Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

PUSKESMAS AIR SAGA, TANJUNG PANDAN

No. ID dan Nama Peserta: dr. Jennifer Uriah

No. ID dan Nama Wahana: Puskesmas Air Saga, Tanjung Pandan

Topik: Absence Seizure

Tanggal (kasus) : 18 Desember 2017

Nama Pasien : An. CA No. RM : 50240

Tanggal presentasi : Juli 2017 Pendamping: dr. Wiryanti Husin

Tempat presentasi: Puskesmas Air Saga

Obyek presentasi :

Tinjauan
Keilmuan Keterampilan Penyegaran pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi:
Seorang anak perempuan, usia 7 tahun, dibawa Ibunya datang ke Poli Anak
Puskesmas Air Saga dengan keluhan utama sering bengong secara tiba-tiba. Hal ini
telah terjadi berulang kali sejak 2 tahun ini. Pasien sering merasa bengong secara
tiba-tiba saat melakukan sesuatu hal, yaitu jalan, makan bahkan saat bermain
dengan teman-temannya. Pada tahun pertama terjadi beberapa bulan sekali lalu
semakin lama semakin sering. Pada tahun kedua, pasien mengalaminya hampir
setiap minggu, sehingga orang tua pasien memutuskan untuk membawa pasien
untuk berobat ke Puskesmas. Pasien merupakan anak pertama, dan keluarga pasien
tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama. Pasien belum pernah berobat ke tempat
lain dan belum pernah diobati sendiri.

Tujuan: Mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana Absence Seizure


sesuai standar kompetensi.

Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit


bahasan: pustaka

Cara Diskusi Presentasi E-mail Pos


membahas: dan diskusi
Data Nama: An. CA No.Registrasi: 50240
Pasien:

Instalasi Poli Anak Puskesmas Air


Saga

Data utama untuk bahan diskusi:


1. Gambaran klinis
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak perempuan, usia 7 tahun, dibawa Ibunya datang ke Poli Anak
Puskesmas Air Saga dengan keluhan utama sering bengong secara tiba-tiba. Hal ini
telah terjadi berulang kali sejak 2 tahun ini. Pasien sering merasa bengong secara
tiba-tiba saat melakukan sesuatu hal, yaitu jalan, makan bahkan saat bermain
dengan teman-temannya. Pada tahun pertama terjadi beberapa bulan sekali lalu
semakin lama semakin sering. Pada tahun kedua, pasien mengalaminya hampir
setiap minggu, sehingga orang tua pasien memutuskan untuk membawa pasien
untuk berobat ke Puskesmas. Pasien merupakan anak pertama, dan keluarga pasien
tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama. Pasien belum pernah berobat ke tempat
lain dan belum pernah diobati sendiri.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat Pengobatan
-

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat Kebiasaan
Pasien adalah seorang pelajar dengan aktivitas fisik sehari-hari ringan

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


Status Present:
Kondisi Umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6/ Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, irama reguler, volume cukup, ekualitas
sama kanan dan kiri
Respirasi : 16 x/menit
Suhu aksila : 36,5 ºC
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 135cm
IMT : 25,5 kg/cm2

Status Generalisata

a) Kepala:
Normocephali, bentuk bulat, deformitas (-),
b) Wajah:
Ekspresi normal, pucat (-), kemerahan (-), sianosis (-), wajah
simetris.
c) Mata:
Pupil bulat reguler isokor (+/+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), gerak bola mata normal
d) Teling/ Hidung/ Mulut:
Dalam batas normal
e) Leher :
KGB & kelenjar thyroid normal
f) Thoraks
 Paru
Inspeksi: Simetris fusiformis

Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris saat inspirasi dan
expirasi,
Perkusi : Sonor. Batas paru dengan hepar, jantung kanan, lambung,
jantung kiri normal.
Auskultasi: Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

 Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi: Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra ICS


VI

Perkusi :

Batas atas jantung : Linea parasternalis kanan ICS II

Batas kiri jantung : Linea midclavicularis sinistra ICS VI

Batas kanan jantung : Linea parasternalis dekstra ICS IV

Auskultasi: HR 88x/menit BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

g) Abdomen
Inspeksi: Perut simetris, tipe pernapasan abdominotorakal
Palpasi: Supel, hepar, lien, teraba normal, ginjal ballotement (-)

Perkusi: 4 kuadran abdomen timpani, batas atas dan bawah hepar


normal, shifting dullness (-)

Auskultasi:Bising usus (+) normal

h) Ekstremitas
Atas

Hangat , edema , CRT < 2 detik

Bawah

Hangat , edema , CRT < 2 detik

2. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
3. Diagnosis Kerja
Absence Seizure

4. Tatalaksana
 Rujuk ke Poli Syaraf RSUD Marsidi Judono
5. Prognosis
 Quo ad vitam: ad bonam
 Quo ad sanationam: ad bonam
 Quo ad fungsionam: ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum (generalized
seizure). Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat, dan kemudian
kembali seperti biasa. Kejang absans terjadi pada epilepsi general idiopatik atau
(1)
simptomatik . Epilepsi sendiri berarti sekelompok gangguan kronis yang ditandai
dengan kejang yang berulang dan tak terduga. Sedangkan kejang (seizure) merupakan
manifestasi dari disfungsi sementara pada otak yang disebabkan oleh
hipersinkronisasi yang abnormal pada pelepasan arus listrik di neuron kortikal yang
bisa melakukan limitasi dengan sendirinya (self limited) (2) (3).
2.2. Epidemiologi

3 – 4% gangguan kejang merupakan absence seizure. Di Amerika Serikat, dari


100.000 orang, terjadi 2 – 8 kasus kejang absans. Dua pertiga dari penderita adalah
perempuan. Penderita kebanyakan merupakan anak kecil yang berusia 4 – 8 tahun,
dengan onset puncak pada usia 6 -7 tahun (1).
Kejang absans tidak menimbulkan kematian secara langsung, melainkan
penyakit yang mendasari-nyalah yang mengakibatkan kematian, kecuali pada
seseorang yang mengalami kejang absans saat berkendara (1).
2.3. Etiologi

Absence seizure merupakan kelompok epilepsi umum idiopatik. Tentu saja


penyebabnya bukan karena adanya kerusakan struktural pada otak dan sifatnya
idiopatik. Namun kini para peneliti melakukan pendekatan secara genetik. Pasien
dengan epilepsi absans anak (childhood absence epilepsy) dapat memiliki riwayat
(4)
keluarga yang menurun secara autosomal dominant . Mutasi genetik yang terjadi
dapat menimbulkan gangguan pada kanal ion, terutama kanal T-kalsium (5).
2.4. Patofisiologi
Salah satu mekanisme patofisiologi pada kejang general adalah interaksi
thalamokortikal yang dapat mendasari typical absence seizure. Sirkuit
thalamokortikal merupakan penghubung utama antara sistem sensoris perifer dan
korteks serebri. Sirkuit ini berperan sebagai regulator keadaan otak seperti kesadaran
dan kesiagaan serta tidur NREM tahap 3 dan 4, yang mana merupakan tanda khas dari
osilasi sirkuit thalamocortical. Sirkuit thalamokortikal memiliki ritme osilatori
dengan periode eksitasi dan penghambatan yang relatif  meningkat sehingga
menghasilkan osilasi thalamokortikal dapat terdeteksi. Rangkaian sirkuit terdiri atas
neuron piramidal nonkorteks, neuron relay thalamus, dan neuron dalam nukleus
retikularis pada thalamus. Pada saat terjadi serangan, ritme sirkuit thalamokortikal
berubah menjadi gelombang paku atau spike-wave discharge (SWD) (4).
Selama terjadi serangan, fungsi normal dari jalur thalamokortikal terganggu
sehingga menyebabkan munculnya spike-wave discharge. Voltage-gated calcium
channel ber peran penting dalam proses timbulnya spike-wave discharge pada
manusia. Voltage-gated calcium channel adalah mediator kunci pada masuknya
kalsium ke dalam neuron sebagai respon atas terjadinya depolarisasi membran. Sistem
saraf manusia memiliki beberapa jenis kanal kalsium. Diantaranya adalah low
voltage-activated calcium channel (contohnya T-type channel), dan high voltage-
activated (HVA) calcium channel. Kanal LVA diaktifkan oleh depolarisasi kecil dan
merupakan kontributor rangsangan neuronal, sedangkan kanal HVA membutuhkan
depolarisasi membran yang lebih besar untuk membuka. (4)
T-type channel berperan penting pada osilasi pada neuron relay thalamus,
yang dapat meningkatkan aktifitas sinkronisasi pada neuron piramidal neokortikal.
Kunci dari osilasi tersebut adalah ambang batas bawah kanal kalsium yang tidak
tetap, yang dikenal juga sebagai arus T-kalsium. Percobaan pada binatang coba,
penghambatan dari nukleus retikular thalamus mengontrol aktifitas saraf-saraf relay
thalamus. Saraf-saraf nukleus retikular thalamus merupakan inhibitori dan berisi
gamma aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmiter utamanya.
Neurotransmiter itu meregulasi aktifasi dari kanal T-kalsium (4).
Kanal T-calcium memiliki 3 keadaan fungsional: terbuka, tertutup, dan tidak
aktif. Kalsium masuk ke sel ketika kanal T-kalsium terbuka. Beberapa saat setelah
tertutup, kanal itu tidak dapat terbuka lagi sampai mencapai keadaan inaktifasi.
Neuron relay thalamus memiliki reseptor GABA-B pada badan sel dan menerima
aktifasi tonus oleh keluarnya GABA dari nukleus retikularis thalamus menuju neuron
relay thalamus. Hasilnya, terjadi hiperpolarisasi yang mengubah keadaan kanal T-
kalsium menjadi aktif, sehingga menyebabkan kanal T-calcium terbuka dan
tersinkronisasi setiap 100 milidetik (6).
Pada absence seizure, terjadi mutasi genetik pada kanal kalsium tipe T,
dimana terjadi peningkatan aktifitas kanal kalsium tipe T itu. Peningkatan aktifitas
tersebut menyebabkan meningkatkan burst-mode firing pada thalamus dan
meningkatkan aktifitas osilasi pada sistem thalamokortikal. Akibatnya, terjadi fase
tidur non-REM yang sebenarnya merupakan aktifitas fisiologis dari sistem
thalamokortikal pada saat manusia sedang tidur. Namun pada kejadian ini, fase non-
REM terjadi pada saat pasien sedang sadar penuh. Hal ini mungkin bisa menjelaskan
klinis dari absence seizure dimana pasien menjadi tidak sadar atau “bengong” pada
saat sedang sadar penuh (4).
Temuan di beberapa hewan coba untuk peneitian absence seizure, telah
menunjukkan bahwa antagonis reseptor GABA-B mensupresi kejang absans,
sedangkan agonis GABA-B memperburuk kejang. Antikonvulsan yang mencegah
absence seizure, seperti valproic acid dan ethosuximide, mensupresi arus T-calcium
sehingga kanalnya tertutup (4).
2.5. Klasifikasi
Secara umum, kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu kejang fokal
(parsial) yang hanya melibatkan suatu bagian kecil dari otak pada satu hemisfer saja,
dan yang kedua adalah kejang umum (general), yang melibatkan kedua hemisfer otak.
Sindrom epilepsi umum dapat dibedakan lagi menjadi epilepsi umum simptomatik
dan idiopatik.
Pada epilepsi umum idiopatik, dapat ditemukan jenis kejang absans. Kejang
absans terdiri dari tiga macam, yaitu typical absence seizure dan atypical absence
seizures. Sedangkan typical absence dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu simple dan
complex (5).
Klasifikasi kejang
I. Typical Absence Seizures
A. Simple: impairment of consciousness only
B. Complex
1. With mild clonic components
2.With changes in tone
3.With automatism
4.With autonomic components
II. Atypical Absence Seizures

Klasifikasi Absence Seizure

2.6. Tanda dan Gejala Klinis


Typical absence seizures memiliki ciri khusus seperti hilangnya fungsi mental,
khususnya hilangnya perhatian, respons terhadap lingkungan sekitar, serta hilangnya
memori saat kejang terjadi. Kejang berlangsung sangat mendadak, tanpa adanya aura,
dan terjadi beberapa detik sampai lebih dari 1 menit. Aktifitas yang sedang
berlangsung tiba-tiba terhenti, ekspresi wajah anak juga berubah dan terlihat seperti
patung. Pada typical absence seizure tipe simple, pasien seperti memandang ke
tempat yang jauh tanpa ada gerakan. Saat kejang berakhir, pasien segera melanjutkan
aktifitas yang tadi sempat terhenti. Kelelahan pada fase postictal tidak terjadi, namun
pasien terkadang merasa bingung karena mereka seperti melewatkan waktu beberapa
saat (time loss). Time loss inilah yang bisa menjadi petunjuk bahwa telah terjadi
kejang absans. Pada typical absence tipe complex, automatism sering terjadi, seperti
menjilat bibir, mengunyah, menggaruk, atau meraba-raba pakaian. Semakin panjang
kejang, maka automatism akan hampir pasti terjadi.
Atypical absence seizure merupakan absans dengan onset yang munculnya
perlahan dan tidak mendadak. Namun kejang yang terjadi berlangsung lebih lama
daripada typical absence seizure dan jarang didapatkan automatism seperti pada
typical absence seizure (5).
2.7. Diagnosis
Anamnesa
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pasien, kita harus mengetahui
keadaan yang terjadi pada saat serangan. Dokter harus mengetahui kejang apa yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Selain itu dokter harus mewawancarai saksi
mata (keluarga, kerabat) agar mengetahui kondisi pasien ketika serangan. Hasil yang
dokter peroleh dari anamnesa akan menjadi acuan dan dasar pemeriksaan yang akan
dilakukan, baik itu pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Selain itu,
anamnesa juga bisa menjadi dasar pemberian terapi pada pasien.
Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik dan neurologi pada anak dengan kejang absans masih dalam
batas normal. Dengan menyuruh pasien bernafas dengan pola hiperventilasi selama 3
– 5 menit dapat menyebabkan kejang absans. Prosedur ini dapat dengan mudah
dilakukan (1).
Pada pemeriksaan klinis, typical absence seizure muncul dengan terhentinya
bicara pasien secara tiba-tiba dan hamya berlangsung singkat. Pasien tidak memiliki
gejala awal atau fase postictal, dan bila mereka sedang melakukan aktifitas motorik
yang besar seperti berjalan, mereka dapat berhenti dan berdiri tanpa adanya gerakan,
dan kemudian mereka dapat melanjutkan jalannya kembali. Anak-anak tidak
merespon apapun di sekitarnya selama kejang dan tidak memiliki ingatan akan apa
yang telah terjadi selama serangan. Mereka secara umum tidak sadar bahwa kejang
sudah terjadi (1).
Atypical absence seizure yang terjadi pada pasien dengan epilepsi simptomatik
general biasanya berlangsung lebih lama daripada typical absence, dan onset serta
resolusinya selalu gradual. Pada epilepsi simptomatik general, temuan fisik dan
neurologi bisa abnormal, sesuai dengan gangguan yang mendasari. Pemeriksaan fisik
dapat menimbulkan dugaan penyakit genetik, seperti gangguan neurokutaneus
(misalnya tuberous sclerosis) atau gangguan metabolisme sejak lahir. Pemeriksaan
neurologis dapat menunjukkan tanda-tanda keterlambatan pertumbuhan atau tanda-
tanda yang lebih spesifik, seperti parese spastik pada cerebral palsy (1).
Pemeriksaan laboratorium
Ketika mengevaluasi anak dengan tatapan kosong, tes laboratorium yang
diindikasikan adalah tes untuk mengevaluasi abnormalitas metabolit atau adanya
ingesti obat atau toksik (terutama pada anak yang lebih tua). Apabila diperoleh
riwayat yang jelas tentang sifat episodik serangan, maka EEG bisa diagnostik dan tes
laboratorium tidak perlu dilakukan. Saat mengevaluasi anak dengan keterlambatan
pertumbuhan dan jika pada EEG didapatkan atypical absence, maka pemeriksaan
untuk penyebab yang mendasari sangat dibutuhkan (1).
Pemeriksaan Neuroimaging
Temuan neuroimaging pada epilepsi idiopatik adalah normal, namun
neuroimaging tidak diindikasikan jika ada pola typical. Neuroimaging sering
dilakukan pada anak dengan kejang tonik klonik general untuk menyingkirkan
penyebab struktural pada kejang. Hasil normal pada temuan neuroimaging membantu
diagnosa epilepsi idiopatik. Untuk epilepsi cryptogenik general dan simptomatik
general, neuroimaging dapat membantu diagnosa pada semua gangguan struktural
yang mendasari. MRI lebih sensitif untuk beberapa kelainan anatomis tertentu
dibandingkan dengan CT scan.
Electroencephalography (EEG)
Satu-satunya test diagnostik untuk kejang absans adalah EEG. Pada anak
dengan kejang absans, rekaman EEG rutin ketika anak terjaga sering patogmonis.
Semburan frontal dominan, gelombang paku 3 Hz yang tergeneralisasi nampak saat
kejang. Pada sindrom dengan kejang absans yang jarang (juvenile absence epilepsy
atau juvenile myoclonic epilepsy), rekaman saat terjaga bisa normal, rekaman saat
terjaga dan tidur mungkin juga diperlukan.
EEG typical absence seizure dengan aliran gelombang paku 3 HZ

EEG pada typical absence memiliki aktifitas latar belakang yang normal. Pada
typical absence seizure dapat ditemukan gelombang paku 3Hz. Frekuensinya sering
lebih cepat pada saat onset dengan sedikit perlambatan pada fase akhirnya. Onset dan
fase akhir dari kejang ini bersifat mendadak, dan tidak ditemukan perlambatan pada
EEG postictal. Hiperventilasi juga sering memicu kejang absans dan harus menjadi
bagian rutin dalam pelaksanaan EEG pada anak.
Atypical absence seizure ditandai dengan gelombang paku paroksimal lambat,
biasanya 2,5Hz. Onsetnya sangat sulit untuk dipahami, dan perlambatan EEG
postictal dapat dijumpai.
EEG pada atypical absence seizure dapat dijumpai ketidaknormalan pada
aktifitas latar belakangnya. Korelasi klinis antara kompleks gelombang paku yang
tergeneralisasi dengan klinis kejang tidak jelas seperti yang ada pada typical absence
seizure. Gelombang paku yang lambat dapat muncul sebagai pola interictal seperti
pada sindroma Lennox-Gastout
Aliran gelombang paku lambat (2,5 HZ). Ini merupakan pola interictal pada anak
dengan kejang dan keterlambatan pertumbuhan.
2.8. Diagnosis Banding
Absence seizure memiliki beberapa diagnosis banding:
1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2. Complex Partial Seizures
3. Confusional States and Acute Memory Disorders
4. Febrile Seizures
5. First Pediatric Seizure
6. Migraine
7. Psychogenic Nonepileptic Seizures
8. Reflex Epilepsy
9. Shuddering Attacks
10. Status Epileptikus
Kejang absans dapat rancu dengan kejang parsial kompleks, terutama pada kasus
kejang memanjang dengan automatism, tabel di bawah ini dapat membantu untuk
membedakan kejang absans dengan parsial kompleks, serta membantu membedakan
antara typical absence dan atypical absence (1).
Perbedaan antara typical absence seizure dengan complex partial seizure

Perbedaan antara typical absence seizure dan atypical absence seizure


2.9. Komplikasi
Beberapa orang yang memiliki absence seizure, selanjutnya akan mengalami
kejang tonik klonik atau grand mal. Selain itu, bisa saja pada pasien absence seizure
dapat mengalami kesulitan belajar dan mengalami absence status epileptikus (1) (7).
2.10. Terapi
Terapi terutama menggunakan sodium valproate atau ethosuximide, yang
memiliki efikasi yang sama untuk mengontrol kejang pada 75% pasien. Monoterapi
dengan Lamotrigine kurang efektif jika dilihat dari pasien yang bebas kejang hanya
kurang dari 50%. Bila monoterapi gagal atau terjadi efek samping, penggantian
dengan obat yang lain menjadi alternatif. Menambahkan lamotrigine dosis kecil pada
sodium valproat dapat menjadi kombinasi yang bagus untuk kasus resistensi. Namun
sebuah penelitian menegaskan bahwa ethosuximide dan valproic acid merupakan obat
yang paling efektif dibandingkan dengan lamotrigine pada terapi kejang absans pada
anak (8)
Ethosuximide (ESM) adalah garam kristal bewarna putih yang larut dalam air
dan alkohol. Obat ini memberikan blokade yang tergantung pada tegangan dari nilai
ambang-batas tegangan kalsium tipe T pada thalamus. Blokade itu merupakan
mekanisme kerja dalam menghentikan proses kejang absans. Obat ini juga
meningkatkan GABA post-sinaps, namun hal itu nampaknya tidak berperan dalam
proses anti-epilepsi. Penggunaan obat ini sangatlah terbatas karena hanya digunakan
untuk terapi absence seizure. Ethosuximide tidak memiliki efek samping yang serius
(9)
.
Valproate (VPA) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk kejang
absans. Mekanisme kerjanya masih belum jelas. VPA banyak mempengaruhi reseptor
GABA-A, dan mekanisme inilah yang diduga menjadi efek antiepilepsi utama. VPA
meningkatkan konsentrasi GABA sinaptosomal dengan aktifasi enzim sintesa GABA
asam glutamat dekarboksilase. Selain itu juga menghambat katabolisme GABA
transaminase. Pada area hipokampal, VPA menurunkan ambang batas konduktansi
kalsium dan potassium. Obat ini telah dilaporkan memiliki potensi teratogenik (9).
2.11. Prognosis

Kebanyakan pasien berespon positif atau sembuh total pada medikasi yang
tepat, dan kira-kira dua pertiga pasien mengalami penurunan intensitas kejang
pada masa pubertas. Faktor positif untuk kesembuhan termasuk berkurangnya
kejang tonus klonus, tidak ada riwayat pada keluarga, dan tidak ada riwayat
status epileptikus nonkonvulsif general (1) (8)

Jika kognisi dan status tidak normal, prognosisnya buruk (8)

Pasien yang kemungkinan memiliki resiko untuk terjadinya rekurensi
walaupun pengobatan sudah dihentikan:
o
Frekuensi kejang yang tinggi sebelum pengobatan
o
Abnormalitas neurologis
o
Retardasi mental
o
Abnormalitas EEG yang terus menerus (10)
2.12. Algoritma
Berikut ini merupakan algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta pengobatannya.
Algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta pengobatannya (11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Segan, Scott. Absence Seizure. Medscape Reference. [Online] April 27, 2011.
[Cited: June 12, 2011.] http://emedicine.medscape.com/article/1183858-overview.

2. Longmore, Murray, et al. Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th ed. Oxford :
Oxford University Press, 2010.

3. Browne, Thomas R and Holmes, Gregory L. Handbook of Epilepsy.


Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2008.

4. Voltage-Gated Calcium Channels and Idiopathic Generalized Epilepsies.


Khosravani, Houman and Zamponi, Gerald W. 86, Calgary : Physiological
Reviews, 2006.
5. Samuels, Martin A. Manual of Neurologic Therapeutics, 7th Edition. Boston :
Lippincott Williams & Wilkins, 2004.

6. Panayiotopoulos, C P. Typical Absence Seizures. ILAE. [Online] March 31, 2005.


[Cited: June 13, 2011.] http://www.ilae-
epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/typical_absence.cfm.

7. Mayo Clinic. Absence seizure (petit mal seizure). Mayo Clinic. [Online] June 23,
2009. [Cited: June 14, 2011.] http://www.mayoclinic.com/health/petit-mal-
seizure/DS00216.

8. Roth, Julie L. Status Epilepticus. Medscape Reference. [Online] May 26, 2011.
[Cited: June 13, 2011.] http://emedicine.medscape.com/article/1164462-
overview#showall.

9. Shorvon, Simon D. Handbook of Epilepsy Treatment: Forms, Causes and Therapy


in Children and Adults, 2nd ed. Massachusetts : Blackwell Publishing, 2005.

10. Rolak, Loren A. Neurology Secrets. Philadelphia : Mosby, Inc, 2010.

11. The New Antiepileptic Drugs: Clinical Application. LaRoche, Suzette M and
Helmers, Sandra L. 5, s.l. : JAMA, 2004, Vol. 291.

12. Mazzoni, Pietro, Pearson, Toni Shih and Rowland, Lewis P. Epilepsy. [book
auth.] Pietro Mazzoni, Toni Shih Pearson and Lewis P. Rowland. Merritt's Neurology
Handbook, 2nd Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins (LWW), 2006.

13. Panayiotopoulos, C P. Absence Status Epilepticus. International League Against


Epilepsy. [Online] January 18, 2005. [Cited: June 13, 2011.] http://www.ilae-
epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/absence_status.cfm.

Anda mungkin juga menyukai