Anda di halaman 1dari 18

KEPANITERAAN KLINIK LAPORAN KASUS

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM APRIL 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

HEMATEMESIS MELENA ec ULKUS ANTRUM DAN ULKUS


DUODENUM

Oleh:
Luthfi Talayansa
K1A1 15 024

Pembimbing : dr. Fercee Primula, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULATAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OELO
KENDARI
2019
BAB I
IDENTIFIKASI KASUS
A. INDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Tanggal Lahir : 10 Desember 1948
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Nusantara Kelurahan Dawi-Dawi
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Status Pernikahan : Janda
Tanggal Masuk : 22 April 2019
Nomor Rekam Medik : 10 38 33
DPJP : dr. Abdul Rahman M, Sp.PD-KGEH

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama: Nyeri uluh hati yang memberat 1 minggu terakhir
2. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan nyeri
uluh yang dirasakan sejak lama dan memberat 1 minggu terakhir.
Nyeri dirasakan terus menerus tanpa dipengaruhi oleh makanan. Pasien
juga mengeluhkan muntah bercampur darah segar sebelum masuk
rumah sakit dengan frekuensi 3 kali disertai BAB berwarna hitam 1
kali pada pagi harinya sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluhkan pusing berputar dan nyeri kepala yang dirasakan sejak 1
minggu terakhir. BAK dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat
hipertensi dengan pengobatan teratur. Pasien juga memiliki riwayat
DM terkontrol. Pasien juga memiliki riwayat maag dan sering
mengonsumsi obat antasida. Riwayat penyakit sebelumnya dengan
keluhan yang sama (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat penyakit
keluarga dengan keluhan yang sama (-), riwayat merokok (-), riwayat
konsumsi alcohol (-), riwayat minum jamu-jamuan (-).

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit sedang, Composmentis, Status gizi baik
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
150/90 mmHg 80 x/Menit 20 x/Menit 36,5 0C/Axillar
(reguler, kuat
angkat, isi cukup)

Status Generalis
Kepala Normocephal, simetris, kaku kuduk (-)
Rambut Berwarna hitam dan putih
Mata Konjunctiva anemis (+), sklera ikterik (-), Exopthalmus (-),
edema palpebra -/-, Gerakan bola mata dalam batas normal,
refleks kornea (+) refleks pupil (+)
Hidung Epitaksis (-) rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Mulut Bibir pucat (-) bibir kering (-) perdarahan gusi (-) lidah kotor
(-), tremor (-), atrofi papil lidah (-) faring hiperemis (-) tonsil
T1/T1
Leher Inspeksi: pembesaran kelenjar (-), hiperemis (-). JVP normal
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (-),
Auskultasi: Bruit tiroid (-)
Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela
iga (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus kanan=kiri
Perkusi
Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler, Rhonki basal (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis tidak teraba teraba
Perkusi
Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternal dextra, batas
jantung kiri ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II regular, frekuensi 80 x/m, murmur (-)
Abdomen Inspeksi
cembung, distensi (-)
Auskultasi
peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan epigastirum (+), pembesaran hepar (-) dan
pembesaran lien (-)
Perkusi
Timpani (+)
Ekstremitas Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5, ekstremitas bawah 5/5,
ekstremitas atas tremor (-/-), Edema pretibial -/-, peteki (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Darah Rutin (13/03/2019)
Parameter Nilai Rujukan
WBC 17.36 103 U/L 4000-10000
RBC 1.76 106 U/L 4000-6000
HGB 5.4 g/dL 12.0-16.0
HCT 16.1 % 36.0-48.0
MCV 91.5 fL 80-97 fL
MCH 30.7 pg 27.0-34.0 pg
MCHC 33.5 g/dL 32-37 g/dL
PLT 265 103 U/L 150-400 103 U/L
2. Esofagogastroduodenokopi (27 April 2019)
Hasil Esofagogastroduodenoskopi
Esofagus: Mukosa normal, Z line intak

Gaster: Mukosa korpus, fundus, kardia dan antrum hiperemis. Tampak multiple
giant ulcer pada korpus dan antrum. Dasar ulkus bersih. Tidak ada perdarahan
aktif. Pyloric canal simetris. Dilakukan pengambilan sampel biopsi pada antrum.

Duodenum: Tampak 1 buah giant ulcer pada bulbus duodeni, dasar ulkus bersih.
Tidak ada perdarahan aktif. Mukosa pars desenden duodeni normal.

Kesimpulan:
Multiple ulkus korpus (Forrest III)
Multiple ulkus antrum (Forrest III)
Ulkus bulbus duodeni (Forrest III)

Saran
PPI
Rebamipide
3. Pemeriksaan Helicobacter pylori

Hasil: Helicobacter pylori positif (+)


E. RESUME
1. Nyeri uluh hati sejak lama dan memberat 1 minggu terakhir
2. Nyeri bertambah sesaat setelah makanan masuk
3. Muntah bercampur darah 3 kali sebelum masuk rumah sakit
4. BAB berwarna hitam 1 kali pagi hari sebelum masuk rumah sakit
5. Pusing berputar dan nyeri kepala sejak 1 minggu terakhir
6. Riwayat hipertensi dengan pengobatan teratur
7. Riwayat DM terkontrol
8. Riwayat maag
9. Riwayat konsumsi antasida
10. Pemeriksaan fisik:
 TD 150/90 mmHg, N 80x/menit regular, P 20x/menit, S 36.50C
 Pemeriksaan mata: konjunctiva anemis (+)
 Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan epigastrium (+)
 Pemeriksaan laboratorium ditemukan Leukositosis (WBC 17.36 103/µL),
RBC 1.76 106/µL, HBG 5.4 g/dL, HCT 16.1%.
F. DIAGNOSA
Hematemesis Melena ec Gastritis Erosif
G. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- Tirah baring
Farmakologi
- IVFD NaCl 0.9%
- Inj Omeprazole 80 mg bolus IV dilanjutkan 40 mg dalam 50 cc
NaCl syring pump dalam 5 jam
- Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Inj Asam traneksamat 1 gr/8 jam/IV
- Transfusi PRC 2 kantong
- Inj Furosemid 1 amp premedikasi
H. FOLLOW UP
Selasa, S: Nyeri uluh hati (+), susah BAB, mual (-), P: IVFD NaCl 0.9% 500cc/12
23/04/2019 muntah (-) jam
O: TD: 160/80 mmHg Inj Ceftriaxone/12 jam
N: 80 x/m, reguler
Omeprazole 1 vial/5 jam
P: 20 x/m
Dulcolx supp. II
S: 36.5 0C
Pemeriksaan darah rutin
Mata: Konjunctiva anemis (+)
Abdomen:
I: Cembung, distensi (-)
A: BU (+) N
P: Nyeri tekan epigastrium(+)
P: Timpani (+)
A: Hematemesis melena e.c. Susp. Gastritis
erosif
Rabu S: Nyeri uluh hati (+),, mual (-), muntah (-) P: IVFD NaCl 0.9% 500cc/12
24/04/2019 O: TD: 150/80 mmHg jam
N: 84 x/m Inj Ceftriaxone/12 jam
P: 20 x/m
Inj Omeprazole 1 vial/5 jam
S: 36,2 0C
Dulcolx supp. II
HGB: 8.7 g/dL
Transfusi PRC 1 kantong
Mata: onjunctiva anemis (+)
Inj Furosemid 1 amp
Abdomen:
premedikasi
I: Cembung, Distensi (-)
A: BU (+) N Pemeriksaan darah rutin
P: Nyeri tekan epigastrium (+) Pemeriksaan Clotting Time
P: Timpani (+) (CT) dan Bleeding
A: Hematemesis melena e.c. Susp. Gastritis Time(BT)
erosif
Kamis S: Nyeri uluh hati (+), BAB masih hitam P:IVFD NaCl 0.9% 500cc/12
25/04/2019 kemarin, mual (-), muntah (-) jam
O: TD: 150/80 mmHg Inj Ceftriaxone/12 jam
N: 84 x/m
Inj Omeprazole 1 vial/5 jam
P: 20 x/m
S: 36,2 0C
CT: 8`15``
BT: 3`00``
HGB: 9.8 g/dL
Mata: Konjunctiva anemia (+)
Abdomen:
I: Cembung, Distensi (-)
A: BU (+) N
P: Nyeri tekan epigastrium (+)
P: Timpani (+)
A: Hematemesis melena e.c. Gastritis erosif
Jum’at S: Nyeri uluh hati (+), mual (-), muntah (-) P: IVFD NaCl 0.9% 500cc/12
26/04/2019 O: TD: 150/80 mmHg jam
N: 84 x/m Inj Ceftriaxone/12 jam
P: 20 x/m
Inj Omeprazole 1 vial/5 jam
S: 36,2 0C
Transfusi PRC 1 kantong
HGB: 11.5 g/dL
Inj Furosemid 1 amp
Mata: Konjunctiva anemia (+)
premedikasi
Abdomen:
Esofaogastroduodenoskopi
I: Cembung, Distensi (-)
A: BU (+) N besok pagi
P: Nyeri tekan epigastrium (+)
P: Timpani (+)
A: Hematemesis melena e.c. Susp. Gastritis
erosif
Sabtu S: Nyeri uluh hati (-), mual (-), muntah (-) P: IVFD NaCl 0.9% 500cc/12
27/04/2019 O: TD: 170/90 mmHg jam
N: 80 x/m Inj Ceftriaxone/12 jam
P: 20 x/m
Inj Omeprazole 1 vial/5 jam
S: 36,1 0C
Amlodipin 0-1-0
Mata: Konjunctiva anemia (+)
Protezid 1-0-1
Abdomen:
I: Cembung, Distensi (-)
A: BU (+) N
P: Nyeri tekan epigastrium (+)
P: Timpani (+)
Esofagogastroduodenoskopi
Multiple ulkus korpus
Multple ulkus antrum
Multiple ulkus bulbus duodeni
A: Ulkus antrum dan korpus
Ulkus duodenum
Minggu S: Nyeri uluh hati (-), mual (-), muntah (-) P: Amoxicillin 2-0-2
28/04/2019 O: TD: 160/90 mmHg Claritromicin 1-0-1
N: 86 x/m Lanzoprazole 1-0-1
P: 20 x/m
Prospide 1-0-1
S: 36,4 0C
Mata: Konjunctiva anemia (+)
Abdomen:
I: Cembung, Distensi (-)
A: BU (+) N
P: Nyeri tekan epigastrium (+)
P: Timpani (+)
A: Hematemesis melena e.c. Ulkus antrum
dan duodeni
I. DIAGNOSA AKHIR
Hematemesis melena e.c. Ulkus antrum dan Ulkus duodeni
J. PROGNOSIS
Ad Vitam: Dubia ad bonam
Ad Functionam: Dubia ad bonam
Ad Sanactionam: Dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN UMUM
1. Hematemesis Melena
Perdarahan saluran cernah bagian atas (Upper gastrointestinal bleeding
(UGIB)) didefinisikan sebagai perdarahan di proksimal ligametum Treitz
dengan gejala hematemesis, melena atau terkadang hematokezia dan dibagi
menjadi variseal dan nonvariseal(Kim dkk.: 2014; Meltzer dkk. 2014).
Penyebab paling penting perdarahan gastrointestinal akut yang mengancam
nyawa adalah ulkus peptik. Perdarahan yang signifikan diakibatkan oleh
erosi arteri di bawah permukaan dan besarnya perdarahan berhubungan
dengan defek arterial dan diameter arteri; sebagai akibat perdarahan ulkus
duodenum yang besar yang dapat mengikis arteri gaastoduodenal.
Kebanyakan kasus datang dengan atau tanpa riwayat dispepsia, penggunaan
obat antiinflamasi (OAINS) sangat umum ditemukan(Palmer: 2004).
Gejala perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak adalah melena
sebanyak 93.4% dan hematemesis dan hematokezia masing-masing 60%
dan 38.3%. sebanyak 56.1% pasien masuk dengan keluhan pusing. 53%
pasien masuk dengan keluhan nyeri abdominal, ikterik 9.4%, dan sebanyak
39.4% mempunyai riwayat penggunaan obat antiinfilamasi non steroid.
Konsumsi alkohol dan merokok dilaporkan masing-masing sebanyak 12.1%
dan 2.8%. riwayat dispepsia ditemukan pada 42.9% pasien dengan
hematemsis melena. Sebanyak 31% pasien datang dengan syok
hemoragik(Alatise, 2014).
2. Ulkus Peptik
Isitlah peptik ulcer mengarahkan ke acid peptic injury pada traktus
gastroinestinal, menyebabkan rusaknya mukosa yang mencapai hingga
submukosa. Ulkus peptik biasanya ditemukan pada lambung atau dudenum
proksimal, namun dapat juga ditemukan pada esofagus atau diverticulum
Merkel. Secara umum, hipersekresi asam yang disertai dengan faktor diet
dan stres dihubungkan dengan penyebab ulkus pepti, namun penemuan
infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan obat antiinflamasi non sterid
yang luas pada abad ke-20 telah merubah persepsi tersebut (Lanas: 2017).
Prevalensi ulkus peptik pada populasi umum sekitar 5-10% dengan
insiden 0.1 – 0.3% per tahun. H. Pylori dan pengggunaan obat antiinflamasi
non sterid merupakan faktor risiko utama ulkus gaster dan ulkus duodenum.
Meskipun demikian beberapa orang dengan infeksi H. Pylori atau
penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid atau aspirin dapat menyebabkan
ulkus peptik, menunjukkan bahwa terdapat individual susceptibility
terhadap virulensi bakterial dan toksisitas obat terhadap kerusakan mukosa
(Lanas: 2017).
Hubungan antara faktor bakterial dan host menentukan luaran dari infeksi
H. pylori. Kemampuan strain H. pylori untuk memproduksi protein yang
berbeda telah dihubungkan dengan tingkat virulensi dan respon imun host.
Organisme tersebut memproduksi urease untuk membuat lingkungan asam,
yang penting untuk keberlangsungan hidupnya di lambung di bawah barrier
mukosa. Organisme tersebut juga memproduksi adesin seperti blood group
antigen adhesin (BabA) atau outer inflamatory protein adhesin (OipA),
yang memfasilitasi penempelan pada epitelium gaster. Interleukin 1β
merupakan sitokin yang dihubungkan dengan respon inflamasi terhadap
infeksi H. pylori dan menghambat sekresi gastrik. Tumor nekrosis faktor
dan lymphotoxin-α juga terbukti berperan dalam terjadinya ulkus duodenal,
ulkus gaster, dan inflamasi antral yang disebabkan oleh infeksi H. Pylori.
Pasien dengan duodenal ulcer tipikal gejalanya seperti merasa lapar atau
mempunyai nyeri absomen noturnal. Sebaliknya pasien dengan ulkus gaster
memiliki gejala postprandian abdominal pain, mual, muntah, dan kehilangan
berat badan. Orangtua dengan ullkus peptik biasanya asimtomatik atau
hanya memiliki gejala yang ringan(Lanas, 2017).
Perdarahan, perforasi, atau obstuksi gastrik outlet merupakan komplikasi
umum yang ditemukan pada penderita ulkus peptik. Perdarahan yang
bermanifestasi sebagai hemametemsis atau melen, dapat terjadi tanpa
warning symptom pada hampir setengah dari penderita ulkus peptik.
Perforasi biasanya muncul dengan nyeri yang intens yang terjdi secara
mendadak pada perut bagian atas. Endoskopi merupakan gold standard
untuk diagnosis ulkus peptik(Lanas, 2017). Evaluasi endoskopi pada
perdarahan ditentukan dengan klasifikasi Forrest yaitu: FI – Perdarahan
aktif (FIa arterial, perdarahan menyemprot, FIb – perdarahan merembes),
FII – Sisa-sisa perdarahan(FIIa – pembuluh darah terlihat, FIIb – bekuan
darah, FIIc – dasar hitam – lesi tertutupi hematin), FIII – lesi tanpa
perdarahan aktif(Hadzibulic: 2007).
Mencegah rekurensi merpakan tujuan jangka panjang yang paling
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Eradikasi helicobacter
pylori sendiri sudah cukup untuk penyembuhan ulkus peptik dan menvegah
terjadinya relaps dan perdarahan berulang tanpa disertai dengan terapi
rawitan supresif asam(Lapas, 2017).
B. TATA LAKSANA HEMATEMESIS MELENA DI INSTALASI GAWAT
DARURAT
Perdarahan saluran cerna bagian atas sangat umum ditemukan di instalasi
gawat darurat, dengan berbagai gejala eso-gastro-duodenal seperti
hematemesis, melena, dan kurang sering hematokezia atau anemia. Perdarahan
tersebut dapat disebabkan berbagai lesi yang serius, seperti ulkus peptik atau
varises. Insiden perdarahan saluran cerna bagian atas cnderung menurun tiap
tahunnya, dipengaruhi pengembangan terapi terbaru pada tata laksana ulkus
peptik atau pencegahan komplikasi hipertensi portal. Namun kejadiannya
relatif tetap tinggi akibat penggunaan yang luas obat anti inflamasi non steroid
dan anti trombotik(Thiebaud: 2017).
Pasien yang datang dengan perdarahan gastrointestinal bagian atas sangat
berisiko terjadinya hemodinamik syok dan gangguan jalan napas, oleh karena
itu, prioritas utama adalah memastikan jalan napas yang adequat, juga nafas
dan sirkulasi. Akses ke vena harus dilakukan sekurangnya 2 makrodrips, dan
pasien dengan perdarahan aktif harus dimonitor dengan pulse oksimetri,
monitor kardiak, pemeriksaan tekanan darah otomatis, monitor ketat urin
output, dan, idealnya monitor central venous pressure. Seluruh pasien harus
melakukan pemeriksaan golongan darah dan cross-matched. Tidak terdapat
penelitian yang membandingkan resusitasi awal dengan kristaloid dan koloid
pada pasien dengan perdarahan gastroinestinal bagian atas(AL Dhahab: 2012).
Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan indikasi yang sangat umum
ditemukan untuk dilakukan transfusi komponen darah. Terdapat variasi yang
luas dalam praktek klinik yang mempengaruhi treshold untuk dilakukan
transfusi, diakibatkan oleh beberapa faktor termasuk dokter, faktor pasien, dan
guideline rumasih sakit itu sendiri. Transfusi PRC sangat jarang dilakukan bila
kadar hemoglobin masih di atas 10g/dL dan hampir selalu diindikasikan pada
pasie dengan kadar hemoglobin di bawah 6g/dL. Risiko yang berhubungan
dengan konsekuensi anemia akut harus dipertimbangkan dengan risiko dari
transfusi. Pasien yang membutuhkan transfusi masif sangat mungkin akan
menyebabkan dilutional coagulopathy dan akan membutuhkan transfusi
platelet dan fresh frozen plasma. Meskipun demikian, pada perdarahan yang
tidak terlalu berat, manfaat transfusi PRC masih belum jelas. Pasien penelitian
retrospektif observasional dari 4441 pasien yang mengalami perdarahan
saluran cerna bagian atas di United Kingdom menemukan bahwa pasien
dengan hemoglobin >8 g/dL, yang menerima transfusi dalam 12 jam
dihubungkan dengan peningkatan dua kali lipat risiko untuk terjadi perdarahan
berulang. Oleh karena pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
yang tidak masif, transfusi dapat ditunda jika hemoglobin masih dalam rentang
7-8 g/dL, tanpa adanya komorbid penyakit kardiovaskuler. International
guideline merekomendasikan transfusi PRC awal untuk sebagian besar pasien
kiritis dengan hemoglobin menurunkan hinga di bawah 7g/dL, dengan target
dari 7 g/dL hingga 9 g/dL, yang tidak disertai dengan hipoperfusi, coronary
artery disease, atau acute hemorrhage(AL Dhahab: 2012).
Tujuan utama tata laksana akut pada perdarahan ulkus peptik adalah untuk
menghentikan perdarahan. Untuk alasan farmakologi dan fisiologi, obat anti
secretory harus dapat mengurangi perdarahan dari akibat asam. Karena
agregasi platelet dn koagulasi plasma tidak dapa bekerja intragastrik dengan
pH dibawah 5.4, inhibisi asam yang adequat dan terus menerus dapat
menghindari efek merusak dari sekresi asam dan aktivasi pepsin dalam proses
hemostatik(Cheng: 2011).
Intravenous PPI dapat mencegah perdarahan pada pasien dengan risiko tingi
untuk perdarahan ulkus peptik. Bolus omeprazole intravena 80 mg diikuti
dengan infus lanjutan dosisi tinggi 8 mg per jam selama 72 jam dapat
mengahmabat sekresi asam lambung dengan efektif dan mempunyai manfaat
klinis untuk pencegahan perdarahan (Cheng: 2011).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam traneksamat,
sebuah antifibrinolitik, efektif untuk perdarahan gastrointestinal. Asam
traneksamat menghambat plasminogen, yang merupakan enzim utama dalam
fibrinolisis. Asam traneksamat juga secara langsung mengurangi efek
fibrinolotik dari pepsin. Asam traneksamat juga memiliki efek anti inflamasi.
Asam traneksamat setelah diberikan kepada pasien dengan perdarahan saluran
cerna bagian atas akan mencapai konsentrasi plasma tertinggi 1 jam setelah
injeksi. Efek samping yang umum dari pemberian asam traneksamat adalah
diare dan mual. Pusing san hipotensi dapat terjadi segera setelah injeksi asam
traneksamat, dengan kecepatan infus yang direkomendasikan adalah
<100mg/menit(Tavakoli: 2017).
Efek antifibrinolitik asam traneksamat sangat efektif untuk mengurangi
perdarahan. Dosis asam traneksamat yang direkomendasikan adalah 0.5-1 g
(10-15 mg/kg) IV 3-4 kali sehari(Tavakoli: 2017).
C. PENATALAKSANAAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
Pasien dengan Helicobacter pylori positif yang mendapat terapi eradikasi,
dibagi menjadi tiga kelompok:
- Sangat dianjurkan: tukak duodeni, tukak gaster, pasca reseksi kanker
lambung dini, limfoma MALT.
- Dianjurkan: dispepsia tipe tukak, gastritis kronik aktif berat (gambaran
PA), gastropati OAINS,gastritis erosif berat, gastritis hipertrofik.
- Tidak dianjurkan: pasien asimtomatik
Seandainya akan diberikan terapi dual antara PPI/ARH2 dengan salah satu
antibiotik tidak dianjurkan karena efek eradikasi sangaat minimal kurang dari
80% dan cepat menimbulkan resistensi kuman(Setiati: 2014).
Regimen tripel terapi (PPI 2x1, Amoxicilin 2x1000, Klaritromisin 2x500,
Metronidazole 3x500, Tetrasiklin 4x500) yang banyak dijumpai saat ini adalah:
1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoxicilin 2x1000 + Klaritromisin
2x500 regimen terbaik
2. PPI 2x1 + Metronidazole 3x500 + Claritromisin 2x500 0(bila alergi
penisilin)
3. PPI 2x1 + Metronidazole 3x500 + Amiksisilin 2x1000 kombinasi yang
termurah
4. PPI 2x1 + Metronidazole 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin
Dari laporan-laporan uji klinis di berbagai negara, obat golongan PPI
mempunyai efek yang hampir sama dalam terapi eradikasi Helicobacter pylori.
Dosis:
- PPI (Omeprazole) 2x20 mg
- Amoksisilin 2x1000 mg
- Klaritromisin 2x500 mg
- Metronidazole 3x500 mg
- Ttetrasiklin 4x500 mg
- Bismuth 4x120 mg
Lama eradikasi Helicobacter pylori selama 1 minggu (esomesoprazole), 5
hari rbeprazole. Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk
keembuhan tukak, bisa diberikan PPI untuk 3-4 minggu lagi. Kegagalan
pengobatan eradikasi biasanya karena timbulny efek samping dan compliance
serta resistensi kuman. Tujuan eradikasi Helicobacter pylori adalah
mengurangi keluhan, penyembuhan tukak, dan mencegah kekambuhan(Setiati:
2014).
DAFTAR PUSTAKA
Kim, J. J., Sheibani, S., Park, S., Buxbaum, J., & Laine, L. (2014). Causes of
Bleeding and Outcomes in Patients Hospitalized With Upper
Gastrointestinal Bleeding. Journal of Clinical Gastroenterology, 48(2),
Meltzer, A. C., & Klein, J. C. (2014). Upper Gastrointestinal Bleeding.
Gastroenterology Clinics of North America, 43(4), 665–675
Palmer, K. (2004). Management of haematemesis and melaena. Postgraduate
Medical Journal, 80(945), 399–404
Alatise, O. I., Aderibigbe, A. S., Adisa, A. O., Adekanle, O., Agbakwuru, A. E.,
& Arigbabu, A. O. (2014). Management of overt upper gastrointestinal
bleeding in a low resource setting- a real world report from Nigeria. BMC
Gastroenterology 14(210): 1-9.
Lanas, A., & Chan, F. K. L. (2017). Peptic ulcer disease. The Lancet, 390(10094),
613–624
Hadzibuli, E., Govedarica, S. 2007. Significance of Forrest Classification,
Rocall’s and Blatchford’s Risk Scoring System in Prediction Rebleeding
in Peptic Ulcer Disease. Acta Medica Medianae 46(4): 38-43.
Thiebaud, P.-C., Yordanov, Y., Galimard, J.-E., Raynal, P.-A., Beaune, S., …
Pateron, D. (2017). Management of upper gastrointestinal bleeding in
emergency departments, from bleeding symptoms to diagnosis- a
prospective, multicenter, observational study. Scandinavian Journal of
Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 25(78): 1-9.
AL Dhahab, H., & Barkun, A. (2012). The Acute Management of Nonvariceal
Upper Gastrointestinal Bleeding. Ulcers, 2012, 1–8
Cheng, H.-C. (2011). Intravenous proton pump inhibitors for peptic ulcer
bleeding- Clinical benefits and limits Hsiu-Chi Cheng, Bor-Shyang Sheu.
World Journal of Gastrointestinal Endoscopy, 3(3), 49
Tavakoli, N., Mokhtare, M., Agah, S., Azizi, A., Masoodi, M., Amiri, H., …
Mehrazi, M. (2017). Comparison of the efficacy of intravenous tranexamic
acid with and without topical administration versus placebo in urgent
endoscopy rate for acute gastrointestinal bleeding: A double-blind
randomized controlled trial. United European Gastroenterology Journal
0(0): 1-9.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., dan Syam,
A.F. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Interna Publishing.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai