Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

Sirosis Hepatis Dekompensata

Oleh:

Rifqoh Trikurnia, S. Ked 04084821921029


Optima Fitra Ilhami, S. Ked 04084821921101
Billy Dharisma, S.Ked 04084821921140

Pembimbing:
dr. Hadhi Muljono, Sp.PD
dr. Ahmar Kurniadi, Sp.PD, KKV
dr. Vahdevi Kurniati Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Sirosis Hepatis Dekompensata

Oleh:

Rifqoh Trikurnia, S. Ked


Optima Fitra Ilhami, S. Ked
Billy Dharisma, S.Ked

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUD
Sobirin Linggau, Periode 22 Juli – 16 Agustus 2019.

Linggau, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Ahmar Kurniadi, Sp.PD. KKV

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya case yang berjudul “Sirosis Hepatis Dekompensata”. ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Case ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUD SOBIRIN Linggau.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Hadhi Muljono,
Sp.PD, dr. Ahmar Kurniadi, Sp.PD, KKV, dr. Vahdevi Kurniati Sp.PD atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan case ini. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik
di masa yang akan datang.

Linggau, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II. STATUS PASIEN ...................................................................................... 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 15
BAB IV. ANALISIS KASUS .................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium


akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis
hepatoselular. Lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatik dan kebanyakan
ditemukan saat pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. 1
Secara global, tingkat kematian akibat sirosis meningkat dari 676.000 jiwa
pada tahun 1980 menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2010. Mesir, diikuti oleh
Moldova memiliki tingkat mortalitas tertinggi yaitu 72,7 dan 71.2 per 100.000
penduduk, sedangkan Islandia memiliki tingkat mortalitas paling rendah. Di
Amerika Serikat, sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan dan
menyumbang angka kematian 1,2% dari seluruh total kematian. Sebanyak 35.000
kematian terjadi pertahun di Amerika Serikat. Lain halnya di Indonesia, tingkat
mortalitasnya sebesar 27 per 100.000 penduduk. Data yang dilaporkan dari RS.
Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan jumlah pasien sirosis hari berkisar 4,1%
dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun
(2004). Kebanyakan pasien meninggal pada usia dekade ke 5 dan ke 6 dengan
perbandingan pria dan wanita yaitu 2:1.1,4,5,16
Penyebab sirosis hepatis dapat berupa infeksi seperti virus hepatitis,
penyakit herediter dan metabolic seperti defisiensi α1-antitripsin, penyakit
Wilson, hemokromatosis, akibat obat dan toksin seperti alcohol, amiodaron dan
obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik serta sirosis bilier primer.
Gejala klinis yang ditimbulkan berupa mudah lelah, berat badan menurun,
anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ikterus, muntah darah, warna urine gelap,
melena. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar. Gejala yang ditimbulkan ini tentunya menurunkan kualitas hidup
penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas seperti biasa.2,3
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.

1
Pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan
hidup tidak lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi
seorang dokter agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis
sehingga angka kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI PASIEN


Nama : Ny. N
Umur : 43 tahun
Alamat : Sumber agung RT 01 116 Utara 01 Linggau
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
No. RM : 0317762
Tanggal MRS : 5 Agustus 2019

2.2. ANAMNESIS
(autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien).

Keluhan Utama
Perut yang semakin membesar disertai sesak sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh perut
yang terasa membesar. Pembesarannya dirasakan secara perlahan secara
terus menurus. Keluhan perut membesar seperti ini baru pertama kali pasien
rasakan. Pasien juga mengeluhkan perut begah atau seperti cepat penuh
ketika makan, sehingga pasien tidak dapat makan dalam jumlah yang
banyak. Mual terkadang dirasakan oleh pasien. Nyeri perut dan muntah
disangkal. BAB berwarna kuning kecokelatan, padat dan BAK kuning
jernih. Pasien lalu berobat ke bidan desa dan diberi obat, keluhan mual
muntah berkurang namun perut tidak megecil.
Sejak ± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh perut
yang semakin membesar. Nafsu makan menurun, mual ada, muntah tidak

3
ada. Mata terlihat menguning dari biasanya. BAB berwarna kuning
kecokelatan, padat dan BAK kuning jernih.
+ 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh perut kembali
semakin membesar. Pasien mengeluhkan badan lemas, nafsu makan
berkurang, dan mual. Demam tidak ada. Sesak ada, tidak dipengaruhi cuaca
dan emosi. Sesak diperberat dengan aktivitas. BAB berwarna kuning
kecokelatan, padat dan BAK kuning jernih.
1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang bertambah hebat disertai
nyeri perut. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Perut dirasakan
semakin membesar. Nyeri perut dan kembung dirasakan terus menerus,
tidak hilang dengan istirahat. Nafsu makan berkurang, badan dirasakan
lemas. Mual ada, muntah tidak ada, BAB berwarna kuning kecokelatan,
padat dan BAK kuning jernih. Pasien kemudian dibawa poli RS Sobirin
Linggau kemudian dilakukan pemeriksaan USG, dan dikatakan terjadi
perubahan ukuran hati yang mengecil. Pasien disarankan untuk rawat inap
kemudian pasien di rawat di bangsal Anggrek RS Sobirin Linggau.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kuning disangkal

Riwayat Kebiasaan:
Riwayat minum jamu (+).
Riwayat minum obat –obatan di warung (+) jika badan terasa sakit.
Riwayat minum alkohol (-).
Riwayat menggunakan narkoba suntik (-).
Riwayat terpapar pestisida (+).

4
Riwayat pengobatan:
Riwayat transfusi darah (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat kencing manis disangkal.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2019)


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 82 x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
Respirasi : 20x/menit, reguler
SpO2 : 98%
Suhu : 36,8oC
Vas score :5

Pemeriksaan Khusus
Kepala: Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-).
a. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik
(+/+), pupil bulat isokor, RC (+/+).
b. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-)
c. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).

5
d. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-).

Leher: JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB submandibula (-), pembesaran


kelenjar tiroid (-).

Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : Statis dinamis: simetris kanan=kiri, retraksi dinding dada (-
/-), spider naevi (-)
Palpasi : Stem fremitus normal kanan = kiri, nyeri tekan sela iga(-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru. Peranjakan hati ICS
IV-V LMC dekstra.
Auskultasi : Vesikuler paru kiri (+) normal, paru kanan dan kiri
vesikuler menurun mulai ICS IV ke bawah, ronkhi (-),
wheezing (-)
b. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi :HR 82x/menit, regular, Bunyi jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-), venektasi (+), umbilikus
mendatar (+), spider telangiektasi (-)
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+) seluruh regio perut, hepar dan lien
sulit dinilai. Ballotemen ginjal (-), lingkar perut 101,5 cm.

6
Perkusi : Undulasi (+).
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Ekstremitas
Inspeksi
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab,
flapping tremor (+), onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+), petekie(-),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-), palmar eritema
(-/-). Trapping tremor (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema pretibial (+/+), krepitasi (-/-),
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4. PEMERIKSAAN P ENUNJANG


Hasil laboratorium tanggal 8 Agustus 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 8,1 g/dL 14-16 g/dL
Leukosit 4.900/mm3 4.400-11.500/mm3
Hematokrit 22,9% 35 - 47%
Trombosit 68.000/µL 150.000-450.000/µL
Neutrofil 70,9% 40 – 70
BSS 147 g/dL <180 g/dL
SGOT 79,2 U/L 0-31 U/L
SGPT 41,1 U/L 0-31 U/L
Kolesterol 102 mg/dL <200 mg/dL
Kreatinin 0,94 mg/dL 0,5 – 0,9 mg/dL
Albumin 1,94 mg/dL 3,8-5,1 mg/dL
Ureum 18,4 mg/dl 15-40 mg/dL
Globulin 3,51 g/dl 1,5-3,0 g/dl
Protein total 5,45 g/dl 6,7-8,7 g/dl
Imunologi
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

7
Hasil USG Abdomen tanggal 6 Agustus 2019

8
2.5. Diagnosis Sementara
Sirosis hepatis dekompensata ec

2.6. Diagnosis Banding


Sirosis hepatis dekompensata ec alcoholic

2.7. Terapi awal


Non-Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi
- O2 3-4L/menit
- Paracentesis

Farmakologis
 IVFD D5% gtt X/menit
 Spironolakton tablet 3x100mg (po)

9
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
 Inj. Furosemide 2x40 gr (iv)
 Lactulosa 3x1
 Inj. Loperamid 1x30 g IV
 Lansoprazole 1x1 po

2.8. Rencana Pemeriksaan


 Endoskopi
 Biopsi hati

2.9. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.10. Follow up
Tanggal: 6 Agustus 2019
S : perut besar (+), sesak P:
O : Keadaan Umum :Tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran : Compos Mentis - Istirahat
TD :100/70 mmHg - Edukasi
Nadi : 84 x/ menit
RR : 22x/menit, Farmakologis:
Suhu : 36,2oC  IVFD D5% gtt X/menit
VAS :4
LP : 98 cm  Spironolakton tablet
Pemeriksaan Khusus 3x100mg (po)
Kepala :Normocephali, warna rambut
hitam, rambut licin, tidak mudah  Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
dicabut, alopesia (-)  Inj. Furosemide 2x40 gr (iv)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-),
sklera ikterik (+/+)  Lactulosa 3x1
Mulut: Pucat (-), basah (+), atrofi papil (-)  Inj. Loperamid 1x30 g IV
Leher : JVP (5+2 cmH2O), pembesaran
KGB (-), struma (-)  Lansoprazole 1x1 po
Pulmo
Inspeksi :Statis dinamis: simetris
kanan=kiri, retraksi dinding dada

10
(-/-), spider naevi (-).
Palpasi :Stem fremitus normal kanan=kiri,
nyeri tekan (-).
Perkusi :Sonor pada kedua hemithoraks,
batas paru hepar di ICS IV-V
LMC dekstra..
Auskultasi:Vesikuler (+) kanan dan kiri
menurun mulai ICS IV ke bawah,
ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.
Auskultasi:HR 92x/menit, regular, Bunyi
jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-),
venektasi (-), spider
talengkeaktasi (-)
Palpasi :Lemas, nyeri tekan (+) pada perut
kanan atas, lien sulit dinilai, hepar
tidak teraba. Lingkar perut 108 cm
Perkusi : undulasi (+).
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas superior: akral hangat (+),
palmar eritema (-/-).
Ekstremitas inferior: akral hangat (+),
edema pretibial (+/+)
A: Sirosis Hepatis dekompensata ec
hepatitis B virus

Tanggal: 7 Agustus 2019


S : perut besar (+) P:
O : Keadaan Umum :Tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran : Compos Mentis - Istirahat
TD :100/60 mmHg - Edukasi
Nadi : 82x/ menit
RR : 21x/menit, Farmakologis:
Suhu : 36,4oC  IVFD D5% gtt X/menit
VAS :4

11
LP : 98 cm  Spironolakton tablet
Pemeriksaan Khusus
Kepala :Normocephali, warna rambut 3x100mg (po)
hitam, rambut licin, tidak mudah  Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
dicabut, alopesia (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-),  Inj. Furosemide 2x40 gr (iv)
sklera ikterik (-/-)  Lactulosa 3x1
Mulut: Pucat (-), basah (+), atrofi papil (-)
Leher : JVP (5+2 cmH2O), pembesaran  Inj. Loperamid 1x30 g IV
KGB (-), struma (-)  Lansoprazole 1x1 po
Pulmo
Inspeksi :Statis dinamis: simetris
kanan=kiri, retraksi dinding dada
(-/-), spider naevi (-).
Palpasi :Stem fremitus normal kanan=kiri,
nyeri tekan (-).
Perkusi :Sonor pada kedua hemithoraks,
batas paru hepar di ICS IV-V
LMC dekstra..
Auskultasi:Vesikuler (+) kanan dan kiri
menurun mulai ICS IV ke bawah,
ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.
Auskultasi:HR 92x/menit, regular, Bunyi
jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-),
venektasi (-), spider
talengkeaktasi (-)
Palpasi :Lemas, nyeri tekan (+) pada perut
kanan atas, lien sulit dinilai, hepar
tidak teraba. Lingkar perut 108 cm
Perkusi : undulasi (+).
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas superior: akral hangat (+),
palmar eritema (-/-).
Ekstremitas inferior: akral hangat (+),

12
edema pretibial (+/+)
A: Sirosis Hepatis dekompensata ec

2.11. Gambaran Klinis

Gambar 1. Abdomen: Asites, venektasi

13
Gambar 2. Palmar Tidak Eritem

Gambar 3. Edema pretiabia

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Sirosis Hepatis
3.1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular.2

3.1.2 Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas
penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hepar kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan
dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari
penyakit hepar kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis),
penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hepar
bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, kondisi inflamasi kronis
(sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan hipervitaminosis A), dan
kelainan vaskular, baik yang didapat ataupun bawaan.4 Komplikasi sirosis pada
dasarnya tidak terlepas dari etiologi. Meskipun demikian, hal ini berguna untuk
mengklasifikasikan pasien dengan penyebab penyakit liver yang diderita.5
Tabel 1. Penyebab SH2
Penyebab Sirosis Hepatis
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/ atau tanpa hepatitis D
Steato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan
DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat
kortikosteroid
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hemokromatosis
Penyakit wilson
Defisiensi Alpha 1- antitrypsin

15
Sirosis kardiak
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat obat atau toksin
Infeksi parasit tertentu (Schistomiasis)

3.1.3 Epidemiologi
Sirosis hepar mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya
di Amerika.3 Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada
penderita berusia 45-46 tahun setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Di
seluruh dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH
lebih banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionnya sekitar 1,5:1.
Umur rata-rata penderitanya golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya
sekitar umur 40-49 tahun. Penyebab terbanyak yaitu pebyakit hati alkoholik dan
non alkoholik steatohepatitis serta heatitis C. Di Indonesia data prevalensi sirosis
hepatis belum ada. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis
berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun
waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis adalah
asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.Di Asia Tenggara,
penyebab utama SH adalah hepatitis B (HBV) dan C (HVC). Angka kejadian SH
di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan hepatitis C 38,7-
73,9%.2

3.1.4 Faktor Resiko


Penyebab pasti dari sirosis hepar sampai sekarang belum jelas, tetapi
sering disebutkan antara lain :6
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan
nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hepar. Dari hasil laporan Hadi
di dalam simposium Patogenesis sirosis hepar di Yogyakarta tanggal 22
Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita
kekurangan protein hewani, dan ditemukan 85 % penderita sirosis hepar yang

16
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli,
petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah.

b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hepar, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hepar kronis, maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hepar sehingga
terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.

c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hepar secara akut dan kronis. Kerusakan hepar akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan
berupa sirosis hepar. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.
Tumbuhan obat seringkali terkontaminasi oleh berbagai cendawan, yang
akan mengakibatkan pembusukan dan memproduksi mikotoksin. Beberapa
tumbuhan obat yang dipakai sebagai bahan campuran jamu di Malaysia dan
Indonesia (seperti jahe, kunyit, kencur, kayu rapat, sambiloto, dll), dideteksi
mengandung aflatoksin. Aspergillus flavus, A. parasiticus.7
Infeksi Hepatitis B kronis dan paparan aflatoksin (AFB1) berperan dalam
terjadinya Hepatocellular carcinoma (HCC) di negara-negara berkembang. 4,6-
28,2% dari semua kasus HCC mungkin disebabkan paparan AFB1. Apalagi jika
individu yang terkena virus hepatitis B kronis (HBV) dan AFB1 bersama-sama,
risiko kanker menjadi lebih serius melalui peningkatan risiko 30 kali lebih besar.8

d. Penyakit Wilson

17
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-
orang muda dengan ditandai sirosis hepar, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hepar.

e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hepar alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hepar.

f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hepar terjadi sekunder terhadap reaksi
dan nekrosis sentrilobuler
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepar yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
4. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-
50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40 % . sejumlah 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang
bukan B atau C.

3.1.5 Klasifikasi Sirosis Hepatis

18
Secara klinis sirosis hepar dibagi menjadi:6
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.

Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya


nodul, yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi
sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis.
Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam
stadium sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat pembagian
tingkatan sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini sesuai dengan
konsensus Baveno IV, dimana klasifikasi sirosis hepatis ini berdasarkan ada
tidaknya varises, asites dan perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises

19
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis
dekompensata.15

3.1.6 Patogenesis
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-reversibel pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul.
Hal ini disebabkan oleh adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta
dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim
hati sisanya.2
Sirosis hepatis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis),
sesuai dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan
tersebut masih sepenuhnya reversibel. Ciri patologis dari sirosis adalah
pengembangan jaringan parut yang menggantikan parenkim normal, memblokir
aliran darah ke portal melalui organ dan mengganggu fungsi organ normal.
Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel yang biasanya
menyimpan vitamin A dalam pengembangan sirosis. Kerusakan parenkim hepar
menyebabkan sel stellata menjadi kontraktil (miofibroblast) dan menghalangi
aliran darah dalam sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TFG-β1 yang mengarah pada
respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Selain itu, juga mengganggu
keseimbangan antara matriks metalloproteinase dan inhibitor alami (TIMP 1dan
2) yang menyebabkan kerusakan matriks. Pita jaringan ikat (septa) memisahkan
nodul-nodul hepatosit yang pada akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hepar
yang berujung pada penurunan aliran darah di seluruh hepar. Limpa menjadi
terbendung mengarah ke hipersplenisme dan peningkatan sekuesterasi platelet.
Hipertensi portal bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah
sirosis.9

20
3.1.7 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SH lambat, asimptomatis dan seringkali idak dicurigai
sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak pendertita ini sering tidak
terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu autopsi.
Diagnosis SH asimptomatis biasanya dibuat secara insidental ketika tes
pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi, sehingga
kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati. Sebagian
besar penderita datang biasanya sudah dalam stadium dekompensatam disertai
adanya komplikasi perdarahan varices, disertai adanya komplikasi seperti
perdarahan varices, peritonitis bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis.
Gambaran klinis yaitu mudah lelah, anoreksi, berat badan menurun, atropi otot,
ikterus, spider angiomata, splenomegali, ascites, caput medusa, palmar eritema,
white nails, ginekomastia, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada waita, asterixis
(flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren’s contracture (sirosis akibat
alkohol).2
Sirosis hepar, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu
kegagalan fungsi hepar dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda -
tanda klinis ini pada penderita sirosis hepar ditentukan oleh seberapa berat
kelainan fundamental tersebut. Kegagalan fungsi hepar akan ditemukan
dikarenakan terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hepar menjadi jaringan
fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hepar sehingga mengakibatkan nekrosis
pada hepar. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi
vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta.
Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik
dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada
sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai
efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk
mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur
oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A)
dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada

21
sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh
ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat
dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan
arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac output dan
penurunan resistensi vascular sistemik.2

3.1.8 Diagnosis
Pada stadium kompensata sempurna kadang-kadang sulit menegakkan
diagnosis SH. Pada proses lebih lanjut stadium kompensata bisa ditegakkan
dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia dan
pemeriksaan pencitraan lainya. Pada stadium dekompensata diagnosis tidak terlalu
sulit karena gejala dan tanda klinis biasanya sudah tampak dengan adanya
komplikasi.
Baku emas untuk diagnosis SH adalah biopsi hati melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan
bila secara klinis, pemeriksaan laboratoris dan radiologi menunjukkan
kencenderungan SH. Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat
fatal misalnya perdarahan dan kematian.2

3.1.9 Komplikasi
Perjalanan klinis pasien dengan sirosis tidak terlepas dari penyebab yang
mendasari penyakit hepar. Ini termasuk Portal hipertensi dan efek dari
gastroesophageal varises perdarahan, splenomegali, asites, ensefalopati hepar,
spontan peritonitis bakteri (SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma
hepatoseluler.5

3.1.10 Tatalaksana
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:
1. Sirosis hati kompensata
2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.

22
Penanganan SH kompensata ditunjukkan pada penyebab hepatitis kronis.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak semakin
lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia Tenggara
penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa diberikan
preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat analog
nukleosida jangka panjang. Preparat nukelosida analog ini juga bisa diberikan
pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain penanganan untuk
komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis diberikan preparat
interferon. Namun pada SH dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak
direkomondasikan.2

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa : 17,18


1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih
baik dalam penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet
rendah garam I (jika asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang
telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi
induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung
berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg)
yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4

23
minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu
selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti.17,18
1) Asites
2) Spontaneous bacterial peritonitis
3) Hepatorenal syndrome
4) Perdarahan karena pecahnya varises esofagus
5) Ensefalopati Hepatikum

Asites
Penyebab ascites yang banyak pada SH adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang
akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan ascites
yaitu tirah baring, diet rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram atau 90
mmol/hari. Bila tidak berhasil dapat dikombinassikan dengan spironolakton 100-
200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan adanya penurunan berat
badan 0,5 kg/hari tanpa edema dan 1 kg/hari bila ada edema. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-
40mg/hari dengan dosis maksimal 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila ascites
sangat besar. Pengeluaran ascites sampai 3-6 liter perlu diserti dengan pemberian
albumin.2
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai
parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan
harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang
dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien.

24
Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin
> dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin <
10 mmol/24 jam. 17,18

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)


Peritonitis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering
terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya
fokus infeksi intraabdominal. Pada penderita SH dan asites berat, frekuensi SBP
berkisar 30 % dan angka mortalitas 25%. Escheria coli merupakan bakteri usus
yang sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram positif seperti Streptococcus
viridians, Staphylococcus amerius bisa ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila
pada sampel cairan asites ditemukan angka sel netrofil > 250/mm3. Untuk
penanganan SBP diberikan antibiotika golongan sefalosporin generasi kedua atau
cefotaxim, dengan dosis 2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.2

Hepatorenal Syndrome17,18
Kriteria Mayor
Penyakit hati kronis dengan asites
Rendahnya glomerular fitration rate (GFR)
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
Creatine clearance (24 hour) < 4,0ml/menit
Absence of shock, severe infection, fluid losses and Nephrotoxic drugs
Proteinuria < 500 mg/day
No improvement following plasma volume expansion

Minor
Volume urin< 1liter / hari
Sodium urin < 10 mmol/liter
Osmolaritas urin>osmolaritas plasma
Konsentrasi serum sodium < 13 mmol / liter

25
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa
kelainan organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini
sering dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter. Sindroma hepatorenal
tipe 1 diandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens
kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurnan
filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe ini lebih baik
prognosisnya daripada tipe 1. Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan
transplantasi hati. Belum banyak dengan pemberian preparat somatostatin,
terlipressin. Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia
pada penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus
albumin.2

Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus


Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian
obat golongan beta blocker (propranolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi
perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi dengan cairan
kristaloid/koloid/penggantian produk darah. Untuk menghentikan perdarahan
digunakan preparat vasokonstriktor splanchnic, somatostatin atau ocreotide.
Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 mikrogram/h dengan infus kontinu.
Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises. Tindakan endoskopi
terapetik dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang. Transjugular
intrahepatic portosistemic (TIPS) dan pembedahan shunt bisa dilakukan namun
sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.2

Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati
hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal sistemik shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan
sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya EH

26
diantaranya injeksi, perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit, pemberian obat-
obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah ataupun menangani
faktor-faktor presipitasi, EH dapat diturunkan risikonya. Di samping itu
pemberian laktulosa, neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi mukosa usus)
cukup efektif mencegah terjadinya EH.2
Tabel 2. Tatalaksana Sirosis hepatis hati dengan komplikasi2
Komplikasi Terapi Dosis
Asites  Tirah baring  5,2 gram atau 90 mmol/hari
 Diet rendah garam  100-200 mg sekali sehari
 Obat antidiuretik : Spironolakton, bila maksimal 400 mg
respons tidak adekuat dikombinasi  20-40mg/hari maksima 160
Furosemid mg/ hari
 Parasintesis bila asites sangat besar,  8-10 g IV per liter cairan
hingga 4-6 Liter dan dilindungi parasintesis jika >5 L
pemberian albumin
 Retriksi cairan  Direkomendasikan jika
natrium serum kurang 120-
125mmol/L
Ensefalopati  Laktulosa  30-45 mL sirup oral 3-4
hepatikum kal/hari atau 300 mL enema
sampai 2-4 kali BAB/hari
dan perbaikan status mental
 Neomisin  4-12 goral/hari dibagi 6-8
jam; dapat ditambahkan
pada pasien yang refrakter
laktulosa
Varises  Propranolol  40-80 mg oral 2 kali/hari
esofagus  Isosorbid mononitrat  20 mg oral 2 kali/ hari
 Saat perdarahan akut diberikan
somtatostatin atau okreotid diteruskan
skleroterapi atau ligasi endoskopi
Peritonitis  Pasien asites dengan jumlah sel PMN
Bakterial >250/mm3 mendapat profilaksis untuk
Spontan mencegah PBS dengan Sefotaksim dan
Albumin
 Albumin  2 g IV tiap 8 jam
 Norflokasin  1,5 g per Kg IV dalam 6 jam,
 Trimethoprim/Sulfamethoxazole 1 g per kg IV hari ke 3
 400 mg oral 2 kali/hari selama
7 hari untuk perdarahan
gastrointestinal, 400 mg ral
per hari untuk profilaksis
1 tablet oral/hr untuk
profilaksis, 1 tabet oral 2
kali/hr selama 7 hari untuk
perdarahan gastrointestinal

27
Sindrom Transjugular intrahepatic portosystemic
hepatorenal shunt efektif menurunkan hipertensi porta
(HRS) dan memperbaiki HRs, serta menurunkan
perdarahan gastrointestinal. Bila terapi
medis gagal dipertimbangkan untuk
transplantasi hati merupakan terapi definitif

28
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien ini merupakan seorang perempuan berusia 43 tahun dengan


pekerjaan sebagai petani. Keluhan utama yang diungkapkan pasien adalah perut
yang semakin membesar. Riwayat perjalanan penyakit pasien ini yaitu telah
mengeluh perutnya mulai dirasakan membesar + 5 bulan SMRS. Keluhan perut
membesar seperti ini harus kita pikirkan bahwa kemungkinan adanya gangguan di
tekanan onkotik ataupun hidrostatik pada kelainan hati, ginjal ataupun jantung.
BAK dan BAB normal, artinya belum ada kelainan di ginjal dan belum ada
perdarahan saluran cerna bagian atas oleh karena pecahnya varices esofagus yang
ditandai dengan adanya BAB berwarna hitam. Pasien juga mengeluh sesak yag
tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan posisi menandakan bukan disebabkan oleh
asma. Nafsu makan juga menurun oleh karena sulitnya masuk makanan karena
perut yang membesar. Keluhan mata kuning dapat terjadi karena adanya kelainan
pada prehepatik, intra hepatik, atau post hepatik. Pada kasus, mata kuning
mungkin terjadi karena adanya kelainan intrahepatik karena kuning hanya
ditemukan pada mata dan tidak adanya keluhan pada BAB dan BAK. Dari
anamnesis, diagnosa dapat merujuk pada kelainan hati.
Pemeriksaan fisik memberikan beberapa gambaran khas bagi pasien dengan
kelainan hati yang bersifat kronis. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan tekanan darah dalam rentang normal (100/70 mmHg) dan afebris
(36,8oC). Pada pemeriksaan mata didapatkan gambaran sklera ikterik pada kedua
mata. Pada pemeriksaan thoraks, saat inspeksi tidak tampak spider naevi. Pada
pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak bentuk abdomen cembung dan
gambaran venektasi (+). Pada palpasi abdomen, nyeri tekan (+), hepar dan lien
sulit dinilai. Pada perkusi abdomen didapatkan undulasi (+). Pada pemeriksaan
ekstremitas, didapatkan flapping tremor. Baik anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara umum maupun spesifik, keluhan pasien mengarah kepada manifestasi
klinis dari sirosis hepatis dekompensata.

29
Diagnosis sirosis hepatis yang dialami oleh pasien ini, didapatkan
manifestasi klinis berupa asites. Manifestasi ini terjadi akibat baik hipertensi porta
yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik secara sistemik dan
penurunan fungsi hati akibat fibrosis sel hati yang progresif yang mengakibatkan
terjadinya hipoalbuminemia (albumin = 1,94 mg/dl) yang berujung pada
penurunan tekanan onkotik koloid. Peningkatan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan onkotik koloid merupakan penyebab utama terjadinya asites.
Dua mekanisme utama patogenesis dari manifestasi klinis yang ditunjukkan
oleh sirosis hepatis. Sirosis hepatis menyebabkan hipertensi porta dan kelainan
fungsi hati. Hipertensi porta akan menyebabkan terjadinya asites (melalui
mekanisme peningkatan tekanan hidrostatik). Gangguan fungsi hati dapat
menyebabkan terjadinya asites (melalui mekanisme penurunan tekanan onkotik
koloid), ikterik (dikarenakan peningkatan kadar bilirubin direk dan bilirubin
indirek di dalam darah), gangguan koagulasi, hipoalbuminemia dan malnutrisi.
Pasien ini juga mengalami manifestasi kelainan fungsi hati berupa asites
oleh karena hipoalbumin, sklera ikterik pada mata yang merupakan akibat dari
tingginya kadar bilirubin di dalam darah, didapatkan hipoalbuminemia dan
malnutrisi yang ditunjukkan dari nafsu makan dan berat badan yang terus
menurun dalam 5 bulan terakhir.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf DC. Cirrhosis. Medscape. 2015. (http://emedicine.medscape.com/


article/185856-overview#a3 diakses pada 11 Agustus 2016).
2. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th ed.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
2014.h. 1978.
3. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in
the setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009.
18(3):299-302.
4. Don C. Rockey, Scott L. Friedman. 2006. Hepatic Fibrosis And
Cirrhosis.http://www.eu.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/97814
16032588/9781416032588.pdf. Diakses pada tanggal 14 Juli 2012
5. Harrison’s. 2013. Principles of Internal Medicine, 18h Edition. USA:
McGraw-Hill.
6. Malau AS. 2012. Karakteristik penderita sirosis hati yang dirawat inap di
Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2006-2010. Artikel karya tulis
ilmiah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
7. Noveriza, R. 2008. Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan
Obat. Perspektif ; 7 (1)h. 35 - 46
8. Basak, K and Zehra , H. 2015. Challenging Role of Dietary Aflatoxin B1
Exposure and Hepatitis B Infection on Risk of Hepatocellular Carcinoma.
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences; 3(2):363-369.
9. Jagiello, J.Z.,Simon, M.P., Simon, K., Warwas, M. 2011. Advanced
Oxidation Protein Product and Inflamatory Markers in Liver Cirrhosis : A
Comparison Between Alcohol Related and HCV related cirrhosis : Acta
Biochimica Polonica: 58 (1) 59 - 65.
10. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007.
102:2086–2102.

31
11. Kesuma, DG. 2014. A Women 51 Years With Decompensated Liver
Cirrhosis With Gastritis Chronic And Kidney Chronic Disease Stage III. J
medula unila; 3(1).h.151-159
12. Ersley AJ. 2001. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM,
Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th ed.
vol 1. New York: McGraw Hill. p. 481–7
13. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku
Ajar Patologi.Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,;h.463.
14. Cohen HJ. 1986. Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis
PJ, Ford AB, editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB
Saunders Company. p. 519–31.
15. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, et al. Liver Cirrhosis Mortality in 187
Countries between 1980 and 2010: a Systematic Analysis. BioMed Central.
2014;12:145
16. WHO in World Health Rankings. Liver Disease. 2014.
(http://www.worldlifeexpectancy.com/cause-of-death/liver-disease/by-
country/ diakses pada tanggal 11 Agustus 2019).
17. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit
Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45
18. Tjokroprawiro, A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran UNAIR. Airlangga University Press: 2010.

32

Anda mungkin juga menyukai