Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN JUNI 2018

PERSALINAN PRETERM

DISUSUN OLEH:

Nur Baeti
C111 12 071

PEMBIMBING RESIDEN :
dr. Risna Pasaribu

PEMBIMBING SUPERVISOR :
dr. Hasnawaty, Sp.OG.(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
BAGIAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nur Baeti


NIM : C111 12 071
Judul refarat : Persalinan Preterm

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Obstetrik dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juni 2018


Mengetahui,

PEMBIMBING SUPERVISOR PEMBIMBING RESIDEN

dr. Hasnawaty, Sp.OG.(K) dr. Risna Pasaribu

2
DAFTAR ISI

Hal
LEMBAR PENGESAHAN……………………...…………………………2
DAFTAR ISI………….…………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN……………………...……………………….….4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………..6
A. Definisi…………………………………………………………...6
B. Epidemiologi……………………………………………………..6
C. Klasifikasi………………………………………………………...7
D. Etiologi…………………………………………………………...8
E. Faktor Resiko…………………………………………………….15
F. Patofisiologi………………………………………………………19
G. Diagnosis…………………………………………………………22
H. Penatalaksanaa……………………………………………………26
I. Pencegahan………………………………………………………...33
BAB III KESIMPULAN…………………………….……………………..34
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….35

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sampai saat ini mortalitas dan morbiditas neonatus pada bayi preterm /
prematur masih sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan maturitas organ pada bayi
lahir seperti paru, otak, dan gastrointestinal. Pendekatan obstetrik yang baik
terhadap persalinan preterm akan memberikan harapan terhadap ketahanan hidup
dan kualitas hidup bayi preterm. Di beberapa negara maju, angka kematian
neonatal pada persalinan prematur menunjukkan penurunan, umumnya
disebabkan oleh meningkatnya peranan Neonatal Intensive Care dan akses yang
lebih baik dari pelayanan ini.1

Persalinan preterm didefinisikan sebagai kelahiran sebelum usia gestasi 37+0,


ini sebuah inti masalah dalam obsetri dan merupakan salah satu factor resiko
morbiditas dan mortalitas pada perinatal. (Ekkehard Schleuβner, 2013) Sekitar
75% kematian perinatal disebabkann oleh kurang bulan. Bayi kurang bulan,
terutama dengan usia kehamilan <32 minggu, mempunyai resiko kematian 70
kali lebih tinggi karena kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar
Rahim akibat ketidakmatangan system organ seperti paru-paru, janutng; gunjal
dan hati. Kematian janin sering disebabkan oleh sindrom gawat nafas (respiratory
distress syndrome-RDS), perdarahan intraventrikuler, dysplasia bronkopulmoner,
sepsis dan enterokolitis nekrotikans.2

Persalinan preterm spontan terjadi sebanyak 40-50% pada persalinan preterm,


dan sisanya 25-40% diakibatkan oleh ketuban pecah dini preterm (PPROM) dan
20-25% persalinan preterm atas indikasi obstetrik.1

Persalinan prematur adalah suatu kedaan darurat dalam bidang obsetri dan
ancaman bagi kesehatan penduduk. 75% kematian bayi berhubungan dengan
persalinan premature. Persalinan prematur tidak hanya menobulkan tekanan
finansial dan emosioanl pada keluarga tetapi juga dapat menyebabkan kecatatan
permanen (kerusakan fisik atau neurologis) pada bayi. Sekitar sepertiga dari

4
korban persalinan premature menderita cacat neurologis jangka panjang, seperti
cerebral palsy atau keterbelakangan mental. Selama dua dekade terakhir, angka
kelahiran premature tetap tidak berubah atau bahkan meningkat di sebagian besar
Negara, meskipun peningkatan pemahaman faktor-faktor resiko yang mungkin
dan mekanisme patologis telah dimengerti. Meskipun secara global angka
kematian neonatal telah turun antara tahunn 1990 dan 2009, jumlah absolut dan
tingkat kelahiran premature telah meningkat selama periode ini.3

WHO (2012) pada laporannya yang berjudul Born too soon mengungkapkan
bahwa setiap tahunnya diperkirakan 15 juta bayi dilahirkan secara preterm dan
angka ini terus meningkat. Dari semua jumlah tersebut, 1 juta bayi meninggal
pertahun dari komplikasi persalinan preterm. Pada laporannya, WHO juga
menuliskan bawa Indonesia masuk dalam 11 besar (peringkat ke 9) negara dengan
tingkat persalinan preterm lebih dari 15% kelahiran dan 10 besar (peringkat ke 5)
penyumbang 60% persalinan preterm di dunia dengan angka kelahiran preterm
15,5/100 kelahiran hidup.4

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG


2016), persalinan preterm didefiniskan sebagai adanya kontraksi uterus yang
mengakibatkan perubahan pada serviks yang dimulai sebelum usia kehamilan 37
minggu. Perubahan ini termasuk penipisan pada serviks termasuklah effacement
(penipisan serviks) dan dilatasi.5

Definisi persalinan preterm menurut WHO adalah persalinan yang terjadi


antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu, dihitung dari
hari pertama haid terakhir pada siklus 28 hari.2

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6 – 10 %..

Hanya 1.5 % persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan
0,5% pada kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok ini merupakan dua per tiga
dari kematian neonatal. Kesulitan utama dalam persalinan preterm ialah
perawatan bayi preterm, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar
morbiditas dan mortalitas. Penelitian menunjukkan bahwa umur kehamilan dan
berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian prenatal.1

Pada tahun 2013, tingkat kelahiran premature di Jerman, Brasil dan Amerika
Serikat masing-masing adalah 8,7%, 10,7% dan 12 %. Tetapi sebagian besar yaitu
85% kelahiran prematur terjadi di Asia dan Afrika, di mana karena system
kesehatan yang tidak memadai. Insiden persalinan premature di Iran adalah 7,2%,
di Tehran 5,5% dan di Shiraz 8,4%. Meskipun dalam banyak kasus kelahiran
prematur terjadi oleh karena idopatik, janin, uterine dan faktor plasenta serta
penyakit kronis ibu dapat mempengaruhi kelahiran premature. Di Amerika Serikat
70% kelahiran premature adalah karena idiopatik dan sisanya karena preeklamsia
(50%), gawat janin (25%) dan abrupsi (25%). Dalam penelitian lain, kehamilan

6
multifetal premature dan hipertensi dimasukkan sebagai faktor utama yang
mempengaruhi kelahiran premature.3

Dibeberapa negara maju, angka kematian neonatal pada persalinan prematur


menunjukkan penurunan, yang umumnya disebabkan oleh meningkatnya peranan
neonatal intensive care dan akses yang lebih baik dari pelayanan ini. Di Amerika
Serikat bahkan menunjukkan kemajuan yang dramatis berkaitan dengan
meningkatnya umur kehamilan, dengan 50% neonatus selamat pada persalinan
usia kehamilan 25 minggu, dan lebih dari 90% pada usia 28 – 29 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa teknologi dapat berperan banyak dalam keberhasilan
persalinan bayi preterm.1

C. KLASIFIKASI

6/7
Bayi yang lahir sebelum 33 minggu adalah preterm awal (early preterm),
bayi yang lahir diantara minggu ke 34 hingga minggu ke 36 disebut sebagai
preterm lambat (late preterm).6

Menurut observasi dari Spong (2013), “terlihat bahwa bayi yang lahir
diantara minggu ke 37 hingga 38 minggu 6 hari mengalami morbiditas terkait
prematuritas berbanding kelahiran pada minggu ke 39 hingga 40 minggu 6 hari
yaitu mortalitas bayi adalah lebih rendah berbanding waktu lain pada usia gestasi
manusia. Kelahiran pada minggu ke 37 0/7 hingga minggu ke 38 sekarang dikenali
sebagai awal term (early term) dan kelahiran pada minggu ke 39 hingga 40
minggu 6 hari dikenali sebagai term.6

Menurut WHO, kelahiran preterm terbagi menurut usia gestasi;4

 < 28 minggu ; preterm ekstrim (extreme preterm),


 28 minggu hingga <32 minggu ; sangat preterm (very preterm)
 32 hingga <37 minggu ; moderat hingga preterm lambat (moderate to
late preterm).

7
Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi:2

1. Idiopatik/Spontan
Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu
digolongkan pada kelompok idiopatik. Sekitar 12,5% persalinan preterm
spontan didahuli oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar
disebabkan factor infeksi (korioamnionitis).
2. Iatrogenik/Elektif
Persalinan preterm buatan/iatrogenik disebut juga sebagai elective
preterm.

Menurut usia kehamilan persalinan preterm diklasifikan dalam:2


1. Preterm/kurang bulan:
Usia kehamilan 32 – 36 minggu
2. Very preterm/sangat kurang bulan:
Usia kehamilan 28 – 32 minggu
3. Extremely preterm/ekstrim kurang bulan:
Usia kehamilan 20 – 27 minggu

Menurut berat badan lahir, bayi kurang bulan dibagi dalam kelompok:2
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir antara
1500 gram sampai dengan 2500 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat lahir
antara 1000 gram sampai kurang dari 1500 gram.
3. Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) adalah bayi dengan
berat lahir kurang dari 1000 gram.

D. ETIOLOGI

Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial.


Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya resiko tunggal
yang dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma.

8
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang
merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi
rahim dan perubahan serviks.1

Terdapat empat penyebab lansung untuk persalinan preterm di Amerika


Serikat. Ini termasuk ; (1) persalinan preterm spontan yang tidak bisa dijelaskan,
(2) ketuban pecah dini idiopatik ( preterm premature rupture of membranes/
PPROM), (3) persalinan untuk indikasi maternal atau fetal, dan (4) kembar dan
higher order multifetal births. Dari semua persalinan preterm, 30 – 35 % adalah
indikasi, 40 – 45 % adalah spontan, dan 30 – 35 % terjadi setelah ketuban pecah
dini. Penyebab dari persalinan preterm adalah multipel, dan mempunyai faktor
yang berkontribusi.6

Distensi Uterus

Distensi uterus dini dapat menginisiasi ekresi dari protein terkait dengan
kontraksi (contraction – associated proteins / CAPs) pada miometrium. Gen CAP
yang dipengaruhi oleh teregangnya uterus termasuk koding untuk protein gap
junction seperti connexin 43, untuk reseptor oksitoksin, dan untuk prostaglandin
synthase. Laporan terbaru mengatakan bahwa gastrin – releasing peptides (GRPs)
meningkat dengan regangan untuk kontraktilitas myometrium dan antagonis dari
GRP mampu menginhibisi kontraktilitas uterus.6

Terdapat juga strectch induced potassium channel TREK-1, yang meningkat


ketika gestasi dan menurun ketika persalinan. Pola ini konsisten dengan fungsi
potensial dalam relaksasi uterus ketika kehamilan. Ketika TREK – 1 dan faktor
regulasi yang lain masih perlu di validasi, adalah jelas bahwa regangan uterus
yang berlebihan menyebabkan kehilangan prematur dari ketenangan
miometrium.6

Regangan uterus yang berlebihan juga menyebabkan aktivasi dini dari


kaskade endokrin plasenta-fetal. (p.425) Peningkatan dini dari corticotropin
releasing hormone maternal dan tingkat estrogen akan lebih menambah gen
ekspresi CAP pada miometrium. Regangan uterus akan mempengaruhi serviks.
Sebagai contoh, panjang serviks adalah resiko penting untuk persalinan preterm

9
pada kehamilan multifetal. Regangan yang dini yang meningkat dan aktivitas
endokrin mungkin menginisiasi pematangan serviks prematur.6

Stress maternal-fetal

Stress didefinisikan sebagai kondisi yang mengganggu fisiologi normal atau


fungsi fisiologikal dari seorang individu. Namun, kompleksitas untuk mengukur
stress masih sulit. Dikatakan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk
menunjukkan korelasi diantara stress maternal dan persalinan preterm. Ditambah
juga, terdapat korelasi antara stress fisiologikal maternal dan aksis endokrin
placental – adrenal yang menyediakan mekanisme potensial untuk persalinan
preterm oleh karna stress.6

Trimester ketiga ditandai dengan peningkatan serum maternal yaitu placental


derived corticotropin releasing hormone (CRH). Hormon ini bekerja dengan
hormon adrenocorticotropik (ACTH) untuk meningkatkan produksi steroid
adrenal maternal dan fetal, termasuk juga inisiasi biosintesis kortisol fetal.
Peningkatan kortisol maternal dan fetal meningkatkan sekresi CRH plasenta,
dimana ini akan mengembangkan feed-forward kaskade endokrin yang tidak
berhenti sehingga terjadi persalinan. Peningkatan CRH seterusnya akan
menstimulasi biosintesis fetal adrenal dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S)
dimana ini bertindak sebagai substrat untuk meningkatkan estrogen maternal,
yaitu estriol.6

Hipotesis telah ditegakkan bahwa peningkatan dini kortisol dan estrogen


menyebabkan kehilangan dini ketegangan uterus. Persalinan preterm spontan
dikaitkan dengan peningkatan dini tingkat CRH maternal dan pengenalan CRH
bisa menjadi biomarker yang berguna untuk resiko persalinan preterm. Oleh
karena terdapat variasi yang cukup besar pada tingkat CRH pada ibu hamil, maka
mengukur hanya tingkat CRH mempunyai sensitivitas yang rendah. (Leung,
2001) Kadar peningkatan CRH maternal adalah prediktor lebih akurat untuk
persalinan preterm.6

10
Jika persalinan preterm adalah terkait dengan aktivasi dini dari kaskade
endokrin fetal-adrenal-placental, tingkat estrogen maternal juga akan
meningkatkan prematur. Peningkatan dini konsentrasi estriol serum telah
didapatkan pada wanita hamil dengan persalinan preterm sebelumnya. Secara
fisiologis peningkatan prematur estrogen bisa mengubah ketenangan miometrium
dan mempercepat pematangan serviks. Studi – studi ini mendapatkan bahwa
persalinan preterm, pada banyak kasus, berkait dengan respons stress biologis
maternal – fetal.6

Stresor yang mengaktivasi kaskade ini adalah banyak, dan respons stress
adalah tergantung dari stresor itu sendiri. Sebagai contoh, CRH atau tingkat estriol
meningkat secara prematur pada persalinan preterm karena infeksi dan kehamilan
multifetal namun tidak pada wanita hamil yang merasakan stress. Stress
psikologikal yang kronik yang sebagai contoh diakibatkan oleh diskriminasi ras,
bisa menyebabkan kerusakan kompetensi imun tingkat seluler.6

Infeksi

Data menunjukkan bahwa invasi mikrobial dari traktus reproduksi adalah


mencukupi untuk menyebabkan persalinan preterm yang dimediasi oleh infeksi,
lebih spesifik lagi, terdapat perlansungan infeksi subklinis. Bagaimanapun,
mikroorganism tidak selalunya ada pada cairan ketuban pada ibu hamil dengan
persalinan preterm, dan kultur positif hanya mendapatkan 10 – 40 %. Kelompok
minoritas dengan cairan ketuban yang mempunyai bakteri ini adalah lebih
mungkin terjadi korioamnionitis klinis dan ketuban pecah dini berbanding wanita
hamil dengan kultur steril. Neonatus pada kelompok ini juga lebih mungkin
mengalami komplikasi. Lebih awal onset terjadinya persalinan preterm, lebih
besar kemungkinan infeksi.6

Telah dikatakan bahwa ketika kehamilan aterm, cairan ketuban akan


diinfiltrasi oleh bakteri sebagai akibat dari persalinan, namun pada persalinan
preterm, bakteri menunjukkan penyebab penting persalinan.6

11
Patensi dari traktus reproduksi wanita, adalah penting untuk kehamilan dan
persalinan, secara teori adalah bermasalah ketika kala 1 dari persalinan. Telah
dikatakan bahwa bakteri bisa mengakses jaringan intrauterin melalui ; (1) transfer
transplacental dari infeksi sistemik ibu, (2) alur retrograd dari infeksi ke cavum
peritoneum melalui tuba fallopi atau (3) infeksi ascending dengan bakteri dari
vagina dan serviks.6

Pole bawah dari fetal membrane-decidual junction adalah berdekatan dengan


orificium kanalis servikalis, dimana ia paten terhadap vagina. Pengaturan secara
anatomi ini menyediakan jalur untuk mikroorganisme, dan infeksi ascending
adalah yang tersering. Deskripsi terhadap derajat infeksi intrauterin telah
dihasilkan oleh Goncalves dan kawan kawan (2002). Mereka mengkategorikan
infeksi intrauterin kepada 4 tahap dari invasi mikrobial termasuklah vaginosis
bakteri – tahap 1, infeksi desidua – tahap 2, infeksi amnion – tahap 3, dan
terakhir, infeksi sistemik fetal – tahap 4.6

Ketuban Pecah Dini

Istilah ini mendefinisikan pecahnya ketuban secara spontan sebelum 37


minggu selesai dan sebelum onset kerja (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2013). Pecahnya kemungkinan besar memiliki berbagai penyebab,
namun infeksi intrauterin diyakini oleh banyak orang sebagai peristiwa
predisposisi utama. Ada faktor risiko terkait yang meliputi status sosioekonomi
rendah, indeks massa tubuh "19,8, kekurangan gizi, dan merokok. Wanita dengan
ketuban prematur dini sebelumnya (PPROM) berisiko tinggi mengalami
kekambuhan selama kehamilan berikutnya.6

Patogenesis membran preterm ruptur berhubungan dengan peningkatan


apoptosis komponen seluler membran dan peningkatan kadar protease spesifik
pada membran dan cairan ketuban. Kekuatan tarik membran yang paling banyak
disediakan oleh matriks ekstraseluler amnionik dan kolagen amnion interstisial -
terutama tipe I dan III - yang diproduksi dalam sel mesenkim. Peningkatan kadar

12
prostaglandin meningkatkan pematangan serviks dan kontraksi rahim.6

Pada kehamilan dengan PPROM, amnion menunjukkan tingkat kematian sel


yang lebih tinggi dan lebih banyak tanda apoptosis daripada pada amnion pada
kehamilan aterm. Studi in vitro menunjukkan bahwa apoptosis kemungkinan
diatur oleh endotoksin bakteri, IL-1, dan TNF- <. Secara keseluruhan, pengamatan
ini menunjukkan bahwa banyak kasus PPROM diakibatkan oleh degradasi
kolagen, perakitan kolagen yang berubah, dan kematian sel, yang semuanya
menyebabkan amnion yang lemah.6

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memastikan kejadian ruptur


membran yang diinduksi oleh infeksi. Kultur bakteri cairan amnion mendukung
peran infeksi dalam proporsi yang signifikan. Sebuah tinjauan terhadap 18
penelitian yang terdiri dari hampir 1500 wanita dengan PPROM menemukan
bahwa pada sepertiga, bakteri diisolasi dari cairan amnion.

Secara keseluruhan, ada bukti kuat bahwa infeksi menyebabkan proporsi


kasus PPROM yang signifikan. Respon inflamasi yang menyebabkan pelemahan
membran saat ini sedang didefinisikan. Penelitian difokuskan pada mediator
proses ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi penanda risiko dini untuk
PPROM.6

Kehamilan Multifel

Kembar dan kelahiran multifel merupakan penyebab yang lebih tinggi yaitu 3%
bayi yang lahir di Amerika Serikat. Mayoritas 95% dari kelahiran adalah bayi
kembar. Dibandingkan dengan tahun 1980, tingkat kelahiran kembar terus
meningkat dan memuncak pada tahun 1998. Tingkat sekarang telah menurun
sejak saat itu, tetapi tetap lebih tinggi daripada tahun 1980-an. Meningkatnya
kelahiran kembar adalah karena meningkatnya jumlah wanita yang memiliki bayi
pada usian 30 tahun, pada saat itu resiko akan menjadi beberapa kali lipat. Selain
itu, penggunaan pengobatan kesuburan telah berkontribusi terhadap peningkatan
angka kehamilan mulitfel. Persalinan prematur terus menjadi penyebab utama

13
morbiditas dan mortalitas perinatal ditambah dengan kehamilan multifel. Efek
dari peregangan uterus yang dibahas sebelumnya jelas terkait dalam hal ini dan ini
mungkin terkait dengan peningkatan insiden dilatasi serviks dan terjadi persalinan
premature.6

Gambar : Faktor Risiko Persalinan Preterm.8

Faktor Sosioekonomi

Di Amerika, insidens persalinan preterm pada populasi orang kulit hitam


adalah dua kali ganda berbanding populasi orang kulit putih. Faktor ini tidak
dapat dilihat dari satu sudut namun melingkupi karakteristik lain dari populasi
tersebut, seperti poor access to, and procurement of, antenatal care, tingkat stress
yang tinggi, status nutrisi yang rendah, dan posibilitas perbedaan genetik. Pada 6
tahun kebelakangan ini, terdapat peningkatan insidens kemiskinan dan obesitas,
yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan persalinan preterm yang
persisten.7

Faktor enviromental, medikal dan obstetrik 7

1. Persalinan preterm yang rekuren ; Apabila satu persalinan preterm terjadi,


resiko relatif terhadap persalinan preterm pada persalinan lanjut adalah

14
3.9, dimana ia meningkat hingga 6.5 dengan dua kali riwayat persalinan
preterm.
2. Aborsi pada trimester kedua ; penyebab aborsi pada trimester kedua bila
fetus normal mempunyai penyebab yang sama seperti pada persalinan
preterm setelah 20 minggu. Oleh karna itu, kehilangan kandungan pada
hamil muda berkait dengan peningkatan resiko untuk persalinan preterm
berikutnya, terutama jika persalinan preterm terjadi sebelumnya. Resiko
berkait dengan aborsi pada trimester pertama yang diinduksi adalah
kontroversial, kerana kondisi itu berkait dengan malformasi fetus yang
mungkin tidak terjadi aborsi secara spontan.
3. Faktor medik ; majoritas dari faktor medik adalah hipertensi, diabetes,
obesitas, dan infeksi traktus genitalia. Faktor lain termasuklah perdarahan
pada trimester pertama, infeksi saluran kemih, anomali uterus dan serviks
yang inkompeten.
4. Faktor enviromental : Merokok dalam kehamilan berkait dengan
peningkatan resiko persalinan preterm. Penghentian merokok harus
dilakukan untuk mencegah persalinan preterm. Kebelakangan ini,
perhatian telah ditumpukan pada pekerjaan ibu hamil, aktivitas fisik, status
nutrisi, dan ansietas sebagai resiko mayor untuk persalinan preterm.
Sebagai tambahan, beberapa studi mengaitkan defisiensi vitamin D dengan
kemungkinan besar resiko persalinan, preeklamsia dan pertumbuhan janin
terhambat.

E. FAKTOR RESIKO

Aborsi yang terancam

Perdarahan vagina pada awal kehamilan dikaitkan dengan peningkatan hasil


buruk nantinya. Weiss (2004) melaporkan hasil dengan pendarahan vagina pada 6
sampai 13 minggu pada hampir 14.000 wanita dengan kejadian meningkatnya
persalinan sebelum kehamilan 24 minggu, persalinan preterm dan solusio
plasenta. Perdarahan ringan dan berat dikaitkan dengan persalinan prematur

15
berikutnya, abrupsio plasenta, dan kehilangan kehamilan berikutnya sebelum 24
minggu.6

Faktor Gaya Hidup

Kenaikan berat badan ibu yang tidak memadai, dan penggunaan obat
terlarang memiliki peran penting baik dalam kejadian maupun hasil bayi dengan
berat lahir rendah. Ibu kelebihan berat badan dan obesitas memiliki peningkatan
risiko kelahiran prematur. Faktor ibu lainnya yang terlibat meliputi usia ibu muda,
usia lanjut, kemiskinan, perawakan pendek, dan kekurangan vitamin C, factor
pekerjaan (berjalan jauh, berdiri lama, pekerjaan berat, jam kerja yang terlalu
lama) dan faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, dan stres kronis telah
dilaporkan berkaitan dengan kelahiran prematur. Negger dan rekan kerja (2004)
menemukan hubungan yang signifikan antara berat lahir rendah dan kelahiran
prematur pada wanita yang terluka akibat penganiayaan fisik.2,6

Faktor Genetik

Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara genetic dengan persalinan preterm


adalah sifat persalinan yang berulang, menurun dalam keluarga dan banyaj pada
ras tertentu. Beberapa penelitian semacam itu juga melibatkan gen imunoregulasi
untuk mempotensiasi korioamnionitis dalam kasus persalinan prematur karena
infeksi.6 Khorioamnionitis adalah infeksi selaput ketuban dan cairan amnion yang
disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme dapat menjelaskan peristiwa KPD
atau dan persalinan preterm. Jalan masuk mikroorganime kedalam airan ketuban
pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh tidak jelas. Endotoksin sebagai
produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua unutk menghasilkan
cytokine yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi
prostaglandine. Prostaglandine E2 dan F2α bekerja dengan modus parakrin untuk
merangsang terjadinya kontraksi myometrium. Dalam analisis sekunder data dari
Percobaan Evaluasi Evaluasi Pertama dan Kedua, ditemukan bahwa cacat lahir

16
dikaitkan dengan kelahiran prematur dan berat lahir rendah.6

Beberapa penelitian juga menyatakan terdapat hubungan antara predisposes


genetic, eksistensi interaksi gen-lingkungan, pengaruh familial dan
intergenerasional dengan persalinan preterm.2

Interval antara Kehamilan

Interval pendek antara kehamilan pertama dengan kehamilan selanjutnya telah


diketahui beberapa waktu dan dikaitkan dengan hasil perinatal yang merugikan.
Dalam metaanalisis, Conde-Agudelo et.all (2006) melaporkan bahwa interval <18
bulan dan > 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur dan
kecil usia kehamilan untuk usia kehamilan.6

Persalinan Prematur Sebelumnya

Faktor resiko utama persalinan prematur adalah adanya riwayat persalinan


prematur sebelumnya. Ditunjukkan pada tabel adalah kejadian riwayat persalinan
prematur sebelumnya hampir 16.000 wanita yang dikirim ke Rumah Sakit
Parkland. Resiko untuk terjadinya persalinan prematur berulang terhadap wanita
yang pada persalinan pertamanya akan mengalami persalinan prematur dan
meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang kelahiran pertamanya
lahir aterm. Lebih dari sepertiga wanita yaitu dua bayi pertamanya lahir prematur
akan melahirkan bayi prematur ketiga. Sebagian besar (70 persen) persalinan
berulang dalam penelitian ini terjadi dalam waktu 2 minggu dari usia gestasional
persalinan prematur sebelumnya. Yang penting, penyebab persalinan prematur
sebelumnya akan kambuh kembali. Meskipun wanita dengan persalinan prematur
sebelumnya beresiko terulang, mereka hanya menyumbang 10 persen dari total
persalinan prematur dalam penelitian ini. Dengan cara lain, 90 persen persalinan
prematur di Rumah Sakit Parkland tidak dapat diprediksi berdasarkan riwayat
persalinan prematur. Data ekstrapolasi dari akte persalinan revisi 2003,

17
diperkirakan sekitar 2,5 persen wanita yang melahirkan pada tahun 2004 memiliki
riwayat persalinan prematur sebelumnya.6

Infeksi

Seperti yang telah dibahas, hubungan antara kelahiran prematur dan infeksi
tampaknya tidak dapat dibantah. Goldenberg et.all (2008) telah meninjau
pernyataan ini. Infeksi intrauterine diyakini memicu persalinan prematur oleh
teraktivasinya sistem kekebalan bawaan tubuh. Dalam hipotesis ini,
mikroorganisme mengeluarkan pelepasan sitokin inflamasi seperti interleukin dan
TNF-α, yang pada gilirannya akan merangsang produksi enzim prostaglandin.
Prostaglandin merangsang kontraksi uterus, sedangkan degradasi matriks
ekstraselular pada membran janin menyebabkan ruptur membran preterm.
Diperkirakan 25 sampai 40 persen kelahiran prematur akibat infeksi intrauterin.6

Faktor lingkungan tampak penting dalam perkembangan vaginosis bakteri.


Paparan terhadap stres kronis, perbedaan etnis, dan douching yang sering atau
baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan tingkat. Vaginosis bakterialis adalah
sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan laktobasilus yang
menghasilkan hydrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella
vaginalis, spesies Mobiluncus atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama
dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan premature, dan infeksi amnion,
terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.2

Sayangnya, hingga saat ini, skrining dan pengobatan belum terbukti mencegah
kelahiran prematur. Memang, resistensi mikroba atau perubahan antimikroba yang
disebabkan oleh flora vagina telah dilaporkan sebagai akibat rejimen yang
dimaksudkan untuk menghilangkan bakteri vaginosis. Okun dan rekan (2005)
melakukan tinjauan sistematis terhadap antibiotik yang diberikan untuk vaginosis
bakteri dan untuk Trichomonas vaginalis. Mereka tidak menemukan bukti untuk
mendukung penggunaan tersebut untuk pencegahan kelahiran prematur pada
wanita berisiko rendah atau berisiko tinggi.

18
F. PATOFISIOLOGI

Infeksi (cervical-vaginal-urinary)

Vaginosis bakterialis telah banyak dikaitkan dengan persalinan preterm secara


indipenden dari faktor resiko yang lain. Terapi dari vaginosis bakterialis telah
mengurangi insidens dari persalinan preterm. Sebagai tambahan, pengobatan pada
wanita persalinan preterm dengan antibiotik secara signifikan memanjangkan
waktu dari onset terapi ke persalinan, berbanding pada pasien dengan kondisi
yang sama yang tidak mendapat pengobatan antibiotik. Terdapat relasi antara
infeksi vaginal – servikal dan perubahan progresif pada panjang serviks, yang
diukur dengan ultrasonografi pervaginam. Resiko relatif persalinan preterm
meningkat secara signifikan dari 2.4 untuk panjang serviks 3.5 cm (50th
percentile) ke 6.2 untuk panjang serviks 2.5 cm (10th percentile). Serviks yang
pendek lebih sering pada wanita yang telah mengalami persalinan preterm dan
atau terminasi kehamilan sebelumnya.7

Pemeriksaan yang terbaru dikembangkan adalah fetal fibronektin dari serviks


dan vagina (cervical and vaginal fetal fibronectin). Bahan ini adalah protein
membrana basalis yang diproduksi oleh membran fetal. Apabila membran fetal
terganggu, seiring dengan aktivitas uterin yang repetetif, dan atau adanya infeksi,
pemendekan serviks bisa terjadi.7

Dengan adanya perubahan ini, fibronektin (protein) disekresi ke dalam vagina


dan bisa diperiksa. Hasil positif dari pemeriksaan fibronektin fetal yang diperiksa
pada 22 hingga 24 minggu meramalkan lebih dari separuh dari persalinan preterm
yang spontan terjadi sebelum minggu ke 28. Hasil yang positif dari pemeriksaan
fibronektin fetal adalah berkait rapat dengan serviks yang pendek, infeksi vagina,
dan aktivitas uterin. Hasil yang negatif adalah prediktor yang baik untuk resiko
rendah dari persalinan preterm.7

Jalur Placental – vascular

Jalur plasenta vaskuler bermula pada awal kehamilan pada saat implantasi,
apabila ada perubahan penting berlaku pada placenta, desidua/ permukaan

19
myometrial. Awalnya, terdapat perubahan imunologis, perubahan dari tipe Th-1
(helper cell), yaitu mungkin embriotoksik, kepada antibodi Th-2, dimana
memblokir produksi antibodi adalah untuk mencegah penolakan. Pada waktu yang
sama, trofoblas menembus arteri spiralis dari desidua dan miometrium,
memastikan bahwa koneksi vaskuler resistensi rendah terhasil.7

Ketiga – tiga kondisi berkait dengan persalinan preterm ini ; (spontan, PROM
dan IUGR) adalah terkait kegagalan trofoblas untuk menembus arteri spiral
dengan baik. Penembusan trofoblas yang tidak bagus mungkin terjadi akibat
faktor plasental atau abnormalitas dari maternal sekunder terhadap arterosklerosis.
Perubahan dari kedua perubahan awal ini dikatakan memainkan peranan penting
dalam patofisiologi dari pertumbuhan janin yang kurang, komponen penting dari
persalinan preterm, (indikasi dan spontan), pertumbuhan janin terhambat, dan
preeklampsia.7

Plasenta juga adalah sumber penting untuk produksi progesteron yang


memainkan peran penting dalam sistem imun dan penyelenggaraan dari relaksasi
uterin. Perubahan pada produksi progesteron plasenta pada wanita yang
mempunyai resiko persalinan preterm adalah sekunder dari disregulasi hormonal
plasenta. Kedua – dua 17-OH progesteron dan progesteron vaginal memainkan
peran penting dalam pencegahan persalinan preterm.7

Stress psikososial dan work strain

Kedua mental (kognitif) dan stress-terkait-kerja adalah dikatakan menginisiasi


respons stress yang meningkatkan pelepasan dari kortisol dan katekolamin.
Respons biokimia terhadap stress adalah penting untuk balans dari regulasi
metabolik. Bagaimanapun, kortisol dari kelenjar adrenal menginisiasi awalnya
placental corticotrophin – releasing hormone (CRH), ekspresi gen, dan
peningkatan tingkat CRH adalah diketahui sebagai inisiasi persalinan pada aterm.
Pelepasan katekolamin ketika respons stress bukan saja mengganggu aliran darah
ke unit uteroplasenta, tetapi juga menyebabkan kontraksi uterin(norepinephrine).7

Nutrisi yang kurang dalam bentuk kurangnya kalori dan atau pola abnormal

20
dari pemakanan (puasa) adalah diketahui sebagai stressor dan telah dikaitkan
dengan peningkatan resiko yang signifikan untuk persalinan preterm. Studi yang
menyokong jalur stress ini menunjukkan bahwa kadar perubahan cari CRH,
mediator dari respons stress, meningkat secara signifikan pada beberapa minggu
sebelum terjadinya persalinan preterm. Maka, terlalu banyak stress (stress kronik)
adalah toksik dan bisa menyebabkan persalinan preterm. Reduksi stress dan
dorongan psikososial adalah satu – satunya intervensi yang dapat diaplikasikan
untuk jalur ini. Analisis meta mengatakan bahwa dorongan psikososial melalui
jaringan komunikasi diantara kelompok sosial wanita mampu menurunkan resiko
persalinan preterm.7

Peregangan uterus

Regangan uterin akibat peningkatan volume ketika normal dan abnormal dari
gestasi adalah mekanisme fisiologis yang penting yang memfasilitasi proses dari
pengosongan uterus. Pada kehamilan normal, hormon parathyroid – related
protein (PTrP) memainkan peran penting dalam relaksasi dari jaringan
miometrial, tetapi apabila regangan melebihi limit tertentu, (contohnya : gestasi
multipel, makrosomia janin, dan polihidramnion), PTrP gagal untuk meneruskan
uterus untuk relaksasi dan persalinan dimulai. Jalur ini adalah sering pada pasien
dengan polihidramnion dan pasien dengan gestasi multipel, dimana kedua –
duanya mempunyai peningkatan resiko untuk persalinan preterm.7

21
Gambar 2: Peran Fibronektin Fetal pada Persalinan Preterm.9

G. DIAGNOSIS

Diagnosis persalinan prematur antara 20 dan 37 minggu didasarkan pada


kriteria berikut pada pasien dengan membran pecah atau utuh: (1) kontraksi uterus
yang terdokumentasi (4 per 20 menit atau 8 per 60 menit) dan (2) perubahan
serviks yang terdokumentasi (serviks - pelepasan 80% atau pelebaran serviks 2
cm atau lebih). Kontraksi uterus bukanlah prediktor yang baik untuk persalinan
prematur, tapi juga perubahan serviks.7

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan


preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar – benar
merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai
diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu :1

 Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7 – 8 menit sekali, atau 2 – 3


kali dalam waktu 10 menit.

22
 Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
 Perdarahan bercak
 Perasaan menekan daerah serviks
 Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2
cm, dan penipisan 50 – 80 %
 Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika
 Terjadi pada usia kehamilan 22 – 37 minggu 1

Gambar 3: Persalinan aterm dan preterm ditandai dengan


meningkatnya kontraktilitas miometrium, dilatasi serviks, dan
ruptur membran chorioamniotic.10

Gambar 4: Sebelum persalinan terjadi, serviks adalah tebal


dan tertutup. Pada persalinan preterm, serviks mulai menipis
dan membuka.11
23
Skrining untuk Persalinan Preterm

Cara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat dilakukan


sejak awal, sebelum tanda – tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan
pasien yang beresiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik
terhadap persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga
tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim
dilakukan pada kunjungan antenatal, sebenarnya pemeriksaan tersebut
mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan
preterm. Bila dijumpai serviks pendek (< 1 cm ) disertai dengan pembukaan yang
merupakan tanda serviks matang / inkompetensi serviks, mempunyai resiko
terjadinya persalinan preterm 3 – 4 kali. Beberapa indikator dapat dipakai untuk
meramalkan terjadinya persalinan preterm, sebagai berikut :1

 Indikator Klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan
pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya
ketuban pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.
 Indikator Laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah : jumlah
leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP
(>0.7mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml).
 Indikator Biokimia
I. Fibronektin janin : peningkatan kadar fibronektin janin pada
vagina, serviks dan air ketuban memberi indikasi adanya gangguan
pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24
minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50ng/ml atau lebih
mengindikasikan risiko persalinan preterm.
II. Corticotropin releasing hormone (CRH) : peningkatan CRH dini
atau pada trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya
persalinan preterm.

24
III. Sitokin inflamasi : seperti IL-1beta, IL-6, IL-8, dan TNF – alfa
telah diteliti sebagai mediator yang mungkin berperan dalam
sintesis prostaglandin.
IV. Isoferitin plasenta : pada keadaan normal (tidak hamil) kadar
isoferitin sebesar 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna
selama kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu
54,8 + 53 U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan beresiko
terjadinya persalinan preterm.
V. Feritin : Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif
untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin
berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk
kondisi inflamasi. Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan
antara peningkatan kadar feritin dan kejadian penyulit kehamilan,
termasuk persalinan preterm.1

Fibronektin janin adalah glikoprotein perekat pada antarmuka ibu-janin.


Kehadirannya yang prematur pada sekresi vagina adalah prediktor biokimiawi
langsung terhadap risiko kelahiran prematur. (Lockwood CJ, 2007)

25
H. PENATALAKSANAAN

Menjadi pemikiran pertama pada pengelolaan persalinan preterm adalah


apakah memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebab dan menilai
kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi meliputi pertumbuhan / berat janin, jumlah dan keadaan cairan
amnion, presentasi dan keadaan janin / kelainan kongenital. Bila proses persalinan
kurang bulan masih tetap berlansung atau mengancam, meski telah dilakukan
segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:1

 Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter


spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi
preterm atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi
tertentu.
 Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesar
 Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau
sindroma gawat napas
 Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi
perawatan bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
 Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus

Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor :1

 Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat


bilamana selaput ketuban sudah pecah
 Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan
mencapai 4 cm.
 Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah
persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan
berlansung bila TBJ > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.
 Penyebab / komplikasi persalinan preterm
 Kemampuan neonatal intensive care facilities

26
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah : 1

 Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis


 Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
 Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi

Asalkan membran tidak pecah dan tidak ada kontraindikasi pada pemeriksaan
vagina (misalnya plasenta previa), penilaian awal harus dilakukan untuk
memastikan panjang dan pelebaran serviks dan stasiun dan sifat bagian presentasi.
Pasien juga harus dievaluasi untuk mengetahui adanya masalah yang dapat
diperbaiki, seperti saluran kemih atau infeksi vagina.7

Pasien harus ditempatkan dalam posisi dekubitus lateral untuk menurunkan


berat uterus dari pembuluh darah besar, memantau adanya dan frekuensi aktivitas
rahim, dan diperiksa ulang untuk bukti perubahan serviks setelah interval yang
sesuai, kecuali kriteria sebelumnya untuk persalinan prematur sudah terpenuhi
selama periode pengamatan, hidrasi oral atau parenteral (5% dekstrosa) harus
dimulai. Cairan yang jelas dari nilai kalori harus dipertimbangkan. Puasa tidak
sehat selama fase manajemen ini.7

Dengan hidrasi dan istirahat yang cukup, kontraksi rahim berhenti di sekitar
20% pasien. Pasien-pasien ini, bagaimanapun, tetap berisiko tinggi untuk
melahirkan persalinan berulang. Karena peran kolonisasi serviks dan infeksi
vagina pada etiologi persalinan prematur dan PROM, harus diambil struktur
Streptococcus Streptococcus Streptococcus Streptococcus Streptococcus.7

Organisme lain yang mungkin penting adalah Ureaplasma, Mycoplasma, dan


Gardnerella vaginalis. Yang terakhir dikaitkan dengan vaginosis bakteri, diagnosis
yang dapat dilakukan dengan adanya tiga dari empat tanda klinis (pH vagina 4,5,
bau amina setelah penambahan beberapa tetes 10% potasium hidroksida [KOH]
pada slide kaca, adanya sel petunjuk, dan adanya cairan susu).7

Antibiotik harus diberikan pada pasien yang berada dalam persalinan


prematur. Bagi pasien yang tidak alergi terhadap penisilin, ampisilin 7 hari dan

27
eritromisin dapat diberikan. Mereka yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan
klindamisin. Begitu diagnosis persalinan prematur telah dilakukan, tes
laboratorium berikut harus dilakukan: jumlah sel darah lengkap, kadar glukosa
darah acak, kadar elektrolit serum, urinalisis, dan kultur urin dan sensitivitas.7

Pemeriksaan ultrasonik janin harus dilakukan untuk menilai berat janin,


presentasi dokumen, menilai panjang serviks, dan menyingkirkan adanya
malformasi kongenital yang menyertainya. Tes ini juga dapat mendeteksi faktor
etiologi yang mendasari, seperti kehamilan kembar atau anomali uterus.7

Jika pasien tidak menanggapi istirahat dan hidrasi, terapi tocolytic harus
dilembagakan, asalkan tidak ada kontraindikasi. Tindakan yang
diimplementasikan pada 28 minggu harus lebih agresif daripada yang dimulai
pada 35 minggu. Demikian pula, pasien dengan pelebaran serviks lanjutan saat
masuk memerlukan manajemen yang lebih agresif daripada serviks yang tertutup
dan minimal sembuh.7

Tokolitik

Meskipun beberapa obat dan intervensi lain telah digunakan untuk mencegah
atau menghambat persalinan prematur, tidak ada yang terbukti benar-benar
efektif. American College of Obstetricians and Gynecologists (2012) telah
menyimpulkan bahwa agen tokolitik tidak secara bermakna memperpanjang masa
gestasi namun dapat menunda kelahiran beberapa wanita hingga 48 jam. Hal ini
memungkinkan pengangkutan ke pusat kandungan dan waktu untuk terapi
kortikosteroid.5

Agonis beta-adrenergik, penghambat saluran kalsium, atau indometasin adalah


agen tokolitik yang direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek hingga
48 jam. Sebaliknya, ACOG telah menyimpulkan bahwa "Terapi Pemeliharaan
dengan tokolitik tidak efektif untuk mencegah kelahiran prematur dan
memperbaiki hasil neonatal dan tidak disarankan untuk tujuan ini." Lebih dari itu,
ACOG merekomendasikan agar wanita dengan kontraksi prematur tanpa

28
perubahan serviks, terutama yang dengan pelebaran serviks kurang dari 2 cm,
umumnya tidak boleh diobati dengan tokolitik.5

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,


tidak ada benar – benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang reguler dengan perubahan
serviks. Alasan pemberian tokolisis pada persalinan preterm adalah :1

 Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur


 Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
 Memberi kesempatan transfer intrauterin pad fasilitas yang lebih lengkap
 Optimalisasi personel

Indikasi penggunaan tokolitik :12

 Ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih mendapatkan


pelayanan yang sempurna
 Untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan
paru.
1. Beta adrenergic receptor agonists
 Ritodrine
 Terbutaline

Agonis beta merupakan obat yang sering digunakan dan terbukti efektif
menurunkan terjadinya persalinan dalam 24, 48 jam dan 7 hari terapi dibanding
plasebo. Beta agonis adalah golongan tokolitik yang secara struktur sama dengan
katekolamin endogen, epinefrin dan norepinefrin. Obat ini merangsang reseptor
beta adrenergik pada usus. Isoxupirine adalah obat pertama dari golongan ini yang
digunakan sebagai tokolitik kurang lebih 45 tahun yang lalu. Terbutalin dan
Ritodrin sekarang paling banyak digunakan sebagai tokolitk pada golongan ini di
Amerika Serikat dibanding Hexoprenalin, Fenoterol, Salbutamol, dan lain – lain,
tetapi hanya Ritodrin yang direkomendasikan oleh FDA sebagai tokolitik dari
golongan ini. 7

29
Ritodrin dan terbutalin dieksresi melalui urin setelah dimetabolisme di hati.
Ritodrin dan terbutalin diketahui dapat menembus plasenta dengan cepat dan
menginduksi stimulasi beta adrenergik pada fetus. Dapat diberikan melalui
parenteral atau oral. Terapi pertama kali harus melalui intravena yang didasarkan
pada puls ibu, tekanan darah dan aktivitas uterus. Berikut adalah kontraindikasi
penggunaan tokolitik golongan beta agonis adrenergik.13

Kontraindikasi Maternal Kontraindikasi Fetal

 Penyakit jantung  Gawat janin


 Diabetes mellitus tidak  Korioamnionitis
terkontrol  Janin mati
 PEB dan eklampsia  IUGR
 Hipertiroid
 Perdarahan ante partum

Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan
setiap 15 – 30 menit sesuai dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus.
Denyut nadi ibu tidak boleh lebih dari 130x/menit dan kita harus menyesuaikan
dosis tokolitik jika efek samping timbul.13

Berikut adalah efek – efek maternal akibat terapi tokolitik dengan beta agonis
adrenergik :13

Fisiologi Metabolik Jantung

 Agitasi  Hiperglisemia  Edema pulmonum


 Sakit kepala  Diabetik  Takikardi
 Mual ketoasidosis  Palpitasi
 Muntah  Hiperinsulinemia  Hipotensi
 Demam  Hiperlaktasidemia  Gagal jantung
 Halusinasi  Hipokalemia  Aritmia
 Hipokalsemia

30
Berikut adalah efek – efek terhadap fetus dan neonatus akibat terapi tokolitik
dengan golongan beta adrenergik agonis :13

Fetal Neonatal

 Takikardi  Takikardi
 Aritmia  Hipokalsemia
 Iskemik otot jantung  Hiperbilirubinemia
 Hipertropi otot jantung  Hipoglikemi
 Gagal jantung  Hipotensi
 Hiperglisemia  Aritmia
 Hiperinsulinemia

1. Magnesium Sulfat
MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang pada penderita
preeklampsia, juga bersifat tokolitik. Di Amerika Serikat, obat ini dipakai
sebagai obat tokolitik utama karena murah, mudah cara pemakaiannya dan
resiko terhadap sistem kardiovaskuler yang rendah serta hanya menghasilkan
efek samping yang minimal terhadap ibu, janin, dan neonatal.6
Kerugian terbesar adalah harus diberikan secara parenteral. Intoksikasi
MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin
memadai, refleks patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. MgSO4
sebagai terapi tokolitik dimulai dengan dosis awal 4 – 6 gr intravena yang
diberikan selama 15 – 30 menit dan diikuti dengan dosis 2 – 4 gr / jam selama
24 jam. Kalsium glukonas 1 gr sebagai antidotum dari MgSO4 adalah perlu
untuk mencegah atau meminimalisir.6
2. Inhibitor prostaglandin / OAINS (indomethacin)
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi
uterus) yang penting maka para peneliti menganggap bahwa prostaglandin
synthetase inhibitor dalam hal ini obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
dapat digunakan sebagai tokolitik. Salah satu obat – obat golongan ini yang
dapat dipakai sebagai tokolitik adalah indomethacin.6

31
OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin
adalah obat dari golongan ini yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai
tokolitik. Obat ini dimetabolisme di hati dan dieksresi melalui urin. Indomethacin
secara cepat dapat menembus placenta, dalam 2 jam kadar dalam darah bayi 50%
dari kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam. Waktu paruh
indomethacin pada fetus adalah 14,7 jam yang lebih lama dibanding pada ibu
yang hanya 2,2 jam, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan hati pada
fetus.6

Indomethacin dapat diberikan peroral atau peranal, dosis yang digunakan


sebagai terapi pada persalinan prematur adalah 150 – 300mg/hari, dengan dosis
awal adalah 100-200 mg peranal atau 50 – 100 mg peroral dan kemudian 25 – 50
mg setiap 4 – 6 jam.6

Indomethacin dikontraindikasikan pada ibu – ibu yang menderita kerusakan


ginjal, hati, asma, oligohidramnion, ulkus peptikum dan alergi. Bila dibandingkan
dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping maternal indomethacin lebih
minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek samping yang paling sering terjadi
adalah iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit lambung, heartburn, dan
muntah yang berkaitan dengan terapi obat oral ini. Antasida dapat membantu bila
gejala – gejala ini terjadi.6

Pada manusia, peningkatan kadar COX tipe 2 diyakini lebih bermakna


terhadap terjadinya persalinan prematur dibanding COX tipe 1. Contoh obat yang
dapat digunakan adalah Nimesulid dan celecoxib. Nimesulid dapat menyebabkan
terjadinya gagal ginjal stadium akhir pada manusia sehingga hal inilah yang
membatasi penggunaannya.6

3. Calcium Channel Blockers (Nifedipine)


Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat
aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium
yang bergantung pada voltase. Obat ini digunakan sebagai anti angina dan
salah satu obat hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu hamil dan
tidak hamil. Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya, dan

32
sedikit insiden terjadinya efek samping.6,7
4. Antagonis oksitosin (Atosiban)
Antagonis oksitosi salah satu contohnya adalah atosiban. Obat ini
merupakan alternatif menarik terhadap obat – obat tokolitik saat ini karena
spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek samping terhadap ibu, janin,
atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada golongan obat ini dan
telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitk di Eropa. Atosiban
menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok
reseptor.6,7
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus,
termasuk di dalamnya beta agonis, calcium channel blockers, prostaglandin
synthetase inhibitor, magnesium sulfat, agonis receptor oxytocin yang masing
– masing mempunya keunggulan dan kekurangan sebagai preparat tokolitk.
Penggunaan tokolitk tidak mengurangi angka kelahiran prematur dan
peningkatan luaran bayi tetapi berfungsi ketika akan merujuk pasien ke tempat
rujukan untuk lebih mendapatkan pelayanan yang sempurna dan untuk
pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.6,7

I. PENCEGAHAN

Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara lain
sebagai berikut :1,6,7

 Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun)


 Hindari jarak kehamilan terlalu dekat
 Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan
antenatal yang baik
 Anjuran tidak merokok maupun mengkonsumsi obat terlarang (narkotik)
 Hindari kerja berat dan perlu cukup istirahat
 Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm
 Kenali dan obati infeksi genital / saluran kencing
 Deteksi dan pengamanan faktor resiko terhadap persalinan preterm

33
BAB III

KESIMPULAN

Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG


2016), persalinan preterm adalah kontraksi reguler dari uterus yang menyebabkan
perubahan pada serviks yang mulai terjadi sebelum minggu ke 37 dari kehamilan.

Terdapat empat penyebab lansung untuk persalinan preterm di Amerika


Serikat. Ini termasuk ; (1) persalinan preterm spontan yang tidak bisa dijelaskan,
(2) ketuban pecah dini idiopatik ( preterm premature rupture of membranes/
PPROM), (3) persalinan untuk indikasi maternal atau fetal, dan (4) kembar dan
higher order multifetal births.

Diagnosis persalinan prematur antara 20 dan 37 minggu didasarkan pada


kriteria berikut pada pasien dengan membran pecah atau utuh: (1) kontraksi uterus
yang terdokumentasi (4 per 20 menit atau 8 per 60 menit) dan (2) perubahan
serviks yang terdokumentasi (serviks - pelepasan 80% atau pelebaran serviks 2
cm atau lebih).

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama


mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah menghambat proses
persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, pematangan surfaktan paru janin
dengan kortikosteroid, bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi

Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara


lain sebagai berikut; hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17
tahun), hindari jarak kehamilan terlalu dekat, menggunakan kesempatan periksa
hamil dan memperoleh pelayanan antenatal yang baik, anjuran tidak merokok
maupun mengkonsumsi obat terlarang (narkotik), hindari kerja berat dan perlu
cukup istirahat, obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm,
kenali dan obati infeksi genital / saluran kencing, deteksi dan pengamanan faktor
resiko terhadap persalinan preterm.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono Prawirohardjo, A. B. (2012). Ilmu Kebidanan (3rd Edition ed.).


Jakarta , Indonesia : Bina Pustaka.
2. Perkumpulan Obsetri dan Ginekologi Indonesia. (2011). Panduan
Pengelolaan Persalinan Preterm Nasional.Universitas Padjajaran. Bandung
3. Asghar Ali , Safari Saeed, Parvareshi Mohsen H. (2017). Epidemiology
and Related Risk Factors of Preterm Labor as an Obstetrics Emergency.
Shohadaye Tajrish Hospital, Shardari Street, Tajrish Square, Tehran. Iran
4. World Health Organization. (2015). WHO Recommendations on
Interventions to Improve Preterm Birth Outcomes. World Health
Organization.
5. The American College of Obstetricians and Gynecologists. (2016).
Management of Preterm Labor. The American College of Obstetricians
and Gynecologists .
6. F. Gary Cunningham, K. J. (2014 ). Williams Obstetrics (24th Edition ed.).
United States : McGraw-Hill
7. Neville F. Hacker, J. C. (2016 ). Essentials of Obstetrics & Gynecology
(6th Edition ed.). Philadelphia : Elsevier .
8. Sarah Vause, T. J. (2017). Management Of Preterm Labour . Archives Of
Disease In Childhood .
9. Lockwood CJ, K. E. (2007). Risk Stratification and Pathological
Mechanism in Preterm Delivery. Pediatric Perinatalogy Epidemiology ,
78-89.
10. Roberto Romero, S. K. (2014). Preterm Labor : One syndrome, many
causes. Science , 345 (6198), 760-765.
11. Mount Nittany Health Foundation. (2016). Understanding Preterm Labour.
12. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. (2002). Protocol for
Administration of Tocolytic Agent for Threathened Preterm Labor.
13. United Health Care Oxford. (2017). Preterm labor Management. USA

35

Anda mungkin juga menyukai