Oleh:
Chintia Amalia 1840312283
Ramadhoni Mardi 1840312301
Preseptor :
Dr. Fachzi Fitri, Sp.THT-KL(K), MARS
Jia-Jie Tan1, Lu Wang1,2, Ting-Ting Mo1, Jie Wang1, Mei-Gui Wang1 and Xiang-Ping Li1
ABSTRAK
Metode: Sel karsinoma laring manusia bentuk Hep-2 dan Tu212 telah dipaparkan ke \
konsentrasi pepsin yang berbeda dan morfologi, proliferasi, migrasi, dan sekresi dari
sitokin inflamasi, serta perubahan epithelial mesenkimal (epithelial-mesenchymal
transition; EMT) dari sel telah dinilai. Untuk mengevaluasi apakah interleukin-8 (IL-8)
memiliki hubungan kausal dengan pepsin dan EMT, inhibitor IL-8 digunakan untuk
menekan sekresi IL-8 selama terpapar pepsin dan ekspresi dari penanda EMT, proliferasi
sel, dan migrasi sel dianalisis.
Hasil: Pepsin meningkatkan proliferasi, pembentukan koloni, migrasi, dan sekresi IL-8
pada sel-sel Hep-2 dan Tu212 in vitro. Selanjutnya, peningkatkan konsentrasi pepsin
mengubah morfologi dari sel-sel Hep-2 dan Tu212; tingkatan dari faktor transkripsi snail
dan slug meningkat. Efek yang mirip telah diobservasi pada jaringan karsinoma laring
menggunakan imunohistokimia. Tingkat IL-8 menurun dan EMT pulih kembali ketika
pepsin diinhibisi oleh pepstatin. EMT semakin mengurang setelah dipaparkan inhibitor
IL-8, dengan penurunan signifikan dari proliferasi dan migrasi sel terinduksi pepsin.
Kesimpulan: Pepsin dapat menginduksi EMT dalam karsinoma laring melalui jalur
sinyal IL-8, yang mengindikasikan bahwa hal tersebut memiliki peran potensial dalam
meningkatkan proliferasi sel dan metastasis dari karsinoma laring.
Pada penyakit refluks gastroesofagus, asam merusak epitel esofagus. Pada LPR,
refluks didominasi oleh refluks asam lemah pada posisi tegak dan terlentang [14];
Namun, refluks non asam, seperti pepsin dan asam empedu, memerlukan pertimbangan
lebih lanjut. Pepsin, komponen berbahaya utama LPR, biasanya hanya ada di perut, tetapi
banyak penelitian baru-baru ini melaporkannya di trakea, jaringan paru, mukosa hidung,
sekresi telinga tengah, dan air liur pada pasien refluks [15-18] .Telah diterima secara luas
bahwa pepsin dapat bertindak sebagai penanda molekuler refluks [19, 20]. Namun, hanya
sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa pepsin pada LPR berkontribusi pada
pengembangan karsinogenesis laringofaring [21, 22], meskipun mekanisme molekuler
yang relevan sebagian besar tidak diketahui.
Studi terbaru [23, 24] telah menunjukkan refluks terkait dengan transisi epitelial-
mesenkimal (EMT). Namun, kontribusi LPR untuk karsinogenesis karsinoma laring
melalui EMT belum digambarkan. Mempertimbangkan bahwa LPR termasuk cairan yang
mengandung pepsin, kami baru-baru ini mengamati bahwa ekspresi pepsin dalam
jaringan laring meningkat pada pasien dengan karsinoma laring [25]. Dalam penelitian
ini, kami berusaha untuk menentukan apakah pepsin menginduksi karsinoma laring
melalui EMT dan apakah hal tersebut memfasilitasi perkembangan kanker laring yang
ganas.
Penelitian ini dilakukan dilakukan sesuai dengan pedoman etika kelembagaan dan
telah disetujui oleh Komite Etika Rumah Sakit Nanfang. Lembar persetujuan tertulis
diperoleh setiap pasien. Spesimen dari 87 pasien dengan karsinoma laring (dua wanita
dan 85 pria, berusia 40 hingga 86 tahun) dikumpulkan dari bank jaringan karsinoma
laring di Rumah Sakit Nanfang. Spesimen jaringan secara rutin dibekukan dalam nitrogen
cair, difiksasi dalam 4% paraformaldehyde, tertanam dalam paraffin, dan dipotong sesuai
prosedur rutin.
The American Type Culture Collection (ATCC) sel karsinoma laring manusia
bentuk Tu212 dibeli dari Guangzhou Juyan Biological Technology (Guangzhou, Cina)
dan Hep-2 dibeli dari Shanghai Aolu Biological Technology (Shanghai, Cina). Sel-sel
dikultur di Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 medium (Gibco, AS)
dilengkapi dengan 10% serum janin sapi (FBS; Gibco) dan 1% penisilin/streptomisin.
Sel-sel dipertahankan pada suhu 37°C dalam dilembabkan 5% CO2 atmosfer. Porcine
pepsin (Sigma-Aldrich, St Louis, MO, USA) digunakan untuk paparan pepsin. Inhibitor
pepsin pepstatin A dan inhibitor interleukin-8 (IL-8) SB225002 disintesis oleh
Selleckchem (Shanghai, China).
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan di cawan 96-well (4 × 104/ well) dan dipaparkan
dengan konsentrasi pepsin yang berbeda (0 mg / ml, 0,1 mg / ml, atau 1 mg / ml) pada pH
7 selama 2 jam. Konsentrasi kerja pepsin (0,1 mg / ml dan 1 mg / ml) telah digunakan
sebelumnya [21, 22, 26-28]. Setelah terpapar pepsin, sel dikultur dalam medium RPMI-
1640 komplit selama 24 jam dan proliferasi sel terdeteksi menggunakan EdU kit
(RiboBio, Guangzhou, China) sesuai dengan instruksi pabriknya. Gambar dianalisis
menggunakan mikroskop digital dan sel dihitung menggunakan perangkat lunak Image J.
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan dalam cawan 96-well dan dipaparkan dengan pepsin
0 mg / ml , 0,1 mg / ml, atau 1 mg / ml pada pH 7 setiap dua kali seminggu selama 2 jam
dalam 18 hari. Sel dikultur dalam medium RPMI-1640 komplit ketika tidak diberikan
pepsin. Koloni yang mengandung >50 sel, difiksasi dengan paraformaldehyde 4% dan
diwarnai dengan kristal violet 0,5%.
Sel-sel hep-2 dan Tu212 diinokulasi dalam cawan 6-cm. Biakan dibagi menjadi tiga
kelompok dan diberikan perlakuan dengan media biakan yang mengandung konsentrasi
pepsin yang berbeda seperti yang dijelaskan di atas. Distribusi siklus sel dianalisis
menggunakan pewarnaan propidium iodide (Keygentec, Nanjing, China) dan flow
cytometry (Becton-Dickinson, San Jose, CA, USA).
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 didiamkan di dalam medium bebas serum 100 μl kemudian
disebarkan ke dalam kamar atas pada tiap insert (insert 24-well; ukuran pori, 8 μm;
Corning, Corning, NY, USA) dan medium 600 μl yang mengandung 10% serum janin
sapi (FBS) ditambahkan ke kamar bawah. Setelah 12 jam, medium di kamar bawah
diganti dengan 10% FBS dan konsentrasi pepsin yang berbeda lalu diinkubasi selama 2
jam. Setelah 24 jam, sel-sel di bawah membran dasar diwarnai dengan kristal violet. Sel-
sel yang bermigrasi dalam lima kamar yang dipilih secara acak pada perbesaran 200×
digambarkan menggunakan mikroskop digital dan dihitung.
Gambar 1. Kemampuan proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 yang diperlakukan dengan
konsentrasi berbeda.dari pepsin. a. Efek dari konsentrasi pepsin yang berbeda-beda pada
proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 diukur menggunakan uji Edu (perbesaran, × 200). b.
Gambaran uji pembentukan koloni sel Hep-2 dan Tu212 pada konsentrasi pepsin yang berbeda.
c. Gambaran histogram dari tes siklus sel menunjukkan persentase sel Hep-2 dan Tu212 dalam
fase S dari konsentrasi pepsin yang berbeda. d. Sifat migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang
terpapar dengan konsentrasi pepsin yang berbeda dianalisis menggunakan tes migrasi transwell
(perbesaran, × 200). *P <0,05 dibandingkan dengan kontrol.
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 disebarkan ke dalam cawan 96-well dan dipaparkan konsentrasi
pepsin yang berbeda pada pH 7 selama 2 jam. Konsentrasi sitokin IL-8, IL-6, IL-10, IL-
1β, IL-12p70, dan tumor necrosis factor (TNF) dalam serum diukur menggunakan
perangkat lunak Becton-Dickinson CBA sesuai protokol standar. Data dari sampel
standar dan eksperimen dianalisis menggunakan LSR Fortessa flow cytometer (Becton-
Dickinson) dan perangkat lunak FCAP Array.
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi dalam cawan 6-cm dan dipaparkan dengan berbagai
konsentrasi pepsin dalam medium kultur. Sel-sel terus menerus distimulasi setiap 2 jam
tiap hari selama 5 hari. Total RNA diekstraksi dari sel menggunakan RNAiso Plus
(Takara, Shiga, Jepang) dan secara terbalik ditranskripsi menjadi DNA komplementer
(cDNA) menggunakan kit sintesis cDNA All-in-One first-strand (GeneCopoeia Inc.,
USA). Metode SYBR green (GeneCopoeia Inc) digunakan untuk amplifikasi PCR.
Kuantifikasi relatif menggunakan metode -2-ΔΔCt digunakan untuk menentukan tingkat
ekspresi mRNA dari penanda epitel EMT E-cadherin dan penanda mesenchymal vimentin
dan β-catenin. Gen pembantu β-aktin digunakan sebagai kontrol internal. Primers
termasuk GAPDH forward (5'-AAGAAGGTGGTGAAGCAGGC-3') dan reverse (5'-
TCCACCACCCAGTTGCTGTA-3'), E-cadherin forward (5'-
CCCGGGACAACGTTTATTAC-3') dan reverse (5'-GCTGGCTCAAGTCAAAGTCC-
3'), vimentin forward (5'-TGCTTCAGAGAGAGGAAG CCGAA-3') dan reverse (5'-
ACGTGCCAGAGACGC ATTGTCA-3'), dan β-catenin forward (5'-
GACCAGCTCTCTCTTCAGAACAGA-3′) dan reverse (5′-GTT
CTCCCTGGGCACCAATA-3′).
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi ke dalam cawan 6-cm dan dipaparkan dengan
konsentrasi pepsin yang berbeda dalam medium kultur. Sel distimulasi terus menerus
selama 2 jam setiap hari selama 5 hari. Total protein diekstraksi dari sel dan sampel
dipisahkan menggunakan 10% natrium dodesil sulfatpoliakrilamida gel elektroforesis
(SDS-PAGE) dan kemudian secara elektroforesis ditransfer ke membran polyvinylidene
difluoride (PVDF) (Millipore). Membran diinkubasi semalaman dengan antibodi
monoklonal kelinci terhadap E-cadherin manusia (1:1000; Cell technology signaling,
USA), vimentin (1:100; Cell technology signaling), β-catenin (1:100; Cell technology
signaling), snail (Cell Signaling Technology), dan faktor transkripsi slug (Cell Signaling
Immunofluorescence Assay
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 diinokulasi di cawan 6-cm dan dipaparkan dengan konsentrasi
pepsin yang berbeda dalam medium kultur. Sel-sel terus menerus distimulasi selama 2
jam setiap hari selama 5 hari, difiksasi dengan paraformaldehyde 4% selama 20 menit,
permeabilisasi dengan Triton X-100 0,2% selama 10 menit, dicetak selama 1 jam dengan
serum kambing, dan diinkubasi pada suhu 4°C semalaman dengan antibodi primer
terhadap E-cadherin dan vimentin. Inti sel di cawan confocal yang counterstained
dengan 4',6-diamidino- 2-phenylindole (DAPI) dan digambarkan menggunakan
mikroskop terbalik.
Imunohistokimia
Spesimen tumor yang menempel pada paraffin dari pasien dengan karsinoma laring
dipotong (4 μm) dan diinkubasi dengan antibodi primer terhadap pepsin, E-cadherin,
vimentin, β-catenin, dan IL-8 (Cell Abcam, USA). Pewarnaan diulang setidaknya dua
kali dalam bagian berurutan dari blok jaringan yang sama dan bagian terwarnai ditinjau
ulang dan diklasifikasikan oleh dua patolog. Proporsi sel positif per spesimen dievaluasi
secara kuantitatif dan diberi skor sebagai berikut [29]: ≤ 1% sel yang terwarnai, 0; 2–
25%, 1; 26–50%, 2; 51–75%, 3; dan> 75%, 4. Intensitas pewarnaan dinilai sebagai
berikut: tidak ada pewarnaan, 0; lemah, 1; sedang, 2; dan kuat, 3. Skor total (0-12)
dihitung dengan mengalikan skor sel yang terwarnai dengan skor intensitas pewarnaan,
dan dinilai sebagai negatif (-; skor: 0-1), lemah (+; 2– 4), sedang (++; 5-8), dan kuat
(+++; 9-12).
Gambar 2. Ekspresi dari IL-8 setelah paparan pepsin. a. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi
dari sel-sel Hep-2 dan Tu212 yang terpapar konsentrasi pepsin yang berbeda-beda diukur
dengan CBA assay. Produksi dari IL-8 dan IL-6 oleh sel-sel Hep-2 dan Tu212 pada tiap
konsentrasi pepsin yang berbeda. b. Perubahan dari ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep-
2 dan Tu212 yang terpapar pepsin dengan/tanpa pepstatin diukur dengan CBA assays. Produksi
dari IL-8 dan IL-6 dari sel-sel Hep-2 dan Tu212 pada tiap konsentrasi pepsin. c. Gambaran
photomicrographs dari analisis imunohistokimia pepsin dan IL-8 pada spesimen jaringan dari
tiga pasien dengan karsinoma laring (perbesaran, × 200). *P <0,05 dibandingkan dengan
kontrol.
Perangkat lunak SPSS 19,0 digunakan untuk analisis statistik. Analisis varian dilakukan
untuk membandingkan data dari tes EdU, percobaan pembentukan klon, percobaan siklus
sel, pengujian migrasi sel, pengujian CBA, dan analisis qPCR. Tes goresan luka
dianalisis dengan analisis varian faktorial desain. Tingkat ekspresi pepsin, IL-8, E-
cadherin, vimentin, dan β-catenin dalam spesimen karsinoma laring yang ditentukan oleh
imunohistokimia dibandingkan menggunakan analisis korelasi Spearman. Nilai P<0,05
dianggap signifikan secara statistik.
III. HASIL
Tes EdU menunjukkan bahwa proliferasi sel meningkat 1,55 dan 1,92 kali lipat,
dan 1,28 kali dan 1,49 kali lipat ketika sel Hep-2 dan Tu212 ditambahkan dengan 0,1
mg/ml dan 1 mg/ml pepsin, masing-masing, dibandingkan dengan sel yang tidak
ditambahkan dengan pepsin, (P= 0,025 dan P= 0,043; Gambar 1a). Hasil yang sama
menunjukkan bahwa 0,1 mg/ml dan 1 mg/ml pepsin meningkatkan kemampuan
pembentukan koloni sebesar 2,3 dan 4,3 kali lipat, dan masing-masing sebesar 2,3 dan
2,9 kali lipat, dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan pepsin (P= 0,006 dan
P= 0,003; Gbr. 1b). Selanjutnya, distribusi siklus sel menunjukkan bahwa persentase sel
dalam fase S meningkat bersamaan dengan peningkatan konsentrasi pepsin (P= 0,002
dan P= 0,003; Gbr. 1c).
Pepsin, morfologi sel karsinoma sel skuamosa laring, dan induksi EMT
Perubahan morfologis yang dramatis diamati pada sel Hep-2 dan Tu212
setelah stimulasi pepsin Cobblestone appearance dari epitel skuamosa digantikan
dengan morfologi fibroblastik spindle-like. Setelah stimulasi dengan 0,1 mg/ml
pepsin selama 5 hari, sel-sel menunjukkan pertumbuhan fusiform dan morfologi
berbentuk spindle yang jelas setelah stimulasi dengan 1 mg/ml pepsin (Gbr. 3a).
Gambar. 3 Ekspresi marker epitelial dan mesenkimal pada sel Hep-2 dan Tu212 yang
mendapat perlakuan dengan pepsin. a Morfologi sel Hep-2 dan Tu212 cells yang dipaparkan
ke konsentrasi pepsin berbeda menggunakan mikroskop fase kontras. b Ekspresi kadar E-
cadherin, vimentin, and β-catenin pada sel Hep-2 dan Tu212 yang dipaparkan dengan pepsin
dianalisis menggunakan real-time PCR. c Efek konsentrasi berbeda pepsin terhadap ekspresi
E-cadherin dan vimentin pada sel Hep-2 dan Tu212 diengan pewarnaan imuno dan dianalisis
menggunakan miskroskop koloni (perbesaran, ×200). d Ekspresi E-cadherin, vimentin, β-
catenin, snail, dan slug pada sel Hep-2 dan Tu212 yang mendapat perlakuan dengan pepsin
dianalisis menggunakan western blott. e Ekspresi E-cadherin, vimentin, β-catenin, snail, dan
slug pada sel Hep-2 dan Tu212 yang mendapat perlakuan dengan pepsin dengan atau tanpa
pepstatin dianalisis menggunakan western blott. f Ilustrasi fotomikrografi representatif
analisis imunohistokimia pepsin, E-cadherin, vimentin, dan β-catenin pada spsimen jaringan
dari dua pasien dengan carcinoma laryngeal (perbesaran, ×400). *P < 0.05 dibandingkan
dengan kontrol.
Selanjutnya, dinilai efek IL-8 pada kapasitas proliferasi sel Hep-2 dan Tu212
menggunakan uji EdU dan percobaan siklus sel. Pemblokiran reseptor IL-8 pada sel Hep-
2 dan Tu212 yang diobati dengan pepsin secara signifikan menghambat kapasitas
proliferasi sel sebesar 66,14% dan 82,35% (P = 0,001 dan P = 0,017), dan mengurangi
persentase sel dalam fase S sebesar 86,64% dan 92,94% (P = 0,025 dan P = 0,000)
dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan inhibitor CXCR2 (Gbr. 4b, c). Tes
migrasi Transwell mengungkapkan bahwa inhibisi reseptor IL-8 CXCR2 mengurangi
kapasitas migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang dirawat pepsin sebesar 72,06% dan 75,38%
(P = 0,018 dan P = 0,002) dibandingkan dengan sel yang tidak diobati dengan inhibitor
CXCR2 (Gbr. 4d).
Fig. 4 Sel Hep-2 dan Tu212 in vitro dipaparkan dengan pepsin setelah inhibisi reseptor IL8.
Analisis western blot ekspresi E-cadherin, vimentin, β-catenin, snail, dan slug pada sel Hep-2 dan
Tu212 yang dipaparkan dengan pepsin dengan atau tanpa terapi SB225002 untuk menghambat
reseptor IL-8 CXCR2. b Efek pepsin pada proliferasi sel Hep-2 dan Tu212 dengan atau tanpa
terapi SB225002 untuk menghambat reseptor IL-8 CXCR2. Proliferasi sel diukur menggunakan
tes Edu (perbesaran, ×100). c Histogram representatif sikus sel menunjukkan presentasi sel yang
diperlakukan dengan pepsin sel Hep-2 dan Tu212 pada fase S dengan atau tanpa terapi
SB225002 untuk menghambat reseptor IL-8 CXCR2. d Sifat migrasi sel Hep-2 dan Tu212 yang
mendapat perlakuan pepsin dengan atau tanpa inhibisi reseptor IL-8 CXCR2 dengan terapi
SB225002 dianalisis menggunakan transwell migration assays, dengan jumlah migrasi sel Hep-2
dan Tu212 (perbesaran, ×200). *P < 0.05 dibandingkan terhadap kontrol.
Gambar. 5 Pepsin menginduksi EMT pada karsinoma laryngeal, dan kemampuan potensial pepsin dalam menginduksi
proliferasi karsinoma laringeal dan metastasis yang berhubungan dengan sekresi IL-8
Sel-sel Hep-2 dan Tu212 berubah dari bentuk poligon yang khas untuk sel
spindle panjang fibroblast-like di bawah stimulasi pepsin, yang menyerupai EMT.
Dengan demikian, kami berhipotesis bahwa stimulasi pepsin dapat menginduksi EMT sel
tumor dan lebih lanjut mempromosikan metastasis tumor.
Untuk menguji hipotesis kami bahwa refluks pepsin ke dalam laringofaring dapat
menginduksi EMT pada karsinoma laring, kami mengevaluasi ekspresi penanda EMT
pada sel Hep-2 dan Tu212 yang dirangsang pepsin. Hasil kami menunjukkan bahwa
paparan pepsin mengurangi ekspresi penanda epitel E-cadherin dan meningkatkan
ekspresi penanda mesenchymal vimentin dan β-catenin, yang mirip dengan hasil yang
diamati dengan imunohistokimia dari jaringan kanker laring. Sementara itu, ekspresi
faktor transkripsi EMT snail dan slug berkorelasi dengan konsentrasi pepsin. Kami
berspekulasi bahwa pepsin dapat mengubah ekspresi siput dan siput melalui jalur
pensinyalan, menghambat ekspresi E-cadherin, menghambat adhesi sel epitel, dan
melemahkan kemampuan sel untuk mempertahankan bentuknya [48]. Kegagalan ekspresi
E-cadherin dapat mengakibatkan pelepasan β-catenin dari membran sel dan terjadi
akumulasi di sitoplasma, sehingga terdapat hubungan kerusakan sel epitel mukosa laring
dengan peningkatan permeabilitas epitel [49, 50]. Peningkatan ekspresi protein vimentin
meningkatkan fleksibilitas seluler, mobilitas, dan kemampuan antiimun [51], yang
menginduksi EMT pada karsinoma laring.
IL-8 adalah sitokin multifungsi yang berpartisipasi dalam peradangan akut dan
sebagai faktor pensinyalan ekstraseluler dalam lingkungan mikro tumor. Fernando et al.
[57] menunjukkan bahwa IL-8 yang disekresikan oleh sel karsinoma sel skuamosa kepala
dan leher manusia (HNSCC) yang sedang menjalani EMT mungkin memainkan peran
penting dalam mempromosikan perkembangan tumor HNSCC. Untuk mengklarifikasi
apakah IL-8 memiliki hubungan sebab akibat dengan pepsin dan EMT dalam sel Hep-2
dan Tu212, kami menekan CXCR2 menggunakan SB225002 [30] untuk menghambat
pengikatan IL-8 ke CXCR2 selama pengobatan pepsin. Sel-sel kanker mengekspresikan
reseptor CXC CXCR 1 dan 2, dan IL-8, ligan untuk reseptor ini, merangsang migrasi dan
proliferasi sel-sel tumor ini [58]. Kami menekan CXCR2 selama pengobatan pepsin dan
mengamati bahwa promosi proliferasi dan migrasi sel yang dimediasi pepsin terhambat.
Penghambatan ekspresi CXCR2 selama pengobatan pepsin sebagian memulihkan
downregulasi penanda epitel dan upregulasi penanda mesenkimal dan faktor transkripsi
EMT dalam sel Hep-2 dan Tu212. Namun, penekanan CXCR2 tidak sepenuhnya
menghambat fenotipe yang disebabkan oleh pepsin, yang menunjukkan baik
penghambatan IL8 yang tidak memadai atau faktor-faktor inflamasi lainnya untuk
memainkan peran di samping IL-8. Refluks menyebabkan sel epitel mengeluarkan
kemokin, termasuk IL-8, yang menyebabkan kerusakan mukosa melalui rekrutmen sel
inflamasi [59]. Sel-sel inflamasi dan sitokin yang ditemukan pada tumor lebih cenderung
berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan tumor, dan penghapusan atau
penghambatan sitokin inflamasi menghambat perkembangan kanker eksperimental [36,
58]. Selain itu, sel-sel inflamasi dapat melepaskan bahan kimia, terutama spesies oksigen
reaktif, yang secara aktif bersifat mutagenik untuk sel-sel kanker di sekitarnya,
mempercepat evolusi genetik mereka menuju keadaan keganasan yang meningkat [35].
Studi menunjukkan bahwa pepsin menginduksi sekresi IL-8, yang mempromosikan EMT
kanker laring (Gambar 5). EMT dapat mengurangi kemampuan perlindungan epitel sel
dengan mengubah E-cadherin / β-catenin [48, 49], dengan demikian menghancurkan
penghalang histologis wilayah yang diserang oleh sel-sel tumor, memfasilitasi pemisahan
dan pelepasan sel, dan akhirnya berkontribusi pada migrasi sel dan metastasis [60].
Penghambatan pengikatan IL-8 dengan CXCR2 mengembalikan sebagian efek pepsin
pada sel kanker laring.
Berkas Tambahan
Berkas Tambahan 1: Tabel S1. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep-2 dan
Tu212 yang terpapar pepsin dengan konsentrasi yang berbeda-beda diukur menggunakan CBA
assays. Tabel S2. Perubahan ekspresi sitokin inflamasi dari sel-sel Hep2 dan Tu212 yang
terpapar pepsin dengan atau tanpa pepstatin diukur menggunakan CBA assays.
Singkatan
Kontribusi Penulis
J-JT, LW, and X-PL merancang penelitian ini, menulis artikel, menganalisis data, dan menyetujui
naskah terakhir, dan bertanggung jawab atas segala aspek atas karya ini. Seluruh penulis telah
membaca dan menyetujui hasil naskah akhir.
Detil Penulis
1 Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Nanfang Hospital, Southern Medical
University, 1838 Guangzhou Avenue North, Guangzhou 510515, China. 2 Department of
Otolaryngology, Gaoyao District Traditional Chinese Medicine Hospital of Zhaoqing, No.3 of
FuQian Avenue, Zhaoqing 526100, Guangdong, China.
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan pedoman etik kelembagaan dan disetujui oleh Komite Etik
Nanfang Hospital. Lembar persejutuan diperoleh tiap pasien.
Pembiayaan
Penelitian ini didukung oleh The National Natural Science Foundation of China (No. 81400452).