Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

HIPERTENSI URGENSI + GEAD RINGAN SEDANG

Oleh:

Ratih Haerany Rowiyan, S.Ked 04054821719159


Filia Nurul Dasti, S.Ked 04084821719266
Revana Pramudita Khairunnisa 04084821719167

Pembimbing:
Dr. dr. Joni Anwar, Sp.P

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Tumor paru kiri stadium III B.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Joni Anwar, Sp.P selaku pembimbing yang telah membantu
dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Juni 2018

Penulis

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Tumor Paru Kiri Stadium III B

Oleh:

Ratih Haerany Rowiyan, S.Ked 04054821719159


Siti Farahhiyah D.M., S.Ked 04084821719261

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 4 Juni
– 13 Agustus 2018.

Palembang, Juni 2018

Dr. dr. Joni Anwar, Sp.P

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II. LAPORAN KASUS ........................................................................... 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 13
BAB IV. ANALISIS KASUS.............................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan jaringan baru


yang abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan letaknya
didalam rongga dada. Pada umumnya tumor paru terbagi atas tumor jinak (5%)
antara lain adenoma, hamartoma dan tumor ganas (90%) adalah karsinoma
bronkogenik. Kanker paru atau karsinoma bronkus adalah tumor primer paru yang
paling sering hampir 95%. Kanker paru adalah pembunuh nomor satu laki-laki di
USA.1
Kanker paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker. Sekitar 32%
dari semua kematian akibat kanker pada pria dan 25% pada wanita disebabkan
oleh kanker paru. Sebagian besar kasus kanker paru terjadi pada individu berusia
35-75 tahun dengan insidensi puncak terjadi antara usia 55-65 tahun. Di Amerika
Serikat pada tahun 2010, 157.300 orang diproyeksikan meninggal akibat kanker
paru-paru. Angka tersebut melebihi total jumlah kematian akibat kanker kolon,
rektum, payudara, dan prostat. Hanya sekitar 2% pasien kanker paru yang
didiagnosis dengan metastasis dapat tetap hidup lima tahun setelah diagnosis.
Tingkat kelangsungan hidup untuk kanker paru yang didiagnosis pada stadium
awal lebih tinggi, yakni sekitar 49% dapat bertahan hidup selama lima tahun atau
lebih. The American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2005 terdapat
sekitar 12% kasus baru kanker paru berasal dari negara berkembang namun, di
Indonesia sendiri data epidemiologi pasti masih belum ada.2
Pada hampir 70% pasien kanker paru mengalami penyebaran ketempat
limfatik regional dan tempat lain pada saat didiagnosis. Sebagai akibat, angka
survival pasien kanker paru adalah rendah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
karsinoma cenderung untuk timbul ditempat jaringan parut sebelumnya
(tuberculosis, fibrosis) dalam paru. Kanker paru dalam arti luas adalah semua
penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri
(primer) maupun metastasis tumor di paru.1,2
Kanker paru merupakan kanker yang paling sering terjadi, baik pada pria
maupun wanita. Dugaan meningkat pada mereka yang merupakan bagian dari
kelompok resiko tinggi yaitu merokok, paparan dengan suatu bahan berbahaya

1
dalam pekerjaannya, dan riwayat menderita fibrosis paru kronis. Kebanyakan
kasus kanker paru dapat dicegah jika kebiasaan merokok dihentikan.1
Keluhan dan gejala hampir sama dengan penyakit paru lain, sehingga sering
tidak terpikirkan, tentu saja penegakan diagnosis yang terlambat atau “Inoperable
Stage“ memiliki prognosis yang jelek dan survival rate rendah. Meningkatnya
ilmu, ketrampilan dokter, alat diagnostik dan kesadaran pasien sangat berperan
untuk penegakan diagnosis yang semakin cepat. Penatalaksanaan yang baik pun
akan menurunkan angka morbiditas, kualitas hidup meningkat dan ketahanan
hidup lebih baik.1
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa tumor paru masih merupakan suatu
penyakit yang dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan baik. Oleh
karena itu, pemahaman mengenai faktor resiko, penegakan diagnosis dan
penanganan yang tepat tentang tumor paru perlu dimiliki. Laporan kasus ini
disusun dengan tujuan memperdalam pemahaman tenaga kesehatan medis
mengenai penyakit tumor paru.1,2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. Arni
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perepuan
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Muara Enim
Status : Menikah
No. Rekam Medik : 1061916
Kunjungan pertama ke IGD RS M. H. Rabain Muara Enim pada tanggal 09
Juli 2018.

II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 10 Juli 2018)

Keluhan Utama
Mencret lebih dari 8 kali sehari sejak 3 hari lalu

Keluhan Tambahan
Mual dan muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit


+ 3 hari SMRS pasien mengeluh mencret lebih dari 8 kali sehari, BAB
darah tidak ada, lendir tidak ada, cairan lebih banyak dari ampas, BAB hitam
tidak ada. Pasien juga mengeluh mual dan muntah, muntah 3-5 kali sehari, isi
apa yang dimakan. Demam tidak ada, penurunan napsu makan tidak ada,
penurunan berat badan tidak ada, sakit kepala tidak ada. Pasien berobat ke
Bidan lalu diberi obat (pasien tidak tahu nama obatnya), keluhan mencret
berkurang.
±1 hari SMRS pasien mengeluh mencret kembali, keluhan mencret
sebanyak ˃8 kali sehari, darah dan lendir tidak ada. Mual dan muntah ada, 2-3
kali sehari, isi apa yang dimakan, pasien juga mengeluh nyeri ulu hati, tidak

3
4

napsu makan, dan badan terasa lemas. Pasien juga merasa sakit kepala, sakit
kepala dirasakan seperti tertimpa benda berat, sakit kepala tidak berkurang
atau bertambah berat dengan perubahan posisi, pusing berputar-putar tidak
ada, mata berkunang-kunang tidak ada, sesak napas tidak ada, nyeri dada tidak
ada. BAK tidak ada keluhan. Pasien lalu dibawa ke IGD RS M. H. Rabain.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat BAB hitam sebelumnya disangkal
 Riwayat darah tinggi sejak ±3 tahun lalu, rutin minum 4 macam obat
 Riwayat kencing manis disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Obat-obatan
 Aspilet 1x1
 Amlodipin 1x10 mg
 Valsartan 1x80 mg
 Bisoprolol 1x ½ tab

Riwayat Kebiasaan
 Riwayat makan pedas dan asam disangkal
 Riwayat jajan makanan pinggir jalan disangkal
 Riwayat merokok disangkal
 Riwayat minum alkohol disangkal
 Riwayat sering minum jamu di disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Tanggal 10 Juli 2018)
 Status Generalikus
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 200/110 mmHg
5

Nadi : 98 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup


Pernapasan : 22 x/menit, regular
Suhu : 36,80C
Berat badan : 65 Kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 27,05 kg/m2
Status gizi : Overweight

 Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali, simetris, warna rambut hitam dengan
beberapa helai memutih, alopesia (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi konjungtiva/sklera (-), edema palpebra (-/-), mata
cekung (-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+),
diameter 3mm/3mm.
Hidung : Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-),
cavum nasi lapang, tidak keluar cairan, epistaksis (-).
Telinga : Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus
externus lapang, tidak ada keluar cairan.
Mulut : Bibir kering (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
pucat (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), tonsil T1/T1
tenang, faring tidak hiperemis.
Leher : JVP (5-2) cmH2O, struma (-), pembesaran KGB (-).
Thoraks
Paru-paru : I Statis dan dinamis simetris.
Retraksi dinding dada (-), sela iga tidak melebar,
spider nevi (-), venektasi (-)
P Nyeri tekan (-), stem fremitus kanan=kiri
P Sonor pada kedua lapang paru
A Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Jantung : I Ictus cordis tidak terlihat.
P Ictus cordis tidak teraba
P Batas atas ICS II, batas kanan linea sternalis dextra
ICS II, batas kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra
A HR 86 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : I Datar, venektasi (-), massa (-)
P Lemas, nyeri tekan (+) pada regio epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba, ballotement ginjal (-)
6

P Timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA


(-).
A Bising usus (+) meningkat.
Ekstremitas : Akral hangat, palmar eritem (-/-), edema pretibial (-/-),
akral pucat (-/-), sianosis (-), koikilonikia (-), ptekie (-),
ekimosis (-)
Genital : Tidak diperiksa

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboritorium (30 Mei 2018)
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium darah dan urine
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 10,9 g/dl 13,48 – 17,40 g/dl
RBC 4,62 x 106/mm3 4,40 – 6,30x106/mm3
WBC 7,0 x 103/mm3 4,73-10,89 x103/mm3
Hematokrit 35% 41 - 51%
Trombosit 331 x 103/µL 170-396 x 103/µL
RDW-CV 16,40% 11-15%
LED 62 mm/jam <15 mm/jam
Basofil 0% 0-1 %
Eusinofil 13% 1-6 %
Netrofil 61 % 50-70 %
Limfosit 14 % 20-40 %
Monosit 12% 2-8 %
MCV
MCH
MCHC
KIMIA KLINIK HATI
SGOT 20 0 – 38 U/L
SGPT 10 0-41 U/L
Albumin 3,7 g/dL 3,4 – 4,8 g/dL
LDH 312 U/L 240 – 480 U/L
KIMIA KLINIK GINJAL
Ureum 11 16,6 – 48,5 mg/dL
Kreatinin 0,76 0,50-0,90 mg/dL
Asam Urat 12.0 < 8.4 mg/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Sewaktu 190 <200 mg/dL
ELEKTROLIT
Kalsium (Ca) 9.0 8.4 – 9.7 mg/dL
Natrium (Na) 142 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3.7 3.5 – 5.5 mEq/L
7

IMUNOSEROLOGI
PENANDA TUMOR
CEA 5,70 ng/mL < 5 ng/mL

Cyfra 21-1 1,53 ng/mL <2,08 ng/mL


URINALISIS
Urine Lengkap
Warna Orange Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.030 1.003 – 1.030
pH (urine rutin) 5.0 5-9
Protein Negatif Negatif
Ascorbic Acid Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 1 0.1 – 1.8 EU/dl
Nitrit Negatif Negatif
Lekosit Esterase Negatif Negatif
Sedimen Urine
 Epitel Negatif Negatif /LPB
 Lekosit 0–1 0 – 5 /LPB
 Eritrosit 0–1 0 – 1 /LPB
 Silinder Negatif Negatif /LPB
 Kristal Negatif Negatif /LPB
 Bakteri Negatif Negatif
 Mukus Positif +++ Negatif
 Jamur Negatif Negatif

V. DIAGNOSIS KERJA
Gastroenteritis Akut Dehidrasi Ringan Sedang + Hipertensi Urgensi

VI. RENCANA PEMERIKSAAN


 Urin rutin
 Ureum dan kreatinin
 Elektrolit

VII. TATALAKSANA
Non farmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD RL gtt xx/m makro
8

 Inj. Omeprazol 1x40 mg iv


 Loperamid
 Aspilet 1x1
 Amlodipin 1x10 mg
 Valsartan 1x80 mg
 Bisoprolol 1x ½ tab

VIII. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : dubia ad malam
Quo Ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Krisis Hipertensi
Definisi
Krisi hipertensi merupakan keadaan tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ
target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang
tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisi hipertensi dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu;
1. Hipertensi darurat (emergency hypertension)
Suatu keadaan tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat
kelainan/kerusakan target organ yang bersifat progresif sehingga tekanan
darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai) agar dapat
mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
2. Hipertensi mendesak (urgency hypertension)
Suatu keadaan tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai
kelianan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan
tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam
sampai hari).

Epidemiologi
Secara statistik, bila seluruh populasi hipertensi (HT) dihitung, terdapat
sekitar 70% pasien yang menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT
berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang
merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT
menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2
– 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih
rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam
pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta

13
14

penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan


tentang angka kejadian ini. 1,2,3

PATOFISIOLOGI
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau
kontriksi dalam merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk
mempertahankan aliran (mekanisme autoregulasi) yang tetap terhadap
vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada krisis
hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds
(terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi.
Akibat perubahan ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya
prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain yang mengakibatkan nekrosis
fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi miointimal,
dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin,
vesopresin antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ
target. Jantung, SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi
yang dapat melindungi organ tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan
darah mendadak turun atau naik. Misalkan individu normotensi, mempunyai
autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-
rata. Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan
arteri rata-rata (110-180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada
tekanan darah yang mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada SSP
akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya dengan jantung,
ginjal dan mata.3

DIAGNOSIS 1,3,6
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data
yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.
1. Anamnesa
15

Hal yang penting ditanyakan yaitu :


 Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
 Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
 Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
 Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental,
ansietas ).
 Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
 Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan
oedem paru, nyeri dada ).
 Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
 Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri)
mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, gagal
jantung kongestif). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema
paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung
koroner.
3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
 Pemeriksaan yang segera seperti :
o darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolit.
o urine : Urinalisa dan kultur urine.
o EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
o Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana).
 Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama) :
o Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus
tertentu ), biopsi renal ( kasus tertentu ).
16

o Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal


tab, CAT Scan.
o Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk
Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

DIFERENSIAL DIAGNOSIS 3
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti :
 Hipertensi berat
 Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
 Ansietas dengan hipertensi labil.
 Oedema paru dengan payah jantung kiri.

PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI


1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi:
1,6
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi
sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat
dibagi:
1. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat
mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan
dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan
hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah
yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan
krisis hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP)
sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah
1
emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi
akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam
tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi
emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD
17

25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun
pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 –
12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 –
180/100 mmHg.
2. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki
fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan
pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target organ yang
terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri
akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic,
pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada
krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan
khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan
hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus,
terutama yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia
gravidarum.
2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi :
1,5,6
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera
diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
 Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial
catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair
dan status volume intravaskuler.
 Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik
- tentukan penyebab krisis hipertensi
- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
- tentukan adanya kerusakan organ sasaran
 Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis
yang menyertai dan usia pasien.
18

- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik


tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120
mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu
( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari
25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak,
jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari
permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting
anneurysma aorta.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua
minggu.
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi
1,2,6
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis
hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau
urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran
maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu
dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial
maupun venous.
Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6
ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif,
hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila
dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 –
5 menit, duration of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara
IV bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit,
duration of action 4 – 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat
19

diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan.


Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral
0,5 – 1 jam, IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi
volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on
action 15 – 60
menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic
blockers. Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan
ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan
menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest,
glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara
infus i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,
20

bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of
action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan
komplikasi lebih sering dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan
sistem syaraf simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino,
withdrawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan
kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug
dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau
beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada
parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma
putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat
oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah
lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD
dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara
menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD
dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus
intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang
diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat
bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD
yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi
1,6,
21

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun
yang sebaiknya dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi encephalopati:
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside
dan loop diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-
antagonist, labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium
nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10.Mikroaangiopati hemolitik anemia :
22

Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.


Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi.
Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus
dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat
menimbulkan hipotensi berat.

Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang


diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam
jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik.
• Obat oral untuk hipertensi emergensi :
5,6,
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk
menggunakan obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam
penanganan hipertensi emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual
dan captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup
memuaskan setelah menit ke 20. Captopril dan Nifedipine sublingual tidak
berbeda bermakna dam menurunkan TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara
sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60
menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan
non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian
obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan
adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai
secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari
simptom dan sign dari organ sasaran.
3. Penanggulangan hipertensi urgensi :
1
23

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di


rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak
terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat
meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral
anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup
memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :

Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5
–10 menit), oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/
buccal).
Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action
8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2
nd
degree atau 3
rd
degree, heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan
tolazoline.
Captopril : pemberian secara oral/sublingual.
Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita
bilateral renal arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila
perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit
kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan
MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin
terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan
katekholamine. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual
24

dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai


kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi
hipotensi akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark
miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD
dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih
sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita
dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua
dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine
harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah
TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya
orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya
penderita dirawat dirumah sakit.
H. PROGNOSIS
3
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival
penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia
(19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%),
gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard (1%), diseksi
aorta (1%).
Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan
penanggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi
ginjal.
BAB IV
ANALISIS MASALAH

36
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Braundwald, Kasper, Hauser, Longo, Jemeson, Loscalzo. Harrison’s


Principal Of Internal Medicine. 18thed. New York : Mc Graw Hill ; 2012
2. Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Muray JF,
Nadel JA. Murray & Nadel’s. Textbook Of Respiratory Medicine. 5 th ed.
Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2010
3. Sjamsuhidajat, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah.3rd ed. Jakarta : EGC ; 2010
4. Rasad S. Radiologi Diagnostik. 2nd ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2011
5. Danhert W. Radiology Review Manual. 7th ed. North america : LWW ; 2011
6. Provenzale JM, Nelson RC, Vinson EN. Duke Radiology Case Review. 2nd
ed. North America : LWW ; 2011
7. Mendell J. Core Radiology : A Visual approach to Diagnostic Imaging. 1st ed.
Cambridge : Cambridge University ; 2013
8. Herring W : Learning Radiology : Recognizing the Basics. 2nd Ed.
Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2011
9. Amin Z. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006. hal.1015-
20.
10. Lung Cancer. In: Brown KK, Lee-Chiong T, Chapman S, Robinson G, et al.
Oxford American Handbook of Pulmonary Medicine. Oxford:Oxford
University Press; 2009. p.161-86
11. Lee-Chiong TL, Matthay RA. Lung Cancer. In: Parsons PE, Heffner JE.
Pulmonary Respiratory Therapy Secrets. Colorado: Hanley & Belfus; 1997.
p.330-6.
12. Tan WW. Non-Small Cell Lung Cancer. [updated 2012, accessed on May 9th,
2012]. Available from: http://emedicine.medscape. com/article/279960-
overview

Anda mungkin juga menyukai