Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RETENSIO URINE ET CAUSA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

DISUSUN OLEH :
dr.Tomy Gyanovan

PENDAMPING PIDI
dr. M. Nur Zulkarnaen
dr. Miftakhul Huda

DOKTER INTERNSIP WAHANA RS SITI KHODIJAH PEKALONGAN


PERIODE SEPTEMBER 2018-SEPTEMBER 2019
KOTA PEKALONGAN
PROVINSI JAWA TENGAH

1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan serta disetujui laporan kasus dengan judul :

RETENSIO URINE ET CAUSA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

Oleh :
dr. Tomy Gyanovan
Dokter Internsip RS Siti Khodijah Pekalongan
Program Internsip Dokter Indonesia

Rumah Sakit Siti Khodijah Pekalongan


Kota Pekalongan
Provinsi Jawa Tengah

Pendamping Dokter Internsip Rumah Sakit Siti Khodijah Pekalongan,

dr. M. Nur Zulkarnaen dr. Miftakhul Huda

2
No. ID dan Nama Peserta : Presenter : dr. Tomy Gyanovan
dr. Tomy Gyanovan
No. ID dan Nama Wahana : Pendamping: 1. dr. Miftakhul Huda
RS Siti Khodijah, Kota Pekalongan 2. dr. M. Nur Zulkarnaen
TOPIK : Retensio Urin et causa Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Tanggal (Kasus) :
Nama Pasien/Umur: Tn. YS/63 tahun No. RM : 185XXX
Tanggal Presentasi : Dokter Penanggung Jawab:
dr. Choirul Hadi, Sp.U
Tempat Presentasi :
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi :
Tn. YS usia 63 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan tidak dapat buang air kecil sejak 15
jam SMRS disertai nyeri perut bagian bawah (+). Keluhan lain seperti buang air kecil disertai
darah dan demam disangkal. Pasien mulai mengeluhkan buang air kecil (BAK) seperti tidak
lampias sejak 1 tahun belakangan, ketika bak pasien harus disertai dengan mengejan, pada
akhir bak sering menetes, terasa sakit dan tampak benjolan pada daerah perut bagian bawah.
 Tujuan :
Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien dan penanganannya
Bahan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan
Cara  Diskusi  Presentasi  E-mail  Pos
Membahas dan Diskusi
DATA PASIEN Nama : Tn. YS No. Registrasi : 185XXX
Nama Klinik : IGD Telp : - Terdaftar sejak : 13 Mei 2019
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Gambaran Klinis (Riwayat Penyakit Sekarang) :
Tn. YS usia 63 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan tidak dapat buang air
kecil sejak 15 jam SMRS disertai nyeri perut bagian bawah (+). Keluhan lain seperti
buang air kecil disertai darah dan demam disangkal. Pasien mulai mengeluhkan buang air

3
kecil (BAK) seperti tidak lampias sejak 1 tahun belakangan, ketika bak pasien harus
disertai dengan mengejan, pada akhir bak sering menetes, terasa sakit dan tampak
benjolan pada daerah perut bagian bawah.
HASIL PEMBELAJARAN :
1. Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien
2. Mengetahui penanganan awal pasien
RETENSIO URIN ET CAUSA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)
SUBJECTIVE
A. Keluhan Utama : tidak bisa buang air kecil
B. Keluhan Penyerta : nyeri perut bagian bawah
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn. YS usia 53 tahun datang ke IGD RSU Islam Harapan Anda dengan keluhan tidak
dapat buang air kecil sejak 15 jam SMRS disertai nyeri perut bagian bawah (+).
Keluhan lain seperti buang air kecil disertai darah dan demam disangkal. Pasien mulai
mengeluhkan buang air kecil (BAK) seperti tidak lampias sejak 1 tahun belakangan,
ketika bak pasien harus disertai dengan mengejan, pada akhir bak sering menetes,
terasa sakit dan tampak benjolan pada daerah perut bagian bawah.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Diabetes (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat sesak napas (-)
Riwayat alergi (-)
E. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat alergi (-)
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien termasuk golongan sosio-ekonomi menengah kebawah. Bekerja sebagai
buruh mebel. Biaya pengobatan menggunakan BPJS PBI.
OBJECTIVE

4
I. Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 13 Mei 2019 pukul 08.00 WIB di IGD RS Siti
Khodijah.
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tanda Vital:
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 84 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,7 oC (Axiller)
Kepala : mesosefal
Kulit : turgor kulit cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), nyeri tekan (-)
Mulut : bibir pucat (-), bibir sianosis (-), atropi papil lidah (-)
Telinga : disharge (-)
Tenggorok : teraba pembesaran kelenjar getah bening -/-
Leher : trakhea di tengah, JVP R+0, pembesaran nnll (-), pembesaran thyroid (-)
Dada : simetris, atropi m.pectoralis (-)

Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS, tidak kuat angkat, tidak
melebar, pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrial (-), sternal lift (-), thrill
(-)
Perkusi : Batas atas : SIC II LPS sinistra
Batas kanan : LPS dextra
Batas kiri : SIC VI 2 cm lateral LMCS
Auskultasi : 84 HR x /menit, reguler
Bunyi jantung I-II ireguler, bising(-),
gallop(-)

5
Pulmo :
Inspeksi : simetris saat statis dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+)
SD Vesikuler,
Wheezing (-/-)
RBK (-/-) ST (-/-)

Abdomen:
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+) supra pubik

Ekstremitas SUPor INFor


Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Status Lokalis (Rectal Touche)
Tonus baik
Ampula recti tidak kolaps
Mukosa licin
Prostat : Porus superior tidak teraba, reguler (rata), tidak ada nyeri tekan
Kesan : Pembesaran Prostat

a. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah tanggal 13 Mei 2019
HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,2 gr/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 41,5 % 40-52

6
Eritrosit 4,51 jt/uL 4,5- 5,5
MCH 31,5 Pg 26-34
MCV 92 fL 80-100
MCHC 34,2 g/dL 32-36
Leukosit 10, 9 ribu / uL 4,2 – 9,3
Trombosit 299 ribu / uL 150 – 440
Golongan darah O
SERO IMUNOLOGI
HbsAg Negatif
HIV ICT Negatif
DIFF COUNT
Netrofil 88 % 50 – 70
Limfosit 6,5 % 20 – 40
MXD 5,5 % 0-10
KIMIA KLINIK
GDS 85 mg/dL 74-110
Kreatinin 1,03 Mg/dl 0,62-1,10
COAGULASI
CT 5,00 menit 3,00-7,00
BT 2,00 menit 1,00-3,00

Pemeriksaan USG Prostat tanggal 15- Mei 2019


Prostat:
Ukuran membesar, 5,08 cm x 6,31 cm, permukaan rata, ekostruktur homogeny, tak tampak
mikrokalsifikasi.
Kesan:
Prostat hipertropi

ASSESSMENT
Retensio Urine et causa Benign Prostate Hyperplasia

TATALAKSANA IGD

7
1. IVFD RL 20 tpm
2. Cateter urin
3. Injeksi ketorolac 3x1 ampul
4. Injeksi ranitidine 2x1 ampul
5. Konsul dr. Choirul Hadi, Sp. U

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran
dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan
menimbulkan gangguan miksi. Dalam keadaan berat gangguan miksi ini
dapat berkembang menjadi retensi urin yang biasanya menjadi salah satu alas
an terbanyak pasien dibawa ke IGD.

B. EPIDEMIOLOGI
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki,
insidennya berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat
dari 20% pada laki-laki yang berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia 51-60
tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun
bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi juga berhubungan
dengan usia. Pada usia 50 tahun + 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi
pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75 tahun dimana
50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada saat
berkemih.
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013
terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161
pasien urologi yang menjalani operasi. Faktor-faktor resiko terjadinya BPH
masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada predisposisi genetik
atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang
menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar
bersifat autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua
menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan
yang normal.

C. ETIOLOGI

9
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat
multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen
epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul
nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia


prostat adalah:

1) Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat


penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan


kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat
berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah
meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

3) Interaksi stromal-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel


epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara

10
intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
sel stroma.

4) Berkurangnya kematian sel prostat

Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel


dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam
keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat.

5) Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu


dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel
yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel.

Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa


BPH dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan
regresi pada BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak
korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume
pada BPH. Hal ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses
penuaan yang mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan
prostat lebih sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian
yang mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita
BPH.

11
6) Teori Inflamasi

Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit


inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan
LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi pada histopatologi
dari 3942 pasien BPH (De Nunzio dkk, 2011). Sementara penelitian dari
Daniels, dkk. menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan
BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali
lebih besar untuk terjadinya BPH.
Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik
pada prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan
terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya
yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi.
Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin
berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai
IPSS.

D. ANATOMI

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah
kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar
ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam
beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional,
zona preprostatik dan zona anterior.

Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan


stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah,
saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan
yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini
dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk

12
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat
mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus
prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari
corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi
parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam
uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan
inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada
tempat tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis
mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Gambar 1. Anatomi Prostat

13
E. FAKTOR RISIKO

1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten
yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase, yang
memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli
(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena
pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi
karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala.
Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,
dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron
yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur
fungsi ereksi.
Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan
mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia,
kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan
turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi
BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling
rendah.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin
banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar
risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu

14
anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali
bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi
2-5 kali.
5. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual,
tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh
yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah
apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga
lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit
lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis.
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh
terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat
terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar
prostat. Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak
pada abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk memperkirakan lemak
tubuh adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah
Body Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur
dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m).
Interpretasinya (WHO) adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas
(BMI > 30 kg/m2). Pengukuran BMI mudah dilakukan, murah dan
mempunyai akurasi tinggi. WHR diukur dengan cara membandingkan
lingkar pinggang dengan lingkar panggul. Pengukurannya dengan cara
penderita dalam posisi terlentang, lingkar pinggang diambil ukuran
minimal antara xyphoid dan umbilicus dan lingkar pinggul diambil
ukuran maksimal lingkar gluteus - simfisis pubis. Pada laki-laki
dinyatakan obesitas jika lingkar pinggang > 102 cm atau WHR > 0,90.
Pada penelitian terdahulu didapatkan Odds Rasio (OR) pada laki-laki
yang kelebihan berat badan (BMI 25-29,9 kg/m2) adalah 1,41 pada
lakilaki obesitas (BMI 30-34 kg/m2) adalah 1,27 sedangkan pada laki-laki
dengan obesitas parah (BMI >35 kg/m2) adalah 3,52.
6. Pola Diet

15
Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh
pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena
defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang
selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron.6 Selain itu, makanan
tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron.
Penelitian terdahulu didapatkan OR : 2,38 (95% CI : 1,204,90). Walaupun
kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone yang
merupakan bahan baku DHEA (dehidroepian-androsteron) yang dapat
memproduksi testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi
penumpukan lemak pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan
mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat
menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan
produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat.
Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko BPH
dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai yang
kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk
memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen. Jika
estrogen yang kuat ini sampai menstimulasi reseptor dalam prostat, dapat
menyebabkan BPH. Studi demografik menunjukkan adanya insidensi
yang lebih sedikit timbulnya penyakit prostat ini pada laki-laki Jepang
atau Asia yang banyak mengkonsumsi makanan dari kedelai. Isoflavon
kedelai yaitu genistein dan daidzein, secara langsung mempengaruhi
metabolisme testosteron.
Risiko lebih besar terjadinya BPH adalah mengkonsumsi margarin dan
mentega, yang termasuk makanan yang mengandung lemak jenuh.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh yang tinggi (terutama
lemak hewani), lemak berlebihan dapat merusak keseimbangan hormon
yang berujung pada berbagai penyakit. Estrogen, hormon yang jumlahnya
lebih besar pada wanita ternyata juga dimiliki oleh pria (dalam jumlah
kecil). Namun, hormon ini sangat penting bagi pria, sebab estrogen
mengatur libido yang sehat, meningkatkan fungsi otak (terutama ingatan),
dan melindungi jantung. Tetapi jika tingkatnya terlalu tinggi, maka

16
tingkat hormon testoteron akan berkurang, dan pria akan mengalami
kelelahan, lemas, fungsi seksual yang menurun, dan akan terjadi
pembesaran prostat.
Masukan makanan berserat berhubungan dengan rendahnya kadar
sebagian besar aktivitas hormon seksual dalam plasma, tingginya kadar
SHBG (sex hormone-binding globulin), rendahnya/bebas dari testosteron.
Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari
waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar
sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di
dalam inti sel. Pada sayuran juga didapatkan mekanisme yang multifaktor
dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti
karotenoid, selenium dan tocopherol. Dengan diet makanan berserat atau
karoten diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan
memberikan lingkungan yang akan menekan
berkembangnya sel-sel abnormal.
7. Aktivitas Seksual
Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk
pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks
berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat
mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika
suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang
mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak
bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH.
Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya
kadar hormon testosteron.
8. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok
meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan
penurunan kadar testosteron.
9. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6
yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar

17
prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan
organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di
dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron
kepada DHT.
10. Olah raga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih
sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif
olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat
memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan
mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap
stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan
dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual. Olahraga yang
baik apabila dilakukan 3 kali dalam seminggu dalam waktu 30 menit
setiap berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang dari 3 kali dalam
seminggu terdapat sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik tetapi
tidak ada tambahan keuntungan yang berarti bila latihan dilakukan lebih
dari 5 kali dalam seminggu. Olahraga akan mengurangi kadar lemak
dalam darah sehingga kadar kolesterol menurun.
11. Penyakit Diabetes Mellitus
Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL
mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki
dengan penyakit Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua kali terjadinya
BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal.

F. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-

18
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan
struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatimus.
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.

Hiperplasia Prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesika meningkat
↓ ↓
Buli-buli: Ginjal dan
ureter:
 Hipertrofi otot detrusor Refluks VU
 Trabekulasi Hidroureter
 Selula Hidronefrosis
 Divertikel buli-buli Gagal ginjal

Bagan1. Pengaruh Hiperplasia prostat Pada Saluran Kemih

19
Hidronefrosis

Hidroureter

Hipertofi otot detrusor

Benigna prostat hiperplasi

G. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Tanda Dan Gejala
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) :
Obstruksi Iritasi
 Hesitansi  Frekuensi
 Pancaran miksi lemah  Nokturi
 Intermitensi  Urgensi
 Miksi tidak puas  Disuria
 Menetes setelah miksi
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot
buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli
mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh faktor pencetus
antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan
yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/
infeksi prostat)

20
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic α)
Sistem skoring I-PSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien. Skor ringan (0-7), sedang (8-19), berat (≥ 20)

Pemeriksaan Fisik
a. Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
b. Pada colok dubur yang harus diperhatikan
1) tonus sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan buli-
bulineurogenik
2) mukosa rectum
3) keadaan prostat antara lain :
Kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetris antar
lobus dan batas prostat. Pada colok dubur pembesaran prostat benigna
menunjukan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Volume yang
normal pada dewasa adalah 20-30 g. Pengukuran lebih tepat dapat
menggunakan transrektal ultrasonografi (TRUS). Raba apakah terdapat
fluktuansi (abses prostat)/ nyeri tekan (prostatitis). Konsistensi prostat
keras/teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat tidak simetris.

Gambar 2. Colok Dubur pada Pemeriksaan BPH

21
Pemeriksaan Penunjang
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein
atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi
ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang
tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
1. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia

22
Gambar 3. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat
Hiperplasia

2. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:


a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi
urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari
kelenjar prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah
suatu daerah yang abnormal tampak memang tumor, digunakan
probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor
yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan
prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama
dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan
rumus : ½ (H x W x L).

23
c. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem
cahaya yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan
kandung kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan
ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

Gambar 4. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia

d. Ultrasonografi trans abdominal


 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding
zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central
dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer
adalah “surgical capsule”.
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

24
Gambar 5. Gambaran Sonografi Prostat Normal

Gambar 6. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia


e.Sistografi buli

Gambar 7.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benigna Prostat


Hiperplasia

3. Pemeriksaan lain :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG
setelah miksi
 Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik

25
pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang
lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu
urin. Post-void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam
kandung kemih setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum
menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran
100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta
untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG
atau kateterisasi.

Gambar 8. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH

Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih
dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat,
terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s,
pasien ini urin residunya 100 mL.

H. Diagnosis Banding
Diagnosa banding BPH
Kondisi Gejala
 Diabetes mellitus Frekuansi, aliran dan volume urin normal
 Sistitis , kanker buli, batu buli Gejala iritasi

26
 Prostatitits Gejala iritasi dan obstruksi
 Divertikulum buli
 Kondisi neurologis (injuri medulla spinalis,
kelainan medulla spinalis dsb)
 Riwayat minum obat (antikolinergik,
antidepresan, dekongestan, tranquilezer)
 Kanker prostat Gejala obstruksi
 Striktur uretra
 Kontraktur/striktur buli

I. TERAPI
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun
adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang
lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini
dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka  TUMT
waiting adrenergik α

27
Penghambat Endourologi  TUBD
reduktese α  Stent uretra
Fisioterapi 1. TURP  TUNA
Hormonal 2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi

Tabel 1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala Retensi urinaria+gejala yang


AUA berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Gejala ringan Gejala sedang Batu buli
(AUA≤7)/ Infeksi saluran urinaria
tdk ada berulang
Tes diagnostic Insufisiensi renal
Uroflow
Residu urin postvoid Operasi

Pilihan terapi

Terapi non-invasif Terapi invasif

Tes diagnostic
Pressure flow
Watchful waiting Terapi medis Uretrosistoskopi
USG prostat

Terapi minimal invasif Operasi

28
Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia

Penatalaksanaan Nilai indeks gejala Efek samping


BPH
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi
retensi urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
5 alpha-reductase Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
inhibitors Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 Kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
heat Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-
10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-
23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%
Tabel 3. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat
Hiperplasia

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi

29
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase.
 Penghambat reseptor adrenergik α
 Penghambat 5 α reduktase
 Fitofarmaka
1) Penghambat reseptor adrenergik α.
mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu
untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di
BPH. Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax),
alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin
Detrusor
(Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan
pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu
dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.
Trigone
Internal Sphincter

Prostate Gland
30

Pelvic Floor
External Sphincter

Gambar 9 Distribusi Reseptor Alpha pada Prostat dan Vesika Urinari

Gambar 10. Lokasi Reseptor a1-Adrenergik (a1-ARs)


2) Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam
sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan
replikasi sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara
langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini menyebabkan
pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.

31
Gambar 11. Model Aksi Penghambat 5 α reduktase
Contoh obat penghambat 5 α reduktase berdasarkan tipenya :
 Avodart (dutasteride) - pada tipe 1 dan 2 5ARI
 Proscar(finasteride) - hanya pada tipe 2 5ARI
3) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi parsial, tetapi data-data farmakologik
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fisioterapi sampai sata ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitofarmaka bekerja sebagai : antiestrogen, antiandrogen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factos (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolism prostaglandin, efek anti inflamasi, menuruknan outflow
resistance dan memperkecil volume prostat. Diantara fitofarmaka yang
banyak dipasarkan adalah: Pyegeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral. Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat
yang menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan
menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang
disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat
mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian
prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem
pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan
secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan
menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi
microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi
kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.

32
Gambar 12. Microwave Transurethral
2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui
transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk
pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi
tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang membesar.
Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari
prostat (TURP).

Gambar 13. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3) Thermotherapy dengan air.


Terapi ini menggunakan air panas untuk menghancurkan jaringan
kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter mengandung beberapa lubang
diposisikan dalam uretra sehingga balon pengobatan terletak di tengah
prostat. Sebuah komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon
dan memanaskan jaringan prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan

33
panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar jaringan dalam uretra dan
kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur keluar melalui urin

Gambar 14. Thermotherapy dengan Air

4) Intra-Prostatic Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara
leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine
dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent temporer dipasang
selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi jaringan. Stent yang permanen terbuat dari anyaman
dari bahan logam super alloy, nikel atau titanium. Sayangnya setelah
pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa
gejala iritatif, perdarahan uretra atau rasa tidak enak di daerah penis.

Gambar 15. Intra-Prostatic Stent

d. Bedah
1) Operasi transurethral

34
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan
anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen
melalui uretra. Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat
(TURP) digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan
untuk BPH. Dengan TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan
melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan diameter
1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan loop
listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah
sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik
dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang
dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai
gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan jatuh ke
dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP
operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1
jam dan haru smemasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada
suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke kandung
kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir operasi. Prosedur
transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan
memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang
mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam
kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih selama
klimaks bukannya keluar uretra.
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra

Tabel 4. Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan

35
(a)

(b)

(c)
Gambar 16. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca
TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di
leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini
digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.

Gambar 17. Prosedur Trans Uretral Incision Prostat (TUIP)

36
2) Open surgery
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat
digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat
digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat
membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih
telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui
pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal
(Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%),
impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher
buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan
pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser
menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan
terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat
diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG
coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat
berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah
operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser
melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian
memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60
detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan.

Gambar 18. Operasi Laser pada Prostat


a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke
jaringan prostat untuk menghancurkannya.

37
Gambar 19. Interstitial laser coagulation

b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).


PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara
sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang
spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu
membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman tidak
menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan
membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.

Gambar 20. Potoselectif vaporisasi prostat


e. Kontrol berkala

 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik

38
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.

J. KOMPLIKASI
 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi
kandung kemih, nyeri suprapubik
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter
 Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal

K. PROGNOSIS
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu.
BPH yang tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan
pasien itu sendiri seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran
kemih yang berulang, dan hematuria (Deters, 2011).

39
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R. 2007. Factor-faktor Resiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak


(Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani
Semarang) Tahun 2007. Tesis. Semarang: Universitass
Diponegoro.
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka
Cipta.
Elizabet, dkk. 1999. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of
Benign Prostatic Hyperplasia. American Journal of Epidemiology
Vol. 149,No. 2.
Fawzy A, Pool JL. 2010. Benign Prostatic Hypertrophy and the Role of Alpha
Adrenergic Blockade.
http://www.medscape.com/viewprogram/2010
Gardjito W.Retensi Urin : Permasalahan dan Penatalaksanaan. JURI 1994; 4: 18-
26
Giatrininggar, E. 2013. Continous Bladder Irrigation (CBI) pada Klien Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) Post Transurethral Resection
Prostate (TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP

40
Persahabatan. Karya Ilmiah Akhir Ners. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the
Management of Non-‐Neurogenic Male Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction
(BPO). Europea Association of Urology 2014.
Lepor H. 2007. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic
Hyperplasia. Rev Urol 9(4): 181–190.
McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, et al. 2010. Management of
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) American
Urological Association education and Research, Inc. Chapter
3:13-35.
Purnomo,B. 2011. Dasar-dasar Urologi : Hiperplasia Prostat Beigna. Edisi 3.
Jakarta: Sagung Seto.
Rasyidi, Z.M., Haskes, Y. 2013. Fafktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian hipertropi prostat di ruang rawat inap RS Ibnu Sina
Makasar. Volume 2.
Sjamsuhidayat, Jong WD.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisis 4. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sujiati, T. 2010. Hubungan Frekuensi Seksual Terhadap Kejadian BPH di RSUD
Kabupaten Kebumen.
Wang D, Foo KT. 2010. Staging of Benign Prostate Hyperplasia is helpful in
patients with LUTS suggestive of Benign Prostate Hyperplasia.
Ann, Acad. Med. Singapore ; 39

41

Anda mungkin juga menyukai