Pembimbing :
dr. Mirna Nurasri Praptini, Sp.PD
Disusun oleh :
Ilham Dianugraha
11 – 2018 - 086
LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Mengesahkan:
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus yang berjudul “Penyakit Ginjal Kronik dengan Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu
syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik pendidikan profesi dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Mirna
Nurasri Praptini, Sp,PD sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan petunjuk, serta kerjasama dari berbagai pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan disebabkan keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
perbaikan di masa mendatang. Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis
berharap semoga laporan kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Angka kejadian PGK yang meningkat setiap tahunnya, selain perlu
mengeluarkan banyak biaya, keadaan tersebut akan merugikan orang dengan PGK
tersebut. Orang dengan diagnosis PGK biasanya akan menurun juga kualitas
hidupnya sehingga tidak bisa menjalankan kehidupan sebagaimana mestinya.
Prevalensi penderita PGK mulai meningkat sejak usia diatas 15 tahun, dimana usia
tersebut seseorang perlu dalam keadaan optimal agar dapat memanfaatkan masa
produktifnya dengan baik.2
Dengan begitu, pendekatan klinis mengenai PGK ini penting diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Tindakan yang sudah dilakukan pemerintah adalah
meningkatkan kesadaran akan pentingnya ginjal untuk kesehatan secara
menyeluruh dan menurunkan frekuensi dan dampak penyakit ginjal dan problem
kesehatan terkait, diperingati World Kidney Day (WKD) atau Hari Ginjal Sedunia
setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Maret. Peringatan ini dimulai sejak
tahun 2006.1
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Maulana
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 18 tahun
Tempat, tanggal lahir : 20 Juni 2000
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Grogol, Jakarta Barat
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal perawatan umum
lantai 6 kamar 610 RSPAD Gatot Soebroto pada 7 Mei 2019.
i. Keluhan Utama:
Sesak napas sejak 1 hari SMRS.
6
tidak ada. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Pasien
sebelumnya sering mengkonsumsi minuman kemasan seperti Tea Jus,
Jasjus dan lainnya dengan frekuensi setiap hari hingga 3 sampai 4
bungkus. Pasien juga merasakan adanya mual dan muntah, muntah yang
dikeluarkan berupa makanan dan cairan, sekitar setengah gelas air mineral
tanpa adanya lendir dan darah. Pasien menyangkal keadaan demam dan
batuk. Pasien juga mengaku tidak mengkonsumsi obat – obatan rutin
sebelumnya. BAB tidak ada keluhan, keluhan BAK hanya 2 sendok
makan pada saat awal cuci darah dan pada saat beberapa waktu ini BAK
hanya menetes, pada saat BAK tidak ada nyeri maupun darah.
iii. Riwayat Penyakit Dahulu
Disangkal
iv. Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
v. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
Pasien terbiasa mengkonsumsi minuman serbuk seperti Tea jus dan Jasjus
sejak masih SMP hingga SMA sekitar 3 hingga 5 bungkus perharinya.
7
v. Status Generalis
Kepala : Normocephaly
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
eksophtalmus -/-, enophthalmus -/-, edema
periorbital -/-, injeksi konjungtiva -/-.
Telinga : Serumen minimal, cairan -/-
Hidung : Perdarahan mukosa hidung (-), hiperemis (-)
Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Mulut : Sianosis (-), lidah tremor (-), lidah miring (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+1 cmH2O
Thorax
Paru
Inspeksi : normothorax, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat dada tertinggal (flail chest)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus simetris.
Perkusi : Redup pada lapang basale paru kiri.
Auskultasi : Suara nafas sedikit menurun pada basale paru kiri,
rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tak tampak iktus cordis
Palpasi : iktus cordis tidak teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, simetris, caput medusa (-),
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Palpasi : Supel, massa (-), teraba organ (-), asites (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
8
Urogenital : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema lengan -/-,
edema tungkai -/-.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Tabel 2.1. Pemeriksaan Hematologi
Hematokrit 25 23 22 24 42-52%
MCV 80 80 81 81 79-99 fL
MCH 28 28 28 28 27-31 pg
9
Pemeriksaan 5 Mei 2019 Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Ureum 169 20 – 50 mg/dL
Saturasi O2 98.6 94 – 98 %
10
USG Abdomen (06 - Juli - 2018)
batas normal
Pemeriksaan Radiologi
11
V. Resume
Laki – laki 19 tahun merasa sesak sejak 1 hari SMRS Sesak timbul tidak
menentu, sesak tidak diperberat dengan aktivitas dan menghilang setelah pemberian
oksigen dan istirahat. Pasien mengaku sering sesak sejak 6 bulan yang lalu setelah
melakukan cuci darah selama 3 bulan. Sesak tidak disertai dengan nyeri dada.
Pasien juga mengaku bahwa kakinya sering bengkak sejak 1 tahun terakhir namun
hilang dengan sendirinya. Terkadang bengkak juga terjadi pada seluruh tubuh
pasien. Sejak 8 bulan terakhir pasien didiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD)
dan melakukan cuci darah seminggu 2 kali pada hari senin dan kamis dengan
jumlah asupan cairan perhari 400 cc. Sebulan terakhir pasien mengganti cuci darah
menjadi CAPD atas keinginan sendiri. Setelah dilakukan CAPD keluhan sesak dan
bengkak masih ada, namun efek pada saat cuci darah seperti lemas sudah tidak ada.
Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Pasien sebelumnya sering
mengkonsumsi minuman kemasan seperti Tea Jus, Jasjus dan lainnya dengan
frekuensi setiap hari hingga 3 sampai 4 bungkus. Pasien juga merasakan adanya
mual dan muntah, muntah yang dikeluarkan berupa makanan dan cairan, sekitar
setengah gelas air mineral tanpa adanya lendir dan darah. Pasien menyangkal
keadaan demam dan batuk. Pasien juga mengaku tidak mengkonsumsi obat –
obatan rutin sebelumnya. BAB tidak ada keluhan, keluhan BAK hanya 2 sendok
makan pada saat awal cuci darah dan pada saat beberapa waktu ini BAK hanya
menetes, pada saat BAK tidak ada nyeri maupun darah. Riwayat penyakit pada
keluarga disangkal. Riwayat alergi disangkal.
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital : Nadi: 95 x/menit, pernapasan: 33 x/menit, TD: 160/100 mmHg,
Suhu: 36,8oC.
Thorax : Adanya penurunan suara napas pada lapang paru basal kiri
Abdomen : Asites (+)
Pemeriksaan darah didapatkan hasil Hb: 7.9 gr/dL dengan trombosit 139.000/uL.
Pada pemeriksaan kimia klinik juga didapatkan ureum 169 mg/dL, kreatinin: 12.89
mg/dL dan eGFR: 6.56. Pada foto thorax berkesan kardiomegali dengan suspek
efusi pleura kiri. EKG dalam batas normal.
12
VI. Daftar Masalah
1. Obs. Dyspneu ec Overload Syndrome
2. CKD on CAPD
3. Hipertensi
2. CKD on CAPD
Atas Dasar: Pasien sering mengalami bengkak pada kaki sejak 1 tahun
SMRS. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya asites. Riwayat cuci
darah sejak 8 bulan SMRS dan mengganti menjadi CAPD sejak 1 bulan
SMRS atas kemauan pribadi. Hasil pemeriksaan penunjang hematologi
didapatkan ureum 169 mg/dL, kreatinin: 12.89 mg/dL dan eGFR: 6.56.
13
Rencana Diagnosis: Pemeriksaan darah, urinalisis, usg abdomen.
Rencana Terapi:
Rencana Edukasi: Pasien dan keluarga pasien diberitahu mengenai
perjalanan penyakit dan kondisi pada saat ini. Pasien dan keluarga juga
perlu dipastikan mengerti mengenai CAPD. Pemberian cairan perhari
juga perlu diperhatikan lebih lagi.
Prognosis:
ad vitam : dubia ad malam
ad functionam : dubia ad malam
ad sanationam : dubia ad malam
3. Hipertensi
Atas Dasar: Pasien merasa sering pusing. Pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 160/100 mmHg.
Rencana Diagnosis: lakukan pemeriksaan tanda vital serial, EKG.
Rencana Terapi: Amlodipin 10 mg 1 x 1
Rencana Edukasi: Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien
mengenai keadaan penyakitnya dan memberitahu mengenai
kemungkinan komplikasi – komplikasi yang dapat terjadi serta faktor
memberitahu hal – hal yang dapat memperburuk keadaan tersebut.
Prognosis:
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
14
VIII. Lampiran
7 Mei 2019
S : Pasien sesak
CKD on CAPD
Hipertensi
15
8 Mei 2019
S : Pasien sesak
CKD on CAPD
Hipertensi
P : Hemodialisis
16
9 Mei 2019
S : Pasien tidak terlalu sesak
CKD on CAPD
Hipertensi
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
18
Epidemiologi
Prevalensi PGK di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas yang
didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%.
Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan
meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54
tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75
tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
prevalensi lebih tinggi juga terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil
indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3% (lihat
gambar 1).1,2
PGK juga menempati beban biaya kesehatan paling tinggi kedua di Indonesia
setelah penyakit jantung. Pada tahun 2000 terdapat sebanyak 2.617 pasien yang
menjalani hemodialisis dengan beban biaya yang ditanggung oleh Askes sebesar
Rp. 32,4 milyar dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus dengan biaya Rp. 67,2
milyar.4 Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada tahun 2014 terdapat 1,4 juta kasus
gagal ginjal dengan biaya Rp. 2,2 triliun. Sampai triwulan ketiga 2015, tercatat 1,2
juta kasus gagal ginjal yang dibiayai BPJS yang nilainya mencapai Rp. 1,6 triliun.3
19
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit ginjal kronis
berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian sebesar 850.000
jiwa per tahun. Melansir data dari 7th Annual Report of Indonesian Renal Registry,
jumlah kematian pasien hemodialisis tahun 2014 di Indonesia sebesar 2.221 jiwa
dengan penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab kematian tertinggi (59%).1,3
Etiologi
Penyebab PGK pada setiap negara berbeda – beda. Di Indonesia penyebab
terbanyak terbanyak penyakit ginjal kronik adalah glomerulonefritis sebanyak
46,39%. Selain glomerulonefritis, penyebab PGK di Indonesia adalah diabetes
melitus (18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46), dan sebab lain
(13,65). Sebab lain yang dimaksud adalah nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi
obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab lainnya yang belum
diketahui.1,4,5
Pada anak, penyakit ginjal kronis dapat disebabkan penyakit kongenital,
didapat, genetik, atau metabolik. Penyebab yang mendasari berkaitan erat dengan
usia pasien saat penyakit ginjal kronis pertama terdeteksi. Penyakit ginjal kronis
pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun biasa disebabkan abnormalitas
kongenital seperti hipoplasia atau displasia ginjal, dan/atau uropati obstruktif.
Penyebab lain adalah sindrom nefrotik kongenital, sindrom prune belly, nekrosis
korteks, glomerulosklerosis fokal segmental, penyakit ginjal polikistik, trombosis
vena renalis, dan sindrom hemolitik uremik. Setelah usia 5 tahun, penyakit-
penyakit didapat (berbagai bentuk glomerulonefritis termasuk lupus nefritis) lebih
mendominasi.6,7
Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun
perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan
berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang
diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
20
ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan
penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah
tidak aktif lagi.5,6
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor beta
(TGF-Beta). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progrestifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemik,
dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.5.6
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana GFR normal maupun meingkat.
Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada saat GFR
<60%, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Hingga GFR menjadi 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti nocturia, badan lemah, mual, nafsu makan
menurun, dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR dibawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipoolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit sepert natrium
dan kalium. Pada GFR kurang dari 15% akan terjadi gejala dan komplikasi ang
lebih serius dan pasien perlu terapi pegganti ginjal antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.5,6
21
Diagnosis
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan gangguan ginjal yang ditandai abnormalitas struktural atau fungsional
ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih
tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit,
histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai
penurunan laju filtrasi glomerulus. Berdasarkan laju filtrasi glomerulus, PGK di
klasifikasikan menjadi beberapa derajat sepeti pada Tabel 1.1,2,5
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan LFG.5
22
Pendekatan klinis untuk diagnosis PGK akan sesuai dengan penyakit yang
medasarinya seperti diabetes melitus, infeksi trakturs urinarius, hipertensi, SLE,
dan penyakit mendasari lainnya. Peningkatan kadar ureum dalam tubuh akan
menimbulkan sindrom uremia yang terdiri dari lemas, letargi, anoreksida, mual,
muntah, nocturia, volume overload, neuropati perifer, kejang hingga koma. 4,6,7
Selain dengan pendekatan klinis, pendekatan dengan gambaran radiologi
dapat dilakukan dengan foto polos abdomen untuk mengetahui adanya sumbatan
yang berpengaruh terhadap kerja ginjal dan USG ginjal yang dapat mengetahui
ukuran ginjal, korteks yang menipis, keadaan hidronefrosis, kista, massa, dan
kalsifikasi. Pendekatan dengan biopsy juga dapat dilakukan dengan melakukan
histopatologi ginjal yang bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, danmentapkan hasil terapi. Adapun kontraindikasi belakukan biopsi
ginjal adalah ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi peripenik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.5
Tatalaksana
Terapi yang digunakan untuk penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik
terhadap penyakit yang mendasari, pencegahan dan terapi pada keadaan komorbid,
memperlambat perburukan kondisi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskuler, pencegahan dan terapi penganti ginjal berupa dialisis dan
transplantasi ginjal. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajat
penyakit ginjal kronik tersebut yang dapat dilihat pada tabel 2.5
Tatalaksana pada orang dengan penyakit ginjal kronik juga tidak sebatas
hanya memperhatikan faktor – faktor yang dapat menurun kan lanjut filtrasi
glemurlus, tetapi juga tatalaksana dilakukan secara komprehensif meliputi
komplikasi seperti anemia dan penurunan kondisi tulang yang dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit ginjal kronik.6,7
23
Tabel 2. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Penyakit Ginjal Kronik dengan Derajatnya.5
24
dan substansi nitrogen lain yang nantinya akan disekrsesi oleh ginjal. Dengan
begitu, pembatasan asupan protein akan menurunkan kondisi menjadi sindrom
uremik. Terapi farmakologis yang diberikan untuk menghambat perburukan ginjal
adalah obat antihipertensi. Selain memperkecil resiko dalam kardiovaskular,
antihipertensi juga dapat memperlambat perburukan fungsi nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.5
Pemberian cairan pada penyakit ginjal kronik sangat diperhartikan, pemberian
cairan dibatasi karena berkaitan dengan fungsional ginjal. Pembatasan cairan
bertujuan untuk menghindari terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air
yang masuk ke dalam tubuh harus sesuai dengan yang keluar dari tubuh (urine,
insensible water loss). Perhitungan insensible water loss sesuai dengan luas
permukaan tubuh, apabila diasumsikan insensible water loss sebanyak 500 ml maka
pemberian cairan juga diberikan dengan jumlah yang sama ditambahkan dari
volume urin. Elektrolit yang perlu diperhatikan dalam pemberian cairan adalah
kalium dan natrium. Pemberian kalium yang berlebih akan menyebabkan aritmia
jantung. sedangkan pemberian natrium yang berlebih akan menimbulkan hipertensi
dan edema. Pemberian natrium harus disesuaikan dengan kondisi tekanan darah dan
edema.5,10
Penyakit ginjal kronik pada stadium 3 terdapat tatalaksan untuk komplikasi,
komplikasi selain adanya hipertensi dan penyakit kardiovaskular, perlu
diperhatikan juga adanya anemia dan kelainan tulang. Koreksi anemia dapat
dilakukan melalui pemberian EPO (human recombinant erythropoietin) dan
suplemen besi. Dosis biasa EPO adalah 300 unit/kg, dibagi dalam tiga dosis. Jika
kadar hemoglobin yang diinginkan telah dicapai, frekuensi pemberian EPO dapat
dikurangi menjadi dua kali atau bahkan satu kali per minggu. Dosis pemeliharaan
EPO bervariasi antara 60 dan 600 unit/kg/minggu. Kadar hemoglobin target yang
disarankan oleh K/DOQI adalah 11-12 g/dl (hematokrit 33-36%). Pemeliharaan
kadar hemoglobin ini perlu dilakukan dengan pemberian besi yang cukup untuk
mempertahankan TSAT (transferring saturation) lebih dari 20% (kisaran 20-50%)
dan kadar feritin serum di atas 100 ng/ml (kisaran 100-800 ng/ml).6,7
25
Tujuan terapi osteodistrofi renal pada PGK adalah mencegah deformitas
tulang dan normalisasi kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat
dan terapi farmakologi berupa pengikat fosfat dan vitamin D.10 Terapi vitamin D
dimulai ketika pasien menderita PGK stadium tiga. Dosis dinaikkan secara
bertahap, bergantung kepada kadar fosfat serum dan kadar hormon paratiroid.11
Pasien dengan PGK stadium 2-4 mulai diberi kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat
kadar 25-hidroksivitamin D >30ng/mL dan kadar hormon paratiroid serum di atas
nilai normal. Pada PGK stadium lima dan kadar hormon paratiroid >300 pg/mL.
Kalsitriol diberikan untuk menurunkan kadar hormon paratiroid sampai kadar 200-
300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara intermiten, baik melalui intravena maupun
oral.7
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada pasien dengan LFG kurang dari 15
ml/menit atau penyakit ginjal kronik derajat 5. Terapi tersebut berupa hemodialisis,
Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD), dan transplantasi ginjal.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dialisis
adalah tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai
bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas
hidup yang optimal yang terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis. Dialisis
peritoneal merupakan terapi pengganti ginjal dengan mempergunakan peritoneum
pasien sebagai membran semipermeabel, antara lain Continous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Ambulatory Peritoneal Dialysis (APD).
Sedangkan hemodialisis adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan
alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksis uremik dan mengatur cairan
elektrolit tubuh.5,6,7
Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD) merupakan salah satu
bentuk dialisis peritoneal untuk pasien dengan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal
kronik. CAPD dilakukan 3 – 5 kali per hari, 7 hari perminggu dengan setiap kali
cairan dialisis dalam kavum peritoneum (dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada
umumnya dwell-time pada waktu siang 4 – 6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam.
26
CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam
perminggu, namun klirens solute dengan berat molekul antara 1000 – 5000 dalton
(middle molecule) 4 – 8 kali lebih besar dari HD. Middle Molecule merupakan
dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap
sindrom uremia. CAPD terbukti dalam mengendalikan keluh dan kesah gejala
uremia dengan baik. Namun penurunan konsentrasi toksin metabolic uremia tidak
cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat
intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien seperti
HD.5
Kontraidikasi dari CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigl dan
pasien yang tidak bisa bekerja sama dengan baik. Pada kasus perlengketa yang luas,
distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar perlu
pengawasan yang lebih. Tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan pada diat
pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan pentingnya pengetian hubungan
antara intake dan output, keseimbangan cairan, elektrolit dan pengambilan produk
metabolic oleh dialisis.5
Komplikasi CAPD dapat dibagi menjadi komplikasi teknis dan komplikasi
medis. Komplikasi teknis pada umumnya bukan komplikasi serius dan mudah
diatasi, antara lain bocornya cairan diasilat, sumbatan pada saat masuk atau keluar,
kesalahan letak kateter, dan kesalahan teknis lainnya. Komplikasi medis pada
umumnya juga tidak terlalu serius, terdiri antara lain hipotensi, keluhan
gastrointestinal (mual, muntah, hilangnya nafsu makan, dan lain sebagainya), nyeri
sendi, sakit tulang punggu, kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat
masuknya kateter, dan peritonitis.5
Hemodialisis memiliki delapan kali kemampuan dialisis peritoneal untuk
mengeluarkan zat-zat terlarut dan empat kali kemampuan dialisis peritoneal untuk
mengeluarkan cairan. Sehingga hemodialisa lebih cocok digunakan untuk kondisi
yang memerlukan koreksi cepat.
27
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada
hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser
(berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui
proses difusi dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan
di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah,
sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring
melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi
solute (zat terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut
(sisa metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel
demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam
tubuh.6
Penyakit ginjal kronis stadium 5 merupakan indikasi untuk transplantasi.
Meskipun demikian, tidak semua pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5
dapat menjadi kandidat untuk transplantasi ginjal. Prosedur ini dapat terlalu
berisiko bagi sebagian karena komorbiditas yang telah diderita pasien atau karena
kontraindikasi tertentu, seperti infeksi kronis yang akan dieksaserbasi oleh
imunosupresi. Kontraindikasi absolut bagi transplantasi ginjal adalah keganasan
aktif, terutama jika telah bermetastasis. Infeksi HIV dan potensi rekurensi penyakit
ginjal juga perlu dipertimbangkan dalam rencana transplantasi.5,6,10
Komplikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, komplikasi merupakan suatu hal
yang tidak jarang terjadi. Beberapa keadaan komplikas yang dapat terjadi adalah
anemia, toksisitas urea, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan kelainan mineral
tulang. Beberapa komplikasi tersebut tingkat keparahannya akan sejalan dengan
tingkat keparahan itu sendiri.
28
Anemia
Pada setiap individu, anemia mungkin merupakan tanda laboratorium awal
dari masalah medis yang mendasarinya. Akibatnya, jumlah darah lengkap,
termasuk konsentrasi hemoglobin (Hb), secara rutin menjadi bagian dari penilaian
kesehatan secara global. Pasien dengan PGK tetapi fungsi ginjalnya stabil,
perkembangan anemia dapat menandakan masalah baru yang menyebabkan
kehilangan darah atau mengganggu produksi sel darah merah. Anemia harus
dievaluasi secara independen dari tahap PGK untuk mecegah adanya komplikasi
lainnya.9
Anemia berkembang pada pasien CKD dengan prevalensi 50%. Keparahan
anemia bergantung pada tingkat keparahan CKD. Walaupun anemia dapat terjadi
karena beberapa mekanisme, penurunan kadar eritropoetin merupakan faktor utama
yang mendasari pada pasien dengan CKD. Eritropoetin disekresikan oleh ginjal,
khususnya fibroblast interstisial pada ginjal yang berfungsi untuk merangsang
sumsum tulang untuk produksi eritrosit. Pada pasien dengan CKD, terjadi fibrosis
tubulointerstisial, yang menyebabkan produksi eritropoetin menurun. Eritropoeitin
berfungsi sebagai salah satu bahan untuk memproduksi sel darah merah sehingga
jumlah sel darah merah menjadi berkurang. Hal inilah yang mendasari terjadinya
anemia pada pasien gagal ginjal kronik.9
Toksisitas Ureum
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami metabolisme di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Hasil metabolisme protein juga menghasilkan zat sisa
berupa senyawa ammonia (NH3). Amonia merupakan senyawa toksik yang bersifat
basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi senyawa yang tidak
toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Urea mempunyai sifat yang mudah berdifusi
dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai komponen urin, serta sejumlah
kecil urea diekskresikan melalui keringat. Keadaan uremia berarti urea di dalam
darah. Keadaan uremia terjadi sebagai asosiasi terhadap PGK.11
29
Uremic Encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati
metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang
global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku,
dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.
Ensefalopati uremik dapat disebabkan oleh Gagal Ginjal Akut maupun Gagal
Ginjal Kronis. Pada pasien ini terjadi penurunan kesadaran tanpa diketahui adanya
riwayat kejang maupun perubahan tingkah laku.11
Hipertensi
Keadaan hipertensi pada pasien PGK selain sebagai faktor resiko, dapat juga
sebagai sebuah komplikasi. Pada pasien PGK, urine output akan menurun dan
menyababkan retensi cairan dalam tubuh sehingga menyebabkan keadaan
hipertensi.9
Kerusakan fungsi ginjal dalam menyerap natrium juga berperan dalam
terjadinya hipertensi. Natrium yang harusnya diserap sebagian besar pada tubulus
proximal, pada pasien PGK mekanisme tersebut akan terganggu, sehingga ginjal
akan mengira tubuh kekurangan natrium dan mengakifkan system RAAS dan
menyebablan hipertensi. Selain itu, rusaknya filtrasi pada PGK akan menyebabkan
protein akan ikut terbuang dalam urin, salh satunya adalah albumin. Albumin
sendiri merupakan protein yang berfungsi dalam mempertahankan cairan agar tetap
berada di intravaskular, dengan menurunnya kadar albumin dalam tubuh maka
cairan akan pindah ke ekstravaskular dan secara klinis terjadi edema terutama pada
organ yang memiliki vaskularisasi banyak.9
30
Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskuler yang biasa dijumpai pada pasien dengan PGK adalah
gangguan irama jantung dan Left ventricle hypertrophy (LVH). Keadaan gangguan
irama jantung disebabkan oleh kalium yang terdapat dalam tubuh meningkat,
kelainan pada ginjal menyebabkan pompa Na-K terganggu sehingga menyebabkan
kalium meningkat dan terjadi aritmia.6
Keadaan LVH biasanya dihubungkan dengan keadaan hipertensi. Aliran
darah yang semakin banyak masuk ke ventrikel kiri akan membuat ventrikel kiri
memompa dengan tenaga yang lebih dari biasanya. Keadaan seperti yang terjadi
menerus akan menyebabkan otot ventrikel kiri menjadi hipertrofi. Pasien dengan
PGK identik dengan keadaan hipertensi, sehingga keadaan LVH akan tidak jarang
ditemukan pada pasien PGK.6
31
Prognosis
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, prognosis mengarah pada
perburukan. Semakin menurunnya laju filtrasi ginjal, semakin buruk juga prognosis
yang akan didapatkan. Untuk menilai prognosis biasanya dinilai dari penurunan
laju filtrasi dan albuminuria. Keadaan albuminuria penting dinilai untuk
menentukan seberapa parah glomerulus sudah “bocor”. Fungsi albumin sendiri
merupakan molekul osmotik, sehingga berfungsi sebagai menjaga cairan tetap
berada di intravascular, keadaan albumin yang rendah akan menyebabkan cairan
intravaskular pindah ke ekstravaskular sehingga secara klinis pasien akan terlihat
bengkak terutama daerah yang memiliki vaskularisasi banyak seperti paru – paru.
Penilaian prognosis berdasarkan laju filtrasi glomerulus dan albunminuria dapat
dilihat pada tabel 3 berikut.9,12,13
Tabel 3. Klasifikasi Prognosis Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus dan
Albuminuria.9
32
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 Anamnesis
Pasien merasa sesak sejak 1 hari SMRS. Sesak timbul tidak menentu, sesak
tidak diperberat dengan aktivitas dan menghilang setelah pemberian oksigen dan
istirahat. Pasien mengaku sering sesak sejak 6 bulan yang lalu setelah melakukan
cuci darah selama 3 bulan. Sesak tidak disertai dengan nyeri dada. Pasien juga
mengaku bahwa kakinya sering bengkak sejak 1 tahun terakhir namun hilang
dengan sendirinya. Terkadang bengkak juga terjadi pada seluruh tubuh pasien.
Sejak 8 bulan terakhir pasien didiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) dan
melakukan cuci darah seminggu 2 kali pada hari senin dan kamis dengan jumlah
asupan cairan perhari 400 cc. Sebulan terakhir pasien mengganti cuci darah menjadi
CAPD atas keinginan sendiri. Setelah dilakukan CAPD keluhan sesak dan bengkak
masih ada, namun efek pada saat cuci darah seperti lemas sudah tidak ada. Pasien
juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Pasien sebelumnya sering
mengkonsumsi minuman kemasan seperti Tea Jus, Jasjus dan lainnya dengan
frekuensi setiap hari hingga 3 sampai 4 bungkus.
Pasien juga merasakan adanya mual dan muntah, muntah yang dikeluarkan
berupa makanan dan cairan, sekitar setengah gelas air mineral tanpa adanya lendir
dan darah. Pasien menyangkal keadaan demam dan batuk. Pasien juga mengaku
tidak mengkonsumsi obat – obatan rutin sebelumnya. BAB tidak ada keluhan,
keluhan BAK hanya 2 sendok makan pada saat awal cuci darah dan pada saat
beberapa waktu ini BAK hanya menetes, pada saat BAK tidak ada nyeri maupun
darah.
33
4.2 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda vital
Denyut nadi : 95 x/menit
Pernapasan : 33 x/menit, abdominal torakal
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Suhu tubuh : 36,8oC
Antropometri
Berat badan : 50 kg
Tinggi Badan : 165 cm
BMI : 18,36 kg/m2 (Underweight)
Status Generalis
Kepala : Normocephaly
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
eksophtalmus -/-, enophthalmus -/-, edema
periorbital -/-, injeksi konjungtiva -/-.
Telinga : Serumen minimal, cairan -/-
Hidung : Perdarahan mukosa hidung (-), hiperemis (-)
Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Mulut : Sianosis (-), lidah tremor (-), lidah miring (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+1 cmH2O
Thorax
Paru
Inspeksi : normothorax, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat dada tertinggal (flail chest)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus simetris.
34
Perkusi : Redup pada lapang basal paru kiri.
Auskultasi : Suara nafas sedikit menurun pada basal paru kiri,
rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tak tampak iktus cordis
Palpasi : iktus cordis tidak teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, simetris, caput medusa (-),
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Palpasi : Supel, massa (-), teraba organ (-), asites (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Urogenital : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema lengan -/-,
edema tungkai -/-.
35
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Hematokrit 25 23 22 24 42-52%
MCV 80 80 81 81 79-99 fL
MCH 28 28 28 28 27-31 pg
36
Pemeriksaan 5 Mei 2019 Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Ureum 169 20 – 50 mg/dL
Saturasi O2 98.6 94 – 98 %
37
USG Abdomen (06 Juli 2018)
batas normal
38
BAB V
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi
penyakit ginjal kronis.2017; Diakses pada 8 Mei 2019 [www.depkes.go.id
/pusdatin/infodatin/infodatin2017.pdf]
2. Aisara S, Azmi S, Yanni M. Gambaran klinis pada pederita penyakit ginjal
kronis yang menjalani dialisis pada RSUP Dr. M djamil padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2018; 7 (1): 42-50.
3. Arifa S I, Azam M, Handayani O W. Faktor yang berkaitan dengan kejadian
penyakit ginjal kronik pada penderita hipertensi di Indonesia. MKMI. 2017; 13
(4): 319-28.
4. Luana L A, Panggabean S, Lengkong J, Christin I. Kecemasan pada penderita
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rumah sakit universitas
kristen indonesia. Media Medika Indonesiana. 2012; 46 (3): 151-7.
5. Setiati S, Alwi I, Sedoyo A W, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2015. h. 2161-297.
6. Ervina L, Bahrum D, Leastari H I. Tatalaksana penyakit ginjal kronik pada
anak. MKS. 2015; 47 (2): 144-50.
7. Pardede S O, Chunnaedy S. Penyakit ginjal kronik pada anak. Seri Pediatri.
2009; 11 (3): 199-203.
8. Michele M W, Grootendorst D C, Verduijn M. Performance of the cockcroft-
gault, mdrd, and new ckd-epi formulas in relation to gfr, age, and body size.
Am Soc Nephrol. 2010; 5 (503): 1003-9.
9. Andrew S, Levey, Paul E, et al. The definition, classification, and prognosis of
chronic kidney disease: a KDIGO Controversies confrences report. 2011.
Kidney International: 80; 17-28.
10. Henry Ford Health System. Chronic kidney disease. 6th ed. Los Angeles:
University of California; 2012.
11. Sirait F R, Sary M I. Ensefalopati uremikum pada penyakit ginjal kronik. J
Medula Unila. 2017; 7 (1): 19-25.
40
12. Tandi M, Mongan A, Manoppo F. Hubungan antara derajat penyakit ginjal
kronik dengan nilai agregasi trombosit di rsup prof. Dr. R. D. kandou manado.
Jurnal e-Biomedik. 2012; 2 (2): 509-13.
13. Lukela J R. Management of chronic kidney disease. Michigan: Michigan
Medicine University of Michigan; 2014.p.12-27.
41