Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama
cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang
kedokteran gawat darurat. Rencana anestesi keseluruhan untuk pasien hipertensi
adalah untuk mempertahankan tekanan darah stabil.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali atau reversible. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal
ini yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot yang diperlukan untuk mengurangi
tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan dan
stabilisasi otonom.1
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa
tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi,
obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.1
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,

1
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.8
Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti
mendapatkan angka ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.
Pankreatitis akut merupakan suatu proses inflamasi pada pancreas yang
dihubungkan dengan beberapa kelainan lain yang secara kolektif bias dianggap
sebagai etiologi dari pankreatitis akut. Insiden pankreatitis akut berbeda-beda
pada masing-masing negara. Di negara barat penyakit ini sering ditemukan dan
berhubungan erat dengan konsumsi alkohol yang berlebihan dan adanya penyakit
hepatobilier.
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai penggunaan anestesi
umum dengan pemasangan ETT pada seorang pasien dewasa berjenis
kelamin laki-laki, usia 49 tahun dengan diagnosis peritonitis ec pankreatitis akut
+ hipertensi yang akan dilakukan tindakan pembedahan berupa laparatomi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peritonitis
2.1.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang
melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.
Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ
abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam
kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau
Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk
dari luar.1

2.1.2 Etiologi
Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal
yang langsungdari rongga peritoneum. Banyak terjadi pada
penderita :
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis

2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme

3
tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme
dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar
pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:

 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung


empedu, hepar, lien, kehamilan extra tuba yang pecah
 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii
pecah, ruptur buli dan ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi
kuman, danakibat tindakan operasi sebelumnya. 2
2.1.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di

antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita

fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan

membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara

cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan

berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari

kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi

4
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga

ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini

segera gagal begitu terjadi hipovolemia.2

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah

kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam

rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra

peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal

menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya

kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.2

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih

lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang

menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan

peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus

paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan

elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara

lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya

pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1

Jenis Peritonitis

 Peritonitis Aseptik.

5
Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris,

dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal.

Peritonitis steril dapat berkembang menjadi bakterial peritonitis

dalam beberapa jam mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme

(contohnya dari usus)

 Peritonitis bilier

Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari :

1. iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)

2. kolesistitis akut

3. trauma

4. idiopatik

Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab :

1. Cairan pankreas

Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa

disebabkan karen proses diagnostik laparotomi pada pasien yang

tidak mengalami peningkatan serum amilase.

2. Darah.

Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.

3. Urine

Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.

4. Meconium

6
Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan

bilier dimana dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion.

Peritonitis mekonium berkembang lambat di kehidupan intra uteri

atau di periode perinatal saat mekonium memasuki rongga

peritoneum melalui perforasi inestinal.

 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan

imunokompromise. Menyebar ke peritoneum melalui:

1. secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau

pyosalping TB.

2. Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.

Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada

umumnya), dan kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri

perut, demam, penurunan berat badan, keringat malam, massa

abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini :

ascitic, encysted, plastic, atau purulent. Terapinya berdasarkan

terapi anti-TB, digabungkan dengan laparotomi (apabila di

indikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.

 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis

dan digambarkan oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan

hepatic rub.

7
 Obat-obatan dan benda asing.

Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi

intraperitoneal dapat menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan

starch dapat menstimulus perkembangan benda asing granulomata

apabila benda-benda itu bertemu pada rongga peritoneum

(contohnya sarung tangan bedah).

2.2 Pankreatitis
2.2.1 Anatomi
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada
duodenum dan terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau
Langerhans. Dalam pulau langerhans jumlah sel beta normal pada manusia
antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau Langerhans. Pankreas berwarna
putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini merupakan kelenjar majemuk
yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan
eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase
dan lipase, sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon
seperti insulin, glukagon dan somatostatin (Dolensek, Rupnik & Stozer,
2015)

Gambar.1 Anatomi Pankreas

8
2.2.2 Definisi
Pankreatitis akut adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri
dimana enzim pankreas diaktivasi secara prematur dan mengakibatkan
auto digestif pankreas. Pankreatitis mungkin bersifat akut atau kronis,
dengan gejala ringan sampai berat.Pankreatitis merupakan penyakit yang
serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari
kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang
berjalan dengancepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai
pengobatan.1Secara klinis pankreatitis akut ditandai oleh nyeri perut yang
akut disertai dengan kenaikan enzim dalam darah dan urin. Berdasarkan
definisi, pada pankreatitis akut bersifat reversible jika stimulus pemicunya
dihilangkan; pankreatitis kronik diartikan sebagai desktruksi parenkim
eksokrin pankreas yang bersifat ireversibel.

2.2.3 Diagnosis
Diagnosis pankreatitis akut dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

2.2.3.1 Anamnesis
Berdasarkan anamnesis biasanya pasien datang ke tempat
pelayanan kesehatan dengan keluhan berupa nyeri perut tiba-tiba pada
kuadran kiri atas, regio periumbilikal, dan atau epigastrium. Nyeri
dirasakan sangat sakit kemudian dirasakan semakin konstan. Nyeri
menjalar melalui perut ke dada atau punggung tengah. Nyeri memberat
setelah makan atau minum seperti makanan berlemak. Membaik saat
posisi duduk. Keluhan lainnya seperti mual dan muntah memberat saat
posisi terlentang. Sering juga merasa perut penuh, distensi, feses berwarna
pucat, penurunan pengeluaran urin, dan mengalami cegukan.Selain itu bisa
juga mengalami sinkop atau demam.

9
2.2.3.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan akut pankreatitis dapat
normal atau demam, hipotensi, takikardi, takipnea, atau diaphoresis.
Pemeriksaan perut secara tipikal mengalami nyeri tekan pada saat palpasi,
kemungkinan adanya tanda iritasi peritoneal, distensi, atau keras. Suara
usus menurun, ikterik bisa juga terjadi. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi gangguan kesadaran.Dua tanda fisik ditemukan berhubungan
dengan pankreatitis yaitu Cullen sign (ekimosis dan edema pada jaringan
subkutan sekitar umbilikal) dan Grey Turner sign (ekimosis di badan).
Tanda ini menunjukkan adanya pankreatitis akut berat dengan tingkat
mortalitas yang tinggi

2.2.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dapat membantu diagnosis, hal ini dapat
mengklasifikasikan beratnya penyakit dan memprediksi prognosisnya.
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Kadar Lipase dan Amilase Pemeriksaan tingkat lipase lebih sensitif
dan spesifik daripada pemeriksaan tingkat amilase oleh karena
amilase juga diproduksi oleh kelenjar saliva dan kadarnya dapat
normal pada kondisi pankreatitis alkoholik recurrent.Pada hari 0-1
serum lipase memiliki sensitivitas 100% dibandingkan dengan
serum amilase dengan sensistivitas 95%. Pada hari 2-3
sensitivitasnya mencapai 85% dan spesifitas lipase 82%
dibandingkan serum amilase yang hanya 68%. Kadar amilase dan
lipase lebih tinggi tiga kali lipat dari kadar normal menunjukkan
adanya pankreatitis. Serum amilase akan kembali normal dalam 3-
5 hari. Rasio lipase dan amilase lebih besar dari 4 menunjukkan
bahwa penyebabnya adalah alkoholik.
- Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

10
Kadar serum CRP lebih dari 150 mg/dL atau 14.286 nmol/L dalam
48 jam masuk rumah sakit menunjukkan bentuk pankreatitis
akutberat dari pankreatitis akutringan. Jika tingkat serum CRP
lebih dari 180 mg/dL dalam 72 jam berhubungan dengan adanya
nekrosis pankreas. Serum CRP mencapai puncaknya pada 36-72
jam setelah gejala muncul sehingga tidak membantu jika dilakukan
pada awal masuk rumah sakit.

b. Pemeriksaan Radiologi
Semua pasien yang mengalami pankreatitis akut dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG). Hal ini akan sangat membantu
diagnosis pankreatitis yang disebabkan oleh batu kelenjar empedu.
Pada kondisi gas saluran pencernaan salingtumpang tindih atau batu
empedu pada bagian distal saluran empedu akan sangat susah
mendeteksinya.
Pemeriksaan Contrast-enhaced computed tomography (CECT)
merupakan standar diagnosis yang dapat digunakan. Merupakan
pilihan utama yang dapat digunakan pada pasien dengan nyeri perut
yang berat dan ketika diduga adanya pankreatitis nekrotik. Sangat baik
dilakukan pada 48-72 jam 6. CT scantidak perlu dilakukan pada
kondisi pasien stabil dengan pankreatitis akut ringan.
Magnetic Resonance Cholangio pancreatography (MRCP) memiliki
sensitivitas 79% dan spesifitas 92% dibandingakan dengan
pemeriksaan CT scan. Pemeriksaan ini sangat membantu pada kondisi
penggunaan kontras dikontraindikasikan (disfungsi renal).
Direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan enzim hati dan
Common Bile Duct (CBD) bila tidak dapat di evaluasi dengan USG.6
Pemeriksaan dengan Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) dapat membantu dalam
mendiagnosis penyebab pankreatitis akutoleh karena
choledocholithiasis.

11
2.2.4 Tatalaksana
2.2.4.1 Penatalaksanaan Pankreatitis Akut Ringan
Penatalaksanaan pada pasien pankreatitis akut meliputi non-operasi dan
operasi. Pada tiga hari pertama penting untuk menentukan tingkat
keparahan pankreatitis, memberikan terapi suportif dan evaluasi respons
terapi. Pasien dengan skor APACHE > 8, komorbid berat dan gagal organ
perlu dirawat di ruang perawatan intensif.1,7Hidrasi intravena agresif
sedini mungkin, kontrol nyeri, dan bowel rest merupakan salah satu
penatalaksanaan non-operasi.6,7Pankreatitis akut ringan dapat dirawat di
rumah tapi kebanyakan memerlukan perawatan di rumah sakit. Nutrisi dan
hidrasi dapat diberikan melalui cairan yang jernih dan kontrol nyerinya
dengan narkotik oral.10 Hal ini perlu dilakukan karena kehilangan cairan
sering akibat muntah, penurunan intake oral, cairan pada ruang ketiga,
peningkatan kehilangan cairan melalui respirasi, dan diaphoresis.
Hidrasi akan mencegah komplikasi serius dari nekrosis pankreatik. Hidrasi
yang agresif dilakukan dalam 12-24 jam perawatandengan monitoring
hematokrit, BUN, dan kreatinin. Pemberian cairan dengan cairan Ringer
Laktat lebih baik dibandingkan dengan Normal salin 0,9% oleh karena
dapat lebih merusak sel asinar pankreas dan menimbulkan gap non-anion,
serta hiperkloremia asidosismetabolik.6Awalnya diberikan 20 ml per kg
dalam waktu 60 sampai 90 menit. Lalu diikuti 250-500 ml per jam untuk
48 jam selanjutnya untuk mempertahankan urine output 0,5 ml per kg/jam
dan menurunkan kadar BUN. Hati-hati apabila ada komorbid penyakit
jantung dan ginjal.
Pada kondisi usus harus diistirahatkan dalam waktu yang lama dapat
diberikan nutrisi parenteral. Akan tetapi, nutrisi parenteral dapat
menyebabkan atrofi jaringan limfoid usus (GALT), terganggunya fungsi
limfosit sel T dan sel B, menurunnya aktivitas kemotaksis lekosit dan
fungsi fagositosis, serta meningkatnya permeabilitas dinding usus yang

12
dapat mempermudah terjadinya translokasi bankteri, endotoksin, dan
antigen yang masuk ke dalam sirkulasi.
Meta analisis menunjukkan nutrisi melalui nasojejunal dapat menurunkan
infeksi, menurunkan intervensi bedah, dan memperpendek lama perawatan
di rumah sakit dibandingkan melalui nasogastric tube (NGT).7 Hal ini
karena pemberian nutrisi melalui NGT lebih berisiko menyebabkan
pneumonitis aspirasi dan meningkatkan sekresi enzim. Nasogastrik dan
nasojejunal memiliki keamanan dan efektivitas yang mirip. Pemberian
cairan oral dapat dilakukan bila nyeri sudah terkontrol atau tidak
memerlukan obat-obatan narkotik. Diet yang dianjurkan yaitu bentuk cair
atau padat lunak kemudian bertahap dengan rendah lemak diet regular.1,7
Pada pankreatitis akut berat diberikan nutrisi enteral. Nutrisi parenteral
dapat diberikan apabila nutrisi enteral tidak bisa diberikan. Nutrisi enteral
dapat ditunda pada pasien syok,perdarahan gastrointestinal masif,
obstruktif intestinal, fistula jejunum, dan enteroparalisis berat.
Sekitar 1/3 pankreatik nekrotik akan mengalami infeksi. Penyebab infkesi
terbanyak yaitu Escherechia coli (34%), Enterococcus (25%), Klebsiella
sp. (15%), Staphylococcus epidermidis (15%), Staphylococcus aureus
(14%), Pseudomonas (7%), dan Candida sp. (11%). Lebih banyak infeksi
monomikrobial (66%) dibandingkan polimikrobial (34%).1 Infeksi dapat
pada pankreas (nekrosis infeksi) dan ekstrapankreas (kolangitis, infeksi
yang didapat dari kateter, bakteremia, infeksi saluran kencing, dan
pneumonia).Nekrosis infeksi 27% terjadi dalam 14 hari, studi lain
menunjukkan bahwa setengah dari infeksi dapat terjadi dalam 7 hari
setelah masuk rumah sakit. Berdasarakan review Cochrane, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pemberian profilaksis antibiotik dan
nonprofilaksis antibiotik terhadap mortalitas dan nekrosis pankreatitis.
Namun pemberian imipenem/cilastatin (Primaxin) sebagai monoterapi
dapat menurunkan infeksi pankreas.Imipenen dengan dosis 0,5 gram/8 jam
intravena. Sedangkan menurut The American Gastroenterological
Association guidelines merekomendasikan profilaksis antibiotik pada

13
infeksi ekstra pankreas tapi tidak pada pankreatitis akut berat atau nekrosis
steril.
Menurut Gang et al, dalam 10 tahun perawatan 47 dari 80 pasien sukses
diobati dengan pemberian antibiotik pada infeksi nekrosis pankreas.
Mortalitas dengan penggunaan antibiotik hanya 23% jika dibandingkan
dengan metode operasi yaitu mencapai 54%. Antibiotik yang bisa
digunakan yaitu karbapanem, quinolon, metronidazol dan sefalosporin
dosis tinggi. Adanya nekrosis terinfeksiharus dipertimbangkan pada pasien
dengan pankreatitis atau nekrosis ekstra-pankreas yang tidak membaik
setelah perawatan selama 7–10 hari. Pada pasien ini diperlukan tindakan
aspirasi jarum halus dengan panduan Ultrasonography (USG) atau CT
scansebagai dasar panduan pemberian antibiotik atau antibiotik empiris
segera diberikan seandainya tidak dilakukan aspirasi jarum halus.1,9
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas sebagai pedoman pemberian antibiotik
yang tepat.
Dalam 48-72 jam perawatan dilakukan monitoring keadaan pasien.
Tekanan darah, denyut nadi, saturasi oksigen, jumlah urin diperiksa setiap
satu hingga dua jam.Kebutuhan cairan tubuh dinilai setiap 6 jam selama
24-48 jam.1 Jika terjadi hipotensi, hipoksemia, atau oligouria yang
menunjukkan tidak responsif terhadap pemberian cairan, maka sebaiknya
dikirim ke unit intensif. Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 4-8 jam,
perhatikan adanya gangguan status mental atau kekakuan pada perut yang
dapat menunjukkan abdominal compartment syndrome atau cairan dalam
rongga ketiga.Pemeriksaan darah lengkap, kalsium, magnesium, glukosa
serum, dan tingkat BUN sebaiknya diperiksa setiap 12 jam (tergantung
kondisi pasien). Computed tomography (CT) awal dilakukan setelah 72-
96 jam dari onset sakit. CT dapat diulang apabila respon terhadap standar
terapi tidak bagus untuk mengevaluasi komplikasi atau perburukan
pankreatitis1,10. Hasil dari pemeriksaan CT dapat dinilai berdasarkan CT
Severity Indeks (CSI). Skor ≥5 menunjukkan mortalitasnya 15 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan skor dibawah 5.

14
Penatalaksanaan bedah sering dilakukan pada pankreatitis yang
berhubungan dengan batu empedu.Kolesistektomi pada dalam 48 jam
setelah keluhan dapat mengurangi waktu dirawat di rumah sakit.7Selain
itu, kolesistektomi yang dilakukan seawal mungkin tidak meningkatkan
risiko komplikasi sekunder dari operasi. Operasi tidak dilakukan pada
pankreatitisakut nekrosis sampai inflamasinya berkurang dan akumulasi
cairan tidak lagi meningkatkan ukurannya. Penatalaksanaan operasi
melalui ERCP berkorelasi dengan koledokolitiasis. Tetapi konsensus
menyarankan pelaksanaan ERCP tidak rutin dilakukan. Pada kolangitis
akut atau serum bilirubin >5 mg/dl ERCP masih bermanfaat. ERCP dapat
digunakan mengidentifikasi disrupsi ductus pankreatik pada pankreatitis
akut berat dan intervensi pada sindrom dislokasi ductus.
ERCP dapat mengurangi perkembangan pankreatitis akut menjadi
berat jika dilakukan prosedur ini dalam 72 jam setelah masuk rumah
sakit.6ERCP juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kolangitis
sebesar 61%. Komplikasi yang ditimbulkan dalam 24 jam setelah dirawat
di rumah sakit dengan ERCP lebih rendahdibandingkan dengan tidak
dilakukan prosedur ini yaitu 15%:54%. Selain itu, ERCP juga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada komplikasi pankreatitis akut
hingga 96,97%. Tetapi sebaiknya prosedur ini tidak dilakukan pada
pankreatitis akut berat9.ERCP dengan sphincterotomy dapat menurunkan
mortalitas hingga 4%. Pada pankreatitis akut berat atau nekrosis infeksi
atau koleksi cairan persisten diperlukan aspirasi perkutan dengan bantuan
CT atau operasi debridement.

2.2.4.1 Penatalaksanaan Pankreatitis Akut Berat


Pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeser dari tindakan
pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan
berkembangnya radiologi dan endoskopi intervensi, tindakan bedah dapat
diminimalisasi. Intervensi untuk mengatasi komplikasi lokal pankreatitis
akut berat adalah: (1) ERCP dan sfingterotomiuntuk menghilangkan

15
sumbatan dan evakuasi batu di duktus koledokus, (2) kolesistektomi
laparoskopi ditujukan untuk mengangkat batu empedu, (3) drainase cairan
menggunakan kateter perkutan baik dengan panduan USG maupun CT
scanatau transluminal endoskopik, (3) nekrosektomimelalui transluminal
endoskopik, nekrosektomi transabdomen laparoskopi, atau debridement
retroperitoneal yang dipandu dengan video (video-assisted retroperitoneal
debridement), (4) laparotomi terbuka direkomendasikan untuk
mengevakuasi timbunan cairan yang sudah dibungkus dengan kapsul yang
tebal (walled–off)
Tindakan bedah terbuka menjadi pilihan utama apabila rumah sakit tidak
mempunyai fasilitas, peralatan dan keterbatasan sumber daya manusia
yang memiliki kompetensi metode invasif minimal. Indikasi intervensi
pankreatitis akut adalah (1) pankreatitis nekrosis terinfeksi, (2) pankreatitis
nekrosis steril dengan penyulit (misalnya adanya obstruksi duktus
koledokus, gastric outlet obstruction), (3) gagal organ multipel yang tidak
membaik dengan terapi yang diberikan selama di ICCU, (4) pseudokista
pankreas simptomatik, (5) pankreatitis biliar akut dengan kolangitis, (6)
pankreatitis akut dengan batu empedu.

2.3 Anestesi umum


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen triasanestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi
otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasasakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadiumanestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinyakelebihan dosis

16
.Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis
operasi yang dilakukan,dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika
yang ideal antara lain mudahdidapat, murah, tidak menimbulkan efek samping
terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkanrelaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yangaman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah,mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping
yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas

Faktor yang mempengaruhi anestesi umum


2.3.1 Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke
dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane
alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika,
sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial
dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.

17
2.3.2 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Factor-faktor yang
mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan
dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.

2.3.3 Faktor jaringan


1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah : ligament dan tendon.

18
2.3.4 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat
anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan
(respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.

2.3.5 Tahapan Tindakan Anestesi Umum


2.3.5.1 Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

2.3.5.2 Penilaian pra bedah


1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya

19
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.

3. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

4. Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

5. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

20
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

2.3.5.3 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi

21
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
(muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan,
rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

2.3.5.4 Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam,
secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-
obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum
induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan

22
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.8
Obat-obat yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg) dosis Post operative :
IM : 0,005-0,2 mg/kgBB
IV : 0,03-0,15mg/kgBB

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis:


Intraoperatif anestesi: 2-50 mcg/kgBB (IV)
analgetik: 0,5-1,5 mg/kgBB (IV)
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis:
Induksi : 1-2 mg/kgBB (IV)
3-5 mg/kgBB (IV)
Maintenace infus : 10-2- mcg/kgBB (IV)
Analgetik atau sedasi: 2,5-15 mcg/kgBB (IV)
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis
Premedikasi: 0,2-0,5 mg/kgBB (oral)
Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg/BB (IV)
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
:
Premedikasi : 0,07-0,15mg/kgBB (IM)
Sedasi : 0,01-0,1 mg/kg/BB (IV)
Induksi : 0,1-0,4 mg/kgBB (IV)

23
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg),
dosis:
Induksi: 1-2,5 mg/kgBB (IV)
Maintenance infus: 50-200 mcg/kgBB (IV)
Infus sedasi: 25-100 mcg/kgBB (IV)
5. Antiemetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.

2.3.5.5 Induksi Anastesi


Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T :Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A :Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.

24
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

2.3.5.6 Stadium Anestesi


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium
pertama berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai
respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti
jantung.

Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat
pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya
rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir
dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek
refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I
dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan
reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan
kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.

25
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.4 Hipertensi
Pasien dengan hipertensi sering hadir prosedur bedah elektif.
Beberapa akan dikelola secara efektif, tetapi sayangnya, banyak lainnya tidak
akan. Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat di sebagian besar
masyarakat Barat dan kelainan medis pra operasi yang paling umum pada
pasien bedah, dengan prevalensi keseluruhan dari 20% hingga 25%.
Hipertensi yang tidak terkontrol sejak lama mempercepat aterosklerosis dan
hipertensi kerusakan organ. Hipertensi adalah faktor risiko utama untuk
penyakit jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah. Komplikasi hipertensi
termasuk MI, kongestif gagal jantung, stroke, gagal ginjal, perifer penyakit
oklusif, dan diseksi aorta. Kehadiran hipertrofi ventrikel kiri (LVH) di
Indonesia pasien hipertensi mungkin merupakan prediktor penting mortalitas
jantung. Namun, darah sistolik tekanan di bawah 180 mm Hg, dan tekanan
diastolik di bawah 110 mm Hg, belum dikaitkan dengan peningkatan risiko
perioperatif. Ketika pasien hadir dengan tekanan darah sistolik lebih dari 180
mm. Β-blocker intravena dapat berguna untuk mengobati pra operasi
hipertensi. Dari catatan, pasien dengan pra operasi hipertensi lebih mungkin
daripada yang lain pengembangkan hipotensi intraoperatif. Ini khususnya
sering pada pasien yang diobati dengan angiotensin blocker reseptor dan /
atau konversi angiotensin inhibitor enzim (ACE). Pengukuran tekanan darah
dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk postur, waktu atau hari malam,
keadaan emosi, aktivitas terkini, dan narkoba asupan, serta peralatan dan
teknik yang digunakan. Diagnosis hipertensi tidak dapat dibuat oleh
seseorang membaca sebelum operasi, tetapi membutuhkan konfirmasi oleh
sejarah pengukuran yang meningkat secara konsisten. Meskipun kecemasan

26
atau rasa sakit pra operasi dapat menghasilkan beberapa derajat hipertensi
pada pasien normal, pasien dengan riwayat hipertensi pada umumnya
menunjukkan peningkatan preoperatif yang lebih besar dalam darah tekanan.
Studi epidemiologis menunjukkan langsung dan korelasi
berkelanjutan antara keduanya diastolik dan tekanan darah sistolik dan angka
kematian. Definisi hipertensi sistemik adalah sewenang-wenang: a secara
konsisten peningkatan tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm Hg
atau tekanan sistolik lebih besar dari 140 mm Hg. Skema klasifikasi yang
umum adalah tercantum dalam. Dikatakan bahwa hipertensi batas ada ketika
tekanan diastolik adalah 85-89 mm Hg atau tekanan sistolik 130–139 mm Hg.
Apakah pasien dengan hipertensi batas ada di beberapa peningkatan risiko
komplikasi kardiovaskular masih belum jelas. Hipertensi yang dipercepat
atau parah (Tahap 3), didefinisikan sebagai yang baru, berkelanjutan, dan
progresif peningkatan tekanan darah, biasanya dengan diastolik tekanan darah
lebih dari 110-119 mm Hg. Disfungsi ginjal sering terjadi pada pasien
tersebut. Hipertensi maligna adalah keadaan darurat medis yang sebenarnya
ditandai dengan hipertensi berat (> 210 /120 mm Hg) sering dikaitkan dengan
papilledema dan ensefalopati.
a. Patofisiologi
Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial), atau, lebih jarang,
sekunder dari kondisi medis lainnya seperti penyakit ginjal, stenosis
arteri renalis, hyperaldosteronism primer, penyakit Cushing, akromegali,
pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi estrogen. Akun hipertensi
esensial untuk 80% hingga 95% kasus dan dapat dikaitkan dengan
peningkatan garis dasar yang tidak normal dari curah jantung, resistensi
vaskular sistemik (SVR), atau keduanya. Sebuah pola yang berkembang
umumnya terlihat selama kursus penyakit, di mana output jantung
kembali ke (atau tetap) normal, tetapi SVR menjadi tidak normal tinggi.
Peningkatan kronis akibat akibat jantung kambuh dalam LVH konsentris
dan fungsi diastolik yang berubah. Hipertensi juga mengubah
autoregulasi otak, sedemikian rupa sehingga aliran darah otak normal

27
dipertahankan dalam menghadapi tekanan darah tinggi; autoregulasi
batas mungkin dalam kisaran tekanan darah rata-rata 110-180 mm Hg.
Mekanisme bertanggung jawab atas perubahan diamati pada pasien
hipertensi tampaknya melibatkan hipertrofi vaskular, hiperinsulinemia,
abnormal peningkatan kalsium intraseluler, dan meningkat konsentrasi
natrium intraseluler dalam pembuluh darah otot polos dan sel tubulus
ginjal. E peningkatan kalsium intraseluler mungkin hasil dalam nada
arteriol meningkat, sedangkan meningkat konsentrasi natrium merusak
ekskresi ginjal sodium. Sistem saraf simpatis terlalu aktif dan
meningkatkan respons terhadap agonis simpatik hadir pada beberapa
pasien. Pasien hipertensi terkadang menampilkan respons berlebihan
terhadap vasopresor dan vasodilator. Terlalu aktif dari Sistem renin-
angiotensin-aldosteron tampaknya memainkan peran penting pada pasien
dengan akselerasi hipertensi.
b. Perawatan Jangka Panjang
Terapi obat yang efektif mengurangi perkembangan hipertensi dan
kejadian stroke, kongestif gagal jantung, CAD, dan kerusakan ginjal.
Efektif pengobatan juga dapat menunda dan kadang-kadang
membalikkan secara bersamaan perubahan patofisiologis, seperti LVH
dan autoregulasi otak yang berubah. Beberapa pasien dengan hipertensi
ringan membutuhkan hanya terapi obat tunggal, yang mungkin terdiri
dari thiazide diuretik, inhibitor ACE, angiotensin-receptor blocker
(ARB), β-adrenergic blocker, atau kalsium channel blocker, meskipun
pedoman dan hasil studi mendukung tiga opsi pertama. Seiring penyakit
harus memandu pemilihan obat. Semua pasien dengan MI sebelumnya
harus menerima β-adrenergik blocker dan ACE inhibitor (atau ARB)
untuk ditingkatkan hipertensi. Pada banyak pasien, "pedoman
ditentukan" agen juga akan lebih dari cukup untuk mengendalikan
hipertensi. Pasien dengan hipertensi sedang hingga berat seringkali
memerlukan dua atau tiga obat untuk kontrol. Kombinasi diuretik dengan
β-adrenergik blocker dan penghambat ACE sering kali efektif terapi obat

28
tunggal tidak. Seperti disebutkan sebelumnya, ACE inhibitor (atau ARB)
memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien dengan gagal jantung
kongestif, disfungsi ventrikel kiri, atau MI sebelumnya. Keakraban
dengan nama-nama, mekanisme aksi, dan efek samping yang umum agen
antihipertensi yangdigunakan penting untuk ahli anestesi
c. Managemen Praoperatif
Pertanyaan berulang dalam praktik anestesi adalah tingkat
hipertensi sebelum operasi yang dapat diterima untuk pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif. Kecuali untuk pasien yang
dikendalikan secara optimal, sebagian besar hipertensi pasien datang ke
ruang operasi dengan beberapa derajat hipertensi. Meskipun data
menyarankan itu bahkan hipertensi pra operasi moderat (diastolik
tekanan <90-110 mm Hg) tidak jelas secara statistik terkait dengan
komplikasi pasca operasi, data lain menunjukkan bahwa yang tidak
diobati atau tidak terkontrol pasien hipertensi lebih cenderung mengalami
episode intraoperatif iskemia miokard, aritmia, atau keduanya hipertensi
dan hipotensi. Penyesuaian intraoperatif dalam kedalaman anestesi dan
penggunaan obat vasoaktif harus mengurangi kejadian tersebut
komplikasi pasca operasi merujuk pada orang miskin kontrol hipertensi
sebelum operasi. Meski idealnya pasien harus menjalani operasi elektif
hanya ketika diberikan normotensif, ini tidak selalu layak atau perlu
diinginkan karena perubahan autoregulasi otak. Penurunan tekanan darah
yang berlebihan bisa membahayakan perfusi otak. Apalagi keputusannya
untuk menunda atau melanjutkan operasi harus individual, berdasarkan
tingkat keparahan pra operasi peningkatan tekanan darah; kemungkinan
hidup bersama iskemia miokard, disfungsi ventrikel, atau komplikasi
serebrovaskular atau ginjal; dan prosedur bedah (apakah mayor
perubahan yang disebabkan pembedahan dalam preload jantung atau
afterload diantisipasi). Dengan pengecualian langka, Terapi obat
antihipertensi harus dilanjutkan hingga saat operasi. Beberapa dokter

29
tahan ACE inhibitor dan ARB di pagi hari operasi karena hubungannya
dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif
Namun, menahan agen ini meningkat risiko hipertensi perioperatif
yang ditandai dan kebutuhan akan agen antihipertensi parenteral. Ini juga
mengharuskan tim bedah untuk mengingatnya restart obat setelah
operasi. Keputusan untuk menunda prosedur bedah elektif pada pasien
dengan tekanan darah diastolik pra operasi berkelanjutan lebih tinggi dari
110 mm Hg harus dibuat kapan manfaat yang dirasakan dari operasi yang
tertunda melebihi risikonya. Sayangnya, ada beberapa yang sesuai studi
untuk memandu pengambilan keputusan.
d. Sejarah
Riwayat praoperasi harus menanyakan keparahan dan durasi
hipertensi terapi obat saat ini diresepkan, dan keberadaannya atau
tidak adanya komplikasi hipertensi. Gejala iskemia miokard, ventrikel
kegagalan, gangguan perfusi otak, atau perifer penyakit pembuluh
darah harus ditimbulkan, begitu pula dengan catatan kepatuhan pasien
dengan rejimen obat. Pasien harus ditanyai tentang nyeri dada,
toleransi olahraga, sesak napas (terutama pada malam hari), edema
dependen, postural pusing, sinkop, gangguan visual episodik atau
gejala neurologis episodik, dan klaudikasio. Efek samping dari
antihipertensi saat ini
e. Pemeriksaan Fisik dan Evaluasi Lboratorium
Oftalmoskopi bermanfaat pada pasien hipertensi. Perubahan yang
terlihat pada pembuluh darah retina biasanya sejajar keparahan dan
perkembangan arteriosklerosis dan kerusakan hipertensi pada organ
lain. Sebuah S4 cardiac gallop umum terjadi pada pasien dengan LVH.
Temuan fisik lainnya, seperti pulmonary rales dan S3 jantung berpacu,
adalah temuan terlambat dan menunjukkan gagal jantung kongestif.
Tekanan darah bisa diukur pada posisi terlentang dan berdiri.
Perubahan ortostatik dapat disebabkan oleh penurunan volume,
vasodilatasi berlebihan, atau obat simpatolitik terapi; administrasi

30
cairan preoperatif dapat mencegah hipotensi berat setelah induksi
anestesi pada pasien ini. Meski tanpa gejala karotid bruit biasanya
tidak dapat didiagnosis secara hemodinamik, mereka mungkin
mencerminkan vaskular aterosklerotik penyakit yang dapat
mempengaruhi sirkulasi koroner. Ketika bruit terdeteksi, pemeriksaan
lebih lanjut harus dilakukan dipandu oleh urgensi dari operasi yang
dijadwalkan dan kemungkinan bahwa penyelidikan lebih lanjut, jika
diagnostik, akan menghasilkan perubahan terapi. Doppler studi tentang
arteri karotis dapat digunakan untuk mendefinisikan luasnya penyakit
karotis. EKG sering normal, tetapi pada pasien dengan EKG sejarah
panjang hipertensi, mungkin menunjukkan bukti iskemia, kelainan
konduksi, yang lama infark, atau LVH atau tekanan. EKG normal
tidak tidak termasuk CAD atau LVH. Begitu pula dengan ukuran
jantung normal pada foto thoraks tidak termasuk ventrikel hipertrofi.
Ekokardiografi adalah tes sensitif terhadap LVH dan dapat digunakan
untuk mengevaluasi sistolik ventrikel dan fungsi diastolik pada pasien
dengan gejala gagal jantung. Radiografi toraks jarang bermanfaat pada
pasien tanpa gejala, tetapi dapat menunjukkan bentuk boot jantung
(sugestif dari LVH), kardiomegali jujur, atau kongesti vaskular paru.
Fungsi ginjal sebaiknya dievaluasi dengan pengukuran serum kreatinin
dan nitrogen urea darah level. Kadar elektrolit serum (K) seharusnya
ditentukan pada pasien yang menggunakan diuretik atau digoksin atau
mereka dengan gangguan ginjal. Ringan sampai sedang hipokalemia
(3–3,5 mEq / L) sering terlihat di pasien yang menggunakan diuretik,
tetapi tidak memiliki efek samping. Pengganti kalium harus hanya
dilakukan pada pasien yang simtomatik atau yang juga menggunakan
digoxin. Hipomagnesemia sering hadir dan mungkin menjadi
penyebab perioperatif aritmia. Hiperkalemia dapat ditemukan pada
pasien yang menggunakan diuretik hemat kalium atau ACE inhibitor,
khususnya mereka yang mengalami gangguan fungsi ginjal.

31
f. Premedikasi
Premedikasi mengurangi kecemasan pra operasi dan diinginkan pada
pasien hipertensi. Ringan sampai sedang hipertensi sebelum operasi
sering dipecahkan berikut administrasi agen seperti midazolam.
g. Intraoperatif

Rencana anestesi keseluruhan untuk pasien hipertensi adalah


untuk mempertahankan tekanan darah stabil yang sesuai jarak. Pasien
dengan hipertensi batas mungkin diperlakukan sebagai pasien
normotensif. Itu sudah lama atau hipertensi yang tidak terkontrol,
telah mengubah autoregulasi darah otak aliran; lebih tinggi dari
tekanan darah rata-rata normal diperlukan untuk mempertahankan
darah otak yang memadai mengalir. Karena kebanyakan pasien sudah
lama. Hipertensi dianggap memiliki beberapa unsur CAD dan
hipertrofi jantung, darah berlebih peningkatan tekanan tidak
diinginkan. Hipertensi, khususnya dalam hubungan dengan takikardia,
bisa mengendapkan atau memperburuk iskemia miokard, disfungsi
ventrikel, atau keduanya. Darah arteri tekanan umumnya harus dijaga
dalam 20% dari tingkat pra operasi. Jika ditandai hipertensi (> 180 /
120 mm Hg) ada sebelum operasi, darah arteri. Tekanan harus dijaga
dalam kondisi normal-tinggi kisaran (150–140 / 90–80 mm Hg).

Pemantauan

Kebanyakan pasien hipertensi tidak memerlukan khusus monitor


intraoperatif. Tekanan intraarterial langsung pemantauan harus
disediakan untuk pasien dengan ayunan lebar dalam tekanan darah
dan mereka yang menjalani prosedur bedah utama yang terkait dengan
cepat atau perubahan yang ditandai pada preload jantung atau
belakang beban Pemantauan elektrokardiografi harus difokuskan
mendeteksi tanda-tanda iskemia. Output urin harus umumnya dipantau
dengan kencing yang menetap kateter pada pasien dengan gangguan

32
ginjal yang sudah ada sebelumnya yang sedang menjalani prosedur
diharapkan bertahan lebih dari 2 jam. Ketika hemodinamik invasif
pemantauan digunakan, kepatuhan ventrikel berkurang sering terlihat
pada pasien dengan hipertrofi ventrikel; pasien-pasien ini mungkin
membutuhkan cairan intravena lebih banyak untuk menghasilkan yang
lebih tinggi tekanan tekanan untuk mempertahankan ventrikel kiri
yang memadai volume end-diastolik dan curah jantung. Volume
administrasi pada pasien dengan penurunan ventrikel kepatuhan juga
dapat menyebabkan peningkatan paru tekanan arteri dan kongesti
paru.

Induksi

Induksi anestesi dan intubasi endotrakeal sering dikaitkan dengan


ketidakstabilan hemodinamik dalam pasien hipertensi. Terlepas dari
level kontrol tekanan darah sebelum operasi, banyak pasien dengan
hipertensi menunjukkan aksentuasi respon hipotensi terhadap induksi
anestesi, diikuti oleh respon hipertensi yang berlebihan untuk intubasi.
Banyak, jika tidak sebagian besar, agen antihipertensi dan anestesi
umum adalah vasodilator, jantung depresan, atau keduanya. Selain itu,
banyak penderita hipertensi pasien hadir untuk operasi dalam volume
yang habis negara. Agen simpatolitik menipiskan pelindung normal
pengeluaran refl sirkulasi, mengurangi simpatik nada dan
meningkatkan aktivitas vagal. Hingga 25% dari pasien hipertensi
dapat menunjukkan hipertensi berat setelah intubasi endotrakeal.
Laringoskopi yang berkepanjangan harus dihindari. Selain itu,
intubasi umumnya harus dilakukan di bawah anestesi dalam (asalkan
hipotensi dapat dihindari). Salah satu dari beberapa teknik dapat
digunakan sebelum intubasi untuk melemahkan hipertensi tanggapan:

 Anestesi yang dalam dengan volatile yang kuat agen

33
 Mengelola bolus opioid (fentanyl, 2,5–5 mcg / kg; alfentanil, 15–25
mcg / kg; sufentanil, 0,5-1,0 mcg / kg; atau remifentanil, 0,5–1 mcg /
kg).
 Pemberian lidokain, 1,5 mg / kg intravena, intratrakeal, atau topikal di
jalan napas
 Mencapai blokade β-adrenergik dengan esmolol, 0,3–1,5 mg / kg;
metoprolol 1–5 mg; atau labetalol, 5-20 mg.

Pilihan Agen Anestesi

A. Agen Induksi

Keunggulan dari setiap agen atau teknik lebih yang lain belum
didirikan. Propofol, barbiturat, benzodiazepin, dan etomidat sama
aman untuk menginduksi anestesi umum pada sebagian besar
penderita hipertensi pasien. Ketamin dengan sendirinya dapat
mengendap ditandai hipertensi; Namun, hampir tidak pernah
digunakan sebagai agen tunggal. Ketika diadministrasikan dengan
dosis kecil agen lain, seperti benzodiazepin atau propofol, stimulasi
simpatik ketamin properti bisa tumpul atau dihilangkan.

B. Agen Pemeliharaan

Anestesi dapat dilanjutkan dengan aman dengan volatile agen


(sendiri atau dengan nitro oksida), seimbang teknik (opioid + nitro
oksida + relaksan otot), atau teknik intravena total. Bagaimanapun
juga dari teknik perawatan utama, penambahan agen volatile atau
vasodilator intravena umumnya memungkinkan tekanan darah
intraoperatif yang nyaman kontrol.

C. Relaksan Otot

Dengan kemungkinan pengecualian dosis bolus besar


pancuronium, relaksan otot apa pun dapat digunakan. Blokade vagal

34
yang diinduksi pancuronium dan saraf pelepasan katekolamin bisa
memperburuk hipertensi pada pasien yang tidak terkontrol, tetapi, jika
diberikan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, pancuronium tidak
mungkin menyebabkan peningkatan yang penting secara medis detak
jantung atau tekanan darah. Apalagi pancuronium dapat berguna
dalam mematikan vagal yang berlebihan nada yang disebabkan oleh
opioid atau manipulasi bedah. Hipotensi setelah dosis besar (intubasi)
atracurium dapat ditekankan pada hipertensi pasien.

Vasopresor

Penderita hipertensi bisa terlihat berlebihan menanggapi kedua


katekolamin endogen (dari stimulasi intubasi atau bedah) dan agonis
simpatis yang diberikan secara eksogen. Jika vasopressor diperlukan
untuk mengobati yang berlebihan hipotensi, dosis kecil agen yang
bekerja langsung, seperti fenilefrin (25-50 mcg), mungkin bermanfaat.
Pasien yang menggunakan simpatolitik sebelum operasi dapat
menunjukkan respons yang menurun terhadap efedrin Vasopresin
sebagai bolus atau infus juga bisa digunakan untuk mengembalikan
tonus pembuluh darah di hipotensi sabar.

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi intraoperatif tidak menanggapi suatu peningkatan


kedalaman anestesi (terutama dengan volatile agen) dapat diobati
dengan berbagai parenteral agen. Penyebab yang mudah dibalik
seperti kedalaman anestesi yang tidak memadai, hipoksemia, atau
hiperkapnia — harus selalu dikecualikan sebelumnya memulai terapi
antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada keparahan,
ketajaman, penyebab hipertensi; ventrikel dasar fungsi; detak jantung;
kehadiran dari penyakit paru bronkospastik; dan ahli anestesi terbiasa
dengan masing-masing pilihan obat. Blokir β-Adrenergik sendiri atau
sebagai suplemen pilihan yang baik untuk pasien dengan ventrikel

35
yang baik fungsi dan detak jantung yang meningkat, tetapi relatif
dikontraindikasikan pada pasien dengan bronkospastik penyakit.
Metoprolol, esmolol, atau labetolol sudah siap digunakan secara
intraoperatif. Nikardipin atau clevidipine mungkin lebih baik daripada
β-blocker untuk pasien dengan penyakit bronkospastik. Nitroprusside
tetap menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk intraoperatif
pengobatan hipertensi sedang hingga berat. Nitrogliserin mungkin
kurang efektif, tetapi juga bermanfaat dalam mengobati atau
mencegah iskemia miokard. Fenoldopam, agonis dopamin, juga
bermanfaat agen hipotensi; selain itu, meningkatkan ginjal aliran
darah. Hydralazine menyediakan darah berkelanjutan kontrol tekanan,
tetapi juga memiliki onset dan kaleng tertunda menyebabkan refleks
takikardia. Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena
kombinasi α- dan β-adrenergik blokade.

h. Postoperatif
Hipertensi pasca operasi adalah umum dan harus diantisipasi pada
pasien yang memiliki kontrol yang ruang dan periode pasca operasi
awal. Sebagai tambahan untuk iskemia miokard dan jantung kongestif
kegagalan, ditandai peningkatan darah yang berkelanjutan. Tekanan
dapat berkontribusi pada pembentukan luka hematoma dan gangguan
jahitan vaskular garis. Hipertensi pada masa pemulihan sering bersifat
multifaktorial dan ditingkatkan oleh kelainan pernapasan, kecemasan
dan rasa sakit, volume yang berlebihan, atau kandung kemih distensi.
Penyebab yang berkontribusi harus diperbaiki dan agen antihipertensi
parenteral diberikan jika perlu. Labetalol intravena sangat berguna
dalam mengendalikan hipertensi dan takikardia, sedangkan vasodilator
bermanfaat dalam mengendalikan tekanan darah dalam pengaturan
denyut jantung yang lambat. Ketika pasien melanjutkan asupan oral,
obat-obatan pra operasi harus dimulai kembali.

36
2.5 Oropharyngeal Airway (OPA)
Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat yang berfungsi membantu
ventilasidengan cara mencegah lidah jatuh ke belakang dan menutup saluran
nafas. Walaudemikian penempatan OPA kurang justru dapat mendorong
lidah kearahhipofaringdan menjadiobstruksi. karena berada di dalam mulut.
OPA hanyadigunakkan pada pasien tanpa reflek batuk maupun muntah. ini
adalah salah satuketerbatasan OPA disbanding nasopharyngeal airways yang
dapat dipasang untuk membuka jalan nafas bahkan pada pasien dengan reflek
batuk dan muntah yang masih ada.
Ada beberapa kegunaan dari oropharingeal seperti:
- pencegah lidah jatuh kebelakang yang menutup saluran nafas.
- Pembuka jalan pernafasan karena lidah yang sudah terlanjur
menutupsaluran nafas.

Pemasangan OPA
1. Langkah pertama yaitu cuci tangan atau menggunakan sarung tangan
2. Pilihlah ukuran OPA yang sesuai dengan pasien. Hal ini mungkin
dilakukan dengan menempatkan jalan napas dipipi pasien dengan bagian
datar dibibir.ujung dari jalan napas harus ada didagu pasien.
3. Balik jalan napas OPA sehingga jalan napasnya menghadap ke muka.
Mulai untuk memasukkan OPA kedalam mulut. Sebagaimana OPA
mendekati dinding posterior faring dekat lidah belakang.
4. Putar OPA pada posisi yang seharusnya (180 derajat) gunakan penekan
lidah. Gerakkan lidah keluar untuk menghindari terdorong ke belakang
masuk faring posterior.
5. Jika refleks cegukan pasien terangsang, cabut OPA dengan segera dan
masukkan kembali.
6. Fiksasi OPA dengan plester dan letakkan dipipi dan melintasi bagian
datar dari OPA, pada bibir pasien.

37
Gambar 2 Opa

2.6 Intubasi trakea


2.6.1 Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea
kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-
kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi. (Mangku, 2010)

2.6.2 Ukuran ETT


Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak
bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah

38
daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm
dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral panjang
pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus (Latief,
2007):
diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

Rumus lain: (umur + 2)/2


Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan


pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang
lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat
besarnya jari kelingkingnya.

2.6.3 Indikasi Intubasi Trakhea


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut (Latief, 2007):
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
c. Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan
relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi.

39
2.6.4 Kotraindikasi ETT
Menurut Morganz (2018) ada beberapa kondisi yang diperkirakan
akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek,
gigi moncong.

2.6.5 Pemasangan Intubasi Endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut
(Latief, 2007):
a. Persiapan Alat (STATICS):
b. Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin
anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber
gas).
c. Sarung tangan steril
d. Xylocain jelly/ Spray 10%
e. Gunting plester
f. Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
g. Bantal kecil setinggi 12 cm
h. Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi
dan emergency).
Pelaksanaan
1) Mesin siap pakai

40
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

2.6.6 Komplikasi Intubasi


Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
a. Saat Intubasi

41
1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial,
posisi balon di laring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa
bibir dan lidah, dislokasi mandibula, luka daerah
retrofaring.
3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra
kranial dan intra okuler, laringospasme.
4) Kebocoran balon.
b. Saat ETT di tempatkan
1) Malposisi (kesalahan letak)
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka
lecet mukosa hidung.
3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c. Setelah ekstubasi
Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan, Laringospasme

2.7 Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.

2.8 Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan

42
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
room (RR).

2.8.1 Aldrete Score


A. Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0
B. Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0
C. Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
D. Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0
E. Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan,

43
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Tn.Irlansyah Bin Wahab
Umur : 49 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Demak Seberang Ulu I Palembang
Tanggal MRS : 21 Mei 2019
No. RM : 57.45.00

II. Anamnesis ( Autoanamnesis)


A. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri perut bagian tengah dan perut kanan
bawah SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien mengeluh nyeri di perut bagian tengah dan perut kanan bawah sejak
1 hari SMRS. Awalnya 2 hari yang lalu pasien mengaku nyeri di ulu hati, lalu
pasien dibawa ke IGD RSUD Palembang Bari, namun hanya dinatakan bahwa
pasien mengalami penyakit maag sehingga pasien pulang. Keesokan harinya
keluhan nyeri semangkin hebat dan menjalar ke perut bagian tengah dan perut
kanan bawah. Keluhan mual, muntah (+), nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,
keluhan nyeri tidak di pengaruhi aktivitas

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma disangkal

44
Riwayat Diabetes Melitus disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit serupa pada keluarga disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
BB : 60 Kg
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit, reguler
Nadi : 72 x/m (isi dan tegangan cukup)
Suhu : 37,80C

2. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata :Conjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-), pupil bulat,
Isokor.
Hidung :Sekret, darah (-)
Mulut :Mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-),
oral trush (-), Malampati II
Leher : Jejas (-), deformitas (-), Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru :Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan = kiri,
sonor, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

45
Abdomen :Cembung, tegang, BU (+) normal. Nyeri tekan perut
bagian tengah (+), nyeri tekan (+) di Mc burney, rovsing sign (-), blumbreg
sign (-), obturator sign (-)

Ekstremitas :Akral hangat, pucat (-), CRT < 2 detik, edema (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (21 Mei 2019)
Hematologi Hasil Rujukan
Hemoglobin 16,2 12-14gr/dl
Leukosit 19.000 5000-10.000/uL
Trombosit 176.000 150.000-400.000/uL
Hematokrit 47 37-43%
Hitung jenis 0/0/2/84/7/7 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8
ABO group type in O
blood
Rh (type) in blood +/positif
Golongan darah
Natrium 138 135-155
Kalium 4,28 3.6-6.5
GDS 110 <180
SGOT 65 <37
SGPT 49 <41
Protein total 6.39 6.7-8.7
Albumin 2.44 3.8-5.1
Globulin 4.15 1.5-3
Ureum 58 20-40
Creatinin 1.19 0.9-1.3
Kalsium 8.53 8.1-10.4

46
V. Diagnosis Kerja
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka diagnosis pada pasien ini yaitu peritonitis et causa pancreatitis akut +
hipertensi

VI. Terapi
- IVFD RL gtt. 60 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 1x1600 mg drip NaCl 1 %
- Inj. Metronidazole 3 x 500 mg (iv)
- Inj. Ketorolac 2 x 30 mg (iv)
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg (iv)

VII. Rencana Anestesi


a. Jenis pembedahan : Laparotomi
b. Jenis anestesi : General anestesi
c. Lama anestesi: : 1 jam 30 menit
d. Lama tindakan : 1 jam 15 menit
e. Tehnik anestesi :Anestesi umum dengan propofol 42 mg dan
Fentanyl 42 ųg
ETT No 7,5
Gas: N2O, 02, Sefofluran.
f. Premedikasi :Tidak ada
g. Medikasi tambahan : - Ondansentrone 4 mg
- Dexametahsone 5 mg

VIII. Durante Operasi (Catatan Anestesi)


Mulai anestesi : 22 Mei 2019, pukul 09.00 WIB
Lama anestesi : 1 jam 30 menit

47
Lama operasi : 1 jam 15 menit

1. Status Fisik ASA


ASA II

2. Penyulit Praanestesi
Tidak Ada

3. Checklist Sebelum Induksi


- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan :+

4. TeknikAnestesi
General Anestesi dengan pemasangan Intubasi

5. Monitoring
 SpO2 :+
 TD :+
 HR :+

6. Posisi Pasien
Terlentang

7. Premedikasi
Tidak ada

8. Induksi
- Intravena : Fentanyl, Propofol

48
- Inhalasi : Sevoflurane, O2, N2O.
- ETT ukuran 7,5

9. Observasi Tanda Vital

Tekanan
Pukul Nadi SpO2 Cairan Infus
Darah
09.10 140/90 90 100 RL

09.25 140/90 92 100 RL

09.40 130/90 90 100 RL

09.55 130/90 80 100 RL

10.10 130/90 80 100 Asering

Lama Tindakan
 Lama pembiusan : 1 Jam 30 menit
 Lama pembedahan : 1 jam 15 menit

IX. Post Operasi


a. Operasi berakhir pukul 10:15 WIB.
Selesai operasi pasien sadar kemudian pasien dipindahkan ke
Ruang Pemulihan (Recovery Room).
b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
 Keadaan umum : tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Nadi : 98x/menit
 Respirasi : 20 x/menit
 Jalan Napas: Clear
 Pernafasan: Spontan

Skor ALDRETTE : 10
- Aktivitas :2
- Sirkulasi :2

49
- Pernafasan :2
- Kesadaran :2
- WarnaKulit :2

Pindah ke Ruang Rawat Inap

1. Intruksi Pasca Bedah


Bila kesakitan : sesuai instruksi Dokter bedah
Bilamual/muntah : sesuai instruksi Dokter bedah
Antibiotik : sesuai instruksi Dokter bedah
Obat-obatan lain : sesuai instruksi Dokter bedah
Infus : IVFD RL
Minum : sesuai instruksi Dokter bedah
Pemantauan Tanda Vital : - Tiap 30 menit selama 24 jam

50
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini Tn I, 49 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Daerah


Palembang Bari pada tanggal 21 Mei 2019 dengan diagnosis pre operatif
peritonitis et causa pancreatitis akut dan memasuki ruang operasi untuk menjalani
operasi pembedahan peritonitis et causa pancreatitis akut pada tanggal 22 Mei
2019 pukul 09.00 WIB.
Pasien mengeluh nyeri di perut bagian tengah dan perut kanan bawah
sejak 1 hari SMRS. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, pasien dinyatakan mengalami pankreatitis akut kemudian
dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan pembedahan laparotomi.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan, tekanan darah: 160/110
mmHg, nadi: 72 x/menit, respirasi: 20x/menit, suhu: 37,8OC.
Tindakan Preoperative pada pasien ini meliputi autoanamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari autoanamnesis didapatkan bahwa pasien
nyeri pada bagian tengah perut sejak 1 hari SMRS. Awalnya 2 hari yang lalu
pasien mengaku nyeri di ulu hati, lalu pasien dibawa ke IGD RSUD Palembang
Bari, namun hanya dinatakan bahwa pasien mengalami penyakit maag sehingga
pasien pulang. Keesokan harinya keluhan nyeri semangkin hebat dan menjalar ke
perut bagian tengah dan perut kanan bawah. Keluhan mual, muntah (+), nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk, keluhan nyeri tidak di pengaruhi aktivitas.
Sehingga pasien di diagnosa mengalami peritonitis ec causa pancreatitis
akut. Pada pasien juga telah dilakukan pemeriksaan darah berupa hemoglobin,
eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit, hitung jenis, GDS, SGOT, SGPT, protein
total, albumin, globulin, ureum, creatinin, kalsium, natrium, kalium, golongan
darah, serta penilaian kebugaran fisik berdasarkan The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Menurut American Society of Anasthesiologist, status

51
ASA pada pasien ini adalah ASA II. ASA II menunjukkan bahwa Pasien dengan
penyakit sistemik ringan atau sedang. Sedangkan skor Mallampati untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi dilakukan dengan
pemeriksaan jalan nafas dimana pasien diminta untuk membuka mulut dengan
lebar maksimal dan posisi protusi lidah didapatkan bahwa palatum molle,
sebagian uvula, dinding posterior uvula dapat terlihat jelas. Berdasarkan
klasifikasi mallampati tersebut, mallampati I dan II dikategorikan mudah intubasi,
sedangkan mallampati III dan IV terkadang sulit. Pada kasus ini didapatkan skor
mallampatinya adalah I.
Penatalaksanaan pada peritonitis ec causa pankreatitis akut meliputi
tindakan operatif laparotomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko komplikasi gagal organ dan sistemik.
Operasi dilakukan pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 09.00 WIB. Setelah
dilakukan pemasangan Non invasive blood pressure (NIBP) dan O2 didapati hasil
TD 140/90 mmHg; Nadi 90x/menit, dan SpO2100%.
Pada kasus ini, pasien tidak diberikan premedikasi. Premedikasi diberikan
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi.
Pada tahap awal induksi anestesi, pasien diberi injeksi IV Fentanyl secara
perlahan. Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 2-150mcg/kgBB IV. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding
dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl yang lebih rendah
telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam
anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Fentanyl juga diberikan dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah.
Pemberian fentanyl bertujuan untuk memberikan efek analgesia pada pasien
karena pada saat diberikan propofol pasien akan merasakan kesakitan. Pada kasus
ini diberikan fentanyl dengan 42 mcg.

52
Kemudian dilakukan induksi anestesi yaitu tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya tindakan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular
atau rektal. Pada kasus ini dilakukan induksi dengan injeksi intravena Propofol.
Propofol dipilih karena obat ini memiliki onset yang cepat, serta duration of
action yang singkat, serta tidak menimbulkan halusinasi seperti pada pemberian
ketamin. Dosis pemberian propofol 2-2,5 mg/kgBB IV. Pada kasus ini diberikan
propofol 120 mg. Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60
menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat dari pada
thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid
dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya.
Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh
enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedatif yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal. Selain itu
Propofol sama aman untuk menginduksi anestesi umum pada sebagian besar
penderita hipertensi pasien.
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
pemasangan ETT No. 7,5, Dipilih manajemen jalan nafas dengan ETT merupakan
alat yang dapat mengisilasi jalan nafas, mempertahankan patensi, mencegah
aspirasi serta mempermudah ventilasi oksigenasi dan pengisapan.
Medikasi tambahan yang diberikan adalah ondancetron 4 mg dengan dosis
ondansentron 0,05-0,1 mg/kgbb. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor
serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan
mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang
refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya.

53
Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang
bisa menyebabkan aspirasi pada pasien saat operasi.
Saat tahap operatif berlangsung, dilakukan vital sign pasien dengan tujuan
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama peri anesthesia. Monitoring
dilakukan dengan menilai fungsi kardiovaskular (nadi, tekanan darah, banyaknya
perdarahan), monitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut, warna mukosa
bibir, kuku, ujung jari), dan oksimetri.
Setelah tindakan operatif dilakukan penilaian pulih sadar menurut Aldrete
Score ditemukan tingkat kesadaran dengan nilai 2, pernafasan dengan nilai 2,
tekanan darah dengan nilai 2, aktivitas dengan nilai 2, warna kulit dengan nilai 2
dan total nilai keseluruhan 10 yang menandakan pasien dapat dipindahkan
keruang rawat inap. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Aldrete score ≥ 8, tanpa
nilai 0, maka pasien dapat dipindah ke ruang perawatan.

54
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini Tn I, 49 tahun, Berat badan 60 kg, Pasien pada kasus ini
didiagnosis dengan peritonitis ec causa pancreatitis akut dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Untuk rencana penatalaksanaan pasien ini dengan tindakan
operatif laparotomi dengan anestesi general menggunakan ETT
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik darisegi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong, H. 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

2. Mansjoer, et al, 2000, Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid kedua.
Jakarta: FKUI
3. Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam.
Jakarta: EGC
4. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia
5. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa : Oswari J. Editor: Wulandari WD.
Penerbit : Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 : 134-141.
6. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto
Mangankusumo 2012 : Jakarta.
7. Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology. 5 th ed., Lane Medical
Books/MsGraw Hill, New York, 2013

56
57

Anda mungkin juga menyukai