk pengobatan uretritis & vaginitis, amubiasis, infeksi anaerob
(terutama pasca bedah) dan Giardiasis.
Dalam sel atau mikroorganisme metronidazol mengalami
reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi
antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat,
mempengaruhi anaerob yang mereduksi nitrogen membentuk
intermediet.
1 jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral
diperoleh kadar plasma kira-kira 10 μg/mL. Waktu paruhnya 8-10
jam diekskresikan melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk
metabolit, juga diekskresikan melalui air liur, air susu, cairan
vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah.
o Cefotaxime
Cefotaxime merupakan antibiotic golongan sefalosporin
generasi ketiga yang lebih aktif terhadap Gram negative, termasuk
Enterobacteriaceaedan pseudomonas, tetapi kurang ktif terhadap
coccus Gram positif dibanding generasi pertama. Spectrum
antibakterinya lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya,
secara umum generasi ini aktif terhadap Gram negative yang telah

41
kebal, lebih tahan terhadap betalaktamase, tetapi kurang aktif
terhadap Gram positif.
Seperti halnya antimikroba betalaktam lain yakni Menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau lebih
ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis
peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis
dinding sel. Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim
autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.
Cefotaxime diberikan dengan injeksi sebagai garam natrium. Ia
secara cepat diabsorbsi setelah injeksi IM dan berarti konsentrasi
puncak plasma 12-20 mikrogram/mL yang telah dilaporkan 30
menit setelah dosis 0,5 dan 1 g Cefotaxime. Waktu paruh plasma
dari Cefotaxime kira-kira 1 jam. Waktu paruh meningkat pada
balita dan pasien dengan beberapa kerusakan ginjal. Efek penyakit
hati dari Cefotaxime dan metabolitnya bervariasi, tapi secara
umum penyesuaian dosisnya tidak harus dipertimbangakan secara
cermat.40% Cefotaxime dilaporkan berikatan dengan protein
plasma. Cefotaxime secara luas didistribusikan alam jaringan
tubuh, konsentrasi terapetik diterima dalam CSF terutama ketika
terjadi meningitis. Cefotaxime menyilang plasenta dan konsentrasi
rendah telah dideteksi ada pada air susu.
o Ceftazidime
Ceftazidime merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik
yang bersifat bakterisidal. Mekanisme kerja antibakteri dengan
menghambat enzym yang bertanggung jawab terhadap sintesis
dinding sel. Secara in vitro Ceftazidime dapat mempengaruhi
mikroorganisme dalam range/spektrum yang luas, termasuk strain
yang resisten terhadap gentamicin dan aminoglikosid lainnya.
Selain itu Ceftazidime sangat stabil terhadap sebagian besar beta-

42
laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis dihasilkan
oleh kuman gram negatif dan dengan demikian Ceftazidime aktif
terhadap beberapa strain resisten terhadap ampisilin dan
sefalosporin lainnya.
Ceftazidim diabsorpsi baik setelah pemberian IM, Ceftazidime
didistribusi secara luas menembus plasenta dan memasuki ASI
dalam konsentrasi rendah.>90% dieksresikan oleh ginjal tanpa
perubahan, waktu paruhnya 1,4-2 jam
o Ceftriaxone
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan
dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding
proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat tahap
transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga
menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami lisis
karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase)
saat dinding sel bakteri terhambat.
Absorbsi Ceftriaxone di saluran cerna buruk, karena itu
diberikan secara parentral. Konsentrasi plasma sekitar 40 dan
80μg/mL telah dilaporkan 2 jam setelah injeksi IM 0,5 dan 1g
Ceftriaxone. t½ eliminasi Ceftriaxone tidak tergantung pada dosis
dan bervariasi antara 6 dan 9 jam, tetapi dapat diperpanjang pada
neonatus. t½ eliminasi tidak berubah pada pasien dengan gangguan
ginjal, tetapi mengalami penurunan terutama ketika ada gangguan
hati. Ceftriaxone secara luas didistribusikan dalam jaringan tubuh
dan cairan. Umumnya mencapai konsentrasi terapeutik dalam
CSF. Melintasi plasenta dan konsentrasi rendah telah terdeteksi
dalam ASI konsentrasi tinggi dicapai dalam empedu. Sekitar 33
hingga 67 % Ceftriaxone diekskresikan dalam urin, terutama oleh
filtrasi glomerulus, sisanya diekskresikan dalam empedu dan
akhirnya ditemukan dalam kotoran (feses).
o Cefpiron

43
Cefalosporin generasi keempat; memiliki cakupan gram negatif
sebanding dengan ceftazidime tapi gram positif cakupan yang
lebih baik (dibandingkan dengan ceftriaxone); antibiotik yang
terbaik beta-laktam dalam pemakaian IM; memiliki kapasitas yang
kurang baik untuk menyeberangi penghalang darah-otak dan
dengan demikian tidak digunakan untuk pengobatan meningitis
Penyerapan IM cepat dan lengkap , waktu puncak dalam
plasma: 0.5-1.5 jam (IV); 1-2 jam (IM), didistribusikanmenembus
ke dalam cairan peradangan pada konsentrasi 80% dari tingkat
serum dan mukosa bronkial ke pada konsentrasi 60% dari kadar
plasma melintasi penghalang darah-otak. Sedikit dimetabolisme di
hati . Waktu paruh: 2 jam, diekskresi melalui urin (obat 85%
dalam bentuk utuh)
o Cefepime plus Metronidazole
Sefalosporin anti-pseudomonal generasi keempat, cefepime,
dalam kombinasi dengan metronidazol, juga direkomendasikan
untuk pengobatan pasien berisiko tinggi dengan infeksi intra-
abdomen. Cefepime plus metronidazol dievaluasi dalam dua uji
coba terkontrol secara acak yang diterbitkan sejak tahun 2000 ini
menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi secara
signifikan dengan cefepime plus metronidazol dibandingkan
dengan imipenem-cilastatin.
Menurut penelitian, Cefepime plus metronidazol ke dalam
daftar rejimen antibiotik yang efektif dalam pengobatan infeksi
intra-abdominal. Studi ini oleh Barie, dkk menunjukkan bahwa,
pada pasien dengan infeksi yang rumit, lebih dari dua pertiga di
antaranya disebabkan oleh flora usus bagian bawah, kombinasi ini,
dalam analisis intent-to-treat, sama efektifnya dengan imipenem
dalam hal klinis. menyembuhkan dan lebih efektif dalam
pemberantasan patogen. Selanjutnya, analisis pasien, menemukan
bahwa pengobatan dengan cefepime-metronidazole dikaitkan

44
dengan tingkat kesembuhan yang mendekati (tetapi tidak cukup
mencapai) menjadi lebih baik secara signifikan dibandingkan
pengobatan dengan imipenem.
Banyak rejimen pengobatan yang banyak digunakan
(misalnya, klindamisin plus gentamisin dan ciprofloxacin plus
metronidazol) tidak memiliki aktivitas melawan enterokokus
namun merupakan terapi antibiotik yang efektif untuk sebagian
besar pasien dengan infeksi intra-abdomen. Enterococcus
tampaknya memainkan peran patogen penting ketika hadir dalam
jumlah tinggi dan pada pasien yang infeksinya terjadi setelah rawat
inap yang lama atau sebagai komplikasi dari prosedur bedah-
terutama setelah menerima terapi sefalosporin spektrum luas.
Pada pasien dengan infeksi intra-abdomen tanpa komplikasi,
seperti apendisitis akut non-perforasi atau perforasi usus traumatis
dengan durasi kurang dari 12 jam, spektrum antibakteri luas yang
diberikan oleh rejimen seperti yang dievaluasi dalam penelitian ini
mungkin tidak diperlukan. Dalam kasus seperti itu, terapi dengan
antibiotik seperti ampisilin/sulbaktam seringkali efektif. Namun,
pada pasien dengan infeksi serius yang berpotensi mengancam
jiwa, terutama di lingkungan yang menimbulkan kekhawatiran
tentang adanya patogen yang resisten terhadap antimikroba, sangat
direkomendasikan menggunakan cefepime plus metronidazole.18

 Dexametason
Dexamethasone adalah glukokortikoid mempunyai efek sedikit
menahan sodium. Absorbsi peroral 80-90%. Waktu paruh plasma: 3-4
jam. Waktu paruh biologis: 36-54 jam. Waktu mencapai kadar
puncak: 1-2 jam. Metabolisme terutama di hati. Ekskresi melalui
urine. Golongan glukortikoid dengan mempengaruhi kecepatan
sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran

45
plasma secara difusi di jaringan target, kemudian bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis
protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek

fisiologik steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon


steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik.15
Deksametason merupakan salah satu kortiosteroid sintesis
terampuh. Kemampuan deksametason dalam mengatasi peradangan
dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang
dimiliki
prednisone. Mekanisme aksi dari deksametason dalam mengurangi
inflamasi adalah dengan menekan migrasi neutrofil, menurunkan
produksi mediator inflamasi, dan mengembalikan permeabilitas
kapiler. Deksametason memiliki waktu paruh 3 jam dan
diekskresikan melalui urin dan feses. Kortisol dan analog sintetiknya
dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat
radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen.
Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi
dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke
tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi
kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek
supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne inflamasi serta
mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa

46
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan
infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.

 Antipiretik antiimflamasi16
Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai
efek mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam
(antipiretik). Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat
impuls/rangsang nyeri di perifer. Parasetamol menurunkan demam
dengan cara menghambat pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus.
Paracetamol (parasetamol) sering digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit seperti sakit kepala, nyeri otot, radang sendi, sakit
gigi, flu dan demam. Parasetamol mempunyai efek mengurangi nyeri
pada radang sendi (arthritis) tapi tidak mempunyai efek mengobati
penyebab peradangan dan pembengkakan sendi.
Paracetamol di indikasikan untuk mengurangi nyeri pada kondisi :
sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi, nyeri pasca operasi minor, nyeri
trauma ringan. Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai
penyakit. Pada kondisi demam, paracetamol hanya bersifat
simtomatik yaitu meredakan keluhan demam (menurunkan suhu
tubuh) dan tidak mengobati penyebab demam itu sendiri.

 Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)16


Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri dan peradangan.
Obat ini sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang
bisa menyebabkan nyeri. Ketorolac merupakan obat golongan
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang memiliki bentuk sediaan
tablet dan suntik. Ketorolac bekerja dengan cara menghambat
produksi senyawa kimia yang bisa menyebabkan peradangan dan rasa
nyeri. Ketorolac tidak menimbulkan ketergantungan. Obat ini dapat
digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan obat
pereda nyeri lain, termasuk obat pereda nyeri golongan opioid.

47
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-
narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang
menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi.
Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan
dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak
mempunyai efek terhadap reseptor opiat. Farmakokinetik (oral)
ketorolac tromethamine diabsorpsi dengan cepat dan lengkap setelah
pemberian oral dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma
sebesar 0,87 mcg/mL setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 10
mg. Waktu paruh plasma terminal 5,4 jam pada dewasa muda dan 6,2
jam pada orang lanjut usia. Total bersihan pada orang usia lanjut
sedikit lebih rendah daripada dewasa muda. Ketorolac tromethamine
diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular
dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2
mcg/mL setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu
paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada
orang lanjut usia. Lebih dari 99% ketorolac terikat pada konsentrasi
yang beragam.
Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian
secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar
steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam
sehari.
Ketorolac di indikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah.
Untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh dan membantu
meredakan gejala selesma antara lain : batuk, pilek.

 Multivitamin
CERNEVIT merupakan sediaan multivitamin baik vitamin larut
air maupun larut lemak (kecuali vitamin K) yang dikombinasikan dengan
mixed micelle (glycocholic acid dan lecithin). Pemenuhan kebutuhan

48
vitamin tubuh dapat berkurang akibat berbagai situasi stres (trauma,
pembedahan, luka bakar, infeksi) yang mungkin memperlambat proses
penyembuhan. CERNEVIT diindikasikan jika kebutuhan vitamin harian
perlu diberikan secara parenteral karena pemberian oral
dikontraindikasikan, tidak memungkinkan, atau tidak mencukupi
(misalnya karena malnutrition, gangguan gastrointestinal, dll)
Cernevit adalah obat yang memiliki kandungan multivitamin.
Cernevit digunakan sebagai multivitamin harian untuk dewasa dan anak
usia di atas 11 tahun yang menerima nutrisi parenteral. Bisa juga
diberikan pada kasus di mana pemberian terapi intravena diperlukan,
seperti operasi, luka bakar luas, patah tulang dan trauma lain, penyakit
infeksi berat dan koma yang memicu keadaan stres dengan peningkatan
kebutuhan metabolik dan nutrisi jaringan berkurang.

Penatalaksanaan Awal
1) Apendisitis Tanpa Komplikasi
- Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif
Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana
operatif menjadi standar sejak McBurney melaporkan
pengalamannya. Konsep tatalaksana non-operatif untuk apendisitis
tanpa komplikasi berkembang dari observasi terhadap dua hal.
Pertama, pasien berada dalam lingkungan dimana tatalaksana
operatif tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah
terpencil), tatalaksana dengan antibiotik saja telah dibuktikan
efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten
dengan apendisitis yang tidak mencari pertolongan medis terkadang
megalami resolusi spontan.
Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah
dilaporkan hasil dari tatalaksana non-operatif dibanding operatif
pada kasus yang diduga apendisitis tanpa komplikasi. Secara
keseluruhan, telah dilaporkan 9% kegagalan jangka pendek (<30

49
hari) dengan tatalaksana non-operatif. Pada pasien yang gagal
ditatalaksana secara non-operatif, hampir setengahnya mengalami
apendisitis dengan komplikasi (perforasi atau gangren). Setelah 1
bulan, sekitar 1% pasien menjalani apendektomi, dan 13% pasien
yang awalnya berhasil ditatalaksana non-operatif mengalami
apendisitis berulang, 18% peluang mengalami apendisitis dengan
komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak lebih dari 1 tahun pada
semua penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien menolak atau
mundur dari tatalaksana non-operatif.
Sebagai perbandingan, apendektomi operatif menunjukkan
angka kemunduran relatif lebih rendah (2%), proporsi apendisitis
dengan komplikasi lebih rendah (25%), proporsi kecil apendiks
normal (5%), dan kemungkinan kecil infeksi superfisial pada lokasi
operasi (3,7%) serta abses intra-abdomen (1,3%).
Hasil penelitian ini harus dilihat dengan hati-hati mengingat
tidak jelasnya seleksi pasien, manejemen diagnostik yang tidak
lengkap pada pasien yang tidak dioperasi, gold standard yang tidak
jelas untuk pasien yang dioperasi, dan tingginya kemungkinan
beralih antara pilihan tatalaksana. Konsekuensi dalam hal
penggunaan kasur rumah sakit, lama opname, morbiditas dari
tatalaksana operatif yang ditunda setelah kegagalan tatalaksana non-
operatif, diagnosa tertunda untuk pasien dengan kanker apendiks
atau cecum, dan meningkatnya resiko resistensi terhadap antibiotik
masih perlu diteliti lebih lanjut. Sehingga, tatalaksana operatif kasus
yang diduga apendisistis tanpa komplikasi tetap menjadi standar
perawatan. Sebagian sub-grup dengan apendisitis dengan
komplikasi dapat membaik dengan tatalaksana non-operatif. Pasien
yang memilih tatalaksana non-operatif harus dikonseling dengan
baik berkaitan dengan resiko kegagalan tatalaksana dan apendisitis
berulang.

50
- Apendektomi Darurat disbanding Segera
Secara tradisional, apendisitis dianggap sebagai kedaruratan
bedah. Setelah terdiagnosa, pasien akan langsung dibawa ke kamar
operasi untuk tatalaksana operatif. Namun, penundaan dalam
diagnosa, terbatasnya akses pada ruang operasi dan tatalaksana non-
operatif menjadi tantangan keyakinan bahwa apendisitis adalah
kedaruratan bedah.
Tiga penelitian retrospektif telah mengevaluasi peran
pembedahan darurat atau segera dalam apendisitis tanpa komplikasi;
grup yang darurat memiliki waktu untuk sampai ke ruang operasi
<12 jam, dimana grup yang segera memiliki waktu 12-24 jam.
Tidak ada peningkatan apendisitis dengan komplikasi yang secara
statistik berarti pada grup segera dibanding grup darurat. Begitu
pula halnya dengan peluang terjadinya infeksi pada lokasi operasi,
abses intra-abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau waktu
operasi tidak menunjukan perbedaan antara kedua grup. Walau lama
opname lebih lama pada grup segera, secara statistik dan klinis tidak
berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat menjadi pertimbangan
untuk perawatan operatif segera dibanding darurat termasuk
pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset gejala dan durasi
penundaan pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi, waktu
datang lebih dari 48 jam setelah onset gejala dan penundaan
tatalaksana definitif leih dari 12 jam berada di luar ruang lingkup
penelitian ini.
Operasi darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa
komplikasi bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa
kamar operasi dan staf yang langsung tersedia dapat
mempertimbangkan apendektomi segera dibanding darurat.

2) Apendisitis dengan Komplikasi


Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada
apendisitis dengan perforasi yang biasanya berkaitan dengan abses atau

51
phlegmon. Angka insidensi tahunan apendisitis dengan perforasi sekitar 2
dalam 10.000 orang dan memiliki variasi rendah terhadap waktu, letak
geografis dan usia. Proporsi apendisitis dengan perforasi, umumnya
sekitar 25%, sering digunakan sebagai indikator kualitas perawatan.
Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya berkaitan dengan perbedaan
insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi rendah perforasi dapat
menjadi konsekuensi dari angka deteksi yang lebih tinggi dan tatalaksana
apendisitis awal atau mereda.
Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien dengan usia
di atas 65 tahun memiliki angka perforasi tertinggi (45% dan 51%).
Proporsi perforasi meningkat dengan bertambahnya durasi gejala. Namun,
tidak ada hubungan antara penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar perforasi terjadi di awal, sebelum
pasien sampai di RS.
Ruptur harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan
respon inflamasi kuat. Pada banyak kasus, ruptur tertampung dan pasien
memperlihatkan peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat massa yang
dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisik. Hal ini dapat mempresentasikan
phlegmon yang berisikan anyaman lengkung usus yang menempel pada
sekitar apendiks yang meradang atau abses periappendiceal. Pasien
datang dengan massa telah mengalami gejala lebih lama, biasanya 5-7
hari. Membedakan apendisitis akut tanpa komplikasi dengan apendisitis
akur dengan perforasi berdasarkan penemuan klinis sering kali sulit, tetapi
penting untuk membuat perbedaan karena tatalaksannya berbeda. CT-scan
dapat berguna dalam menegakkan diagnosa dan menentukan terapi.

- Tatalaksana Operatif Dibanding Non-operatif


Pasien dengan tanda-tanda sepsis dan peritonitis generalisata
harus segera dibawa ke kamar operasi bersamaan dengan resusitasi.
Teknik pembedahan bergantung pada tingkat kenyamanan ahli bedah;
namun, open appendectomy melalui insisi garis tengah bagian bawah
kemungkinan harus untuk mengobati kasus komplikasi ini.

52
Pada pasien dengan apendisitis dengan komplikasi dan abses
tertampung atau phlegmon tetapi peritonitis terlokalisasi (nyeri fokal
kuadran kanan bawah), pilihan terapi menjadi lebih rumit. Sering kali,
pasien ini memerlukan prosedur yang menantang dengan resiko tinggi
timbulnya abses intra-abdomen pasca-operasi. Pilihannya termasuk
tatalaksana operatif dibanding tatalaksana konservatif (antibiotik,
istirahat usus, cairan, dan kemungkinan drainase per kutan).
Belum ada prospective randomized controlled studies yang
membandingkan tatalaksana operatif dengan konservatif untuk
apendisitis dengan komplikasi pada orang dewasa; semua penelitian
adalah retrospective cohort studies. Dua meta-analisis telah dilakukan.
Pada analisis tahun 2007 oleh Andersson dan Petzold dari 61 kasus
tentang hal ini, mereka menegaskan bahwa tatalaksana awal non-
operatif memberikan hasil yang lebih baik. Tatalaksana non-operatif
termasuk cairan intravena, meminimalisir stimulasi gastrointestinal,
antibiotik parenteral, dan drainasi per kutan jika dirasa sesuai.
Morbiditas tatalaksana operatif segera adalah 36,5%, sedangkan 11%
untuk tatalaksana konservatif. Dari pasien yang menjalani tatalaksana
konservatif, 7,6% gagal dan menjalani tatalaksana operatif. Subgrup ini
memiliki peluang rata-rata komplikasi sebesar 13,5%. Peluang
berulang 7,4%, yang tidak mengharuskan apendektomi interval.
Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih
dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi.
Simillis dan koleganya mengadakan meta-analisis pada 17
penelitian. Mereka menegaskan bahwa tatalaksana konservatif
berkaitan dengan angka rata-rata komplikasi, abses intra-abdomen,
obstruksi usus, dan operasi ulang yang lebih rendah. Pengarang
menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih dibanding
operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi.
Pada literatur pediatrik, terdapat dua prospective randomized
controlled trials membuktikan bahwa intervensi operatif awal memiliki

53
hasil yang sebanding atau lebih dibanding tatalaksana konservatif,
tetapi penelitian ini juga mengikutsertakan apendektomi interval untuk
semua pasien dalam perhitungan mereka. St. Peter dan koleganya
membuktikan bahwa 20% pasien gagal tatalaksana konservatif.
Intervensi operatif awal memiliki hasil yang sebanding dengan
apendektomi interval. Selain itu, Blakely dan koleganya menegaskan
bahwa apendektomi interval, dibanding apendektomi awal, memiliki
insidensi kejadian lanjutan yang lebih tinggi (50% dibanding 30%),
abses intra-abdomen (37% dibanding 19%), obstruksi usus halus
(10,4% dibanding 0%), dan kembali masuk RS (31% dibanding 8%).
Sebagai tambahan, Blakely dan koleganya menegaskan bahwa 9% dari
grup yang ditatalaksana konservatif mengalami apendisitis berulang.
Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana pembedahan segera lebih
baik dibanding tatalaksana konservatif dengan apendektomi interval.
- Apendektomi Interval setelah Tatalaksana Non-operatif
Apendektomi interval didefinisikan sebagai melakukan
apendektomi setelah tatalaksana non-operatif awal berhasil pada pasien
yang sudah tanpa gejala. Argumen utama melawan apendektomi
interval adalah banyak pasien ditatalaksana konservatif tidak pernah
mengalami gejala apendisitis, dan bagi yang umumnya mengalami
gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan. Argumen utama
yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah
timbulnya apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit
lain, seperti keganasan apendiks.
Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil
(n=40) yang menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak
terdapat small case series dan retorspective cohort studies; tidak ada
meta-analisis yang mengevaluasi subjek ini. Dari 1434 pasien yang
diduga apendisitis dengan komplikasi dan telah berhasil ditatalaksana
konservatif, 8,8% mengalami apendisitis berulang dengan rata-rata
follow up selama 35 bulan. Insidensi apendisitis dengan komplikasi

54
diikuti oleh kekambuhan rendah (2,4%). Keganasan ditemui pada 1,3%
kasus dimana patologi dilaporkan. Banyak pasien tereksklusi dari
penelitian karena gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan
keganasan pada kolonoskopi skrining.
Selain itu, dari 344 pasien yang diduga apendisitis dengan
komplikasi, telah berhasil ditatalaksana konservatif, dan kemudian
menjalani apendektomi interval, komplikasi pembedahan terjadi pada
9,4% pasien. Sebagian besar pasien menjalani apendektomi interval 2-4
bulan setelah gejala akut. Walau perincian operatif dan patologis tidak
dilaporkan seragam pada pasien ini, banyak yang berlanjut mengalami
tanda apendisitis atau abses pada waktu apendektomi interval; 3,6%
pasien memiliki keganasan dimana patologi dilaporkan.
Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana
konservatif apendisitis dengan komplikasi tidaklah jelas. Close clinical
follow-up, pencarian menyeluruh riwayat gejala menetap, dan
kolonoskopi skrining (saat usia pantas) sebaiknya digunakan untuk
membantu mengarahkan diskusi dengan pasien mengenai peranan
apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif apendisitis dengan
komplikasi.

a. Operatif
1) Open Appendectomy

Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi


umum. Seluruh abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi
yang lebih besar dibutuhkan. Untuk apendisitis awal tanpa perforasi,
insisi kuadran kanan bawah pada titik McBurney (sepertiga jarak dari
spina iliaca anterior superior ke umbilikus) umumnya digunakan. Insisi
McBurney (oblique) atau Rocky-Davis (transversal) pada kuadran kanan
bawah dibuat. Jika diduga apendisitis perforasi atau diagnosa masih
diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah bawah.
Walau telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan

55
kehamilan, penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan
tidak merubah proporsi pasien dengan appendiceal base dalam 2 cm dari
titik McBurney.
Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam
posisi sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika
apendiks sulit diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi.
Menelusuri taenia libera (taenia anterior), yang paling terlihat dari 3
taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat diidentifikasi.
Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau
pelvis yang dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium
apendiks terlebih dahulu dapat memperjelas eksposur dasar apendiks.
Appendiceal stump dapat ditangani dengan ligasi sederhana atau dengan
ligasi dan inversi. Selama stump terlihat jelas dan dasar cecum tidak
dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat dengan aman diligasi.
Obliterasi mukosa dengan electrocautery dengan tujuan menghindari
timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa ahli bedah;
namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver
pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah
dideskripsikan. Pemasangan surgical drains baik untuk apendisitis tanpa
dan dengan komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak
didukung oleh penelitian klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi,
tetapi irigasi pada apendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan.
Kulit juga dapat langsung ditutup pada pasien dengan apendisitis
perforasi.
Jika apendisitis tidak ditemukan, pencarian metodis harus
dilakukan untuk diagnosa alternatif. Cecum dan mesenterium harus
diinspeksi. Usus halus harus dievaluasi dengan cara retrogade dimulai
dari katup ileocecal. Keterlibatan Crohn’s disease atau Meckel’s
diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada pasien perempuan,
organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan cairan
purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh,

56
Valentino’s appendicitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti
apendisitis, harus disingkirkan. Ekstensi medial insisi (Fowler-Weir)
atau ekstensi superios dari insisi lateral pantas dilakukan jika evaluasi
lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon kanan diperlukan.
Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah juga telah
dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis
tengah harus dilakukan.

Gambar 3.8 Laparotomi

2) Apendektomi Laparoskopik

Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan


dilakukan pada tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik
tidak digunakan secara luas hingga nanti, setelah keberhasilan

57
kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin karena inisisi kecil sudah
umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum.
Oro- atau nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam
posisi terlentang dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi.
Baik ahli bedah dan asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap
ke apendiks. Layar laparoskopi diposisikan pada sisi kanan pasien atau
pada kaki kasur. Apendektomi laparoskopik standar umumnya
menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10 atau 12 mm dipasang
pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada supra-pubik dan
kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi Trendelenburg dan
dimiringkan ke kiri.

Gambar 3.9 Prosedur Laparoskopi

Apendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan pembedahan


terbuka dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar apendiks. Melalui
saluran supra-pubik, apendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan
ke arah jam 10. “Appendiceal critical view” seharusnya didapatkan
dengan taenia libera pada arah jam 3, ileum terminal pada arah jam 6
dan apendiks yang ditarik pada arah jam 10 untuk identifikasi dasar

58
apendiks. Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium harus diseksi
secara perlahan dari dasar apendiks dan dibuat jendela. Umumnya dasar
apendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu, mesenterium
dapat dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar apendiks
ditahan dengan Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk
memastikan hemostasis, transeksi komplit, dan memastikan tidak ada
stump tertinggal. Apendiks diambil melalui lubang infra-umbilikus
dengan retrieval bag.

3) Laparoskopik Dibanding Open Appendectomy

Sudah terdapat beberapa randomized controlled trials prospektif


yang membandingkan hasil laparoskopik dan open appendectomy.
Beberapa meta-analisis telah dilakukan untuk mengevaluasi hasil
kumulatifnya.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi
pembedahan yang lebih sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi
apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya resiko abses
intra-abdomen dibanding open appendectomy. Dengan apendektomi
laparoskopik lebih tidak nyeri, lama opname lebih singkat dan lebih
cepat kembali ke aktivitas normal dibanding open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya durasi
opeasi dan biaya ruang operasi; namun rata-rata biaya hampir sama
dibanding open appendectomy. Pasien cenderung lebih puas dengan
apendektomi laparoskopik.
Sebagai tambahan, apendektomi laparoskopik memiliki
keuntungan ketika diagnosa dipertanyakan, seperti pada pasien wanita
dalam usia reproduktif, pasien lebih tua dengan kecurigaan keganasan,
dan pasien obes dimana dibutuhkan insisi open appendectomy yang lebih
besar.

59
b. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya
perdarahan dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien
dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih
dahulu.
Setelah apendektomi tanpa komplikasi, peluang komplikasinya rendah,
dan kebanyakan pasien dapat dengan cepat memulai diet dan dipulangkan
pada hari yang sama atau sehari setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif
tidak diperlukan.
Di sisi lain, apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya
meningkat dibanding apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan
antibiotik spektrum luas selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi,
maka diet harus dimulai dalam evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki
resiko meningkat terjadinya infeksi pada lokasi pembedahan. Pada operasi
dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus
kembali normal. Secara bertahap pasien diberikan minum, makanan saring,
makanan lunak, dan makanan biasa.

1) Infeksi Lokasi Pembedahan


Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional
(superfisial atau profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan
insisi dan mengambil kultur. Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi
lokasi saluran adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi lokasi
pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat memulai antibiotik. Organisme
yang dikultur pada umumnya flora usus, dibandingkan dengan flora kulit.
Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif dapat bergejala
dengan cara yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri
abdomen adalah gejala yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi
usus, diare, dan tenesmus dapat juga menderita abses intra-abdomen.
Abses kecil dapat diterapi hanya dengan antibiotik; namun abses yang
lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya, drainase per kutan
dengan panduan CT-scan atau USG efektif. Untuk abses yang tidak

60
merespon terhadap drainase per kutan, drainase abses laparoskopik bisa
menjadi pilihan.

2) Stump Appendicitis
Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan
seluruh apendiks pada prosedur awal. Sebuah review literatur
menunjukkan hanya 60 laporan dari fenomena ini. Kemungkinan,
apendektomi inkomplit sedikit dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh
lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump appendicitis”, pasien umumnya
datang dengan gejala berulang apendisitis kurang lebih 9 tahun setelah
pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan awal antara
laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak
apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan
stump appendicitis lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis
dengan komplikasi, menjalani prosedur terbuka dan colectomy.
Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan.
Penggunaan “appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah
jam 10, taenia coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6) dan
identifikasi apakah taenia coli bersatu atau menghilang adalah hal penting
untuk identifikasi dan ligasi dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump
yang tersisa harus tidak lebih panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump
appendicitis jika ≥0,5 cm pada literatur.
Pada pasien yang telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks
kecurigaan yang rendah penting untuk mencegah penundaan diagnosa dan
komplikasi. Apendektomi sebelumnya tidak seharusnya menjadi kriteria
mutlak menyingkirkan apendisitis akut.

3.1.11 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

61
37,7oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinu.
Komplikasi yang paling sering ditemukan
adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi
luka, perlengketan, obstruksi usus, abses
abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan
komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-
abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses
residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja
internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.13

3.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat
di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di
dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu

62
dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi
karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan
tidak diobati secara benar.11

63
BAB IV
PEMBAHASAN

Apendisitis akut merupakan masalah kegawatdaruratan abdominal yang


paling umum terjadi. Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari
inflamasi akut kuadran kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum
dari pembedahan abdomen darurat. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Appendiks merupakan organ
berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm (kisaran 3 – 15 cm, dan
berpangkal di sekum.
Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dapat
ditemukan bahwa Pasien datang ke IGD RS Siloam Sriwijaya dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak 7 jam SMRS. Nyeri dirasa menjalar di bagian ulu
hati. Nyeri dirasakan tumpul dan dirasa terus menerus. Nyeri bertambah ketika
batuk dan membaik. Pasien juga mengeluh badan panas, keluhan juga disertai
dengan mual (+), muntah (+), dengan isi muntahan apa yang dimakan dan badan
terasa lemas. Selain itu pasien juga mengeluh nafsu makan menurun (+). keluhan
badan kuning (-), flatus (+), BAK (+) seperti biasa. Hal ini sesuai Menurut
Baughman dan Hackley (2016), manifestasi klinis apendisitis meliputi: Nyeri
samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau umbilikus yang
terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia. Nyeri kemudian berpindah ke
perut daerah kanan bawah di titik Mc Burney yang dirasakan lebih tajam dan
jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok. Demam (biasanya subfebris,
yaitu antara 37,5-38,5 C). Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan
gejala akibat distensi apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari afferent
stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan
peradangan yang telah menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami
pasien berupa nyeri akibat iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak
atau batuk (Dunphy sign) dan membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan

64
adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri
muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang
cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam yang
menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan
terhadap keganasan, pada anamnesis dipastikan pasien tidak mengeluhkan adanya
pola BAB yang berubah. Riwayat haid juga perlu digali untuk memastikan tidak
adanya riwayat kelainan obsterik ataupun ginekologik, pada pasien ini tidak
didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat dikesampingkan.
Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit lainnya yg diidap
pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37.5oC dan VAS
5/10. Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
dalam Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut
pasien.
Status lokalis ditemukan pada palpasi teraba panas, nyeri tekan kuadran
kanan bawah, nyeri lepas di titik Mc Burney, Rovsing sign (+), psoas sign (+),
Dunphy sign (+), obturator sign (+), ten horn sign (+), kocher sign (+), sitkovskiy
sign (+), bartomier sign (+), aure-rozanova sign (+), blumberg sign (+), massa
(-). Dengan pemeriksaan perkusi didapat hipertimpani, nyeri ketuk perut kanan
bawah, pekak hepar (+). Hal ini sesuai menurut Baughman dan Hackley (2016)
pada status lokasi appendicitis pada kuadran kanan Mc Burney akan didapakan
nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok (+) yang disebakan karena rangsang
peritoneum. Pada pemeriksaan tanda appendisitia juga ditemukan Rovsing sign
(+) yang disebabkan penekanan dan pendorongan perut ke kanan menyebabkan
organ di dalamnya ikut terdorong ke kanan, menekan appendiks, menyentuh
peritoneum, dan menyimbulkan nyeri di titik Mc Burney. Psoas sign (+)
Obrurator sign (+). Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan
kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik
McBurney, Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal.
Penemuan ini mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga

65
akibat peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan
kelainan, termasuk pemeriksaan genitalia sehingga diagnosa banding PID dapat
disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.
Pasien juga dilakukan pemeriksaan Laboratorium ditemukan peningkatan
pada leukosit yaitu 14.200/mm3 dengan hitung jenis Basofil 0.4%, Eosinofil
0.1%, Neutrofil 89.7%, Limfosit 3.9%, Monosit 5.9% yang menandakan terjadi
pergesera kekiri. Hal ini sesuai dengan Lubis (2016) Leukosit yang lebih dari >
18.000 dan dengan hitujng jenis bergeser ke kiri menandakan bahwa terjadi
perforasi.
Pasien dilakukan pemeriksaan dengan skor Alvarado yang merupakan
pemeriksaan yang khas dilakukan pada pasien dengan Appedisitis didapat nilai
10. Hal ini sesuai ANZ J Surg (2013) dengan Skor Alvarado 9-10, pasti
apendisitis (definite appendicitis). Skor Alvarado memiliki sensitivitas 96%.
Selain itu, didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai
kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah berguna
untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen
diagnostik lanjutan
Pasien juga dilakukan pemeriksaan USG dan didapatkan kesan Nyeri
tekan probe spesifik pada area MC Burney disertai bentukan menyerupai
appendiks yang melebar, diameter +/- 8.2 mm pada Mc Burney suggestive pada
pemeriksaan CT scan didapatkan CT-Scan high resolution thorax tidak
didapatkan groundglass opacity maupun konsolidasi di kedua paruyang mengarah
pada pneumonia. Mediastinum dan abdomen yang tervisualisasi dalam batas
normal sehingga kesan Klinis Suspect Appendicitis acute. Hal ini sesuai ANZ J
Surg (2013). Dalam menegakan diagnosis apendisitis (skor ≥ 6), skor Alvarado
memiliki sensitivitas 58-88%. Penyelidikan lebih lanjut, seperti USG dan
computed tomography (CT) scanning, dianjurkan ketika apendisitis adalah dalam
skor kisaran menengah. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG)
dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan

66
fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi
94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-
97%.
Apendisitis dapat dipastikan dengan pemeriksaan ini dan keganasan dapat
dikesampingkan karena organ intra-abdominal lainnya tampak normal.
Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan
untuk dioperasi Single-incision multi-port laparoscopic appendectomy cito.
Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam
kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk
mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan
komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan berkembangnya apendisitis akut
dan terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan akan mempersulit
penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana awal
pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi.
Pada saat di IGD pasien diberikan analgetic berupa Infus Paracetamol 1gr
IV selagi menunggu persiapan operasi. Hal ini bertujuan untuk meredakan nyeri
pada pasien sebelum dilakukkan pembedahan. Lalu SILS dilakukan pada pukul
19.00 WIB. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang
diberikan sebelumnya berupa cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan.
Pasien diberikan cairan (RL sebanyak 500 mL / 8 jam), antibiotika (Vipime
3x1gr dalam NS 10 cc) hal ini telah sesuai dengan Sabiston, David (2010) dimana
Cefepime merupakan sefalosforin generasi IV memiliki aktivitas terhadap bakteri
gram positif lebih baik dibanding generasi III, digunakan untuk pasien yang
dirawat di rumah sakit. Cefepime bertujuan untuk mengatasi infeksi bakteri pada
organ di dalam perut. Secara keseluruhan, berdasarkan data yang tersedia,
cefepime direkomendasikan untuk pengobatan pasien dengan infeksi intra-
abdomen. Pengobatan ini disarankan untuk digunakan terutama terapi empiris
pada pasien berisiko tinggi karena aktivitas anti-pseudomonal yang kuat.

67
Ceftazidime tidak memiliki aktivitas gram positif yang baik; sebaliknya Cefepime
jauh lebih baik terhadap organisme gram positif.
Pasien diberi antiinflamasi (Indexon Dexamethason 5 mg), hal ini sesuai
dengan Nuraif dan Kusuma (2015) dimana kemampuan deksametason dalam
mengatasi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada
yang dimiliki prednisone. Mekanisme aksi dari deksametason dalam mengurangi
inflamasi adalah dengan menekan migrasi neutrofil, menurunkan produksi
mediator inflamasi, dan mengembalikan permeabilitas kapiler.
Pasien juga diberi Analgesik (Tamoliv Paracetamol 1gr IV). Hal ini telah
sesui dengan Nuraif dan Kusuma (2015) dimana Paracetamol adalah obat yang
mempunyai efek mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam
(antipiretik). Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat
impuls/rangsang nyeri di perifer. Obat juga dikombinasikan dengan pemberian
Remopain ketorolac 3 x 30 mg IV Ketorolac di indikasikan untuk
penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah
prosedur bedah. Ketorolac bekerja dengan cara menghambat produksi senyawa
kimia yang bisa menyebabkan peradangan dan rasa nyeri
Pasien juga diberi Vitamin berupa Drip Cernevit 2x1 vial, yang
merupakan sediaan multivitamin baik vitamin larut air maupun larut lemak
(kecuali vitamin K) yang dikombinasikan dengan mixed micelle (glycocholic
acid dan lecithin) yang ditujukan sebapai pemenuhan kebutuhan vitamin tubuh
dapat berkurang akibat berbagai situasi stres (trauma, pembedahan, luka bakar,
infeksi) yang mungkin memperlambat proses penyembuhan. Diberikan pada
kasus di mana pemberian terapi intravena diperlukan, seperti operasi, luka bakar
luas, patah tulang dan trauma lain, penyakit infeksi berat dan koma yang memicu
keadaan stres dengan peningkatan kebutuhan metabolik dan nutrisi jaringan
berkurang.
Selain itu, perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi
adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

68
BAB V
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis,


dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit dengan gejala
nyeri abdomen yang paling sering dijumpai dan merupakan salah satu bentuk
kegawatdaruratan. Lebih dari 10% kasus dengan keluhan nyeri abdomen
merupakan kasus kegawatdaruratan. Apendisitis akut merupakan peradangan akut
pada apendiks yang disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa
faktor pencetus. Faktor-faktor pencetus terjadinya apendisitis adalah obstruksi,
bakteri, kecenderungan familiar dan faktor ras serta diet.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-
kira 10 cm dan berpangkal pada seikum. Apendiks mendapat vaskularisasi oleh
arteri apendicular yang merupakan cabang dari arteri ileocolica. Apendiks
mendapat persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus dan persarafan
simpatis berasal dari n.torakalis X. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari.
GALT ( Gut Assoiated Lymphoid Tisuue) yang terdapat pada apendiks
menghasilkan Ig-A.
Gejala Nyeri samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau
umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia. Nyeri kemudian
berpindah ke perut daerah kanan bawah di titik Mc Burney yang dirasakan lebih
tajam dan jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok. Demam (biasanya
subfebris, yaitu antara 37,5-38,5 C). Tampak kesakitan, membungkuk,
memegang perut kanan bawah. Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok (+).
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan
hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis. Proses penegakan
diagnose pada kasus apendicitis yaitu meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pada kasus apendisitis akut sebenarnya
lebih mengarah pada penanganan operatif yaitu dengan appendectomy

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard S. Snell. 2013. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi


6, Jakarta : EGC
2. Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC
3. Sylvia A. Price. 20. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6, Jakarta : EGC
4. Sabiston, David C. 2010. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
5. Prof. Sudaryat Suraatmaja, SpAK. 2007. Gastroenterologi Anak. Denpasar :
SMF IKA FK UNUD/RS Sanglah
6. dr. Adhita Dwi A. 2009. Appendicitis Acute, Cimahi : Universitas Jendral
Achmad Yani
7. Word Health Organization. (2017). Diakses Pada Tanggal 9 Agustus
2021.
8. Data RSUP Haji Adam Malik Medan. (2017). Diakses Pada Tanggal 9
Agustus 2021.
9. Data Profil RSUD Pandan. (2016). Diakses Pada Tanggal 9 Agustus
2021.
10. Lubis. (2016). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
11. Nurarif dan Kusuma. (2015). Buku ajar Bedah Volume 2. Jakarta:
EGC.
12. Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2014, Buku Ajar Bedah Brunner
& Suddarth 's Edisi 10, Jakarta, EGC.
13. Utama. (2013). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
14. Alvarado score: a guide to computed tomography utilization in appendicitis.
ANZ J Surg. 2013 Oct;83(10):748-52. doi: 10.1111/ans.12076. Epub
15. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New
York: McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
16. Katzung, B. G.,Masters, S. B., Trevor A. J. 2012. Basic and Clinical
Pharmacology 12th Ed.

70
17. Kavitha, V., Mrudula, Y., Latha, M. S., Dinesh, R., & Srinivas, G. A. B.
2016. Study Of Prescribing Pattern Of Antibiotics In The Management Of
Various Infectious Diseases In Warangal Region. Indian Journal of Medical
Research and Pharmaceutical Sciences, 3, 1.
18. Mazuski, J. E., Tessier, J. M., May, A. K., Sawyer, R. G., Nadler, E. P.,
Rosengart, M. R., Chang, P. K., O'Neill, P. J., Mollen, K. P., Huston, J. M.,
Diaz, J. J., & Prince, J. M. (2017). The surgical Infection SOCIETY revised
guidelines on the management of Intra-Abdominal Infection. Surgical
Infections, 18(1), 1–76. https://doi.org/10.1089/sur.2016.261

71

Anda mungkin juga menyukai