INFEKSI GINEKOLOGI
Oleh :
Habibillah Gondawa P 1840312252
Chintia Amalia 1840312283
Preseptor :
Dr. Haviz Yuad, Sp.OG(K)
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Infeksi Ginekologi”.
Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Haviz Yuad, Sp.OG(K) sebagai
preseptor yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa
referat ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan
serta pemahaman mengenai “Infeksi Ginekologi” terutama bagi penulis sendiri dan
rekan-rekan sejawat lainnya.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Genitalia wanita merupakan kesatuan yang terdiri dari genitalia bagian luar
(bawah) dan genitalia atas. Secara embriologi, alat genitalia luar bersamaan
pembentukannya dengan anus dimana lokasinya saling berdekatan sehingga mudah terjadi
infeksi yang berasal dari bakteri, virus, dan lain-lain.1
Pertahanan alami alat genitalia merupakan sel epitel yang terdapat di vulva,
vagina, dan sebagian serviks. Dalam liang vagina tumbuh dan berkembang berbagai
bakteri komensal yang didominasi oleh lactobacillus acidophillus, yang dapat mengubah
glikogen menjadi asam laktat sehingga pH tetap 4,5. Kestabilan pH akan menekan tumbuh
dan kembang bakteri sehingga keseimbangan ini merupakan pertahanan terhadap infeksi
vagina.1
Gejala yang paling sering ditemukan pada infeksi ginekologi adalah adanya cairan
yang keluar dari vagina yang disebut vaginal discharge. Keluhan vaginal discharge
inilah yang paling sering menyebabkan wanita datang berobat atau memeriksakan
dirinya. Vaginal discharge dapat dibedakan antara yang fisiologis dan patologis.
Penyebab tersering leukore patologis adalah infeksi dimana cairan vagina mengandung
banyak sel darah putih dengan warna kekuningan hingga hijau, kental, dan berbau.
Beberapa infeksi genital yang dapat menyebabkan adanya keluhan vaginal discharge
yang patologis, antara lain bacterial vaginosis, candidiasis, trichomoniasis, dan
gonorrhoeae. Organ yang paling sering terkena infeksi adalah vulva, vagina, leher rahim,
dan rongga rahim.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
dengan korpora spongiosa membentuk komisura di bawah permukaan
ventralnya.
5) Vestibulum
Pada wanita dewasa dibatasi oleh garis Hart di sebelah lateral, permukaan
luar hymen disebelah medial, frenulum klitoris dibagian anterior, dan
fourchette di bagian posterior. Pada vestibulum vagina terdapat enam ostium:
uretra, vagina, dua duktus Bartholin, dan dua duktus Skene. Bagian posterior
vestibulum vagina diantra fourchette dan ostium vagina terdapat fosa
navikulare yang biasa terlihat hanya pada wanita nullipara.
6) Ostium vagina dan Hymen
Ostium vagina dikelilingi oleh hymen atau sisanya. Hymen adalah membaran
dengan berbagai ketebalan yang mengelilingi ostium vaginae secara engkap
atau sebagian. Terdiri dari jaringan ikat kolagen an elastik dan dilapis oleh
epitel gepeng berlapis.
7) Ostium uretra
Dua pertiga bawah ureetra terletak tepat diatas dinding anterior vagina.
Ostium terletak di garis tengah vestibulum, 1-1,5 cm di bawah arkus pubis
dan sedikit di atas ostium vagina.
8) Kelenjar vestibular
Terdiri dari sepasang kelenjar Bartholin dan sepasang kelenjar skene.
9) Bulbus Vestibular
b. Vagina
Vagina merupakan struktur muskulomembranosa berugae yang memanjang
dari vulva ke uterus dan terletak daiantara kandung kemih dan rektum. Di anterior
vagina dipisahkan dari traktus urinarius dengan jaringan ikat yang membentuk
septum vesiko-vaginal. Di posterior, dipisahkan dari traktus gastrointestinal dengan
septum rekto-vagina. Seperempat atas vagina dipisahkan dari rektum oleh cul-de-
sac Douglas. Pnjang vagina bervariasi tetapi umunya panjang dinding anterior dan
posterior vagina berturut-turut adalah 6-8 cm an 7-10 cm.
3
c. Perineum
Daerah antara tepi baawah vulva dengan tepi anus. Batas-batas otot
daifragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma urogenitalis
(m.perinealis transversusproffunda, m.constrictor urethra). Perineal body adaah
raphe median m.levator ani, antara anus dan vagina. Perineum meregang pada
persainan, kadang perlu di potong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan
mencegah ruptur.
Perdarahan berasal dari arteri pudendus interna yaitu cabang terminal bagian
depan arteri iliaka yang berakhir menjadi arteri dorsalis klitoris. Cabang-cabang
arteri pudenus interna juga mendarahi perineum, yaitu arteri rektalis inferior dan
labialis posterior. Cabang arteri femoral menyuplai bagian anterior dari vulva.
Selain itu arteri pudendus superfisial dan profunda juga memberikan suplai darah
untuk organ genitalia eksterna. Peksus vena yang luas mengelilingiorgan genitalia
eksterna dan mengikuti perjalanan arteri.
Pembuluh limfe dari sepertiga bawah, bersama berasal dari vulva, mengalir
utama ke nodi lymphoidei inguinale. Yang berasal dari sepertiga tengah mengalir
ke nodi iliaci interni, dan yang berasal dari sepertiga atas mengalir ke nodi iliaci
communes, interni, dan externa.
4
Persarafan genitalia eksterna yaitu terdiri dari:
1) N. pudendus, yaitu cabang n.spinalis S2, S3, dan S4
2) Selain itu persarafan sensorik tambahan yaitu dari n.illioinguinal (L1), n.
genitofemoral (L1 dan L2), n. cutaneus posterior
5
simpatik (pleksus iliaka interna, namun sebagian juga berasal dari sistem
serebrospinal dan parasimpatik (S2, S3, dan S4).
b. Serviks
Bagian terbawah uterus, terdiri dar pars vaginalis (berbatasan/menembus
dinding dalam vagina) dan pars supravaginais. Terdiri dari 3 komponen utama :
otot polos, jalinan jarngan ikat (kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar di
dalam rongga vagina yaitu portio serviks dengan lubang ostium uteri eksternum
(luar, arah vagina) dilapisi eptel skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium uteri
internum. Sebelum melahirkan lubng ostium eksternum bulat kecil, setelah
melahirkan berbeentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah ke kaudal-
posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukoserviks menghasilkan lendir
getah serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan
berbagai garam, peptida, dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir serviks
dipengaruhi siklus haid.
c. Tuba falopii/Salping
Sepasang tuba kiri-kanan, panjang 8-14 cm berfungsi sebagai jalan
transportasi ovum dariovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terdiri dari tida
lapisan: serosa, muskularis (longutidina dan sirkular), serta mukosa dengan epitel
bersilia.
Tuba terdiri dari :
Pars isthmica
Pars ampularis
Pars infundibulum
d. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).
e. Ovarium
Organ endokrin berbentuk oval berbentuk oval, terletak didalam rongga
peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikatan
jalan pembuluh darah dan saraf. Ovarium terdiri dari korteks an medula.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi
ovum, siintesis dan sekresi hormon-hormon steroid. Berhubungan dengan pars
infundibulum tuba falopii melalui perekatan fimbriae menangkap ovum yang
dilepaskan saat ovulasi.
6
Ovarium terfiksir oleh ligamentum ovarii propium, ligamentum
infundibulopelvicum dan jaringan iat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta
abdominalis inferior terhadap arteri renalis.
7
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Temuan discharge
putih menggumpal seperti keju disertai dengan gatal cukup untukmemikirkan adanya
kandidiasis. Eritema dan edema semakin menguatkan ke arah diagnosis. Pemeriksaan
sekret vagina diperlukan untuk menilai pH, dan mikroskopik. Whiff test biasanya negatif,
pewarnaaan gram menunjukkan adanya sel PMN, sel ragi dengan pseudohifa dan
blastospora. Jika sudah berkomplikasi dilakukan kultur sekret vagina untuk menentukan
terapi yang tepat.3
Terapi VVC dapat dilihat pada tabel 1.1 dibawah ini pada wanita hamil adalah
imidazole krim dan intravaginal ovules selama 14 hari. Hindari penggunaan flukonazol
oral pada wanita hamil trimester dua dan tiga karena meningkatkan terjadinya tetralogy
of Fallot.3,5
Tabel 2.1 Pemilihan terapi VVC3
8
b. Trichomonas vaginalis
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa flagelata anaerobik yang menempel
ke sel epitel traktus urogenital. Kejadian infeksi T.vaginalis dilaporkan 3,1% pada
populasi wanita usia reproduktif (14-49 tahun). 64-90% wanita terinfeksi adalah
asimtomatik dan menetap selama beberapa bulan sampai bertahun-tahun. Gejalanya
adalah discharge yang banyak berwarna kuning kehijauan, dan berbusa. Selain itu gatal,
disuria, vulvitis dan vaginitis, dan dispareunia bisa terjadi. Terkadang bisa terbentuk
strawberry cervix.3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik disertai hasil
pemeriksaan mikroskopik ditemukan adanya protozoa yang bergerak pada sampel sekret
vagina. Sampel harus diperiksa dalam 10 menit setelah pengambilan sampel.3
Terapi yang diberikan adalah metronidazol oral 1x 2 gr atau 2x 500 mg selama 7
hari. Jika belum ada perbaikan, berikan dengan dosis yang lebih tinggi dan dberikan
dalam waktu lebih lama, atau berikan Tinidazol oral 1x 2 gr untuk pasien dengan resisten
metronidazol. Lakukan terapi juga untuk pasangan. Penggunaan metronidazol oral aman
untuk wanita hamil.3,5
c. Bacterial Vaginosis
Bacterial vaginosis merupakan infeksi polimikrobial yang menyebabkan
berkurangnya jumah lactobacillus sp dan meningkatnya kuman patogen di vagina.
Lactobacilli memproduksi hydrogen untuk mengatur keseimbangan pH asam di sekitar
vagina. Apabila kadar Lactobacilus kurang, produksi hydrogen berkurang, sehingga pH
vagina menjadi lebih basa dan memungkinkan kuman komensal untuk berkembang biak
di vagina. Bakteri penyebab bacterial vaginosis adalah Gradnerella vaginalis,
Mobiluncus sp., Bacterioides sp., Provetella sp., dan Mycoplasma sp.3
Gejala adalah discharge yang banyak dan berbau. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan kriteria diagnostik, dikatakan
vaginosis bakterialis jika ditemukan 3 dari 4 kriteria, yaitu discharge vagina yang
homogen dan lengket; pH vagina > 4,5; ditemukan clue cell dari pemeriksaan
mikroskopik; whiff test positif. Tabel 2.2 menjelaskan mengenai pilihan terapi bacterial
vaginosis.3
9
Tabel 2.2 Terapi pilihan pada bacterial vaginosis3
d. Kondiloma Akuminatum
Kondiloma akuminatum merupakan infeksi vulva, vagina, atau serviks yang
disebabkan oleh beberapa subtipe human papilloma virus (hPV). Infeksi hPV merupakan
penyakit menular seksual yang paling biasa dan terkait dengan lesi-lesi intraepitelial di
serviks, vagina, dan vulva, juga dengan karsinoma skuamosa dan adenokarsinoma.
Subtipe yang menyebabkan kondiloma eksofitik biasanya tidak terkait dengan terjadinya
krsinoma.6
Kondiloma akuminatum merupakan 9,47% dari penyakit menular seksual di
delapan RS umum di Indonesia pada tahun 1986-1988. Insidensi puncak pada umur 15-
25 tahun. Pasien dengan kehamilan, imunosupresi, dan diabetes berisiko lebih tinggi. 6
10
Keluhan dan gejala dapat berupa lesi lunak bertangkai pada setiap permukaan
mukosa atau kulit yang bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Lesi biasanya tidak
menimbulkan keluhan kecuali terluka atau terkena infeksi sekunder sehingga
menyebabkan perdarahan atau nyeri. 6
Diagnosis dibuat melalui inspeksi. Pemeriksaan kolposkopi dapat membantu
identifikasi lesi-lesi serviks atau vagina, diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat
perubahan akibat hPV melalui pemeriksaan mikroskopik biopsi atau pap smear. Dapat
juga dilakukan pemeriksaan DNA. Terapi berupa mengangkat lesi jika ada keluhan atau
alasan kosmetik, antara lain: 6
Podofilin. Lesi diusap dengan podofilin setiap minggu selama 4-6 minggu
kemudian dicuci setelah 6 jam. Terapi ini kontraindikasi untuk pasien hamil.
Asam trikloroasetat dipakai setiap 1-2 minggu hingga lesi lepas.
Krim imikuimod 5% dipakai 3x seminggu selama 16 minggu, krim dibiarkan
selama 6-10 jam.
Terapi krio, elektrokauter, atau terapi laser dapat digunakan untuk lesi yang
lebih besar.
11
Servisitis klamidia trakomatis mengeluhkan keluhan keluar cairan vagina, bercak
darah, atau perdarahan pasca senggama. 30-50% penderita servisitis trakomatis tidak
bergejala. Pada pemeriksaan serviks akan tampak erosi dan rapuh, disertai cairan
mukopurulen berwarna kuning-hijau. Pewarnaan gram memperlihatkan adanya PMN >
10 leukosit per lapang pandang. Terapi yang dianjurkan adalah Azitromisin 1gr per oral
(dosis tunggal) atau doksisiklin 100 mg per oral 2x sehari selama 7 hari. Pasangan seks
harus diobati juga. Alternatif antibiotik lainnya aalah eritromisin 4x500 mg selama 7 hari
atau eriromisin etilsuksinan 4x800 mg selama 7 hari atau Ofloksasin 2x300 mg selama 7
hari atau Levoflosasin 1x500 mg selama 7 hari.5
Servisitis gonorea didiagnosis dari hasil pemeriksaan pewarnaan gram ditemukan
diplokoki intraseluler dan ekstraseluler disertai dengan banyaknya PMN. Selain itu kultur
dengan agar coklat menjadi pilihan terbaik untuk memastikan namun memakan waktu
yang lama. Terapi anjuran adalah Seftriakson 125 mg i.m (dosis tunggal) atau Sefiksim
400 mg per oral (dosis tunggal), atau Siprofloksasin 500 mg per oral (dosis tunggal), atau
ofloksasin 400 mg per oral (dosis tunggal) atau levofloksasin 250mg per oral (dosis
tunggal).5,6
2.2.2.2 Gonore
a. Definisi
Gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang bersifat akut dan disebabkan
oleh Neisseria gonorrhoeae suatu kuman gram negatif berbentuk seperti biji kopi dan
letaknya dapat intra maupun ekstraseluler.7,9,10
Gonore merupakan penyakit kelamin yang pada permulaan keluar nanah dari OUE (
Orifisium Uretra Eksternum ) sesudah melakukan hubungan kelamin.12
b. Etiologi
Penyebab gonore adalah kuman gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada
tahun 1879 dan baru diumumkan pada tahun 1882. Neisseria gonorrhoeae adalah kokus
gram negatif, diameter 0,6 sampai 1,5 μm, biasanya terlihat berpasangan dengan sisi
datar yang berdekatan. Organisme ini sering kali ditemukan intraseluler dalam leukosit
polimorfonuklear ( neutrofil ) dari bahan eksudat pustular. Fimbriae, yang memainkan
peranan yang penting pada proses perlekatan, memanjang beberapa mikrometer dari
permukaan sel.7
12
Gambar 2.3 Neisseria Gonorrhoea
c. Epidemiologi
Di dunia diperkirakan terdapat 200 juta kasus baru gonore setiap tahunnya.
Dimana pria 1,5 kali lebih banyak daripada wanita.Di Amerika Serikat diperkirakan
terdapat 600.000 kasus baru gonore setiap tahunnya, kira-kira 240 kasus per 100.000
populasi. Insiden gonore tertinggi terjadi di negara-negara berkembang. Lebih banyak
mengenai penduduk dengan sosial ekonomi rendah.7,10
Infeksi ini ditularkan melalui hubungan seksual, dapat juga ditularkan kepada
janin pada saat proses kelahiran berlangsung. Walaupun semua golongan rentan terinfeksi
penyakit ini, tetapi insidens tertingginya berkisar pada usia 15-35 tahun pada populasi
wanita pada tahun 2000, insidens tertinggi terjadi pada usia 15 -19 tahun (715,6 per
100.000) sebaliknya pada laki-laki insidens rata-rata tertinggi terjadi pada usia 20-24
tahun (589,7 per 100.000).7,10
d. Patofisiologi
Manusia adalah satu-satunya reservoar untuk Neiserria gonorrhoeae. Organisme
ini cepat berkembang biak, dan infeksi menyebar melalui kontak langsung dengan
mukosa yang terinfeksi, biasanya sewaktu berhubungan kelamin. Bakteri ini mula-mula
melekat ke epitel mukosa, terutama tipe kolumnar atau transisional, menggunakan
beragam molekul perekat di membran dan struktur yang di namai pili .Perlekatan ini
mencegah organisme terbilas oleh cairan tubuh, misalnya urine atau mukus endoserviks.
Karena adanya perlekatan dari bakteri ini mengakibatkan timbulnya respon dari host
dengan adanya invasi dari neutrofil, pengelupasan epitel, pembentukan mikroabses
submukosal dan discharge purulent.9
13
Gonokokus (Neiserria gonorrhoeae) dapat bertahan didalam uretra meskipun
proses hidrodinamik akan membilas organisme dari permukaan mukosa. Oleh karena itu
gonokokus harus dapat melekat dengan efektif pada permukaan mukosa. Perlekatan
gonokokus dengan perantaraan pili, dan mungkin permukaan epitel lainnya. Hanya
mukosa yang berlapis epitel silindris dan kubis yang peka terhadap infeksi gonokokus.7,10
Gonokokus akan melakukan penetrasi permukaan mukosa dan berkembang biak
dalam jaringan subepitelial. Gonokokus akan menghasilkan berbagai produk ekstraseluler
seperti fosfolipase, peptidase yang dapat mengakibatkan kerusakan sel. Adanya infeksi
gonokokus akan menyebabkan mobilisasi leukosit PMN (Polymorpho nuclear),
menyebabkan terbentuknya mikro abses subepitelial yang pada akhirnya akan pecah dan
melepaskan PMN dan gonokokus.7,10
Kuman ini mempunyai pili dan beberapa protein permukaan, sehingga dapat
melekatpada sel epitel kolumner dan menuju ruang subepitelial. Dengan adanya
lipooligosakaridaakan menimbulkan invasi dan destruksi sel epitel mukosa dan lapisan
submukosa secara progresif, disertai dengan respons dari leukosit polimorfonuklear yang
hebat. Peradangan dandestruksi sel epitel tersebut menimbulkan duh tubuh
mukopurulen.7,10
e. Manifestasi Klinis
Penularan terjadi melalui kontak seksual dengan penderita gonore. Masa tunas
penyakit berkisar antara 2-5 hari. Sesudah lewat masa tunas penderita mengeluh nyeri
dan panas pada waktu kencing. Kemudian keluar nanah yang berwarna putih susu dari
uretra dan muara uretra membengkak. Pada wanita dapat timbul fluor albus. 7,8,9,10
Pada wanita gejala uretritis ringan atau bahkan tidak ada, karena uretra pada
wanita selain pendek, juga kontak pertama pada cervix sehingga gejala yang menonjol
berupa servisitis dengan keluhan berupa keputihan. Karena gejala keputihan biasanya
ringan, seringkali disamarkan dengan penyebab keputihan fisiologis lain, sehingga tidak
merangsang penderita untuk berobat. Dengan demikian wanita seringkali menjadi carrier
dan akan menjadi sumberpenularanyangtersembunyi.7,8,9,10
Masa tunas pada wanita sulit ditentukan karena biasanya asimptomatis. Gejala
utama meliputi duh tubuh vagina yang berasal dari endoservisitis dimanabersifat purulen,
tipis dan agak berbau. Beberapa pasien dengan servisitis gonore kadang mempunyai
gejala yang minimal. Disuria atau keluar sedikit duh tubuh dari uretra yang mungkin
disebabkan oleh uretritis yang menyertai servisitis. Dispareunia dan nyeri perut bagian
bawah. Jika servisitis gonore tidak diketahui atau asimptomatis maka dapat berkembang
14
menjadi PID. Nyeri ini bisa merupakan akibat dari menjalarnya infeksi keendometrium,
tuba fallopi, ovarium dan peritoneum. Nyeri bisa bilateral, unilateral dan tepat pada garis
tengah. Dapat disertai panas badan, mual dan muntah. Nyeri perut bagian kanan atas dari
perihepatitis ( Fitz-Hugh-Curtis syndrome) bisa terjadi melalui penyebaran bakteri keatas
lewat peritoneum. 7,8,9,10
Pada kasus-kasus yang simtomatis dengan keluhan keputihan harus dibedakan
dengan penyebab keputihan yang lain seperti trichomoniasis, vaginosis, candidiasis
maupun uretritis non gonore yang lain. Pada wanita, infeksi primer tejadi di endocerviks
dan menyebar kearah uretra dan vagina, meningkatkan sekresi cairan yang mukopurulen.
Ini dapat berkembang ke tuba uterine, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi
tuba. Ketidak suburan ( infertilitas) terjadi pada 20% wanita dengan salpingitis karena
gonococci. 7,8,9,10
15
f. Diagnosis
1) Anamnesis
o Adanya coitus suspectus
o Fellatio
o Cunilingus
2) Pemeriksaan Fisik
Saluran Urogenital Bawah
o Sekret mukopurulen atau purulen dari serviks
o Sekret atau perdarahan dari vagina9,10,12
Saluran Urogenital Atas
o PID (Pelvic Inflammatory Disease)
o Nyeri abdomen bagian bawah dengan atau tanpa penyebaran rasa
nyeri
o Nyeri pada waktu serviks digerakkan
o Nyeri tekan adneksa
o Panas badan
o Nyeri tekan abdomen bagian kanan atas9,10,12
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Cara pengambilan spesimen
o Spesimen pada penderita servisitis gonore diambil dari endoserviks,
digunakan pada pemeriksaan Gram dan kultur.
o Pengambilan duh tubuh endoserviks dilakukan dengan memakai alat
spekulum yang telah dibasahi air, kemudian dimasukkan kedalam
vagina.
o Swab (lidi kapas) steril dimasukkan kedalam kanalis servikalis sedalam
2-3 cm,kemudian swab diputar selama 10 detik dan diangkat.7,9,10
a) Sediaan Langsung (Pewarnan Gram)
Pengecatan gram adalah test yang cepat dan tidak mahal.
Sediaan diwarnai dengan pewarnaan gram untuk melihat adanya
kuman Diplokokus gram negatif, berbentuk biji kopi yang terletak
intra dan ekstraseluler.
Bahan pemeriksaan diambil dari pus diuretra yang keluar spontan
16
ataupun melalui pemijatan, sedimen urin, secret dari massase prostat (
pada pria), muara uretra , muara kelenjar bartolin, serviks, rectum (
pada wanita ) dan sekret mata ( pada bayi )
Pada wanita dengan hasil kultur serviks yang positif, hasil pengecatan
gram dari endoserviks mempunyai sensitivitas 50-60% dan
spesifisitas 82-97%. Adanya lebih dari 30 sel PMN (
Polymorphonuclear) per high-power field dari hapusan endoserviks
mencerminkan adanya servisitis.
Sensitivitas dan spesifisitas pengecatan gram lebih rendah pada
spesimen endoservikal dan rektal.7,9,10
b) Kultur
Pemeriksaan kultur pada gonore mempunyai sensitivitas sekitar
80- 90%. Terdapat beberapa macam media untuk isolasi Neiserria
gonorrhoeae yaitu media transport dan mediapertumbuhan. Media
transport digunakan jika letak pengambilan spesimen jauh
darilaboratorium. Spesimen dalam media transport yang disimpan dalam
lemari es dapat tahan selama 24 jam. 7,9,10
Pengobatan yang benar meliputi : pemilihan obat yang tepat serta
dosis yang adekuat untuk menghindari resistensi kuman. Melakukan
tindak lanjut secara teratur sampai penyakitnya dinyatakan sembuh.
Sebelum penyakitnya benar-benar sembuh dianjurkan untuk tidak
melakukan hubungan seksual. Pasangan seksual harus diperiksa dan
diobati agar tidak terjadi “fenomena pingpong”.7,9
17
Terapi gonore tanpa komplikasi: 7,9
Cefixime 400 mg per oral dosis tunggal
Ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal
Ciprofloxacine 500 mg per oral dosis tunggal
Ofloxacin 400 mg per oral dosis tunggal
Spectinomycin, 2 g im injeksi, dosis tunggal
Bila diduga ada infeksi campuran dengan Chlamydia dapat ditambahkan: 7,9
o Erytromycine 500 mg sehari 4 kali peroral selama 7 hari
o Doxycycline 100 mg/ sehari 2 kali peroral selama 7 hari
Untuk Ciprofloxacin CDC menganjurkan untuk tidak diberikan pada area
geografi tertentu karena sudah resisten seperti Inggris, Wales, Kanada sedangkan
Asia,Kepulauan Pasifik, California dilaporkan masih peka dan sensitif.
Ciprofloxacin kontraindikasi untuk ibu hamil dan tidak dianjurkan untuk anak-
anak.7,9
Terapi gonore pada wanita hamil: 7,9
Ceftriaxone 250 mg dosis tunggal
Amoxicilline 3g + probenesid 1 g
Cefixime 400 mg dosis tunggal7,9
18
endometrium. Gambaran histologik klasik endometritis kronik berupa reaksi radang
monosit dan sel-sel plasma di dalam stroma endometrium (lima sel plasma per lapang
pandang kuat). Todak ada korelasi antara adanya sejumlah kecil sel leukosit
polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola infiltrat radang limfosit dan sel-sel
plasma yang tersebar di seluruh stroma endometrium terdapat pada kasus endometritis
berat. Kadang dapat terjadi nekrosis stroma. 6
Terapi pilihan untuk endometritis kronik adalah doksisiklin 100mg per oral 2x
sehari selama 10 hari. Dapat pula dipertimbangkan cakupan lebih luas untuk organisme
anaerobik terutama bila ditemukan vaginosis vakterial. Jika terkait dengan PID akut,
terapi harus difokuskan pada organisme penyebab utama termasuk N. Gonorrhoeae dan
C. Trachomatis, demikian pula cakupan polimikrobial yang lebih luas. 6
19
Cairan serviks atau vagina tidak normal
Leukosit dalam jumlah yang banyak pada pemeriksaan sekret vagina
Kenaikan LED
Protein C- Reaktif meningkat
Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh Gonorea atau C.trachomatis
c. Kriteria spesifik
Biopsi endometrium disertai bukti histopatologis endometritis
USG transvaginal atau MRI memperlihatkan tuba menebal penuh berisi cairran
dengan atau tanpa cairan bebas di panggul atau kompleks tubovarial atau daari
doppler tampak hiperemia tuba
Hasil pemeriksaan laparaskopi yang menunjukkan PID
Terapi yang diberikan adalah terapi parenteral selama 48 jam dilanjutkan terapi
oral sampai 24 jam setelah ada perbaikan klinis. Terapi parenteral yang
direkomendasikan adalah Sefotan 2 gr i.v setiap 12 jam atau Sefoksitin 2 gr i.v setiap 6
jam atau Doksisiklin 100 mg oral atau pareenteral setap 12 jam. Terapi oral dengan
Levofloksasin 1x500 mg atau ofloksasin 2x400 mg selama 14 hari dengan atautanpa
metronidazol 2x500 mg selama 14 hari, dipertimbangkan untuk penderita ringan atau
sedang. Jika dengan terapi oral tidak membaik dalam 72 jam harus dire-evaluasi.7
Komplikasi dari PID adalah infertilitas, KET, nyeri panggu kronik, dispareunia,
sindrom Fitz-Hugh-Curtis (nyeri akut dan nyeri tekan kuadran kanan atas) karena
perlengketan fibrosa perihepatik akibat perdangan PID.7
2.2.5 Sifilis
a. Definisi
Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi Treponema
pallidum, menular melalui hubungan seksual atau secara transmisi vertikal. Sifilis bersifat
kronik, sistemik, menyerang hampir semua alat tubuh dan dianggap sebagai peniru akbar
(the great imitator) dalam bidang kedokteran (terutama sebelum ada AIDS) karena
banyaknya manifestasi klinis. Merupakan penyakit menular sedang dengan angka
infektifitas 10% untuk setiap kali hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi.
Individu dapat menularkan penyakit pada stadium primer dan sekunder sampai tahun
pertama stadium laten. 6
20
b. Gejala dan Tanda
Lesi primer (Chancre ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah terpajan.
Lesi biasanya keras (indurasi), tidak sakit, terbentuk ulkus dengan mengeluarkan eksudat
serosa di tempat masuknya mikroorganisme. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah
terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran
kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras non fluktuan. Infeksi juga dapat terjadi
tanpa ditemukannya ulkus durum yang jelas, misalnya infeksi terjadi di rectum atau
cervik. Walaupun tidak diberi pengobatan ulcus akan hilang sendiri setelah 4-6 minggu.
Sepertiga dari kasus yang tidak diobati akan mengalami stadium generalisata, stadium
dua, di mana muncul erupsi kulit yang kadangkala disertai dengan gejala kontitusional
tubuh. Timbul makolo popular biasanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti
dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari Sifilis yang akan
hilang spontan dalam beberapa minggu atau sampai 12 bulan kemudian. Penderita
stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan masuk ke
dalam fase laten selama berminggu-minggu bahkan selama bertahun-tahun. 6
Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada selaput
lendir. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis
sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis
dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadangkala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian
lain yang tidak dapat diramalkan, 5-20 tahun setelah infeksi terjadi lesi aorta yang sangat
berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau guma dapat muncul di kulit, saluran pencernaan
tulang atau pada permukaan selaput lendir. 6
Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang
serius, sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan
menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat
yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. 6
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat
mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang
pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. Infeksi
pada janin dapat berakibat aborsi, stillbirth, atau kematian bayi karena lahir prematur atau
lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit
sistemik. Infeksi congenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul
kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP. 6
21
Dan kadangkala infeksi konginital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang
dapat menimbulkan stigmasasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung
pelana kuda), saber shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli.
Sifilis congenital kadangkala asimtomatik, terutama pada minggu-minggu setelah lahir.6
c. Cara Penularan
Cara penularan sifilis adalah dengan cara kontak langsung. Sifilis infeksius dari
lesi awal kulit dan selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan
penderita sifilis. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat jelas. Pemajanan hampir
seluruhnya terjadi karena hubungan seksual. Penularan karena mencium atau pada saat
menimang bayi dengan sifilis konginetal jarang sekali terjadi. Infeksi transplasental
terjadi pada saat janin berada dalam kandungan ibu menderita sifilis.6
Transfusi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada
stadium awal. Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa terjadi
namun kenyataannya boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas
kesehatan pernah dilaporkan mengalami lesi primer pada tangan mereka setelah
melakukan pemeriksaan penderita sifilis dengan lesi infeksius.6
Terapi Rekomendasi terapi sifilis oleh CDC adalah sebagai berikut:2
Sifilis Primer dan Sekunder
Benzatin penisilin G 24 juta unit im dalam dosis tunggal. Alergi penisilin
(tidak hamil) diberikan doksisiklin 10 mg po 2x1 selama 2 minggu atau
tetrasiklin 500 mg po 4x1 selama 2 minggu.
Sifilis Laten
Sifilis laten awal (<1 tahun) : Benzatin penisilin G 2,4 juta unit im dalam
dosis tunggal.
Sifilis laten akhir (>1 tahun) atau tidak diketahui lamanya: Benzatin
penisilin G total 7,2 unit diberikan dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta
unit im dengan interval 1 minggu.
Sifilis Tersier
Benzatin penisilin G total 7,2 juta unit diberikan dalam 3 dosis masing-
masing 2,4 juta unit im dengan interval 1 minggu. Alergi penisilin diberikan
sama seperti untuk sifilis laten akhir.
Neurosifilis
Penisilin G kristalin aqua 18-24 juta unit setiap hari diberikan dalam 3x4
juta unit iv tiap 4 jam atau infus berkelanjutan selama 10-14 hari.
22
Sifilis dalam kehamilan
Terapi penisilin sesuai dengan stadium sifilis perempuan hamil. Beberapa
pakar merekomendasikan terapi tambahan (misal dosis kedua benzatin
penisilin 2,4 juta unit im) 1 minggu setelah dosis inisial, terutama untuk
perempuan pada trisemester ketiga, dan untuk mereka yang menderita sifilis
sekunder selama kehamilan. Alergi penisilin: seorang perempuan hamil
dengan riwayat alergi penisilin harus diterapi dengan penisilin
setelah desensitisasi.
Sifilis pada pasien yang terinfeksi virus HIV
Sifilis primer dan sekunder: Benzatin penisilin 2,4 juta unit im. Pasien
yang alergi dengan penisilin harus didesensitisasi dan diberi terapi dengan
penisilin. Sifilis laten (pemeriksaan cairan serebrospinal normal): benzatin
penisilin G 7,2 juta unit dibagi dalam 3 dosis mingguan masing-masing 2,4
juta unit.
Tindak lanjut setelah terapi sifilis awal maka perlu diperiksa VDRL atau titer reagen
plasma cepat setiap 3 bulan selama 1 tahun (uji sebaiknya dikerjakan oleh laboratorium
yang sala). Titer harus turun empat kali dalam setahun. Jika tidak maka diperlukan
pengobatan kembali. Bila pasien telah terinfeksi lebih dari satu tahun maka titer harus
diikuti selama 2 tahun. Uij FTA-ABS yang spesifik akan tetap positif selamanya. 6
23
dan pada perabaan terasa nyeri. Tempat predileksi pada wanita ialah labia, klitoris,
fourchette, vestibuli, anus, dan serviks.13
24
c. Pengobatan
Center of disease control (1998) merekomendasikan pengobatan chancroid
pengobatan chancroid dengan:13
1) Azythromycin 1 g PO dosis tunggal atau
2) Seftriakson 250 mg IM dosis tunggal atau
3) Siprofloksasin dosis 500 mg PO 2x sehari selama 3 hari atau
4) Eritromisin 500 mg 4x sehari selama 7 hari
25
c. Pengobatan
Ulsers diobati tidak sembuh secara spontan . Sebaliknya akan memburuk dengan
waktu , dan pengobatan antibiotik yang lebih baik dimulai sejak dini. 13
Pertama Azithromycin 500 mg 1x1
selama 1
minggu
Doxycycline 100 mg 2x1
selama
minimal 3
minggu
Kedua Trimethoprim/sulfametho 800 mg atau 160
xazole mg
2x1 selama 3
minggu
Ciprofloxacin 750 mg 2x1
selama 3
minggu
Erytromycin 500 mg/oral 4x1
selama 3
minggu
Pasien harus melanjutkan pengobatan sampai semua gejala klinis terlihat telah
benar-benar sembuh . Spesimen biopsi Serial mungkin diperlukan . Jika pasien tidak
membaik dalam beberapa hari pertama pengobatan, penambahan gentamisin 1 mg / kg
intravena setiap 8 jam perlu dipertimbangkan.13
26
Limfogranuloma venereum mengenai pembuluh limfe dan kelenjar limfe terutama pada
daerah genital.6
b. Etiologi
Agen etiologi yang terlibat dalam patogenesis LGV adalah C. trachomatis. C.
trachomatis merupakan organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri dalam hal
pembelahan sel, metabolisme, struktur maupun kepekaan terhadap antibiotika dan
sebagian bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang biak.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan sekret infeksius, umumnya melalui
berbagai macam hubungan seksual baik oral, genital atau anal.7,8
c. Patogenesis
Limfogranuloma venereum merupakan penyakit jaringan limfatik. C. trachomatis
tidak dapat menembus kulit sehat. Organisme ini masuk ke pembuluh limfatik melalui
mikrotrauma pada kulit atau sel epitel membran mukosa. Kuman patogen menginfeksi
kelenjar getah bening dan menyebabkan limfangitis serta limfadenitis. Prosesnya
melibatkan trombolimfangitis dan perilimfangitis disertai penyebaran reaksi inflamasi
kelenjar getah bening yang terinfeksi menuju ke jaringan sekitar.7
Limfangitis ditandai adanya proliferasi sel endotel yang menyebabkan
pembesaran kelenjar getah bening dan pembentukan area nekrosis. Area nekrosis
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan membentuk stelate absceses berbentuk
segitiga atau segiempat yang dikelilingi oleh sel epiteloid, makrofag dan giant cell.
Abses dapat bergabung dan pecah spontan membentuk fistula atau saluran sinus. Pada
proses inflamasi terjadi penyembuhan dengan fibrosis setelah beberapa minggu atau
bulan. Pembentukan fibrosis akan menghancurkan struktur normal dari kelenjar getah
bening dan menghalangi aliran limfe.7
Limfangitis yang kronis progresif menyebabkan edema kronis dan fibrosis
sklerosis sehingga aliran limfe terbendung. Hal ini mengakibatkan striktur dan fistula
yang dapat menyebabkan elefantiasis dari genital, esthiomene dan frozen pelvis
syndrome. Fibrosis juga mengakibatkan gangguan suplai darah menuju kulit atau
membran mukosa. Hal ini menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa rektum, inflamasi
transmural dinding usus, obstruksi drainase limfatik, perlekatan antara kolon sigmoid
dan rektum ke dinding panggul atau organ sekitar serta pembentukan striktur fibrotik.
Proses patologi pada LGV bersifat lokal pada satu atau dua kelenjar getah bening,
namun organisme ini dapat menyebar secara sistemik di pembuluh darah dan mencapai
sistem saraf pusat. Imunitas host, persistensi bakteri di jaringan atau infeksi berulang
27
yang diakibatkan serovar serupa atau serovar yang terkait C. trachomatis berperan
penting dalam perkembangan sistemik penyakit ini.6
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis LGV bervariasi tergantung pada jenis kelamin pasien, stadium
penyakit dan cara penularan. Limfogranuloma venereum bersifat kronis progresif
dengan 3 stadium klinis yaitu primer, sekunder dan tersier.13
1) Limfogranuloma Primer
Lesi primer LGV muncul dalam bentuk papul yang tidak nyeri, pustul, nodul,
erosi yang dangkal, atau ulkus herpetiform. Lesi muncul setelah masa inkubasi selama 3-
30 hari. Lokasi lesi primer LGV pada laki-laki paling sering di sulkus koronarius,
frenulum, preputium, penis, glans penis, skrotum sedangkan pada wanita di dinding
vagina posterior, fourchette, serviks posterior dan vulva. Lesi primer bersifat sementara,
membaik dalam waktu 1 minggu dan dapat tidak diketahui apabila terdapat lesi di uretra,
serviks atau rektum. Sekret mukopurulen dari uretra, serviks atau rektum dapat muncul
tergantung pada tempat inokulasi. Lesi ekstra genital telah dilaporkan dalam bentuk ulkus
dan fisura di area perianal pada LSL, bibir atau kavum oris (tonsil) dan kelenjar getah
bening ekstra genital. Bentuk lesi primer yang jarang yaitu balanitis, balanopostitis,
bubonulus, servisitis, salpingitis atau parametritis. 13
2) Limfogranuloma Sekunder
Dua sampai enam minggu setelah muncul lesi primer, terjadi diseminasi melalui
kelenjar getah bening dan hematogen. Limfogranuloma sekunder dapat menyebabkan
sindrom inguinal dan sindrom anorektal bergantung pada lokasi inokulasi. Sindrom
28
inguinal muncul setelah lesi primer pada vulva anterior, penis atau uretra. Sindrom ini
ditandai dengan keterlibatan kelenjar limfe inguinal dan atau femoral yang sering
ditemukan pada laki-laki. Pada sindrom ini yang terkena yaitu kelenjar limfe inguinal
medial yang merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Episode limfadenitis
sering menyembuh secara spontan dalam 8-12 minggu. Kelenjar getah bening lain dapat
terlibat tergantung dari lokasi lesi primer. 13
Gambar 2.9 Bubo awal berupa pembesaran KGB unilateral yang berkoalesen. Kulit
dibawahnya eritema dan berindurasi
3) Limfogranuloma Tertier
Limfogranuloma venereum sering juga disebut sebagai sindroma genitoanorektal
atau anogenitorektal. Stadium ini banyak ditemukan pada wanita dengan sindrom
anorektal yang tidak diterapi dan laki-laki homoseksual. Mukosa rektal wanita
terinokulasi langsung saat berhubungan anal atau melalui penyebaran limfatik dari
serviks dan dinding posterior vagina. Pada laki-laki, mukosa rektal terinokulasi langsung
dengan Chlamydia saat berhubungan anal atau melalui penyebaran limfatik dari uretra
posterior. Gambaran khasnya berupa proktitis atau proktokolitis kronis diikuti
pembentukan abses perirektal, striktur anorektal, stenosis rektal, sinus perineal, fistula
rektovaginal/rektovesika, fistula anal, limfedema genital (elefantiasis genital), esthiomene
dan lymphorrhoids (hiperplasia jaringan limfatik perirektal). Sindrom inguinal yang tidak
29
diterapi dapat menyebabkan terbentuknya fibrosis pada kelenjar inguinal medial.
Akibatnya aliran limfe terbendung dan terjadi edema serta elefantiasis. Pada pria,
elefantiasis terjadi di penis dan skrotum, sedangkan wanita di labia dan klitoris. Edema
pada penis dan skrotum sering disebut “saxophone penis”. Elefantiasis penoskrotal
muncul 1-20 tahun setelah infeksi. Jika meluas terbentuk elefantiasis genitoanorektal
yang disebut sindrom Jersild. 13
d. Pemeriksaan laboratorium
Pada gambaran darah tepi tampak leukositosis ringan dengan peningkatan
monosit dan eosinofil berkaitan dengan adanya bubo dan LGV anogenitorektal.
Leukositosis PMN yang signifikan ditemukan pada bubo yang superinfeksi dengan
bakteri piogenik. Laju endap darah (LED) juga mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan keaktifan dari penyakit, namun tidak khas untuk LGV. Abnormalitas
laboratorium klinis lain yang ditemukan berupa peningkatan konsentrasi gamma globulin
yang disebabkan oleh peningkatan IgA, IgG dan IgM. 13
e. Terapi antibiotik sistemik
Regimen terapi yang tepat dapat mengobati infeksi dan mencegah kerusakan
jaringan lebih lanjut. Limfogranuloma venereum menyebabkan infeksi berat dengan
sekuele yang tidak dapat kembali seperti normal jika terapi tidak adekuat. Diagnosis awal
dan akurat sangat penting untuk penyakit ini. C. trachomatis harus diterapi dengan obat
antibakterial yang mencapai konsentrasi tinggi pada intraseluler. Obat-obat yang bersifat
intracellular-acting agents yaitu doksisiklin, eritromisin, azitromisin serta golongan
quinolon tertentu. Doksisiklin merupakan terapi utama untuk penyakit ini. Pada wanita
hamil dan menyusui diterapi dengan eritromisin atau azitromisin. Selama terapi pasien
harus di follow up hingga tanda dan gejala penyakit telah sembuh. 13
30
b. Etiologi
HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA.
Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes
simpleks, yaitu HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital
(orofacial); dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada laki-
laki dan perempuan, akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik pada
area orofacial maupun genital dan dapat menyebabkan infeksi akut dan rekuren.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi). Terdapat perbedaan antara kedua
tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada genital lebih
sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan HSV-1 tingkat
rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi enam kali lebih
sering daripada infeksi HSV pada orolabial. 13
c. Klasifikasi Klinis
Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut
dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering
menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis.
Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah,
terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti
oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan
oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh HSV-2.
13
31
yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes
simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada
genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks. 13
2) Initial Nonprimary Genital Herpes
Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah terinfeksi oleh HSV tipe lain,
biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2 sebelumnya seropositif terhadap HSV-1.
Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara sistemik jarang terjadi. 13
3) Recurrent Genital Herpes
Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau berikutnya oleh tipe virus
yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan
gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi,
kurang tidur, hubungan seksual, dsb), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi),
dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempay yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di
sekitarnya (non loco). 13
Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalami reaktivasi
daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis pada herpes genitalis rekuren
biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada infeksi pertama, biasanya berlangsung
kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodormal lokal sebelum timbul
vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Bersama dengan herpes genital rekuren dapat
ditemukan cervicitis, uretritis, limfadenopati, neuropati, gejala sistemik, namun sangat
jarang. 13
4) Subclinical Infection
Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipe primary, nonprimary
initial, atau recurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini berarti pada penderita tidak
ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada
ganglion dorsalis. 13
32
d. Patogenesis
HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesviridae.
Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai berikut:
13
33
e. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi herpes genitalis biasanya berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi
primer yang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu. 13
1) Primary Genital Herpes
Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral. Umumnya
dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan pada laki-laki,
biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul setelah 7-15 hari berupa
papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta.
34
2) First Episode Nonprimary Genital Herpes
Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada infeksi primer.
Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak pada daerah inguinal lebih jarang
ditemukan daripada infeksi primer. 13
3) Recurrent Genital Herpes
Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang terdiri
dari 2-10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya terdapat di satu sisi
tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi lesi sebelumnya. Gejala infeksi
rekuren selain dapat terjadi di genital dan perianal, juga dapat terjadi di daerah bokong,
paha, dan perut bagian bawah (disebut juga area “boxer shorts”). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah lesi ulseratif atipikal, tanpa didahului oleh periode vesikular ataupun
pustular. Gejala neurologis prodormal biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi,
biasanya berupa parestesia (rasa terbakar, kesemutan), atau hypesthesia pada daerah lesi
atau di sepanjang perjalanan nervus sakralis. Gejala sistemik dan pembengkakan daerah
inguinal jarang ditemukan. 13
Gambar 2.13A Herpes genitalis rekuren pada penis. Vesikel berkelompok dengan krusta
di bagian sentral, dasar yang meninggi dan berwarna merah. 2.13B Herpes genitalis
rekuren pada vulva. Erosi berukuran besar dan sangat nyeri di labia.
f. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan
untuk menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas dan
sensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain:13
35
1) Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan Papanicolaou
atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan pewarnaan Giemsa
menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa. Dapat ditemukan sel datia
berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Ini merupakan pemeriksaan yang murah,
namun spesifisitas dan sensitivitas nya rendah. 13
Gambar 2.12 Pemeriksaan Tzanck Smears positif dengan pewarnaan Giemsa, sampel
diambil dari dasar vesikel. Terlihat keratinosit berukuran besar dan multinuklear.
36
BAB III
KESIMPULAN
1. Organ reproduksi wanita terbagi atas alat genitalia eksterna dan interna. Alat
genitalia eksterna terdiri atas vulva, vagina, dan perineum, sedangkan alat
genitalia interna tediri atas uterus, serviks, mesosalping, dan ovarium.
2. Infeksi saluran reproduksi semakin disadari sebagai salah satu masalah kesehatan
masyarakat, sebab keadaan tersebut dapat menyebabkan penurunan fertilitas,
mempengaruhi keadaan umum, serta aktivitas seksual.
3. Radang dapat terjadi pada vulva dan vagina (vulvovaginitis, Trichomonas
vaginalis, bacterial vaginosis, dan kondiloma akuminata), serviks uteri (servisitis
dan gonore), korpus uteri (endometritis), adneksa dan jaringan sekitarnya (PID),
serta kelainan lain berupa ulkus genital (herpes genital, granuloma inguinal,
limfogranuloma vereneum, kankroid, dan sifilis).
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba IBG. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC;
2004.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams edisi 23 volume 1. Jakarta: EGC; 2012.
3. Schalkwyk J, Vancouver BC, Yudin MH, Toronto ON. Sogc Clinical Practice
Guideline. Vulvovaginitis: Screening for and Management of Trichomoniasis,
Vulvovaginal Candidiasis, and Bacterial Vaginosis. J Obstet Gynaecol Can.
2015;37(3):266–274
4. Sherrard J, Donders G, White D European (IUSTI/WHO) Guideline on the
Management of Vaginal Discharge. 2011. Diunduh dari http://www.iusti.org/ diakses
3 Desember 2019.
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes
RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Infeksi Menular Seksual. Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta: 2011.
6. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan beberapa penyakit
lain pada alat genital wanita dalam Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Cetakan
pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2011.
7. European Guideline for the Management of Pelvic Inflammatory Disease. 2012
Diunduh dari
http://www.iusti.org/regions/europe/pdf/2012/PID_Treatment_Guidelines-Europe201
2v5.pdf diakses 3 Desember 2019.
8. Djuanda A. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi lima. Jakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI; 2007
9. Wolf K.. Fitzpatrick’s in General Medicine Seventh Edition. Mc Graw Hill: New
York; 2008
10. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University
Press; 2008.
11. Murtiastuti D. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi II. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair; 2011.
12. Siregar. Saripati Penyakit Kulit. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2005.
13. Amiruddin D. Penyakit Menular Seksual. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2004.
38