Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

INDUKSI MATURASI PARU PADA TATALAKSANA BAYI PREMATUR

Oleh:

Diana Yuswanti Putri

Rina Auliya Wahdah

Trisha Anggraini

Dosen Pembimbing:

dr. Brigitta Ida Corebima, Sp. A(K)

PPDS Pembimbing:

dr. Hanna

LABORATORIUM SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2020
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 2
1.3 Tujuan................................................................................... 2
1.4 Manfaat ................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3
2.1 Etiologi.................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi.......................................................................... 4
2.3 Penyebaran Infeksi CMV....................................................... 5
2.4 Patogenesis.......................................................................... 8
2.5 Patologi................................................................................. 10
2.6 Manifestasi Klinis................................................................... 12
2.6.1 Infeksi CMV Kongenital................................................ 12
2.6.1.1 Infeksi Akut................................................................ 12
2.6.1.2 Penyulit Lanjut pada Infeksi CMV Kongenital............ 15
2.6.2 Infeksi CMV Perinatal................................................... 16
2.6.3 Infeksi CMV akibat Transfusi Darah dan Transplantasi Jaringan dan
Individu dengan Imunokompromais....................................... 17
2.7 Diagnosis ............................................................................. 17
2.7.1 Amniosentesis.............................................................. 19
2.7.2 Kultur Virus................................................................... 19
2.7.3 Polymerase Chain Reaction (PCR).............................. 20
2.7.4 Antigenemia.................................................................. 21
2.7.5 Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)............. 22
2.7.6 Pemeriksaan kombinasi................................................ 24
2.8 Diagnosis Banding................................................................ 27
2.9 Tatalaksana........................................................................... 29
2.10 Komplikasi dan Prognosis................................................... 32
2.11 Pencegahan........................................................................ 34
BAB 3 PENUTUP................................................................................... 36
3.1 Kesimpulan .......................................................................... 36
Daftar Pustaka ....................................................................................... 37

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap tahun, diperkirakan 15 juta bayi dilahirkan prematur (sebelum 37
minggu kehamilan lengkap), dan jumlah ini terus meningkat. Komplikasi kelahiran
prematur adalah penyebab utama kematian di kalangan anak di bawah usia 5 tahun.
Di 184 negara, tingkat kelahiran prematur berkisar dari 5% hingga 18% bayi yang
lahir. Bayi prematur didefinisikan sebagai bayi yang lahir hidup sebelum usia gestasi
37 minggu selesai (WHO, 2018).
Prematur merupakan penyebab utama kematian pada bayi usia kurang dari
satu tahun. Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah bayi prematur
terbanyak di dunia. Berbeda dengan bayi cukup bulan, pada bayi premature terdapat
ketidak matangan sistem organ tubuh yang menyebabkan bayi prematur berisiko
tinggi mengalami berbagai masalah kesehatan hingga kematian. Kejadian prematur
merupakan penyebab kematian kedua setelah pneumonia pada anak usia kurang
dari lima tahun, dan merupakan penyebab kematian utama pada bayi usia kurang
dari satu tahun (Howson et al., 2012).
Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa biasanya prematuritas
dan berat lahir rendah biasanya terjadi secara bersamaan, terutama diantara bayi
dengan berat 1500 gr atau kurang saat lahir. Keduanya berkaitan dengan terjadinya
peningkatan morbilitas dan mortalitas neonatus. WHO telah menyatakan bayi
dengan berat lahir rendah yaitu memiliki berat <2500 gram dan membagi menjadi 3
sub kategori kelahiran prematur berdasarkan usia yaitu extremely preterm (< 28
minggu), very preterm (28 - 32 minggu) , moderate to late preterm (32 - 37 minggu).
Menurut Riskesdas tahun 2010 dan 2013 dalam Konsensus Asuhan Nutirisi
pada Bayi Prematur, Indonesia merupakan negara kelima tertinggi di dunia dengan
jumlah kelahiran bayi prematur sekitar 675.700 per tahun. Menurut Riskesdas tahun
2010, jumlah kelahiran BBLR adalah 11,1% dan pada tahun 2013 adalah 10,2%,
dimana terdapat penurunan sedikit dibanding tahun 2010.
Berdasarkan temuan terbaru oleh The Lancet, komplikasi pada kelahiran
prematur menyumbang hampir 1,1 juta kematian dari 6,3 juta kematian balita. Dalam
penelitian tersebut disebutkan bahwa komplikasi langsung dari kelahiran prematur
menyumbang 965.000 kematian selama 28 hari pertama kehidupan anak, dan
125.000 kematian antara usia satu bulan hingga lima tahun (UN News Centre, 2014).
Salah satu komplikasi pada bayi premature dengan BBLR adalah respiratory
distress syndrome (RDS) atau penyakit membran hialin asfiksia karena faktor paru

1
2

yang belum matang yaitu surfaktan. Pada kondisi ini surfaktan yang melapisi
alveolus belum cukup, sehingga alveolus mudah kolaps dan bayi mengalami sesak
napas.
Pada neonatus dengan respiratory distress syndrome (RDS), surfaktan
eksogen menurunkan angka mortalitas dan berbagai bentuk kebocoran udara paru
sekitar 30-50%. Untuk mengurangi kejadian RDS semua ibu hamil dengan risiko
persalinan prematur <34 minggu harus mendapatkan steroid antenatal. Surfaktan
dapat diberikan dengan metode intubasi diikuti dengan penyapihan cepat, ekstubasi,
dan penggunaan CPAP atau metode intubasi diikuti ventilasi mekanik. Pemberian
terapi surfaktan idealnya dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas pemantauan
kardiorespirasi (Rohsiswatmo, 2013)
Prevalensi bayi prematur yang masih cukup tinggi serta meningkatnya bayi-
bayi prematur yang bertahan hidup menjadi tantangan tersendiri sehingga untuk
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan, serta meningkatkan kualitas
hidup bayi prematur. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk mengetahui induksi
maturasi paru atau surfaktan pada bayi prematur di Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah pemberian induksi maturasi paru dan surfaktan berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup pada bayi prematur dengan low birth weight ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah pemberian induksi maturasi paru dan surfaktan
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pada bayi prematur dengan low
birth weight
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Akademik
Referat ini dapat menjadi tambahan referensi tentang pemberian induksi
maturasi paru dan surfaktan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pada bayi
prematur dengan low birth weight.
1.4.2. Manfaat Praktis
Dapat menjadi masukan dalam upaya untuk menekan kejadian RDS bayi
baru lahir terutama pada bayi prematur dengan BBLR.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BAYI PREMATUR


2.1.1 Definisi

Definisi bayi prematur menurut WHO adalah bayi yang lahir sebelum usia gestasi 37
minggu. Penentuan usia gestasi tersebut berdasarkan New Ballard Score. Selanjutnya
berdasarkan usia gestasi, bayi dikelompokan sebagai beriku:
1) Extremely preterm (< 28 minggu) ,
2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu) ,
3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).
Prematuritas dan berat lahir rendah biasanya terjadi secara bersamaan, terutama
diantara bayi dengan berat 1500 gr atau kurang saat lahir. Keduanya berkaitan dengan
terjadinya peningkatan morbilitas dan mortalitas neonatus.

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sekitar 15 juta bayi lahir prematur di dunia setiap tahunnya dan jumlah
ini semakin meningkat. Dari 184 negara di dunia, prevalensi kelahiran prematur berkisar dari
5%-18% dari seluruh bayi yang lahir. Indonesia merupakan negara kelima tertinggi di dunia
dengan jumlah kelahiran bayi prematur sekitar 675.700 per tahun. Menurut Riskesdas tahun
2013, jumlah kelahiran BBLR tahun 2013 adalah 10,2%, mengalami penurunan sedikit
dibanding tahun 2010 sebesar 11,1%.
Sebanyak 8% kegagalan pertumbuhan pascanatal bayi prematur yang BBLSR terjadi
pada periode antara 40 minggu sampai 4 bulan, 28% terjadi pada periode 4-8 bulan, dan
12% terjadi >8-20 bulan serta menyebabkan fungsi motorik yang buruk pada usia 20 bulan.
Hambatan pertumbuhan ekstrauteri (berat badan, BB) berdasarkan umur gestasi dibawah
persentil 10) dijumpai pada 75% bayi prematur pada usia 28 hari. Bayi prematur secara
umum memiliki risiko untuk terjadi poor feeding, defisiensi nutrisi, dan hambatan
pertumbuhan.
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
a. Faktor Maternal
Toksemia, hipertensi, malnutrisi / penyakit kronik, misalnya diabetes mellitus
kelahiran premature ini berkaitan dengan adanya kondisi dimana uterus tidak mampu
untuk menahan fetus, misalnya pada pemisahan premature, pelepasan plasenta dan
infark dari plasenta.
1. Usia Ibu

3
Persalinan prematur meningkat pada usia <20 tahun dan >35 tahun. Berdasarkan
penelitian di Purwokerto tahun 2009 angka persalinan prematur pada usia <20 tahun
sebesar 30% sedangkan pada persalinan usia reproduksi (20-35 tahun) angka kejadian
prematur sebesar 10%, hal ini menunjukan ibu usia muda meningkatkan kejadian prematur
sebesar 38,8 kali lebih besar. Kehamilan usia muda lebih memungkinkan mengalami
penyulit pada masa kehamilan dan persalinan yaitu karena wanita muda sering memiliki
pengetahuan yang terbatas tentang kehamilan atau kurangnya informasi dalam mengakses
sistem pelayanan kesehatan. Pada usia ini juga belum cukup dicapainya kematangan fisik,
mental dan fungsi organ reproduksi dari calon ibu. Golongan primigravida muda dimasukkan
dalam golongan risiko tinggi, karena angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi pada
kehamilan remaja 2-4x lebih tinggi dibandingkan dengan usia reproduksi.
Persalinan prematur di usia >35 tahun sebesar 16,9% di Semarang tahun
2008. Pada usia ibu yang tua telah terjadi penurunan fungsi organ reproduksi,
penurunan fungsi ini akan mempengaruhi kesehatan baik ibu maupun janin yang
dikandungnya sehingga ibu dan bayi yang dikandungnya memiliki banyak hal yang
dapat mempersulit dan memperbesar risiko kehamilan.

2. Preeklampsia/Eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia 20 minggu kehamilan dan
disertai dengan proteinuria, sedangkan eklampsia adalah preeklampsia yang disertai
dengan kejang dan atau koma.Preeklampsia meningkatkan risiko terjadinya solusio
plasenta, persalinan prematur, Intrauterine Growth Retardation (IUGR), dan hipoksia akut.
Preeklampsia menyumbang sekitar 15% dari semua kelahiran prematur.
Preeklampsia/eklamspia didasari oleh beberapa teori, namun teori yang saat
ini paling banyak digunakan adalah teori iskemia plasenta, radikal bebas dan
disfungsi endotel. Berdasarkan teori ini terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”
sehingga menyebabkan plasenta mengalami iskemia dan terjadi disfungsi endotel.
Spasme pembuluh darah arteriola yang menuju organ penting dalam tubuh dapat
menyebabkan mengecilnya aliran darah yang menuju retroplasenta sehingga
mengakibatkan gangguan pertukaran CO2, O2 dan nutrisi pada janin. Hal ini
menyebabkan terjadinya vasospasme dan hipovolemia sehingga janin menjadi
hipoksia dan malnutrisi. Hipoksia menyebabkan plasenta mengtransfer kortisol
dengan kadar yang tinggi ke dalam sirkulasi janin. Konsentrasi kortisol yang tinggi
akan mensintesis prostaglandin yaitu protasiklin (PGE-2) yang menyebabkan
timbulnya kontraksi, perubahan pada serviks dan pecahnya kulit ketuban, sehingga
bayi sering terlahir prematur.

3
3. Penyakit Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler adalah sekelompok gangguan pada jantung dan pembuluh
darah. Penyakit jantung/kardiovaskular terjadi pada 0,5 - 3 % kehamilan, yang dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil di dunia. Masa kehamilan,
persalinan maupun pasca persalinan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang
membutuhkan penyesuaian dalam sistem kardiovaskular. Fisiologi hemodinamik mencapai
puncak pada akhir trimester kedua, pada masa ini perubahan hemodinamik dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinik pada jantung yang telah sakit sebelumnya.
Perubahan hormonal yaitu aktivasi estrogen oleh sistem renin-aldosteron menyebabkan
retensi air dan natrium yang akan meningkatkan volume darah ± 40%. Hal ini menyebabkan
peningkatan volume darah sebesar 1200-1600 ml lebih banyak dibanding dalam keadaan
tidak hamil.
Selama masa kehamilan curah jantung akan mengalami peningkatan 30-50%.
Perubahan curah jantung ini disebabkan karena peningkatan preload akibat bertambahnya
volume darah, penurunan afterload akibat menurunya resistesi vaskular sitemik, dan
peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat 10-20 kali/menit. Peningkatan curah jantung
dipengaruhi juga oleh isi sekuncup jantung yang meningkat 20-30% selama kehamilan.
Pada penyakit jantung yang disertai kehamilan, pertambahan denyut jantung dan volume
sekuncup jantung dapat menguras cadangan kekuatan jantung. Payah jantung akan
menyebabkan stres maternal sehingga terjadi pengaktifan aksis HPA yang akan
memproduksi kortisol dan prostaglandin, kemudian mencetuskan terjadinya persalinan
prematur.
New York Heart Association (NYHA) kelas III dan IV dengan aktivitas fisiknya
sangat terbatas, tidak dianjurkan untuk hamil. Jika kehamilan masih awal sebaiknya
diterminasi, dan jika kehamilan telah lanjut sebaiknya kehamilan diteruskan dengan
persalinan pervaginam dan kala II dipercepat serta kehamilan berikutnya dilarang.

4. Anemia
Anemia adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika tubuh menghasilkan terlalu
sedikit sel darah merah (SDM), penghancuran SDM berlebihan, atau kehilangan banyak
SDM. Angka kejadian anemia pada kehamilan berkisar 24,1% di Amerika dan 48,2% di Asia
Tenggara pada tahun 1993-2005.
Selama kehamilan, tubuh ibu mengalami mengalami banyak perubahan salah
satunya adalah hubungan antara suplai darah dengan respon tubuh. Seperti yang
telah dijelaskan pada subbab penyakit kardivaskular, total jumlah plasma pada

3
wanita hamil dan jumlah SDM meningkat dari kebutuhan awal, namun peningkatan
volume plasma lebih besar dibandingkan peningkatan massa SDM dan
menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar
O2 yang masuk ke dalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia
jaringan yang kemudian akan memproduksi kortisol dan prostaglandin, yang
mencetuskan terjadinya persalinan prematur pada ibu dengan anemia.

5. Hipotiroid
Penyakit tiroid adalah suatu kelainan yang menyerang glandula tiroid. Secara global,
hipotiroid yang terjadi pada kehamilan sebesar 0,2% kasus dan hipotiroid sub klinis 2,3%
kasus. Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada hormon tiroid ibu yang
melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu
kehamilan. Pada kehamilan 12 minggu pertama kadar hormon chorionic gonadotropin
(HCG) akan mencapai puncaknya dan kadar tiroksin bebas akan meningkat, sehingga
menekan kadar tirotropin. Namun, kadar hormon tiroid yang rendah pada hipotiroid
kehamilan akan memacu aksis HPA untuk memacu produksi TRH untuk memenuhi
kebutuhan hormon tiroid ibu dan janin. Pengaktifan aksis HPA ini yang dapat memacu
pelepasan kortisol kedalam darah sehingga memproduksi prostaglandin yang dapat
memacu terjadinya persalinan prematur.

b. Faktor Fetal
Kelainan Kromosomal (misalnya trisomi autosomal), fetus multi ganda, cidera
radiasi (Sacharin. 1996)

2.1.4 PATOFISIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya kelahiran prematur sebagai berikut :
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
2) Inflamasi/infeksi
3) Perdarahan plasenta
4) Peregangan berlebih pada uterus

Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada
primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun psikologi
menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan
mengakibatkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya
insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu

3
maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing
Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin,
reseptor oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), IL-8, cyclooksigenase-2, 9
dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan pembesaran kelenjar
adrenal.
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang
menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial
terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan
merangsang pelepasan CRH, merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan
DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab dalam sintesis uterotonin (prostaglandin
dan endotelin) yang menimbulkan kontraksi uterus. Sitokin juga berperan dalam
meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada serviks dan
pecahnya ketuban.
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta
dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi
miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor
pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi trombin
dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium.
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa
disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.

2.1.5 KARAKTERISTIK BAYI PREMATUR

o Ekstremitas tampak kurus dengan sedikit otot dan lemak sub kutan
o Kepala dan badan disporposional
o Kulit tipis dan keriput
o Tampak pembuluh darah di abdomen dan kulit kepala
o Lanugo pada extremitas, punggung dan bahu
o Telinga lunak dengan tulang rawan min dan mudah terlipat
o Labia dan clitoris tampak menonjol
o Sedikit lipatan pada telapak tangan & kaki

2.1.6 KOMPLIKASI

3
Komplikasi Umum Pada Bayi Prematur meliputi:
a. Sindrom Gawat Napas (RDS)
Tanda Klinisnya : Mendengkur, nafas cuping hidung, retraksi, sianosis,
peningkatan usaha nafas, hiperkarbia, asiobsis respiratorik, hipotensi dan syok
b. Displasin bronco pulmaner (BPD) dan Retinopati prematuritas (ROP)
Akibat terapi oksigen, seperti perporasi dan inflamasi nasal, trakea, dan faring.
(Whaley & Wong, 1995)
c. Duktus Arteriosus Paten (PDA)
d. Necrotizing Enterocolitas (NEC)
2.1.7 PENYAKIT MEMBRANA HIALIN
Penyakit membrana hialin adalah penyebab umum terjadinya gawat nafas
pada bayi prematur, berhubungan dengan imaturitas struktur dan fungsi dari paru.
Umumnya terjadi pada neonatus usia kehamilan 28-34 minggu. Etiologinya sendiri
adalah imaturitas dari sel alveolar tipe 2 yang memproduksi surfaktan.

2.4 Perkembangan dan Pematangan Paru


Perkembangan paru terdiri dari beberapa tahap. Tahapan awal meliputi fase
embrionik (hari ke 26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu
ke-16 kehamilan), yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu
kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar
(36 minggu sampai 24 bulan postnatal). Setelah lima tahapan perkembangan paru, paru
memasuki tahapan postnatal growth pada usia 2-18 tahun (Jobe, 2009).

Waktu (Minggu)
Embryonic 3 - 5 minggu
Pseudoglandular 5 - 16 minggu
Canalicular 16 - 26 minggu
Saccular 26 – 36 minggu
Alveolar 36 minggu – 2 tahun
Post Natal Growth 2 tahun – 18 tahun

Saat fase embrional, paru pertama kali muncul sebagai ventral bud yang
terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakeal. Celah bud paru dan
esofagus akan semakin dalam, diikuti bud dan mesenkim yang semakin panjang dan
terpisah membentuk calon bronkus. Pembelahan cepat membentuk 15 hingga 20
saluran udara di fase pseudoglandular. Saluran udara dilapisi oleh sel kuboid
selapis. Seiring perkembangan saluran udara, paru dan arteri juga berkembang. Di
akhir fase pseudoglandular, saluran udara, arteri dan vena sudah berkembang
membentuk pola yang sama dengan paru dewasa. Diafragma juga terbentuk dan
memisahkan rongga dada dan abdomen (Sherwood, 2010).
Pada minggu 17 hingga 26 kehamilan terjadi fase kanalikuler, yaitu paru yang
praviabel akan menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuan pertukaran
gas. Perubahan utama yang terjadi adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel
dengan pembentukan air-blood barrier dan sintesis surfaktan di sel tipe II dimulai.
Struktur asinus terdiri dari duktus alveolaris, bronkiolus respiratorius dan alveoli

3
rudimenter. Pada usia kehamilan 20 minggu, sel kuboid akan mulai membentuk
badan lamelar dalam sitoplasmanya yang menandakan produksi surfaktan. Badan
lamerar mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumosit tipe II dapat
ditemui dalam asinus tubulus (Sherwood, 2010).
Pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu, terjadi fase sakuler yaitu fase
saat paru janin dianggap viabel. Sakulus adalah struktur terminal dari paru janin yang
terdiri dari tiga proses pembentukan yaitu bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli. Pada
usia kehamilan 32 hingga 36 minggu, alveolarisasi dimulai dari sakulus terminalis
dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan kolagen.
Septa alveolar sekunder terbentuk dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah
lahir (Sherwood, 2010).
2.5 Induksi Maturasi Paru
Bayi lahir preterm rentan mengalami respiratory distress syndrome (RDS),
yang memiliki hubungan dengan pematangan paru janin. Imaturitas struktur dan
fungsi paru akan mengurangi produksi surfaktan oleh sel alveolar tipe II sehingga
terjadi defisiensi surfaktan dan menyebabkan RDS (Rembulan dan Sari, 2017).
Bayi preterm juga bisa mengalami bronchopulmonary dysplasia (BPD)
dengan ciri takipnea, sesak dan batuk. Kondisi ini muncul ketika bayi preterm
menggunakan ventilator mekanik sehingga lama-kelamaan mengakibatkan paru bayi
mengalami inflamasi hingga terjadi displasia bronkopulmoner (The European
Foundation for the Care of Newborn Infants)
2.5.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
Kortikosteroid dapat dibagi menjadi glukokortikoid dan mineralkortioid, yang terlibat dalam
berbagai proses fisiologis tubuh termasuk inflamasi, metabolisme, imunitas dan regulasi
elektrolit. Kortikosteroid mempunyai mekanisme yaitu menginduksi enzim lipogenik untuk
proses sintesis fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi
fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan protein surfaktan.
Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan kemampuan dan volume
maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan pembersihan cairan
paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki fungsi respirasi, serta memperbaiki respon
paru terhadap pemberian terapi surfaktan post natal.
2.5.1.1 Pemberian Kortikosteroid pada Bayi Preterm
Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek berupa
peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat
maturitas paru. Pemberian kortikosteroid antenatal terhadap fungsi paru neonatus terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu memicu maturasi arsitektur paru dan menginduksi enzim paru
secara biokimia.
Deksametason dan betametason merupakan long acting glucocorticoids dimana
keduanya mampu menembus plasenta dalam bentuk aktif (Roberts dan Dalziel, 2006).
Betametason tersedia dalam bentuk betamethasone sodium phosphate solution dengan
waktu paruh 36-72 jam dan betamethasone acetate suspension dengan waktu paruh relatif
lebih lama. Secara umum, deksametason tersedia dalam bentuk deksametason sodium
phosphate solution dengan waktu paruh 36-72 jam (Katzung, 2004). Betametason dan
deksametason adalah kortikosteroid antenatal yang digunakan untuk respiratory distress
syndrome (RDS). Suatu penelitian telah dilakukan untuk menganalisis penggunaan
deksametason dengan dosis lebih rendah dalam mempercepat maturitas paru janin (Faizah
et al., 2015).
Review oleh Cochrane terhadap 21 penelitian (melibatkan 3885 wanita dan
4269 bayi) menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid antenatal menurunkan

3
risiko kematian bayi sebesar 31%, RDS 44% dan intraventricular haemorrhage
sebesar 46%. Kortikosteroid antenatal juga berhubungan dengan penurunan
kejadian necrotizing enterocolitis, kebutuhan alat bantu pernapasan, perawatan
intensif dan infeksi sistemik dalam 48 jam pertama kehidupan dibandingkan dengan
kelompok pasien tanpa terapi atau plasebo. Tidak didapatkan adanya efek samping
dari pemberian kortikosteroid antenatal ini (Mwansa-Kambafwile, 2010).
Percobaan awal menggunakan kortikosteroid deksametason postnatal menunjukkan
perbaikan fungsi paru pada bayi dengan BPD. Dalam percobaan randomized control trial
(RCT), deksametason diadministrasikan kepada 6 bayi preterm dengan BPD pada usia
gestaasi 27-33 minggu (Baud et al., 2016). Hasil penelitian menununjukkan bahwa
deksametason meningkatkan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik (Jobe, 2009).
Penelitian terbaru dengan RCT menunjukkan hubungan antara kortikosteroid postnatal dan
peningkatan fungsi paru-paru serta mengurangi ketergantungan ventilasi mekanik.
Profilaksis hidrokortison dosis rendah pada bayi <28 minggu terbukti mengurangi risiko BPD
(Baud et al., 2016).
2.5.1.2 Efek Samping Pemberian Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil tidak memiliki efek samping untuk bayi
yang dilahirkan. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang jelas dalam
pertumbuhan dan perkembangan bayi preterm ke masa dewasa. Efek samping jangka
panjang juga tidak ditemukan.
2.5.2 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu senyawa percampuran yang mampu
menurunkan tegangan permukaan (atau tegangan antarpermukaan) antara dua zat
cair atau antara zat cair dengan zat padat. Pada manusia, surfaktan adalah senyawa
lipoprotein dengan komposisi yang kompleks. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid
(hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoylphosphatidycholine (DPPC) atau lesitin, dan
protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian) (Sherwood, 2010).
Sintesis surfaktan dimulai kira-kira pada minggu ke 16-24 kehamilan. Sintesis
surfaktan terjadi di dalam retikulum endoplasma dari sel pneumosit tipe II dengan
substrat dasar glukosa fosfat dan asam lemak (Golde et al., 2007). Produksi
surfaktan pada janin dikendalikan oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang berada
pada sel alveolus tipe II. Produksi surfaktan lebih diini disebabkan oleh peningkatan
kortisol janin karena stres atau karena pengobatan bethamethasone atau
deksamethasone pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi
surfaktan atau kehamilan preterm 24-34 minggu (Kotecha, 2000).
2.5.2.1 Fungsi Fisiologis Surfaktan
Fungsi fisiologis surfaktan pada paru bayi preterm antara lain:
1. Menurunkan tegangan permukaan paru
Surfaktan merupakan zat aktif yang memberikan penurunan tegangan
permukaan paru. Adanya ketidakseimbangan distribusi gaya molekul air di
permukaan udara-cairan menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi. Surfaktan
membantu menurunkan tegangan permukaan agar alveolus tidak kolaps dan
menjaga cairan interstitial agar tidak menggenangi alveolus (Bailey et al., 2005).
2. Sebagai pertahanan paru
Untuk memfasilitasi pertukaran gas, paru-paru mengandung area permukaan
tipis yang terus-menerus terpapar oleh bahan infeksius. Surfaktan dibutuhkan
sebagai pertahanan untuk mencegah inflamasi kronis dan untuk membersihkan
material yang dihirup. Komponen penting yang berperan yaitu protein surfaktan-A
dan protein surfaktan-D. Menurut beberapa penelitian, protein-protein tersebut
merangsang fagositosis makrofag, merubah sel-sel yang berperan dalam proses

3
inflamasi, mempengaruhi produksi oksigen reaktif dan meregulasi sitokin yang
dilepaskan oleh sel-sel inflamasi (Suresh & Soll., 2006).
3. Mempertahankan stabilitas alveoli
Surfaktan berfungsi untuk mempertahankan bentuk alveoli. Struktur alveoli
ditentukan oleh bentuk dan elastisitas dinding alveoli lain yang saling bersinggungan
(Sherwood, 2010). Alveoli yang kolaps menyebabkan alveoli sekitarnya teregang (Mwansa-
Kambafwile et al., 2010).
2.5.2.2 Jenis Surfaktan
Surfaktan memiliki beberapa jenis antara lain:
1. Surfaktan Alami
Surfaktan alami diperoleh dari paru sapi atau babi yang dipurifikasi dengan pelarut
organik sehingga protein hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-A) dan surfaktan protein-D
(SP-D) akan terbuang, sehingga menyisakan protein yang mengandung lipid dan sejumlah
kecil protein hidrofobik yaitu SP-B dan SP-C. Surfaktan alami memiliki onset kerja cepat
dibandingkan dengan surfaktan sintetis. Surfaktan alami memiliki kemampuan untuk
menurunkan FiO2 dan menurunkan tekanan ventilator. Kekurangan surfaktan alami yaitu
harus disimpan dalam kondisi beku.
2. Surfaktan Sintetis
Surfaktan sintetis pertama kali diproduksi tahun 1980. Surfaktan ini mengandung
dipalmitoiylphosphatidylcholine (DPPC) sebagai zat permukaan aktif utama dan campuran
berbagai fosfolipid permukaan aktif dan zat spreading. Surfaktan sintetis tidak perlu
disimpan dalam beku, hanya pada suhu di bawah 30°C di tempat yang kering.
2.5.2.3 Pemberian Surfaktan pada Bayi Preterm
Penurunan surfaktan menyebabkan peningkatan usaha napas untuk ekspansi paru
pada setiap napas dan meningkatkan kemungkinan kolaps alveolar pada akhir ekspirasi
(Gallacher et al., 2016). Adanya defisiensi surfaktan menyebabkan respiratory distress
syndrome (RDS), yaitu distres pernapasan tersering pada bayi preterm (50,89%) (Gornella
et al., 2013). Banyak penelitian membuktikan terapi surfaktan profilaksis ataupun terapeutik
dapat mengurangi risiko pneumotoraks dan kematian neonatal pada bayi dengan risiko RDS
(Sweet et al., 2013). Kandraju, et al, membandingkan pemberian surfaktan profilaksis dan
selektif, dan menyimpulkan bahwa pemberian surfaktan rutin secara dini pada 2 jam
pertama kehidupan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik secara signifikan (16,2 vs
31,6%) (Kandraju et al., 2013). Sebuah metaanalisis menyimpulkan bahwa pemberian
surfaktan profilaksis tidak lebih baik dibandingkan CPAP diikuti pemberian surfaktan selektif
dalam mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik, pneumotoraks, dan BPD, atau mortalitas di
era pemberian kortikosteroid antenatal dan CPAP (Rojas et al., 2009).
American Association of Pediatrics merekomendasikan pemberian CPAP segera
setelah lahir dengan pemberian surfaktan selektif sebagai terapi alternatif (American
Association of Pediatrics, 2014). Teknik lain yang saat ini sedang dikembangkan adalah
minimally invasive surfactant administration (MIST) dengan cara memasukkan kateter ke
dalam trakea bayi yang mendapat CPAP. Kanmaz, et al, membandingkan teknik Take-Care
procedure (memasukkan kateter lunak 3 cm dengan laringoskop Millar 00 ke dalam trakea)
dengan teknik INSURE; disimpulkan bahwa dengan teknik tersebut memiliki keunggulan
antara lain durasi penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat dan kejadian BPD lebih
rendah secara bermakna. Hal ini karena ventilasi manual sebelum intubasi dapat
mengakibatkan cedera paru dan mengurangi efek surfaktan. Dengan teknik tersebut, bayi
dapat mempertahankan pola pernapasan yang sama (Kanmaz et al., 2013).
Alternatif pemberian surfaktan yang saat ini sering digunakan adalah dengan teknik
INSURE (intubation-surfactant-extubation) dilanjutkan dengan CPAP. Penelitian terhadap
242 neonatus yang diberi surfaktan dengan teknik INSURE, 74% berhasil dan kebutuhan

3
ventilasi mekanik dapat dieliminasi. Keberhasilan INSURE ditentukan oleh jenis persalinan,
berat badan bayi, usia gestasi, dan jumlah bayi yang lahir (Naseh dan Yekta, 2014).

3
BAB 3
KESIMPULAN

4
DAFTAR PUSTAKA

Sherwood L. Human physiology : from cells to system. United States: Brooks Cole; 2010.
hlm. 461-511
Golde GD, Barbara JS. Respriatory Tract Disorder. In: Klegman RM, Behrman RE, Jenson
HB. Nelson TextBook of Pediatrics. 18th edition. Philadelphia: Saunders; 2007. p.731-740
Kotecha S. Lung growth: implications for the newborn infant. Arch Dis Child Fetal Neonatal.
2000; 82(1):69–74.
Bailey TC, Veldhuizen R. The Physiological Significance of a Dysfunctional Lung surfactant.
In: Lenfant C. Lung Surfactant Function and Disorder. Vol 201. Taylor & Francis Group ,
2005.p. 263-270.
Suresh GK, Soll RF. Pharmacologic Andjuncts II, Exogenous Surfactants. In: oldsmith JP,
Karotkin EH, editors. Assisted Ventilation of The Neonate. 4th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006. p. 329-343
Mwansa-Kambafwile J, Cousens S, Hansen T, Lawn JE. Antenatal cortiocosteroids in
preterm labour for the prevention of neonatal deaths due to complications of preterm birth.
Int J Epidemiol. 2010; 39(1):22-33.
Jobe AH. Fetal lung development and surfactant. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
hlm. 193-205.
Jobe AH. Lung development and maturation. United States: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 407-
18
Tschanz SA, Damke BM, Burri PH. (1995) Influence of postnatally administered
glucocorticoids on rat lung growth. Biol Neonate 68:229–245
Baud O, Maury L, Lebail F, Ramful D, El Moussawi F, Nicaise C, Zupan-Simunek V, Coursol
A, Beuchée A, Bolot P, Andrini P, Mohamed D, Alberti C, PREMILOC trial study group.
Lancet. 2016 Apr 30; 387(10030):1827-36.

Roberts D, Dalziel S. Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung maturation for
women at risk of preterm birth. Cochrane Database Syst Rev. 2006; 3(4):44-5.

Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. New York: McGraw Hill; 2004. hlm. 641-60.

Faizah RN, Yahya M, Yulistiani, Abadi A. Deksametason study for prenatal lung maturation
on lecithin/sphingomyelin ratio in women at risk of preterm birth. Folia Medica Indonesiana.
2015; 51(1): 45-52.

Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology; Management, procedures, on-call
problems, diseases and drugs. 7th ed. United States: Mc Graw Hill Education;

2013.

Gallacher DJ, Hart K, Kotecha S. Common respiratory conditions of the newborn. Breathe
2016;12:30-42.

Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. European consensus
guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants
– 2013 Update. Neonatology 2013;103:353-68

5
Kandraju H, Murki S, Subramanian S, Gaddam P, Deorari A, Kumar P. Early routine versus
late selective surfactant in preterm neonates with respiratory distress syndrome on nasal
continuous positive airway pressure: A randomized controlled trial. Neonatology
2013;103:148-54

Rojas MA, Lozano JM, Rojas MX, Laughon M, Bose CL, Rondon MA, et al. Very early
surfactant without mandatory ventilation in premature infants treated with early
continuous positive airway pressure: A randomized controlled trial. Pediatrics
2009;123(1):137–42

Committee on Fetus And Newborn. From The American Academy of Pediatrics: Repiratory
support in preterm infants at birth. Pediatrics 2014;133(1):171-4.

Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat E, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant administration via thin
catheter during spontaneous breathing: Randomized controlled trial.
Pediatrics 2013;131(2):502-9.

Naseh A, Yekta BG. INSURE method (INtubation-SURfactant-Extubation) in early and late


premature neonates with respiratory distress: Factors affecting the
outcome and survival rate. The Turkish Journal of Pediatrics 2014;56:232-7

World Health Organization. Born too soon. The Global Action Report on Preterm Birth. 2012.

Blencowe H, Cousens S, Oestergaard M, Chou D, Moller AB, Narwal R, dkk. National,


regional and worldwide estimates of preterm birth. Lancet. 2012;379:2162-72.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

Sices L, Wilson-Costello D, Minich N, Friedman H, Hack M. Postdischarge growth failure


among extremely low birth weight infants: Correlates and consequences. Paediatr Child
Health. 2007;12:22–8.

Anda mungkin juga menyukai