Anda di halaman 1dari 26

Journal Reading

PEPSIN MEMICU PENSINYALAN TRANSISI EPITELIAL-


MESENKIMAL YANG DIINDUKSI IL-8 PADA KARSINOMA LARING

Oleh:
Chintia Amalia 1840312283
Ramadhoni Mardi 1840312301

Preseptor :
Dr. Fachzi Fitri, Sp.THT-KL(K), MARS

BAGIAN ILMU THT-KL


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
Pepsin Memicu Pensinyalan Transisi Epitelial-Mesenkimal yang diinduksi IL-8
pada Karsinoma Laring

Jia-Jie Tan1, Lu Wang1,2, Ting-Ting Mo1, Jie Wang1, Mei-Gui Wang1 and Xiang-Ping Li1

ABSTRAK

Latar belakang: Laryngopharyngeal Reflux (LPR), dengan peningkatan angka


morbiditasnya, menarik perhatian yang mendapat pertimbangan. Beberapa tahun terakhir,
hubungan penyebab antara LPR dan karsinoma laring telah diperdebatkan. Komponen
berbahaya utama pada LPR adalah pepsin, yang telah terbukti dapat menginduksi
inflamasi mukosa dengan cara merusak membran mukosa.

Dengan demikian, pepsin berhubungan dengan peningkatan risiko karsinoma laring,


meskipun mekanisme potensial sebagian besar masih tidak diketahui.

Metode: Sel karsinoma laring manusia bentuk Hep-2 dan Tu212 telah dipaparkan ke \
konsentrasi pepsin yang berbeda dan morfologi, proliferasi, migrasi, dan sekresi dari
sitokin inflamasi, serta perubahan epithelial mesenkimal (epithelial-mesenchymal
transition; EMT) dari sel telah dinilai. Untuk mengevaluasi apakah interleukin-8 (IL-8)
memiliki hubungan kausal dengan pepsin dan EMT, inhibitor IL-8 digunakan untuk
menekan sekresi IL-8 selama terpapar pepsin dan ekspresi dari penanda EMT, proliferasi
sel, dan migrasi sel dianalisis.

Hasil: Pepsin meningkatkan proliferasi, pembentukan koloni, migrasi, dan sekresi IL-8
pada sel-sel Hep-2 dan Tu212 in vitro. Selanjutnya, peningkatkan konsentrasi pepsin
mengubah morfologi dari sel-sel Hep-2 dan Tu212; tingkatan dari faktor transkripsi snail
dan slug meningkat. Efek yang mirip telah diobservasi pada jaringan karsinoma laring
menggunakan imunohistokimia. Tingkat IL-8 menurun dan EMT pulih kembali ketika
pepsin diinhibisi oleh pepstatin. EMT semakin mengurang setelah dipaparkan inhibitor
IL-8, dengan penurunan signifikan dari proliferasi dan migrasi sel terinduksi pepsin.

Kesimpulan: Pepsin dapat menginduksi EMT dalam karsinoma laring melalui jalur
sinyal IL-8, yang mengindikasikan bahwa hal tersebut memiliki peran potensial dalam
meningkatkan proliferasi sel dan metastasis dari karsinoma laring.

Kata kunci: Laryngopharyngeal reflux, Karsinoma laring, Pepsin

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


I. LATAR BELAKANG

Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah aliran retrograde dari isi lambung ke


saluran aero-digestif bagian atas, yang menyebabkan berbagai tanda dan gejala di
tenggorok [1]. Penelitian yang ekstensif telah menunjukkan bahwa LPR sangat erat
kaitannya dengan inflamasi kronik tenggorok [2], pengembangan polip pita suara [3], dan
penyakit jinak lainnya. Baru-baru ini, LPR telah menarik peningkatan perhatian sebagai
faktor risiko untuk kanker laring.

Karena merupakan tumor otorhinolaryngologic ganas yang sering, karsinoma


laring dianggap berhubungan erat dengan merokok dan minuman keras [4]. Namun, di
negara-negara Barat, pengendalian perilaku terkait dengan faktor-faktor risiko ini tidak
secara signifikan menurunkan kejadian karsinoma laring, dan menunjukkan adanya
penyebab lain [5, 6]. Studi terbaru tertentu telah mendukung hipotesis bahwa LPR adalah
faktor risiko independen dalam perkembangan kanker laring [7, 8]. Namun, penelitian
lain mendukung pandangan yang berlawanan [9, 10]. Apakah LPR memainkan peran
kunci dalam perkembangan kanker laring masih kontroversial, sebagian karena diagnosis
LPR saat ini tidak memiliki standar yang disatukan [11-13], yang menjadikan
demonstrasi dari hubungan antara refluks dan kanker laring sulit.

Pada penyakit refluks gastroesofagus, asam merusak epitel esofagus. Pada LPR,
refluks didominasi oleh refluks asam lemah pada posisi tegak dan terlentang [14];
Namun, refluks non asam, seperti pepsin dan asam empedu, memerlukan pertimbangan
lebih lanjut. Pepsin, komponen berbahaya utama LPR, biasanya hanya ada di perut, tetapi
banyak penelitian baru-baru ini melaporkannya di trakea, jaringan paru, mukosa hidung,
sekresi telinga tengah, dan air liur pada pasien refluks [15-18] .Telah diterima secara luas
bahwa pepsin dapat bertindak sebagai penanda molekuler refluks [19, 20]. Namun, hanya
sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa pepsin pada LPR berkontribusi pada
pengembangan karsinogenesis laringofaring [21, 22], meskipun mekanisme molekuler
yang relevan sebagian besar tidak diketahui.

Studi terbaru [23, 24] telah menunjukkan refluks terkait dengan transisi epitelial-
mesenkimal (EMT). Namun, kontribusi LPR untuk karsinogenesis karsinoma laring
melalui EMT belum digambarkan. Mempertimbangkan bahwa LPR termasuk cairan yang
mengandung pepsin, kami baru-baru ini mengamati bahwa ekspresi pepsin dalam
jaringan laring meningkat pada pasien dengan karsinoma laring [25]. Dalam penelitian
ini, kami berusaha untuk menentukan apakah pepsin menginduksi karsinoma laring
melalui EMT dan apakah hal tersebut memfasilitasi perkembangan kanker laring yang
ganas.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


II. BAHAN DAN METODE

Spesimen jaringan dan kultur sel

Penelitian ini dilakukan dilakukan sesuai dengan pedoman etika kelembagaan dan
telah disetujui oleh Komite Etika Rumah Sakit Nanfang. Lembar persetujuan tertulis
diperoleh setiap pasien. Spesimen dari 87 pasien dengan karsinoma laring (dua wanita
dan 85 pria, berusia 40 hingga 86 tahun) dikumpulkan dari bank jaringan karsinoma
laring di Rumah Sakit Nanfang. Spesimen jaringan secara rutin dibekukan dalam nitrogen
cair, difiksasi dalam 4% paraformaldehyde, tertanam dalam paraffin, dan dipotong sesuai
prosedur rutin.

The American Type Culture Collection (ATCC) sel karsinoma laring manusia
bentuk Tu212 dibeli dari Guangzhou Juyan Biological Technology (Guangzhou, Cina)
dan Hep-2 dibeli dari Shanghai Aolu Biological Technology (Shanghai, Cina). Sel-sel
dikultur di Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 medium (Gibco, AS)
dilengkapi dengan 10% serum janin sapi (FBS; Gibco) dan 1% penisilin/streptomisin.
Sel-sel dipertahankan pada suhu 37°C dalam dilembabkan 5% CO2 atmosfer. Porcine
pepsin (Sigma-Aldrich, St Louis, MO, USA) digunakan untuk paparan pepsin. Inhibitor
pepsin pepstatin A dan inhibitor interleukin-8 (IL-8) SB225002 disintesis oleh
Selleckchem (Shanghai, China).

Uji Proliferasi 5-ethynyl-2′-deoxyuridine (EdU)

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan di cawan 96-well (4 × 104/ well) dan dipaparkan
dengan konsentrasi pepsin yang berbeda (0 mg / ml, 0,1 mg / ml, atau 1 mg / ml) pada pH
7 selama 2 jam. Konsentrasi kerja pepsin (0,1 mg / ml dan 1 mg / ml) telah digunakan
sebelumnya [21, 22, 26-28]. Setelah terpapar pepsin, sel dikultur dalam medium RPMI-
1640 komplit selama 24 jam dan proliferasi sel terdeteksi menggunakan EdU kit
(RiboBio, Guangzhou, China) sesuai dengan instruksi pabriknya. Gambar dianalisis
menggunakan mikroskop digital dan sel dihitung menggunakan perangkat lunak Image J.

Tes pembentuk koloni

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan dalam cawan 96-well dan dipaparkan dengan pepsin
0 mg / ml , 0,1 mg / ml, atau 1 mg / ml pada pH 7 setiap dua kali seminggu selama 2 jam
dalam 18 hari. Sel dikultur dalam medium RPMI-1640 komplit ketika tidak diberikan
pepsin. Koloni yang mengandung >50 sel, difiksasi dengan paraformaldehyde 4% dan
diwarnai dengan kristal violet 0,5%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Eksperimen siklus sel

Sel-sel hep-2 dan Tu212 diinokulasi dalam cawan 6-cm. Biakan dibagi menjadi tiga
kelompok dan diberikan perlakuan dengan media biakan yang mengandung konsentrasi
pepsin yang berbeda seperti yang dijelaskan di atas. Distribusi siklus sel dianalisis
menggunakan pewarnaan propidium iodide (Keygentec, Nanjing, China) dan flow
cytometry (Becton-Dickinson, San Jose, CA, USA).

Uji migrasi Transwell

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 didiamkan di dalam medium bebas serum 100 μl kemudian
disebarkan ke dalam kamar atas pada tiap insert (insert 24-well; ukuran pori, 8 μm;
Corning, Corning, NY, USA) dan medium 600 μl yang mengandung 10% serum janin
sapi (FBS) ditambahkan ke kamar bawah. Setelah 12 jam, medium di kamar bawah
diganti dengan 10% FBS dan konsentrasi pepsin yang berbeda lalu diinkubasi selama 2
jam. Setelah 24 jam, sel-sel di bawah membran dasar diwarnai dengan kristal violet. Sel-
sel yang bermigrasi dalam lima kamar yang dipilih secara acak pada perbesaran 200×
digambarkan menggunakan mikroskop digital dan dihitung.

(Lihat gambar di halaman berikutnya.)

Gambar 1. Kemampuan proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 yang diperlakukan dengan
konsentrasi berbeda.dari pepsin. a. Efek dari konsentrasi pepsin yang berbeda-beda pada
proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 diukur menggunakan uji Edu (perbesaran, × 200). b.
Gambaran uji pembentukan koloni sel Hep-2 dan Tu212 pada konsentrasi pepsin yang berbeda.
c. Gambaran histogram dari tes siklus sel menunjukkan persentase sel Hep-2 dan Tu212 dalam
fase S dari konsentrasi pepsin yang berbeda. d. Sifat migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang
terpapar dengan konsentrasi pepsin yang berbeda dianalisis menggunakan tes migrasi transwell
(perbesaran, × 200). *P <0,05 dibandingkan dengan kontrol.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6
Cytometric bead array (CBA)

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan ke dalam cawan 96-well dan dipaparkan konsentrasi
pepsin yang berbeda pada pH 7 selama 2 jam. Konsentrasi sitokin IL-8, IL-6, IL-10, IL-
1β, IL-12p70, dan tumor necrosis factor (TNF) dalam serum diukur menggunakan
perangkat lunak Becton-Dickinson CBA sesuai protokol standar. Data dari sampel
standar dan eksperimen dianalisis menggunakan LSR Fortessa flow cytometer (Becton-
Dickinson) dan perangkat lunak FCAP Array.

Ekstraksi total RNA dan transkripsi balik kuantitatif PCR (qRT-PCR)

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi dalam cawan 6-cm dan dipaparkan dengan berbagai
konsentrasi pepsin dalam medium kultur. Sel-sel terus menerus distimulasi setiap 2 jam
tiap hari selama 5 hari. Total RNA diekstraksi dari sel menggunakan RNAiso Plus
(Takara, Shiga, Jepang) dan secara terbalik ditranskripsi menjadi DNA komplementer
(cDNA) menggunakan kit sintesis cDNA All-in-One first-strand (GeneCopoeia Inc.,
USA). Metode SYBR green (GeneCopoeia Inc) digunakan untuk amplifikasi PCR.
Kuantifikasi relatif menggunakan metode -2-ΔΔCt digunakan untuk menentukan tingkat
ekspresi mRNA dari penanda epitel EMT E-cadherin dan penanda mesenchymal vimentin
dan β-catenin. Gen pembantu β-aktin digunakan sebagai kontrol internal. Primers
termasuk GAPDH forward (5'-AAGAAGGTGGTGAAGCAGGC-3') dan reverse (5'-
TCCACCACCCAGTTGCTGTA-3'), E-cadherin forward (5'-
CCCGGGACAACGTTTATTAC-3') dan reverse (5'-GCTGGCTCAAGTCAAAGTCC-
3'), vimentin forward (5'-TGCTTCAGAGAGAGGAAG CCGAA-3') dan reverse (5'-
ACGTGCCAGAGACGC ATTGTCA-3'), dan β-catenin forward (5'-
GACCAGCTCTCTCTTCAGAACAGA-3′) dan reverse (5′-GTT
CTCCCTGGGCACCAATA-3′).

Analisis Western blot

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi ke dalam cawan 6-cm dan dipaparkan dengan
konsentrasi pepsin yang berbeda dalam medium kultur. Sel distimulasi terus menerus
selama 2 jam setiap hari selama 5 hari. Total protein diekstraksi dari sel dan sampel
dipisahkan menggunakan 10% natrium dodesil sulfatpoliakrilamida gel elektroforesis
(SDS-PAGE) dan kemudian secara elektroforesis ditransfer ke membran polyvinylidene
difluoride (PVDF) (Millipore). Membran diinkubasi semalaman dengan antibodi
monoklonal kelinci terhadap E-cadherin manusia (1:1000; Cell technology signaling,
USA), vimentin (1:100; Cell technology signaling), β-catenin (1:100; Cell technology
signaling), snail (Cell Signaling Technology), dan faktor transkripsi slug (Cell Signaling

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Technology) dan dideteksi menggunakan chemiluminescence. Antibodi spesifik untuk β-
aktin (1: 10.000; Kangcheng Inc, Shanghai, Cina) digunakan sebagai kontrol internal.

Immunofluorescence Assay

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi di cawan 6-cm dan dipaparkan dengan konsentrasi
pepsin yang berbeda dalam medium kultur. Sel-sel terus menerus distimulasi selama 2
jam setiap hari selama 5 hari, difiksasi dengan paraformaldehyde 4% selama 20 menit,
permeabilisasi dengan Triton X-100 0,2% selama 10 menit, dicetak selama 1 jam dengan
serum kambing, dan diinkubasi pada suhu 4°C semalaman dengan antibodi primer
terhadap E-cadherin dan vimentin. Inti sel di cawan confocal yang counterstained
dengan 4',6-diamidino- 2-phenylindole (DAPI) dan digambarkan menggunakan
mikroskop terbalik.

Imunohistokimia

Spesimen tumor yang menempel pada paraffin dari pasien dengan karsinoma laring
dipotong (4 μm) dan diinkubasi dengan antibodi primer terhadap pepsin, E-cadherin,
vimentin, β-catenin, dan IL-8 (Cell Abcam, USA). Pewarnaan diulang setidaknya dua
kali dalam bagian berurutan dari blok jaringan yang sama dan bagian terwarnai ditinjau
ulang dan diklasifikasikan oleh dua patolog. Proporsi sel positif per spesimen dievaluasi
secara kuantitatif dan diberi skor sebagai berikut [29]: ≤ 1% sel yang terwarnai, 0; 2–
25%, 1; 26–50%, 2; 51–75%, 3; dan> 75%, 4. Intensitas pewarnaan dinilai sebagai
berikut: tidak ada pewarnaan, 0; lemah, 1; sedang, 2; dan kuat, 3. Skor total (0-12)
dihitung dengan mengalikan skor sel yang terwarnai dengan skor intensitas pewarnaan,
dan dinilai sebagai negatif (-; skor: 0-1), lemah (+; 2– 4), sedang (++; 5-8), dan kuat
(+++; 9-12).

(Lihat gambar di halaman berikutnya.)

Gambar 2. Ekspresi dari IL-8 setelah paparan pepsin. a. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi
dari sel-sel Hep-2 dan Tu212 yang terpapar konsentrasi pepsin yang berbeda-beda diukur
dengan CBA assay. Produksi dari IL-8 dan IL-6 oleh sel-sel Hep-2 dan Tu212 pada tiap
konsentrasi pepsin yang berbeda. b. Perubahan dari ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep-
2 dan Tu212 yang terpapar pepsin dengan/tanpa pepstatin diukur dengan CBA assays. Produksi
dari IL-8 dan IL-6 dari sel-sel Hep-2 dan Tu212 pada tiap konsentrasi pepsin. c. Gambaran
photomicrographs dari analisis imunohistokimia pepsin dan IL-8 pada spesimen jaringan dari
tiga pasien dengan karsinoma laring (perbesaran, × 200). *P <0,05 dibandingkan dengan
kontrol.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9
Analisis statistik

Perangkat lunak SPSS 19,0 digunakan untuk analisis statistik. Analisis varian dilakukan
untuk membandingkan data dari tes EdU, percobaan pembentukan klon, percobaan siklus
sel, pengujian migrasi sel, pengujian CBA, dan analisis qPCR. Tes goresan luka
dianalisis dengan analisis varian faktorial desain. Tingkat ekspresi pepsin, IL-8, E-
cadherin, vimentin, dan β-catenin dalam spesimen karsinoma laring yang ditentukan oleh
imunohistokimia dibandingkan menggunakan analisis korelasi Spearman. Nilai P<0,05
dianggap signifikan secara statistik.

III. HASIL

Pepsin mempromosikan proliferasi dan kapasitas migrasi sel karsinoma sel


skuamosa laring secara in vitro.

Tes EdU menunjukkan bahwa proliferasi sel meningkat 1,55 dan 1,92 kali lipat,
dan 1,28 kali dan 1,49 kali lipat ketika sel Hep-2 dan Tu212 ditambahkan dengan 0,1
mg/ml dan 1 mg/ml pepsin, masing-masing, dibandingkan dengan sel yang tidak
ditambahkan dengan pepsin, (P= 0,025 dan P= 0,043; Gambar 1a). Hasil yang sama
menunjukkan bahwa 0,1 mg/ml dan 1 mg/ml pepsin meningkatkan kemampuan
pembentukan koloni sebesar 2,3 dan 4,3 kali lipat, dan masing-masing sebesar 2,3 dan
2,9 kali lipat, dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan pepsin (P= 0,006 dan
P= 0,003; Gbr. 1b). Selanjutnya, distribusi siklus sel menunjukkan bahwa persentase sel
dalam fase S meningkat bersamaan dengan peningkatan konsentrasi pepsin (P= 0,002
dan P= 0,003; Gbr. 1c).

Selanjutnya, diselidiki kemampuan pepsin yang menginduksi migrasi seluler.


Array migrasi transwell mengungkapkan peningkatan dramatis dalam motilitas sel,
dengan 1,47 dan 2,63 kali lipat, dan peningkatan 2,35 dan 4,40 kali lipat untuk sel yang
diperlakukan dengan 0,1 mg/ml dan 1 mg/ml pepsin, masing-masing, dibandingkan
dengan yang tidak diobati. Sel Hep-2 dan Tu212 (P<0,001; Gbr. 1d).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Pepsin mengubah produksi sitokin oleh sel karsinoma sel skuamosa laring secara in
vitro dan dalam jaringan karsinoma laring

Untuk menentukan apakah pepsin mampu mengubah ekspresi sitokin inflamasi,


yang dapat berkontribusi terhadap kerusakan epitel, kami menyelidiki produksi sitokin
setelah stimulasi dengan pepsin. Hasil menunjukkan bahwa tingkat IL-8 meningkat
sebesar 1,78 - dan 2,92 kali lipat, dan 1,43 - dan 2,67 kali lipat masing-masing dengan 0,1
mg/ml dan 1 mg/ml pepsin (P= 0,02 dan P= 0,02). Terdapat juga kecenderungan
peningkatan kadar IL-6 oleh pepsin, meskipun perbedaan yang diamati tidak signifikan
secara statistik (Gambar. 2a). Kadar IL-10, IL-1β, IL-12p70, dan TNF tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara sel yang diobati atau yang tidak diobati dengan pepsin
(file tambahan 1: Tabel S1). Untuk mengkonfirmasi jika pepsin melibatkan sekresi IL-8
dan IL-6 dalam sel-sel karsinoma laring, pepsin dihambat oleh pepstatin, suatu
penghambat protease aspartat (asam), termasuk pepsin, cathepsin D, dan chymosin.
Tingkat IL-8 menurun secara signifikan sebesar 31,4% dan 34,92% (P= 0,027 dan P=
0,007) dan IL-6 menurun 8,71% dan 25,7% (P= 0,072 dan P= 0,212) ketika pepsin
dihambat oleh pepstatin di Sel-sel Hep-2 dan Tu212, masing-masing (Gbr. 2b). IL-8
mungkin lebih sensitif terhadap pepsin daripada IL-6. Tingkat IL-10, IL-1β, IL-12p70,
dan TNF tidak secara signifikan dipengaruhi oleh pep-statin (file tambahan 1: Tabel S2).

Selanjutnya, ekspresi IL-8 dianalisis menggunakan spesimen karsinoma laryngeal dan


imunohistokimia. Korelasi positif yang signifikan diamati antara pengobatan pepsin dan
ekspresi IL-8 dalam jaringan karsinoma laring (r= 0,245, P= 0,022; Gambar. 2c).

Pepsin, morfologi sel karsinoma sel skuamosa laring, dan induksi EMT

Perubahan morfologis yang dramatis diamati pada sel Hep-2 dan Tu212
setelah stimulasi pepsin Cobblestone appearance dari epitel skuamosa digantikan
dengan morfologi fibroblastik spindle-like. Setelah stimulasi dengan 0,1 mg/ml
pepsin selama 5 hari, sel-sel menunjukkan pertumbuhan fusiform dan morfologi
berbentuk spindle yang jelas setelah stimulasi dengan 1 mg/ml pepsin (Gbr. 3a).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Fenomena ini menunjukkan bahwa sel Hep-2 dan Tu212 yang terekspos
pepsin dapat menjalani EMT. Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa kadar E-
cadherin dalam sel Hep-2 dan Tu212 yang terpapar pepsin 0,1 mg/ml dan 1 mg/ml
menurun sebesar 55,50% dan 30,20%, (P = 0,034), dan 95,33% dan 55,00% (P=
0,037), masing-masing, dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan pepsin.
Sebaliknya, untuk sel Hep-2 dan Tu212 yang terpapar 0,1 mg/ml dan 1 mg/ml pepsin,
kadar mRNA vimentin meningkat sebesar 1,18 dan 1,66 kali lipat (P= 0,036), dan
1,74 dan 4,28 kali lipat (P= 0,016). kadar mRNA β-catenin dalam dua baris sel ini
meningkat 1.27- dan 1,58 kali lipat(P= 0,233), dan dengan 1,69 dan 3.07 kali lipat(P=
0,046) secara berturut-turut (Gambar. 3b). Analisis western blotting dan
imunofluoresensi sel Hep-2 dan Tu212 menunjukkan bahwa ekspresi E-cadherin
menurun dan ekspresi vimentin meningkat setelah paparan konsentrasi pepsin yang
berbeda (Gbr. 3c, d). Selanjutnya, analisis western blot menunjukkan bahwa β-
catenin, snail , dan slug diregulasi dengan meningkatnya konsentrasi pepsin.
Pengobatan sel Hep-2 dan Tu212 dengan pepsin dan inhibitor pepstatinnya secara
nyata meningkatkan ekspresi E-cadherin tetapi mengurangi vimentin dan ekspresi β-
catenin dibandingkan dengan sel-sel yang hanya terpapar pepsin (Gbr. 3e).

Di antara 87 pasien dengan karsinoma laring, pewarnaan immunohistokimia


untuk pepsin dalam jaringan sangat positif pada 11 pasien (12,64%), cukup positif
pada 26 pasien (29,89%), positif lemah pada 28 pasien (32,18%), dan negatif pada 22
pasien (25,29%). Selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 3f, ekspresi
pepsin dikaitkan dengan ekspresi vimentin (r= 0,260, P= 0,015) dan ekspresi β-
catenin (r= 0,231, P= 0,032), tetapi berbanding terbalik dengan ekspresi E-cadherin
(r= - 0,262, P= 0,014).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


(Lihat Gambar pada halaman berikutnya.)

Gambar. 3 Ekspresi marker epitelial dan mesenkimal pada sel Hep-2 dan Tu212 yang
mendapat perlakuan dengan pepsin. a Morfologi sel Hep-2 dan Tu212 cells yang dipaparkan
ke konsentrasi pepsin berbeda menggunakan mikroskop fase kontras. b Ekspresi kadar E-
cadherin, vimentin, and β-catenin pada sel Hep-2 dan Tu212 yang dipaparkan dengan pepsin
dianalisis menggunakan real-time PCR. c Efek konsentrasi berbeda pepsin terhadap ekspresi
E-cadherin dan vimentin pada sel Hep-2 dan Tu212 diengan pewarnaan imuno dan dianalisis
menggunakan miskroskop koloni (perbesaran, ×200). d Ekspresi E-cadherin, vimentin, β-
catenin, snail, dan slug pada sel Hep-2 dan Tu212 yang mendapat perlakuan dengan pepsin
dianalisis menggunakan western blott. e Ekspresi E-cadherin, vimentin, β-catenin, snail, dan
slug pada sel Hep-2 dan Tu212 yang mendapat perlakuan dengan pepsin dengan atau tanpa
pepstatin dianalisis menggunakan western blott. f Ilustrasi fotomikrografi representatif
analisis imunohistokimia pepsin, E-cadherin, vimentin, dan β-catenin pada spsimen jaringan
dari dua pasien dengan carcinoma laryngeal (perbesaran, ×400). *P < 0.05 dibandingkan
dengan kontrol.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14
Peran sumbu IL-8 / IL-8R dalam EMT dan kapasitas proliferatif dan migrasi dari
sel karsinoma sel skuamosa laring yang terpapar pepsin

Untuk memberikan gambaran tentang mekanisme via sinyal sitokin yang


mengatur EMT yang diinduksi pepsin dalam sel karsinoma laring, SB225002 adalah
ditambahkan ke medium kultur untuk memblokir reseptor IL-8 CXCR2 [30]. Pengobatan
sel Hep-2 dan Tu212 yang terpapar pepsin dengan SB225002 secara nyata meningkatkan
ekspresi E-cadherin tetapi mengurangi ekspresi vimentin dan β-catenin dibandingkan
dengan sel yang tidak diobati dengan penghambat IL-8. Memblokir reseptor IL-8 dengan
SB225002 tidak mempengaruhi ekspresi siput, tetapi secara nyata mengurangi ekspresi
snail (Gbr. 4a).

Selanjutnya, dinilai efek IL-8 pada kapasitas proliferasi sel Hep-2 dan Tu212
menggunakan uji EdU dan percobaan siklus sel. Pemblokiran reseptor IL-8 pada sel Hep-
2 dan Tu212 yang diobati dengan pepsin secara signifikan menghambat kapasitas
proliferasi sel sebesar 66,14% dan 82,35% (P = 0,001 dan P = 0,017), dan mengurangi
persentase sel dalam fase S sebesar 86,64% dan 92,94% (P = 0,025 dan P = 0,000)
dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan inhibitor CXCR2 (Gbr. 4b, c). Tes
migrasi Transwell mengungkapkan bahwa inhibisi reseptor IL-8 CXCR2 mengurangi
kapasitas migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang dirawat pepsin sebesar 72,06% dan 75,38%
(P = 0,018 dan P = 0,002) dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan inhibitor
CXCR2 (Gbr. 4d).

(Lihat gambar di halaman berikutnya.)

Fig. 4 Sel Hep-2 dan Tu212 in vitro dipaparkan dengan pepsin setelah inhibisi reseptor IL8.
Analisis western blot ekspresi E-cadherin, vimentin, β-catenin, snail, dan slug pada sel Hep-2 dan
Tu212 yang dipaparkan dengan pepsin dengan atau tanpa terapi SB225002 untuk menghambat
reseptor IL-8 CXCR2. b Efek pepsin pada proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 dengan atau tanpa
terapi SB225002 untuk menghambat reseptor IL-8 CXCR2. Proliferasi sel diukur menggunakan
tes Edu (perbesaran, ×100). c Histogram representatif sikus sel menunjukkan presentasi sel yang
diperlakukan dengan pepsin sel Hep-2 dan Tu212 pada fase S dengan atau tanpa terapi
SB225002 untuk menghambat reseptor IL-8 CXCR2. d Sifat migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang
mendapat perlakuan pepsin dengan atau tanpa inhibisi reseptor IL-8 CXCR2 dengan terapi
SB225002 dianalisis menggunakan transwell migration assays, dengan jumlah migrasi sel Hep-2
dan Tu212 (perbesaran, ×200). *P < 0.05 dibandingkan terhadap kontrol.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16
Diskusi

Pepsin dapat menghambat protein pelindung laring dan berkontribusi terhadap


kerusakan laring [31, 32]. Johnston dkk [33, 34] menunjukkan bahwa pepsin dapat
memasuki sel melalui reseptor dan dapat disimpan dalam vesikel atau diangkut dalam sel
ke organel kompleks lainnya di lingkungan non-asam. Pepsin diaktifkan kembali setelah
pH lingkungan optimal dan menyebabkan kerusakan sel. Akibatnya, mukosa laring dapat
mengalami inflamasi kronis dan melepaskan faktor inflamasi yang mendorong evolusi
genetik neoplasia awal menjadi kanker dewasa [35, 36]. Samuels [37] menunjukkan
adanya pepsin dalam mukosa esofagus Barrett dan kapasitas pepsin nonasidik untuk
mengubah ekspresi in vitro dari peradangan dan penanda karsinogenesis dalam sel
kerongkongan. Johnston dkk [21] juga mengusulkan bahwa promosi proliferasi sel dan
migrasi oleh pepsin dapat dikaitkan dengan perubahan ekspresi gen dan microRNAs
terkait tumor. Allen [38] menggunakan pepsin dan 9,10-dimethyl-1,2-benzanthracene
(DMBA) untuk merangsang tumor hamster cheek pouch dan mengamati bahwa volume
tumor secara signifikan lebih tinggi di hadapan pepsin daripada tanpa pepsin; karenanya
pepsin mungkin merupakan kofaktor potensial yang diperlukan untuk pertumbuhan
tumor. Studi terbaru kami [25] menunjukkan bahwa pasien dengan karsinoma laring
memiliki tingkat ekspresi tertinggi pepsin, diikuti oleh pasien dengan leukoplakia pita
suara dan subyek kontrol. Sehingga, pepsin dapat dikaitkan dengan kanker laringeal dan
mungkin berkontribusi pada perkembangan karsinogenesis laringofaring. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menjelaskan peran pepsin yang tepat dan mekanisme yang
terlibat.

Gambar. 5 Pepsin menginduksi EMT pada karsinoma laryngeal, dan kemampuan potensial pepsin dalam menginduksi
proliferasi karsinoma laringeal dan metastasis yang berhubungan dengan sekresi IL-8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


Karena pH rata-rata laringofaring adalah 6,8 [39, 40], sel Hep-2 dan Tu212 dalam
penelitian ini terpapar pepsin pada pH 7 dan proliferasi dan migrasi sel dinilai. Hasil dari
penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa pepsin mendukung proliferasi dan migrasi
sel Hep-2 dan Tu212 secara in vitro. Disarankan bahwa pepsin berfungsi sebagai faktor
pemicu tumor pada karsinoma laring. konsisten dengan hasil dari studi korelasi [22, 41,
42].

Sel-sel Hep-2 dan Tu212 berubah dari bentuk poligon yang khas untuk sel
spindle panjang fibroblast-like di bawah stimulasi pepsin, yang menyerupai EMT.
Dengan demikian, kami berhipotesis bahwa stimulasi pepsin dapat menginduksi EMT sel
tumor dan lebih lanjut mempromosikan metastasis tumor.

Meskipun Lorenz dakk [23] tidak mempelajari karsinoma laringeal, mereka


mengusulkan korelasi antara EMT dan refluks untuk pertama kalinya. Dalam studi
tersebut, keparahan refluks berkorelasi dengan skor EMT, sementara tingkat EMT pasien
dengan expanded-fistula secara signifikan lebih tinggi daripada yang tidak terdapat
ekspansi fistula. Lebih jauh lagi, Shellman dkk [24] menunjukkan bahwa asam empedu
berkontribusi terhadap karsinogenesis faring melalui EMT. Beberapa penelitian lain telah
menunjukkan bahwa asam lambung berulang dan eksposur pepsin merangsang epitel
mukosa laring untuk mengubah E-cadherin kompleks / β-catenin, yang mungkin menjadi
faktor risiko potensial untuk pengembangan laring neoplasma[43-47].

Untuk menguji hipotesis kami bahwa refluks pepsin ke dalam laringofaring dapat
menginduksi EMT pada karsinoma laring, kami mengevaluasi ekspresi penanda EMT
pada sel Hep-2 dan Tu212 yang dirangsang pepsin. Hasil kami menunjukkan bahwa
paparan pepsin mengurangi ekspresi penanda epitel E-cadherin dan meningkatkan
ekspresi penanda mesenchymal vimentin dan β-catenin, yang mirip dengan hasil yang
diamati dengan imunohistokimia dari jaringan kanker laring. Sementara itu, ekspresi
faktor transkripsi EMT snail dan slug berkorelasi dengan konsentrasi pepsin. Kami
berspekulasi bahwa pepsin dapat mengubah ekspresi siput dan siput melalui jalur
pensinyalan, menghambat ekspresi E-cadherin, menghambat adhesi sel epitel, dan
melemahkan kemampuan sel untuk mempertahankan bentuknya [48]. Kegagalan ekspresi
E-cadherin dapat mengakibatkan pelepasan β-catenin dari membran sel dan terjadi
akumulasi di sitoplasma, sehingga terdapat hubungan kerusakan sel epitel mukosa laring
dengan peningkatan permeabilitas epitel [49, 50]. Peningkatan ekspresi protein vimentin
meningkatkan fleksibilitas seluler, mobilitas, dan kemampuan antiimun [51], yang
menginduksi EMT pada karsinoma laring.

Studi sebelumnya telah mengusulkan bahwa sitokin inflamasi, seperti


transforming growth factor dan interleukin, memainkan peran penting dalam induksi
EMT [52-54]. Kami menganalisis konsentrasi sitokin dalam serum yang terpapar pepsin
menggunakan uji CBA dan mengamati peningkatan signifikan kadar IL-8, yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


tergantung pada dosis pepsin. Selain itu, ekspresi pepsin dan IL-8 berhubungan secara
positif dalam jaringan karsinoma laring. Pengamatan ini konsisten dengan hasil Samuels
dkk. [26]. Selain itu, pepstatin dikenal sebagai penghambat proteinase aspartik seperti
pepsin, cathepsins D dan E [55]. Kim mengamati bahwa pepsin dari refluks
extraesophageal memperburuk hipertrofi tonsil dan pepstatin memberikan efek
perlindungan dengan menghambat aktivitas pepsin [56]. Hasil kami menunjukkan bahwa
tingkat IL-8 berkurang ketika pepsin dihambat oleh pepstatin; ini bertepatan dengan
peningkatan yang signifikan dari penanda epitel dan penurunan regulasi dari marker
mesenkimal.

IL-8 adalah sitokin multifungsi yang berpartisipasi dalam peradangan akut dan
sebagai faktor pensinyalan ekstraseluler dalam lingkungan mikro tumor. Fernando et al.
[57] menunjukkan bahwa IL-8 yang disekresikan oleh sel karsinoma sel skuamosa kepala
dan leher manusia (HNSCC) yang sedang menjalani EMT mungkin memainkan peran
penting dalam mempromosikan perkembangan tumor HNSCC. Untuk mengklarifikasi
apakah IL-8 memiliki hubungan sebab akibat dengan pepsin dan EMT dalam sel Hep-2
dan Tu212, kami menekan CXCR2 menggunakan SB225002 [30] untuk menghambat
pengikatan IL-8 ke CXCR2 selama pengobatan pepsin. Sel-sel kanker mengekspresikan
reseptor CXC CXCR 1 dan 2, dan IL-8, ligan untuk reseptor ini, merangsang migrasi dan
proliferasi sel-sel tumor ini [58]. Kami menekan CXCR2 selama pengobatan pepsin dan
mengamati bahwa promosi proliferasi dan migrasi sel yang dimediasi pepsin terhambat.
Penghambatan ekspresi CXCR2 selama pengobatan pepsin sebagian memulihkan
downregulasi penanda epitel dan upregulasi penanda mesenkimal dan faktor transkripsi
EMT dalam sel Hep-2 dan Tu212. Namun, penekanan CXCR2 tidak sepenuhnya
menghambat fenotipe yang disebabkan oleh pepsin, yang menunjukkan baik
penghambatan IL8 yang tidak memadai atau faktor-faktor inflamasi lainnya untuk
memainkan peran di samping IL-8. Refluks menyebabkan sel epitel mengeluarkan
kemokin, termasuk IL-8, yang menyebabkan kerusakan mukosa melalui rekrutmen sel
inflamasi [59]. Sel-sel inflamasi dan sitokin yang ditemukan pada tumor lebih cenderung
berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan tumor, dan penghapusan atau
penghambatan sitokin inflamasi menghambat perkembangan kanker eksperimental [36,
58]. Selain itu, sel-sel inflamasi dapat melepaskan bahan kimia, terutama spesies oksigen
reaktif, yang secara aktif bersifat mutagenik untuk sel-sel kanker di sekitarnya,
mempercepat evolusi genetik mereka menuju keadaan keganasan yang meningkat [35].
Studi menunjukkan bahwa pepsin menginduksi sekresi IL-8, yang mempromosikan EMT
kanker laring (Gambar 5). EMT dapat mengurangi kemampuan perlindungan epitel sel
dengan mengubah E-cadherin / β-catenin [48, 49], dengan demikian menghancurkan
penghalang histologis wilayah yang diserang oleh sel-sel tumor, memfasilitasi pemisahan
dan pelepasan sel, dan akhirnya berkontribusi pada migrasi sel dan metastasis [60].
Penghambatan pengikatan IL-8 dengan CXCR2 mengembalikan sebagian efek pepsin
pada sel kanker laring.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


IV. KESIMPULAN

Kami mengusulkan bahwa pepsin menginduksi EMT pada karsinoma laryngeal


dan memberikan bukti baru untuk peran LPR dalam tumorigenesis kanker laring. Pepsin
yang berhubungan dengan LPR dapat merangsang sel-sel tumor untuk mengeluarkan IL-
8 dan mengaktifkan faktor transkripsi snail untuk mempromosikan EMT pada kanker
laring. EMT yang diinduksi pepsin pada karsinoma laring memberikan dasar teoretis
untuk memahami patogenesis LPR dalam perkembangan karsinoma laring.

Berkas Tambahan

Berkas Tambahan 1: Tabel S1. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep-2 dan
Tu212 yang terpapar pepsin dengan konsentrasi yang berbeda-beda diukur menggunakan CBA
assays. Tabel S2. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep2 dan Tu212 yang
terpapar pepsin dengan atau tanpa pepstatin diukur menggunakan CBA assays.

Singkatan

LPR: Laryngopharyngeal reflux; EMT: epithelial-mesenchymal transition; IL-8: interleukin-8:


Hep-2: Human Laryngeal Carcinoma Cell Line; Tu212: Human Laryngeal Carcinoma Cell Line

Kontribusi Penulis

J-JT, LW, and X-PL merancang penelitian ini, menulis artikel, menganalisis data, dan menyetujui
naskah terakhir, dan bertanggung jawab atas segala aspek atas karya ini. Seluruh penulis telah
membaca dan menyetujui hasil naskah akhir.

Detil Penulis

1 Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Nanfang Hospital, Southern Medical
University, 1838 Guangzhou Avenue North, Guangzhou 510515, China. 2 Department of
Otolaryngology, Gaoyao District Traditional Chinese Medicine Hospital of Zhaoqing, No.3 of
FuQian Avenue, Zhaoqing 526100, Guangdong, China.

Persetujuan etik dan izin untuk ikut serta

Penelitian ini dilakukan sesuai dengan pedoman etik kelembagaan dan disetujui oleh Komite Etik
Nanfang Hospital. Lembar persejutuan diperoleh tiap pasien.

Pembiayaan

Penelitian ini didukung oleh The National Natural Science Foundation of China (No. 81400452).

Diterima: 24 November 2018 Diterima: 6 Maret 2019

Dipublikasikan: 20 Maret 2019

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


DAFTAR PUSTAKA

1. Koufman JA. The otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux


disease (GERD): a clinical investigation of 225 patients using ambulatory 24-hour
pH monitoring and an experimental investigation of the role of acid and Pepsin in
the development of laryngeal injury. Laryngoscope. 1991;101:1–78.
2. Hawkshaw MJ, Pebdani P, Satalo RT. Reflux laryngitis: an update, 2009–
2012. J Voice. 2013;27:486–94.
3. Beltsis A, Katsinelos P, Kountouras J, Kamarianis N, Zavos C, Pournaras A, et al.
Double probe pH-monitoring findings in patients with benign lesions of the true
vocal folds: comparison with typical GERD and the ect of smoking. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2011;268:1169–74.
4. Chu EA, Kim YJ. Cancer: diagnosis and preoperative work-up. Otolaryngol Clin
North Am. 2008;41:673–95.
5. Shangina O, Brennan P, Szeszenia-Dabrowska N, Mates D, Fabiánová E, Fletcher
T, et al. Occupational exposure and laryngeal and hypopharyn- geal cancer risk in
central and eastern Europe. Am J Epidemiol. 2006;164:367–75.
6. Hashibe M, Boffetta P, Zaridze D, Shangina O, Szeszenia‐Dabrowska N, Mates
D, et al. Contribution of tobacco and alcohol to the high rates of squamous cell
carcinoma of the supraglottis and glottis in Central Europe. Am J Epidemiol.
2007;165:814–20. 

7. Sereg Bahar M, Jerin A, Hocevar‐Boltezar I. Higher levels of total pepsin and bile
acids in the saliva as a possible risk factor for early laryngeal cancer. Radiol
Oncol. 2015;49:59–64. 

8. Langevin SM, Michaud DS, Marsit CJ, Nelson HH, Birnbaum AE, Eliot M, et al.
Gastric reflux is an independent risk factor for laryngopharyngeal carcinoma.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2013;22:1061–8. 

9. Qadeer MA, Lopez R, Wood BG, Esclamado R, Strome M, Vaezi MF. Does acid
suppressive therapy reduce the risk of laryngeal cancer recurrence?
Laryngoscope. 2005;115:1877–81. 

10. Ozlugedik S, Yorulmaz I, Gokcan K. Is laryngopharyngeal reflux an impor‐ tant

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


risk factor in the development of laryngeal carcinoma? Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2006;263:339–43. 

11. Coca‐PelazA,RodrigoJP,TakesRP,SilverCE,PaccagnellaD,RinaldoA, et al.
Relationship between reflux and laryngeal cancer. Head Neck. 2013;35:1814–8.

12. KoufmanJA,AvivJE,CasianoRR,SawGY.Laryngopharyngealreflux: position
statement of the committee on speech, voice, and swallow‐ ing disorders of the
American Academy of Otolaryngology‐Head and Neck Surgery. Otolaryngol
Head Neck Surg. 2002;127:32–5. 

13. Abou‐Ismail A, Vaezi MF. Evaluation of patients with suspected lar‐
yngopharyngeal reflux: a practical approach. Curr Gastroenterol Rep.
2011;13:213–8.
14. Li X, Huang Z, Wu T, Wang L, Wu J. Role of laryngopharyngeal reflux on the
pathogenesis of vocal cord leukoplakia and early glottic cancer. Zhonghua Er Bi
Yan Hou Tou Jing Wai Ke Za Zhi. 2014;49:362–7.
15. Farhath S, He Z, Nakhla T, Saslow J, Soundar S, Camacho J, et al. Pepsin, a
marker of gastric contents, is increased in tracheal aspirates from preterm infants
who develop bronchopulmonary dysplasia. Pediatrics. 2008;121:e253–9.
16. Stovold R, Forrest IA, Corris PA, Murphy DM, Smith JA, Decalmer S, et al.
Pepsin, a biomarker of gastric aspiration in lung allografts: a putative association
with rejection. Am J Respir Crit Care Med. 2007;175:1298–303.
17. Crapko M, Kerschner JE, Syring M, Johnston N. Role of extra‐esoph‐ ageal reflux
in chronic otitis media with effusion. Laryngoscope. 2007;117:1419–23.
18. KnightJ,LivelyMO,JohnstonN,DettmarPW,KoufmanJA.Sensitive pepsin
immunoassay for detection of laryngopharyngeal reflux. Laryn‐ goscope.
2005;115:1473–8.
19. SamuelsTL,JohnstonN.Pepsinasamarkerofextraesophagealreflux. Ann Otol
Rhinol Laryngol. 2010;119:203–8.
20. WangL,LiuX,LiuYL,ZengFF,WuT,YangCL,etal.Correlationof pepsin‐measured
laryngopharyngeal reflux disease with symptoms and signs. Otolaryngol Head
Neck Surg. 2010;143:765–71.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


21. JohnstonN,YanJC,HoekzemaCR,SamuelsTL,StonerGD,Blumin JH, et al. Pepsin
promotes proliferation of laryngeal and pharyngeal epithelial cells. Laryngoscope.
2012;122:1317.
22. Kelly EA, Samuels TL, Johnston N. Chronic pepsin exposure promotes
anchorage‐independent growth and migration of a hypopharyngeal squamous cell
line. Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;150:618–24.
23. Lorenz KJ, Kraft K, Graf F, Pröpper C, Steinestel K. Role of reflux‐induced
epithelial–mesenchymal transition in periprosthetic leakage after pros‐ thetic
voice rehabilitation. Head Neck. 2014;37:530–6.
24. Shellman Z, Aldhahrani A, Verdon B, Mather M, Paleri V, Wilson J, et al. Bile
acids: a potential role in the pathogenesis of pharyngeal malignancy. Clin
Otolaryngol. 2017;42:969–73.
25. Tan JJ, Wang L, Huang ZF, Li YF, Tian WD, Liu X, et al. The expression and
significance of pepsin in laryngeal carcinoma. Zhonghua Er Bi Yan Hou Tou Jing
Wai Ke Za Zhi. 2016;51:593–9.
26. Samuels TL, Johnston N. Pepsin as a causal agent of inflammation during
nonacidic reflux. Otolaryngol Head Neck Surg. 2009;141:559–63.
27. Bulmer DM, Ali MS, Brownlee IA, Dettmar PW, Pearson JP. Laryngeal mucosa:
its susceptibility to damage by acid and pepsin. Laryngoscope. 2010;120:777–82.
28. Tsai TL, Chang SY, Ho CY, Kou YR. Role of ATP in the ROS‐mediated laryn‐
geal airway hyperreactivity induced by laryngeal acid‐pepsin insult in
anesthetized rats. J Appl Physiol. 1985;2009(106):1584–92.
29. Sillem M, Hahn U, Coddington CC, Gordon K, Runnebaum B, Hodgen GD.
Ectopic growth of endometrium depends on its structural integrity and proteolytic
activity in the cynomolgus monkey(Macaca fascicularis) model of endometriosis.
Fertil Steril. 1998;66:468–73.
30. Goda AE, Koyama M, Sowa Y. Molecular mechanisms of the antitumor activity
of SB225002: a novel microtubule inhibitor. Biochem Pharmacol. 2013;85:1741–
52.
31. Johnston N, Knight J, Dettmar PW, Lively MO, Koufman J. Pepsin and car‐ bonic
anhydrase isoenzyme III as diagnostic markers for laryngopharyn‐ geal reflux

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


disease. Laryngoscope. 2004;114:2129–34.
32. Johnston N, Dettmar PW, Lively MO, et al. Effect of Pepsin on laryngeal stress
protein (Sep70, Sep53, and Hsp70) response: role in laryngopharyn‐ geal reflux
disease. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2006;115:47–58.
33. Johnston N, Wells CW, Blumin JH, Toohill RJ, Merati AL. Receptor‐ mediated
uptake of pepsin by laryngeal epithelial cells. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2007;116:934–8.
34. Johnston N, Wells CW, Samuels TL, Blumin JH. Rationale for targeting pepsin in
the treatment of reflux disease. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2010;119:547–58.
35. Grivennikov SI, Greten FR, Karin M. Immunity, inflammation, and cancer. Cell.
2010;140:883–99.
36. Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell.
2011;144:646–74.
37. Samuels T, Hoekzema C, Gould J, Goldblatt M, Frelich M, Bosler M,
et al.
Local synthesis of pepsin in Barrett’s esophagus and the role of pepsin in
esophageal adenocarcinoma. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2015;124:893–902. 

38. Adams J, Heintz P, Gross N, Andersen P, Everts E, Wax M, et al. Acid/pepsin
promotion of carcinogenesis in the hamster cheek pouch. Arch Otolaryn‐ gol
Head Neck Surg. 2000;126:405–9. 

39. Wood JM, Hussey DJ, Woods CM, Watson DI, Carney AS. Biomarkers and
laryngopharyngeal reflux. J Laryngol Otol. 2011;125:1218–24. 

40. Wood J, Hussey DJ, Woods CM, et al. Does gene expression in laryngeal sub‐
sites differ between patients with laryngopharyngeal reflux and controls? Clin
Otolaryngol. 2018;43:158–63. 

41. Johnston N, Wells CW, Samuels TL, Blumin JH. Pepsin in nonacidic refluxate
can damage hypopharyngeal epithelial cells. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2009;118:677–85. 

42. Siegel R, Naishadham D, Jemal A. Cancer statistics. CA Cancer J Clin.
2013;63:11–30. 

43. Johnston N, Bulmer D, Gill GA, Panetti M, Ross PE, Pearson JP, et al. Cell
biology of laryngeal epithelial defenses in health and disease: further studies. Ann

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Otol Rhinol Laryngol. 2003;112:481–91. 

44. Reichel O, Mayr D, Durst F, Berghaus A. E‐cadherin but not beta‐catenin
expression is decreased in laryngeal biopsies from patients with laryn‐
gopharyngeal reflux. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2008;265:937–42. 

45. Galera-Ruiz H, Ríos‐Moreno MJ, González‐Cámpora R, Ortega I, Fernández A,
García‐Escudero A, et al. The cadherin‐catenin complex in laryngeal squamous
cell carcinoma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2011;269:1183–8. 

46. Lehembre F, Yilmaz M, Wicki A, Schomber T, Strittmatter K, Ziegler D, et al.
NCAM-induced focal adhesion assembly: a functional switch upon loss of E‐
cadherin. EMBO J. 2008;27:2603–15. 

47. Theys J, Jutten B, Habets R, Paesmans K, Groot AJ, Lambin P, et al. E‐cadherin
loss associated with EMT promotes radio resistance in human tumor cells.
Radiother Oncol. 2011;99:392–7. 

48. Yan B, Zhang W, Jiang LY, Qin WX, Wang X. Reduced E-cadherin expression is
a prognostic biomarker of non‐small cell lung cancer: a metaanaly‐ sis based on
2395 subjects. Int J Clin Exp Med. 2014;7:4352–6. 

49. Pecina Slaus N. Tumor suppressor gene E-cadherin and its role in normal and
malignant cells. Cancer Cell Int. 2003;3:17. 

50. Fuxe J, Karlsson MC. TGF-β-induced epithelial mesenchymal transition: a link
between cancer and inflammation. Semin Cancer Biol. 2012;22:455–61.
51. Satelli A, Li S. Vimemin in cancer and its potential as a molecular target for
cancer therapy. Cell Mol Life Sci. 2011;68:3033–46.
52. Cianfrocca R, Tocci P, Spinella F, Di Castro V, Bagnato A, Rosanò L. The
endothelin A receptor and epidermal growth factor receptor signaling converge on
b‐catenin to promote ovarian cancer metastasis. Life Sci. 2012;91:13–4.
53. Mikami Y, Yamauchi Y, Horie M, Kase M, Jo T, Takizawa H, et al. Tumor
necrosis factor superfamily member LIGHT induces epithelial–mesenchymal
transition in A549 human alveolar epithelial cells. Biochem Biophys Res
Commun. 2012;428:451–7.
54. Sullivan NJ, Sasser AK, Axel AE, Vesuna F, Raman V, Ramirez N, et al.
Interleukin‐6 induces an epithelial–mesenchymal transition phenotype in human

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


breast cancer cells. Oncogene. 2009;28:2940–7.
55. Umezawa H, Aoyagi T, Morishima H, Matsuzaki M, Hamada M. Pepstatin, a new
pepsin inhibitor produced by Actinomycetes. J Antibiot (Tokyo). 1970;23:259–
62.
56. Kim JH, Jang SJ, Yun JW, Jung MH, Woo SH. Effects of pepsin and pepstatin on
reflux tonsil hypertrophy in vitro. PLoS ONE. 2018;13:e0207090.
57. Chan LP, Liu C, Chiang FY, Wang LF, Lee KW, Chen WT. IL-8 promotes
inflammatory mediators and stimulates activation of p38 MAPK/ ERK-NF-κB
pathway and reduction of JNK in HNSCC. Oncotarget. 2017;8:56375–88.
58. Balkwill F, Mantovani A. Inflammation and cancer: back to Virchow? Lancet.
2001;357:539–45.
59. Souza RF, Huo X, Mittal V, et al. Gastroesophageal reflux might cause
esophagitis through a cytokine-mediated mechanismrather than caustic acid
injury. Gastroenterology. 2009;137(5):1776–84.
60. Mani SA, Guo W, Liao MJ, Eaton EN, Ayyanan A, Zhou AY, et al. The
epithelial-mesenchymal transition generates cells with properties of stem cells.
Cell. 2008;133:704–15.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26

Anda mungkin juga menyukai