Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

P3A0 Post Partum Spontan dengan Syok Hemoragik Grade IV e.c


Retensio Plasenta

Disusun oleh:
Ayu Aprilisa D Putri, S.Ked 04084821820010
Osi Rahmaini, S.Ked 04084821719001
Putri MKI Dunda, S.Ked 04084821820047
Vejitha Raja Kumar, S.Ked 04084821820050
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Jessica Jaclyn Ratnarajah, S.Ked 04084821820052

Pembimbing:
dr. Hari Ciptadi, SpAn

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul
SYOK HEMORAGIK GRADE IV e.c RETENSIO PLASENTA

Disusun oleh :
Ayu Aprilisa D Putri, S.Ked 04084821820010
Osi Rahmaini, S.Ked 04084821719001
Putri MKI Dunda, S.Ked 04084821820047
Vejitha Raja Kumar, S.Ked 04084821820050
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Jessica Jaclyn Ratnarajah, S.Ked 04084821820052

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Muhammad Hoesin Palembang Periode 13 Mei s.d. 19 Mei 2018.

Palembang, 16 Mei
2018
Pembimbing

dr. Hari Ciptadi, SpAn


BAB I
PENDAHULUAN

Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi
elektrolit di dalamnya tetap stabil adalah penting bagi homeostatis. Beberapa masalah
klinis timbul akibat adanya abnormalitas dalam hal tersebut. Untuk bertahan, kita
harus menjaga volume dan komposisi cairan tubuh, baik ekstraseluler (CES) maupun
cairan intraseluler (CIS) dalam batas normal. Gangguan cairan dan elektrolit dapat
membawa penderita dalam kegawatan yang kalau tidak dikelolam secara cepat dan
tepat dapat menimbulkan kematian. Hal tersebut terlihat misalnya pada diare,
peritonitis, ileus obstruktif, terbakar, atau pada pendarahan yang banyak.
Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah,
jaringan, dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang
negatif (anion) menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH dan
level asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar
dan dalam sel melalui suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan memegang
peraran dalam pengaturan fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi.
Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan dikeluarkan dalam
jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis dimana jumlah yang masuk
dan keluar tidak seimbang, harus segera diberikan terapi untuk mengembalikan
keseimbangan tersebut.
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identifikasi
Nama : Ny. S
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Wak Kemang, Kayuagung
No. RM : 00.54.37
MRS : 14 Mei 2018

II. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 14 Mei 2018)


A. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Riwayat melahirkan dengan plasenta belum lahir disertai
perdarahan dari kemaluan sejak + 8 jam lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 9 jam SMRS pasien melahirkan di dukun namun plasenta tidak lahir (+) lalu
pasien dibawa ke bidan, namun plasenta masih belum lahir. Pasien dibawa ke
RSUD Kayu Agung.

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat operasi disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat gangguan pembekuan darah disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit serupa pada keluarga atau riwayat keganasan disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen GCS 13 E2M6V5
Tekanan darah : 80/60 mmHg
Pernafasan : 32x/menit, reguler
Nadi : 130 x/m, isi dan tegangan tidak cukup
Suhu : 360C
BB : 50 kg

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, sentral
Diameter: 3mm/3mm, gigi palsu (-)
Hidung: Kering, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut: Mukosa bibir pucat (+) sianosis (-), buka mulut 3 jari, gigi goyang (-)
ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil: Arkus faring simetris,
uvula ditengah, palatum mole (+), tonsil T1– T1 (-), detritus (-), kripta tidak
melebar, tidak mudah berdarah, mento-hyoid distance: >60cm
Leher: JVP (5-2) cmH2O
Thoraks
Paru: Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor, vesikuler (+)
normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 126 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), timpani.
Ekstremitas: akral dingin, pucat (+), edema (-)
Genetalia: tampak perdarahan keluar dari kemaluan

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (09/04/2018)
Hb : 5,6 gr/dl
Eritrosit : 2,0 mm3
Leukosit : 30.200 mm3
Trombosit : 250.000 mm3
Ht : 17 %

D. Diagnosis Kerja
P3A0 post partum spontan dengan syok hemoragik e.c retensio plasenta

E. Terapi
a. Pre operatif
- IVFD RL 2 liter dalam 20-30 menit
- IVFD RL + drip oksitisin 2 ampul gtt xx/m (24jam)
- Observasi tanda vital (tensimeter, nadi, pernapasan, SPO2) dan urin
output
- Ondansetron 8mg IV
- Persiapan darah PRC 5X200cc
- Pasien dipuasakan (NDO)
Jenis pembedahan : curettage/kuretase & manual plasenta
Jenis anestesi : anestesi umum
Lama anestesi : 15 menit
Lama tindakan : 45 menit
Teknik anestesi : anestesi umum
b. Intra operatif
Mulai anestesi : 14 Mei 2018
Pukul : 8.00 pagi
Posisi : supinasi
Monitoring dipasang : TD : 80/60 mmHg, Nadi : 134X/min, RR : 32X/min,
SPO2 : 99%
Induksi : Injeksi midazolam 3mg, ketamine 80mg, fentanil 1mg
Intubasi ETT 6,5
Lama anestesi : 15 menit
Lama tindakan : 45 menit
Respirasi : spontan
Didapatkan : perdarahan 300cc, transfuse darah : WB 2X200cc
Hemodinamik intraoperative tidak stabil, support dengan epinefrin
0,1mikrogram/kgBB/min
c. Post operatif
- Pasien dipindahkan ke ICU dengan retensi ETT dan dipasang IVFD RL
+ drip oksitosin 2 ampul gtt XX/jam (24jam)
- Support CVC epinefrin 0,1 mikrogram/kgBB/jam
Ceftriaxone 1gr / 24 jam
Omeprazole 40mg / 24 jam
Parasetamol fls / 8jam
Asam traneksamat 1gr/8jam
- Observasi tanda-tanda vital perjam dan urin output per 24 jam
- Diet cair 6x100 kalori via NGT (24 jam)
- Cek laboratorium lengkap
Pada pukul 13,30 WIB keadaan umum pasien tiba-tiba menurun dengan
TD : 40/28mmHg, nadi : 200X/min, RR : 45X/min, T : 36,5 celcius.
Pasien dipasang ulang ETT, keadaan umum OS tambah menurun pada
14.00 WIB dihadapan.

IV. Rencana Anestesi


a. Jenis pembedahan : Curettage/ Kuretase dan Manual Plasenta
b. Jenis anestesi : Anestesi General
c. Lama anestesi: : 15 menit
d. Lama tindakan : 45 menit
e. Teknik anestesi : Anestesi General
f. Premedikasi :-
g. Medikasi tambahan :-

VI. Laporan anestesi durante operasi


a. Mulai anestesi : 14 Mei 2018 pukul 08.00 WIB
b. Lama anestesi : 15 menit
c. Lama operasi : 45 menit
d. Premedikasi :-
e. Induksi :-
f. Medikasi tambahan :-
g. Relaksasi :-
h. Respirasi : Spontan
i. Posisi : Supinasi
j. Cairan Durante Operasi:
Input: RL 3 kolf + WB 2 x 300 cc
Output (perdarahan): 600cc
k. Selesai operasi : 14 Mei 2018 pukul 08.45 WIB
V. Laporan anestesi post operasi
a. Analgetik : Ketorolac 1 amp
b. NRS :0
c. Perawatan : ICU

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Syok Hemoragik


3.1.2 Definisi
Respons sirkulasi awal terhadap kehilangan darah adalah kompensasi dan
termasuk vasokonstriksi progresif dari kulit, otot, dan sirkulasi visceral untuk
mempertahankan aliran darah ke ginjal, jantung, dan otak. Respons yang biasa
terhadap penurunan volume sirkulasi akut yang terkait dengan cedera adalah
peningkatan denyut jantung dalam upaya untuk mempertahankan curah jantung.
Dalam banyak kasus, takikardia adalah tanda peredaran syaraf terukur yang
paling awal yang dapat diukur. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan
darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi, tetapi hanya sedikit meningkatkan
perfusi organ. Hormon lain dengan sifat vasoaktif dilepaskan ke dalam sirkulasi
selama syok, termasuk histamin, bradikinin, β-endorfin, dan riam prostanoid dan
sitokin lainnya. Zat-zat ini memiliki efek mendalam pada mikrosirkulasi dan
permeabilitas pembuluh darah.
Kembalinya vena pada syok hemoragik awal dipertahankan sampai taraf
tertentu oleh mekanisme kompensasi kontraksi volume darah dalam sistem vena,
yang tidak berkontribusi pada tekanan vena sistemik. Namun, mekanisme
kompensasi ini terbatas. Metode yang paling efektif untuk memulihkan cardiac
output dan perfusi organ-akhir yang adekuat adalah mengembalikan venous return
ke normal dengan menempatkan dan menghentikan sumber perdarahan,
bersamaan dengan pengisian volume yang tepat.
Pada tingkat sel, sel perfusi dan oksigen yang tidak memadai kekurangan
substrat penting untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi.
Awalnya, kompensasi terjadi dengan beralih ke metabolisme anaerobik, yang
menghasilkan pembentukan asam laktat dan pengembangan asidosis metabolik.
Jika syok berkepanjangan dan pengiriman substrat untuk pembentukan adenosin
trifosfat (ATP) tidak mencukupi, membran sel kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan integritasnya, dan gradien listrik normal hilang. Mediator
proinflamasi, seperti inducible nitric oxide synthase (iNOS), tumor necrosis factor
(TNF), dan sitokin lainnya dilepaskan, pengaturan tahap untuk kerusakan organ
akhir dan disfungsi organ multiple.
Jika prosesnya tidak terbalik, kerusakan sel progresif, perubahan
permeabilitas endotel, pembengkakan jaringan tambahan, dan kematian sel dapat
terjadi. Proses ini senyawa dampak kehilangan darah dan hipoperfusi, berpotensi
meningkatkan volume cairan yang diperlukan untuk resusitasi.
Pemberian larutan elektrolit isotonik dalam jumlah yang tepat dan darah
membantu memerangi proses ini. Perawatan pasien diarahkan untuk membalikkan
keadaan kejut dengan menyediakan oksigenasi yang cukup, ventilasi, dan
resusitasi cairan yang tepat, serta menghentikan pendarahan.
Pengobatan awal syok diarahkan untuk memulihkan perfusi sel dan organ
dengan darah yang cukup oksigen. Kontrol definitif perdarahan dan pemulihan
volume sirkulasi yang adekuat adalah tujuan pengobatan syok hemoragik.
Vasopressor adalah kontraindikasi untuk pengobatan syok hemoragik karena
mereka memperburuk perfusi jaringan. Pemantauan yang sering dilakukan
terhadap indeks perfusi pasien diperlukan untuk mengevaluasi respons terhadap
terapi dan mendeteksi perburukan kondisi pasien sedini mungkin. Pengkajian
ulang akan membantu mengidentifikasi pasien dalam guncangan kompensasi atau
mereka yang tidak dapat memasang respons kompensasi sebelum kolaps
kardiovaskular.
Hemoragik didefinisikan sebagai hilangnya volume sirkulasi darah akut.
Meskipun ada variabilitas yang cukup besar, volume darah orang dewasa normal
adalah sekitar 7% dari berat badan. Sebagai contoh, pria dengan berat badan 70
kg memiliki volume darah yang beredar sekitar 5 L. Volume darah orang dewasa
yang gemuk diperkirakan berdasarkan berat badan ideal mereka, karena
perhitungan berdasarkan berat badan yang sebenarnya dapat menghasilkan
perkiraan yang terlalu tinggi. Volume darah untuk anak dihitung 8% hingga 9%
dari berat badan (80–90 mL / kg).

3.1.2 Klasifikasi perdarahan


Klasifikasi perdarahan ke dalam empat kelas berdasarkan tanda-tanda
klinis adalah alat yang berguna untuk memperkirakan persentase kehilangan
darah akut. Perubahan ini merupakan kontinum perdarahan berkelanjutan dan
hanya berfungsi untuk memandu terapi awal. Penggantian volume selanjutnya
ditentukan oleh respons pasien terhadap terapi awal. Sistem klasifikasi ini
berguna dalam menekankan tanda-tanda awal dan patofisiologi dari keadaan
syok.
Kelas I syok hemoragik dicontohkan oleh kondisi seseorang yang telah
menyumbangkan satu unit darah. Kelas II perdarahan adalah perdarahan tanpa
komplikasi yang diperlukan resusitasi cairan kristaloid. Kelas III perdarahan
adalah keadaan hemoragik yang rumit di mana setidaknya infus kristaloid
diperlukan dan mungkin juga penggantian darah. Perdarahan kelas IV dianggap
sebagai peristiwa preterminal; kecuali langkah-langkah yang sangat agresif
diambil, pasien akan meninggal dalam beberapa menit. Tabel 3.1 menguraikan
perkiraan kehilangan darah dan tindakan penting lainnya untuk pasien dalam
setiap klasifikasi syok.

Beberapa faktor pembaur sangat mengubah respon hemodinamik klasik ke


kehilangan akut volume darah yang bersirkulasi, dan ini harus segera diakui oleh
semua individu yang terlibat dalam penilaian awal dan resusitasi pasien yang
terluka yang berisiko mengalami syok hemoragik. Faktor-faktor ini termasuk:
 Umur pasien
 Selang waktu antara perdarahan awal dengan penanganan awal
 Terapi cairan sebelum ke rumah sakit
 Medikasi yang digunakan untuk kondisi kronis

Kelas I Hemorrhage — Hingga 15% Kehilangan Volume Darah


Gejala klinis kehilangan volume dengan hemoragi kelas I minimal. Dalam situasi
yang tidak rumit, takikardia minimal terjadi. Tidak ada perubahan terukur yang
terjadi pada tekanan darah, tekanan nadi, atau laju pernapasan. Untuk pasien yang
sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak memerlukan penggantian, karena isi
ulang transkapiler dan mekanisme kompensasi lainnya akan mengembalikan
volume darah dalam 24 jam, biasanya tanpa perlu transfusi darah.

Kelas II Hemorrhage — 15% hingga 30% Volume Kehilangan Darah


Pada pria dengan berat badan 70 kg, volume yang hilang dengan hemorrhage
kelas II mewakili 750 hingga 1500 mL darah. Tanda-tanda klinis termasuk
takikardia (denyut jantung di atas 100 pada orang dewasa), takipnea, dan
penurunan tekanan nadi; tanda terakhir berhubungan terutama dengan
peningkatan komponen diastolik karena peningkatan katekolamin yang
bersirkulasi. Agen ini menghasilkan peningkatan tonus pembuluh darah perifer
dan resistensi. Tekanan sistolik berubah minimal pada syok hemoragik awal;
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi tekanan nadi daripada tekanan
sistolik. Temuan klinis terkait lainnya dengan jumlah kehilangan darah ini
termasuk perubahan sistem saraf pusat (SSP) yang halus, seperti kecemasan,
ketakutan, dan permusuhan. Meskipun kehilangan darah yang signifikan dan
perubahan kardiovaskular, output urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran urin yang
diukur biasanya 20 hingga 30 mL / jam pada orang dewasa.
Kehilangan cairan yang menyertainya dapat membesar-besarkan
manifestasi klinis dari perdarahan kelas II. Beberapa pasien dalam kategori ini
akhirnya mungkin memerlukan transfusi darah, tetapi sebagian besar distabilkan
awalnya dengan larutan kristaloid.

Kelas III Hemorrhage — Kehilangan Volume Darah 30% hingga 40%


Kehilangan darah dengan hemorrhage kelas III (sekitar 1500-2000 mL pada orang
dewasa) dapat menghancurkan. Pasien hampir selalu hadir dengan tanda-tanda
klasik perfusi yang tidak memadai, termasuk takikardia dan takipnea, perubahan
signifikan dalam status mental, dan penurunan tekanan sistolik yang terukur.
Dalam kasus yang tidak rumit, ini adalah jumlah kehilangan darah paling sedikit
yang secara konsisten menyebabkan penurunan tekanan sistolik. Pasien dengan
tingkat kehilangan darah ini hampir selalu membutuhkan transfusi. Namun,
prioritas manajemen awal adalah menghentikan perdarahan, dengan operasi
darurat atau embolisasi jika perlu. Sebagian besar pasien dalam kategori ini akan
membutuhkan packed red blood cells (pRBCs) dan resusitasi produk darah untuk
membalikkan keadaan kejut. Keputusan untuk transfusi darah didasarkan pada
tanggapan pasien terhadap resusitasi cairan awal.

Kelas IV Hemorrhage — Lebih dari 40% Volume Kehilangan Darah


Tingkat eksanguinasi dengan pendarahan kelas IV segera mengancam jiwa.
Gejala termasuk takikardia yang ditandai, penurunan tekanan darah sistolik yang
signifikan, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolik yang tidak
dapat dicapai). Keluaran urin dapat diabaikan, dan status mental sangat menurun.
Kulitnya dingin dan pucat. Pasien dengan hemorrhage kelas IV sering
membutuhkan transfusi cepat dan intervensi bedah segera. Keputusan ini
didasarkan pada respons pasien terhadap teknik manajemen awal yang dijelaskan
dalam bab ini. Kehilangan lebih dari 50% volume darah menyebabkan hilangnya
kesadaran dan penurunan nadi dan tekanan darah.
3.2 TERAPI CAIRAN
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu resusitasi cairan
dan terapi rumatan. Resusitasi cairan ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut
cairan tubuh, sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini juga ditujukan
untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
Terapi rumatan berguna untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi
yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini digambarkan dalam diagram berikut:

Diagram 1. Terapi Cairan


Pemilihan cairan dimaksudkan untuk mengganti kehilangan air dan elektrolit
yang normal melalui urine, insensible water loss (IWL), dan feses serta membuat
hemodinamik tetap dalam keadaan stabil. Pada penggantian cairan, jenis cairan yang
digunakan didasarkan pada cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan
selama 24 jam), cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi), serta cairan
pengganti (sekuestrasi, pengganti darah yang hilang, cairan yang hilang melalui fistel,
nasogastric tube, dan drainase). Penghitungan untuk memperkirakan besarnya cairan
tubuh yang hilang dapat menggunakan refraktometer, serum Na+, dan hematokrit
(Tabel 1). Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa
kriteria klinis (Tabel 2).

Tabel 1. Penghitungan perkiraan besar cairan tubuh yang hilang


Refraktometer (Defisit cairan) Serum Na+(air yang hilang) Hematokrit (defisit plasma (ml))
BD plasma -1,025 x BB x 4ml 0,6 BB x BB (Plasma Natrium – 1) vol.darah normal – ((vol.darah
Ket. BD plasma = 0,001 Ket. Plasma Na = 140 normal x nilai Hct awal)/Hct
terukur)

Tabel 2. Derajat kehilangan darah menurut kriteria klinis


Derajat I II III IV
Kehilangan darah <15% 15-30% 30-40% >40%
<750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml
Kesadaran Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
(letargi)
Frekuensi jantung <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal Menurun Menurun Menurun
Pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35
Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti
(ml/jam)
Cairan pengganti Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
(3:1) darah darah

3.2.1 Kebutuhan cairan perhari


Kebutuhan rumatan = IWL + urin + cairan tinja.
Kebutuhan cairan perhari bisa diperkirakan berdasarkan energy expenditure:
1 kcal = 1 ml H2O.
Berdasarkan perhitungan energy expenditure rata-rata pada pasien yang dirawat
di rumah sakit didapatkan kebutuhan cairan perhari sebagai berikut:
Berat badan 10 kg pertama = 1000 ml/hari.
Berat badan 10 kg kedua = 1000 ml + 500 ml/hari.
Berat badan > 20 kg = 1500 ml + 20 ml H2O/kgBB/hari.
Pada pasien dengan kesulitan kompensasi terhadap kelebihan atau
kekurangan cairan dan elektrolit (kelainan jantung, ginjal) harus dilakukan
perhitungan secara ketat/titrasi.
Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan yaitu;

Tabel 3. Pilihan cairan pengganti


Kehilangan Kandungan rata-rata Cairan pengganti yang sesuai
(mmol/L)
Na+ K+
Darah 140 4 Ringer laktat / RL / NaCl 0,9% / koloid / produk
darah
Plasma 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid
Rongga ketiga 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9%
Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L
Sal. Cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% (periksa K+ dengan teratur)
Diare 120 25 NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L

3.2.2 Kebutuhan elektrolit perhari


Perkiraan kebutuhan elektrolit perhari didasarkan pada kebutuhan
metabolisme, atau dengan kebutuhan cairan perhari:
Natrium : 2 - 4 mEq/100mlH2O/hari.
Kalium : 1 - 2 mEq/100mlH2O/hari.
Klorida : 2 - 4 mEq/100mlH2O/hari.
Walaupun dalam beberapa kondisi bisa terjadi kehilangan banyak elektrolit
melalui kulit atau gastrointestinal, tetapi sebagian besar kehilangan elektrolit
perhari adalah melalui urin. Karena itu pada penderita oliguri memerlukan
elektrolit lebih sedikit untuk penggantiannya sebaliknya pada penderita poliuri.
Pada penderita dengan unusual losses memerlukan monitoring dan penyesuaian
kebutuhan penggantian elektrolitnya.
Persamaan-persamaan untuk menentukan kebutuhan rumatan cairan dan
elektrolit di atas didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu:
Rata-rata kehilangan cairan insensible.
Rata-rata energy expenditure dan metabolisme.
Rata-rata kehilangan cairan melalui produksi urin.
Dianggap tidak ada sumber kehilangan cairan dan elektrolit dari tempat lain.
Fungsi ginjal dianggap normal.
Pada penderita-penderita yang dirawat seringkali terdapat abnormalitas
dari asumsi-asumsi di atas, karena itu penatalaksanaan cairan dan elektrolit harus
disesuaikan berdasar pada keadaan klinis penderita.

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi:


1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh
yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah
kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik,
diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan
pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi
usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada
kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume
cairan ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum
dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139
mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan
yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik)
terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium
terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam
kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. Dehidrasi
hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis
besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan
volume intravaskular. Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika
kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah
(kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang
lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi,
air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.
Tabel 4. Derajat dehidrasi
Dehidrasi Dewasa
Ringan 4%
Sedang 6%
Berat 8%
Syok 15-20%

Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan


mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan
kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Strategi untuk rehidrasi adalah
dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan
kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan. Cara rehidrasi:
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 3 di atas), banyak cairan yang diberikan
(D) = derajat dehidrasi (%) x BB
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24
jam atau rumus holliday-segar)
3. Pemberian cairan:
- 6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M (menurut Guillot)
- 18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M (menurut Guillot)
Pemberian cairan intravena:
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif, apapun jenis dehidrasinya
(isoosmotik, hipoosmotik, maupun hiperosmotik) cairan awal yang
seharusnya diberikan adalah cairan isotonis. Dalam hal ini yang biasa
digunakan adalah Ringer Laktat, Ringer Asetat, dan NaCl 0,9%. Nilai Strong
Ion Difference (SID) dari NaCl 0,9% adalah 0 (nol), sehingga pasca resusitasi
dapat terjadi asidosis metabolik hiperkloremik. Bila karena perdarahan maka
pilihan volume expander terbaik adalah darah. Pada beberapa keadaan khusus
perlu dipertimbangkan penggunaan koloid.
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif diberikan 10‐20 ml/kg BB
dalam 10‐30 menit. Evaluasi perbaikan klinis meliputi status mental, tanda
vital, dan produksi urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila belum
membaik setelah diberikan 60 ml/kgBB, pertimbangkan pemasangan central
venous pressure (CVP) untuk menentukan volume intravaskuler yang lebih
tepat.
Bila belum memungkinkan peroral, total kebutuhan diberikan intravena
dengan mempertimbangkan:
1. Sisa defisit (air maupun elektrolit):
Volume: bandingkan berat badannya dengan berat badan sebelum sakit,
perhitungkan jumlah cairan selama resusitasi.
Natrium: bila hiponatremi, perhitungkan defisit natriumnya.
Air: bila hipernatremi, perhitungkan defisit airnya.
2. Kehilangan cairan yang masih berlangsung: Volume dan komposisi
elektrolitnya.
3. Kebutuhan rumatan: Air dan elektrolit (pertimbangkan kondisi yang
meningkatkan/ mengurangi kebutuhannya).
Jumlahkan semua kebutuhan air dan elektrolit dari sisa defisit,
kehilangan cairan yang masih berlangsung (on going losses), dan
kebutuhan rumatan.
Kemudian tentukan jenis cairannya berdasarkan jumlah total air
dan elektrolit yang diperlukan dan juga kalori untuk diberikan dalam 24
jam. Pertimbangkan juga kondisi klinis penderita seperti adanya kelainan
jantung dan kelainan ginjal.

b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal
(gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan
cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl
tetap atau berkurang.

2. Perubahan konsentrasi
Hiponatremia
Jika <120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan
mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar
<110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat
disebabkan oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia
(disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi
cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan
untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.
Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini.
Dinaikkan bertahap dengan kenaikkan cepat cukup 5-10 mEq/L (cukup hanya
sampai kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis hilang, dengan batas
kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau 6 ml/kg/jam (yang terbaik 1
mEq/L/jam atau 2 ml/kg/jam). Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan
cairan lain yang lebih hipotonis dari NaCl 3% dengan memperhitungkan
kebutuhan natrium rumatan dan sisa defisit natriumnya, total kenaikan perhari
tidak lebih dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis (NaCl 3%) tidak ada tempat
untuk hiponatremi asimtomatik. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan
dapat menggunakan rumus:
Na= (Na1 – Na0) x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual

3.2.3 Jenis Cairan


Cairan dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain: aman, nontoksik,
bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan
isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang
intravaskular.
a. Kristaloid
Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul
kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume
pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih
sedikit.
Cairan kristaloid dibagi atas cairan elektrolit (NaCl 0.9%, Ringer Laktat,
Ringer asetat, dll) dan non-elektrolit (desktrose 5%, 10%, dll). Kristaloid yang
mengandung elektrolit umumnya bersifat isoosmolar/isotonik, tidak
menyebabkan reaksi imun, mengisi ruang ekstraseluler, murah dan mudah
diperoleh. Cairan kristaloid isotonis akan mudah melewati dinding endotel kapiler
tetapi tidak mudah melewati dinding sel. Pemberian infus cairan ini akan berakhir
di ruang interstisial. Kristaloid non elektrolit umumnya mengisi ruang
intraseluler. Dekstrose 5% dapat dengan mudah melewati dinding endotel kapiler
dan dinding sel. Pemberian infus dekstrose 5% akan berakhir di dalam sel dimana
akan segera mengalami metabolisme menjadi H2O dan CO2.
Penggunaan cairan NaCl 0.9% dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan
ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah
yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari
kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian
didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah
pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya
membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik,
maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan
segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera.
Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada
kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada
kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki
molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.

Tabel 5. Komposisi Cairan Kristaloid


Solution Glucose Sodium Chloride Potassium Kalsium Lactate (mOsmol/
(mg/dl) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) L)
5% 5000 253
Dextrose in
water
D5 ½ NS 5000 77 77 406
D5 NS 0,9% 5000 154 154 561
NaCl 154 154 308
Ringer 130 109 4.0 3.0 28 273
Laktat
D5 RL 5000 130 109 4.0 3.0 28 525
5% NaCl 855 855 1171

b. Koloid
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya
menghasilkan tekanan onkotik. Koloid dibagi atas koloid alamiah (albumin
manusia, plasma protein, dll) dan buatan (Gelatin, polisakarida,
HES/Hydroxyethyl starch). Koloid memiliki berat molekul lebih besar dari
35.000 dalton. Tujuan terapi koloid adalah untuk mengganti kehilangan cairan
intravaskuler, sebab tidak dapat melewati dinding endotel kapiler kecuali dalam
keadaan patologis misalnya pada keadaan kombusio.
Dalam keadaan normal koloid akan menetap dan menambah volume
intravaskular untuk jangka waktu yang lama. Meskipun begitu, namun koloid
yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma juga akan menarik
cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, karena
mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
1. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60oC dalam 10 jam
untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus
imuno defisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam,
dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravaskular 2 jam setelah
pemberian.
2. Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat
dari sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B512 dengan menggunakan
enzim dekstran sukrosa. Ini menghasilkan dekstran berat molekul (BM) tinggi
yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan
fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran
BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam
dekstran 10 (BM 10.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan
garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat. Dekstran 10 digunakan pada syok
hipovolemik dan untuk profilaksis trombo embolisme dan mempunyai waktu
paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti
volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB)
karena risiko terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20
ml/kgBB/hari. Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan
ke dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan
lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem retikoloendotelial.Volume dekstran
melebihi 1 L dapat mengganggu hemostasis.Disfungsi trombosit dan
penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan
yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi
kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40
hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat
tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Gelatine
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan
pelarut NaCl isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin (Haemaccel)
dengan pelarut NaCl isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada
koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis
yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan
histamine yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama
diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat
menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus.
Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada
pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya
efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin yaitu
penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif.
Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal
jantung kongestif dan syok normovolemik.
4. HES (Hydroxyethyl starch)
Senyawa kanji hidroksietil atau Hydroxyethyl starch (HES) merupakan
suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara
struktural. Laporan-laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah
yang terganggu dan kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar
berdasarkan pemakaian preparat HES berat molekul tinggi (HMW-HES). Pada
tahun 2013, EMA (European Medicine Agency) PRAC (Pharmacovigilance
Risk Assesment Committee) mengeluarkan peringatan bahwa HES tidak lagi
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan sepsis atau luka bakar
atau penyakit kritis terkait peningkatan resiko gagal ginjal dan
mortalitas.Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari.
Seperti semua koloid lainnya, HES juga berkaitan dengan reaksi
anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi
pemberian HES adalah terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia)
dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok
hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok
kombustio). Sedangkan kontraindikasi adalah gagal jantung kongestif berat,
gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177 mikromol/L), gangguan
koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis
penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

3.2.4 Perbandingan Kristaloid dan Koloid


Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk resusitasi,
antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi
protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70.
Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi
hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal.
Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas
karena ketidakmampuan membawa O2. Darah lengkap merupakan ekspander volume
fisiologis dan komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam
penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal.
Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat
karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah.resusitasi hemodinamik lebih
cepat dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan
kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam
plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma
sehingga TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi
cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang berlebihan
dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan yang cukup banyak,
tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh
yang lama misalnya: Haes steril 6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat
memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya: Expafusin, Plasmafusin,
Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, mana kala darah siap untuk
ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya langsung, tanpa
khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.

Tabel 6. Perbandingan Kristaloid dan Koloid


Kristaloid Koloid
Keunggulan Lebih mudah tersedia dan murah. Ekspansi volume plasma tanpa
Komposisi serupa dengan plasma (Ringer ekspansi interstitial
asetat/ringer laktat). Ekspansi volume lebih besar
Bisa disimpan di suhu kamar. Durasi lebih lama
Bebas dari reaksi anafilaktik. Oksigenasi jaringan lebih baik
Komplikasi minimal. Insiden edema paru dan/atau
edema sistemik lebih rendah
Kekurangan Edema bisa mengurangiekspansibilitas dinding Anafilaksis
dada Koagulopati
Oksigenasi jaringan terganggukarena Albumin bisa memperberat
bertambahnya jarak kapiler dan sel depresi miokard pada pasien
Memerlukan volume 4 kali lebih banyak syok
Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial,
sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke
volume intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid isoonkotik
akan mengisi ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan
koloid. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan
merembes ke dalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik
plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat kehilangan
cairan dari sirkulasi.
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta
menurunkan laktat serum. DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk mengetahui
prognosis pasien.

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Ny. SH, perempuan, 37 tahun P3A0 belum inpartu datang ke IGD RSUD Kayu
Agung dengan diagnosis pre operatif perdarahan post partum ec sisa plasenta. Pasien
mengalami perdarahan sejak  3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan TD 113/68 mmHg, Nadi 146x/menit, RR 28x/menit, dan suhu 360C.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala, leher, thoraks, abdomen, ekstremitas
dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didaptkan hasil Hb
5,6 g/dL, RBC 2,0 mm3, WBC 32.000 mm3, Trombosit 250.000 mm3 dan Hematokrit
17%.
Pemilihan jenis anestesi pada Ny. SH yaitu anestesi umum karena beberapa
pertimbangan seperti kondisi pasien yang mengalami perdarahan hebat yang bisa
membuat pasien mengalami penurunan kesadaran pada saat intraoperatif, refleks
protektif berkurang sehingga memungkinkan untuk terjadinya aspirasi isi lambung.
Pada pasien dengan perdarahan dan dilakukan tindakan kuretase, hal yang
dikhawatirkan adalah terjadinya syok hemoragik. Selama intraoperative didapatkan
perdarahan sebanyak 300 cc. Jumlah volume darah total pada pasien ini dengan berat
badan 50 kg adalah 3250, dikarenakan estimasi jumlah darah yang hilang adalah
sebanyak 25% dari estimasi total volume darah maka terapi cairan yang diberikan
adalah kristaloid dengan dosis rumatan/maintenance. Ny. SH dengan berat badan 50
kg, perhitungan kebutuhan cairannya adalah 40+20+30 = 90 ml/jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan


Intraseluler. Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC;
1997. hal 375-7.
2. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Terapi Cairan Pada
Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI.
2002.
3. Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999.
4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta:
Farmedia. 2003.
5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United
Kingdom: Churchill Livingstone. 2007.
6. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth edition.
California: Churchill Livingstone. 2007.
7. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic
Principles and Clinical Practice. United Kingdom: Churchill Livingstone.
2004.
8. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology: Fluid Management and
Transfusion. Third Edition. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
2002.
9. Lyon Lee. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte Balance.
Oklahoma State University – Center for Veterinary Health. 2006. Tersedia
dari; http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm
10. Anonim. Resusitasi Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Pegangan Pelatihan
Bantuan hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut bagi Dokter Umum se-
Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi
Indonesia Cabang Sulawesi Selatan; 2000. hal 62-72. 21
11. Anonym. Electrolyte Disorders. Available from: URL:
http://www.nejm.article.php. Accessed Desember 14, 2005.
12. Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy in Children. Available from: URL:
http://www.bmj.com/merckcourse.htm. Accessed Desember 14, 2005.
13. Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy. Available from: URL:
http://www.cvm.okstate.edu/courses.vmed5412. Accessed Desember 14,
2005.
14. Anonim. Kebutuhan Harian Air dan Elektrolit, gangguan Keseimbangan Air
dan Elektrolit, dan Terapi Cairan. Dalam: Pedoman Cairan Infus edisi revisi
VIII. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia; 2003. hal. 16-33.
15.Kavanagh BP, Meyer LJ. Normalizing physiological variables in acute illness:
five reasons for caution. Intensive Care Med. 2005, 31:1161-1167.
16.Paschall JA, Melvin T. Fluid and electrolyte therapy. Dalam: Holbrook PR.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993: 653-
702.
17.Barkin RM, Rosen P. Emergency pediatrics: A guide to ambulatory care, 4th
ed. St Louis: Mosby, 1994: 69-73.
18.Souid AK, Schneiderman H. Principles of pediatric fluid therapy. Diakses dari
http://www.ec.hscsyr.edu/peds/fluid_manual, tanggal 27 Nopember 2000.
19.Ambalavanan N. Fluid, electrolyte, and nutrition management of the newborn.
Diakses dari wysiwyg://213/http://www.emedicine.com/ped/topic2554,
tanggal 23 Mei 2002.
20.Laiken N, Fanestil DD. Body fluids and renal function. Dalam: West JB. Best
and Taylor’s. Physiological basis of medical practice, 12th ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1990: 406-418.
21.Badr K, Ichikawa L. Physical and biological properties of body fluid and
electrolytes. Dalam: Ichikawa L. Pediatric textbook of fluids and electrolytes.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1990: 3-12.
22.Symons. Clinical fluid and electrolyte management. Diakses dari
www.seattle- childrens.org/health care professionals/pdf/clinical fluid.pdf, 20
Maret 2006.
23.Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal patiens in septic shock. Crit Care Med 2002;
30:1365-1378.
24.Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, 3th ed. Elsevier:
Mosby, 2006: 939-957.

Anda mungkin juga menyukai