Anda di halaman 1dari 37

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Referat

Fakultas Kedokteran April 2019


Universitas Halu Oleo

DISLIPIDEMIA

Oleh :
Grivonne Yerlistyan Adi, S.Ked
K1A1 15 068

PEMBIMBING :
dr. Fercee Primula, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti
CETP Cholesterol Ester Transfer Protein
DHA Docosahexaenoic Acid
EPA Eicosapentaenoic Acid
HDL High Density Lipoprotein
HMG-CoA Hydroxy Methyl Glutaryl-Coenzyme A
hsCRP High Sensitivity C-Reactive Protein
IDL Intermediate Density Lipoprotein
IMT Indeks Massa Tubuh
LDL Low Density Lipoprotein
LPL Lipo Protein Lipase
MUFA Mono Unsaturated Fatty Acid
NEFA Non Esterified Fatty Acid
PPAR-α Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Alpha
PUFA Poly Unsaturated Fatty Acid
TG Trigliserida
VLDL Very Low Density Lipoprotein
I. Pendahuluan
Data dari badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2012
menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke menduduki
urutan nomer satu dan dua sebagai penyebab kematian di dunia. Keduanya
menyebabkan 14,1 juta kematian diseluruh dunia pada tahun 2012. Jumlah
ini meningkat dibandingkan dengan data pada tahun 2000[4]. Data dari
kementerian kesehatan Indonesia memasukkan penyakit jantung koroner
sebagai penyebab utama kematian di Indonesia, sedangkan stroke berada
diurutan kelima. Prevalensi (angka kejadian) stroke di Indonesia
berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah delapan
per seribu penduduk atau 0,8 persen. Sebagai perbandingan, prevalensi
stroke di Amerika Serikat adalah 3,4 per persen per 100 ribu penduduk, di
Singapura 55 per 100 ribu penduduk dan di Thailand 11 per 100 ribu
penduduk. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5 persen
atau 250 ribu orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Pada 2020 mendatang diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena
stroke[5]. Data riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi penyakit jantung
koroner di Indonesia sebesar 1.5 % dimana jumlahnya meningkat seiring
dengan bertambahnya umur dimana kelompok tertinggi adalah yang berusia
65-74 tahun[6].
Untuk mengupayakan penurunan jumlah kematian akibat PJK dan
stroke badan kesehatan dunia menyarankan agar setiap negara membuat
kebijakan untuk melakukan pencegahan terhadap kedua penyakit ini, karena
meskipun kebanyakan faktor risikonya sama untuk semua negara, namun
ada perbedaan pendekatan antar negara dalam masalah budaya, sosial
ekonomi dan juga ketersediaan obat. Kadar kolesterol darah yang tinggi
(dislipidemia) merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya
PJK dan stroke disamping hipertensi, merokok, abnormalitas glukosa darah,
dan inaktifitas fisik.
II. Definisi
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang
ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total
(Ktotal), kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida (TG), serta penurunan
kolesterol HDL (K-HDL). Dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya
mempunyai peran yang penting, dan erat kaitannya satu dengan yang lain,
sehingga tidak mungkin dibicarakan tersendiri. Agar lipid dapat larut dalam
darah, molekul lipid harus terikat pada molekul protein (yang dikenal
dengan nama apoprotein, yang sering disingkat dengan nama Apo. Senyawa
lipid dengan apoprotein dikenal sebagai lipoprotein. Tergantung dari
kandungan lipid dan jenis apoprotein yang terkandung maka dikenal lima
jenis liporotein yaitu kilomikron, very low density lipo protein (VLDL),
intermediate density lipo protein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan
high density lipoprotein (HDL)[2].
Dari total serum kolesterol, K-LDL berkontribusi 60-70 %,
mempunyai apolipoprotein yang dinamakan apo B-100 (apo B). Kolesterol
LDL merupakan lipoprotein aterogenik utama, dan dijadikan target utama
untuk penatalaksanaan dislipidemia. Kolesterol HDL berkontribusi pada 20-
30% dari total kolesterol serum. Apolipoprotein utamanya adalah apo A-I
dan apo A-II. Bukti-bukti menyebutkan bahwa HDL memghambat proses
aterosklerosis[2].

III. Epidemiologi
Data dari American Heart Association tahun 2014 memperlihatkan
prevalensi dari berat badan berlebih dan obesitas pada populasi di Amerika
adalah 154.7 juta orang yang berarti 68.2 % dari populasi di Amerika
Serikat yang berusia lebih dari 20 tahun. Populasi dengan kadar kolesterol ≥
240 mg/dl diperkirakan 31.9 juta orang (13.8 %) dari populasi[7]. Data di
Indonesia yang diambil dari riset kesehatan dasar nasional (RISKESDAS)
tahun 2013 menunjukkan ada 35.9 % dari penduduk Indonesia yang berusia
≥ 15 tahun dengan kadar kolesterol abnormal (berdasarkan NCEP ATP III,
dengan kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl) dimana perempuan lebih banyak dari
laki-laki dan perkotaan lebih banyak dari di pedesaan. Data RISKEDAS
juga menunjukkan 15.9 % populasi yang berusia ≥ 15 tahun mempunyai
proporsi LDL yang sangat tinggi (≥ 190 mg/dl), 22.9 % mempunyai kadar
HDL yang kurang dari 40 mg/dl, dan 11.9% dengan kadar trigliserid yang
sangat tinggi (≥ 500 mg/dl)[6]. Dislipidemia merupakan faktor risiko primer
untuk PJK dan mungkin berperan sebelum faktor risiko utama lainnya
muncul. Data epidemiologi menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia
merupakan faktor risiko untuk stroke iskemia. Grundy dkk menunjukkan
bahwa untuk setiap penurunan LDL sebesar 30 mg/dL maka akan terjadi
penurunan risiko relatif untuk penyakit jantung koroner sebesar 30 %[8].

IV. Klasifikasi Dislipidemia


Berbagai klasifikasi dapat ditemukan dalam kepustakaan, tetapi yang mudah
digunakan adalah pembagian dislipidemia dalam bentuk dislipidemia primer
dan dislipidemia sekunder. Dislipidemia sekunder diartikan dislipidemia yang
terjadi sebagai akibat suatu penyakit lain. Pembagian ini penting dalam
menentukan pola pengobatan yang akan diterapkan.
1. Dislipidemia primer[2]
Dislipidemia primer adalah dislipidemia akibat kelainan genetik. Pasien
dislipidemia sedang disebabkan oleh hiperkolesterolemia poligenik dan
dislipidemia kombinasi familial. Dislipidemia berat umumnya karena
hiperkolesterolemia familial, dislipidemia remnan, dan hipertrigliseridemia
primer.
2. Dislipidemia sekunder[2]
Dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat suatu
penyakit lain misalnya hipotiroidisme, sindroma nefrotik, diabetes melitus,
dan sindroma metabolik. Pengelolaan penyakit primer akan memperbaiki
dislipidemia yang ada. Dalam hal ini pengobatan penyakit primer yang
diutamakan. Akan tetapi pada pasien diabetes mellitus pemakaian obat
hipolipidemik sangat dianjurkan, sebab risiko koroner pasien tersebut
sangat tinggi. Pasien diabetes melitus dianggap mempunyai risiko yang
sama (ekivalen) dengan pasien penyakit jantung koroner. Pankreatitis akut
merupakan menifestasi umum hipertrigliseridemia yang berat.
Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok pada satu
angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk
orang lain yang disertai faktor risiko koroner multiple. Walau demikian
National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III)
telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat
faktor risiko koroner seseorang.
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan
trigliserid menurut NCEO ATP III 2001 mg/dl
Kolesterol total
< 200 Optimal
200 – 239 Borderline tinggi
>= 240 Tinggi
Kolesterol LDL
< 100 Optimal
100 – 129 Mendekati optimal
130 – 159 Borderline tinggi
160 – 189 Tinggi
>= 190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL
< 40 Rendah
>= 60 Tinggi
Trigliserida
< 150 Optimal
150 – 199 Borderline tinggi
200 – 499 Tinggi
>= 500 Sangat tinggi

V. Metabolisme Lipoprotein
Prekusor yang digunakan oleh hati untuk mensintesis kolesterol adalah asetil
Koenzim-A (asetil KoA) yang merupakan hasil metabolisme karbohidrat atau
lemak. Biosintesis kolesterol terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama
melibatkan perubahan asetil CoA menjadi 3-hidroksi-3- metilglutaril-CoA
(HMG-CoA) yang dikatalisis oleh enzim HMG-CoA sintase, kemudian
dilanjutkan sintesis HMG-CoA menjadi mevalonat akan diubah menjadi
molekul dasar isoporen yaitu isopentenyl pyrophospat (IPP), bersamaan
dengan hilangnya CO2. Tahapan ketiga adalah terjadinya proses polimerisasi
enam molekul isoprenoid untuk membentuk molekul skualen. Tahap paling
akhir adalah proses terbentuknya inti steril dari skualen yang kemudian akan
diubah menjadi kolesterol.
Laju sintesis kolesterol oleh tubuh ditentukan oleh laju pembentukan
mevalonat oleh HMG-KoA reduktase. Kerja enzim ini dapat dihambat oleh
beberapa obat penurun kolesterol golongan statin.
Lipid darah diangkut dengan 2 cara yaitu jalur eksogen dan jalur endogen :

Gambar. Metabolisme Lipoprotein Jalur Endogen dan Eksogen


1. Jalur metabolisme eksogen
Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus dikemas
sebagai kilomikron. Kilomikron ini diangkut ke dalam saluran limfe lalu ke
dalam darah via duktus torasikus. Dalam jaringan lemak, trigliserida dalam
kilomikron mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase yang terdapat di
permukaan sel endotel. Akibat hidrolisis ini maka akan terbentuk asam lemak
dan kilomikron remnant. Asam lemak bebas akan menembus endotel dan
masuk ke dalam jaringan lemak atau sel otot untuk diubah menjadi trigliserida
kembali (sebagai cadangan) atau dioksidasi (sebagai energi).
Kilomikron remnant adalah kilomikron yang telah dihilangkan sebagaian
besar trigliseridanya sehingga ukurannya mengecil tetapi jumlah ester
kolesterolnya tetap. Kilomikron remnant ini akan dibersihkan oleh hati dari
sirkulasi dengan mekanisme endositosis oleh lisosom. Hasil metabolisme ini
berupa kolesterol bebas yang akan digunakan untuk sintesis berbagai struktur
(membran plasma, myelin, hormone steroid, dsb) disimpan dalam hati sebagai
kolesterol ester lagi, diekskresi ke dalam empedu atau diubah menjadi
lipoprotein endogen yang dikeluarkan ke dalam plasma. Kolesterol juga dapat
disintesis dari asetat dengan pengaruh enzim HMG-CoA reductase yang
menjadi aktif jika terdapat kekurangan kolesterol endogen. Asupan kolesterol
dari darah juga diatur oleh jumlah reseptor LDL yang terdapat pada
permukaan sel hati.
2. Jalur metabolisme endogen
Trigliserida dan kolesterol yang disintesis oleh hati diangkut secara endogen
dalam bentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL), kaya trigliserida dan
mengalami hidrolisis oleh Lipoprotein Lipase (LPL) menjadi partikel
lipoprotein yang lebih kecil yaitu Intermediate Density Lipoprotein (IDL) dan
LDL. LDL mengalami katabolisme melalui jalur reseptor dan non reseptor.
Jalur katabolisme reseptor dapat ditekan oleh produksi kolesterol endogen.
Terdapat 5 golongan besar lipoprotein :
a). Kilomikron merupakan lipoprotein dengan berat molekul terbesar yang
terdiri 80% trigliserida dan 5% kolesterol ester. Trigliserida dari kilomikron
akan dihidrolisis oleh LPL sehingga diameternya jadi mengecil. Komponen
lipid permukaan dan apoprotein akan ditransfer ke HDL, sedangkan
kilomikron remnant mengalami endositosis lewat reseptor di hepatosit.
Adanya kilomikron dalam plasma sewaktu puasa dianggap kondisi abnormal.
b). Lipoprotein berdensitas tinggi HDL memiliki protein lebih banyak dan
kolesterol lebih sedikit. HDL merupakan lipoprotein protektif yang
menurunkan risiko PJK. Efek protektifnya diduga karena mengangkut
kolesterol dari perifer untuk dimetabolisme di hati dan menghambat
modifikasi oksidatif LDL melalui paraoksonase (suatu protein antioksidan
yang berasosiasi dengan HDL).
c). Lipoprotein berdensitas rendah LDL memiliki protein lebih sedikit dan
kolesterolnya lebih banyak. LDL merupakan lipoprotein yang mengangkut
kolesterol terbesar pada manusia (70% total). Partikel LDL mengandung
trigliserida sebanyak 10% dan kolesterol 50%. Jalur utama katabolisme LDL
berlangsung lewat reseptor mediated endositosis di hati dan sel lain. Ester
kolesterol dari LDL dihidrolisis menjadi kolesterol untuk sintesis membran
dan hormon steroid. Produksi enzim HMG Co-A reductase dan reseptor LDL
diatur lewat transkripsi genetik berdasarkan tinggi rendahnya kadar kolesterol
dalam sel.
d). Lipoprotein berdensitas sangat rendah VLDL mengandung 60%
trigliserida dan 10% kolesterol. VLDL disekresi di hati untuk mengangkut
trigliserida ke jaringan perifer. Trigliserida VLDL dihidrolisis oleh LPL
menghasilkan asam lemak bebas untuk disimpan dalam jaringan adipose serta
bahan oksidasi di jantung dan otot skelet. Karena asam lemak bebas dan
gliserol dapat disintesis dari karbohidrat, maka makanan kaya karbohidrat
akan meningkatkan jumlah VLDL. Hipertrigliseridemia merupakan tanda
bahwa kadar HDL kolesterol rendah dan sering dikaitkan dengan kegemukan,
intoleransi glukosa dan hiperurisemia.
e). Lipoprotein densitas IDL mengandung trigliserida 30% dan kolesterol
20%. IDL adalah zat perantara yang terbentuk sewaktu VLDL dikatabolisme
menjadi LDL. Kadar tidak terlalu besar kecuali jika terdapat hambatan
konversi lebih lanjut. Kolesterol total plasma tersusun atas turunan kolesterol
dan VLDL, LDL dan HDL. Pemeriksaan kadar dari VLDL, LDL dan HDL
dapat menentukan ada atau tidaknya peningkatan kolesterol plasma.
Peningkatan kadar LDL dan VLDL serta penurunan kadar HDL merupakan
indikasi terjadinya hiperkolesterolemia VLDL = Trigliserida/5, LDL =
Kolesterol total – ( VLDL + HDL).
3. Metabolisme HDL dan reverse cholesterol transport
HDL merupakan partikel paling kecil yang disintesis dalam hati dan usus, dan
mengandung 50% lipid dan 50/% protein, dengan apoprotein apoA-I dan
apoA-II, dimana HDL dapat dibagi berdasarkan densitasnya menjadi HDL2
dan HDL. Hepatosit dan enterosit dapat mengeluarkan kolesterol dari tubuh
melalui saluran empedu dan usus. Di hati, kolesterol diekskresi ke empedu
secara langsung atau sesudah konversi ke asam empedu. Kolesterol dalam
sel-sel perifer ditranspor dari membran sel perifer ke hati dan usus melalui
proses reverse cholesterol transport yang difasilitasi oleh HDL[9].
Lipoprotein HDL nascent disintesis dalam usus dan hati. HDL dilepaskan
sebagai partikel kecil yang miskin kolesterol, berbentuk gepeng, dan
mengandung apoA-I, apoC, dan apoE. HDL nascent akan mengambil
kolesterol dari makrofag. Untuk itu, kolesterol di bagian dalam makrofag
harus dibawa ke permukaan membran makrofag oleh transporter adenosine
triphosphate-binding cassette A-1 (ABCA-1). Proses ini menghasilkan bentuk
cakram HDL dan mendapat tambahan kolesterol unesterified dari perifer.
Dalam HDL, kolesterol diesterifikasi oleh lecitin-cholesterol acyl-transferase
(LCAT) menjadi kolesterol ester. Kolesterol ester yang lebih hidrofobik akan
pindah ke inti HDL, dan HDL yang telah mendapat lebih banyak kolesterol
ester menjadi bentuk sferis. Tambahan apoprotein dan lipid ditransfer ke
HDL dari permukaan kilomikron dan VLDL selama lipolisis[9].
Kolesterol HDL ditranspor ke hepatosit secara langsung dan tidak langsung.
Kolesterol ester HDL ditransfer ke lipoprotein yang berisi apoB (VLDL, IDL,
LDL) untuk pertukaran dengan trigliserida oleh cholesterol ester transfer
protein (CETP). Kolesterol ester ditranspor ke hati setelah konversi VLDL ke
IDL dan ke LDL, kemudian diambil oleh reseptor LDL. Jalur ini bekerja
tidak langsung karena transfer kolesterol ester lipoprotein-apoB menghasilkan
partikel kaya kolesterol yang mungkin diambil oleh sel busa dalam plak
aterosklerosis sebelum dibersihkan oleh hati dan dibersihkan dari sirkulasi
melalui endositosis yang di-mediasi reseptor LDL. HDL kolesterol dapat juga
diambil secara langsung oleh hepatosit melalui scavenger receptor class BI
(SR-BI), yaitu reseptor permukaan sel yang memediasi transfer selektif dari
lipid ke dalam sel[9].
Lipoprotein HDL mengalami remodeling dalam plasma oleh berbagai protein
transfer lipid dan lipase. Protein transfer fosfolipid berefek pada transfer
fosfolipid dari lipoprotein lain ke HDL. Setelah pertukaran lipid yang
dimediasi CETP. HDL yang kaya trigliserida menjadi substrat yang lebih baik
dari lipase hati, yang menghidrolisis trigli-serida dan fosfolipid untuk
menghasilkan smaller HDL. Enzim yang berperan yaitu endothelial lipase
menghidrolisis fosfolipid HDL, dan menghasilkan smaller HDL yang
dikatabolisme lebih cepat. Remodeling HDL memengaruhi metabolisme,
fungsi, dan konsentrasi HDL plasma[9].

Gambar. Metabolisme HDL dan reverse cholesterol transfer

VI. Patofisiologi
Abnormalitas lipoprotein dapat ditemukan pada individu dengan obesitas
sentral sebagai akibat dari resistensi insulin yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan lipoprotein seiring dengan terjadinya peningkatan
kandungan lemak tubuh[3].
1. Peningkatan kadar trigliserida
Overproduksi VLDL didalam hati merupakan kelainan primer yang
ditemukan pada obesitas dan keadaan resistensi insulin. Ketidakmampuan
menekan produksi glukosa dihati, gangguan oksidasi dan ambilan glukosa
diotot dan ketidakmampuan jaringan adiposa menekan pelepasan asam
lemak tak jenuh (non esterified fatty acids = NEFA) merupakan
konsekuensi dari resistensi insulin didalam hati, otot dan jaringan adiposa.
Keadaan ini akan meningkatkan aliran NEFA dan glukosa kedalam hati,
yang merupakan regulator dari produksi VLDL didalam hati. Regulasi
sekresi VLDL juga ditentukan oleh kecepatan degradasi apolipoprotein B-
100 (apo B-100). Apo B-100 yang baru disintesis bersama-sama dengan
endoplasmic reticulum akan didegradasi oleh sistem ubiquitin/proteasome
atau ditranslokasi menuju lumen dan bergabung kedalam prekursor VLDL
yang miskin lipid. Selanjutnya, apo B-100 yang ada di lumen akan
didegradasi atau akan bergabung dengan lipid VLDL didalam endoplasmic
reticulum. Apo B-100 distabilisasi dan terlindung dari degradasi oleh Heat
shock protein (HSP) 70. Bila tidak terjadi translokasi, maka apoB-100 akan
mengalami degradasi[3].
Insulin merupakan hormon penting dalam memfasilitasi proses degradasi
apo-B intrasel. Jadi, pada individu dengan obesitas atau resistensi insulin,
ketidakmampuan menekan degradasi apoB-100 akan mengakibatkan
peningkatan sekresi apoB-100. Disamping peningkatan sintesis, obesitas
dan resistensi insulin juga ditandai dengan penurunan klirens lipoprotein
yang kaya trigliserida (triglyceride-rich lipoprotein=TRL) didalam sirkulasi
darah. Insulin merupakan stimulator aktifitas enzim lipoprotein lipase,
melalui kerjanya meningkatkan mRNA LPL. Aktifitas LPL didalam otot
rangka dari individu dengan resistensi insulin mengalami penurunan. Hal ini
menunjukkan adanya gangguan regulasi LPL oleh insulin. Jadi, penurunan
aktivitas LPL pada individu dengan resistensi insulin akan menurunkan
rangkaian kaskade metabolisme normal lipoprotein yang mengakibatkan
penurunan klirens VLDL. Partikel-partikel VLDL terutama dibersihkan dari
sirkulasi oleh reseptor LDL atau disebut juga apoB/E receptor. Transkripsi
gen reseptor LDL diatur oleh kadar kolesterol intrasel, hormon dan faktor-
faktor pertumbuhan. Sterol Regulatory Element Binding Protein 1 (SREBP-
1), terlibat secara selektif didalam jalur transduksi sinyal insulin dan insulin-
like growth factor1, yang akan menyebabkan aktivasi gen reseptor LDL.
Resistensi insulin yang disertai dengan obesitas dapat mengganggu aktivitas
reseptor LDL, yang akan menyebabkan hambatan klirens partikel VLDL[3].
2. Peningkatan partikel-partikel small dense LDL
Konsentrasi small dense LDL dan trigliserida puasa berkorelasi secara
positif, sebab pembentukan small dense LDL sangat tergantung dengan
metabolisme partikel VLDL. Pada individu yang gemuk dan mengalami
resistensi insulin, peningkatan kadar VLDL dan hambatan bersihannya
menyebabkan peningkatan pertukaran antara kolesterol ester didalam LDL
dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh cholesterol ester
transfer protein (CETP). Pertukaran ini akan menyebabkan partikel-partikel
LDL kaya trigliserida cepat mengalami lipolisis, menghasilkan partikel-
partikel kecil dan padat yaitu small dense LDL[3].
Partikel-partikel small dense LDL cenderung mengalami modifikasi melalui
proses oksidasi dan glikasi (meningkat dengan adanya peningkatan kadar
glukosa darah), yang akan menyebabkan peningkatan produksi antibodi
terhadap modified apoB-100 dan pembentukan kompleks imun.
Berkurangnya diameter partikel-partikel ini akan meningkatkan
kemungkinan pergerakannya menembus endotel menuju ruang subendotel,
sehingga akan memicu terjadinya inflamasi, penumpukan leukosit dan
transformasi membentuk plak aterosklerosis. Modifikasi ini akan
menyebabkan penurunan bersihan partikel-partikel small dense LDL yang
dimediasi oleh reseptor LDL[3].
3. Penurunan kadar HDL cholesterol
Mekanisme yang mengatur HDL tidak diketahui dengan jelas, dimana ada
beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi dalam terjadinya penurunan
kadar HDL pada individu gemuk dengan resistensi insulin. Sebagaimana
pembentukan small dense LDL, metabolisme TRL memainkan peranan.
Berbagai studi tentang lipoprotein menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara trigliserida VLDL dan kolesterol LDL. Gangguan lipolisis TRL
menyebabkan penurunan kadar HDL melalui penurunan transfer
apolipoprotein dan fosfolipid dari TRL ke kompartmen HDL. Disamping
itu, hambatan bersihan TRL memfasilitasi pertukaran antara ester kolesterol
didalam HDL dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh
Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP)[3].
Peningkatan aktifitas lipid dihati pada keadaan obesitas dan resistensi
insulin menghasilkan partikel-partikel HDL yang lebih kecil dan
memfasilitasi bersihan HDL. Insulin juga merangsang produksi apo A-I atau
sekresi HDL nascent oleh hati. Oleh karena itu, pada individu dengan
obesitas dan resistensi insulin, terjadi penurunan partikel-partikel HDL,
terutama HDL2 yang lebih besar (dibandingkan dengan HDL 3 yang lebih
kecil) dan HDL yang mengandung apoA-I (dikenal dengan partikel-partikel
LpA-I). Partikel-partikel LpA-I lebih efektif dibandingkan dengan partikel-
partikel LpA-I:A-II dalam proses reverse cholesterol, oleh karena itu
perubahan ini dianggap bersifat lebih aterogenik[3].

VII. Manifestasi Klinik


Keadaan dislipidemia kadang-kadang tidak menimbulkan gejala, dan hanya
diketahui pada saat pemeriksaan kesehatan rutin. Tidak jarang, dislipidemia
didiagnosis pertama kali setelah pasien mengalami infark miokard atau stroke.
Benjolan-benjolan yg tidak nyeri yang disebut xanthoma dapat ditemukan
pada daerah tendo, siku dan bokong. Kelainan ini terjadi akibat endapan
kolesterol intra dan ekstra seluler[3].
VIII. Tatalaksana
A. Non Farmakologik
Bukti penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang
berhubungan dengan intervensi gaya hidup tidak sekuat bukti yang
berhubungan dengan intervensi farmakologis. Pentingnya konseling
intervensi gaya hidup terutama berhubungan dengan perubahan positif
terhadap perilaku untuk mengontrol profil lipid. Tujuan intervensi gaya
hidup adalah untuk mengurangi kolesterol LDL, mengurangi konsentrasi
TG, dan meningkatkan kolesterol HDL. Intervensi gaya hidup dilakukan
pada semua orang, dengan atau tanpa tambahan obat penurun lipid, kecuali
pada pasien risiko rendah dengan kolesterol LDL awal <100 mg/dL. Pasien
risiko rendah ini hanya perlu diyakinkan agar tetap dalam keadaan risiko
rendah. Usaha yang dapat dilakukan antara lain mengurangi asupan asam
lemak jenuh, meningkatkan asupan serat, mengurangi asupan karbohidrat
dan alkohol, meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari, mengurangi berat
badan berlebih dan menghentikan kebiasaan merokok[1].
1. Diet
Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet
asam lemak tidak jenuh seperti MUFA dan PUFA karena faktor diet
yang paling berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol
LDL adalah asam lemak jenuh. Penurunan kolesterol LDL yang
diakibatkan oleh diet PUFA lebih besar dibandingkan dengan diet
MUFA atau diet rendah karbohidrat. PUFA omega-3 tidak mempunyai
efek hipokolesterolemik langsung, tetapi kebiasaan mengonsumsi ikan
(mengandung banyak PUFA omega-3) berhubungan dengan reduksi
risiko kardiovaskular independen terhadap efek pada lipid plasma.
Konsumsi PUFA omega-3 pada dosis farmakologis (>2 gram/hari)
mempunyai efek netral terhadap konsentrasi kolesterol LDL dan
mengurangi konsentrasi TG. Data dari penelitian klinis acak, kasus
kelola dan kohor menunjukkan bahwa konsumsi PUFA omega-6
setidaknya 5% hingga 10% dari total energi mereduksi risiko PJK.
Konsumsi PUFA omega-3, PUFA omega-6 dan MUFA berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi kolesterol HDL sampai 5% dan
penurunan TG sebesar 10-15%[1].
Diet karbohidrat bersifat netral terhadap kolesterol LDL, sehingga
makanan kaya karbohidrat merupakan salah satu pilihan untuk
menggantikan diet lemak jenuh. Di lain pihak, diet kaya karbohidrat
(>60% kalori total) berhubungan dengan penurunan konsentrasi
kolesterol HDL dan peningkatan konsentrasi TG. Oleh karena itu,
asupan karbohidrat dianjurkan kurang dari 60% kalori total. Asupan
lebih rendah dianjurkan bagi pasien dengan peningkatan konsentrasi TG
dan konsentrasi kolesterol HDL rendah seperti yang ditemukan pada
pasien sindrom metabolik. Diet karbohidrat yang kaya serat dianggap
diet optimal pengganti lemak jenuh yang tujuannya meningkatkan efek
diet pada konsentrasi kolesterol LDL dan mengurangi efek yang tidak
dikehendaki dari diet kaya karbohidrat pada lipoprotein lain. Diet
makanan tinggi serat seperti kacang-kacangan, buah, sayur dan sereal
memiliki efek hipokolesterolemik langsung[1].
2. Aktivitas fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat
badan ideal, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan
mengontrol faktor risiko PJK. Pengaruh aktivitas fisik terhadap
parameter lipid terutama berupa penurunan TG dan peningkatan
kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapat menurunkan konsentrasi TG
sampai 20% dan meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL sampai
10%. Sementara itu, olahraga resisten hanya menurunkan TG sebesar
5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL. Efek penurunan TG dari
aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG awal, tingkat
aktivitas fisik, dan penurunan berat badan. Tanpa disertai diet dan
penurunan berat badan, aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap
kolesterol total dan LDL. Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah
aktivitas yang terukur seperti jalan cepat 30 menit per hari selama 5 hari
per minggu atau aktivitas lain setara dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6
METs. Beberapa jenis latihan fisik lainnya antara lain[1]:
• Berjalan cepat (4,8-6,4 km per jam) selama 30-40 menit
• Berenang – selama 20 menit
• Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi, jarak 8 km dalam 30
menit
• Bermain voli selama 45 menit
• Menyapu halaman selama 30 menit
• Menggunakan mesin pemotong rumput yang didorong selama 30
menit
• Membersihkan rumah (secara besar-besaran)
• Bermain basket selama 15 hingga 20 menit
• Bermain golf tanpa caddy (mengangkat peralatan golf sendiri)
• Berdansa selama 30 menit

3. Penurunan berat badan


Indeks Massa Tubuh dan lingkar pinggang dipakai sebagai ukuran
untuk menilai obesitas umum dan obesitas abdominal. Baik obesitas
umum maupun obesitas abdominal berhubungan dengan risiko
kematian. Konsep obesitas terutama dihubungkan dengan konsep
sindrom metabolik. Untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan
hendaknya diusahakan untuk mengurangi 10% berat badan. Walaupun
ukuran antropometri lain seperti lingkar pinggang atau rasio pinggul
terhadap pinggang dapat menambah informasi, IMT sendiri adalah
prediktor kuat untuk mortalitas secara keseluruhan. Lingkar pinggang
normal untuk Asia adalah <90 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita.
Bertambahnya mortalitas secara progresif akibat peningkatan IMT
terutama berhubungan dengan mortalitas penyakit vaskular. Hubungan
antara IMT dengan kematian di Asia menunjukkan perbedaan antar
etnis. Indeks Massa Tubuh yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan mortalitas pada etnis Asia Timur (Cina, Jepang dan
Korea), tetapi tidak pada etnis India dan Bangladesh. Kesepakatan
klasifikasi IMT untuk populasi Asia dapat dilihat pada tabel[1].
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Berat badan kurang <18,5
Normal 18,5-22,9
Berat badan lebih >=23
Beresiko 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II >=30

Walau pengaruh penurunan berat badan terhadap kolesterol total dan


LDL hanya sedikit, untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan
direkomendasikan untuk mengurangi 10% berat badan. Setiap
penurunan 10 kg berat badan berhubungan dengan penurunan kolesterol
LDL sebesar 8 mg/dL. Konsentrasi kolesterol HDL justru berkurang
saat sedang aktif menurunkan berat badan dan akan meningkat ketika
berat badan sudah stabil. Setiap penurunan 1 kg berat badan
berhubungan dengan peningkatan kolesterol HDL sebesar 4 mg/dL dan
penurunan konsentrasi TG sebesar 1,3 mg/dL. Sebuah studi dengan
masa pemantauan maksimum 13,5 tahun menunjukkan bahwa
intervensi gaya hidup yang intensif pada penderita DM tipe 2 dengan
kelebihan berat badan (overweight) atau obesitas tidak menurunkan
kolesterol LDL tetapi menurunkan HbA1C dan semua risiko
kardiovaskular. Studi ini menunjukkan bahwa intervensi berupa
penurunan berat badan minimal 7%, meningkatan aktivitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori pada pasien yang mendapat terapi obat
proteksi kardiovaskular tidak menurunkan laju kejadian
kardiovaskular[1].
4. Menghentikan kebiasaan merokok
Menghentikan merokok dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol
HDL sebesar 5-10%. Merokok berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi TG, tetapi menghentikan merokok diragukan menyebabkan
penurunan konsentrasi TG[1].
5. Diet suplemen
a) Fitosterol
Fitosterol berkompetisi dengan absorbsi kolesterol di usus sehingga
dapat menurunkan konsentrasi kolesterol total. Secara alami, fitosterol
banyak didapat dalam minyak nabati dan, dalam jumlah lebih sedikit,
dalam buah segar, kacang kenari, dan kacang polong. Fitosterol sering
ditemukan sebagai bahan tambahan pada minyak goreng dan mentega.
Konsumsi fitosterol sebagai diet suplemen menurunkan kolesterol LDL
sampai 15%. Asupan sebesar 2 gram/hari dianggap sebagai pilihan
terapi untuk menurunkan kolesterol LDL. Asupan lebih dari 3 gram per
hari tidak menurunkan konsentrasi kolesterol lebih lanjut. Sampai saat
ini belum ada bukti penurunan risiko kardiovaskular akibat konsumsi
fitosterol. Fitosterol tidak atau sedikit berpengaruh terhadap kolesterol
HDL dan TG[1].
b) Protein kedelai
Protein kedelai berhubungan dengan penurunan 3-5% kolesterol LDL.
Sebagian besar studi menggunakan asupan protein kedelai lebih dari 40
mg/hari. Sebuah studi menunjukkan asupan 25 mg/hari berhubungan
dengan penurunan kolesterol LDL sebesar 5 mg/dL[1].
c) Makanan kaya serat
Diet serat yang larut dalam air seperti kacang polong, sayuran, buah,
dan sereal mempunyai efek hipokolesterolemik. Diet serat yang larut
dalam air sebanyak 5-10 gram/hari dapat menurunkan kolesterol LDL
sebesar 5%. Anjuran diet serat yang larut dalam air untuk menurunkan
kolesterol LDL adalah 5-15 gram/hari[1].
d) PUFA Omega-3
Poly unsaturated fatty acid omega-3 adalah komponen yang ada dalam
minyak ikan atau diet mediterania. Asupan PUFA omega-3 yang
berasal dari produk laut (seperti minyak ikan) sebesar 4 gram sehari
dilaporkan menurunkan konsentrasi TG 25-30%, menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL 5-10%, dan menaikkan konsentrasi
kolesterol HDL sebesar 1-3%. Produk laut mengandung banyak PUFA
omega-3 rantai panjang seperti EPA dan DHA. Polyunsaturated fatty
acid omega-3 yang berasal dari tanaman seperti kedelai dan kenari
mengandung asam linolenik alfa (PUFA rantai moderat) yang tidak
menurunkan konsentrasi TG secara konsisten. Dosis farmakologis
untuk menurunkan konsentrasi TG adalah >2 gram/ hari. Suplementasi
PUFA omega-3 rantai panjang dosis rendah (400 mg/hari) dalam
margarin tidak menurunkan konsentrasi TG secara bermakna[1].
B. Farmakologis
1. Statin (inhibitor HMG-CoA reduktase)
Statin adalah obat penurun lipid paling efektif untuk menurunkan
kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa efek samping yang berarti.
Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga
mempunyai efek meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG.
Berbagai jenis statin dapat menurunkan kolesterol LDL 18-55%,
meningkatkan kolesterol HDL 5-15%, dan menurunkan TG 7-30%.
Cara kerja statin adalah dengan menghambat kerja HMG-CoA
reduktase. Efeknya dalam regulasi Cholesteryl Ester Transfer Protein
(CETP) menyebabkan penurunan konsentrasi kolesterol LDL dan
VLDL. Di hepar, statin meningkatkan regulasi reseptor kolesterol LDL
sehingga meningkatkan pembersihan kolesterol LDL. Dalam keadaan
hipertrigliseridemia (tidak berlaku bagi normotrigliseridemia), statin
membersihkan kolesterol VLDL. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol HDL oleh statin sampai
sekarang belum jelas. Studi awal yang menggunakan statin untuk
menurunkan kolesterol LDL menunjukkan penurunan laju PJK dan
mortalitas total serta berkurangnya infark miokard, prosedur
revaskularisasi, stroke, dan penyakit vaskular perifer. Statin hendaknya
diresepkan sampai dosis maksimal yang direkomendasikan (Tabel) atau
yang dapat ditoleransi untuk mencapai target kolesterol LDL[1].
Statin Dosis maksimal yang
direkomendasikan (mg/hari)
Lovastatin 80
Pravastatin 80
Simvastatin 80
Fluvastatin 80
Alorvastatin 80
Rosuvastatin 40
Pitavastatin 4

Pada tahun 2011, FDA Amerika Serikat mengeluarkan rekomendasi


baru tentang keamanan simvastatin 80 mg. Simvastatin yang digunakan
dengan dosis maksimum (80 mg) berhubungan dengan miopati atau
jejas otot terutama jika digunakan selama 12 bulan berturutan.
Simvastatin dosis 80 mg tidak dianjurkan diresepkan bagi pasien baru,
melainkan bagi mereka yang telah menggunakan dosis tersebut selama
12 bulan berturutan tanpa keluhan atau gejala miopati. Bagi pasien
dengan PGK, dosis statin perlu disesuaikan seperti yang tercantum
dalam tabel[1].
Dalam keadaan tidak toleran terhadap statin, direkomendasikan
pemakaian bile acid sequestrant atau asam nikotinat, atau dapat
dipertimbangkan pemakaian inhibitor absorpsi kolesterol (ezetimibe)
tunggal atau dikombinasikan dengan asam nikotinat atau bile acid
sequestrant. Semua statin kecuali pravastatin, rosuvastatin, dan
pitavastatin mengalami metabolisme di hati melalui isoenzim sitokrom
P450 sehingga akan berinteraksi dengan obat yang dimetabolisme
melalui enzim tersebut[1].
Miopati, sebuah terminologi umum untuk penyakit otot, terjadi pada
5% pasien pengguna statin dan kejadiannya tidak berbeda dengan
pengguna plasebo dalam penelitian klinis acak. Miopati dapat berupa
mialgia, miositis, atau rabdomiolisis. Mialgia adalah terminologi untuk
nyeri atau kelemahan otot tanpa peningkatan kreatinin kinase. Miositis
terjadi jika keluhan otot disertai peningkatan kreatinin kinase.
Sementara itu, rabdomiolisis merupakan diagnosis pada pasien dengan
keluhan otot yang disertai peningkatan kreatinin kinase melebihi 10x
batas atas normal. Pemeriksaan kreatinin kinase tanpa dasar keluhan
otot tidak mempunyai nilai klinis sehingga tidak dianjurkan. Kejadian
rabdomiolisis terjadi kurang dari 1 persejuta peresepan. Faktor risiko
terjadinya miopati adalah: berat badan rendah, usia lebih dari 80 tahun,
penyakit multiorgan terutama PGK, atau periode perioperatif. Miopati
juga berhubungan dengan konsumsi atau obat yang spesifik seperti
fibrat (terutama gemfibrozil), eritromisin, klaritromisin, antibiotika
makrolid, antifungal, amiodaron, verapamil, siklosporin, jus anggur
(sekitar 1 Liter perhari), dan minum alkohol berlebihan[1].
Peningkatan enzim hepar terjadi pada 0,5-2% pengguna statin terutama
pada dosis tinggi. Setiap pasien hendaknya diperiksa enzim heparnya
sebelum memulai terapi statin dan sesuai indikasi sesudahnya. Terapi
statin hendaknya dihentikan pada pasien dengan jejas hepar serius yang
disertai keluhan klinis dan/atau hiperbilirubinemia atau ikterus.
Kenaikan transaminase lebih dari 3x batas atas normal merupakan
indikasi untuk menghentikan terapi statin. Terapi statin dapat
dilanjutkan jika konsentrasi transaminase sudah turun kurang dari 3x
batas atas normal[1].
Pengobatan statin berhubungan dengan terjadinya DM onset baru.
Analisis meta dari 13 studi dengan 91140 partisipan menunjukkan
pengobatan statin meningkatkan insiden DM sebesar 9% dalam 4 tahun.
Hubungan terapi statin dengan risiko DM lebih kuat pada partisipan
usia tua sementara IMT dan persentase perubahan kolesterol LDL
bukan faktor yang penting. Temuan ini tidak mengubah rekomendasi
pengobatan statin pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi dan
menekankan pentingnya terapi intervensi gaya hidup bagi pasien
dengan risiko rendah. Statin meningkatkan risiko gangguan atau
hilangnya memori pada pasien di atas usia 50 tahun yang reversibel
ketika terapi statin dihentikan. Onset gangguan memori ini bisa
bervariasi dari satu hari hingga beberapa tahun sesudah terapi statin dan
tidak berhubungan dengan jenis statin tertentu, dosisnya, ataupun
pengobatan tambahan. Gangguan memori ini tidak berhubungan dengan
demensia yang menetap atau progresif seperti penyakit Alzheimer. Pada
pasien dengan risiko tinggi dan sangat tinggi, sebaiknya terapi statin
dilanjutkan walau target terapi sudah tercapai selama tidak ada indikasi
kontra ataupun efek samping yang berat[1].
2. Inhibitor absorpsi kolesterol
Ezetimibe merupakan obat penurun lipid pertama yang menghambat
ambilan kolesterol dari diet dan kolesterol empedu tanpa mempengaruhi
absorpsi nutrisi yang larut dalam lemak. Dosis ezetimibe yang
direkomendasikan adalah 10 mg/hari dan harus digunakan bersama
statin, kecuali pada keadaan tidak toleran terhadap statin, di mana dapat
dipergunakan secara tunggal. Tidak diperlukan penyesuaian dosis bagi
pasien dengan gangguan hati ringan atau insufisiensi ginjal berat.
Kombinasi statin dengan ezetimibe menurunkan kolesterol LDL lebih
besar daripada menggandakan dosis statin. Kombinasi ezetimibe dan
simvastatin telah diujikan pada subyek dengan stenosis aorta dan pasien
gagal ginjal kronik. Sampai saat ini belum ada laporan efek samping
yang berarti dari pemakaian ezetimibe. Sebelum ada hasil studi klinis
yang lengkap, ezetimibe yang dikombinasikan dengan statin
direkomendasikan sebagai obat penurun kolesterol LDL lini kedua jika
target tidak tercapai dengan statin dosis maksimal. Pemakaian
ezetimibe tunggal atau kombinasinya dengan bile acid sequestrant atau
asam nikotinat dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleran
terhadap statin. Penelitian yang mengevaluasi efek kombinasi ezetimibe
dengan simvastatin pada saat ini sedang berlangsung[1].
3. Bile acid sequestrant
Terdapat 3 jenis bile acid sequestrant yaitu kolestiramin, kolesevelam,
dan kolestipol. Bile acid sequestrant mengikat asam empedu (bukan
kolesterol) di usus sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam
empedu di hati. Dosis harian kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam
berturutan adalah 4-24 gram, 5-30 gram, dan 3,8-4,5 gram. Penggunaan
dosis tinggi (24 g kolestiramin atau 20 g of kolestipol) menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL sebesar 18-25%. Bile acid sequestrant tidak
mempunyai efek terhadap kolesterol HDL sementara konsentrasi TG
dapat meningkat. Walau tidak menurunkan kejadian infark miokard dan
kematian akibat PJK dalam sebuah penelitian pencegahan primer, bile
acid sequestrant direkomendasikan bagi pasien yang tidak toleran
terhadap statin. Efek sampingnya terutama berkenaan dengan sistem
pencernaan seperti rasa kenyang, terbentuknya gas, dan konstipasi. Bile
acid sequestrant berinteraksi dengan obat lain seperti digoksin,
warfarin, tiroksin, atau tiazid, sehingga obat-obatan tersebut hendaknya
diminum 1 jam sebelum atau 4 jam sesudah bile acid sequestrant.
Absorpsi vitamin K dihambat oleh bile acid sequestrant dengan akibat
mudah terjadi perdarahan dan sensitisasi terhadap terapi warfarin[1].
4. Fibrat
Fibrat adalah agonis dari PPAR-α. Melalui reseptor ini, fibrat
menurunkan regulasi gen apo C-III serta meningkatkan regulasi gen apo
A-I dan A-II. Berkurangnya sintesis apo C-III menyebabkan
peningkatan katabolisme TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya
pembentukan kolesterol VLDL, dan meningkatnya pembersihan
kilomikron. Peningkatan regulasi apo A-I dan apo A-II menyebabkan
meningkatnya konsentrasi kolesterol HDL. Sebuah analisis meta
menunjukkan bahwa fibrat bermanfaat menurunkan kejadian
kardiovaskular terutama jika diberikan pada pasien dengan konsentrasi
TG di atas 200 mg/dL. Terapi kombinasi fibrat (fenofibrat) dengan
statin pada pasien DM tidak lebih baik dari terapi statin saja dalam
menurunkan laju kejadian kardiovaskular kecuali jika konsentrasi TG
lebih dari 200 mg/dL, konsentrasi kolesterol LDL ≤84 mg/dL, dan
konsentrasi kolesterol HDL ≤34 mg/dL. Penelitian ini memperkuat
pendapat bahwa terapi penurunan konsentrasi TG ditujukan hanya pada
pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi yang konsentrasi kolesterol
LDL-nya telah mencapai target dengan terapi statin dan konsentrasi
TG-nya masih di atas 200 mg/dL. Fibrat dapat menyebabkan miopati,
peningkatan enzim hepar, dan kolelitiasis. Risiko miopati lebih besar
pada pasien dengan gagal ginjal kronik dan bervariasi menurut jenis
fibrat. Gemfibrozil lebih berisiko menyebabkan miopati dibandingkan
fenofibrat jika dikombinasikan dengan statin. Jika fibrat diberikan
bersama statin maka sebaiknya waktu pemberiannya dipisah untuk
mengurangi konsentrasi dosis puncak, misalnya: fibrat pada pagi dan
statin pada sore hari. Dosis fenofibrat adalah 200 mg/hari, dengan dosis
maksimal 200 mg/hari. Dosis gemfibrozil adalah 600 mg diberikan 2
kali sehari, dengan dosis maksimal 1200 mg/hari[1].
5. Asam nikotinat (niasin)
Asam nikotinat menghambat mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan
lemak perifer ke hepar sehingga sintesis TG dan sekresi kolesterol
VLDL di hepar berkurang. Asam nikotinat juga mencegah konversi
kolesterol VLDL menjadi kolesterol LDL, mengubah kolesterol LDL
dari partikel kecil (small, dense) menjadi partikel besar, dan
menurunkan konsentrasi Lp(a). Asam nikotinat meningkatkan
kolesterol HDL melalui stimulasi produksi apo A-I di hepar. Niasin
yang digunakan saat ini terutama yang berbentuk extended release yang
dianjurkan diminum sebelum tidur malam. Dosis awal yang
direkomendasikan adalah 500 mg/hari selama 4 minggu dan dinaikkan
setiap 4 minggu berikutnya sebesar 500 mg selama masih dapat
ditoleransi sampai konsentrasi lipid yang dikehendaki tercapai. Dosis
maksimum 2000 mg/hari menurunkan TG 20-40%, kolesterol LDL 15-
18%, dan meningkatkan konsentrasi HDL 15-35%. Menambahkan
niasin pada terapi statin tidak memberikan keuntungan tambahan jika
diberikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik
yang konsentrasi kolesterol LDL-nya kurang dari 70 mg/dL. Sebuah
studi yang menambahkan niasin extended release pada statin pada lebih
dari 25.000 pasien dengan penyakit kardiovaskular gagal
memperlihatkan keuntungan tambahan berupa penurunan laju serangan
jantung atau stroke. Alasan terbanyak menghentikan penggunaan niasin
pada bulan pertama adalah efek samping berupa keluhan pada kulit
(ruam, pruritis, flushing), keluhan gastrointestinal, DM, dan keluhan
muskuloskeletal. Untuk mengurangi efek flushing, niasin
dikombinasikan dengan laropripant, sebuah antagonis prostaglandin
D2[1].
6. Inhibitor CETP
Cholesteryl ester transfer protein berfungsi membantu transfer
cholesteryl ester dari kolesterol HDL kepada VLDL dan LDL yang
selanjutnya akan dibersihkan dari sirkulasi melalui reseptor LDL di
hepar. Terapi dengan inhibitor CETP mempunyai efek ganda yaitu
meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan konsentrasi
kolesterol LDL melalui reversed cholesterol transport. Inhibitor CETP
dapat bersifat proaterogenik jika cholesteryl ester dari kolesterol VLDL
atau LDL diambil oleh makrofag. Sebaliknya, jika cholesteryl ester
diambil oleh hepar melalui reseptor LDL, inhibitor CETP bersifat
antiaterogenik. Di antara 3 inhibitor CETP (torcetrapib, dalcetrapib dan
anacetrapib), torcetrapib telah ditarik dari pasaran karena meningkatkan
kematian. Monoterapi anacetrapib 40 mg, 150 mg, atau 300 mg selama
8 minggu menurunkan konsentrasi kolesterol LDL berturutan sebesar
16%, 27%, 40%, dan 39% serta meningkatkan konsentrasi kolesterol
HDL berturutan sebesar 44%, 86%, 139%, dan 133%. Sebuah
penelitian fase III dengan anacetrapib: Randomized EValuation of the
Effects of Anacetrapib through Lipid-modification (REVEAL) saat ini
sedang berjalan[1].
7. Terapi kombinasi
Terapi kombinasi dapat dipertimbangkan bagi pasien yang target
kolesterol LDL-nya tidak tercapai dengan terapi statin dosis tinggi atau
bagi pasien yang tidak toleran terhadap statin. Kombinasi statin dan bile
acid sequestrant dapat memperkuat penurunan kolesterol LDL sebesar
10-20% dibandingkan dengan terapi statin tunggal. Terapi kombinasi
ini dilaporkan menurunkan laju aterosklerosis yang dideteksi dengan
angiografi. Menggabungkan tablet berisi fitosterol dengan statin diikuti
oleh penurunan kolesterol LDL 5-10% lebih besar. Seperti telah
disebutkan terdahulu, menambahkan ezetimibe pada statin menurunkan
kolesterol LDL lebih besar daripada menggandakan dosis statin. Terapi
kombinasi antara ezetimibe dengan bile acid sequestrant atau dengan
asam nikotinat menyebabkan penurunan konsentrasi kolesterol LDL
lebih besar dibandingkan penggunaan obat tunggal. Walau demikian,
belum ada evaluasi luaran klinis dari terapi kombinasi tersebut[1].
Kombinasi fibrat (terutama fenofibrat, bezafibrat, dan cipofibrat)
dengan statin menurunkan konsentrasi kolesterol LDL dan TG serta
meningkatkan kolesterol HDL lebih tinggi daripada terapi tunggal
manapun. Walau demikian, studi luaran klinis tidak menunjukkan
keunggulan dibandingkan dengan penggunaan statin monoterapi.
Kombinasi statin dan fibrat meningkatkan risiko miopati, terutama jika
fibrat digunakan dengan statin dosis tinggi atau statin dikombinasikan
dengan gemfibrozil. Kombinasi asam nikotinat yang extended release
dengan statin dosis moderat meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL
dan menurunkan konsentrasi TG lebih besar daripada statin dosis tinggi
atau kombinasi asam nikotinat dengan ezetimibe[1].
Menambahkan niasin pada terapi statin tidak memberikan keuntungan
tambahan dibandingkan dengan terapi statin tunggal jika diberikan pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang kadar
kolesterol LDL-nya kurang dari 70 mg/dL. Sebuah studi lain yang
mengikutsertakan lebih dari 25.000 pasien dengan penyakit
kardiovaskular gagal membuktikan keuntungan tambahan dengan
menambahkan niasin extended release pada statin dalam menurunkan
laju serangan jantung atau stroke[1].
C. Farmakologi pada Keadaan Khusus
Dislipidemia pada keadaan khusus hanya akan dibatasi pada beberapa
keadaan yaitu pada pasien diabetes melitus tipe 2, sindroma metabolik,
sindroma koroner akut, penyakit gagal ginjal kronik, dan usia lanjut[2].
1. Diabetes Mellitus
Sekitar 65% kematian pada pasien diabetes disebabkan oleh PJK
dan stroke. Dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes, diabetes
akan meningkatkan risiko PJK secara signifikan. Studi dari
Finlandia menunjukkan pasien dengan diabetes dan riwayat PJK
sebelumnya mempunyai risiko insiden infark miokard 45% dalam
periode 7 tahun. Pada diabetes, dislipidemia ditandai dengan
peningkatan trigliserida puasa dan setelah makan, menurunnya
kadar HDL dan peningkatan kolesterol LDL yang didominasi oleh
partikel small dense LDL. Modifikasi gaya hidup dan pengendalian
glukosa darah dapat memperbaiki profil lipid, namun pemberian
statin telah dibuktikan memberikan efek yang paling besar didalam
menurunkan risiko kardiovaskular pada pasien pasien diabetes tipe
2. Oleh karena itu, pasien diabetes harus mendapatkan terapi
statin[2].
American Diabetes Association tahun 2014 merekomendasikan
bahwa statin harus segera diberikan tanpa melihat kadar lipid awal
dari pasien dengan diabetes disertai PJK atau pasien diatas 40 tahun
dengan satu atau lebih faktor risiko PJK seperti riwayat keluarga,
hipertensi, merokok, dislipidemia atau albuminuria. Statin juga
direkomendasikan pada pasien dibawah usia 40 tahun dengan faktor
risiko PJK yang multipel atau kadar LDL > 100 mg/dl. Untuk
pasien dengan PJK, target K-LDL adalah < 70 mg/dl dengan statin
dosis tinggi, dan apabila tidak mencapai target dengan terapi statin
maksimum maka penurunan kolesterol 30-40% dari kadar awal
merupakan alternatif lainnya. Terapi kombinasi dengan obat
hipolipidemik golongan lainnya tidak memberikan keuntungan
lebih baik dibandingkan pemberian statin saja. Sama halnya juga
dengan rekomendasi dari ACC/AHA 2013 dimana pada DM T 1
maupun pada DMT 2 yang berusia 40-75 tahun dan K-LDL > 70
mg/dl sebaiknya sudah mendapatkan statin[2].
Studi dari CARDS (Collaborative Atorvastatin Diabetes Study)
merupakan studi besar pertama yang mengevaluasi efek statin
dalam pencegahan primer pada pasien DM tipe 2 tanpa riwayat PJK
sebelumnya. Hasil studi ini menunjukkan atorvastatin dosis 10 mg
berhubungan dengan pengurangan risiko relatif PJK sebesar 37 %
dan stroke sebesar 48%. Sedangkan pemberian obat hipolipidemik
non statin seperti ezetimibe, fibrates, omega 3, dan niacin tidak
didukung oleh bukti ilmiah yang kuat[2].
2. Sindroma Koroner Akut
Data-data dari berbagai studi menunjukkan bahwa statin dosis tinggi
harus diberikan pada awal serangan dan 1-4 hari sesudahnya.
Selanjutnya dosis disesuaikan untuk mencapai target K-LDL < 70
mg/dl. Penggunaan statin dosis lebih rendah dipertimbangkan pada
pasien yang memiliki risiko efek samping statin yang tinggi seperti
pada pasien tua, gangguan hati dan ginjal serta adanya interaksi
dengan obat lain. Beberapa studi menunjukkan pemberian statin
segera setelah SKA akan mengurangi efek inflamasi dengan
mengurangi hsCRP, yang dalam jangka panjang akan meningkatkan
harapan hidup jangka panjang. Pemberian statin dosis tinggi dari
awal SKA juga dapat mengurangi tindakan revaskularisasi.
Pemberian statin ini tidak harus menunggu adanya hasil
pemeriksaan lipid, dan evaluasi kadar K-LDL dilakukan setelah 4-6
minggu dari awitan SKA[2].
Untuk pasien SKA yang akan menjalani percutaneous coronary
intervention (PCI) pemberian atorvastatin dosis tinggi jangka
pendek sebelum dilakukannya tindakan dikatakan aman dan secara
signifikan memperbaiki skor TIMI dan juga mengurangi major
adverse cardiac events (MACEs) dan memperbaiki aliran darah
miokard pada pasien SKA yang akan menjalani PCI. Sehingga
direkomendasikan untuk memberikan terapi statin dosis tinggi pada
pasien SKA yang akan menjalankan PCI. Untuk pasien yang sudah
rutin mendapatkan statin dan kemudian hendak dilakukan prosedur
PCI maka dapat diberikan pemberian tambahan atorvastatin dosis
tinggi[2].
3. Pasca Stroke Iskemik
Dislipidemia berperan didalam patogenesis stroke terutama stroke
iskemia dan transient ischemic attack (TIA). Dari beberapa studi
dengan statin seperti 4S, CARE dan LIPID adanya pengurangan
kejadian stroke 27-31 % dengan pemberian statin. Mekanisme kerja
statin dalam mengurangi risiko stroke masih belum jelas,
diperkirakan oleh karena kemampuan statin untuk menghambat
progresi dari plak dan juga stabilisasi dari plak tersebut[2].
Manfaat dari obat hipolipidemik lainnya pada pencegahan primer
masih belum terbukti secara ilmiah. Untuk pencegahan sekunder
pengelolaan ditujukan bukan hanya untuk menghindari berulangnya
stroke atau TIA namun juga untuk mengurangi risiko infark
miokard dan gangguan vaskular lainnya. Etiologi yang mendasari
stroke juga harus dipertimbangkan. Statin telah terbukti dapat
menurunkan kejadian stroke iskemik, sedangkan pada stroke
perdarahan belum ada bukti manfaat dari pemberian statin dan
mungkin bisa berbahaya[2].
4. Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik menjadi masalah kesehatan saat ini dimana
PJK merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada
pasien dengan PGK diseluruh dunia. Pasien dengan dialisis
memiliki angka mortalitas 40 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Lebih dari 50 % kematian pada pasien PGK
disebabkan oleh karena PJK, sehingga beberapa panduan
memasukkan pasien dengan PGK sebagai pasien dengan risiko
kardiovaskular sangat tinggi (CAD risk equivalent) dan memerlukan
pengelolaan secara aktif untuk semua faktor risiko[2].
Pada pasien PGK yang baru terdiagnosis dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan profil lipid yang meliputi (kolesterol total,
K-LDL, K-HDL dan TG). Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan
dilakukan secara rutin dan berulang oleh karena tidak diperlukannya
penyesuaian dosis statin/kombinasi untuk menuju target LDL
tertentu. Tujuan terapi pengelolaan lipid pada pasien dengan PGK
adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari
aterosklerosis. Penatalaksanaan harus memperhatikan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) dan obat yang dipilih terutama yang dieliminasi
di hati seperti fluvastatin, atorvastatin, pitavastatin dan ezetimibe[2].
Untuk pasien PGK stadium 3 – 5 yang berusia > 50 tahun dan tidak
menjalani dialisis ataupun transplant maka direkomendasikan
pemberian statin atau kombinasi statin/ezetimibe. Sedangkan, untuk
pasien PGK stadium 1-2 yang berusia > 50 tahun dan tidak
menjalani dialisis ataupun transplant maka direkomendasikan
pemberian statin. Untuk pasien PGK berusia 18-49 tahun dan tidak
menjalani dialisis ataupun transplant maka direkomendasikan untuk
diberikan statin pada kelompok dengan penyakit jantung koroner,
diabetes mellitus, riwayat stroke iskemik, estimasi kejadian jantung
koroner dalam 10 tahun kedepan > 10 %. Pada pasien PGK yang
rutin menjalani dialisis dan mendapatkan statin/kombinasi
ezetimibe, maka pemberiannya dilanjutkan. Namun, apabila belum
pernah mendapatkannya maka sebaiknya statin/kombinasi ezetimibe
tidak mulai diberikan. Untuk dosisnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini[2].
PGK std 3-5
Statin PGK std 1 dan 2 (termasuk dialisis
dan transplantasi)
Fluvastatin Populasi umum 80
Atorvastatin Populasi umum 20
Rosuvastatin Populasi umum 10
Simvastatin/ezetimibe Populasi umum 20/10
Simvastatin Populasi umum 40
Pitavastatin Populasi umum 2

5. Usia Lanjut
Pasien usia lanjut sangat rentan akan kejadian penyakit
kardiovaskuler. Oleh karena sebagian dan mereka sudah
mempunyai penyakit kardiovaskuler, maka pencegahan sekunder
seharusnya tetap dilakukan. Sejak lama timbul pertanyaan apakah
aman pemberian statin pada usia lanjut seperti pada mereka yang
berusia > 75 tahun. Penelitian Pravastatin in elderly individuals at
risk of vascular disease (PROSPER) yang melibatkan pria dan
wanita berusia 70-82 tahun dengan penyakit kardiovaskuler
(pencegahan sekunder), terapi pravastatin dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL sebesar 34%, dan dapat mencegah penyakit
kardiovaskuler sebesar 15% bahkan strok 25% pada mereka dengan
transient ischemic attack. Sebagai simpulan, statin dapat diberikan
pada usia lanjut terutama untuk pencegahan sekunder. Untuk
pencegahan primer, statin dapat diberikan sesuai dengan faktor
risiko yang ditemukan pada pasien[2].
IX. Komplikasi
Komplikasi pada pasien dislipidemia meliputi penyakit-penyakit
kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit
aterosklerosis vaskular lainnya[3].
1. Penyakit Jantung Koroner
Etiologi atherosklerosis bersifat multifaktorial, namun hubungan sebab
akibat antara dislipidemia dan atherosklerosis telah dibuktikan melalui
banyak studi klinis dan percobaanpercobaan hewan. Penurunan kadar
kolesterol LDL plasma telah terbukti dapat menurunkan risiko klinis
Penyakit Jantung Koroner berulang pada pasien yang sebelumnya telah
mengalami PJK ataupun serangan baru pada pasien yang belum
mengalami PJK. Terbukti pula tentang sifat aterogenisitas dari LDL, yang
terjadi akibat modifikasi oksidatif dari LDL didalam arteri[3].
Studi angiografik menunjukkan bahwa terapi intensif penurunan kolesterol
akan memperlambat progresivitas lesi koroner dan pada beberapa kasus
bahkan dapat menimbulkan regresi lesi secara bermakna. Kolesterol LDL
merupakan faktor risiko kuat terhadap kejadian Penyakit Jantung Koroner,
tidak hanya kadarnya, melainkan juga jenis LDLnya memegang peran
penting dalam proses patofisiologi terjadinya aterosklerosis pembuluh
darah koroner. LDL dapat berupa small dense LDL yang kecil padat dan
large buoyant LDL yang berukuran lebih besar dan kurang padat. Small
dense LDL lebih bersifat aterogenik dan toksik terhadap endotel. Small
dense LDL akan memasuki dinding pembuluh darah, mengalami oksidasi
dan memicu proses aterosklerosis. Large buoyant LDL tidak terlalu toksik
terhadap dinding pembuluh darah dan tidak terlalu kuat memicu proses
aterosklerosis. Small dense LDL lebih banyak terjadi pada dislipidemia
diabetik. Kadar trigliserida serum yang tinggi dapat disertai dengan risiko
penyakit kardiovaskular yang tidak tergantung dengan faktor-faktor risiko
lainnya[3].
Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa hubungan antara trigliserida
dan risiko kardiovaskular berkurang setelah penyesuaian terhadap kadar
kolesterol total dan HDL. Namun dalam suatu studi terbaru, menunjukkan
bahwa kadar trigliserida serum merupakan determinan independen
terhadap risiko kardiovaskular diantara kelompok populasi di wilayah Asia
Pasifik. Bahkan peningkatan ringan saja dari kadar trigliserida dapat
meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Kilomikron dan VLDL
tidak langsung bersifat aterogenik, diduga karena terlalu besar untuk dapat
menembus dinding arteri. Namun demikian, produk2 katabolisme dari
kilomikron dan VLDL dapat bersifat aterogenik. Kadar HDL plasma yang
tinggi disertai dengan risiko rendah Penyakit Jantung Koroner. Hal ini
disebabkan karena HDL mempunyai kemampuan proteksi terhadap
terjadinya aterosklerosis melalui fasilitasi transpor balik kolesterol, yaitu
kemampuan HDL menerima kelebihan kolesterol dari jaringan dan
mengembalikannya ke hati baik secara langsung maupun melalui
perantaraan lipoprotein yang lain[3].
Meningkatnya risiko Penyakit Jantung Koroner juga ditemukan pada
individu dengan kadar Lp(a) yang tinggi. Lp(a) adalah suatu partikel LDL
dimana melekat suatu protein besar yang disebut apo(a). Gambaran
lipoprotein aterogenik yang ditandai dengan small dense LDL yang
predominan, peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL,
merupakan faktor risiko yang sangat kuat untuk terjadinya Penyakit
Jantung Koroner[3].
2. Stroke
Stroke adalah suatu istilah untuk menjelaskan adanya kejadian klinis yang
disebabkan karena oklusi atau perdarahan arteri yang memperdarahi
sistem syaraf pusat sehingga menimbulkan kematian jaringan. Stroke
merupakan konsekuensi paling berbahaya dari penyakit pembuluh darah.
Pembentukan atheroma merupakan akar permasalahan dalam patogenesis
terjadinya stroke thrombo-embolik. Studi observasional menunjukkan
bahwa dislipidemia terutama kadar LDL kolesterol yang tinggi, HDL
kolesterol yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi merupakan
faktor-faktor risiko penting untuk terjadinya stroke thrombo-embolik.
Studi-studi klinis terbaru pada pasien dengan penyakit jantung koroner
menunjukkan bahwa terapi penurun lipid, terutama statin dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke. Penurunan kejadian stroke yang
signifikan dilaporkan pada 3 studi klinis besar yang menggunakan statin,
yaitu studi2 4S, CARE dan LIPID. Hasil yang sama juga didapatkan pada
studi metaanalisis menggunakan pravastatin[3].
Mekanisme terjadinya penurunan risiko stroke pada pasien-pasien
Penyakit Jantung Koroner yang diterapi dengan statin masih belum
diketahui dengan pasti, namun diduga terjadi akibat hambatan terhadap
progresifitas plak, stabilisasi plak dan penurunan risiko terjadinya
serangan PJK berulang. Penurunan risiko terjadinya stroke merupakan
manfaat tambahan dari terapi dengan statin dalam pencegahan sekunder.
Disamping terapi statin, pengobatan dengan gemfibrozil pada pasien-
pasien dengan PJK terbukti juga dapat menurunkan kejadian stroke
sebesar 25% dan TIA sebesar 59% yang terlihat pada studi VA-HIT[3].
3. Penyakit Arteri Perifer
Penyakit Arteri Perifer merupakan manifestasi klinis dari aterosklerosis
sistemik yang paling sering terjadi, dimana lumen arteri dari ekstremitas
bawah mengalami oklusi progresif akibat adanya plak aterosklerotik.
Kadar lipoprotein yang tinggi merupakan faktor risiko penting dalam
terjadinya Penyakit Arteri Perifer. Dari berbagai studi klinis
menyimpulkan bahwa aterosklerosis didalam sirkulasi darah perifer
hendaklah diperlakukan sama dengan aterosklerosis didalam sirkulasi
darah koroner. Pasien-pasien dengan Penyakit Arteri Perifer walaupun
tanpa adanya riwayat infark miokard atau stroke, mempunyai risiko
kematian kardiovaskular yang relatif sama dengan pasien yang
mempunyai riwayat penyakit jantung koroner atau penyakit
serebrovaskular[3].
X. Prognosis
Dislipidemia yang ditangani dengan komprehensif memiliki prognosis yang
baik. Sebagian besar pasien merespon baik terhadap terapi penurun kolesterol.
Hanya saja, perubahan gaya hidup dan modifikasi asupan nutrisi memiliki
peranan penting dalam kesuksesan terapi dislipidemia. Sebagai contoh,
peningkatan kadar HDL hingga >60 mg/dL melalui modifikasi asupan nutrisi
dapat mengurangi satu risiko kardiovaskular pada pasien dislipidemia. Tetapi,
keberlangsungan dari modifikasi gaya hidup sangat bergantung pada pasien[1].
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2013.
Pedoman Tatalaksana Dislipidemia. Jakarta: PERKI.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Panduan Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. PB PERKENI.
3. Shahab, A. 2013. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Dislipidemia.
Subbagian Endokrinologi Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
4. World Health Organization (WHO). 2014. A Wealth Of Information On
Global Public Health.
5. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
6. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta.
7. Go AS, Mozzaffarian D, Roger VL. 2014. Heart Disease And Stroke
Statistic - 2014 Update : A Report From The American Heart Association.
Circulation : 129 (e28-e292).
8. Grundy SM, Ji Cleeman, Merz CN. 2004. Implications Of Recent Clinical
Trials For The National Cholesterol Education Program Adult Treatment
Panel III Guidelines. Circulation : 110 (227–39).
9. Jim, E.L. 2013. Metabolisme Lipoprotein. Jurnal Biomedik (JBM) 5:3
(149-156). Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Anda mungkin juga menyukai