DISLIPIDEMIA
Oleh :
Grivonne Yerlistyan Adi, S.Ked
K1A1 15 068
PEMBIMBING :
dr. Fercee Primula, Sp.PD
Singkatan Arti
CETP Cholesterol Ester Transfer Protein
DHA Docosahexaenoic Acid
EPA Eicosapentaenoic Acid
HDL High Density Lipoprotein
HMG-CoA Hydroxy Methyl Glutaryl-Coenzyme A
hsCRP High Sensitivity C-Reactive Protein
IDL Intermediate Density Lipoprotein
IMT Indeks Massa Tubuh
LDL Low Density Lipoprotein
LPL Lipo Protein Lipase
MUFA Mono Unsaturated Fatty Acid
NEFA Non Esterified Fatty Acid
PPAR-α Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Alpha
PUFA Poly Unsaturated Fatty Acid
TG Trigliserida
VLDL Very Low Density Lipoprotein
I. Pendahuluan
Data dari badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2012
menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke menduduki
urutan nomer satu dan dua sebagai penyebab kematian di dunia. Keduanya
menyebabkan 14,1 juta kematian diseluruh dunia pada tahun 2012. Jumlah
ini meningkat dibandingkan dengan data pada tahun 2000[4]. Data dari
kementerian kesehatan Indonesia memasukkan penyakit jantung koroner
sebagai penyebab utama kematian di Indonesia, sedangkan stroke berada
diurutan kelima. Prevalensi (angka kejadian) stroke di Indonesia
berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah delapan
per seribu penduduk atau 0,8 persen. Sebagai perbandingan, prevalensi
stroke di Amerika Serikat adalah 3,4 per persen per 100 ribu penduduk, di
Singapura 55 per 100 ribu penduduk dan di Thailand 11 per 100 ribu
penduduk. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5 persen
atau 250 ribu orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Pada 2020 mendatang diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena
stroke[5]. Data riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi penyakit jantung
koroner di Indonesia sebesar 1.5 % dimana jumlahnya meningkat seiring
dengan bertambahnya umur dimana kelompok tertinggi adalah yang berusia
65-74 tahun[6].
Untuk mengupayakan penurunan jumlah kematian akibat PJK dan
stroke badan kesehatan dunia menyarankan agar setiap negara membuat
kebijakan untuk melakukan pencegahan terhadap kedua penyakit ini, karena
meskipun kebanyakan faktor risikonya sama untuk semua negara, namun
ada perbedaan pendekatan antar negara dalam masalah budaya, sosial
ekonomi dan juga ketersediaan obat. Kadar kolesterol darah yang tinggi
(dislipidemia) merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya
PJK dan stroke disamping hipertensi, merokok, abnormalitas glukosa darah,
dan inaktifitas fisik.
II. Definisi
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang
ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total
(Ktotal), kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida (TG), serta penurunan
kolesterol HDL (K-HDL). Dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya
mempunyai peran yang penting, dan erat kaitannya satu dengan yang lain,
sehingga tidak mungkin dibicarakan tersendiri. Agar lipid dapat larut dalam
darah, molekul lipid harus terikat pada molekul protein (yang dikenal
dengan nama apoprotein, yang sering disingkat dengan nama Apo. Senyawa
lipid dengan apoprotein dikenal sebagai lipoprotein. Tergantung dari
kandungan lipid dan jenis apoprotein yang terkandung maka dikenal lima
jenis liporotein yaitu kilomikron, very low density lipo protein (VLDL),
intermediate density lipo protein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan
high density lipoprotein (HDL)[2].
Dari total serum kolesterol, K-LDL berkontribusi 60-70 %,
mempunyai apolipoprotein yang dinamakan apo B-100 (apo B). Kolesterol
LDL merupakan lipoprotein aterogenik utama, dan dijadikan target utama
untuk penatalaksanaan dislipidemia. Kolesterol HDL berkontribusi pada 20-
30% dari total kolesterol serum. Apolipoprotein utamanya adalah apo A-I
dan apo A-II. Bukti-bukti menyebutkan bahwa HDL memghambat proses
aterosklerosis[2].
III. Epidemiologi
Data dari American Heart Association tahun 2014 memperlihatkan
prevalensi dari berat badan berlebih dan obesitas pada populasi di Amerika
adalah 154.7 juta orang yang berarti 68.2 % dari populasi di Amerika
Serikat yang berusia lebih dari 20 tahun. Populasi dengan kadar kolesterol ≥
240 mg/dl diperkirakan 31.9 juta orang (13.8 %) dari populasi[7]. Data di
Indonesia yang diambil dari riset kesehatan dasar nasional (RISKESDAS)
tahun 2013 menunjukkan ada 35.9 % dari penduduk Indonesia yang berusia
≥ 15 tahun dengan kadar kolesterol abnormal (berdasarkan NCEP ATP III,
dengan kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl) dimana perempuan lebih banyak dari
laki-laki dan perkotaan lebih banyak dari di pedesaan. Data RISKEDAS
juga menunjukkan 15.9 % populasi yang berusia ≥ 15 tahun mempunyai
proporsi LDL yang sangat tinggi (≥ 190 mg/dl), 22.9 % mempunyai kadar
HDL yang kurang dari 40 mg/dl, dan 11.9% dengan kadar trigliserid yang
sangat tinggi (≥ 500 mg/dl)[6]. Dislipidemia merupakan faktor risiko primer
untuk PJK dan mungkin berperan sebelum faktor risiko utama lainnya
muncul. Data epidemiologi menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia
merupakan faktor risiko untuk stroke iskemia. Grundy dkk menunjukkan
bahwa untuk setiap penurunan LDL sebesar 30 mg/dL maka akan terjadi
penurunan risiko relatif untuk penyakit jantung koroner sebesar 30 %[8].
V. Metabolisme Lipoprotein
Prekusor yang digunakan oleh hati untuk mensintesis kolesterol adalah asetil
Koenzim-A (asetil KoA) yang merupakan hasil metabolisme karbohidrat atau
lemak. Biosintesis kolesterol terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama
melibatkan perubahan asetil CoA menjadi 3-hidroksi-3- metilglutaril-CoA
(HMG-CoA) yang dikatalisis oleh enzim HMG-CoA sintase, kemudian
dilanjutkan sintesis HMG-CoA menjadi mevalonat akan diubah menjadi
molekul dasar isoporen yaitu isopentenyl pyrophospat (IPP), bersamaan
dengan hilangnya CO2. Tahapan ketiga adalah terjadinya proses polimerisasi
enam molekul isoprenoid untuk membentuk molekul skualen. Tahap paling
akhir adalah proses terbentuknya inti steril dari skualen yang kemudian akan
diubah menjadi kolesterol.
Laju sintesis kolesterol oleh tubuh ditentukan oleh laju pembentukan
mevalonat oleh HMG-KoA reduktase. Kerja enzim ini dapat dihambat oleh
beberapa obat penurun kolesterol golongan statin.
Lipid darah diangkut dengan 2 cara yaitu jalur eksogen dan jalur endogen :
VI. Patofisiologi
Abnormalitas lipoprotein dapat ditemukan pada individu dengan obesitas
sentral sebagai akibat dari resistensi insulin yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan lipoprotein seiring dengan terjadinya peningkatan
kandungan lemak tubuh[3].
1. Peningkatan kadar trigliserida
Overproduksi VLDL didalam hati merupakan kelainan primer yang
ditemukan pada obesitas dan keadaan resistensi insulin. Ketidakmampuan
menekan produksi glukosa dihati, gangguan oksidasi dan ambilan glukosa
diotot dan ketidakmampuan jaringan adiposa menekan pelepasan asam
lemak tak jenuh (non esterified fatty acids = NEFA) merupakan
konsekuensi dari resistensi insulin didalam hati, otot dan jaringan adiposa.
Keadaan ini akan meningkatkan aliran NEFA dan glukosa kedalam hati,
yang merupakan regulator dari produksi VLDL didalam hati. Regulasi
sekresi VLDL juga ditentukan oleh kecepatan degradasi apolipoprotein B-
100 (apo B-100). Apo B-100 yang baru disintesis bersama-sama dengan
endoplasmic reticulum akan didegradasi oleh sistem ubiquitin/proteasome
atau ditranslokasi menuju lumen dan bergabung kedalam prekursor VLDL
yang miskin lipid. Selanjutnya, apo B-100 yang ada di lumen akan
didegradasi atau akan bergabung dengan lipid VLDL didalam endoplasmic
reticulum. Apo B-100 distabilisasi dan terlindung dari degradasi oleh Heat
shock protein (HSP) 70. Bila tidak terjadi translokasi, maka apoB-100 akan
mengalami degradasi[3].
Insulin merupakan hormon penting dalam memfasilitasi proses degradasi
apo-B intrasel. Jadi, pada individu dengan obesitas atau resistensi insulin,
ketidakmampuan menekan degradasi apoB-100 akan mengakibatkan
peningkatan sekresi apoB-100. Disamping peningkatan sintesis, obesitas
dan resistensi insulin juga ditandai dengan penurunan klirens lipoprotein
yang kaya trigliserida (triglyceride-rich lipoprotein=TRL) didalam sirkulasi
darah. Insulin merupakan stimulator aktifitas enzim lipoprotein lipase,
melalui kerjanya meningkatkan mRNA LPL. Aktifitas LPL didalam otot
rangka dari individu dengan resistensi insulin mengalami penurunan. Hal ini
menunjukkan adanya gangguan regulasi LPL oleh insulin. Jadi, penurunan
aktivitas LPL pada individu dengan resistensi insulin akan menurunkan
rangkaian kaskade metabolisme normal lipoprotein yang mengakibatkan
penurunan klirens VLDL. Partikel-partikel VLDL terutama dibersihkan dari
sirkulasi oleh reseptor LDL atau disebut juga apoB/E receptor. Transkripsi
gen reseptor LDL diatur oleh kadar kolesterol intrasel, hormon dan faktor-
faktor pertumbuhan. Sterol Regulatory Element Binding Protein 1 (SREBP-
1), terlibat secara selektif didalam jalur transduksi sinyal insulin dan insulin-
like growth factor1, yang akan menyebabkan aktivasi gen reseptor LDL.
Resistensi insulin yang disertai dengan obesitas dapat mengganggu aktivitas
reseptor LDL, yang akan menyebabkan hambatan klirens partikel VLDL[3].
2. Peningkatan partikel-partikel small dense LDL
Konsentrasi small dense LDL dan trigliserida puasa berkorelasi secara
positif, sebab pembentukan small dense LDL sangat tergantung dengan
metabolisme partikel VLDL. Pada individu yang gemuk dan mengalami
resistensi insulin, peningkatan kadar VLDL dan hambatan bersihannya
menyebabkan peningkatan pertukaran antara kolesterol ester didalam LDL
dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh cholesterol ester
transfer protein (CETP). Pertukaran ini akan menyebabkan partikel-partikel
LDL kaya trigliserida cepat mengalami lipolisis, menghasilkan partikel-
partikel kecil dan padat yaitu small dense LDL[3].
Partikel-partikel small dense LDL cenderung mengalami modifikasi melalui
proses oksidasi dan glikasi (meningkat dengan adanya peningkatan kadar
glukosa darah), yang akan menyebabkan peningkatan produksi antibodi
terhadap modified apoB-100 dan pembentukan kompleks imun.
Berkurangnya diameter partikel-partikel ini akan meningkatkan
kemungkinan pergerakannya menembus endotel menuju ruang subendotel,
sehingga akan memicu terjadinya inflamasi, penumpukan leukosit dan
transformasi membentuk plak aterosklerosis. Modifikasi ini akan
menyebabkan penurunan bersihan partikel-partikel small dense LDL yang
dimediasi oleh reseptor LDL[3].
3. Penurunan kadar HDL cholesterol
Mekanisme yang mengatur HDL tidak diketahui dengan jelas, dimana ada
beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi dalam terjadinya penurunan
kadar HDL pada individu gemuk dengan resistensi insulin. Sebagaimana
pembentukan small dense LDL, metabolisme TRL memainkan peranan.
Berbagai studi tentang lipoprotein menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara trigliserida VLDL dan kolesterol LDL. Gangguan lipolisis TRL
menyebabkan penurunan kadar HDL melalui penurunan transfer
apolipoprotein dan fosfolipid dari TRL ke kompartmen HDL. Disamping
itu, hambatan bersihan TRL memfasilitasi pertukaran antara ester kolesterol
didalam HDL dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh
Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP)[3].
Peningkatan aktifitas lipid dihati pada keadaan obesitas dan resistensi
insulin menghasilkan partikel-partikel HDL yang lebih kecil dan
memfasilitasi bersihan HDL. Insulin juga merangsang produksi apo A-I atau
sekresi HDL nascent oleh hati. Oleh karena itu, pada individu dengan
obesitas dan resistensi insulin, terjadi penurunan partikel-partikel HDL,
terutama HDL2 yang lebih besar (dibandingkan dengan HDL 3 yang lebih
kecil) dan HDL yang mengandung apoA-I (dikenal dengan partikel-partikel
LpA-I). Partikel-partikel LpA-I lebih efektif dibandingkan dengan partikel-
partikel LpA-I:A-II dalam proses reverse cholesterol, oleh karena itu
perubahan ini dianggap bersifat lebih aterogenik[3].
5. Usia Lanjut
Pasien usia lanjut sangat rentan akan kejadian penyakit
kardiovaskuler. Oleh karena sebagian dan mereka sudah
mempunyai penyakit kardiovaskuler, maka pencegahan sekunder
seharusnya tetap dilakukan. Sejak lama timbul pertanyaan apakah
aman pemberian statin pada usia lanjut seperti pada mereka yang
berusia > 75 tahun. Penelitian Pravastatin in elderly individuals at
risk of vascular disease (PROSPER) yang melibatkan pria dan
wanita berusia 70-82 tahun dengan penyakit kardiovaskuler
(pencegahan sekunder), terapi pravastatin dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL sebesar 34%, dan dapat mencegah penyakit
kardiovaskuler sebesar 15% bahkan strok 25% pada mereka dengan
transient ischemic attack. Sebagai simpulan, statin dapat diberikan
pada usia lanjut terutama untuk pencegahan sekunder. Untuk
pencegahan primer, statin dapat diberikan sesuai dengan faktor
risiko yang ditemukan pada pasien[2].
IX. Komplikasi
Komplikasi pada pasien dislipidemia meliputi penyakit-penyakit
kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit
aterosklerosis vaskular lainnya[3].
1. Penyakit Jantung Koroner
Etiologi atherosklerosis bersifat multifaktorial, namun hubungan sebab
akibat antara dislipidemia dan atherosklerosis telah dibuktikan melalui
banyak studi klinis dan percobaanpercobaan hewan. Penurunan kadar
kolesterol LDL plasma telah terbukti dapat menurunkan risiko klinis
Penyakit Jantung Koroner berulang pada pasien yang sebelumnya telah
mengalami PJK ataupun serangan baru pada pasien yang belum
mengalami PJK. Terbukti pula tentang sifat aterogenisitas dari LDL, yang
terjadi akibat modifikasi oksidatif dari LDL didalam arteri[3].
Studi angiografik menunjukkan bahwa terapi intensif penurunan kolesterol
akan memperlambat progresivitas lesi koroner dan pada beberapa kasus
bahkan dapat menimbulkan regresi lesi secara bermakna. Kolesterol LDL
merupakan faktor risiko kuat terhadap kejadian Penyakit Jantung Koroner,
tidak hanya kadarnya, melainkan juga jenis LDLnya memegang peran
penting dalam proses patofisiologi terjadinya aterosklerosis pembuluh
darah koroner. LDL dapat berupa small dense LDL yang kecil padat dan
large buoyant LDL yang berukuran lebih besar dan kurang padat. Small
dense LDL lebih bersifat aterogenik dan toksik terhadap endotel. Small
dense LDL akan memasuki dinding pembuluh darah, mengalami oksidasi
dan memicu proses aterosklerosis. Large buoyant LDL tidak terlalu toksik
terhadap dinding pembuluh darah dan tidak terlalu kuat memicu proses
aterosklerosis. Small dense LDL lebih banyak terjadi pada dislipidemia
diabetik. Kadar trigliserida serum yang tinggi dapat disertai dengan risiko
penyakit kardiovaskular yang tidak tergantung dengan faktor-faktor risiko
lainnya[3].
Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa hubungan antara trigliserida
dan risiko kardiovaskular berkurang setelah penyesuaian terhadap kadar
kolesterol total dan HDL. Namun dalam suatu studi terbaru, menunjukkan
bahwa kadar trigliserida serum merupakan determinan independen
terhadap risiko kardiovaskular diantara kelompok populasi di wilayah Asia
Pasifik. Bahkan peningkatan ringan saja dari kadar trigliserida dapat
meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Kilomikron dan VLDL
tidak langsung bersifat aterogenik, diduga karena terlalu besar untuk dapat
menembus dinding arteri. Namun demikian, produk2 katabolisme dari
kilomikron dan VLDL dapat bersifat aterogenik. Kadar HDL plasma yang
tinggi disertai dengan risiko rendah Penyakit Jantung Koroner. Hal ini
disebabkan karena HDL mempunyai kemampuan proteksi terhadap
terjadinya aterosklerosis melalui fasilitasi transpor balik kolesterol, yaitu
kemampuan HDL menerima kelebihan kolesterol dari jaringan dan
mengembalikannya ke hati baik secara langsung maupun melalui
perantaraan lipoprotein yang lain[3].
Meningkatnya risiko Penyakit Jantung Koroner juga ditemukan pada
individu dengan kadar Lp(a) yang tinggi. Lp(a) adalah suatu partikel LDL
dimana melekat suatu protein besar yang disebut apo(a). Gambaran
lipoprotein aterogenik yang ditandai dengan small dense LDL yang
predominan, peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL,
merupakan faktor risiko yang sangat kuat untuk terjadinya Penyakit
Jantung Koroner[3].
2. Stroke
Stroke adalah suatu istilah untuk menjelaskan adanya kejadian klinis yang
disebabkan karena oklusi atau perdarahan arteri yang memperdarahi
sistem syaraf pusat sehingga menimbulkan kematian jaringan. Stroke
merupakan konsekuensi paling berbahaya dari penyakit pembuluh darah.
Pembentukan atheroma merupakan akar permasalahan dalam patogenesis
terjadinya stroke thrombo-embolik. Studi observasional menunjukkan
bahwa dislipidemia terutama kadar LDL kolesterol yang tinggi, HDL
kolesterol yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi merupakan
faktor-faktor risiko penting untuk terjadinya stroke thrombo-embolik.
Studi-studi klinis terbaru pada pasien dengan penyakit jantung koroner
menunjukkan bahwa terapi penurun lipid, terutama statin dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke. Penurunan kejadian stroke yang
signifikan dilaporkan pada 3 studi klinis besar yang menggunakan statin,
yaitu studi2 4S, CARE dan LIPID. Hasil yang sama juga didapatkan pada
studi metaanalisis menggunakan pravastatin[3].
Mekanisme terjadinya penurunan risiko stroke pada pasien-pasien
Penyakit Jantung Koroner yang diterapi dengan statin masih belum
diketahui dengan pasti, namun diduga terjadi akibat hambatan terhadap
progresifitas plak, stabilisasi plak dan penurunan risiko terjadinya
serangan PJK berulang. Penurunan risiko terjadinya stroke merupakan
manfaat tambahan dari terapi dengan statin dalam pencegahan sekunder.
Disamping terapi statin, pengobatan dengan gemfibrozil pada pasien-
pasien dengan PJK terbukti juga dapat menurunkan kejadian stroke
sebesar 25% dan TIA sebesar 59% yang terlihat pada studi VA-HIT[3].
3. Penyakit Arteri Perifer
Penyakit Arteri Perifer merupakan manifestasi klinis dari aterosklerosis
sistemik yang paling sering terjadi, dimana lumen arteri dari ekstremitas
bawah mengalami oklusi progresif akibat adanya plak aterosklerotik.
Kadar lipoprotein yang tinggi merupakan faktor risiko penting dalam
terjadinya Penyakit Arteri Perifer. Dari berbagai studi klinis
menyimpulkan bahwa aterosklerosis didalam sirkulasi darah perifer
hendaklah diperlakukan sama dengan aterosklerosis didalam sirkulasi
darah koroner. Pasien-pasien dengan Penyakit Arteri Perifer walaupun
tanpa adanya riwayat infark miokard atau stroke, mempunyai risiko
kematian kardiovaskular yang relatif sama dengan pasien yang
mempunyai riwayat penyakit jantung koroner atau penyakit
serebrovaskular[3].
X. Prognosis
Dislipidemia yang ditangani dengan komprehensif memiliki prognosis yang
baik. Sebagian besar pasien merespon baik terhadap terapi penurun kolesterol.
Hanya saja, perubahan gaya hidup dan modifikasi asupan nutrisi memiliki
peranan penting dalam kesuksesan terapi dislipidemia. Sebagai contoh,
peningkatan kadar HDL hingga >60 mg/dL melalui modifikasi asupan nutrisi
dapat mengurangi satu risiko kardiovaskular pada pasien dislipidemia. Tetapi,
keberlangsungan dari modifikasi gaya hidup sangat bergantung pada pasien[1].
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2013.
Pedoman Tatalaksana Dislipidemia. Jakarta: PERKI.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Panduan Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. PB PERKENI.
3. Shahab, A. 2013. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Dislipidemia.
Subbagian Endokrinologi Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
4. World Health Organization (WHO). 2014. A Wealth Of Information On
Global Public Health.
5. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
6. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta.
7. Go AS, Mozzaffarian D, Roger VL. 2014. Heart Disease And Stroke
Statistic - 2014 Update : A Report From The American Heart Association.
Circulation : 129 (e28-e292).
8. Grundy SM, Ji Cleeman, Merz CN. 2004. Implications Of Recent Clinical
Trials For The National Cholesterol Education Program Adult Treatment
Panel III Guidelines. Circulation : 110 (227–39).
9. Jim, E.L. 2013. Metabolisme Lipoprotein. Jurnal Biomedik (JBM) 5:3
(149-156). Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado.