Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Hipoglikemia

Oleh:

Diana Yuswanti Putri 190070200011084

Pembimbing:

dr. Ahmad Rifa’i, Sp.PD

1
LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020

DAFTAR ISI

Judul................................................................................................................1

Daftar Isi..........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4

BAB II LAPORAN KASUS...................................................................................5

2.1 Identitas Penderita.....................................................................5

2.2 Anamnesis..................................................................................5

2.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................6

2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................6

2.5 Assessment................................................................................7

2.6 Planning Diagnosis.....................................................................7

2.7 Planning Terapi..........................................................................7

2.8 Planning Monitoring...................................................................8

2.9 Problem Oriented Medical Record.............................................9

BAB III PEMBAHASAN......................................................................................12

3.1 Definisi.......................................................................................12

2
3.2 Epidemiologi..............................................................................12

3.3 Etiologi.......................................................................................12

3.4 Patogenesis................................................................................13

3.5 Manifestasi Klinis.......................................................................14

3.6 Kriteria Diagnosis.......................................................................16

3.7 Penatalaksanaan........................................................................17

3.8 Prognosis....................................................................................17

3.9 Pencegahan................................................................................18

BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia.
Penyakit ini kadang-kadang memiliki episode hepatitis dengan klinis anikterik, tidak nyata, atau
subklinis. Hepatitis A merupakan penyakit infeksi sistemik yang dominan menyerang hati akibat
masuknya virus hepatitis A (HAV) melalui transmisi fekal-oral dari makanan atau minuman yang
telah terkontaminasi. Penyakit hepatitis A masih endemis di negara berkembang, terutama karena
keadaan lingkungan yang masih buruk.

Di seluruh dunia terdapat sekitar 1,4 juta kasus hepatitis A setiap tahunnya. Lebih dari 75%
anak di benua Asia, Afrika, dan India memiliki antibodi anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar
infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik, dan anikterik. Di Indonesia
sendiri insidensi penyakit hepatitis A berkisar antara 39,8-63,8% kasus (WHO, 2011).

Manifestasi klinis berupa demam, kurang nafsu makan, mual, nyeri pada kuadran kanan atas
perut, dan dalam waktu beberapa hari kemudian timbul sakit kuning. Urin penderita biasanya
berwarna kuning hingga coklat gelap yang terjadi 1-5 hari sebelum timbulnya penyakit kuning. Selain
itu pula terjadi pembesaran pada organ hati dan tenderness (nyeri tekan) pada perabaan hati
(Sudoyo AW dkk., 2006).

Diagnosis penyakit hepatitis dilakukan dengan tes virologi dan tes serologi. Pencegahan
dilakukan dengan cara meningkatkan pola hidup bersih dan sehat. Upaya menjaga kebersihan diri
melalui mencuci tangan dengan sabun hingga bersih, terutama setelah buang air dan sebelum
makan atau menyiapkan makanan, serta dengan pemberian vaksin. Jika seseorang sudah terkena
hepatitis A, untuk pengobatannya tidak ada yang spesifik, melainkan hanya bersifat simtomatis
seperti pemberian antipiretik untuk menurunkan panas, antiemetik jika penderita mengalami mual
muntah, serta yang paling penting adalah istirahat dengan tirah baring (Gilroy RK, 2010).

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 41 tahun
Alamat : Muara Badak
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah (Janda)
Suku : Banjar
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tgl MRS : 5 Januari 2012

2.2 Anamnesis dan Heteroanamnesis


A. Keluhan Utama: Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita tidak bisa dibangunkan
dari tidurnya. Sebelum tidur penderita mengkonsumsi obat anti diabetes. Hal serupa
juga terjadi 1 hari sebelum masuk rumah sakit, namun saat itu penderita masih bisa
dibangunkan walaupun dalam kondisi bicara meracau dan badan lemas. Penderita
tampak berkeringat dingin dan gemetar saat memegang benda. Saat itu juga
penderita mengeluhkan nyeri pada perut bagian atas dan merasa ada benjolan pada
perut bagian atasnya dan sakit saat bergerak.

Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami


penurunan nafsu makan namun penderita tetap mengkonsumsi obat anti
diabetesnya seperti biasa.Terdapat pembengkakan pada kedua tungkai penderita
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, namun penderita tidak memeriksaakan
kondisinya ke dokter. Buang air besar dalam batas normal, buang air kecil sedikit-
sedikit namun sering

Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluhkan nyeri ulu
hati disertai mual terkadang muntah. Keluhan berkurang jika penderita makan, dan
meminum obat-obatan yang dibelinya di warung.

Penderita juga mengatakan bahwa sering susah sembuh pada beberapa luka
pada tubuhnya. Sekitar 5 tahun yll, jari kelingking kaki kanan pernah terluka hingga
bernanah, namun penderita hanya mengobatinya dengan obat-obatan kampung,
akibatnya, jari kelingking yang luka tersebut putus dengan sendirinya.

5
Sejak 10 tahun yang lalu, penderita menderita kencing manis. Hal tersebut
diketahui saat penderita memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering
buang air kecil saat malam dan penurunan berat badan. Penderita rutin
memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin meminum obat anti diabetes, namun
tidak mengontrol pola makannya. Obat yang biasa diminum ialah glibenklamid 3x1
tablet dan metformin 1x1 tablet.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat Hipertensi sejak 5 tahun terakhir

Tidak terdapat riwayat penyakit jantung dan ginjal

D. Riwayat Pengobatan:
Pada keluhannya sekarang penderita belum berobat. Konsumsi glibenklamid 3x1
tablet dan metformin 1x1 tablet
E. Riwayat Penyakit Keluarga:

Bapak penderita menderita diabetes melitus, saat ini sudah meninggal.

F. Riwayat Alergi:

G. Riwayat Psikososial:
-
H. Riwayat Sistemik:

Penderita mengeluh nyeri pada perut bagian atas dan merasa ada benjolan pada
perut bagian atasnya dan sakit saat bergerak.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 190/100 mmHg
Nadi : 108 x / menit, reguler, equal, isi cukup
Pernapasan : 28 x / menit
Suhu : 36,6C
Berat Badan : 65 kg , Tinggi Badan: 150 cm

Status Generalis

6
 Kepala/Leher :

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema periorbita (-/-), sianosis (-), fetor
hepatikum (-), fetor uremikum (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), peningkatan
JVP (-).

 Thorax :
 Pulmo :
Inspeksi : bentuk dan gerakan simetris, retraksi interkosta (-), spider nevi (-),
rambut aksila (+), venektasi (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV parasternal line dekstra batas jantung
kiri ICS VI midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1, S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)
 Abdomen :
Inspeksi : cembung, caput medusae (-), vena paraumbilikalis (-)
Palpasi :distensi (-), nyeri tekan (-) pada semua kuadran, massa (-),
organomegali (-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit di atas hepar (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, eritema palmaris (-), leukonikia (-), hepatic flapping (-
), clubbing finger (-), edema (-/-/+/+)

7
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

2.5 Assessment
 Diagnosis IGD : Hipoglikemia + HT stage II + Hiperkalemia
 Diagnosis Akhir : DM Tipe 2 dengan komplikasi hipoglikemia
(terkoreksi) dan sup.nefropati DM; HT stage II

2.6 Planning Diagnosis

1. Pemeriksaan darah :

- Darah lengkap
- Gula darah Sewaktu
- HbA1C
- Analisis gas darah

2. Pemeriksaan fungsi hepar

3. Pemeriksaan fungsi ginjal

2.7 Follow Up

8
Hari/
Evaluasi Terapi
Tanggal

S:  Jam 19.30  D5% diganti RL 20


05/01/2012 tpm
O: Jam 19.30  GDS stick 366  Jam 21.30  D5% dipasang lagi
20 tpm
Jam 21.30  GDS stick 103

A: Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT stage II +


Hiperkalemia + AKI

06/01/2012 S: lemas, batuk kering, ketika batuk dada terasa  IVFD D5% 20 tpm
08.00 (GDS: sakit  Amlodipin 1x10 mg
140)  Cek GDS / 6 jam, apabila <80,
10.00 O: Compos mentis, TD: 180/80 mmHg, bolus D40% 2 fl
(GDS: 119)  Cek ulang elektrolit
16.00 N: 87 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,80C
(GDS: 111)
22.00 Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2
(GDS: 76) tunggal reguler, NT (-), distensi abdomen (+),
 bolus BU (+), edema
D40% 2 fl
00.30
(GDS: 124)
A: Observasi Hipoglikemia + DMT 2 +
HT stage II + Hiperkalemia + AKI

07/01/2012 S: lemas, batuk kering  IVFD D5% 20 tpm


10.00  Amlodipin 1x10 mg
(GDS: 214) O: Compos mentis, TD: 170/80 mmHg,  Cek GDS/ 6 jam
16.00  Tunggu hasil elektrolit
(GDS: 245) N: 82 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,70C
19.00
Na : 134 Anemis (-), ikterik (-) di seluruh tubuh, Rh (-/-), Wh
K : 5.8 (-/-), S1S2 tunggal reguler, organomegali (-),
Cl : 112 shifting dullnes (-), fluid wave (-), NTE (-), pitting
odema tungkai (+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II
+ AKI Co. Dr.jaga hasil elektrolit :
observasi

08/01/2012 S:  IVFD D5% 20 tpm

9
O: 06.00  GDS : 115  Amlodipin 1x10 mg

13.00  GDS : 115

18.00  GDS : 113

A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II


+ AKI

09/01/2012 S: Batuk, lemas, mual (-), muntah (-), BAB (dbn),  IVFD D5% 20 tpm
06.00 BAK (dbn)  Amlodipin 1x10 mg
(GDS stick:  Cek GDS tiap jam
77) O: Compos mentis, TD: 160/80 mmHg,
19.00
(GDS: 229) N: 83 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,30C

Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2


tunggal reguler, organomegali (-), asites (-),
NTE (+), pitting odema tungkai (+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II Co. dr.jaga, advice : D5% ganti RL
+ AKI 20 tpm

10/1/2012 S: Batuk, dahak (+), lemas, mual (-), muntah (-)  IVFD RL 20 tpm
GDS : 126  Amlodidpin 1x10 mg
O: Compos mentis, TD: 150/80 mmHg,  Cek GDS tiap jam
 DMP syr 3xCI
N: 85 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,10C

Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2


tunggal reguler,, NTE (-), pitting odema tungkai
(+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II
+ AKI

11/1/2012 S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-)  RL 20 tpm  D5% 20 tpm
GDS : 58  Amlodipin 1x10 mg
O : Compos mentis, TD: 160/70 mmHg,  DMP syr 3x IC

N: 85 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,1 0C

Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2


tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema
tungkai (+/+)
A :Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage
II + AKI

10
12/1/2012 S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-)  D5% 20 tpm  RL 20 tpm
GDS : 120  Amlodipin 1x10 mg
O : Compos mentis, TD: 150/80 mmHg,  DMP syr 3x IC

N: 84 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,5 0C

Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2


tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema
tungkai (+/+)
A :Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage
II + AKI

13/1/2012 S : Batuk (<<), lemas, mual (-), muntah (-)  RL 20 tpm


GDS : 126  Amlodipin 1x10 mg
O : Compos mentis, TD: 140/80 mmHg,  DMP syr 3xIC
 Penderita boleh pulang
N: 83 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,10C

Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2


tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema
tungkai (+/+)
A : Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT stage II +
Hiperkalemia + AKI
Diagnosa Akhir : DM Tipe 2 dengan komplikasi
hipoglikemia (terkoreksi) dan sup.nefropati
DM; HT stage II

2.8 Planning Monitoring

Rencana Tindak Lanjut

1. Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan


2. Konseling dan Edukasi:
 Diet makanan sehat dan teratur
 Diet rendah garam
 Aktivitas fisik teratur dan olahraga aerobik yang adekuat
 Minum obat secara aman dan benar
 Rajin cek gula darah

11
2.9Problem Oriented Medical Record

Cue and Clue Problem List Initial Planning Planning Therapy Planning Planning Education
Diagosis Diagnosis Monitoring

Ny.N/ 41 tahun -Hipoglikemia -DM tipe 2 Pemeriksaan Non-Farmakologi : -Kontrol GDS -Anjuran untuk
Anamnesis: -DM dengan darah: - Tirah baring per 6 jam untuk beralih ke diet pola
-keluhan utama: penurunan hipoglikemia -GDS -Diet pola DM menilai hasil DM
kesadaran -Darah pengobatan -Anjuran untuk
-sejak 3 jam SMRS, penderita Lengkap Farmakologi : beraktivitas fisik
tidak bisa dibangunkan dari -Urin lengkap Koreksi Hipoglikemia: terutama olahraga
tidurnya -HbA1C -IVFD D5% 20 tpm aerobik selama 30-45
- Sebelum tidur penderita -BGA -Bila GDS <80, menit setiap 2-3 kali
minum obat anti diabetes diberikan D40% bolus seminggu dengan
- Hal serupa juga terjadi 1 hari 2 fl total 150
sebelum masuk rumah sakit, DMP 1x3 CI menit/minggu
namun saat itu penderita masih -Rutin kontrol dan
bisa dibangunkan walaupun meminum obat anti-
dalam kondisi bicara meracau diabetes
dan badan lemas -Rutin mengecek
glukosa darah
- Penderita mandiri
tampak berkeringat -Anjuran untuk
dingin dan gemetar merawat luka dan
saat memegang benda. perawatan kaki
Saat itu juga penderita secara benar
mengeluhkan nyeri -Edukasi mengenai
pada perut bagian atas tanda dan gejala
dan merasa ada

12
benjolan pada perut hipoglikemia
bagian atasnya dan -KIE mengenai DM
sakit saat bergerak.

- Sejak 1 minggu sebelum


masuk rumah sakit, penderita
mengalami penurunan nafsu
makan namun penderita tetap
mengkonsumsi obat anti
diabetesnya seperti biasa
- Penderita juga mengatakan
bahwa sering susah sembuh
pada beberapa luka pada
tubuhnya. Sekitar 5 tahun yll,
jari kelingking kaki kanan
pernah terluka hingga
bernanah, namun penderita
hanya mengobatinya dengan
obat-obatan kampung,
akibatnya, jari kelingking yang
luka tersebut putus dengan
sendirinya
- Penderita mengeluh buang air
kecil sedikit-sedikit namun
sering
- Sejak 10 tahun yang lalu,
penderita menderita kencing
manis. Hal tersebut diketahui
saat penderita memeriksakan

13
diri di puskesmas dengan
keluhan sering buang air kecil
saat malam dan penurunan
berat badan
- Penderita rutin
memeriksaakan dirinya di
puskesmas, rutin meminum
obat anti diabetes, namun tidak
mengontrol pola makannya
- Riwayat keluarga: Bapak
penderita menderita diabetes
melitus, saat ini sudah
meninggal
Pemeriksaan fisik:

- Keadaan umum: sakit


sedang
- Kesadaran:
composmentis,
E4V5M6

- BB: 65 Kg, TB: 150 cm

Tanda vital
A. BP: 190/100 mmHg
B. HR:108 x/mnt, reguler,
equal, isi cukup
C. RR: 28 x/menit

14
D. T: 36,60C
Status generalis:
Edema tungkai bilateral

Pemeriksaan lab:
Leukosit: 10.200
Hb 10.4
Ht 31.5
Platelet 370.000
GDS 58/289
Ureum 60.4
Kreatinin 1.2
Natrium 140
Kalium 6.3
Klorida 116

Ny.N/ 41 tahun -HT stage stage -HT stage 2 -Periksa Non-Farmakoterapi: -Kontrol rutin
2 tekanan -Diet rendah garam tekanan darah
Tanda vital darah Farmakoterapi:
BP: 190/100 mmHg -Amlodipin 1x10 mg

15
BAB III
PEMBAHASAN

DIABETES MELLITUS TIPE 2

3.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (PERKENI, 2015).
DM adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan
cukup insulin (hormon yang mengatur glukosa darah), atau ketika tubuh tidak dapat
secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes adalah masalah
kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu empat penyakit tidak
menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh pemimpin negara. Jumlah
kasus dan prevalensi. Jumlah kasus dan prevalensi DM terus meningkat selama
dekade terakhir (WHO Global Report, 2016)
3.2 Epidemiologi

Gambar 1

Pada tahun 2014 diperkirakan 422 juta orang dewasa di dunia hidup dengan
DM. Selama beberapa dekade terakhir, prevalensi DM meningkat lebih cepat di negara
berpenghasilan rendah dan menengah daripada di negara berpenghasilan tinggi. DM
menyebabkan 1,5 juta kematian pada 2012. Hiperglikemia mengakibatkan tambahan 2,2

16
juta kematian, meningkatkan risiko kardiovaskuler. 43% kematian pada DM terjadi
sebelum usia 70 tahun yang sebagian besar terjadi di negara penghasilan rendah dan
menengah (WHO Global Report, 2016)

WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penderita
DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.

3.3 Klasifikasi DM berdasarkan Etiologi

Gambar 2. Klasifikasi DM

3.4 Faktor Risiko

Faktor risiko DM dibagi menjadi:


a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi berat badan berlebih, obesitas
abdominal/ sentral, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak
sehat dan tidak seimbang, merokok, dan adanya riwayat Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT 140-199 mg/dL) atau Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT < 140
mg/dL).
b. Faktor risiko yang tak dapat dimodifikasi meliputi ras dan etnik tertentu, usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga dengan DM, riwayat partus dengan berat badan
bayi >4000 gram, riwayat lahir dengan BBLR <2500 gram

17
c. Faktor lingkungan meliputi kondisi ekonomi daerah, lingkungan sosial seperti
modernisasi, status sosio-ekonomi dan lingkungan fisik

3.5 Patogenesis DM tipe 2

Gambar 4. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan

hal (omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pankreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat
anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis
dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot:

18
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui


kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alfa Pankreas:

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel alfaberfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di

19
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-
2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh
obatnya.

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.6 Kriteria Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dari sampel
plasma darah vena.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria diagnosis didasarkan pada pemeriksaan laboratorium kadar glukosa dan HbA1C,
salah satu dari 4 kriteria dibawah ini:

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dL. Puasa dilakukan minimal 8 jam
ATAU
2. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL, 2 jam setelah tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram ATAU
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL dengan keluhan klasik ATAU
4. Pemeriksaan HbA1C >6,5% dengan menggunakan metode terstandar NGSP

Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3
bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi. Hasil
pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke

20
dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4% (PERKENI, 2015)

3.7 Tatalaksana DM tipe-2

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penderita


DM tipe 2. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan penderita secara komprehensif.

3.7.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sanga penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi
tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat
awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani

21
sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur
sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit (total 150
menit/minggu). Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah
sebelum latihan jasmani. Bila kadar glukosa darah <100 mg/dL
penderita harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila
>250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan
sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan
jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal)
seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka
220 dengan usia penderita. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi
(contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati,
nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan
beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penderita DM
yang relative sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penderita DM
yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia). Mengenal gejala dan penanganan awal
hipoglikemia. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Pentingnya
perawatan kaki. Cara mempergunakan fasilitas perawatan
kesehatan.
Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM. Penatalaksanaan selama
menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.

22
Gambar 5. Edukasi perawatan kaki

3.7.2 Terapi Nutrisi Medis


Terapi nutrisi adalah bagian penting dalam tatalaksana DM tipe 2 secara
komprehensif. Indikator keberhasilan dinilai dari keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
penderita dan keluarganya). Demi mencapai sasaran terapi, terapi nutrisi
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penderita DM sesuai berat
badan ideal . Prinsip pengaturan makan pada penderita DM hampir sama
dengan pengaturan makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu per harinya. Penderita DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri
Terapi nutrisi dibagi menjadi makronutrien dan mikronutrien. Untuk
makronutrien terbagi atas karbohidrat, Lemak, dan Protein. Sedangkan untuk
mikronutrien terdiri dari Na, K, Fe, dan sebagainya
 Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
- Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penderita diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
- Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.

23
 Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Komposisi yang dianjurkan: lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori,
lemak tidak jenuh ganda < 10 %. selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
- Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

 Protein
- Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe. Pada penderita dengan nefropati
diabetic perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah
menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB
perhari.

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang


dimodifikasi:
- Berat badan ideal =
 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita
di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal: BB ideal } 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 %
 Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
- Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
- IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
 BB Kurang <18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥23,0
 Dengan risiko 23,0-24,9
 Obesitas stage I 25,0-29,9
 Obesitas stage II ≥30

24
3.7.3 Terapi Farmakologis

Gambar 6. Sediaan Obat Anti Diabetes di Indonesia

Manajemen DM harus bersifat perorangan. Pelayanan yang diberikan berbasis


pada perorangan dimana kebutuhan obat, kemampuan dan keinginan penderita
menjadi komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan dalam upaya
mencapai target terapi. Pertimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain : usia penderita dan harapan hidupnya, lama menderita DM, riwayat hipoglikemia,
penyakit penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta komponen penunjang lain
(ketersediaan obat dan kemampuan daya beli). Untuk penderita usia lanjut, target terapi
HbA1c antara 7,5-8,5%

25
1.8 Monitoring
 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
a. Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
b. Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
c. Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah: Pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, Glukosa 2 jam setelah makan, atau Glukosa darah
pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
 Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi,
HbA1c diperiksa setiap 3 bulan atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat
tinggi (> 10%). Pada penderita yang telah mencapai sasaran terapi disertai
kendali glikemik yang stabil HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun.
HbA1C tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi
tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan
terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal.
 Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan
darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah
dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. PGDM
dianjurkan bagi penderita dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali
perhari atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan
PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya
terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat
sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai ekskursi glukosa),
menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala),
atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

26
Gambar 7. Sasaran pengendalian DM (ADA, 2015)

HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES MELLITUS

Hipoglikemia ditandai dengan menurunNya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.


Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian penderita dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah
rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua
penderita diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar
glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penderita DM harus
selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea
dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan
waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah penderita harus dilakukan
selama kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia
pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang
fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada penderita. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama. Penderita dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan
hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan.

27
Gambar 8. Tanda dan Gejala Hipoglikemia

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat


keparahannya, yaitu :
1) Hipoglikemia berat: Penderita membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
2) Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
3) Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
4) Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
5) Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan GDS.
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain:
 Kendali glikemik terlalu ketat
 Hipoglikemia berulang
 Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun terdiagnosis
DM tipe 1
 Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol responses
 Neuropati otonom
 Tidak menyadari hipoglikemia
 End Stage Renal Disease (ESRD)
 Penyakit / gangguan fungsi hati
 Malnutrisi
 Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

Tatalaksana Kondisi Hipoglikemia berdasarkan derajat keparahan:


Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana),
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah,

28
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa
darah,
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar,
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit
pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah
pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali,
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien
diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia.

Hipoglikemia berat:
1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25
cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%,
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%,
3. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang,
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

Cara mencegah pasien DM jatuh dalam kondisi hipoglikemia, maka dapat diberikan
KIE untuk mengetahui tanda dan gejala hipoglikemia, sebagai berikut:
1. Melakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan awal, dan hal
lain harus dilakukan
2. Menganjurkan untuk rutin memantau glukosa secara mandiri dengan, khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.
3. Menginformasikan dengan jelas dan detail tentang obat-obatan atau insulin yang
dikonsumsi, dosis, waktu mengkonsumsi, efek samping obat

Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemi


perlu melalukan:
 Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
 Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melalukan
program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti: jadwal makan,

29
kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain
yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
 Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemi.

30
BAB IV

KESIMPULAN

Laporan kasus pada penderita Laki-Laki 14 tahundidapati keluhan demam yang


terus menerus tanpa menggigil, mual, kemudian disusul dengan BAK berwarna seperti
teh, bagian putih bola mata semakin lama semakin kuning. Gejala-gejala penderita
awalnya terdapat demam, mual, dan dalam waktu beberapa hari kemudian BAK
berwarna seperti teh disusul dengan timbul kuning pada mata, ditambah dengan
penemuan dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya sklera ikterik pada kedua mata.

Faktor risiko untuk terkenanya hepatitis A meliputi berdomisili di tempat yang


penduduknya ramai dan dalam satu rumah dihuni oleh banyak orang, kebersihan yang
kurang, pada anak yang dititip di day care, bepergian ke negara berkembang, pemakaian
jarum suntik bersama misalnya pada orang yang memakai narkoba, juga bisa melalui
kontak seksual dengan penderita. Pada penderita ditemukan faktor risiko berupa suka
makan di warung-warung pinggir jalan, penderita tinggal di pemukiman padat, serta
riwayat kontak dengan penderita sakit kuning sebelumnya ada, yaitu saudara sepupu
penderita.Pada pemeriksaan urinalisa penderita didapatkan Bilirubin: +1(N:–),
Urobilinogen: +1 (N: –).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriklaan laboratorium


berupa urinalisa, maka diagnosis sementara adalah suspek hepatitis A akut.Hepatitis A
merupakan penyakit infeksi sistemik yang dominan menyerang hati akibat masuknya
virus hepatitis A melalui transmisi fekal-oral dari makanan atau minuman yang telah
terkontaminasi.

Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.


Dalam tatalaksana non-medikamentosa kunci utamanya adalah istirahat yang dilakukan
dengan tirah baring, mobilisasi pelan-pelan dimulai jika keluhan atau gejala berkurang,
bilirubin dan transaminase serum menurun. Aktivitas normal sehari-hari dimulai setelah
keluhan hilang dan data laboratorium normal.

Terapi harus mendukung dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi yang
cukup. Tidak ada diet khusus bagi penderita hepatitis A, yang penting adalah jumlah
kalori dan protein adekuat (Protein: 48 g, Kalori: 1440-1680 kal), menu dapat
disesuaikan dengan selera penderita, terkadang pemasukan nutrisi dan cairan kurang
akibat mual dan muntah, sehingga perlu ditunjang oleh nutrisi parenteral contohnya
infus Dekstrose 10-20%. Telur, susu dan mentega benar-benar dapat membantu
memberikan asupan kalori yang baik. Minuman mengandung alkohol tidak boleh
dikonsumsi selama hepatitis akut karena efek hepatotoksiknya.

Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis virus akut,
pengobatan hanya bersifat simtomatis. Penambahan vitamin dengan makanan tinggi

31
kalori protein dapat diberikan pada penderita yang mengalami penurunan berat badan
atau malnutrisi. Pengobatan simtomastis yang biasa diperlukan:

- Pemberian antiemetik jika penderita muntah-muntah


- Pemberian cairan melalui infus jika terdapat tanda-tanda dehidrasi
- Pemberian analgesik untuk menghilangkan sakit kepala
- Penggunaan bedak salisilat atau difenhidramin untuk mengurangi rasa
gatal
- Pemberian imunoglobulin yang berisi antibodi terhadap virus hepatitis,
namun pemberiannya hanya efektif dalam 14 hari setelah timbulnya
gejala.
- Jangan memberikan obat yang dimetabolisme di hati seperti
acetaminofen atau obat yang mengandung alkohol.

32
DAFTAR PUSTAKA

International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International
Diabetes Federation (IDF). 2013.

WHO Fact Sheet of Diabetes, 2016

33

Anda mungkin juga menyukai