Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN KASUS

Seorang Perempuan 26 Tahun dengan Sepsis,


Anemia Berat ec Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) Tipe Hangat,
Suspek Pneumonitis DD/ Pneumonia, Efusi Perikardial, Sindrom Nefrotik,
dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Keterlibatan
Hematologik, Ginjal, Paru, dan Jantung

Disusun oleh :
Cecilita Indrawan
01073170027

Pembimbing :
dr. Stevent Sumantri, SpPD-DAA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 4 FEBRUARI 2019 – 7 APRIL 2019

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I LAPORAN KASUS ............................................................................................ 1


1.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 1
1.2 Anamnesis ..................................................................................................... 1
1.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 6
1.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 9
1.5 Daftar Masalah .............................................................................................. 13
1.6 Rencana Diagnostik, Terapi, dan Monitor .................................................... 13
1.7 Hasil Rencana Diagnostik ............................................................................. 15
1.8 Follow Up ...................................................................................................... 20
1.9 Prognosis ....................................................................................................... 21

BAB II PENGKAJIAN KASUS ..................................................................................... 22


2.1. Daftar Masalah 1 : Sepsis .............................................................................. 22
2.2 Daftar Masalah 2 : Anemia Berat ec AIHA Tipe hangat .............................. 30
2.3 Daftar Masalah 3 : Pneumonia DD/Pneumonitis ........................................... 34
2.4 Daftar Masalah 4 : Efusi perikardial ringan ................................................... 38
2.5 Daftar Masalah 5 : Edema anasarka, hipoalbuminemia ec
Sindrom Nefrotik ........................................................................................... 40
2.6 Daftar Masalah 6 : SLE dengan keterlibatan hematologik, ginjal,
paru, dan jantung ........................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 70

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Inisial pasien : IE
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 31 Januari 1993
Usia : 26 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Kp. Bojong Nangka, Kelurahan Medang, Kecamatan
Pagedangan, Kabupaten Tangerang.
Agama : Islam
Status pernikahan : Sudah menikah
Nomor Rekam Medis : 00-74-01-94
Status pembayaran : BPJS 3
Tanggal masuk RS : 06 Februari 2019 pukul 13.50
Tanggal pemeriksaan : 06 Februari 2019 pukul 17.00

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSU Siloam Karawaci pada
tanggal 6 Februari 2019 pukul 17.00.

Keluhan Utama
Sesak napas yang memberat sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari
SMRS. Pasien sebelumnya sudah merasakan sesak napas sejak lebih dari 1 bulan, namun
sesak pasien masih dapat ditahan dan pasien masih dapat beraktivitas. Pada lebih dari 1
bulan terakhir ini, sesak pasien bertambah berat saat pasien kelelahan dan membaik

iii
kembali dengan istirahat, oleh karena itu pasien tidak memeriksakan diri ke dokter.
Namun sejak 3 hari SMRS, sesak pasien tidak membaik dengan istirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi. Pasien sehari-hari tidur menggunakan 1 bantal.
Pasien tidak pernah terbangun di malam hari karena sesak. Pasien merasa dada berdebar-
debar, namun pasien menyangkal adanya nyeri dada atau nyeri ulu hati. Sesak tidak
dicetuskan oleh suatu faktor pencetus seperti udara dingin, malam hari, debu,
lingkungan, atau lainnya. Saat sesak pasien tidak mengeluarkan suara napas ‘ngik-ngik’.
Pasien juga mengeluh demam sejak 3 hari SMRS. Suhu demam dinyatakan
tinggi, namun pasien tidak mengukurnya dengan termometer. Demam dirasakan terus
menerus sepanjang hari. Pasien juga menyatakan terkadang terdapat batuk dengan dahak
tipis putih atau kuning, tidak ada darah. Pasien juga mengeluh mual sejak 1 hari SMRS
dan muntah 1 kali beberapa jam SMRS berisi makanan, tidak ada darah. Pasien
menyatakan bahwa seluruh tubuh-nya bengkak sejak 1 bulan SMRS. Awalnya menurut
pasien hanya pada bagian kaki, namun kemudian semakin lama seluruh tubuh pasien
juga bengkak. Warna urin pasien sejak 1 bulan SMRS berwarna coklat atau gelap,
namun BAK tidak nyeri, tidak anyang-anyangan, dan tidak lebih sering. BAB pasien
juga normal, tidak ada darah.
Pasien menyatakan bahwa dirinya sering mengalami anemia atau kurang darah
dan membutuhkan transfusi 1-2 bulan sekali. Awalnya pada tahun 2016, saat itu pasien
sedang hamil anak ke-2 dengan usia kehamilan 4 bulan, pasien mengaku memang mudah
lelah saat kehamilan kedua ini dan terlihat pucat, namun suatu hari pasien merasa
tubuhnya sangat lemas, pandangan gelap, dan sesak. Pasien dibawa ke IGD RSU Siloam
Karawaci dan dinyatakan bahwa kadar Hb pasien saat itu hanya sekitar 2, kemudian
pasien ditransfusi sekitar 4 kantung darah. Sejak saat itu, keluhan yang sama terjadi
hilang timbul hingga pada usia kehamilan 7 bulan, pasien kembali merasakan hal yang
serupa disertai dengan perdarahan dari jalan lahir. Saat diperiksa, pasien dinyatakan
bahwa janin dalam kandungan pasien sudah meninggal, namun sudah keluar sendiri,
sehingga pasien tidak dikuret atau dioperasi. Setelah pasien keguguran ini, pasien masih
sering mengalami keluhan mudah lelah, sesak, lemas sepanjang hari, mudah memar, dan
berulang kali masuk rumah sakit dan diberikan transfusi darah.
Pasien menyatakan bahwa rambut pasien sangat rontok. Pasien menyangkal
adanya penurunan berat badan. Pasien menyangkal adanya ruam kemerahan di pipi bila
iv
terpapar matahari. Pasien menyangkal adanya ruam-ruam kemerahan di kulit. Pasien
menyangkal adanya riwayat sariawan. Pasien menyangkal adanya nyeri sendi atau otot.
Pasien menyangkal adanya riwayat kejang atau perubahan perilaku.
Pasien menyatakan tidak memiliki riwayat penyakit autoimun, kencing manis,
tekanan darah tinggi, asma, atau alergi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyatakan tidak memiliki riwayat tumor/keganasan. Pasien menyatakan
tidak memiliki riwayat penyakit jantung, paru, tiroid, hati, sakit kuning, dan penyakit
ginjal. Pasien tidak memiliki riwayat operasi.

Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengonsumsi obat untuk penambah darah, namun pasien lupa nama
obat pasien. Selain itu, pasien sering menjalani transfusi darah, sekitar 1 sampai 2 bulan
sekali. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan lain selain yang diberikan dokter.
Pasien juga tidak mengonsumsi jamu atau obat-obatan herbal.

Riwayat Obstetri Ginekologi


Saat ini, pasien menyatakan tidak haid lagi sejak kurang lebih 1 tahun. Haid
pertama kali pasien kira-kira pada usia 11 tahun. Siklus haid pasien umumnya 30 hari
dengan lama haid 5 sampai 7 hari. Saat haid, pasien mengganti 2 sampai 3 pembalut per
hari. Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri perut saat haid.
Pasien sudah menikah selama 10 tahun. Pasien memiliki 1 orang anak laki-laki
berumur 8 tahun dari kehamilan pertama dengan riwayat kehamilan pada anak pertama
ini tidak ada keluhan. Anak pertama pasien lahir ditolong bidan, cukup bulan, berat
badan lahir cukup, tumbuh kembang hingga sekarang normal. Pada kehamilan yang
kedua yaitu pada tahun 2016, pasien mengalami keguguran pada usia kandungan 7 bulan,
janin keluar sendiri, pasien tidak dikuret atau dioperasi. Sejak saat itu hingga sekarang
pasien belum kembali mengandung. Pasien saat ini tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Riwayat Kebiasaan

v
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien tidak
pernah berolahraga karena alasan kesehatan yaitu mudah lelah dan sesak.

Riwayat Sosial
Pasien tinggal di rumah bersama suami, anak, dan orang tua pasien. Pasien tidak
memiliki hewan peliharaan.

Riwayat Diet
Pola makan pasien teratur 3 kali sehari, dengan komposisi seimbang yaitu nasi
dengan sayur dan daging. Pasien tidak pilih-pilih makanan. Namun sejak 1 hari SMRS,
nafsu makan pasien menurun.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat penyakit
autoimun, keganasan, kencing manis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit
paru, stroke, asma, dan alergi disangkal.

vi
1.3 Pemeriksaan Fisik
Tabel 1.1 Status Generalisata
Hasil Pemeriksaan
Keadaan umum
Kesan sakit Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis, GCS : 15 (E4, M6, V5)
Tinggi badan 158 cm
Berat badan 62 kg
IMT 24,83 (berat badan lebih berisiko menjadi
obesitas menurut kriteria IMT Asia Pasifik,
namun pasien dalam keadaan edema
anasarka)

Tanda Vital
Tekanan darah 100/60 mmHg (MAP = 73,33 mmHg)
Nadi 138 kali / menit, reguler, tegangan cukup
Pernapasan 24 kali / menit, reguler
SpO2 98% (on room air)
Suhu 39,0oC

Tabel 1.2 Pemeriksaan Khusus

Bagian Tubuh Hasil Pemeriksaan


Kepala
Rambut Kuantitas rambut sedikit, distribusi merata, mudah
tercabut (mudah rontok).
Tengkorak Normosefali, tidak tampak deformitas, bekas luka (-),
massa (-).
Wajah Normofasies, edema (+).
Mata  Palpebra : edema (-/-), hiperemis (-/-), massa (-/-),
ptosis (-/-), lagophthalmos (-/-).
 Konjungtiva : anemis (+), injeksi (-/-), perdarahan (-/-).
 Sklera : ikterik (-).
 Kornea : jernih/jernih.

vii
 Pupil : bulat isokor Ø 3 mm/3 mm, refleks cahaya direk
(+/+), refleks cahaya indirek (+/+).
Telinga Simetris, otorrhea (-/-), hiperemis (-/-/), massa (-/-).
Hidung Simetris, rhinorrhea (-), massa (-), pernapasan cuping
hidung (-).
Bibir Moist, sianosis (-), angioedema (-).
Gigi dan Erosi gigi (-), karies (-), perdarahan (-), oral ulcer (-).
gusi
Lidah Bercak (-), atropik glossitis (-).
Tenggoroka Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1), uvula berada
n ditengah.
Kelenjar Pembesaran kelenjar parotis (-).
parotis

Leher
Inspeksi Jaringan parut (-), achantosis nigricans (-), massa (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid
(-), pergerakan menelan normal, pulsasi dan dilatasi vena
(-).
Palpasi Deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening(-), massa (-), JVP 5 + 2 cm.

Aksila Pembesaran kelenjar getah bening (-).

Thorax
Jantung
Inspeksi Bentuk dada normal, bekas luka (-), iktus kordis tidak
terlihat.
Palpasi Iktus kordis teraba pada sela iga V, 3 cm lateral dari
midklavikula sinistra, thrill (-), heaving (-).
Perkusi  Batas jantung kanan : sela iga V linea
parasternalis dextra.

viii
 Batas jantung kiri : melebar ke lateral yaitu
pada sela iga V, 3 cm lateral dari midklavikula
sinistra.
 Pinggang jantung : sela iga II linea parasternalis
Auskultasi sinistra.
S1 S2 regular takikardia, gallop (-), murmur (-).

Paru
Inspeksi Pergerakan napas takipnea, simetris statis dinamis,
retraksi (-), bentuk dada normal, jaringan parut (-), jejas
(-), massa (-), spider nevi (-), suara napas yang terdengar
secara langsung (-).
Palpasi Pengembangan dada simetris, taktil vokal fremitus
meningkat kiri-kanan, massa (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-).
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi Vesikuler (+/+), stridor (-/-), wheezing (-/-), ronki basah
halus (-/-), ronki basah kasar (+/+).

Abdomen
Inspeksi Bentuk abdomen membuncit, kulit normal (sawo
matang), bekas luka (-), striae (-), caput medusae (-),
ekimosis (-), massa/penonjolan yang terlihat (-).
Auskultasi BU (+) 12 kali/menit, metallic sound (-), bruit (-).
Perkusi Timpani di 4 kuadran abdomen.
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, splenomegali (+)
Schuffner 2, ballotement (-), shifting dullness (+).

Ekstremitas
Inspeksi Atrofi (-), edema general (+) pada keempat
ekstremitas, deformitas (-), lesi (-).
Palpasi Akral hangat, nyeri tekan (-), CRT < 2 detik, pulsasi

ix
arteri radialis teraba kuat angkat kiri dan kanan, pulsasi
arteri dorsalis pedis teraba kuat angkat kiri dan kanan.
ROM Hambatan (-), nyeri pada gerak aktif dan pasif (-).

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1.4.1 Pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, GDS, elektrolit.
Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, GDS, dan
elektrolit Ny. IE tanggal 6 Februari 2019.
Reference
Result Unit
Range

Complete Blood Count


Hemoglobin 5,70 g/dL 11,70 – 15,50
Hematokrit 17,00 % 35,00 – 47,00
Eritrosit (RBC) 1,68 10^6/ µl 3,80 – 5,20
Leukosit (WBC) 21,57 10^3/ µl 3.60 – 11,00
Platelet 266,00 10^3/ µl 150 – 440
MCV, MCH, MCHC
MCV 98,20 fL 80 – 100
MCH 33,90 Pg 26 – 34
MCHC 33,50 g/dL 32 – 36

SGOT - SGPT
SGOT (AST) 49 U/L 0 – 32
SGPT (ALT) 28 U/L 0 – 33

Ureum 47 mg/dL <50,00


Kreatinin 1,1 mg/dL 0,5 – 1,1
eGFR 62,3 mL/mnt >= 60

x
/1,73 m^2

Gula Darah Sewaktu 146 mg/dL <200,0

Elektrolit (Na, K, Cl)


Sodium (Na) 137 mmol/L 137 – 145
Potasium (K) 3,7 mmol/L 3,6 – 5,0
Klorid (Cl) 103 mmol/L 98 – 107

1.4.2 EKG

Gambar 1.1 EKG lead I, II, III, aVR, aVL, dan aVF Ny. IE tanggal 6 Februari 2019

xi
Gambar 1.2 EKG lead V1 sampai V6 Ny. IE tanggal 6 Februari 2019

Tabel 1.4 Temuan EKG Ny. IE tanggal 6 Februari 2019


Intepretasi
Irama Sinus takikardia
Rate 136 kali per menit, regular
Axis Normoaxis
Gelombang P Normal [P mitrale (-), P pulmonale (-)]
Interval PR 0,08 detik (<0,2 detik)
Kompleks QRS 0,08 detik (<0,12 detik)
ST-T changes (-)
Hipertrofi ventrikel (-) ( S di V1 / V2 + R di V5 / V6 ≤ 35 dan
R/S di V1 <1)
BBB (-)
Gelombang T Normal
Gelombang U (-)
Kesan Sinus takikardia

1.4.3 X-ray thorax (PA)

xii
Gambar 1.3 X-ray thorax Ny. IE tanggal 6 Februari 2019

Tabel 1.5 Temuan X-ray Thorax Ny. IE tanggal 6 Februari 2019


Intepretasi
Paru Infiltrat pada perihiler bilateral dan
lapangan bawah paru bilateral
Mediastinum Normal
Trakea dan bronkus Normal
Hilus Normal
Pleura Normal
Diafragma Normal
Jantung CTR 63%, water-bottle shaped
Aorta Normal
Vertebra thorakal Normal
dan tulang-
tulang lainnya
Jaringan lunak Normal
Abdomen yang Normal
tervisualisasi
Leher yang Normal
tervisualisasi
Kesan Kardiomegali, suspek efusi perikardial
Pneumonia

xiii
1.5 Daftar Masalah
(1) Sepsis
(2) Anemia berat ec suspek AIHA
(3) Pneumonitis dd/ Pneumonia
(4) Kardiomegali suspek efusi perikardial
(5) Edema anasarka
(6) Susp SLE dengan keterlibatan hematologik, ginjal, paru, dan jantung

1.6 Rencana Diagnostik, Terapi, dan Monitor

Tabel 1.6 Rencana Diagnostik, Terapi, dan Monitor


Rencana Rencana Rencana
No Masalah
Diagnostik Terapi Monitoring
1 Sepsis Periksa laktat serum  O2 Nasal kanul 3 LPM  Rawat inap di
Kultur darah aerob dan  IVFD RL 500 ml ruang rawat biasa
anaerob (sebelum loading  Monitor klinis
terapi antibiotik)  Antibiotik empiris : pasien
- Meropenem IV 1 g/8  Monitor MAP
jam (Target ≥ 65
- Ciprofloxacin IV 400 mmgHg)
mg/8 jam  Monitor UO
 Terapi Hb 5,70 : daftar (≥0,5 ml/Kg/jam)
masalah 2)  Monitor laktat
serum setelah
 Demam : resusitasi cairan
- Paracetamol PO 1000 mg jika hasil
 Profilaksis ulkus stres : pemeriksaan
- Omeprazole IV 40 mg kadar laktat
serum ≥ 2
mmol/L.
2 Anemia berat Tes golongan darah  Kortikosteroid :  Monitor klinis
ec suspek untuk transfusi Metilprednisolon PO 3 pasien.
AIHA Tes retikulosit (sudah x 16 mg  Monitor efek
pernah dilakukan,  Transfusi PRC 750ml samping obat dan

xiv
hasil pada tabel 1.8)  Medikasi pre –transfusi reaksi transfusi.
Apusan darah (sudah (Premedikasi) :  Monitor CBC
pernah dilakukan, Inj Difenhidramin 25 pasca terapi dan
hasil pada tabel 1.9) mg dalam 5 ml NaCl transfusi.
Uji Direct Coombs’ test 0,9% dan Furosemide
IV 20 mg
3 Pneumonitis Kultur sputum untuk  Talalaksana sesuai  Monitor klinis
dd/ membedakan daftar masalah 1 dan 6. pasien, apakah
Pneumonia pneumonitis atau masih mengeluh
pneumonia. sesak.
 Monitor TTV.
 Monitor ronki
pada auskultasi,
apakah
berkurang.
4 Kardiomegali  Echocardiography  Konsul SpJP  Monitor klinis
suspek efusi TTE/TEE pasien.
perikardial
5 Edema  Cek albumin  Jika hipoalbuminemia :  Monitor klinis
Anasarka  Urinalisis Albumin (human) 25% pasien : bengkak
IV 1 x 100 ml (1 flash) membaik?
6 Suspek SLE Profil ANA/ENA  Belum ada rencana  Monitor klinis
terapi, tunggu hasil lab pasien.
1.7 Hasil Rencana Diagnostik
1.7.1 Kultur darah
Spesimen : Darah
Isolate 1 : Staphylococcus cohnii ssp urealyticus
Bakteri ini kemungkinan besar merupakan kontaminasi flora
normal kulit, walaupun belum dapat disingkirkan
kemungkinannya sebagai penyebab infeksi.

Tabel 1.7 Hasil kultur darah Ny. IE tanggal 6 Februari 2019, hasil keluar tanggal
10 Februari 2019.
Susceptibility Isolate 1

Benzylpenicillin S

xv
S
Cefazolin
Inducible Clindamycin Resistant S
Trimethoprim / Sulfamethoxazole R
Cefpodoxime S
Gentamicin S
Netilmicin S
Rifampicin S
Piperacillin / Tazobactam S
Amoxicillin / Clavulanic Acid S
Cefoperazone 30ug S
Cefotaxime R
Ceftazidime R
Ceftriaxone R
Cefuroxime S
Cefoxitin S
Tigecycline R
Teicoplanin S
Vancomycin R
Clindamycin R
Erythromycin S
Imipenem R
Meropenem S
Linezolid S
Ampicillin R
Oxacillin S
Levofloxacin S
Norfloxacin S
Ciprofloxacin S
Moxifloxacin R
Tetracycline

1.7.2 Tes Retikulosit

xvi
Tabel 1.8 Hasil pemeriksaan retikulosit Ny. IE tanggal 26 Juli 2018
Reference
Result Unit
Range

Retikulosit
Persentase 24,85 % 0,50 – 1,50
Jumlah absolut 136.700 /μL 25.000 – 75.000
RET-HE 31,1 pg 26,5 – 34,0

1.7.3 Apusan darah


Tabel 1.9 Hasil apusan darah Ny. IE tanggal 26 Juli 2018
Hasil Pemeriksaan

Eritrosit Normositik normokrom, anisopoikilositosis


(polikromasi +, aglutinasi +).
Leukosit Kesan jumlah normal. Kesan morfologi
ditemukan granulasi toksik pada sitoplasma
PMN, tidak ditemukan sel muda / blast.
Trombosit Kesan jumlah normal, distribusi merata.
Kesan morfologi normal, tidak ditemukan
giant thrombocyte.

Kesan Anemia normositik normokrom dengan


aglutinasi dan polikromasi suspek anemia
hemolitik autoimun (AIHA).

Saran Pemeriksaan Coombs’ test

1.7.4 Coombs’ test direk


Tabel 1.10 Hasil pemeriksaan Coombs’ test direk Ny. IE tanggal 6 Februari 2019
Hasil Pemeriksaan

Golongan darah O Rhesus positif


Sel darah merah Terdapat sensitisasi in vivo oleh immune

xvii
antibodi IgG dan faktor komplemen (C3d)
Serum Ditemukan adanya antibodi yang reaktif
pada suhu 20oC s/d titer 1 : 4 dan pada Liss
Coombs’, spesifikasi non spesifik
Auto Kontrol Positif
Crossmatch Inkompatibel mayor dan minor

1.7.5 Urinalisis
Tabel 1.11 Hasil pemeriksaan urinalisis Ny. E tanggal 6 Februari 2019
Reference
Result Unit
Range

Makroskopik
Warna Coklat
Kejernihan Keruh Jernih
Berat jenis spesifik 1,015 1,000 – 1,030
pH 6,0 4,50 – 8,00
Leukosit Esterase (1+) 70 Negatif
Nitrit (+) Negatif
Protein (3+) 300 Negatif
* Duplo dengan Asam Sulfosalisilat
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Urobilinogen 1,0 0,10 – 1,00
Bilirubin Negatif Negatif
Darah (3+) 200 Negatif
Mikroskopik
Eritrosit 9 Sel/μL 0–3
Leukosit 36 Sel/μL 0 – 10

xviii
Epitel 1 0–1
Silinder Granula 1-2/LPK 0–1
Kristal Negatif 0–1
Lainnya Bakteria (1+) Negatif

1.7.6 Cek Albumin


Tabel 1.12 Hasil pemeriksaan albumin Ny. IE tanggal 6 Februari 2019.
Reference
Result Unit
Range

Albumin 1,40 g/dL 3,50 – 5,20

1.7.7 Echocardiography transthoracic


Kesan tanggal 6 Februari 2019 : Efusi perikardial ringan.

1.7.8 Pemeriksaan imunologi / serologi SLE


Tabel 1.13 Hasil pemeriksaan profil ANA/ENA Ny. IE tanggal 6 Februari 2019
Resul
Reference Range
t

Profil ANA/ENA
Anti nRNP 1 Negatif MCTD/SLE
Anti Sm 0 Negatif SLE
Anti SS-A 0 Negatif SS
Anti Ro-52 1 Negatif SS/SLE/NL
Anti SS-B 0 Negatif SS/SLE/NL
Anti Scl-70 1 Negatif SS/SLE/NL
PM-Scl 1 Negatif PSS/Diff/Lim
Anti Jo-1 3 Negatif Sis Skle/PM
Anti Centromeres 0 Negatif PM/DM

xix
PCNA 0 Negatif Sis Skler/Lim/PBC
Anti ds-DNA 1 Negatif SLE
Anti Nukleosom 41 Positif SLE
Anti Histone 12 Positif SLE
Anti Rib.P- 11 Positif SLE/RA/DIL
Protein
AMA-M2 1 Negatif SLE
DFS70 1 Negatif PBC
Kontrol 80 +++ 0-5 :0 Negatif
(Positif 6 - 10 : (+) Borderline
kuat) 11 - 25 : + Positif
26 - 50 : ++ Positif
>50 : +++Positif kuat

Keterangan :
SS : Sjogren Syndrome
PSS : Progressive Systemic Sclerosis
SLE : Systemic Lupus Erythematosus
PM : Polymyositits
DM : Dermatomyositis
PBC : Primary Billiary Cirrhosis
RA : Rheumatoid Arthritis
MCTD : Mixed Connective Tissue Disease
Lim : Limited form
Dif : Diffuse form
DIL : Drug Induced Lupus
NL : Neonatal Lupus

1.8 Follow Up
7 Februari 2019

xx
S : Pasien mengeluh lemas. Keluhan sesak masih dirasakan tapi berkurang. Demam (-).
O : Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah
110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, laju pernapasan 20 x/menit, suhu 36,4 oC,
balans cairan +150 cc. Konjungtiva pasien anemis. Pada pemeriksaan jantung S1 dan
S2 reguler, tidak ada gallop atau murmur. Pada pemeriksaan paru vesikuler normal
kanan dan kiri, ronki basah kasar (+/+).
A dan P :
No Masalah Rencana Terapi Rencana Monitoring
1 Sepsis hari ke-2  O2 Nasal kanul 3 LPM  Monitor klinis pasien
 IVFD RL 500 ml/12 jam  Monitor MAP (Target ≥ 65
 Antibiotik empiris : mmgHg)
- Meropenem IV 1 g/8 jam  Monitor UO (≥0,5 ml/Kg/jam),
- Ciprofloxacin IV 400 mg/8 jam balans cairan.
 Terapi Hb 5,70 : daftar masalah
2)
 Demam :
- Paracetamol PO 1000 mg (prn)
 Profilaksis ulkus stres :
- Omeprazole IV 2 x 40 mg
2 SLE dengan  Metilprednisolon IV 4 x 125 mg  Monitor klinis pasien.
keterlibatan (tappering)
hematoogik,
ginjal, paru, dan
jantung
3 Anemia berat ec  Tatalaksana SLE (daftar  Monitor klinis pasien.
AIHA Tipe masalah 2),  Monitor efek samping obat dan
Hangat  Transfusi PRC 750ml. reaksi transfusi.
 Medikasi pre –transfusi  Monitor CBC pasca terapi dan
(Premedikasi) : transfusi.
Inj Difenhidramin 25 mg dalam
5 ml NaCl 0,9% dan Furosemide
IV 20 mg.
4 Hipo-  Tatalaksana SLE (daftar  Monitor klinis pasien.
albuminemia masalah 2).

xxi
 Albumin (human) 25% IV 1 x
100 ml (1 flash).
5 Pneumonitis dd/  Talalaksana SLE (daftar  Monitor klinis pasien, apakah
Pneumonia masalah 2). masih mengeluh sesak.
 Monitor TTV.
 Monitor ronki pada auskultasi,
apakah berkurang.
6 Efusi perikardial  Tatalaksana SLE (daftar  Monitor klinis pasien, adakah
ringan masalah 2) Beck’s triad.
 Tidak ada tata laksana di bidang
kardio.

1.9 Prognosis
Ad vitam : Malam
Ad functionam : Bonam
Ad sanactionam : Bonam

xxii
BAB II
PENGKAJIAN KASUS

2.1 Daftar Masalah 1 : Sepsis


Dasar Diagnosis
Pada anamnesis, pasien IE, perempuan, 26 tahun, datang ke IGD RSU Siloam
Karawaci dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit disertai demam tinggi terus menerus sejak 3 hari, bengkak seluruh tubuh sejak 1 bulan,
dan riwayat transfusi darah berulang.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tanda vital pasien ditemukan tekanan darah 100/60 mmHg, laju nadi 138 kali/menit,
frekuensi pernapasan 24 kali/menit, SpO2 98% (on room air), dan suhu 39oC. Batas jantung
kiri melebar ke lateral dimana iktus kordis teraba pada sela iga V, 3 cm lateral dari garis
midklavikularis sinistra. Jantung S1 S2 reguler takikardia, murmur (-), gallop (-). Terdengar
ronki basah kasar pada kedua lapang paru dengan peningkatan taktil vokal fremitus kanan
dan kiri. Abdomen pasien membuncit dengan shifting dullness (+). Terdapat edema pada
keempat ekstremitas.
Dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk menilai apakah terdapat tanda-tanda infeksi,
hasil menunjukkan Hb 5,70 g/dL dan leukosit 21.570 sel/μL. Dengan adanya keluhan sesak
dan bengkak dan pada pemeriksaan fisik ditemukan ronki basah kasar dan pelebaran batas
jantung, maka dilakukan pemeriksaan EKG dan X-ray thorax PA untuk menilai apakah
terdapat kelainan di paru dan jantung.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah rutin, kita menemukan temperatur
39oC, laju nadi 138 x/menit, frekuensi pernapasan 24 x/menit, dan leukosit 21.570 sel/μL.
Dengan menggunakan kriteria SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok Septik, dan MODS
berdasarkan Konsensus Konferensi ACCP/SCCM tahun 1991 (Tabel 1.14) 1 untuk
mengidentifikasi sepsis, maka pasien ini memenuhi 3 dari 4 kriteria SIRS, dengan penemuan
atau kecurigaan infeksi / bakteremia, yaitu kecurigaan terhadap pneumonia, sehingga pasien
didiagnosis sebagai sepsis.

xxiii
Tabel 2.1 Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasarkan Konsensus
Konfrensi American College of Chest Physicians dan Society of Critical Care Medicine
(ACCP/SCCM) tahun 1991.1
Istilah Kriteria
SIRS Minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
1. Temperatur > 38oC atau <36oC
2. Frekuensi nadi >90 x/menit
3. Frekuensi napas >20 x/menit atau PaCO2 <32 mmHg.
4. Jumlah hitung leukosit >12.000 sel/μL atau <4.000 sel/μL.
Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan adanya infeksi
(bakteremia).
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi
(tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure <
70 mmHg, atau penurunan >40 mmHg dari ambang dasar
tekanan darah sistolik).
Kriteria ini juga mencakup sepsis dengan:
1. Asidosis laktat (laktat serum >2 mmol/L);
2. Oliguria (keluaran urin <0,5 ml/KgBB/jam >2 jam meski
telah diberi resusitasi cairan secara adekuat);
3. Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 <200 (bila
tidak ada pneumonia), atau PaO2/FiO2 <250 (bila tidak ada
keterlibatan pneumonia);
4. Kreatinin serum >2,0 mg/dL;
5. Bilirubin >2 mg/dL;
6. Hitung trombosit <100.000 /mm3;
7. Koagulopati (INR > 1,5).
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi
yang adekuat.

Namun, penggunaan kriteria sepsis dari Konsensus Konferensi ACCP/SCCM tahun


1991 ini dianggap tidak membantu lagi. Pada tahun 2016, SCCM dan European Society of
Critical Care Medicine (ESICM) mengeluarkan konsensus internasional yang bertujuan
untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang
meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment)

xxiv
(Tabel 1.15) dengan peningkatan angka sebesar 2 (skor SOFA ≥ 2), dan menambahkan
kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan
resusitasi dan penggunaan vasopresor pada keadaan hipotensi.2
Istilah sepsis menurut konsensus terbaru ini adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria dari Konsensus Konferensi ACCP/SCCM tahun 1991 untuk
mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi karena kriteria yang
dicantumkan pada kritera ini seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan
laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya),
namun tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan ini
sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.3
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis
berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari
respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik. Peningkatan
skor SOFA ≥ 2 digunakan untuk identifikasi keadaan sepsis pasien di ICU, terdapat pula skor
quick SOFA (qSOFA) (Tabel 1.16) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. 2
Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di
ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara
cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam
mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi. 3 Syok
septik didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/
metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk
mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang
membutuhkan vasopresor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan
kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.2
Tabel 2.2 Skor SOFA3
Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FiO2 ≥ 400 < 400 < 300 < 200 < 100
(mmHg)
Koagulasi
Trombosit ≥150 <150 <100 <50 <20
(x103 x/μL)

xxv
Liver
Bilirubin <1,2 1,2 – 1,9 2,0 – 5,9 6,0 – 11,9 ≥12,0
(mg/dL)
Kardio- MAP MAP Dopamin Dopamin Dopamin
vaskular ≥70 <70 <5 5,1 – 15 > 15
mmHg mmHg (μg/kg/min atau atau
) Epinefrin Epinefrin
≤ 0,1 > 0,1
atau atau
Norepinefrin Norepinefrin
≤ 0,1 > 0,1
(μg/kg/min) (μg/kg/min)
Sistem Saraf
Pusat
Glasgow 15 14 – 13 12 – 10 9–6 <6
Coma Scale
Ginjal
Kreatinin < 1,2 1,2 – 1,9 2,0 – 3,4 3,5 – 4,9 ≥ 5,0
(mg/dL)

xxvi
Tabel 2.3 Kriteria qSOFA3
Memenuhi 1 dari 3 kriteria berikut : Interpretasi
Frekuensi pernapasan ≥ 22 x/menit 0 = Mortalitas < 1 %
Perubahan status mental (GCS < 15) 1 = Mortalitas 2-3%
Tekanan darah Sistolik ≤ 100 mmHg ≥2 = Mortalitas ≥ 10%, risiko
pemajangan rawat inap di
ICU (>3 hari)

Dari hasil pemeriksaan yang ditemukan pada pasien IE, frekuensi pernapasan pasien
24x/menit, tekanan darah sistolik 100 mmHg, dan GCS 15. Dengan terpenuhinya 2 dari
kriteria qSOFA, maka pasien didiagnosis sebagai sepsis.

Tata Laksana
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasikan pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari
2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan
tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine
dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru ini. 4 Pada tahun
2018, ESICM kembali mengeluarkan protokol Surviving Sepsis Campaign yang merupakan
pedoman internasional yang digunakan dalam tata laksana sepsis.5
Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah pemeriksaan kadar
laktat serum, kultur darah, pemberian antibiotik awal, resusitasi cairan, dan dukungan
hemodinamik dengan pemberian agen vasopresor/ inotropik, kortikosteroid, serta tata laksana
suportif (ventilasi, dialisis, transfusi).5
Walaupun kadar laktat serum tidak secara langsung mengukur kondisi perfusi
jaringan6, kadar laktat serum dapat mewakilinya, karena peningkatan kadar laktat
menunjukkan telah terjadinya hipoksia jaringan, percepatan glikolisis aerob yang didorong
oleh stimulasi beta-adrenergik yang berlebihan, atau penyebab lain yang terkait dengan hasil
yang lebih buruk.7 Jika kadar laktat meningkat (>2 mmol/L), maka kadar ini harus diukur
kembali dalam 2 – 4 jam, untuk memandu resusitasi hingga kadar laktat menjadi normal.8
Sterilisasi kultur dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian dosis
antimikroba yang pertama9, oleh karena itu sampel untuk kultur darah seharusnya diambil

xxvii
sebelum pemberian terapi antibiotik untuk mengoptimalkan identifikasi patogen dan
meningkatkan hasil perbaikan.10,11 Kultur darah yang tepat dilakukan secara duplo, masing-
masing menggunakan satu botol aerob dan satu botol anaerob.9
Administrasi dari antibiotik empiris tidak boleh ditunda untuk mendapatkan kultur
darah (maksimal 45 menit, antibiotik empiris harus diberikan). Lokasi dan sumber infeksi
merupakan pertimbangan utama dalam menentukan antibiotik empiris. Berbagai pilihan
antibiotik pada sepsis dapat dilihat pada Tabel 1.17. Terapi empiris harus dipersempit setelah
identifikasi patogen dan sensitivitasnya diketahui, atau dihentikan jika infeksi kemudian
terbukti tidak ada.12
Resusitasi cairan awal yang efektif sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi
jaringan yang diinduksi sepsis atau syok septik. Meningat sifat kedaruratan dari kondisi
medis ini, resusitasi cairan awal harus dimulai segera setelah mengenali pasien sepsis
dan/atau hipotensi dan peningkatan laktak serum (>4 mmol/L), dan resusitasi selesai dalam 3
jam setelah kondisi dikenali. Pedoman merekomendasikan pemberian cairan kristaloid
minimal 30 ml/KGBB bolus cepat selama 30 menit dengan prinsip fluid challenge technique.
Volume yang lebih besar dan cepat dapat diberikan bila terjadi hipoperfusi jaringan.
Kecepatan pemberian harus dikurangi apabila tekanan pengisian jantung meningkat tanpa
adanya perbaikan hemodinamik. Pada pasien dengan risiko Acute Lung Injury / Acute
Respiratory Distress Syndrome (ALI/ARDS), cairan harus dibatasi, serta dilakukan
peninggian posisi tungkai secara pasif sewaktu melakukan fluid challenge test. Albumin
boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan kristaloid dalam jumlah yang adekuat.
Target resusitasi adalah MAP ≥ 65 mmHg, produksi urin ≥0,5 ml/KgBB/jam, serta
normalisasi kadar laktat serum.5,13-14

Tabel 2.4 Pilihan antibiotik empiris pada kondisi sepsis.12


Pertimbanga Pilihan obat
n
Pneumonia Tanpa faktor risiko infeksi Pseudomonas:
komunitas Golongan sefalosporin generasi III (Ceftriaxone IV 1-2 g/12 jam),
ditambah
Aminoglikosida (Gentamicin IV 7 mg/KgBB/jam), atau Fluorokuinolon
(Levofloxacin IV 750 mg/24 jam, atau Ciprofloxacin IV 400 mg/8 jam)

xxviii
Dengan faktor risiko infeksi Pseudomonas:
Golongan sefalosporin antipseudomonas (Cefepime IV 1-2 g/8-12 jam, atau
Ceftazidime IV 2 g/8 jam, atau Cefpirome IV 1 g/8 jam), atau karbapenem
(Meropenem IV 1 g/8 jam, atau Imipenem IV 500 mg/6 jam),
ditambah
Ciprofloxacin IV 400 mg/8 jam, atau
Aminoglikosida (Gentamicin IV 7 mg/KgBB/jam)
Pneumonia Golongan sefalosporin generasi IV (Cefepime IV 1-2 g/8-12 jam),
nosokomial ditambah Aminoglikosida (Gentamicin IV 7 mg/KgBB/8 jam)
Urosepsis Levofloxacin IV 750 mg/24 jam, atau monobaktam (Aztreonam IV 2 g/6-8
jam), atau aminoglikosida (Gentamicin IV 7 mg/KgBB/8 jam),
ditambah Ampicillin-Sulbactam IV 1,5 g/6-8 jam
Infeksi intra- Monoterapi:
abdomen Imipenem IV 1-2 g/12 jam, atau Meropenem IV 1 g/ 8 jam, atau
Monifloxacin IV 400 mg/24 jam, atau Piperacillin-Tazobactam IV 4,5 g/6
jam, atau Ampicillin-Sulbactam IV 1,5 g/6-8 jam, atau Tigecycline (dosis
inisial 100 mg/30-60 menit, dilanjutkan 50 mg/12 jam).
Kombinasi:
Metronidazol IV 500 mg/8 jam, ditambah Aztreonam IV 2 g/6-8 jam, atau
Levofloxacin IV 750 mg/24 jam, atau Gentamicin 7 mg/KgBB/8 jam)
Infeksi sistem Metronidazol IV 500 mg/8 jam, ditambah Aztreonam IV 2 g/6-8 jam, atau
saraf pusat Levofloxacin IV 750 mg/24 jam, atau Cefepime IV 1-2 g/8-12 jam, atau
Ceftriaxone IV 2g/12 jam.
Sumber Cefotaxime IV 3g/6 jam atau Ceftazidime IV 2 g/8 jam, ditambah
infeksi tidak Gentamicin IV 7 mg/KgBB/8 jam.
jelas
Vasopresor diberikan untuk menjaga MAP ≥ 65 mmHg dan inotropik diberikan pada
pasien dengan disfungsi miokardium (peninggian tekanan pengisian jantung dan curah
jantung yang rendah). Vasopresor pilihan pertama adalah norepinefrin. Pemberian epinefrin
(ditambahkan setelah norepinefrin) dapat dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darah
tetap adekuat. Vasopresin dosis 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin untuk
meningkatkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.5,13-14
Pemberian kortikosteroid intravena hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa
dengan syok septik yang tidak mengalami perbaikan tekanan darah setelah resusitasi cairan
dan terapi vasopresor. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati sepsis tanpa
adanya kejadian syok, kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid
sebelumnya.5,13-14

xxix
Terapi suportif lainnya pada kasus sepsis adalah transfusi darah, kontrol glikemik
dengan insulin dan target GDS ≤ 180 mg/dL, profilaksis DVT, profilaksis ulkus stres, dan
managemen nutrisi.
Tatalaksana pada pasien ini adalah :
(1) Pemasangan IV line dan pengambilan sampel darah untuk memeriksakan kadar laktat
dan kultur darah (aerob dan anaerob) sebelum terapi antibiotik.
(2) Antibiotik empiris dalam jam pertama :
 Meropenem IV 1 g/8 jam
 Ciprofloxacin IV 400 mg/8 jam
(3) Resusitasi cairan
 IVFD Ringer Laktat 500 ml loading dengan monitor MAP dengan target ≥65
mmHg dan produksi urin dengan target resusitasi 0,5 ml/kgBB/jam.
(4) Terapi Hb 5,7 g/dL : Transfusi PRC(daftar masalah 2)
(5) Terapi demam :
 Paracetamol PO 1000 mg
(6) Profilaksis ulkus stres :
 Omeprazole IV 40 mg
2.2 Daftar Masalah 2 : Anemia Berat ec Autoimmune Hemolytic Anemia Tipe Hangat
Dasar Diagnosis
Pasien IE berusia 26 tahun menyatakan bahwa dirinya sering mengalami anemia atau
kurang darah sejak 2 tahun yang lalu dan membutuhkan transfusi 1-2 bulan sekali dan urin
pasien berwarna gelap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 138 x/menit,
irama reguler, tegangan cukup, laju pernapasan 24 x/menit, suhu 39 oC, konjungtiva kedua
mata anemis. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan normal pada inspeksi, bising
usus normal, nyeri tekan negatif, pada palpasi limpa teraba pada Schuffner 2 dan pada
perkusi didapatkan timpani tanpa adanya tanda-tanda kelainan. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hemoglobin (Hb) 5,70 g/dL; Hematokrit (Ht) 17,00%; leukosit
21.570/μL; trombosit 266.000/μL; MCV 98,20 fL; MCH 33,90; MCHC 33,50.
World Health Organization menyatakan bahwa diagnosis anemia berat pada wanita
tidak sedang hamil ditegakkan apabila kadar Hb < 8 g/dl, sedang apabila Hb 8-10,9 g/dl, dan

xxx
ringan apabila Hb 11-11,9 g/dl (Tabel 1.18).15 Dari kadar Hb pasien, maka ditegakkan
diagnosis anemia berat pada pasien ini.

Tabel 2.5 Kadar hemoglobin (g/dL) untuk menegakkan diagnosis anemia.15


Non- Anemia
Populasi Ringan Sedang Berat
Anemia
Anak usia 6 – 59 bulan ≥ 11,0 10 – 10,9 7 – 9,9 <7
Anak usia 5 – 11 tahun ≥ 11,5 11 – 11,4 8 – 10,9 <8
Anak usia 12 – 14 tahun ≥ 12 11 – 11,9 8 – 10,9 <8
Wanita dewasa (≥15 tahun) tidak hamil ≥ 12 11 – 11,9 8 – 10,9 <8
Wanita hamil ≥ 11,0 10 – 10,9 7 – 9,9 <7
Laki-laki dewasa (≥15 tahun) ≥ 13,0 11 – 12,9 8 – 10,9 <8

Anemia pada pasien ini tergolong normositik normokrom dengan MCV, MCH, dan
MCHC dalam batas normal. Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, atau penyakit - penyakit infiltratif metastatik pada sumsum
tulang. Pada anemia normositik normokrom, terjadi penurunan jumlah eritrosit tanpa disertai
dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal : MCV 80 – 101 fl, MCH
23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.16
Untuk mengetahui penyebab dari anemia normositik normokrom, maka dilakukan
pemeriksaan retikulosit. Retikulosit adalah eritrosit muda yang masih mengandung sisa RNA.
Jumlah retikulosit di darah tepi mencerminkan aktivitas pembentukan eritrosit (eritropoiesis)
di sumsum tulang. Jumlah retikulosit yang meningkat pada anemia menandakan respons
pembentukan eritrosit yang masih baik di sumsum tulang. Sebaliknya, jumlah retikulosit
yang rendah pada anemia menandakan adanya masalah di sumsum tulang sehingga
pembentukan eritrosit tidak berjalan baik. Pada anemia normositik normokrom dengan
peningkatan retikulosit menandakan respons sumsum tulang yang masih baik terhadap
anemia. Pada kondisi ini, kemungkinan penyebab anemia adalah kelainan yang tidak
melibatkan sumsum tulang, misalnya anemia hemolitik atau anemia karena perdarahan. 16
Dari hasil pemeriksaan retikulosit pada pasien IE, ditemukan hasil peningkatan retikulosit
yaitu 24,85% dengan nilai batas normal retikulosit adalah 0,50 – 1,50 %, sehingga
kemungkinan penyebab anemia pada Ny. IE adalah anemia hemolitik, karena tidak
didapatkan riwayat perdarahan.

xxxi
Terdapat dua tipe anemia hemolitik, yakni anemia hemolitik autoimun dan anemia
hemolitik non-imun. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan
penyebabnya, misalnya sferositosis pada sferositosis herediter dan anemia hemolitik
autoimun; sel target pada talasemia, hemoglobinopati, dan penyakit hati; schistosit pada
mikroangiopati dan prostesis intravaskular.17 Pada pasien, dilakukan pemeriksaan apusan
darah dengan hasil anemia normositik normokrom dengan aglutinasi dan polikromasi suspek
anemia hemolitik autoimun (AIHA).
Anemia hemolitik autoimun atau yang umum disebut dengan autoimmune hemolytic
anemia (AIHA) adalah sebuah kelainan yang dikarakteristikkan dengan adanya proses
hemolisis oleh reaksi autoantibodi yang menyerang langsung sel darah merah penderita
sehingga umur eritrosit memendek, disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen yang
menyebabkan hemolisis intravaskular, aktivasi mekanisme seluler yang menyebabkan
hemolisis ekstravaskular, atau kombinasi keduanya.17-18
Insidensi AIHA ialah 1-3 kasus per 100.000 populasi per tahun dan rerata
mortalitasnya mencapai kurang lebih 11%. Mortalitas lebih rendah pada anak-anak (4%) tapi
akan meningkat (hingga 10%) pada Evans Syndrome (terdapat trombositopenia autoimun)
serta AIHA tipe campuran.17-18
AIHA diklasifikasikan sebagai AIHA tipe hangat (disebabkan oleh adanya reaksi
hemolisis ekstravaskular yang bersuhu tinggi yang dimediasi oleh IgG, kurang lebih 75%
kasus AIHA), AIHA tipe dingin (disebabkan oleh adanya reaksi hemolisis intravaskular
bersuhu rendah yang dimediasi oleh IgM dan komplemen, kurang lebih 15% kasus AIHA),
dan tipe campuran (kurang dari 5%), pembagian ini didasarkan pada rentang suhu dari
autoantibodi yang berperan dalam patogenesis. Penyebab AIHA bermacam-macam,
umumnya idiopatik (50%), sindrom limfoproliferatif (20%), penyakit autoimun seperti
systemic lupus erythematosus (SLE) (20%) hingga infeksi dan tumor.17-18
Diagnosis AIHA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan Direct Coombs’ Test (DCT). Manifestasi klinis dari AIHA
umumnya akan terlihat perlahan beberapa bulan hingga tahunan bergantung pada keparahan
anemia yang diderita penderitanya, dari asimtomatik yang terkompensasi dengan
retikulositosis dengan hiperbilirubinemia ringan hingga hemolisis fulminan dengan jaundice,
hepatosplenomegali, takikardi dan angina. Manifestasi klinis tersebut juga dibedakan
berdasarkan adanya penyakit dasar dan derajat hemolisis yang bergantung pada tipe
xxxii
autoantibodi. Pasien dengan reaksi hangat IgM dilaporkan cenderung memiliki keparahan
hemolisis yang tinggi dan angka mortalitasnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan AIHA
tipe dingin. Derajat anemia umumnya bergantung pada kemampuan kompensasi tubuh
dengan peningkatan kadar retikulosit dan pada pasien dengan retikulositopenia umumnya
memiliki keadaan klinis yang lebih buruk dan memerlukan transfusi sel darah merah yang
sesuai.17-18
Coombs’ test merupakan tes darah klinis yang digunakan sebagai standari dalam
diagnosis AIHA. Direct Coombs’ test (DCT) berguna dalam mendeteksi antibodi pada
permukaan eritrosit, sedangkan Indirect Coombs’ test berguna dalam mengidentifikasi
antibodi anti-eritrosit pada serum. Tes ini dapat digunakan untuk membedakan AIHA tipe
hangat dan tipe dingin. Jika hasil DCT menunjukkan hasil positif dengan adanya IgG atau
IgG + C3d dapat dikategorikan sebagai AIHA tipe hangat sedangkan jika hasil menunjukkan
positif dengan adanya C3d maka dapat dikategorikan sebagai AIHA tipe dingin. 19 Untuk
menetukan tipe AIHA pasien, maka diperiksakan DCT pada pasien IE. Pada follow up hasil
DCT pasien IE (Tabel 1.10), hasil menunjukkan DCT positif dengan adanya IgG + C 3d,
sehingga ditegakkan diagnosis AIHA tipe hangat pada pasien ini.

Tatalaksana
Kortikosteroid merupakan lini utama pada pengobatan AIHA tipe hangat yang
digunakan sebagai imunosupresan pada kondisi autoimun. Penggunaan kortikosteroid dalam
AIHA bertujuan untuk menekan antibodi antieritrosit yang terbentuk. Kortikosteroid
digunakan sampai kadar Hb ≥ 10 g/dL tercapai. Apabila Hb telah stabil maka dosis
kortisteroid diturunkan secara perlahan (tappering off) untuk mengurangi risiko terjadinya
efek samping dan risiko kekambuhan. Selain pemberian kortikosteroid, diberikan juga terapi
suportif seperti transfusi Packed Red Cells (PRC) yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah
eritrosit normal sehingga meningkatkan status klinis pasien, atau Washed Red Cells (WRC)
jika pasien diduga mengalami alergi berat atay anafilaksis.20 Pada pasien ini diberikan
metilprednisolon PO 3 x 16 mg dan transfusi PRC 750 ml.

2.3 Daftar Masalah 3 : Pneumonia DD/ Pneumonitis


Dasar Diagnosis
xxxiii
Dari hasil anamnesis, keluhan utama pasien adalah sesak napas yang memberat 3 hari
SMRS. Dari keluhan utama pasien ini, maka dapat dipikirkan bahwa dispnea (sesak napas)
yang dirasakan pasien bersifat akut, yaitu sesak napas yang berlangsung kurang dari 1
bulan.21,22 Diagnosis dari dispnea akut terdapat pada tabel 1.19.21-23

Tabel 2.6 Diagnosis banding dari dispnea akut21-23


Sistem dan
Tanda dan Gejala Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding
Saluran napas bagian atas
Aspirasi benda asing Stridor, wheezing. X-Ray Thorax
Ditemukan benda asing, air
trapping, hiperinflasi.
Laboratorium
Leukosit normal atau
meningkat.
Epiglotitis Stridor, drooling, demam. X-Ray Thorax
Pembesaran epiglotis.
Laboratorium
Leukosit meningkat.
Paru
Asma eksaserbasi Wheezing, pulsus X-Ray Thorax
paradoksus, ekspirasi Normal
memanjang, penggunaan
otot bantu pernapasan.
PPOK eksaserbasi Wheezing, pulsus X-Ray Thorax
paradoksus, ekspirasi Pembesaran epiglotis.
memanjang, penggunaan Laboratorium
otot bantu pernapasan, Leukosit meningkat.
peningkatan intensitas
batuk, perubahan dahak,
pursed-lip breathing,
barrel chest, sianosis,
clubbing.
Pneumonia Batuk dengan/tanpa X-Ray Thorax
produksi sputum, demam, Infiltrat, efusi, konsolidasi.
penurunan kesadaran, Laboratorium
ronki basah kasar Leukosit meningkat atau

xxxiv
(crackles), peningkatan normal.
taktil vokal fremitus,
sepsis.
Emboli paru Nyeri dada lateral, X-Ray Thorax
sinkop/pre-sinkop, Normal, atelektasis, efusi
palipitasi, hemoptisis, pleura, wedge-shaped density.
hipoksemia, hipotensi, EKG
bentuk dada asimetris, Takikardia, deviasi aksis ke
wheezing, friction rub, kanan, pola S1Q3T3, RBBB.
edema tungkai.
Pneumothorax Nyeri dada, ansietas, X-Ray Thorax
takipnea, hipotensi, suara Avaskular, paru kolaps,
napas tidak ada, mediastinum bergeser ke arah
hipersonor, paru yang sehat.
Kardiovaskular
Gagal jantung + Edema Dyspnea on exertion, X-Ray Thorax
paru (ALO) Paroxysmal nocturnal Kerley B lines, edema
dyspnea, orthopnea, interstisial, sefalisasi, edema
riwayat penyakit jantung alveolar, kardiomegali.
koroner, wheezing, EKG
peningkatan tekanan vena Hipertrofi ventrikel kanan,
jugular, ronki basah halus, iskemia, aritmia.
S3 gallop, edema tungkai.

Sindrom koroner akut Nyeri dada penjalaran (Tatalaksana ACS)


khas, diaforesis, mual,
muntah, hemodinamik
tidak stabil, S4 Gallop,
hipoksemia.
Endokrin
Asidosis metabolik Analisa Gas Darah
Asidosis
Uremia Laboratorium
Uremia
Penyakit tiroid Demam, takikardia Laboratorium
Abnormalitas fungsi tiroid
Sistem saraf pusat

xxxv
Penyakit neuromuskular Riwayat penyakit (Di bidang terkait)
(Krisis miastenia) neuromuskular (Miastenia
gravis, ALS), weakness,
inspirasi dan ekspirasi
maksimal.
Intoksikasi Riwayat penggunaan obat
Beta blocker, Amiodaron,
Mtroteksat.
Psikogenik
Panic attacks, Riwayat gangguan cemas Normal
hiperventilasi (GAD, PTSD, OCD),
hiperventilasi.

Dari hasil pemeriksaan, keluhan tambahan yang ditemukan pada pasien adalah
demam, edema seluruh tubuh. Pada X-ray thorax ditemukan infiltrat dan kardiomegali. Hal
ini mengarahkan diagnosis pasien kepada Pneumonia dd/ Pneumonitis. Pasien menyangkal
bahwa sesak dipengaruhi posisi atau saat tidur terbangun karena sesak dan pada X-ray
walaupun terdapat kardiomegali tidak ditemukan gambaran edema paru sehingga diagnosis
gagal jantung disingkirkan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada, khususnya yang menjalar
hingga ke lengan kiri, pada X-ray tidak ditemukan tanda avaskular, atelektasis, pergeseran
mediastinum, dan EKG normal, maka diagnosis sindrom koroner akut, pneumothorax, emboli
paru disingkirkan. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hati, ginjal, tiroid, atau riwayat
penggunaan obat-obatan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil yang tidak terkait.
Tanda penyakit neuromuskular seperti ptosis tidak ditemukan. Oleh karena itu diagnosis
sistem endokrin dan sistem saraf pusat disangkal. Riwayat gangguan cemas atau gangguan
kepribadian disangkal, sehingga diagnosis psikogenik juga disingkirkan.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam pneumonia. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi
bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.24
Foto X-ray thorax (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.

xxxvi
Gambaran adanya infiltrat dari foto X-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis.
Namun X-ray thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia, sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.24

Tatalaksana
Pada pasien, tatalaksana sekarang ini adalah sesuai tatalaksana sepsis (daftar masalah
1).

2.4 Daftar Masalah 4 : Efusi perikardial ringan


Dasar Diagnosis
Pada X-ray thorax didapatkan CTR pasien 63% dengan gambaran water-bottle-
shaped heart, sehingga pasien dinyatakan kardiomegali dengan suspek efusi perikardial.
Efusi perikardial dapat timbul dari penyakit perikardial apa pun, termasuk perikarditis dan
beberapa gangguan sistemik, seperti keganasan, TB paru, gagal ginjal kronis, penyakit tiroid,
dan penyakit autoimun (tabel 2.7).25 Penyebab efusi perikardial besar yang membutuhkan
perikardiosentesis invasif dapat bervariasi sesuai dengan waktu, negara, dan rumah sakit.
Echocardiography transthoracic adalah alat yang paling penting untuk diagnosis, penilaian,
prosedur perikardiosentesis, dan tindak lanjut efusi perikardial.25 Untuk menegakkan
diagnosis, maka pada pasien ini dilakukan echocardiography transthoracic dengan hasil pada
menyatakan terdapat efusi perikardial ringan. Efusi perikardial ringan ialah jumlah ruang
bebas-gema di kantung perikardium anterior dan posterior kurang dari 10 mm. 26 Pada
keadaan ini tidak ada tata laksana khusus dari bidang kardio. Pasien harus diobservasi, untuk
kemungkinan terjadinya tamponade jantung.
Tamponade jantung adalah sejenis syok kardiogenik dan darurat medis, yang terjadi
akibat penekanan yang cepat atau lambat terhadap jantung akibat akumulasi cairan, nanah,
darah, bekuan darah, atau gas di perikardium sebagai akibat adanya efusi, trauma, atau ruptur
jantung. Pada efusi perikardial, ada 3 faktor yang menentukan apakah tetap tenang secara
klinis atau menimbulkan gejala akibat kompresi jantung, yaitu volume cairan, laju
xxxvii
terakumulasinya cairan, karakter komplians pericardium. Diagnosis tamponade jantung dapat
ditegakkan dengan Beck’s triad yaitu hipotensi akibat penurunan cardiac output, suara
jantung menjauh, distensi vena jugularis (↑ JVP) akibat berkurangnya aliran balik vena ke
jantung. Triad klasik ini biasanya ditemukan pada pasien dengan tamponade jantung akut.25-26

xxxviii
Tabel 2.7 Etiologi efusi perikardial.25
Etiologi Efusi
Penyakit yang Mendasari
Perikardial
Infeksi 1. Mycobacterium tuberculosis
2. Bakterial – Staphylococcus, Streptococcus,
Pneumococcus, Hemophilus, Neisseria, Chlamydia,
lainnya.
3. Viral – virus Coxsackie, Echovirus, Adenovirus,
Cytomegalovirus (CMV), Human Immunodeficiency
Virus (HIV), lainnya.
Keganasan 1. Metastasis – Kanker paru, kanker payudara, limfoma,
leukemia, kanker lambung, melanoma, dan lainnya.
2. Primer – Angiosarkoma, rhabomiosarkoma,
mesotelioma, dan lainnya.
Iatrogenik 1. Percutaneous coronary intervention (PCI)
2. Insersi pacemaker, implantable cardiac defibrillator
(ICD), atau cardiac resychronization therapy (CRT).
3. Post operasi jantung atau post cardiopulmonary
resuscitation (CPR)
Penyakit Jaringan 1. Systemic lupus erythematosus (SLE), rheumatoid
Ikat artritis, skleroderma, penyakit Behcet.
Penyakit 1. Hipotiroidisme
Metabolik 2. Gagal ginjal kronik
Etiologi lainnya 1. Trauma tumpul thorax (blunt chest trauma) atau
trauma tembus (penetrating chest injury)
2. Diseksi aorta
3. Perikarditis dan/atau miokarditis
4. Post infark miokardial
Idiopatik Ketika penyebab tidak ditemukan.

2.5 Daftar Masalah 5 : Edema anasarka, hipoalbuminemia ec Sindrom Nefrotik


Dasar Diagnosis
Pada anamnesis, pasien mengeluh bengkak seluruh tubuh sejak 1 bulan SMRS. Pada
pasien dengan keluhan bengkak, anamnesis harus mencakup waktu terjadinya bengkak,

xxxix
apakah kondisi berubah dengan perubahan posisi, dan apakah bengkak yang terjadi unilateral
atau bilateral, serta riwayat pengobatan dan penilaian untuk penyakit sistemik.27
Secara umum edema dapat dibagi menjadi dua jenis edema lokal dan edema general.
Edema lokal ialah apabila pembengkakan terjadi unilateral yaitu pada sebagian tubuh atau
satu sisi tubuh saja, misalnya salah satu kaki bengkak, bibir bengkak, mata bengkak, dan
sebagainya. Pembengkakan unilateral akibat kompresi drainase vena atau limfatik dapat
terjadi akibat DVT, insufisiensi vena, obstruksi vena oleh tumor, obstruksi limfatik
(misalnya, dari tumor pelvis atau limfoma), atau kerusakan limfatik (misalnya, bawaan atau
sekunder dari tumor, radiasi, atau filariasis). Sedangkan edema general ialah apabila
pembengkakan terjadi menyeluruh. Edema general disebut edema anasarka apabila akumulasi
cairan yang berlebihan terjadi bersamaan dan tersebar secara luas di dalam semua jaringan
dan rongga tubuh yang terjadi pada saat yang bersamaan. Edema anasarka menunjukkan
penyebab sistemik, seperti CHF (terutama sisi kanan), hipertensi pulmonal, penyakit ginjal
atau hati kronis yang menyebabkan hipoalbuminemia, enteropati yang kehilangan protein,
atau malnutrisi berat.27
Pada pasien ini, bengkak terjadi seluruh tubuh, sehingga digolongkan sebagai edema
anasarka, sehingga perlu dicari penyebab sistemik dari edema anasarka pada pasien ini.
Penyebab sistemik gagal jantung disingkirkan berdasarkan anamnesis dengan tidak adanya
PND dan ortopnea. Gagal jantung dan hipertensi pulmonal pada pasien ini juga disingkirkan
dengan pemeriksaan penunjang X-ray thorax yang sudah dilakukan tidak menunjukkan
adanya sefalisasi, edema interstisial, edema alveolar, dan hilus yang prominen.
Tes laboratorium yang berguna untuk mendiagnosis penyebab edema sistemik adalah
pengukuran brain natriuretic peptide (BNP) untuk diagnosis CHF; kreatinin, dan urinalisis
untuk mengetahui mendiagnosis penyakit ginjal; enzim hati dan albumin untuk mengetahui
penyakit hepar.27 Diagnosis CHF telah disingkirkan. Pemeriksaan kreatinin dan enzim hepar
pasien normal. Rencana diagnostik selanjutnya pada pasien ini adalah pemeriksaan kadar
albumin dan urinalisis untuk mecari proteinuria.
Dari hasil pemeriksaan kadar albumin, ditemukan hipoalbuminemia dengan albumin
pasien 1,4 g/dL (kisaran normal 3,5 – 5,2 g/dL). Dari hasil urinalisis ditemukan proteinuria
(3+), dan hematuria (3+). Dengan adanya proteinuria, edema anasarka, dan hipoalbuminemia
(profil lipid tidak diperiksa), maka pasien ini suspek sindrom nefrotik.28

xl
2.3 Daftar Masalah 6 : SLE dengan keterlibatan hematologik, ginjal, paru, dan
jantung
Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE) merupakan
penyakit inflamasi autoimun sistemik dengan etiologi yang belum diketahui dengan
manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat beragam; mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantiodi
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.29

Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita penyakit SLE di
seluruh dunia dewasa ini mencapai lima juta orang. Penyakit ini terutama menyerang wanita
usia reproduksi (usia 15-50 tahun) dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita
baru dengan angka kematian yang cukup tinggi.30
Dari sekitar 1.250.000 orang di Indonesia (asumsi prevalensi 0,5%) yang terkena
penyakit SLE, sangat sedikit yang menyadari bahwa dirinya menderita penyakit SLE. Hal ini
terjadi karena gejala penyakit SLE pada setiap penderita berbeda-beda, tergantung dari
manifestasi klinis yang muncul.30
Hasil survei penyakit rematik di Puskesmas di Indonesia tahun 2006 memperlihatkan
bahwa dokter kurang memahami adanya kriteria diagnostik SLE yaitu sebesar 48,8%.
Sementara itu kasus SLE yang dilaporkan tidak lebih dari 12%.30
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Online, pada tahun 2016 terdapat
858 rumah sakit yang melaporkan datanya (Gambar 2.1). Jumlah ini meningkat dari dua
tahun sebelumnya. Pertambahan jumlah rumah sakit yang melapor menunjukkan bahwa
pelaporan data dan informasi rumah sakit semakin meningkat.30

xli
Gambar 2.1 Jumlah rumah sakit yang melapor di Indonesia tahun
2014-20630

Berdasarkan rumah sakit yang melaporkan datanya tahun 2016 diketahui bahwa
terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit lupus, dengan 550 pasien
diantaranya meninggal dunia. Tren penyakit SLE pada pasien rawat inap rumah sakit
meningkat sejak tahun 2014-2016 (Gambar 2.2). Jumlah kasus SLE tahun 2016 meningkat
hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus. Jumlah kematian
akibat SLE pada pasien rawat inap di rumah sakit juga meningkat tinggi dibandingkan
dengan tahun 2014. Jumlah pasien meninggal akibat SLE pada tahun 2015 (110 kematian)
menurun jika dibandingkan tahun 2014. Namun jumlah ini meningkat drastis pada tahun
2016, yaitu sebanyak 550 kematian. Tingginya kematian akibat SLE ini perlu mendapat
perhatian khusus karena sekitar 25% dari pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada
tahun 2016 berakhir pada kematian. Tren jumlah kasus dan kematian pada pasien rawat inap
di rumah sakit di Indonesia tahun 2014-2015 dapat dilihat pada Gambar 2.2.30

xlii
Gambar 2.2 Jumlah kasus dan meninggal akibat SLE pada pasien
rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2014-201630

Penyakit SLE kebanyakan menyerang wanita pada usia 15-50 tahun (usia masa
produktif). Namun, SLE juga dapat menyerang anak-anak dan pria. Berdasarkan data SIRS
Online, proporsi pasien rawat inap SLE di rumah sakit di Indonesia tahun 2016 berjenis
kelamin laki-laki (54,3%) lebih banyak dibandingkan pasien perempuan (45,7%). Pada tahun
2014, proporsi pasien perempuan lebih banyak dibandingkan dengan pasien laki-laki.
Namun, proporsi pasien laki-laki menjadi lebih banyak dibandingkan pasien perempuan pada
tahun 2015 dan meningkat pada tahun 2016. Proporsi pasien rawat inap dengan diagnosis
SLE menurut jenis kelamin selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.3.30

xliii
Gambar 2.3 Proporsi pasien rawat inap dengan diagnosis SLE
menurut jenis kelamin di rumah sakit di Indonesia tahun 2014 –
201630

Gambar 2.4 Jumlah pasien rawat inap dengan diagnosis SLE


menurut kelompok usia di rumah sakit di Indonesia tahun 2014-
201630

Penyakit lupus banyak ditemui pada kelompok usia produktif. Berdasarkan Gambar
dapat dilihat bahwa tren pasien pada semua kelompok remaja sampai dengan orang lanjut
usia. Pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada kurun waktu 2014-2016 terbanyak
adaah pasien dengan usia 44-64 tahun, diikuti oleh kelompok usia lebih dari 65 tahun, dan
kelompok usia 14-44 tahun. Jumlah pasien SLE yang berusia 44-64 tahun meningkat sekitar
dua kali lipat pada tahun 2016 (932 orang) dibandingkan dengan tahun 2015 (479 orang). 30

Etiologi SLE
Etiopatogenesis dari SLE belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara faktor genetik, imunologi, lingkungan, dan
faktor hormonal.29,31-37
Faktor genetik berperan dalam respon imun yang abnormal sehingga muncul
autoantibodi yang berlebihan. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita
lupus dengan risiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan dalam patogenesis SLE terutama gen

xliv
yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Beberapa gen yang paling penting dalam kejadian
SLE adalah yang terdapat pada Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II, yaitu
HLA-DR2 dan HLA-DR3 yang mengatur produksi autoantibodi spesifik, seperti sel limfosit
T, sel B, makrofag, dan sel dendritik. 31 Faktor genetik lainnya, yaitu pada penderita lupus
(kira-kira 6%) ditemukan mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C1q, C1r, C1s,
C4, dan C2. Kekurangan komplemen ini menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel
apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.32
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi
yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko tinggi
terkena lupus.33 Pengaruh obat juga seperti antikonvulsan, antitiroid, sulfonamid, D-
penisilamin memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah
satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit.34 Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus terutama EBV dan CMV dapat ditemukan pada
penderita lupus. Peranan virus ini dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis.35-36
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Mayoritas
penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen dapat
meningkatkan autoimunitas dengan cara mengaktifasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE.37

xlv
Gambar 2.5 Patogenesis SLE.38-39

Patogenesis SLE
Data klinis dan eksperimental menggambarkan bahwa apoptosis merupakan
mekanisme terpenting pada patogenesis SLE yang memicu terjadinya autoantigen pada SLE
(Gambar 2.4). Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis (apoptotic cell clearance) maupun adanya induksi apoptosis
merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit SLE.29,38-39
Pada proses apoptosis (nekrosis, NETosis), sel yang rusak mengeluarkan atau
mengekspos antigen untuk dikenali oleh antibodi. Self-antigen (DNA (double-stranded),
nukleosom, Sm, Ro, dan La (SS-B), dan fosfolipid) (Tabel 2.8) pada permukaan sel apoptosis
ini dikenali oleh sel dendritik ke sel T dan sel B. Hilangnya toleransi imun, meningkatknya
beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon
imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun. Hal ini
menghasilkan deposisi kompleks imun pada jaringan. Deposisi kompleks imun pada jaringan
meneybabkan aktivasi komplemen, PMN, dan kerusakan jaringan lokal. Kompleks imun
kemudian dibersihkan oleh sel fagosit, seperti makrofag dan sel dendritik, yang akibatnya
melepaskan interferon tipe 1 khususnya IFN-α dan sitokin inflamasi lainnya. Produksi IFN-α
yang tidak terkendali mempercepat kematian sel dan kerusakan organ.29,38-39

Tabel 2.8 Autoantibodi pada SLE.29

xlvi
Antibodi Antigen yang Penggunaan dalam Klinis
dikenali
Antinuclear Multi / 1. Hasil tes ANA harus mencakup titer tertinggi yang
Antibodies Defined terdeteksi imunofluoresensi-nya. Laporan
(ANA) Nuclear laboratorium harus mencakup persentase kontrol
tanpa penyakit terkait ANA yang memiliki titer
serupa.
2. Tes ANA sebaiknya menggunakan jalur sel atau
jaringan tikus HEp-2 sebagai substrat.
3. ANA adalah tes diagnostik terbaik ketika ada
kecurigaan klinis yang kuat bahwa seorang pasien
menderita SLE.
4. ANA harus diuji ketika diagnosis sklerosis sistemik
dicurigai karena hasil tes negatif harus segera
mempertimbangkan kondisi fibrosis lainnya,
termasuk fosciitis eosinofilik atau skleroderma linier.
5. ANA berguna ketika diagnosis MCTD atau lupus
eritematosus yang diinduksi obat dicurigai.
6. Semua pasien dengan juvenile chronic arthritis yang
diketahui harus diuji untuk ANA untuk stratifikasi
risiko uveitis.
7. ANA harus diuji pada pasien dengan fenomena
Raynaud hanya ketika ada tanda dan gejala penyakit
jaringan ikat yang mendasarinya.
8. ANA tidak berguna dalam menegakkan diagnosis
RA, polimiositis, dermatomiositis, atau fibromialgia.
9. Tes ANA serial pada pasien dengan ANA positif
yang diketahui termasuk SLE, sklerosis sistemik,
MCTD, dan RA tidak berguna secara klinis dalam
memantau aktivitas penyakit.

xlvii
Anti-dsDNA DNA (double- 1. Anti-dsDNA memberikan dukungan kuat untuk
stranded) diagnosis SLE dalam pengaturan klinis yang benar
dan harus diuji jika ANA positif.
2. Anti-dsDNA positif tidak selalu membuat diagnosis
SLE karena dapat ditemukan pada sejumlah kecil
pasien dengan kondisi lain.
3. Tes negatif untuk antibodi anti-dsDNA tidak
mengecualikan diagnosis SLE.
4. Pengujian untuk antibodi anti-dsDNA tidak berguna
dalam menegakkan diagnosis sklerosis sistemik,
artritis reumatoid, dan penyakit rematik lainnya.
5. Antibodi anti-dsDNA berkorelasi dengan aktivitas
penyakit secara keseluruhan, tetapi hasilnya harus
ditafsirkan dalam konteks klinis keseluruhan.
6. Antibodi anti-dsDNA berkorelasi dengan aktivitas
lupus nephritis tetapi sampai batas tertentu.
7. Peningkatan titer antibodi anti-dsDNA dapat
mendahului atau terkait dengan flare penyakit lupus.
Anti-Sm Protein 1. Anti-Sm sangat berguna untuk mengkonfirmasikan
complexed to diagnosis SLE (hasil tes positif sangat mendukung
6 species of diagnosis); Namun, hasil tes negatif tidak dapat
nuclear U1 mengecualikan diagnosis.
RNA 2. Anti-RNP berguna dalam diagnosis mixed connective
Anti-RNP Protein tissue disease tetapi tidak dalam diagnosis SLE.
complexed to 3. Anti-Sm atau anti-RNP tidak berguna dalam
U1 RNAγ menegakkan diagnosis dermatomiositis /
polimiositis, rheumatoid arthritis, sklerosis sistemik,
lupus eritematosus yang diinduksi obat, dan Sjögren.

4. Anti-Sm dan anti-RNP tidak berguna dalam


memprediksi lupus nephritis atau dalam
mendiagnosis lupus neuropsikiatrik dan manifestasi
sistemik SLE lainnya.
Anti-Ro (SS- Protein 1. Anti-Ro / SSA sangat terkait subacute cutaneous
A) complexed to lupus erythematosus, SLE ANA-negatif, dan lupus-
hY RNA, like syndrome pada defisiensi genetik C1q, C2, atau
primarily 60 C4.
kDa and 52 2. Bayi dari ibu SLE dengan anti-Ro / SSA dan anti-
kDa La / SSB memiliki peningkatan risiko sindrom lupus
neonatal. Pasien dengan SLE, MCTD, Sjögren, atau

xlviii
Anti-La (SS- 47-kDa penyakit rematik sistemik lainnya yang berencana
B) protein hamil harus diuji untuk autoantibodi ini selama
complexed to penilaian pranatal.
hY RNA 3. Anti-Ro / SSA dan anti-La / SSB dikaitkan dengan
Sjögren sekunder di antara pasien SLE.
Anti Histone Histones 1. Anti histone dikaitkan dengan drug-induced lupus
associated erythematosus dan memiliki nilai terbatas dalam
with DNA (in menetapkan diagnosis SLE idiopatik. Penentuan
nucleosome, serial antibodi antihistone tidak menambah signifikan
chromatin) anti-dsDNA dan parameter serologis lainnya untuk
Anti Nukleosom penilaian aktivitas penyakit lupus.
Nucleosome 2. Antinucleosome lazim pada SLE dan bertanggung
Anti-C1q C1q jawab atas LE cell phenomenon. Titer antibodi serum
Anti Protein pada
tinggi dapat membantu dalam diagnosis SLE,
Ribosomal P ribosom
terutama pada pasien yang dites negatif untuk
antibodi anti-dsDNA dan anti-Sm.
3. Antibodi anti-C1q tidak spesifik untuk SLE tetapi
berhubungan dengan aktivitas penyakit, terutama
lupus nephritis.
4. Antibodi antiribosomal P ditemukan pada 10%
pasien tetapi dianggap sangat spesifik untuk SLE dan
tampaknya terkait dengan lupus neuropsikiatrik,
nefritis aktif, dan hepatitis terkait SLE.
Anti Phospholipid, 1. Tersedia tiga tes — ELISA untuk kardiolipin dan
Phospholipi ß2G1, ß2G1, waktu protrombin sensitif (DRVVT); hasil
d prothrombin positif merupakan predisposisi pembekuan,
kehilangan janin, dan trombositopenia.
Manifestasi SLE
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:40
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional : malaise (kelelahan), demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal : mialgia, artralgia, poliartritis yang simetris dan non-erosif,
deformitas tangan, miopati/miositis, nekrosis iskemia pada tulang.
4. Kulit : ruam kupu-kupu (buttefly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus

xlix
profundus / paniculitis, alopesia, fenomena Raynaud (gangguan vasospasme pada
pembuluh darah perifer), purpura, urtikaria, dan vaskulitis.
5. Paru : pleuritis, lupus pneumonitis, efusi pleura, emboli paru, fibrosis interstisial,
hipertensi pulmonal.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid.
6. Kardiovaskular : penyakit perikardial (perikarditis, efusi perikardial, penebalan
perikardial), endokarditis, miokarditis.
7. Ginjal : hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
8. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen, hepatomegali, peningkatan serum
SGOT/SGPT.
9. Retikulo-endotel : organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi : anemia normositik normokrom yang terjadi akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan, atau anemia hemolitik
autoimun, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatrik : psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Pada pasien ini, pasien merupakan wanita dengan keterlibatan lebih dari 2 orang,
dijumpai kelelahan, demam, alopesia, pneumonitis, efusi perikardial, hematuria, proteinuria,
anemia hemolitik autoimun, dan splenomegali, maka pada pasien ini diagnosis ditambahkan
suspek SLE dengan keterlibatan hematologik, ginjal, paru, dan jantung.

Pemeriksaan Penunjang SLE


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring SLE
mencakup:29,40
(1) Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED). [Setiap 3-6 bulan bila
stabil]

l
(2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
(3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid). [Setiap 3-6 bulan bila stabil]
(4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid.
(5) Serologi ANA [Pemeriksaan ini hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring], anti-dsDNA [Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif],
komplemen (C3,C4) [Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif]..
(6) Foto polos thorax.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA
yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.29,40
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel
Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.29,40
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro (SSA), La (SSB),
Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA
merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan SLE.29,40
Pada pasien ini, hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan Hb 5,70 g/dL; MCV
98,20 fL; WBC 21.570/μL; SGOT 49; SGPT 28; Ureum 47; Kreatinin 1,1; hematuria (3+);
proteinuria (3+); Dengan profil ANA/ENA menunjukkan Anti ds-DNA (-), Anti Sm(-), Anti
li
nukleosom (+), Anti Histone (+), dan Anti Rib.B-Protein (+). Sesuai tabel 2.8, tes negatif
untuk antibodi anti-dsDNA tidak mengecualikan diagnosis SLE. Anti-Sm sangat berguna
untuk mengkonfirmasikan diagnosis SLE (hasil tes positif sangat mendukung diagnosis);
namun, hasil tes negatif tidak dapat mengecualikan diagnosis. Titer antibodi antinukleosom
serum tinggi dapat membantu dalam diagnosis SLE, terutama pada pasien yang dites negatif
untuk antibodi anti-dsDNA dan anti-Sm. Antibodi antiribosomal P ditemukan pada 10%
pasien tetapi dianggap sangat spesifik untuk SLE dan tampaknya terkait dengan lupus
neuropsikiatrik, nefritis aktif, dan hepatitis terkait SLE.

Diagnosis SLE
Batasan operasional diagnosis SLE ialah terpenuhinya minimum kriteria (definitif)
atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari American College of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997 (tabel 2.9). Namun, mengingat dinamisnya keluhan
dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka
dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya.29,40-41

Tabel 2.9 Kriteria diagnosis ACR revisi tahun 199740-41


Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak.
Serositis

lii
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura. Atau
Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi pericardial.

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Leukopenia <4.000/mm³ pada dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
b. Limfopenia <1.500/mm³ pada dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
c. Trombositopenia <100.000/mm³ tanpa disebabkan oleh
obat-obatan.
Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan 18
imunologi titer yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid yang
didasarkan atas :
(1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
(2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standard, atau

liii
(3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
Treponema.
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah 19 satunya ANA positif, maka
sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinik lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.29,40-41
Pasien ini memenuhi 4 kriteria yakni terdapat bukti efusi pericardial, proteinuria (3+),
anemia hemolitik dengan retikulosis, dan gangguan imunologi, sehingga pasien didiagnosis
SLE dengan keterlibatan hematologik, ginjal, paru, dan jantung berdasarkan ACR revisi
tahun 1997.
American College of Rheumatology (ACR) mencantumkan sebelas kriteria untuk
mendiagnosa SLE. empat di antaranya merupakan kriteria dari manifestasi kulit (ruam malar,
ruam diskoid, ulkus mulut, dan fotosensitivitas). Pada 2012 Systemic Lupus International
Collaborating Clinics Classification Criteria (SLICC) mengajukan metode terbaru untuk
mendiagnosis SLE termasuk kriteria dermatologis yang sudah direvisi. Menurut SLICC,
penderita harus memenuhi setidaknya empat kriteria, termasuk setidaknya satu kriteria klinis
dan satu kriteria imunologis atau didapatkan hasil biopsi yang menunjukkan lupus nefritis
dengan hasil ANA tes dan anti dsDNA yang positif.42
Pada tahun 2018, European League Against Rheumatism / American College of
Rheumatology (EULAR/ACR) mengajukan kembali metode terbaru untuk mendiagnosis
SLE (Gambar 2.6). Menurut EULAR/ACR, setiap penderita harus memiliki ANA dengan
titer minimal 80 dan total skor EULAR/ACR minimal 10.43

liv
Gambar 2.6 Kriteria diagnosis EULAR/ACR tahun 2018.43
Diagnosis Banding SLE
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:29,40

lv
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut
obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.29
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa,
dengan kriteria :29
a. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
(1) Secara klinis tenang
(2) Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
(3) Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh : SLE dengan
manifestasi arthritis dan kulit.

b. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:


(1) Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
(2) Trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/mm3)
(3) Serositis mayor

c. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan


sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
lvi
(1) Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
(2) Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
(3) Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
(4) Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
(5) Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
(6) Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
(7) Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis
vena atau arteri.

Pada pasien ini, sudah ditemukan keterlibatan jantung dan paru, serta adanya anemia
hemolitik, sehingga digolongan sebagai SLE berat.

Penilaian Aktivitas Penyakit SLE


Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna
sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti
SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan
MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan
primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih (Lampiran 1).44

Tata Laksana SLE


Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya /
diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada
pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan
pendekatan bio-psiko-sosial.44
a. Tujuan

lvii
remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c).mengurangi
rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal.44
b. Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan (Tabel 2.10 ). Pilar pengobatan SLE ini sebaiknya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu
dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat
dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.44
Tabel 2.10 Pilar pengobatan SLE.44
Pilar pengobatan SLE
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa a. OAINS
b. Antimalaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain
b.1 Edukasi dan Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan
secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi
akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.11.44

Tabel 2.11 Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE.44


1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat

lviii
bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian
kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa
nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai
jangka panjang contohnya obat antituberkulosis dan beberapa jenis lainnya
termasuk anti biotikum.
6. Di mana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE
dan sebagainya.

b.2 Program Rehabilitasi


Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya
massa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas
selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5%
per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat
yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.44
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi
yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:44
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.

lix
b.3 Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2.12.

Tabel 2.12 Jenis dan dosis obat yang dapat dipakai pada SLE.44
Pemantauan
Jenis Obat Dosis Jenis toksisistas Evaluasi awal
Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan saluran Darah rutin, Gejala gastro- Darah rutin,
OAINS cerna, hepatotoksik, kreatinin, urin intestinal kreatinin,
sakit kepala, rutin, AST/ALT AST/ALT
hipertensi, aseptik setiap 6 bulan
meningitis,
nefrotoksik
Kortikosteroid Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan darah Tekanan darah
derajat SLE hipertensi, profi lipid,
dislipidemi, DXA, tekanan
osteonekrosis, darah
hiperglisemia,
katarak,
oesteoporosis
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, keluhan Evaluasi mata, Funduskopi dan
(3,5-4 GIT, rash, mialgia, G6PD pada lapangan
mg/kgBB/hr) sakit kepala, anemia pasien berisiko pandang mata
hemolitik pada setiap 3-6 bulan
pasien dengan
defisiensi G6PD
Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupresif lengkap tiap 1-2
dosis terbagi gangguan kreatinin, AST / minggu dan
1-3, limfoproliferatif ALT selanjutnya 1-3
tergantung bulan interval.
berat badan. AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.
Siklofosfamid Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per Gangguan lengkap, hitung mielosupresif, lengkap dan
hari. limfoproliferatif, jenis leukosit, hematuria dan urin lengkap
keganasan, urin lengkap. infertilitas. tiap bulan,
IV: 500-750 imunosupresi, sitologi urin dan
mg/m2 dalam sistitis hemoragik, pap smear tiap
Dextrose infertilitas tahun seumur
250 ml, infus sekunder. hidup.
selama 1
jam.
Metotreksat 7.5 – 20 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
/ minggu, fibrosis hepatik, lengkap, foto mielosupresif, lengkap
dosis tunggal sirosis, infiltrat toraks, serologi sesak nafas, terutama hitung
atau terbagi pulmonal dan hepatitis B dan mual dan trombosit tiap
3. Dapat fibrosis. C pada pasien muntah, ulkus 4-8 minggu,
diberikan risiko tinggi, mulut. AST / ALT dan
pula melalui AST, fungsi albumin tiap 4-8
injeksi. hati , kreatinin. minggu, urin
lengkap dan

lx
kreatinin.
Siklosporin A 2.5–5 mg/kg Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kreatinin, LFT,
BB, atau nyeri gusi, lengkap, hipersensitifitas darah tepi
sekitar 100 peningkatan kreatinin, urin terhadap castor lengkap.
– 400 mg per tekanan darah, lengkap, LFT. oil (bila obat
hari dalam peningkatan diberikan
2 dosis, pertumbuhan injeksi), tekanan
tergantung rambut, gangguan darah, fungsi
berat badan. fungsi ginjal, nafsu hati dan ginjal.
makan menurun,
tremor.
Mikofenolat 1000 – 2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi
mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, feses gastrointestinal lengkap
dosis. lengkap. seperti mual, terutama
muntah. leukosit dan
hitung jenisnya.

b.3.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan
juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.44
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS (Tabel 2.13) membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk
krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.44
Tabel 2.13 Terminologi pembagian KS.44
Dosis rendah ≤ 7,5 mg prednison atau setara per hari
Dosis sedang > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednison atau setara per hari
Dosis tinggi > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednison atau setara per hari
Dosis sangat tinggi > 100 mg prednison atau setara per hari
Terapi pulse ≥ 250 mg prednison atau setara per hari untuk 1 hari atau
beberapa hari

Tabel 2.14 Farmakodiamik pemakaian KS pada reumatologi.44

lxi
Algoritma 1 menunjukkan penatalaksanaan SLE sesuai dengan keparahan
manifestasinya.44
Algoritma 1 Algoritma Penatalaksanaan SLE.44

lxii
Derajat beratnya SLE

Ringan Sedang Berat


- Manifestasi kulit - Nefritis ringan sampai - Nefritis berat (kelas IV, III+V,
- Artritis sedang IV+V, atau III-V dengan gangguan
fungsi ginjal)
- Trombositopenia
(trombosit 20.000 - - Trombositopenia refrakter berat
50.000/mm3) (trombosit < 20.000/mm3)
Terapi - Serositis mayor - Anemia hemolitik refrakter berat
Hidroksiklorokuin / - Keterlibatan paru-paru
Klorokuin / MTX (hemoragik).
dengan atau tanpa - NPSLE (serebritis, mielitis)
KS dosis rendah Terapi Induksi
- Vaskulitis abdomen
OAINS MP IV (0,5-1g/hari selama
3 hari), diikuti oleh:
AZA (2mg/KgBB/hari) atau
MMF (2-3g/hari)
+
KS (0,5-0,6 mg/Kg/hari Terapi Induksi
selama 4-6 minggu lalu
diturunkan bertahap) MP IV (0,5-1g/hari selama 3 hari)
+
CYC IV (0,5-,75 g/m2/bulan x 7
TR dosis)

RP
RS TR
Terapi Pemeliharaan
AZA (1-2mg/kgBB/hari) Terapi Tambahkan
atau MMF (1-2 g/hari)
Pemeliharaan Rituximab
+
Ks (KS diturunkan sampai CYC IV (0,5- Inhibitor
dosis 0,125 mg/kg/hari
selang sehari) 0,75g/m2/ 3 calcineurin
bulan selama (siklosporin)
satu tahun)
IVIg

TR = Tidak Respon, RS = Respon Sebagian, RP = Respon Penuh

KS = Kortikosteroid setara prednison, MP = Metilprednisolon, AZA = Azatioprin, OAINS = Obat Anti Inflamasi Steroid,
CYC = sisklofosfamid, NPSLE = Neuropsikiatri SLE.

Efek Samping Kortikosteroid


Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan
meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping. Efek samping yang
sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 2.15 dibawah ini.44

lxiii
Tabel 2.15 Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian KS.44

Cara Pemberian Kortikosteroid


Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi
atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1
gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut (lampiran 2).44

Cara pengurangan dosis kortikosteroid


Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera
setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan
terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan
lama terapi, serta respon klinis.44
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2
minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah
untuk mengontrol aktivitas penyakit.44

Sparing agen kortikosteroid

lxiv
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan
dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan
metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping KS.44

Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE. Lebih dari 70%
pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis
memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan
berakhir dengan transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka seyogyanya
biopsi ginjal perlu dilakukan untuk kon irmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasi
ikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat.
Klasifikasi kriteria World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah
diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 200. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun
kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak
aktif, dan kronis.45
Tabel 2.16 Klasifikasi lupus nefritis menurut World Health Organization.45

lxv
Tabel 2.17 Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal
Pathology Society 2003 (ISN/RPS)46

lxvi
Tabel 2.18 Rekomendasi terapi lupus nefritis

lxvii
lxviii
lxix
DAFTAR PUSTAKA

lxx
1
Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence. 2013;5(1):4-11.
2
Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. J Card Crit Care. 2017;1(1):3-5.
3
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third
international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016: 315 (8):
801-10.
4
. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care of
patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8
5
Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The surviving sepsis campaign bundle: 2018 update.
Intensive Care Med. 2018 Jun;44(6):925-28.
6
Levy B. Lactate and shock state: The metabolic view. Curr Opin Crit Care. 2006;12:315–21
7
. Casserly B, Phillips GS, Schorr C, Dellinger RP, Townsend SR, Osborn TM, et al. Lactate
measurements in sepsis-induced tissue hypoperfusion: results from the Surviving Sepsis
Campaign database. Crit Care Med. 2015;43:567–73.
8
Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, Sleeswijk Visser SJ, van der Klooster JM, Lima
AP, et al; LACTATE study group. Early lactate-guided therapy in intensive care unit patients: a
multicenter, open-label, randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med.
2010;182:752–61.
9
Zadroga R, Williams DN, Gottschall R, Hanson K, Nordberg V, Deike M, et al. Comparison
of 2 blood culture media shows significant differences in bacterial recovery for patients on
antimicrobial therapy. Clin Infect Dis. 2013; 56:790–7.
10
Cardoso T, Carneiro AH, Ribeiro O, Teixeira-Pinto A. Reducing mortality in severe sepsis
with the implementation of a core 6-hour bundle: results from the Portuguese community-
acquired sepsis study (SACiUCI study). Crit Care. 2010;14(3):R83.
11
De Sousa AG, Fernandes Junior CJ, Santos GPD, Laselva CR, Polessi J, Lisboa LF, et al. The
impact of each action in the Surviving Sepsis Campaign measures on hospital mortality of
patients with severe sepsis/septic shock. Einstein. 2008;6:323–7.
12
Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parillo JE, Sharma Sk, et al. Duration of
hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is the critical determinant of
survival in human septic shock. Crit Care Med. 2006 Jun;34(6):1589–96.
13
Levy MM, Dellinger RP, Townsend SR, Linde-Zwirble WT, Marshall JC, Bion J, et al. The
Surviving Sepsis Campaign: results of an international guideline-based performance
improvement program targeting severe sepsis. Crit Care Med. 2010 Feb;38(2):367–74.
14
Levy MM, Rhodes A, Phillips GS, Townsend SR, Schorr CA, Bealer R, et al. Surviving Sepsis
Campaign: association between performance metrics and outcomes in a 7.5-year study. Crit
Care Med. 2015 Jan;43(1):3–12.
15
World Health Organization. Haemoglobin concentration for the diagnosis of anemia and
treatment of severity [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2011. [citied 2019 Maret
28]. Available from: https://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf
16
Means Jr RT, Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer JP, Foerster J, Rodgers
GM, Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editors. Wintrobe’s clinical hematology. 12th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p. 1143-72.
17
Luzzatto L. Hemolytic anemias and anemia due to acute blood loss. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
18
Gehrs BC, Frieedberg RC. Autoimmune hemolytic anemia. Am J Hematol. 2002;69(4):258-71.
19
Hoffman R, Benz EJ, Silberstein LE, Heslop H, Weitz J, Anastasi J. Hematology: diagnosis
and treatment. 1st ed. United States: Elsevier; 2014.
20
Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias. Haematologica. 2014
Oct;99(10):1547-54.
21
Wahls SA. Causes and evaluation of chronic dyspnea. Am Fam
Physician. 2012 Jul 15;86(2):173-80.
22
Karnani NG, Reisfield GM, Wilson GR. Evaluation of chronic dyspnea. Am Fam
Physician. 2005 Apr 15;71(8):1529-37.
23
Zoorob RJ, Campbell JS. Acute dyspnea in the office. Am Fam
Physician. 2003 Nov 1;68(9):1803-11.
24
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komunitas: pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
25
Jung HO. Pericardial effusion and pericardiocentesis: role of echocardiography. Korean Circ
J. 2012 Nov;42(11):725–34.
26
Sauleda JS, Merce AS, Soler JS. Diagnosis and management of pericardial effusion. World J
Cardiol. 2011 May 26;3(5):135–43.
27
Trayes KP, Studdiford JS, Pickle S, Trully AS. Edema: diagnosis and management. Am Fam
Physician. 2013 Jul 15;88(2):102-10.
28
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group.
KDIGO Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Inter. 2012;Suppl.2:139-
274.
29
Yazdany J, Dall’Era M. Definition and classification of lupus and lupus-related disorders. In:
Wallace DJ, Hahn BH. Dubois’ lupus erythematosus and related symptoms. 9th ed. New York:
Elsevier Inc.; 2019. p.15-22.
30
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN: Situasi lupus di Indonesia.
Jakarta: PUSDATIN; 2010. p. 2-5.
31
Arnett FC, Olsen ML, Anderson KL, Reveille JD. Molecular analysis of major
histocompatibility complex alleles associated with the lupus anticoagulant. J Clin Invest. 1991
May;87(5):1490–5.
32
Macedo ACL, Isaac L. Systemic lupus erythematosus and deficiencies of early components of
the complement classical pathway. Front Immunol. 2016;7:55.
33
Barbhaiya M, Tedeschi SK, Lu B, Malspeis S, Kreps D, Sparks JA, et al. Cigarette smoking
and the risk of systemic lupus erythematosus, overall and by anti-double stranded DNA
antibody subtype, in the Nurses' Health Study cohorts. Ann Rheum Dis. 2018 Feb;77(2):196-
202.
34
Price EJ, Venables PJ. Drug-induced lupus. Drug Saf. 1995 Apr;12(4):283-90.
35
Draborg AH, Duus K, Houen G. Epstein-barr virus and systemic lupus erythematosus. Clin
Dev Immunol. 2012; 2012: 370516.
36
Draborg AH, Rasmussen NS, Larsen JL, Jorgensen CS, Sandhu N, Skogstrand K, et al.
Immune responses to an early lytic cytomegalovirus antigen in systemic lupus erythematosus
patients: T-cell responses, cytokine secretions and antibody status. PLoS One. 2018; 13(3):
e0193244.
37
Grimaldi CM. Sex and systemic lupus erythematosus: the role of the sex hormones estrogen
and prolactin on the regulation of autoreactive B cells. Curr Opin Rheumatol. 2006
Sep;18(5):456-61.
38
Munoz LE, van Bavel C, Franz S, Berden J, Herrmann M, van der Vlag J. Apoptosis in the
pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Lupus. 2008 May;17(5):371-5.
39
Shao WH, Cohen PL. Disturbances of apoptotic cell clearance in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Res Ther. 2011;13(1):202.
40
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus Erythematosus
Response Criteria. Arthritis Rheum. The American College of Rheumatology response criteria
for systemic lupus erythematosus clinical trials: measures of overall disease activity. Arthritis
Rheum. 2004 Nov;50(11):3418-26.
41
Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus. Arthrituis Rheum. 1997;40(9):1725.
42
Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, et al. Derivation and
validation of the Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification Criteria for
systemic lupus erythematosus. Arthrituis Rheum. 2012;64(8):2677-86.
43
Aringer M, Dörner T. Systemic lupus erythematosus (SLE) - new classification criteria. Dtsch
Med Wochenschr. 2018 Jun;143(11):811-4.
44
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik.
Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 201.
45
Appel GB, Silva FG, P irani CL. Renal involvement in systemic lupus erythematosus (SLE): a
study of patients emphasizing histologic classi!ication. Medicine. 1978;75:371–410.
46
Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel GB, et al. The
classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. J Am Soc
Nephrol. 2004;15:241-50.

Anda mungkin juga menyukai