Obyek presentasi :
Tinjauan
Keilmuan Keterampilan Penyegaran pustaka
Deskripsi:
Seorang anak perempuan, usia 15 tahun, dibawa Ibunya datang ke Poli Anak
Puskesmas Air Saga dengan keluhan utama demam. Hal ini sudah dialami pasien
sejak 2 minggu lalu. Demam bersifat hilang timbul, meningkat pada sore hari dan
menurun pada pagi hari serta meninggi dari hari ke hari. Mengiggil (-), kejang (-),
nyeri ulu hati (+),lidah kotor(-). Mual dan Muntah (+) bewarna putih bening serta
dengan bau yang menyengat, dengan frekuensi 3-4x/hari dengan volume ½ - 1
gelas aqua per kali muntah. BAK (+) volume normal bewarna kuning pekat, nyeri
saat BAK (-), batu (-), darah (-). BAB (+) lancar dengan konsistensi lunak frekuensi
2x/hari bewarna kuning kecoklatan. Penurunan nafsu makan (+) sejak bulan lalu
dengan penurunan BB ± 2kg dalam 1 bulan ini. Nyeri sendi (-), muka pucat (-),
perdarahan (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), Mood disorder (-). Riw. Konstipasi
± 4 hari. Riw. BAB tidak lancar 1 minggu. Riw. Keluarga yang ada keluhan yang
sama (-). Riw. Bepergian ke daerah malaria (-)
Tujuan: Mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana Demam Tifoid sesuai
standar kompetensi.
Riwayat Pengobatan
-
Riwayat Kebiasaan
Pasien adalah seorang pelajar dengan aktivitas fisik sehari-hari ringan dan
sering membeli jajanan di luar
Status Generalisata
a) Kepala:
Normocephali, bentuk bulat, deformitas (-),
b) Wajah:
Ekspresi normal, pucat (-), kemerahan (-), sianosis (-), wajah
simetris.
c) Mata:
Pupil bulat reguler isokor (+/+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), gerak bola mata normal
d) Teling/ Hidung/ Mulut:
Dalam batas normal
e) Leher :
KGB & kelenjar thyroid normal
f) Thoraks
Paru
Inspeksi: Simetris fusiformis
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris saat inspirasi dan
expirasi,
Perkusi : Sonor. Batas paru dengan hepar, jantung kanan, lambung,
jantung kiri normal.
Auskultasi: Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Perkusi :
h) Ekstremitas
Atas
Bawah
2. Pemeriksaan Penunjang
Widal test (+)
3. Diagnosis Kerja
Demam Tifoid
4. Tatalaksana
Chloramfenicol 3x500 mg
Paracetamol 3x500 mg
Antasida 3x1 tab h.a.c.
Vit B comp 1x1
5. Prognosis
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad sanationam: ad bonam
Quo ad fungsionam: ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam tifoid merupakan suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Bakteri ini dapat menghasilkan endotoksin yang mempengaruhi
hasil pemeriksaan hematologis dan merangsang demam pada penderita demam tifoid1
2.2. Etiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi
terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negative pada reaksi indol,
fenilalanin deaminase, urease dan DNase.Bakteri Salmonella Typhi memiliki
beberapa komponen antigen antara lain antigen dinding sel (O) yang merupakan
lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup.Antigen flagella (H) yang merupakan
komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies.Antigen virulen
(Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh
permukaan sel.Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum
dan melindungi antigen O dari proses fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella Typhi menghasilkan
endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O
yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan
membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh.Sedangkan, Outer Membran Protein
(OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan
lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan
bakteriosin.2
2.3. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,
secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber
air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana
di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik.3
Menurut New York City Departemen of Health and Mental Hygiene, insiden
rate penderita demam tifoid ini adalah sebesar 0,7 per 100.000 penduduk, di Negara
tetangga seperti Malaysia pada tahun 2000 insiden rat penderita Demam tifoid 3,29
per 100.000 penduduk.4,5
Di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia penyakit demam tifoid
merupakan masalah kesehatan yang serius karena insiden ratenya berkisar antara 760-
810 pasien per 100.000 penduduk per tahun.6
Penderita demam tifoid menyerang semua umur terutama di daerah endemis,
insiden tertinggi di dapat pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi
ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insiden penderita terbanyak berumur
>12 tahun. 21 Tetapi menurut Iskandar, insiden tertinggi adalah pada anak dan
dewasa muda 5-20 tahun.7
Dilihat dari jenis kelamin bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden demam tifoid pada anak laki-laki dan perempuan.16 Sedangkan menurut
Cyrus.H Simanjuntak (1990) ternyata penderita demam tifoid pada laki-laki 2-3 kali
lebih banyak dari penderita perempuan yang memerlukan perawatan di rumah sakit.8
2.4. Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi
bakteri Salmonella Typhidapat mengekskresikannya melalui urin dan tinja dalam
jangka waktu yang bervariasi.Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai
dari penempelan bakteri kelumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.Bakteri Salmonella
Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada
saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati.Bakteri yang
masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian
menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan yeyunum.Sel M, sel
epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi
Salmonella Typhi.9
Masuknya Salmonella Thyphi ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang
terkontaminasi kuman, sebagian kuman dapat dimusnahkan di dalam lambung,
sebagian lolos dapat masuk lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa baik (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembangbiak dan di fagosit oleh makrofag dan kuman dapat hidup
didalam makrofag dan selajutnya dibawa ke plak payeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getak bening mesenterika. Selanjutnya dari duktus torasikus kuman dalam
makrofag akan masuk kedalam sirkulasi darah (bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ ini kuman meninggalkan sel fagosit dan berkembang biak diluar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakterimia kedua kalinya yang dapat menimbulkan gejala klinis. Di
dalam hati, kuman juga bisa masuk ke dalam kantong empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu disekresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses sebagian lagi masuk kedalam sirkulasi
darah setelah menembus usus. Proses yang sama akan terulang lagi, berhubung
makrofag sudah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
Typhi terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik. Di dalam plak paayeri makrofag juga
hiperaktif sehingga menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan karena menginduksi
reaksi hipersensitifitas tipe lambat dan juga menyebabkan nekrosis organ.10
Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid
Sumber: Ilmu Penyakit Dalam Jilid III 5
Menurut Widodo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan
akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer
(syok,sepsis),miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,
polyneuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatoni.
2.8. Penatalaksanaan11
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
istirahat dan perawatan, diet, serta terapi penunjang. Sebagian besar kasus demam
tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan
kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Namun untuk kasus berat harus
dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyuit dan dapat dilakukan dengan seksama.
a) Istirahat dan Perwatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tidah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan.
b) Diet
Diet merupakah hal yang penting dalam proses penyembuhan penyakit, karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan
semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama. Dulu penderita
demam tifoid diberi makan bubur untuk menghindari perforasi usus. Namun kini,
beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian makanan padat seperti nasi beserta
lauk pauk rendah selulosa (menghidari sementara sayuran yang tinggi serat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
c) Terapi Penunjang
Pengobatan demam tifoid adalah dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik
yang biasa digunakan seperti kloramfenikol, florokuinolon, amoksisilin, dan
trimetropim-sulfametoxazol. Sayangnya resistensi S.typhi terhadap obat-obat tersebut
sering terjadi belakangan ini, terutama di daerah-daerah Asia, Amerika Latin, dan
Amerika Tengah. Pada daerah tersebut, pengobatan yang digunakan dalah quinolon
jangka panjang atau dengan azatitromisin dan generasi ketiga sefalosporin. Di
Indonesia kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama untuk mengobati demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg/hari dapat diberikan per oral atau
intravena. Dosis tersebut diberikan selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah
demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat
diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu
untuk meningitis.
Antibiotik lain yang memberikan efektivitas hampir sama yaitu tiamfenikol
dan Kotrimoksazol. Tiamfenikol memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi
hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam rata-rata turun pada hari ke 5-6.
Sedangkan kotrimoksazol efeknya sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk dewasa
adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg
trimetropin) diberikan selama 2minggu.
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kg/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian secara itravena. Amoksisilin dengan dosis
100mg/kg/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil yang setara
dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama.
Golongan Fluorokuinolon seperti Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari,
siprofloksasin 2x500mg/hari selama 6 hari, ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari,
plefoksasin 400mg/hari selama 7 hari, dan fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah
dibuktikan ditemukan 2 macam organism dalam kultur darah. Sedangkan penggunaan
kortikosteoid hanya diindikasikan pada toksik tifoid yang mengalami syok septic
dengan dosis 3x5 mg.
2.9. Pencegahan11
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, S., Hartoyo, E,. Srihandayani, D. 2010. Hubungan Tingkat Demam
Dengan Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Penderita Demam Tifoid.
eJurnal UNLAM.
2. Innesa, C. 2013. Perbaikan Gejala Klinis Demam Terhadap Terapi Antibiotik
Pada Anak Dengan Demam Tifoid. Eprint UNDIP
3. Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan
Dengan Kultur Darah Sebagai Baku Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid
pada Anak di RSUD dr. Kariadi Semarang. FK UNDIP.
4. Department of Health and Mental Hygiene., 2002.
http//www.nyc.gov/html/doh,html.
5. Kementerian Kesehatan Malaysia., 2000. Kadar Kejadian Penyakit-Penyakit
berjangkit bagi Tiap-Tiap 100.000 Penduduk Malaysia Tahun 2000.
http//www.moh.gov.my/specific health problem indocatous 2000.
6. Zulkarnain I., 2001. Antibiotik Dosis Tunggal Pada Demam Tifoid. Jakarta.
7. Simanjuntak, C.H., 1990. Masalah Demam Tifoid di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran. No 60.
8. Widodo, Djoko. 2010. Demam Tifoid. Dalam: W, Aru., Sudoyo., Setiyohadi,
Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, M. dan Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. InternaPublishing, Jakarta: 2797-2805
9. Aru W.S., et al.,2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing