RUPTUR PERINEUM
Oleh:
Chintia Amalia 1840312283
Preseptor:
Dr. Syahrial Syukur, SpOG
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Ruptur Perineum”. Referat ini
ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Obstetri
dan Ginekologi RSUD Padang Panjang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Syahrial Syukur, Sp.OG sebagai preseptor
yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih
memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang membaca demi kesempurnaan referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman mengenai “Ruptur Perineum” terutama bagi penulis sendiri dan rekan-rekan sejawat
lainnya.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
disengaja, teknik episiotomi, perawatan post operatif, komplikasi post operatif,
prognosis pada ruptur perineum.
1.2.2 Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Universitas Andalas.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai pelvis dan
struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah anterior
oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os.
coccygeus, dan dibagi ke dalam segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior.1,3,4
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan kepala janin tidak terlalu
cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama karena
dapat menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot
dan fassia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.1,3,4
4
2.2.1 Segitiga urogenital
Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial dan dalam
bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melintang dangkal dan
otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus
melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian
belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse
perineal (otot yang melintang kontralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus
(sfingter). 2,4,5
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya
membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan dua sepertiga
bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora. 2,4,5
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia
membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk
digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama
terletak juga otot cincin eksternal uretra. 2,4,5
2.2.2 Segitiga anal
Bagian ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.4
2.2.3 Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan
kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang
rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva
dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal
melintang dan otot cincin anus bagian luar. 2,4,5
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo rektalis,
karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani
bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum
merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 2,4,5
2.2.4 Anatomi anorektum
Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri
dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah
persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga
5
bagian (subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan
tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborektalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan
lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin
otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum. 2,4,5
6
2) Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia serta otot-
otot diafragma urogenitalia. Pada laserasi derajat II, hendaknya luka dijahit kembali secara
cermat. Apabila terdapat rongga mati (dead space) antara jahitan-jahitan memudahkan
tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang terutama oleh kuman-kuman anaerob. Lapisan
kulit dijahit dengan benang catgut kromik atau benang sintetik yang baik secara simpul
(interrupted suture). Jahitan hendaknya jangan terlalu ketat agar tempat perlukaan tidak timbul
edema.
7
janin sangat menentukan sampai seberapa jauh dapat terjadinya perlukaan pada perineum. Untuk
mencegah terjadinya, perlukaan perineum yang bentuknya tidak teratur, dianjurkan episiotomi.
Pada perlukaan perineum derajat III yang tidak dijahit dapat mengakibatkan terjadinya
inkontinesia alvi. Pada perlukaan perineum seperti ini, memerlukan waktu sekurang-kurangnya 3
– 6 bulan pasca persalinan, sebelum luka perineum ini dapat dijahit kembali.
8
2.4.2 Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan tomy (memotong).
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput
lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia
perineum dan kulit sebelah depan perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut
sebagai episiotomi mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu diarahkan ke
lateral menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi mediolateral. 2,11,12
Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior, perbaikan dengan
bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal anterior. Episiotomi dapat
dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara lain:2
1) Distosia bahu
2) Sungsang
3) Janin makrosomia
4) Persalinan pervaginam dibantu
5) Posisi oksiput posterior persisten
6) dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila tidak
dilakukan episiotomi
Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 12
1. Indikasi janin
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang
berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi
vakum, dan janin besar.
2. Indikasi ibu. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan
terjadi robekan perineum, terutama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan
cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.
Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian, ditemukan
tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat
serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan. 2,11,12
Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan: 7
9
1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin
dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
4. Meningkatnya resiko infeksi.
10
pemberian anestesi, jari menyusup antara kepala dan perineum. Kemudian insisi dimulai
pada arah jam 6 pada introitus vagina dan diarahkan ke posterior. Panjang insisi sekitar 2
sampai 3 cm tergantung panjang perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun harus
dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar disambung ke lateral
(episiotomi medio lateralis). 2,12
11
Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis12
2.5.2 Episiotomi mediolateralis
1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau jam 5, kemudian
insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping.
Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan
orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 2, 12
12
2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik menjahit
episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan
luka selesai hasilnya harus simetris. 12
Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
Benang jahitan pada otot ditarik
Selaput lendir vagina dijahit
Jahitan otot-otot diikatkan
Fasia dijahit
Penutupan fasia selesai
Kulit dijahit
2.5.3 Episiotomi lateralis
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9
menurut arah jarum jam.12
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi.
Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna,
sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 12
13
pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit dengan
catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau kontinu.
Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum
dijahit dengan benang secara interuptus.
14
2.6.4 Derajat IV
Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan sfingter ani dan
mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan adalah teknik end-to-end dan teknik
kedua, yaitu teknik overlapping.
Teknik end-to-end dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan tepi mukosa
rektum dengan jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang yang dapat digunakan adalah 2-0
atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian ditutup dengan sfingter ani interne. Kemudian akhir
dari jahitan di sfingter ani eksterna diisolasi, dan ditutup secara end-to-end dengan 3-4 jahitan
terputus-putus.
15
yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi, jahitan yang terletak di bagian luar dan
terekspos dengan udara mungkin akan lebih lama terabsorbsi. Ketika benang jahit telah
diabsorbsi, pasien mungkin dapat merasakan potongan benang jahit ketika menmbersihkan
daerah perineum. Hal ini adalah normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh
secara normal, pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu
jelas. Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan aktifitas
seksualnya.2,12
Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah:
Kontrol nyeri pada hari-hari setelah persalinan biasanya dengan pemberian acetaminophen
atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat membutuhkan analgesik narkotik
(seperti kodein). Tetapi narkotik dapat menyebabkan konstipasi dengan feses yang keras,
sehingga dapat merusak luka jahitan robekan derajat III dan IV. 2,12
Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum yang baik
akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar untuk higiene perineum
adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat menggunakan botol semprot oleh
karena air hangat akan membantu mengurangi nyeri . 2,12
Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada robekan
tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan diare, karena
konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan, dan feces encer pada diare
dapat memasuki luka dan menyebabkan infeksi. Insiden konstipasi dan diare dapat
dikurangi dengan menggunakan pelunak feses dan diet rendah-residu yang dapat
membentuk feses lunak yang tidak besar. Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia
atau suppositoria karena dapat menimbulkan diare. 2,12
16
kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien dapat mengalami syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan perineum atau vagina yang
unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual. 9,10,11
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai dengan
keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit
membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi. 9,10,11
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan robekan
tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik. Inkontinensia dapat terjadi
segera maupun beberapa hari/minggu postpartum. Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat
luka yang kembali terbuka atau infeksi. 9,10,11
Nyeri perineum persisten dan dispareunia. Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri
perineum akan menghilang. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut
dapat tajam atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita
mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 9,10,11
2.9 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik,
dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun
dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien
dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika
tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.
2,10,11
17
BAB III
KESIMPULAN
Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang
dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur perineum dibagi menjadi ruptur yang
spontan dan ruptur yang disengaja. Ruptur perineum spontan terbagi atas ruptur perineum derajat
I-IV. Sedangkan ruptur perineum yang disengaja yaitu dengan melakukan episiotomi yang
bertujuan untuk mempermudah jalan lahir. Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan.
Pada suatu penelitian, ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko
inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan
persalinan dengan laserasi spontan.
Tatalaksana yang dilakukan terhadap ruptur perineum yaitu dengan dilakukan penjahitan
tergantung dari derajat kerusakan perineum tersebut. Teknik menjahit ruptur perineum bervariasi
tergantung pada derajat ruptur. Namun, untuk ruptur perineum derajat IV, teknik terbaik yang
ada saat ini adalah teknik end-to-end. Prognosis untuk ruptur perineum ini dapat dikatakan baik,
dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun
dapat terjadi inkontinensia alvi dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien
dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika
tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2011.
2. Cunningham FG et al. William Obstetrics ed 24th. New York: McGraw-Hill; 2014.
3. Dorland WA, Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010.
4. Netter FH. Atlas of Human Anatomy ed 6th. Philadelphia: Elsevier; 2014.
5. Norwitz ER, Schorge JO. Operative vaginal delivery dalam Obstetrics and Gynecology at
a Glance. Jakarta: Erlangga; 2007.
6. Pernoll ML. Perineotomy dalam Benson and Pernoll's handbook of Obstetrics &
Gynaecology 10th Ed. New York: McGraw-Hill Professional; 2001.
7. Edmonds DK. Chapter 24 dalam Dewhurt's Textbook of Obstetrics & Gynaecology.
Blackwell Publishing 7th Ed. London: Wiley; 2008.
8. Katariina L, Tiina P, Rune R, et al. Decreasing the Incidence of Anal Sphincter Tears
During Delivery in Obstetrics and Gynaecology. 2008.11(5):1053-1057
9. Willem J, Vierhout M, Struijk P, et al. Anal Sphincter Damage After Vaginal
Delivery: Functional outcome and risk factors for fecal incontinence dalam Acta Obstet
Gynecol Scand. 2001; 80: 830-834.
10. Cornet A, Porta O, Pineiro L, et al. Management of Obstetric Perineal Tears. Obstetrics
and Gynaecology Int. 2012:1-7.
11. Thakar R, Sultan A. Obstetric anal sphincter injury: 7 critical questions about care. Obg
Manag. 2008;20(2):56-68.
12. Prawirohardjo S. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2000.
19