Anda di halaman 1dari 34

RINITIS ALERGI

Pricella Mutiari Hotnida S.


K1A1 15 106

Pembimbing:
dr. Nur Hilaliyah, M. Kes, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PENDAHULUAN
 Rinitis alergi : penyakit inflamasi yang banyak
ditemui. Prevalensi : bervariasi, 15 – 20 %
 D i Indonesia: 40 % anak-anak, 10-30 %
dewasa (Teori Higiene)
 Prevalensi terbesar : usia 15-30 tahun
prevalensi pada usia sekolah dan produktif ↑
Akibatnya : penurunan kualitas hidup
ANATOMI HIDUNG
Bagian-bagian hidung
luar dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung
2. Dorsum nasi
3. Ala nasi
4. Kolumela
5. Lubang hidung
(nares anterior)
ANATOMI HIDUNG
Vaskularisasi Kavum Nasi
INNERVASI HIDUNG
CN I – Olfactory Nerves (SVA)
Anterior ethmoidal
branch of V1

Posterior nasal
Cut nasopalatine branches of V2
branch of V2 to
septum
Fisiologi Hidung
• Jalan napas
• Pengatur kondisi udara
• Penyaring dan pelindung
• Indra penghidu
• Resonansi suara
• Proses bicara
• Refleks nasal
RINITISALERGI
 Definisi
 Penyakit inflamasi disebabkan oleh reaksi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut
(Von Pirquet, 1986)
 Kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, gatal,
hidung tersumbat setelah mukosa terpapar alergen yang
diperantarai IgE (WHO-ARIA 2001)
PATOFISIOLOGI
 Terdiri dari 2 tahap :
 Tahap sensitisasi
 Reaksi alergi, terdiri dari 2 fase :
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) : sejak kontak alergen

sampai 1jam setelahnya
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) : yang berlangsung 2-
4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan
berlangsung 24-48 jam
Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
ALERGEN
 Berdasar cara masuknya, dibagi atas:
 Alergen inhalan : debu rumah, tungau, kapuk
 Alergen ingestan : udang, telur, ikan, coklat
 Alergen injektan : penisilin, sengatan lebah
 Alergen kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan

 F a k t o r non-spesifik : asap rokok, bau yang


merangsang, polutan, bau parfum, bau deodoran,
Klasifikasi RA menurut WHO-ARIA
DIAGNOSIS
 Anamnesis  Gejala rinitis alergi :
 bersin-bersin (> 5 kali/serangan)
 rinore (ingus bening encer)
 hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
 gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
 mata gatal, berair atau kemerahan
 hiposmia/anosmia
 sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
 adakah variasi diurnal
 frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit (intermiten atau
persisten), usia timbulnya gejala,
 pengaruh terhadap kualitas hidup : ggn. aktifitas dan tidur
 Gejala penyakit penyerta : sakit kepala, nyeri wajah,sesak napas,gejala
Anamnesis
 C a r i kemungkinan alergen penyebab
 Keterangan mengenai tempat tinggal, lingkungan
dan pekerjaan penderita
 Riwayat pengobatan
 Riwayat atopi pasien dan keluarga : asma bronkial,
dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
PEMERIKSAAN FISIK
 Anak-anak : Allergic shiner,
Allergic Salute, Allergic Crease,
Allergic Facies
 Rinoskopi anterior
 Mukosa edema, basah, pucat-
kebiruan disertai adanya sekret
yang banyak, bening dan encer
 Hipertrofi
 Nasoendoskopi : kelainan yang
tidak terlihat di rinoskopi
anterior
 C a r i kemungkinan komplikasi:
sinusitis, polip, otitis media
 Geographic tongue ( alergi makanan )
 Cobble stone appearance
 Penebal an lateral pharyngeal bands (
PND )
 Ta n d a dermatitis atopi
PEMERIKSAANPENUNJANG
 In vivo :
 Tes kulit :
 Tes cukit/tusuk (Prick test)
 Intradermal
 SET (skin end point titration)
 In vitro :
 IgE total
 IgE spesifik
 Sitologi hidung : eosinofil > 5 sel/LPB
 Tes Provokasi
 Radiologis (Foto SPN, CT-Scan, MRI) :
 Tidak untuk diagnosis rinitis alergi
 Indikasi : Untuk mencari komplikasi, tidak ada respon terhadap
PRICKTEST
 B a n y a k dipakai 
sederhana, mudah, murah,
sensitivitas tinggi, cepat,
cukup aman
 T e s pilihan dan primer
untuk diagnostik dan riset
 Membuktikan telah
terjadi fase sensitisasi
 T e s (+) : ada reaksi
hipersensitivitas tipe I atau
telah terdapat kompleks
PRICK TEST
 Beb a s AH ( gen er asi I 3-5 hr, gen II 7-10 hr)
 Kulit lengan bawah volar
 Jarak tiap alergen 2 cm
 Dengan jarum suntik No. 26-27G
 Ditunggu 15menit
 Kontrol (-): pelarut alergen, kontrol
(+) : histamin
 Interpretasi hasil :
 0 = bila tes cukit (-)
 +1 = diameter bentol1mm> kontrol (-)
 +2 = diameter bentol 1-3 mm > kontrol
(-)
 +3 = diameter bentol 3-5 mm > kontrol
(-)
 +4 = diameter bentol lebih dari 5 mm >
 T e s intradermal
:  Sensitifitas > Prick test
 Reaksi false (+) dan anafilaksis > sering
 S E T (Skin End-Point Titration)
 U n t u k alergen inhalan
 U n t u k penetapan dosis awal imunoterapi
Nasal Challenge Test
 M e r u p ak an pemeriksaan diagnostik lini 2 (sekunder)
bila ada ketidaksesuaian antara hasil pemeriksaan
diagnostik primer dengan gejala klinis
 T e s provokasi hidung
 Risiko timbul reaksi yang hebat ↑,
PEMERIKSAANINVITRO
 I g E total :
 Kadar rendah pada individu N, me↑ pada individu
atopi  tidak selalu (60 %)
 Kadar IgE total normal  tidak menyingkirkan RA
 Sebagai pemeriksaan penyaring, tidak untuk
diagnostik
 I g E spesifik :
 Efisiensi (spesifisitas dan sensitifitas) untuk
diagnostik penyakit alergi > 85 %
 H a s i l baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala
DIAGNOSISDIFERENSIAL
 F a k t o r Mekanik : deviasi septum, abnormalitas
kompleks osteomeatal, polip hidung, benda asing,
tumor hidung&sinus
 Infeksi : sinusitis, infeksi bakteri, infeksi virus,
imunodefisiensi
 Lain-lain : rinitis medikamentosa, rinitis vasomotor
PENATALAKSANAAN
 Penghindaran allergen (avoidance) dan eliminasi
 Medikamentosa/farmakoterapi
 Imunoterapi
 Tindakan operasi : konkotomi parsial
(konka inferior) dan konkoplasti
ALLERGEN AVOIDANCE & ELIMINASI
 Terapi ideal : hindari kontak dengan alergen
dan eliminasi  edukasi

Pencegahan primer  mencegah tahap
 sensitisasi
Pencegahan sekunder  mencegah gejala
 timbul, dgn cara menghindari alergen dan
terapi medikamentosa
Pencegahan tersier  mencegah komplikasi
atau berlanjutnya penyakit
Anti Histamin
 Lini pertama pengobatan alergi
 Generasi 1: sedatif, durasi aksi pendek (non selektif)
 Generasi 2: tidak sedatif, durasi panjang (selektif perifer)
TERAPIMEDIKAMENTOSA
 Dekongestan (α-adrenergik agonis)
 Menyebabkan vasokontriksi , me
pembengkakan mukosa, dan memperbaiki
jalannya udara.
 P e r oral :
 Pseudoefedrin, fenilefrin,fenilpropanolamin
 Efek SSP : gelisah, insomnia, iritabel, sakit kepala
 Efek KV : palpitasi, takikardi, TDmeningkat
 Topikal :
 Oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin, nafazolin
TERAPIMEDIKAMENTOSA
 Kombinasi Antihistamin-Dekongestan
 Banyak digunakan
 Loratadin/feksofenadin/setirisin + pseudoefedrin 120
mg
 Ipratropium Bromida
 Topikal, antikolinergik
 Efektif mengatasi rinore yang refrakter terhadap
kortikosteroid topikal/antihistamin
TERAPIMEDIKAMENTOSA
 Kortikosteroid
 Kortikosteroid topikal
 Pilihan pertama untuk rinitis alergi persisten sedang-berat 
efek antiinflamasi jangka panjang
 Mula kerja lambat (12 jam), efek maksimum beberapa hari
sampai minggu
 Budesonide, beklometason, fluticason

 Kortikosteroid oral
 Terapi jangka pendek
Antagonis Reseptor Leutrien (LTRA)
31
Zafirlukast/Montelukast

Efektif baik dalam bentuk tunggal maupun bila


dikombinasikan dengan antihistamin. Tidak lebih efektif bila
dibandingkan dengan anthistamin selektif perifer.

Dosis untuk umur >15 tahun : 1 tablet 10 mg/hari. Anak-anak


usia 6-14 th : 1 tablet kunyah 5 mg/hari, anak-anak usia 2-5
th : 1 tablet kunyah 4 mg atau 1 bungkus serbuk/hari.

Farmakoterapi I
TERAPILAINNYA
 Imunoterapi:
 Tujuan : pembentukan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sub-
lingual.
Komplikasi RA

• Polip hidung
• Otitis media efusi yang sering residif
• Sinusitis paranasal
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai