Anda di halaman 1dari 36

Clinical Science Session

INFEKSI GINEKOLOGI

Oleh:
Suhayatra Putra 1210312069
Vahry Yudanda 1210313062

Preseptor:
dr. H. Ariadi, Sp.OG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

0
BAB 1
PENDAHULUAN

Infeksi alat genitalia, termasuk infeksi menular seksual, masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara-negara. Infeksi Chlamydia

trachomatis merupakan infeksi menular seksual yang paling sering terjadi, namun

sebagian besar infeksi ini tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimptomatik)

sehingga infeksi ini tidak diketahui maupun disadari oleh penderita.1

Keluhan yang paling sering dari infeksi ini adalah adanya cairan yang

keluar dari vagina yang disebut vaginal discharge. Keluhan vaginal discharge

inilah yang paling sering menyebabkan wanita datang berobat atau memeriksakan

dirinya. Sekitar 20-30% wanita yang datang berobat ke poli ginekologi memiliki

keluhan vaginal discharge dan leukorrhoe. Beberapa infeksi genital lainnya yang

juga dapat menyebabkan adanya keluhan vaginal discharge yang patologis ini,

antara lain bacterial vaginosis, candidiasis, trichomoniasis, dan gonorrhoeae .

Infeksi Chlamydia dan gonorrhoea dapat menyebabkan gangguan saat kehamilan

(Romoren, et al, 2007). Di negara-negara maju hampir seluruh populasi wanita

yang diteliti menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Chlamydia lebih banyak

daripada infeksi gonorrhoe. Pada wanita tempat infeksi Chlamydia yang paling

sering adalah pada endocerviks.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Traktus Genitalia Wanita

A. Genitalia Eksterna

Genitalia eksterna terdiri dari :1

a. Vulva

 Mons Pubis

Mons pubis atau mons veeneris merupakan bantalan lemak yag terletak

diatas simfisis pubis. Pada wanita yang telah pubertaskulit mons pubis dditumbuhi

rambut.

 Labia Mayor

Labia mayor menyatu dengan mons pubis di superior, diposterior labia

mayor meruncing dan menyatu di daerah perineum membentuk komisura

posterior. Pada permukaan luar labia mayor ditutupi rambut, sedangkan bagian

dalamnya tidak. dibawah kulit, terdapat lapisan jaringan ikat padat, tidak ada otot,

dan kaya akan serat elastik dan jaringan lemak. Didarahi oeh banyak pleksus

vena.

 Labia Minor

Terletak di sebelah medial dari masing-masing labia mayor. Labia minor

meluas ke superior terbagi menjadi dua lamela. Dibagian bawah menyatu

membentuk frenulum klitoris, yang diatas menyatu membentuk preputium

klitoris. Di inferior labia minor meluas sampai garis tengah membentuk

fourchette. Terdiri dari jaringan ikat yang kaya pembuluh darah, serat elastin, dan

beberapa serat otot polos yang disarafi oleh berbagai ujung saraf dan sangat

2
sensitif. Epitel berlapis gepeng berkeratin menutupi permukaan luar, bagian lateral

permukaan dalam bagian lateral dilapisi epitel gepeng berkeratin sampai batas

garis Hart, sedangkan permukaan dalam bagian medial dilapisi epitel gepeng yang

tidak berkeratin. Sedikit mengandung folikel rambut, kelenjar ekrin, dan apokrin

namun banyak kelenjar sebasea.

 Klitoris

Organ sensitif wanita utama ini merupakan badan erektil yang terdiri dari

glans, korpus, dan dua krura. Glans merupakan bagian yang kaya persarafan.

Badan klitoris mempunyai dua korpora kavernosa kemudian akan menyatu

dengan korpora spongiosa membentuk komisura di bawah permukaan ventralnya.

 Vestibulum

Pada wanita dewasa dibatasi oleh garis Hart di sebelah lateral, permukaan

luar hymen disebelah medial, frenulum klitoris dibagian anterior, dan fourchette di

bagian posterior. Pada vestibulum vagina terdapat enam ostium : uretra, vagina,

dua duktus Bartholin, dan dua duktus Skene. Bagian posterior vestibulum vagina

diantra fourchette dan ostium vagina terdapat fosa navikulare yang biasa terlihat

hanya pada wanita nullipara.

 Ostium vagina dan Hymen

Ostium vagina dikelilingi oleh hymen atau sisanya. Hymen adalah

membaran dengan berbagai ketebalan yang mengelilingi ostium vaginae secara

engkap atau sebagian. Terdiri dari jaringan ikat kolagen an elastik dan dilapis oleh

epitel gepeng berlapis.

3
 Ostium uretra

Dua pertiga bawah ureetra terletak tepat diatas dinding anterior vagina.

Ostium terletak di garis tengah vestibulum, 1-1,5 cm di bawah arkus pubis dan

sedikit di atas ostium vagina.

 Kelenjar vestibular

Terdiri dari sepasang kelenjar Bartholin dan sepasang kelenjar skene.

 Bulbus Vestibular

b. Vagina

Vagina merupakan struktur muskulomembranosa berugae yang memanjang

dari vulva ke uterus dan terletak daiantara kandung kemih dan rektum. Di anterior

vagina dipisahkan dari traktus urinarius dengan jaringan ikat yang membentuk

septum vesiko-vaginal. Di posterior, dipisahkan dari traktus gastrointestinal

dengan septum rekto-vagina. Seperempat atas vagina dipisahkan dari rektum oleh

cul-de-sac Douglas. Pnjang vagina bervariasi tetapi umunya panjang dinding

anterior dan posterior vagina berturut-turut adalah 6-8 cm an 7-10 cm.

c. Perineum

Daerah antara tepi baawah vulva dengan tepi anus. Batas-batas otot

daifragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma urogenitalis

(m.perinealis transversusproffunda, m.constrictor urethra). Perineal body adaah

raphe median m.levator ani, antara anus dan vagina. Perineum meregang pada

persainan, kadang perlu di potong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan

mencegah ruptur.

4
Gambar 1. Anatomi Genitalia Eksterna

Perdarahan berasal dari arteri pudendus interna yaitu cabang terminal bagian

depan arteri iliaka yang berakhir menjadi arteri dorsalis klitoris. Cabang-cabang

arteri pudenus interna juga mendarahi perineum, yaitu arteri rektalis inferior dan

labialis posterior. Cabang arteri femoral menyuplai bagian anterior dari vulva.

Selain itu arteri pudendus superfisial dan profunda juga memberikan suplai darah

untuk organ genitalia eksterna. Peksus vena yang luas mengelilingiorgan genitalia

eksterna dan mengikuti perjalanan arteri.

Pembuluh limfe dari sepertiga bawah, bersama berasal dari vulva, mengalir

utama ke nodi lymphoidei inguinale. Yang berasal dari sepertiga tengah mengalir

ke nodi iliaci interni, dan yang berasal dari sepertiga atas mengalir ke nodi iliaci

communes, interni, dan externi.

Persarafan genitalia eksterna yaitu terdiri dari:

a. N. pudendus, yaitu cabang n.spinalis S2, S3, dan S4

b. Selain itu persarafan sensorik tambahan yaitu dari n.illioinguinal (L1), n.

genitofemoral (L1 dan L2), n. cutaneus posterior

5
B. Genitalia Interna3

Gambar 2. Organ dalam Panggul

a. Uterus

Suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir, dilapisi peritoneum

(serosa). Uterus terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian segitiga atas (corpus

uteri), dan bagian selindris bawah (serviks). Isthmus dalah bagian ostium uteri

interna yang merupakan bagian tersempit dan menghubungkaan corpus uteri

dengan serviks. Uterus nulipara berukuran 6-8 cm dengan berat sekitar 50-70 gr

dan multipara berukuran 9-10 cm dengan berat sekitar 80 gr. Pada nulipara

panjang fundus dan serviks sebanding namun pada multipara panjang serviks

hanya sepertiga dari panjang total uterus. Terus terdiri dri tiga lapis yaitu

endometrium, miometrium, dan perimetrium.

Uterus digantung oleh beberapa ligamentum yaitu ligamentum teres uteri

kiri dan kanan, ligamentum latum uteri kiri dan kanan, ligamentum suspensorium

iovarii kiri dan kanan, ligamentum kardinale, dan ligamentum uterosakralis.

Uterus didarahi oleh arteri uterina (cabang utama aarteri iliaca interna) dan

6
ovarica (cabang langsung dari aorta). Persarafan uterus terutama dari sistem saraf

simpatik (pleksus iliaka interna, namun sebagian juga berasal dari sistem

serebrospinal dan parasimpatik (S2, S3, dan S4).

b. Serviks

Bagian terbawah uterus, terdiri dar pars vaginalis (berbatasan/menembus

dinding dalam vagina) dan pars supravaginais. Terdiri dari 3 komponen utama :

otot polos, jalinan jarngan ikat (kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar

di dalam rongga vagina yaitu portio serviks dengan lubang ostium uteri eksternum

(luar, arah vagina) dilapisi eptel skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium

uteri internum. Sebelum melahirkan lubng ostium eksternum bulat kecil, setelah

melahirkan berbeentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah ke kaudal-

posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukoserviks menghasilkan lendir

getah serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan

larutan berbagai garam, peptida, dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir

serviks dipengaruhi siklus haid.

c. Tuba falopii/Salping

Sepasang tuba kiri-kanan , panjang 8-14 cm berfungsi sebagai jalan

transportasi ovum dariovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terdiri dari tida

lapisan: serosa, muskularis (longutidina dan sirkular), serta mukosa dengan epitel

bersilia.

Tuba terdiri dari :

 Pars isthmica

 Pars ampularis

 Pars infundibulum

7
d. Mesosalping

Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).

e. Ovarium

Organ endokrin berbentuk oval berbentuk oval, terletak didalam rongga

peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikat an

jalan pembuluh darah dan saraf. Ovarium terdiri dari korteks an medula.

Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum,

siintesis dan sekresi hormon-hormon steroid. Berhubungan dengan pars

infundibulum tuba falopii melalui perekatan fimbriae menangkap ovum yang

dilepaskan saat ovulasi.

Ovarium terfiksir oleh ligamentum ovarii propium, ligamentum

infundibulopelvicum dan jaringan iat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta

abdominalis inferior terhadap arteri renalis.

Gambar 3. Genitalia Interna

8
2.2 Infeksi Traktus Genitalia Wanita4

Vagina merupakan ekosistem di mana epitel vagina berfungsi sebagai

habitat flora mikroba, terutama terdiri dari Gram-negatif, Gram-positif, anaerobik,

dan spesies fakultatif anaerob. Dominan flora norma vagina terdiri dari spesies

Lactobacillus fakultatif. Struktur bakteri adalah berbentuk batang, Gram-positif

yang memberi efek protektif dalam vagina dengan memproduksi hidrogen

peroksida, bakteriosin sehingga pH di sekitar vagina rendah yang dapat

menghambat kolonisasi atau pertumbuhan berlebih dari patogen potensial yang

menyebabkna penyakit. Sekret fisiologis atau normal biasanya jernih atau putih,

kental, dan menumpuk pada bagian forniks vagina. Sekret vagina berisi sel

sloughed vagina dan serviks epitel, sekresi endoserviks berlendir, dan bakteri. PH

cairan vagina yang normal pada wanita usia subur adalah antara 3,8-4,5.

Keputihan yang normal tidak menimbulkan gejala terbakar atau gatal.

A. Radang Pada Vulva4


Vulva normal terdiri dari kulit dengan epitel skuamosa terstratifikasi

mengandung kelenjar-kelenjar lemak, keringat , dan apokrin, sedang dibawahnya

jaringan subkutan termasuk kelenjar Bartolin. Gatal atau rasa panas di vulva

merupakan kurang lebih 10 % dari alasan untuk memeriksakan diri.


1. Moluskum Kontangiosum
Definisi
Molluscum Contangiosum (MK) merupakan penyakit yang memiliki

karakteristik seperti permukaan halus, papul berbentuk kubah yang biasanya

disertai eritem (dermatitis moluskum). Penyakit ini menular melalui hubungan

seksual dan biasanya terlihat di daerah genital, perineal, dan seluruh tubuh

penderita.
Etiologi

9
Moluskum kontangiosum disebabkan oleh lebih dari empat tipe poxvirus

yang berhubungan dengan Molluscum Contangiosum Virus (MCV), yaitu MCV-1,

sampai -4, dan varian-variannya.


Manifestasi Klinik
Pada kulit akan tampak lesi umbilikata yang multiple. Lesi tersebut berbentuk

papul berbatas tegas, licin, dan berbentuk kubah (dome shape) sewarna kulit.

Ukuran papul bervariasi dari 2-6 milimeter dan dapat membesar sehingga 3 cm

yang dinamakan Giant Molluscum. Di bagian tengah lesi, biasanya terdapat

lekukan (delle) kecil, berisi bahan seperti nasi dan bewarna putih yang merupakan

ciri khas dari moluskum kontangiosum.


Benjolan biasanya tidak terasa gatal, tidak terasa nyeri. Namun papul bisa

meradang, misalnya arena garukan, sehingga teraba hangat dan berwarna

kemerahan. Jika terjadi infeksi sekunder, bisa terjadi supurasi. Lokasi bisa di

wajah, badan, kadang-kadang pada perut, bagian bawah perut dan genitalia.

Gambar 4. Moluskum Kantangiosum


Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjangseperti histopatologi yang menunjukkan gambaran pada bagian atas

lapisan basal dapat ditemukan pembesaran sel yang mengandung inklusi

intrasitoplasma Henderson-Paterson body dan memperlihatkan epidermis yang

hipertrofi dan hiperplastik. Dengan pemeriksaan ini dapatlah ditegakkan diagnosis

moluskum kontangiosum.

10
Tatalaksana
Terapi terdiri dari mengeluarkan massa yang mengandung badan moluskum

dengan menggunakan teknik cryosurgery, evisceration, curettage,

elektrokauterisasi, adhesive tape stripping. Pada orang dewasa harus dilakuakan

terapi terhadap pasangan seksualnya.


2. Kondiloma Akuminatum

Definisi dan Etiologi

Kondilma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang

disebabkan oleh infeksi Human Papilomavirus (HPV), yang paling sering

ditemukan di daerah genital dan jarang di selaput lendir.

Manifestasi Klinik

Penyakit ini biasanya asimptomatik dan terdiri dari papilomatous papula atau

nodul pada perineum, genitalia, dan anus. Ada dua bentuk umum Kondiloma

Akuminata, yaitu kondiloma akuminata dan gigantean, yang dikenal sebagai

tumor Buschke-Lowenstein.

Etiologi

Sekitar 90% kondiloma akuminata diyakini berhubungan dengan virus HPV

tipe 6 dan tipe 11. Para ahli mencurigai HPV tipe tertentu memiliki kecendrungan

onkogenik (potensial menjadi kanker), terutama tipe 16 dan tipe 18. Cara

penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah

terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah terinfeksi

sebelumnya dan risiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.

11
Manifestasi Klinis

Kondiloma akuminata berbentuk kelainan kulit kutil dengan permukaan

berlekuk-lekuk dan berjonjot (papilomatosa). Kebanyakan pasien dengan

kondiloma akuminata datang dengan keluhan benjolan atau terdapat lesi di

perianal. Kelaianan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna

kemerahan kalau masih baru. Jika timbul infeksi sekunder warna kemerahan akan

berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak.

Lesi sering ditemukan didaerah yang mengalami trauma selama hubungan

seksual dan mungkin soliter tetapi sering aka nada 5 sampai 15 lesi dari 1-5 mm.

kutil dapat menyatu menjadi plak yang lebih besar dan ini lebih sering terlihat

dengan imunocompromaise dan diabetes.

Gambar 5. Kondiloma Akuminata

Pengobatan

12
Banyak metode pengobatan kondiloma akuminata tetapi secara umum dapat

dibedakan menjadi topical dan bedah.

 Podofilin. Lesi diusapi dengan podofilin tiap minggu selama 4-6

minggu. Podofilin dicuci setelah 6 jam.


 Asam trikloasetat dipakai setiap 1 sampai 2 minggu sampai lesi lepas.
 Krim imikuimod 5% dipakai 3 kali seminggu sampai 16 minggu.

Biarkan krim dikulit selama 6-10 jam.


 Terapi krio, elektrokauter atau terapi laser dapat digunakan untuk lesi

yang lebih besar.


3. Bartholinitis
Bartholinitis adalah infeksi pada kelenjar bartholini, infeksi disebabkan oleh

polimikroba, E. coli, chlamydia, gonorrhea, dan sebagainya. Infeksi ini

menyebabkan banyaknya pus dalam kelenjar sehingga mengganggu drainase

kelenjar tersebut dan mengakibatkan terakumulasinya pus di dalam kelenjar

bartholini yang semakin lama semakin besar.

Gejala klinis dari bartholinitis adalah:

 Vulva : eritem, membengkak, akumulasi pus dalam kelenjar, dan nyeri

tekan.
 Kelenjar bartholin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderita berjalan

atau duduk, juga disertai demam.


 Kebanyakan wanita dengan penderita ini datang ke puskesmas dengan

keluahan keputihan dan gatal, rasa sakit saat koitus, rasa sakit saat buang

air kecil atau ada benjolan di sekitar alat kelamin.

13
Gambar 6. Bartholinitis

Terapi dengan menggunakan trimethoprim-sulfamethoxazole, amoxicillin-

clavulanat, sefalosporin generasi kedua, atau fluorokuinolon seperti ciprofloxacin.

Sebagian besar kasus, dilakukan kultur abses dan skrining terhadap penyakit

menular seksual lainnya. Pengobatan yang cukup efektif saat ini adalah antibiotic

golongan Cefadroxyl 3x500 mg selama sedikitnya 5-7 hari, dan asam mefenamat

3x500 mg untuk meredakan rasa nyeri dan pembengkakan, hingga kelenjar

tersebut mengempis.
B. Infeksi pada vagina5
Vaginitis ditandai dengan pruritus, keputihan, dyspareunia, dan isuria. Bau

adalah keluhan yang paling sering dijumpai.


Vagina secara normal didami oleh sejumlah organisme seperti

Lactobacillus acidophilus, difteroid, candida, dan flora yang lain. pH fisiologisnya

sekitar 4,0 yang mengahambat bakteria patogenik tumbuh berlebihan. Ada juga

keputihan fisiologik yang terdiri dari flora bakteri, air, elektrolit, dan epitel vagina

serta serviks. Khas warna putihnya, halus, tidak berbau dan terlihat di vagina.

Diagnosa vaginitis umumnya memerlukan pemeriksaan mikroskopik cairan

vagina.
a. Vaginitis bakterialis
Merupakan penyebab vaginitis paling banyak. Umumnya

disebabkan oleh pergesaran komposisi flora vagina normal dengan

14
peningkatan bakteri anaerobic sampai 10 kali lipat. Secara

bersamaanterjadi penurunan laktobasili


Vaginitis bakterialis dapat meningkatka penularan HIV. VB dapat

mengenai pemakai AKDR.


Gejala yaitu keputihan yang bersifat tipis, homogeny, warna

putihabu-abu, dan berbau amis. Keputihannya bisa banyak sekali dan pada

pemeriksaan dengan speculum lengket di dinding vagina. Pruritus atau

iritasi vulva dan vagina jarang terjadi.


Diagnosis dibuat dengan cara
 Identifikasi mikroskopik sel-sel clue pada usapan basah. Sel-sel

clue adalah sel-sel epitel vagina dengan kerumunan bakteri

menempel pada membran sel. Tampak juga beberapa sel radang

dan laktobasili
 pH cairan vagina sama atau lebih dari 4,5
 uji Whiff positif yang berarti keluar bau amis pada waktu

ditambahkan larutan KOH 10-20/% pada cairan vagina


 eritema vagina jarang
Terapi dapat berupa
 metronidazole 500mg per oral 2x sehari selama 7 hari
 metronidazole per vagina 2x sehari selama 5 hari
 krim klindamisin 2% per vagina 1x sehari selama 7 hari
b. Trikomonas
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa Trichomonas vaginalis yang

ditularkan secara seksual. Trikomonas merupakan penyebab 25% infeksi

vagina. Trikomonas adalah organisme yang tahan dan mampu hidup dalam

handuk basah atau permukaan lain. Masa inkubasi berkisar 4 sampai 28

hari.
Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Cairan vagian biasanya

berbuh, tipis,berbau tidak enak, dan bayak. Warnanya bisa abu-abu, putih,

atau kuning kehijauan. Kadang terdapat eritema atau udem pada vulva dan

vagina dan dapat mengenai serviks sehinggan tampak eritem dan rapuh.
Diagnosis :

15
 Preparat kaca memperlihatkan protozoa fusiformis uniseluler yang

sedikit lebih besar di banding sel darah putih. Ia mempunyai

flagella dan dalam specimen dapat dilihat gerakannya. Biasanya

ada banyak sel radang.


 Cairan vagina mempunyai pH 5,0 – 7,0
 Pasien yang terinfeksi tapi tidak ada keluhan dapat di diagnose

dengan pap smear.


Terapi dengan metronidazole 2 g per oral (dosis tunggal). Pasangan

seks pasien juga harus diobatu


c. Candida

Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak

kedua di Amerika Serikat dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari

perempuan pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal suatu waktu

dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami episode rekurensi.

Agen penyebab yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans.

Saat ini, frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata)

meningkat, mungkin merupakan akibat dari peningkatan penggunaan

produk-produk anti jamur yang dijual bebas.

Faktor risiko untuk terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk

ditentukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk

terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan yang menggunakan

kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang

lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur

masih muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan

dan oral seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada

perempuan dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.

16
Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi.

Chorioamnionitis pada saat hamil dan syndrome vestibulitis vulva pernah

dilaporkan.

Candida tidak ditularkan secara sexual, dan episode kandidiasis

vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah pasangan seksual yang

dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang perempuan

yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-laki

tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.

Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai

terjadinya empat atau lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam

periode satu tahun. Belum jelas apakah rekurensi ini terjadi karena

berbagai faktor predisposisi atau presipitasi.

Pengobatan kandidiasis vulvovaginitis :

1. Butoconazol

- Cream 2%, intavaginal selama 3 hari

2. Clotrimazol

- Vaginal tablet, 100mg, selama 7 hari

- Vaginal tablet, 100mg, 2 tablet selama 3 hari

3. Metronidazol

- Crem 2%, intravaginal, selama 7 hari

- Vaginal suppository,100mg, 1suppositori selama 7 hari

- Vaginal suppository,200mg, 1suppositori selama 3 hari

- Vaginal suppository,1200mg, 1suppositori selama 1 hari

17
4. Nystatin

- Vaginal tablet, 100.000mg, 1 tablet selama 14 hari

5. Terconazol

- Vaginal suppository,80mg, 1suppositori selama 3 hari

C. Infeksi pada serviks uteri3


Servisits ditandai dengan peradangan berat mukosa dan submukosa

serviks. Secara histologic dapat dilihat infiltrasi sel-sel peradangan akut dan

kadang-kadang nekrosis sel epitel. Pathogen utama servsitis mukopurulen adalah

C. trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae, keduanya ditularkan secara seksual.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan gram.

a. Klamidia trakomatis
Secara epidemiologi didapat angka kejadian infeksi klamidia

dianatara peserta KB di Jakarta Utara tahun 1997 sebesar 9,3% sementara

diantara di bali 6,7%.


Faktor risiko nya antara lain umur di bawah 25 tahun dan aktif

secara seksual, status social ekonomi rendah, pasangan seksual banyak,

dan status tidak kawin


Mikrobiologi C. trachomatis adalah organisme intraseluler wajib

yang lebih menyukai menginfeksi sel-sel skuamokolumner, yaitu pada

zona transisi serviks.


Infeksi klamidia tidak menimbulkan keluhan pada 30% sampai

50% kasus dan dapat menetap selama beberpa tahun. Pasien dengan

servitis mungkin mengeluhkan keluar cairan vagina, bercak darah, atau

perdarahan pasca senggama. Pada pemeriksaan, serviks tampak rapuh dan

mengalami erosi. Ditemukan cairan mukopurulen berwarna kuning

18
kehijauan. Pewarnaan gram memperihatkan lebih dari 10 leukosit

polimorfonuklear.
Diagnosis dengan biaka merupakan pemeriksaan yang paling

optimal, tetpai memakan waktu dan fasilitas biakan yabg memadai


Terapi
 Azitromisin 1 g peroral (single dose)
 Doksisiklin 10 mg per oral 2x sehari selama 7 hari
Terapi alternative
 Eritromisin 500 mg per oral 4x sehari selama 7 hari
 Ofloksasin 30 mg peroral 2x sehati selama 7 hari

b. Gonorea
Mikrobiologi N. Gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif

yang menginfeksi epitel kolumner atau pseudostatified. Oleh karna itu,

traktus urogenital merpakan tempat infeksi paling sering.


Faktor risiko hampir sama dengan servitis. Insiden gonorea lebih

tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 1,5 : 1, risiko

penularan dari laki-laki ke perempuan adalah 80%


Gnorea hampir tidak mmeberikan gejala, tapi dapat juga datang

dengan keluar cairan vagina, dysuria, perdarahan uterus abnormal.


Diagnosa dengan biakann pada medium selektif merupakan uji

terbik. Lidi kapas steril dimasukkan ke kanal endoserviks selama 15-30

detik keumudian specimen diusap pada medium. Dapat juga dilakukan

pemeriksaan gram, tampak diplokokus intraseluler.


Terapi
 Seftriakson 125 mg i.m dosis tunggal
 Sefiksim 400 g per oral dosis tunggal
 Siprofloksasi 500 mg per oral dosis tunggal
 Ofoksasin 400 mg per oral dosis tunggal
D. Infeksi pada Korpus Uteri5

Endometrisis

Definisi

19
Endometritis adalah peradangan yang terjadi pada endometrium, yaitu

lapisan sebelah dalam pada dinding rahim, yang terjadi akibat infeksi bakteri

patogen yang naik dari serviks ke endometrium.1

Etiologi

Bakteri patogen yang turut berperan dalam penyakit ini yaitu Chlamidia

trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, Streptococcus agalactiae, HSV

Cytomegalovirus, Mycoplasma hominis. Organisme yang menyebabkan vaginosis

bakterial dapat jga menyebabkan endometritis histologik meskipun pada

perempuan tanpa keluhan.1

Keluhan dan Gejala

a. Endometritis kronik

Banyak perempuan dengan endometritis kronik tidak mempunyai keluhan.

Keluhan klasik endometritis kronik adalah pendarahan vaginal intermenstrual.

Dapat juga terjadi pendarahan pascasanggama dan menoragia. Perempuan lain

mungkin mengeluh nyeri tumpul di perut bagian bawah terus menerus.

Endometritis menjadi penyebab infertilitas yang jarang.

b. Endometritis akut

Jika endometritis terjadi bersama PID akut maka biasa terjadi nyeri tekan

uterus. Sulit untuk menentukan apakah radang tuba atau endometrium yang

menyebabkan rasa tidak enak di panggul.

Diagnosis

20
Diagnosis endometritis kronik ditegakkan dengan biopsi dan biakan

endometrium. Gambaran histologik klasik endometritis kronik berupa reaksi

radang monosit dan sel-sel plasma di dalam stroma endometrium (lima sel plasma

per lapangan pandangan kuat). Tidak ada korelasi antara adanya sejulah kecil sel

leukosit polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola infiltrat radang

limfosit dan sel-sel plasma yang tersebar di seluruh stroma endometrium terdapat

pada kasus endometritis berat. Kadang-kadang bahkan terjadi stroma.

Terapi

Terapi pilihan untuk endometritis kronik adalah doksisiklin 100 mg po 2x1

selama 10 hari. Dapat pula dipertimbangkan cakupan yang lebih luas untuk

organisme anerobik terutama kalau ada vaginosis bakterial. Jika terkait dengan

PID akut terapi harus fokus pada organisme penyebab utama termasuk

N.gonorrhoeae dan C.trachomatis, demikian pula cakupan polimikrobial yang

luas.

E. Penyakit Radang Panggul6

Definisi

Penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease) adalah infeksi

pada alat genital atas yang dapat meliputi endometrium, tuba fallopi, ovarium,

miometrium, parametrium, dan peritoneum. Penyakit ini merupakan komplikasi

infeksi bakteri pada serviks yang menyebar secara ascending menuju ke organ

gentalia bagian atas

Epidemiologi

21
Secara epidemiologik di Indonesia insidennya diekstrapolasikan sebesar

lebih dari 850.000 kasus baru setiap tahun. PID merupakan kasus infeksi serius

yang paling biasa pada perempuan umur 16-25 tahun. Terdapat kenaikan insiden

PID dalam 2-3 dekade yang lalu yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

adat istiadat, sosial yang lebih liberal, insidensi patogen menular seksual seperti

C.trachomatis dan pemakaian metode kontrasepsi seperti AKDR. Kurang lebih

15% kasus PID terjadi setelah tindakan seperti biopsi endometrium, kuretase,

histeroskopi dan inserti AKDR. 85% kasus terjadi secara spontan pada perempuan

usia reproduksi yang secara seksual aktif.

Faktor risiko

Riwayat PID sebelumnya

- Banyak pasangan seks didefinisikan sebagai lebih dari dua pasangan

dalam waktu 30 hari, sedangkan pada pasangan monogami serial tidak

didapatkan risiko yang meningkat.


- Infeksi oleh orgaisme menular seksual, dan sekitar 15% pasien dengan

gonorea anogenital tanpa komplikasi akan berkembang menjadi PID pada

akhir atau segera sesudah menstruasi.


- Pemakaian AKDR dapat meningkatkan risiko PID 3-5 kali lipat. Risiko

PID terbesar terjadi pada waktu pemasangan AKDR dan dalam 3 minggu

pertama setelah pemasangan.

Patofisiologi

Seperti endometriosis PID disebabkan penyebaran infeksi melalui serviks.

Meskipun PID terkait dengan infeksi menular seksual alat genital bawah tetapi

22
prosesnya polimikrobial. Salah satu teori patofisiologi adalah bahwa organisme

menular seksual seperti N.gonorrhoeae atau C.trachomatis memulai proses

inflamasi akut yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga memungkinkan

akses oleh organisme lain dari vagina atau serviks ke alat genital atas. Aliran

darah menstruasi dapat mempermudah infeksi pada alat genital atas dengan

menghilangkan sumbat lendir serviks, menyebabkan hilangnya lapisan

endometrium dan efek protektifnya serta menyediakan medium biakan yang baik

untuk bakteri yaitu darah menstruasi.

Gejala

Gejala yang paling sering dikemukakan adalah nyeri abdominopelvik.

Keluhan lain bervariasi, antara lain keluarnya cairan vagina atau pendarahan,

demam dan menggigil, serta mual dan disuria. Demam terlihat pada 60-80%

kasus.

Diagnosis

Diagnosis PID sulit karena keluhan dan gejala-gejala yang dikemukakan

sangat bervariasi. Pada pasien dengan nyeri tekan serviks, uterus, dan adneksa,

PID didiagnosis dengan akurat hanya 65%. Karena akibat buruk PID terutama

infertilitas dan nyeri panggul kronik maka PID harus dicurigai pada perempuan

berisiko dan diterapi secara agresif. Kriteria minimum untuk diagnosis klinis

adalah sebagai berikut:

- Nyeri gerak serviks


- Nyeri tekan uterus
- Nyeri tekan adneksa

23
Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah spesifitas

kriteria minimum dan mendukung diagnosis PID

- Suhu oral > 38,3’C


- Cairan serviks atau vagina tidak normal mukopurulen
- Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop sekret vagina

dengan salin
- Kenaikan LED
- Protein reaktif-C meningkat
- Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh N.gonorrhoeae

Kriteria diagnosis PID paling spesifik meliputi:

- Biopsi endometrium disertai bukti histopatologis endometritis


- USG Transvaginal atau MRI memperlihatakan tuba menebal penuh berisi

cairan dengan atau tanpa cairan bebas di panggul atau kompleks tubo-

ovarial atau pemeriksaan Doppler menyarankan infeksi panggul (misal

hiperemi tuba)
- Hasil pemeriksaan laparaskopi yang konsisten dengan PID.

Terapi

Pada pasien PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai

daya guna klinis yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral

paling tidak selama 48 jam kemudian dianjurkan dengan terapi oral 24 jam setelah

ada perbaikan klilnis. Rekomendasi terapi dari CDC adalah sebagai berikut:

Terapi parenteral

- Rekomendasi terapi parenteral A


o Sefotetan 2g iv setiap 12 jam atau
o Sefoksitin 2g iv setiap 6 jam ditambah
o Doksisiklin 100 mg oral atau iv setiap 12 jam
- Rekomendasi terapi parenterap B
o Klindamisin 900 mg setiap 8 jam ditambah

24
o Gentamisin dosis muatan iv atau im (2mg/kgBB) diikuti dengan

dosis pemeliharaan (1,5 mg/kgBB) setiap 8 jam. Dapat diganti

dengan dosis tunggal harian.


- Terapi parenteral alternatif
Tiga terapi alternatif telah dicoba dan mereka mempunyai cakupan

spektrum yang luas


o Levofloksasin 500 mg iv 1x1 dengan atau tanpa metronidazol 500

mg iv setiap 8 jam atau


o Ofloksasin 400 mg iv setiap 12 jam dengan atau tanpa

metronidazol 500 mg iv setiap 8 jam atau


o Ampisilin / Sulbaktam 3g iv setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100

mg oral atau iv setiap 12 jam.

Terapi Oral

Terapi oral dapat dipertimbangkan untuk penderita PID ringan atau sedang

karena kesudahan klinisnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang mendapat

terapi oral dan tidak menunjukkan perbaikan setelah 72 jam harus dire-evaluasi

untuk memastikan diagnosisnya dan diberikan terapi parenteral baik dengan rawat

jalan maupun inap.

- Rekomendasi terapi A
o Levofloksasin 500 mg po 1x1 selama 14 hari atau ofloksasin 400

mg 2x1 selama 14 hari dengan atau tanpa


o Metronidazol 500 mg po 2x1 selama 14 hari.
- Rekomendasi terapi B
o Seftriakson 250 mg im dosis tunggal ditambah doksisiklin 2x1 po

selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg 2x1 po

selama 14 hari atau

25
o Sefoksitin 2g im dosis tunggal dan probenesid ditambah

doksisiklin oral 2x1 selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol

500 mg 2x1 selama 14 hari atau


o Sefalopsorin generasi ketiga (misal seftizoksim atau sefotaksim)

ditambah doksisiklin 2x1 po selama 14 hari dengan atau tanpa

metronidazol 500 mg 2x1 po selama 14 hari.

F. Herpes Genitalis6

Defenisi

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes

Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok

dengan dasar eritema dan bersifat rekurens 1.

Epidemiologi

Data- data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes

genital rendah sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus

dari 9983 penderita IMS. Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi

yaitu sebesar 64 dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu

22 kasus dari 126 kasus IMS 2.

Etiologi dan morfologi

Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT

tahun 1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan

fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil

penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan

26
seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas

seksual oro-genital atau melalui tangan 3.

Gejala klinis

Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala

awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak

kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa

nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka

yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita

bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan akan timbul

nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan

parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal

ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala

berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan 3.

Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk

kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa

terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual

melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam

rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi

HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap

selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan

asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau

di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif

untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di

27
dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf

wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa

menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus

akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari

virus kedua tidak terlalu berat.

Diagnosis

Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa

vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan

laboratorium yang paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan

pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak.

Cara terbaik dalam menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan kultur

jaringan karena paling sensitif dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan waktu

yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes serologis terhadap antigen

HSV baik dengan cara imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA 4.

Terapi

Pada kasus berat atau pasien-pasien dengan imunosupresan diberikan

asiklovir intervensi 5 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari. Untuk pasien rawat jalan

yang sakit pertama kali diberikan asiklovir 200 mg per 5x1 selama 5 hari. Terapi

mengurangi lama keluhan tetapi tidak mempengaruhi latensi virus. Asiklovir

topikal yang diberikan pada daerah yang terkena 3-4x sehari dapat mempercepat

penyembuhan dan mengurangi keluhan. Cara ini kurang efelktif dibanding

pemberian oral. Untuk kekambuhan diberikan asiklovir 200 mg per oral 5x sehari

selama 5 hari. Untuk profilaksis diberikan asiklovir 200 mg po 2-5x sehari atau

28
400 mg po 2x sehari. Konseling pasien dianjurkan untuk tidak melakukan

hubungan seks sejak mulai timbul keluhan sampai epitelisasi kembali lesi dengan

lengkap1.

Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada

bayi yang baru lahir. Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat

menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi

yang lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis,

ensefalitis, keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.4

G. Sifilis5

Definisi

Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi Treponema

pallidum, menular melalui hubungan seksual atau secara transmisi vertikal. Sifilis

bersifat kronik, sistemik, menyerang hampir semua alat tubuh dan dianggap

sebagai peniru akbar (the great imitator) dalam bidang kedokteran (terutama

sebelum ada AIDS) karena banyaknya manifestasi klinis. Merupakan penyakit

menular sedang dengan angka infektifitas 10% untuk setiap kali hubungan seksual

dengan pasangan yang terinfeksi. Individu dapat menularkan penyakit pada

stadium primer dan sekunder sampai tahun pertama stadium laten1.

Gejala dan Tanda

Lesi primer (Chancre ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah

terpajan. Lesi biasanya keras (indurasi), tidak sakit, terbentuk ulkus dengan

29
mengeluarkan eksudat serosa di tempat masuknya mikroorganisme. Masuknya

mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya

ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit,

keras non fluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya ulkus durum

yang jelas, misalnya infeksi terjadi di rectum atau cervik. Walaupun tidak diberi

pengobatan ulcus akan hilang sendiri setelah 4-6 minggu. Sepertiga dari kasus

yang tidak diobati akan mengalami stadium generalisata, stadium dua, di mana

muncul erupsi kulit yang kadangkala disertai dengan gejala kontitusional tubuh.

Timbul makolo popular biasanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti

dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari Sifilis

yang akan hilang spontan dalam beberapa minggu atau sampai 12 bulan

kemudian. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak

diobati akan masuk ke dalam fase laten selama berminggu-minggu bahkan selama

bertahun-tahun.

Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada

selaput lendir. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala

meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan

akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadangkala

berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5-20

tahun setelah infeksi terjadi lesi aorta yang sangat berbahaya (sifilis

kardiovaskuler) atau guma dapat muncul di kulit, saluran pencernaan tulang atau

pada permukaan selaput lendir.

Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas

yang serius, sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan

30
kesehatan dan menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang

terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung

akan menderita sifilis SSP.

Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal

pada saat mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan

frekuensinya makin jarang pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada

saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat berakibat aborsi, stillbirth,

atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik. Infeksi congenital

dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa

gejala neurologis terserangnya SSP.

Dan kadangkala infeksi konginital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik

yang dapat menimbulkan stigmasasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson,

saddlenose (hidung pelana kuda), saber shins (tulang kering berbentuk pedang),

keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis congenital kadangkala asimtomatik, terutama

pada minggu-minggu setelah lahir6.

Cara Penularan

Cara penularan sifilis adalah dengan cara kontak langsung. Sifilis infeksius

dari lesi awal kulit dan selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual

dengan penderita sifilis. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat jelas.

Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual. Penularan karena

mencium atau pada saat menimang bayi dengan sifilis konginetal jarang sekali

31
terjadi. Infeksi transplasental terjadi pada saat janin berada dalam kandungan ibu

menderita sifilis.

Transfusi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada

stadium awal. Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa

terjadi namun kenyataannya boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas

kesehatan pernah dilaporkan mengalami lesi primer pada tangan mereka setelah

melakukan pemeriksaan penderita sifilis dengan lesi infeksius 6.

Terapi Rekomendasi terapi sifilis oleh CDC adalah sebagai berikut1:

 Sifilis Primer dan Sekunder


Benzatin penisilin G 24 juta unit im dalam dosis tunggal. Alergi penisilin

(tidak hamil) diberikan doksisiklin 10 mg po 2x1 selama 2 minggu atau

tetrasiklin 500 mg po 4x1 selama 2 minggu.


 Sifilis Laten
Sifilis laten awal (<1 tahun) : Benzatin penisilin G 2,4 juta unit im dalam

dosis tunggal.
Sifilis laten akhir (>1 tahun) atau tidak diketahui lamanya: Benzatin

penisilin G total 7,2 unit diberikan dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta

unit im dengan interval 1 minggu.


 Sifilis Tersier

Benzatin penisilin G total 7,2 juta unit diberikan dalam 3 dosis masing-

masing 2,4 juta unit im dengan interval 1 minggu. Alergi penisilin

diberikan sama seperti untuk sifilis laten akhir.

 Neurosifilis
Penisilin G kristalin aqua 18-24 juta unit setiap hari diberikan dalam 3x4

juta unit iv tiap 4 jam atau infus berkelanjutan selama 10-14 hari.
 Sifilis dalam kehamilan

32
Terapi penisilin sesuai dengan stadium sifilis perempuan hamil. Beberapa

pakar merekomendasikan terapi tambahan (misal dosis kedua benzatin

penisilin 2,4 juta unit im) 1 minggu setelah dosis inisial, terutama untuk

perempuan pada trisemester ketiga, dan untuk mereka yang menderita

sifilis sekunder selama kehamilan. Alergi penisilin: seorang perempuan

hamil dengan riwayat alergi penisilin harus diterapi dengan penisilin

setelah desensitisasi.
 Sifilis pada pasien yang terinfeksi virus HIV
← Sifilis primer dan sekunder: Benzatin penisilin 2,4 juta unit im. Pasien

yang alergi dengan penisilin harus didesensitisasi dan diberi terapi dengan

penisilin. Sifilis laten (pemeriksaan cairan serebrospinal normal): benzatin

penisilin G 7,2 juta unit dibagi dalam 3 dosis mingguan masing-masing

2,4 juta unit.

Tindak lanjut setelah terapi sifilis awal maka perlu diperiksa VDRL atau

titer reagen plasma cepat setiap 3 bulan selama 1 tahun (uji sebaiknya dikerjakan

oleh laboratorium yang sala). Titer harus turun empat kali dalam setahun. Jika

tidak maka diperlukan pengobatan kembali. Bila pasien telah terinfeksi lebih dari

satu tahun maka titer harus diikuti selama 2 tahun. Uij FTA-ABS yang spesifik

akan tetap positif selamanya1.

Cara Pencegahan

Adapun cara pencegahan penyakit sifilis yaitu selalu menjaga higienis

(kebersihan/kesehatan) organ ginetalia, menggunakan kondom bila melakukan

33
hubungan seks, pemakaian jarum suntik baru setiap kali menerima pelayanan

medis yang menggunakan jarum suntik.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan

Beberapa penyakit lain pada alat genital wanita in Ilmu Kandungan. 2011.

Edisi ketiga , Cetakan peertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirodihardjo : Jakarta
2. Centers for Disease Control and Prevention, 2007. CDC Fact Sheet

Genital Herpes. Available from:

http://www.cdc.gov/std/healthcomm/factsheets .htm. [accessed 13 April

2010].
3. Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et

al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.
4. Salvaggio, M.R. & Lutwick, L.I., 2009. Herpes Simplex, University of

Oklahoma College of Medicine. Available from:

http://emedicine.medscape.com /article/218580-overview [accessed 13

April 2010].
5. Daili, S.F., 2009. Herpes Genitalis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular

Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 125-139


6. James Chin. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Penerbit

Infomedika. 2006.

35

Anda mungkin juga menyukai