Anda di halaman 1dari 25

Bed Side Teaching

RUPTUR PERINEUM

Oleh:
Chintia Amalia 1840312283

Preseptor:
Dr. Mutiara Islam, SpOG (K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD PARIAMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Ruptur Perineum”. Referat ini
ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Obstetri
dan Ginekologi RSUD Pariaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Mutiara Islam, Sp.OG(K) sebagai
preseptor yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini
masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang membaca demi kesempurnaan referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman mengenai “Ruptur Perineum” terutama bagi penulis sendiri dan rekan-rekan sejawat
lainnya.

Pariaman, Januari 2020

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Salah satu penyebab utama perdarahan pasca persalinan adalah robekan jalan lahir.
Robekan pada jalan lahir dapat bervariasi tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada
daerah jalan lahir. Trauma bisa menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina, dan
serviks. Trauma juga bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan
episiotomi.1,2
Robekan jalan lahir yang terjadi bisa ringan (lacet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat I sampai IV, robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks,
daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan yang terberat ruptur uteri. Ruptur perineum dapat
terjadi karena adanya ruptur spontan maupun tindakan episiotomi perineum yang dilakukan.
Episiotomi harus dilakukan atas beberapa indikasi, antara lain bayi besar, partus prematurus,
perineum kaku, persalinan dengan kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat bantu
baik forceps, maupun vakum. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas indikasi yang tepat, maka
dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat kerusakan pada daerah perineum.1,2
Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang
dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur pada sfingter anal merupakan komplikasi
terbesar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita. Oleh karena itu, pada setiap
persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan
ini. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan
catgut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. Teknik penjahitan memerlukan asisten,
anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup, serta spekulum dan memerhatikan kedalaman
luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk
ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.1,2

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Menambah pengetahuan mengenai definisi ruptur perineum, anatomi perineum,
klasifikasi, etiologi dan faktor risiko, teknik menjahit robekan, ruptur perineum yang

2
disengaja, teknik episiotomi, perawatan post operatif, komplikasi post operatif,
prognosis pada ruptur perineum.
1.2.2 Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Universitas Andalas.

1.3 Metode Penulisan


Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai pelvis dan
struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah anterior
oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os.
coccygeus, dan dibagi ke dalam segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior.1,3,4
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan kepala janin tidak terlalu
cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama karena
dapat menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot
dan fassia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.1,3,4

2.2 Anatomi Perineum


Perineum merupakan daerah berbentuk diamond yang terletak diantara kedua paha yang
menggambarkan pelvic outlet: simfisis pubis anterior, rami pubis, tuberositas ischial
anterolateral, ligament sakrotuberous posterolateral, dan koksigis posterior. Batasan perineum
terbentuk oleh rami pubis di depan ligament sakrotuberos di belakang. Pelvic outlet dibagi oleh
garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga
urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.2,4,5

Gambar 2.1 Anatomi Perineum2

4
2.2.1 Segitiga urogenital
Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial dan dalam
bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melintang dangkal dan
otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus
melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian
belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse
perineal (otot yang melintang kontralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus
(sfingter). 2,4,5
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya
membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan dua sepertiga
bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora. 2,4,5
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia
membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk
digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama
terletak juga otot cincin eksternal uretra. 2,4,5
2.2.2 Segitiga anal
Bagian ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.4
2.2.3 Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan
kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang
rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva
dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal
melintang dan otot cincin anus bagian luar. 2,4,5
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo rektalis,
karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani
bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum
merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 2,4,5
2.2.4 Anatomi anorektum
Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri
dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah
persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga

5
bagian (subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan
tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborektalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan
lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin
otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum. 2,4,5

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Robekan perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:12
1) Kepala janin terlalu cepat lahir
2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4) Pada persalinan dengan distosia bahu
Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat berbagai
faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti episiotomi medialis,
nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi, posisi oksipital posterior persisten,
persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan berat bayi yang besar. 2

2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum


2.4.1 Ruptur Perineum Spontan
Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan
perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat: 1,2,9,10
1) Derajat I
Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina, kulit perineum, dan fourchette, dan tidak
mengenai fasia serta otot. Derajat ini termasuk laserasi periurethral, yang dapat menyebabkan
perdarahan besar.2

Gambar 2.2 Laserasi perineum derajat I2

6
2) Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia serta otot-
otot perineal, namun tidak mengenai sfingter ani. Robekan dapat terjadi di garis tengah, namun
seringkali meluas ke satu atau kedua sisi vagina, membentuk segitiga ireguler. 2

Gambar 2.3 Laserasi perineum derajat II2


3) Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus sfingter ani
eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, tetapi dapat juga bilateral.
Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi pada waktu
persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau
pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya hematoma. 2

Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III2

7
4) Derajat IV
Robekan pada perineum derajat III yang dapat meluas ke mukosa rektum dan melibatkan
sfingter ani eksterna dan interna. 2

Gambar 2.5 Laserasi perineum derajat IV2

2.4.2 Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)


Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan tomy (memotong).
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput
lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia
perineum dan kulit sebelah depan perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut
sebagai episiotomi mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu diarahkan ke
lateral menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi mediolateral. 2,11,12
Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior, perbaikan dengan
bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal anterior. Episiotomi dapat
dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara lain:2
1) Distosia bahu
2) Sungsang
3) Janin makrosomia
4) Persalinan pervaginam dibantu
5) Posisi oksiput posterior persisten
6) dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila tidak
dilakukan episiotomi

8
Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 12
1. Indikasi janin
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang
berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi
vakum, dan janin besar.
2. Indikasi ibu. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan
terjadi robekan perineum, terutama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan
cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.
Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian, ditemukan
tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat
serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan. 2,11,12
Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan: 7
1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin
dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
4. Meningkatnya resiko infeksi.

2.5 Teknik Episiotomi


Sebelum episiotomi, analgetik dapat menggunakan analgetik epidural saat persalinan,
blokade nervus pudendus bilateral, atau dengan infiltrasi lidokain 1%. Apabila dilakukan terlalu
cepat, perdarahan akibat episiotomi akan cukup besar selama interval antara insisi dan saat
persalinan. Namun, apabila dilakukan terlambat, laserasi tidak dapat dicegah. Episiotomi
sebaiknya dilakukan saat kepala sudah terlihat saat kontraksi dengan diameter kepala mencapai 4
cm, seperti mahkota.2,7

9
Gambar 2.6 Teknik Episiotomi12

2.5.1 Episiotomi medialis


1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-
otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain
dengan procaine 1-2%; atau larutan lidonest 1-2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah
pemberian anestesi, jari menyusup antara kepala dan perineum. Kemudian insisi dimulai
pada arah jam 6 pada introitus vagina dan diarahkan ke posterior. Panjang insisi sekitar 2
sampai 3 cm tergantung panjang perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun harus
dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar disambung ke lateral
(episiotomi medio lateralis). 2,12

10
Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis2
 Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju anus
melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum. 12
2) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan
dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu
selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan
secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang
yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang
untuk kulit perineum dipakai benang sutera. 12
 Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
 Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
 Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.

11
Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis12

2.5.2 Episiotomi mediolateralis


1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau jam 5, kemudian
insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping.
Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan
orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 2, 12

Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral2

12
2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik menjahit
episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan
luka selesai hasilnya harus simetris. 12
 Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
 Benang jahitan pada otot ditarik
 Selaput lendir vagina dijahit
 Jahitan otot-otot diikatkan
 Fasia dijahit
 Penutupan fasia selesai
 Kulit dijahit
2.5.3 Episiotomi lateralis
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9
menurut arah jarum jam.12
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi.
Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna,
sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 12

2.6 Teknik Menjahit Robekan Perineum


2.6.1 Derajat I
Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut
yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of
eight). 5
2.6.2 Derajat II
Laserasi derajat II melibatkan fasia dan otot (muskulus perinei transversalis) dari badan
perineum tapi tidak mengenai sfingter anus. Robekan ini biasanya melebar ke atas pada salah
satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan
pada robekan perineum tingkat II atau III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau
bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan
sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah

13
pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit dengan
catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau kontinu.
Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum
dijahit dengan benang secara interuptus.

Gambar 2.10 Teknik menjahit robekan perineum derajat II12

2.6.3 Derajat III


Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan perineum, dan
melibatkan sfingter anus. Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia
perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu
kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem
Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum derajat II.

Gambar 2.11 Teknik menjahit robekan perineum derajat III12

14
2.6.4 Derajat IV
Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan sfingter ani dan
mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan adalah teknik end-to-end dan teknik
kedua, yaitu teknik overlapping.
Teknik end-to-end dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan tepi mukosa
rektum dengan jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang yang dapat digunakan adalah 2-0
atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian ditutup dengan sfingter ani interne. Kemudian akhir
dari jahitan di sfingter ani eksterna diisolasi, dan ditutup secara end-to-end dengan 3-4 jahitan
terputus-putus.

Gambar 2.12 Teknik menjahit “end-to-end” robekan perineum derajat IV2


Teknik overlapping merupakan metode alternatif untuk memperkirakan sfingter ani
eksterna. Berdasarkan penelitian, metode ini tidak menghasilkan hasil anatomi atau fungsional
yang lebih baik dibandingkan dengan metode end-to-end. 2

2.7 Perawatan Post Operatif


Mayoritas pasien yang menjalani perbaikan robekan mengalami rasa tidak nyaman yang
meningkat dalam minggu pertama setelah persalinan. Dalam 5 sampai 7 hari postpartum, jahitan

15
yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi, jahitan yang terletak di bagian luar dan
terekspos dengan udara mungkin akan lebih lama terabsorbsi. Ketika benang jahit telah
diabsorbsi, pasien mungkin dapat merasakan potongan benang jahit ketika menmbersihkan
daerah perineum. Hal ini adalah normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh
secara normal, pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu
jelas. Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan aktifitas
seksualnya.2,12
Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah:
 Kontrol nyeri pada hari-hari setelah persalinan biasanya dengan pemberian acetaminophen
atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat membutuhkan analgesik narkotik
(seperti kodein). Tetapi narkotik dapat menyebabkan konstipasi dengan feses yang keras,
sehingga dapat merusak luka jahitan robekan derajat III dan IV. 2,12
 Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum yang baik
akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar untuk higiene perineum
adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat menggunakan botol semprot oleh
karena air hangat akan membantu mengurangi nyeri . 2,12
 Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada robekan
tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan diare, karena
konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan, dan feces encer pada diare
dapat memasuki luka dan menyebabkan infeksi. Insiden konstipasi dan diare dapat
dikurangi dengan menggunakan pelunak feses dan diet rendah-residu yang dapat
membentuk feses lunak yang tidak besar. Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia
atau suppositoria karena dapat menimbulkan diare. 2,12

2.8 Komplikasi Post Operatif


Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan luka pada
episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling utama adalah
hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah inkontinensia feses dan
nyeri perineum persisten. 9,10,11
Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai dengan nyeri
atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan yang jarang, jika

16
kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien dapat mengalami syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan perineum atau vagina yang
unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual. 9,10,11
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai dengan
keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit
membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi. 9,10,11
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan robekan
tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik. Inkontinensia dapat terjadi
segera maupun beberapa hari/minggu postpartum. Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat
luka yang kembali terbuka atau infeksi. 9,10,11
Nyeri perineum persisten dan dispareunia. Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri
perineum akan menghilang. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut
dapat tajam atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita
mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 9,10,11

2.9 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik,
dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun
dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien
dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika
tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.
2,10,11

17
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. FY
Tanggal Lahir : 16/01/1994
Usia : 25 tahun
No. RM : 13.11.14
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jawi-jawi II, Pariaman

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien 25 tahun datang ke IGD PONEK RSUD Pariaman pukul 01.20 WIB dengan
keluhan utama nyeri pinggang menjalar ke ari-ari hilang timbul sejak 1 hari yang lalu, semakin
meningkat sejak 6 jam sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari hilang timbul sejak 1 hari yang lalu, semakin
meningkat sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
 Keluar air-air dari kemaluan sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
 Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-)
 Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
 Pasien hamil anak ke-1
 HPHT 15/3/2019, TP 22/12/2019
 Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
 Gerak anak dirasakan sejak 5 bulan yang lalu

Riwayat penyakit dahulu


 Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan hipertensi

18
Riwayat penyakit keluarga
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular, keturunan dan kejiwaan.

Riwayat gravid/ persalinan/ abortus : 1/0/0


1. Sekarang

Riwayat kontrasepsi : (-)


Riwayat Imunisasi : (-)
Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-), narkoba (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


KU : Sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
TD : 128/90 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,7⁰C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorak :
 Jantung
- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Kanan : RIC IV parasternal dekstra
o Kiri : RIC II midclavikula sinistra
o Atas : RIC II parasternal sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung murni reguler, murmur (-)
 Paru
- Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris, kiri=kanan
- Palpasi : fremitus simetris, kiri=kanan

19
- Perkusi : sonor, kiri=kanan
- Auskultasi : vesikuler, kiri=kanan, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : status lokalis
Genitalia : status lokalis
Ekstremitas : edema -/-, Refleks Fisiologis +/+, Refleks Patologis -/-

Status Obstetrikus
Mammae
 Inspeksi : papila mammae membesar, areola hiperpigmentasi
Abdomen
 Inspeksi : perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan, linea mediana
hiperpigmentasi (+), striae gravidarum (+) , sikatriks (-)
 Palpasi:
- LI: teraba massa bulat, lunak, noduler, FUT 3 jari dibawah processus
xyphoideus, TFU = 33 cm
- LII: teraba tahanan terbesar di kanan ibu, bagian-bagian kecil di kiri ibu
- LIII: bulat, keras, terfiksir
- LIV: paralel
- His: 2-3x / 30-35”/ sedang
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
DJJ 147-153x/menit
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
 VT : pembukaan 2-3 cm, effacement 100%, arah di posterior, konsistensi
kaku, KU (-), sisa ketuban jernih, UUK kiri depan, HI-II

Laboratorium
Hb : 12,0 g/dl
Leukosit : 9960 /mm3
Hematokrit : 34%

20
Trombosit : 270.000 /mm3
BT : 2’
CT : 5’30”
GDS : 95 mg/dl
HbSAg : NR
Anti HIV : NR

DIAGNOSIS
G1P0A0H0 parturien aterm 37-38 minggu kala I fase laten + KPD

TATALAKSANA
R/
 Awasi KU, VS, His, DJJ
 IVFD RL 20 tpm

FOLLOW UP
1-2-2020
S/ - Nyeri luka perineum (+)
- Demam (-)
- BAK ada
- ASI (+/+)
O/
KU: sedang Nd: 81
Kes: CMC Nf: 19
TD: 125/71 T: 36,7
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Abd: FUT 2 jari di bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Gen: v/u tenang, ppv (-), lokia rubra (+)
Luka perineum baik
A/ P1A0H1 post partus pervaginam + NH1

21
P/ perawatan post partus
Kontrol KU, VS, ppv
R/ Cefixime 2x200 mg
Diabion 1x1 tab
Asam Mefenamat 3x500 mg
2-2-2020
S/ - Nyeri luka perineum (+) berkurang
- Demam (-)
- BAK ada
- ASI (+/+)
O/
KU: sedang Nd: 88
Kes: CMC Nf: 20
TD: 127/82 T: 36,7
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Abd: FUT 3 jari di bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Gen: v/u tenang, ppv (-), lokia rubra (+)
Luka perineum baik
A/ P1A0H1 post partus pervaginam + NH2
P/ perawatan post partus
Kontrol KU, VS, ppv
Acc pulang
R/ Cefixime 2x200 mg
Diabion 1x1 tab
Asam Mefenamat 3x500 mg

22
BAB IV
DISKUSI

Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang
dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur perineum dibagi menjadi ruptur yang
spontan dan ruptur yang disengaja. Ruptur perineum spontan terbagi atas ruptur perineum derajat
I-IV. Pada pasien terjadi ruptur perineum spontan derajat II dimana terjadi robekan jalan lahir
yang mengenai fourchette, mukosa vagina, kulit, fasia, dan otot perineum.
Selain itu, juga terdapat ruptur perineum yang disengaja yaitu dengan melakukan
episiotomi yang bertujuan untuk mempermudah jalan lahir. Namun, episiotomi sebaiknya tidak
rutin dilakukan. Pada suatu penelitian, ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan
risiko inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat
dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan.
Tatalaksana yang dilakukan terhadap ruptur perineum yaitu dengan dilakukan penjahitan
tergantung dari derajat kerusakan perineum tersebut. Teknik menjahit ruptur perineum bervariasi
tergantung pada derajat ruptur. Pada pasien, awalnya otot dijahit dengan catgut 1 dimulai dari 1
cm dari puncak luka, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara jelujur.
Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.
Prognosis untuk ruptur perineum ini dapat dikatakan baik, dengan menghilangnya nyeri 6
minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia alvi
dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat
IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak
dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2011.
2. Cunningham FG et al. William Obstetrics ed 24th. New York: McGraw-Hill; 2014.
3. Dorland WA, Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010.
4. Netter FH. Atlas of Human Anatomy ed 6th. Philadelphia: Elsevier; 2014.
5. Norwitz ER, Schorge JO. Operative vaginal delivery dalam Obstetrics and Gynecology at
a Glance. Jakarta: Erlangga; 2007.
6. Pernoll ML. Perineotomy dalam Benson and Pernoll's handbook of Obstetrics &
Gynaecology 10th Ed. New York: McGraw-Hill Professional; 2001.
7. Edmonds DK. Chapter 24 dalam Dewhurt's Textbook of Obstetrics & Gynaecology.
Blackwell Publishing 7th Ed. London: Wiley; 2008.
8. Katariina L, Tiina P, Rune R, et al. Decreasing the Incidence of Anal Sphincter Tears
During Delivery in Obstetrics and Gynaecology. 2008.11(5):1053-1057
9. Willem J, Vierhout M, Struijk P, et al. Anal Sphincter Damage After Vaginal
Delivery: Functional outcome and risk factors for fecal incontinence dalam Acta Obstet
Gynecol Scand. 2001; 80: 830-834.
10. Cornet A, Porta O, Pineiro L, et al. Management of Obstetric Perineal Tears. Obstetrics
and Gynaecology Int. 2012:1-7.
11. Thakar R, Sultan A. Obstetric anal sphincter injury: 7 critical questions about care. Obg
Manag. 2008;20(2):56-68.
12. Prawirohardjo S. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2000.

24

Anda mungkin juga menyukai