Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 BLOK 9 (NEOPLASMA) Perdarahan Per-Rectum

NAMA TUTOR : Dyah Ratna Budiani, Dra, M.Sc

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 14 Andini Eka Putri Ardian Pratiaksa Chrystina Yurita P Dien Adiparadana Dyonisa Nasirochmi P I Kadek Rusjaya G0011020 G0011034 G0011060 G0011074 G0011078 G0011110 Iriyanti Maya Sari B G0011116 Maria Mumtaz Putri Cahyaningsih Reza Yunita Sari Vicianita Putri U G0011132 G0011160 G0011168 G0011206

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap penyakit yang berhubungan dengan neoplasma maligna mempunyai ciri khas masing-masing, mulai dari gejala, kecenderungan, epidemiologi, dan lain-lain. Tak jarang, suatu malignancy tidak terlalu menunjukkan abnormalitas walaupun sebenarnya sangat berbahaya. Pada malignancy, setiap detail gejala sampai penatalaksanaan harus benar-benar diperhatikan. Salah satu malignancy yang akan dibahas adalah kanker kolorektal, yang merupakan suatu tumor ganas saluran cerna yang paling sering ditemukan. Berikut skenario yang akan dibahas: Perdarahan Per-Rectum Seorang penderita laki-laki umur 43 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan utama perdaraan per-rectum disertai lender sejak 3 bulan lalu. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan phisik tidak didapatkan kelainan. Hanya merasa berat badannya menurun, selanjutnya dirujuk oleh dokter puskesmas ke bagian bedah RSUD Dr.Moewardi. Dilakukan pemeriksaan rectal toucher: teraba massa pada jam 12, permukaan mukosa kasar berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, sarung tangan berlendir darah positif. Dilakukan biopsi cubit, didapatkan 4 keping kecil jaringan warna putih, konsistensi agak rapuh. Hasil dikirim untuk pemeriksaan histopatologis. Selain itu juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Penyakit apa sajakah yang memungkinkan terjadinya perdarahan per-rectum yang disertai lendir? 2. Bagaimana berat badan pasien bisa menurun? 3. Apakah kaitan antara umur dan jenis kelamin dengan keluhan-keluhan yang diderita pasien? 4. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan rectal toucher dan biopsi cubit? 5. Bagaimana bisa terjadi perdarahan per-rectum yang disertai lendir? 6. Apa diagnosis dan bagaimana patofisiologinya? 7. Bagaimana patogenesis molekuler dari penyakit ini? 8. Pemeriksaan penunjang apa sajakah yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit?

9. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit ini? 10. Apa saja faktor resiko dari penyakit ini dan bagaimana pencegahannya?

1.3 TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui penyakit pada skenario, epidemiologi, serta patofisiologi dan patogenesisnya. 2. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini. 3. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada penyakit ini. 4. Untuk mengetahui faktor resiko dan pencegahan penyakit ini.

1.4 MANFAAT PENULISAN 1. Mahasiswa dapat lebih memahami aspek-aspek klinis dan biologi molekuler neoplasma ganas pada rektal. 2. Mahasiswa dapat lebih memahami perbedaan penyakit-penyakit non-neoplasma dan neoplasma jinak ataupun ganas yang sering memberikan gejala klinis yang hampir sama. 3. Mahasiswa dapat lebih memahami cara mendiagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, faktor resiko, dan pencegahan penyakit.

1.5 HIPOTESIS Dari skenario diatas, didapatkan gejala-gejala dan faktor-faktor risiko yang cenderung mengarah pada karsinoma kolorektal. Namun, hal ini perlu dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

BAB II DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Neoplasma dapat terjadi di sel, jaringan, ataupun organ. Salah satunya adalah kanker kolorektal atau karsinoma kolorektal. Enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang akan menentukan fenotipe keganasan sel kanker (proses malignansi) : 1. Dapat menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan Onkogen adalah gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker, gen ini hasil mutasi dari gen protoonkogen. Sel kanker memutasi mulai dari pembentukan faktor pertumbuhan sendiri, jenjang transduksi sinyal sampai pengendalian siklus sel. Faktor Pertumbuhan Sel kanker mampu menyintesis faktor pertumbuhan yang sama kepada mana sel tersebut responsif. Misalnya yang terjadi pada PDGF (platelet-derived growth factor) dan TGF- (transforming growth factor ). Reseptor Faktor Pertumbuhan Beberapa onkogen yang mengkode reseptor faktor pertumbuhan. Yang sering ditemukan adalah ekspresi berlebihan reseptor faktor pertumbuhan. Ekspresi berlebihan reseptor faktor pertumbuhan juga menyebabkan reaksi berlebihan dalam kadar faktor pertumbuhan normal. Protein Transduksi Sinyal Memutasi gen yang mengkode komponen di jalur penghantar sinyal. Dua anggota penting dalam kategori ini adalah RAS dan ABL. Protein RAS mutan mengalami aktivasi terus menerus sehingga tidak mampu menghidrolisis GTP sehingga sel terus menerus dapat rangsangan dan proliferasi berlebihan. Faktor Transkripsi Nukleus Semua gen-gen hasil mutasi tersebut selanjutkan masuk ke nukleus dan ditranskripsi. Protein MYC berikatan dengan DNA, menyebabkan aktivasi transkripsional beberapa gen terkait pertumbuhan. Dan ketika terjadi mutasi pada DNA pengkode protein MYC maka akan terjadi proliferasi yang berlebihan juga.

Siklin dan Kinase Dependen-Siklin Dapat dicontohkan dengan gen siklin, berfungsi mengaktifkan gen CDK (berfungsi mendorong sel masuk ke siklus sel). Jika terjadi mutasi gen siklin juga memicu terjadinya proliferasi sel yang berlebihan.

2. Insensitivitas terhadap penghambat pertumbuhan Gen RB merupakan suatu contoh yang baik pada tahap ini. RB berfungsi sebagi rem untuk menghambat melajunya sel dari fase G1 ke fase S pada siklus sel. Protein RB dalam bentuk aktif akan terhipofosforilasi, inaktif dalam bentuk hiperposforilasi. Ketika RB teraktifasi proses transkripsi akan terhambat, pada gen mutan proses ini tidak berjalan, sehingga proses transkripsi terus berlanjut. 3. Menghindari apoptosis Mutasi juga terjadi pada gen yang mendorong dan menghambat apoptosis. Misalnya jika terjadi ekspresi berlebihan protein BCL2 dapat melindungi sel tumor dari apoptosis. 4. Potensi replikasi tanpa batas Sel tumor dapat menciptakan cara untuk menghindari dari proses penuaan; dengan cara mengaktifkan enzim telomerase yang dapat mempertahankan panjang telomer dan menghambat penuaan sel. 5. Angiogenesis berkelanjutan Pada awal pertumbuhannya, sebagian besar sel tumor manusia tidak memicu angiogenesis (mampu membentuk vaskularisasi sendiri). Angiogensis merupakan aspek biologik yang sangat penting pada keganasan. 6. Kemampuan menginvasi dan beranaksebar (metastasis) Penyebaran tumor adalah suatu proses rumit yang melibatkan serangkaian tahapan, dapat dijelaskan secara ringkas pada gambar di bawah ini :

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kolon-Rektum Anatomi Kolon Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sekitar 6,5 cm, makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, sigmoid dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, dan desenden. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu sigmoid bersagtu dengan rektum. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut rektum, yang membentang dari sigmoid hingga anus. Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum,

kolon asenden, dan dua pertiga proksimal koln transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan aorta abdominalis. Aliran balik vena dari koln dan rektum superior adalah melalui vena mesentrika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Persyarafan usus besar dilakukan oleh sistem syaraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunteer. Serabut parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan syaraf oelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf splangnikus. Serabut syaraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Anatomi Rektal Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa. Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati.

Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, vena iliaka interna dan sistem vena kava. Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.

Fisiologi Kolorektal Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rectum. Dalam keadaan normal kolon menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Isi usus yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak dapat dicerna missal selulosa, komponen empedu yg tidak diserap,dan sisa cairan. Apa yg tersisa untuk dieliminasi disebut feses. Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat, .Kontraksi haustra secara perlahan mengaduk isi kolon maju mundur. Berawal dari dari gerakan ritmisitas otonom sel otot polos kolon (membentuk haustra)-> letak haustra berubah sewaktu waktu yang semula

melemas untuk membentuk kantung secara perlahan berkontraksi sementara bagian yang semula berkontraksi melemas untuk membentuk kantung baru. Hal ini menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif. Sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi gerakan massa di kolon yang terutama disebabkan oleh refleks gastrokolon.

Terpicu reflek reflek untuk memindahkan isi yang sudah ada ke bagian saluran cerna yang lebih distal dan member jalan bagi makanan baru tersebut. Sehingga reflek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rectum yang memicu reflek defekasi. Gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, terjadi peregangan rectum yang kemudian merangsaaang reseptor regang di dinding rectum dan memicu reflek defekasi. Reflek ini disebabkan oleh sfingter anus internus untuk melemas dan rectum serta kolon sigmoid berkontraksi kuat. Apabila sfingter anus eksternus juga melemas terjadi defekasi. 2.2 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini terjadi di kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis lainnya yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%). Insiden karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi demikian juga angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Ca kolorektal banyak terjadi pada laki-laki, dengan prevalensi pria dengan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada usia 40-60 tahun. Resiko Ca Kolorektal meningkat setelah usia 35 tahun dan memuncak pada usia 65 tahun. Di Negara barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut. Pemeriksaan cocok dubur merupakan penentu karsinoma rectum. 2.3 Patofisiologi Karsinoma Kolorektal Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel tersebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut menyebabkan terjadi mutasi yang mengaktivasi K-Ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Pada skenario terdapat keluhan berupa terjadinya perdarahan per rektal. Perdarahan rektal (hematochezia) adalah keluarnya darah lewat anus, biasanya bercampur dengan

feses dan atau bekuan darah. Tingkat keparahan perdarahan rektal tergantung banyaknya darah yang keluar. Biasanya perdarahan bisa terjadi sedang dan dapat berhenti dengan sendirinya. Pasien dengan perdarahan sedang mengeluarkan darah berwarna merah gelap dalam jumlah yang banyak biasanya dapat bercampur dengan feses dan atau bekuan darah. Pasien dengan perdarahan parah bisa melakukan satu atau beberapa kali defekasi dengan jumlah darah yang sangat banyak. Perdarahan sedang atau parah aan sangat cepat mengurangi cadangan darah dalam tubuh, sehingga pasien mengalami rasa lemah, mengantuk, pucat, hampir pingsan, dan tanda-tanda hipotensi. Apabila perdarahan hebat bisa terjadi syok karena kehilangan darah. Perdarahan per rektal keluar dari kolon, rektum, atau anus. Kolon adalah bagian dari traktus gastrointestinal yang dilewati oleh makanan dari usus halus. Kolon bertanggungjawab terhadap absrobsi air dari makanan yang telah didigesti dan menyimpannya hingga dikeluarkan oleh tubuh dalam bentuk feses. Warna darah perdarahan per rektal biasanya tergantung dari lokasi perdarahannya. Semakin dekat dengan anus maka semakin terang warna merah pada darah tersebut. Perdarahan pada anus, rektum, dan sigmoid kolon berwarna merah terang, sedangkan perdarahan pada kolon transversal dan kolon kanan berwarna merah gelap. Pada beberapa pasien, darah dari kolon bagian kanan bisa hitam, dan berbau tidak enak. Feses yang hitam dan bau disebut melena. Melena terjadi ketika darah bercampur dengan asam lambung baik pada usus halus maupun, usus besar untuk waktu yang cukup lama. Sehingga darah akan merombak darah menjadi zat kimia yang disebut hematin yang berwarna hitam. Berat badan adalah pengurangan massa tubuh ditandai dengan hilangnya jaringan adiposa (lemak tubuh) dan otot rangka. Penurunan berat badan adalah gejala yang paling umum dari kanker dan sering efek samping dari pengobatan kanker. Ada banyak alasan untuk penurunan berat badan pada pasien kanker, termasuk nafsu makan kerugian karena pengaruh pengobatan kanker (kemoterapi, terapi radiasi, atau terapi biologis) atau faktor psikologis seperti depresi. Pasien dapat menderita anoreksia dan kehilangan keinginan untuk makan, dan dengan demikian mengkonsumsi lebih sedikit energi. Penurunan berat badan mungkin juga menjadi konsekuensi dari kebutuhan yang meningkat untuk kalori (energi) akibat infeksi, demam , atau efek dari tumor atau perawatan kanker. Jika infeksi atau demam hadir, perlu untuk mempertimbangkan bahwa

ada peningkatan kalori membutuhkan sekitar 10% sampai 13% per derajat di atas 98,6 F (37 C). Oleh karena itu, asupan energi harus ditingkatkan untuk kenaikan suhu tubuh ini. Dari skenario yang disebutkan bahwa pasien mengalami penurunan berat badan meskipun dari hasil pemeriksaan fisik dan tanda vital semuanya normal, ada indikasi bahwa pada pasien terjadi keganasan di dalam saluran pencernaannya, sel-sel tumor menyebabkan metabolisme tubuh menjadi cepat sehingga kalori menjadi cepat terbakar, selain itu sifat tumor adalah angiogenesis, hal ini juga menyebabkan adanya peredaran darah baru di sel sel tumor tersebut, dan nutrisi yang dibawa oleh pembuluh darah tubuh banyak terserap oleh pembuluh darah dari tumor tersebut. Massa arah jam 12 merupakan tumor pada rectum. Permukaan kasar berbenjol-benjol merupakan salah satu ciri khas pada tumor dengan pertumbuhan abnormal mukosa. Konsistensi rapuh menunjukkan pre-keganasan karena berarti banyak sel yang mengalami nekrosis dan kematian. Tidak nyeri tekan karena tidak ada neurovaskularisasi pada jaringan di sekitar tumor. Sarung tangan lendir darah positif menunjukkan tanda-tanda keganasa. Lendir bisa disebabkan karena epitel kelenjar usus yang berproliferasi berlebihan pada akhirnya juga akan menyebakan sekresi musin yang berlebihan. 2.4 Patogenesis Molekuler Karsinoma Kolorektal Epitel normal Mutasi lokus APC di kromosom 5q Epitel hiperproliferatif Hilangnya metilasi DNA Adenoma dini Mutasi gen RAS di kromosom 12p Adenoma intermediet Hilangnya gen penekan tumor di kromosom 18q Adenoma lanjut Hilangnya p53 di kromosom 17p Karsinoma

PATOGENESIS MOLEKULER CA COLORECTAL

LOH (Lost of Heterozigocity) Gen yang berperan : APC DCC P53 RAS Jalur LOH

RER (Replication Error) Gen yang berperan: MSH2 MLH1 PMS1 PMS2

Mutasi pada gen penekan tumor yang disebut APC (Adenomatous Poliposis Coli) APC secara normal berfungsi untuk meningkatkan penguraian -katenin. Mutasi pada APC mengakibatkan hilangnya fungsi dari APC sehingga -katenin yang seharusnya terdegradasi menjadi tidak terdegradasi, lalu menumpuk. Tumpukan dari -katenin berpindah ke nukleus dan menyebabkan transkripsi beberapa gen, seperti MYC dan siklin D1. MYC dan Siklin D1 mendorong proliferasi sel, sehingga pada mutasi APC, terjadi proliferasi yang berlebihan dari sel. Mutasi pada RAS Ras berfungsi untuk menghantarkan rangsang yang diterima Reseptor Growth Factor pada sel ke nukleus. Rangsang ini akan memacu pertumbuhan dan proliferasi sel. Secara normal, RAS yang aktif terikat oleh guanosin trifosfat dan RAS inaktif terikat guanosin difosfat. Setelah menghantarkan suatu sinyal, RAS akan mengalami mekanisme inaktivasi dengan defosforilasi yang menyebabkan guanosin yang terikat pada RAS kehilangan satu gugus fosfat. Pada mutasi gen K-RAS, mekanisme inaktivasi ini tidak terjadi, sehingga seolah-olah RAS terperangkap dalam keadaan aktif. Hal ini membuat rangsang dari Growth factor diteruskan secara terus-menerus ke nukleus yang akhirnya memacu proliferasi sel yang berlebihan. Selain itu, ternyata RAS juga berfungsi untuk mencegah apoptosis pada saat aktif, karena RAS mampu menghambat kinerja P53. Sehingga, pada mutasi RAS, apoptosis tidak bisa dijalankan. Hal ini akan memperburuk keadaan. Delesi 18q21 Sedikitnya, terdapat 3 jenis gen penekan kanker pada 18q21, mereka ialah DCC, DPC4, dan SMAD2. Pada karsinoma kolon DCC disebut-sebut sebagai gen yang mengalami delesi. Tetapi belum jelas gen mana yang relevan dengan proses

karsinogenesis kolon. DCC berfungsi untuk mengkode suatu molekul perekat sel yang disebut netrin-1, yang berperan dalam fungsi axon. Sedangkan, DPC4 dan SMAD2 berfungsi mengkode TGF- . TGF- sendiri sebenarnya berfungsi untuk menghambat siklus gen. Sehingga, pada delesi 18q21, maka TGF- tidak terkode, sehingga tidak terjadi mekanisme penekanan pertumbuhan sel-sel kanker. Mutasi P53 Salah satu fungsi dari P53 adalah menginisiasi apoptosis pada sel-sel abnormal yang biasanya ditandai dengan pemendekan telomer pada sel. Secara normal, sel-sel dengan telomer pendek akan diapoptosis. Tapi pada mutasi P53, sel-sel abnormal tersebut bisa lolos dan tetap mengadakan pembelahan selanjutnya, ditambah dengan pemanjangan telomer dengan enzim telomerase yang dimiliki sel-sel tumor. Hal ini akan membuat sel-sel kanker lebih leluasa berproliferasi.

Jalur RER Jalur kedua ini ditandai dengan lesi genetik DNA mismatch repair genes. Seperti pada skema APC , terjadi akumulasi mutasi gen tetapi gen yang terlibat berbeda dan tahapan mutasi tersebut tidak menimbulkan perubahan morfologik yang nyata. Gannguan perbaikan DNA yang disebabkan oleh inaktivasi gen perbaikan ketidakcocokan DNA merupakan awal yang mendasar dan mungkin mengawali karsinogenesis kanker kolobrektum Mutasi herediter pada lima gen perbaikan ketidakcocokan DNA (MSH2, MSH6, MLH1, PMS1, PMS2) yang menyebabkan timbulnya karsinoma kolon nonpoliposis herediter (HNPCC) Hilangnya gen perbaikan ketidakcocokan DNA menghasilkan keadaan hypermutable, dimana sekuensi DNA yang biasanya stabil (mikrosatelit) menjadi tidak stabil selama proses replikasi DNA (instabilitas mikrosatelit) Tidak akan berbahaya apabila sekuensi mikrosatelit terletak pada regio noncoding. Tetapi sebagian sekuensi mikrosatelit terletak pada promoter gen yang mengkode gen pengendali pertumbuhan sel seperti BAX dan reseptor TGF- tipe II.

Dari kedua jalur tersebut, FAP yang menyebabkan terbentuknya tumor dari defek pada system perbaikan ketidakcocokan DNA belum diidentifikasi. Tumor yang terbentuk sempurna dari jalur RER memeperlihatkan gambaran morfologik khas, termasuk lokasi tumor yag secara umum sering terdapat di kolon proksimal, histology musinosa dan infiltrasi

limfosit. Secara umum, tumor yang terbentuk dari jalur RER memiliki prognosis yang lebih baik daripada tumor yang terbentuk dari jalur APC (Robbin, 2007). 2.5 Faktor Resiko Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker colorectal yaitu: a. Umur : Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis ulseratif atau polyposis familial.20 b. Faktor Genetik: Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker colorectal. Risiko terjadinya kanker colorectal pada keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi umum. Dua sindrom kelainan genetic yang umum dan berhubungan dengan kanker kolorektal adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan HNPCC (Hereditary non-polyposis colorectal cancer). Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker colorectal diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker colorectal. FAP disebabkan karea adanya mutasi pada gen APC yang diturunkan dari orang tua. Sekitar 1% kanker kolorektal disebabkan oleh FAP. Biasanya terdapat pertumbuhan polip dalam jumlah yang banyak (ratusan hingga ribuan) dan akan berkembang menjadi satu atau lebih polip. Sekitar umur 40 tahun, sebagian besar akan tumbuh menjadi kanker, bila operasi pencegahan gagal dilakukan. HNPCC dikenal juga sebagai sindrom Lynch yang kurang lebih menyebabkan kanker kolorektal sekitar 2-3%. HNPCC disebabkan karena perubahan pada gen yang memperbaiki DNA. Jumlah polip yang ada tidak sebanyak FAP yang bisa mencapai ribuan. c. Faktor Lingkungan Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker colorectal. Risiko mendapat kanker colorectal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang

rendah ke wilayah dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis. d. Gaya Hidup 1. Konsumsi Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker colorectal.

Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko timbulnya kanker colorectal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar 35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam tractus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam colon, sehingga volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rectum, sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa colorectal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di colon dan rectum. Di samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat dicegah. 2. Aktivitas Risiko kanker meningkat pada orang yang jarang beraktivitas dan menurun pada orang giat beraktivitas. 3. Obesitas Obesitas dapat meningkatkan risiko pertumbuhan dan kematian akibat kanker colorectal meningkat. Obesitas meningkatkan risiko pada laki-laki dan perempuan, dimana lebih menunjukkan hubungan yang lebih kuat pada laki-laki.

4. Merokok Merokok memang sering terjadi pada kanker paru-paru, namun menyebabkan adanya substansi pemicu kanker tertelan dan menyebabkan kanker sistem pencernaan, seperti kanker colorektal. 5. Alkoholisme Kanker colorectal mempunyai hubungan dengan alkoholisme berat. Hal ini kemungkinan disebabkan karena alkoholisme yang berat cenderung mempunyai asam folat yang relative rendah. e. Polyposis Familial Polyposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden pada populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000 dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosun bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada mukosa colon. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah sekitar 90% pada usia 40 tahun. f. Polip Adenoma Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah polip. g. Adenoma Vilosa Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma colon. Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan

diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker. h. Colitis Ulserosa Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker colorectal yang berhubungan dengan colitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8% pada 50 tahun.Colitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa colon dan beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa colon yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan menghindari penyakit yang sering berulang-ulang. Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi colitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan metastasis.

2.6 Gejala Klinis Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar maupun yang berwarna hitam. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB Feses yang lebih kecil dari biasanya Keluhan tidak nyamaN pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya Mual dan muntah, Rasa letih dan lesu Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus. Staging Karsinoma Kolorektal Tumor (T) 0 Is 1 2 3 : tidak ada : in situ (terbatas di mukosa) : invasi ke submukosa : invasi muskularis propia : invasi subserosa / lemak perikolon nonperitoneum

: invasi struktur di dekatnya

Kelenjar Getah Bening 0 1 2 3 : tidak ada :1-3 kelenjar perikolon positif : lebih dari 4 kelenjar perikolon positif : setiap kelenjar yang positif di sepanjang suatu pembuluh darah bernama

2.7 Diagnosis Banding Amebiasis : infeksi entamoeba histolytica yang bersarang pada mukosa usus dapat menyebabkan perdarahan dan penurunan BB. Kolitis infeksi : infeksi dan peradangan pada usus, bisa karena infeksi shigella atau virus lain. Diverticula disease : tonjolan seperti kantung pada dinding yang lemah, bisa menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadio perdarahan. Kolitis ulseratif : inflamasi dan ulserasi kronis pada usus. Anal fissure : robekan pada mukosa anus. Hemorroid : pelebaran vena plexus venosus hemorroidalis, bisa internal (tonjolan di dalam) atau eksternal (tonjolan di luar). Angiodisplasia : pembuluh darah yang mudah pecah dan rapuh, biasanya pada orang tua Ca kolorektal : tumor ganas yang paling sering pada saluran pencernaan, tepatnya pada kolon dan/atau rektal.

Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab atau sumber perdarahan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan jari; pemeriksaan ini tidak selalu

menemukan adanya kelainan, khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rektum. 2. Pemeriksaan darah dalam tinja. 3. Endoskopi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat karena selain melihat keadaan dalam kolon juga bisa bertindak, misalnya ketika menemukan polip endoskopi ini dapat sekaligus mengambilnya untuk kemudian dilakukan biopsi. 4. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan single contrast (barium saja) ataupun double contrast (barium dan udara). Pada dasarnya ini merupakan x-ray test. Barium yang dimasukkan dan menyebar di dalam kolon saat x-ray dihidupkan. Udara yang dimasukkan akan melebarkannya, dan akan tampak visualisasi dari x-ray. Jika ada area yang dicurigai, perlu dilakukan colonoscopy. DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polips di rectosigmoid-colon. 5. Flexible Sigmoidoscopy Tes ini dilakukan dengan bantuan alat sigmoidscope yang dimasukkan ke dalam rectum dan dapat menvisualisaskan rectum dan kolon bawah. Prosedur ini sekaligus dapat dilakukan biopsi. Hasilnya terbukti mengurangi mortalitasi (60%80%) dan sensitivitas yang hampir sama dengan colonoscopy (60%-70%). Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun. 6. Virtual Colonoscopy Pada dasarnya colonoscope adalah bentuk yang lebih panjang dari sigmoidscope. Dengan prosedur yang hampur sama dengan FS, pemeriksaan ini dapat melihat keseluruhan kolon dan rectum. Pada pemeriksaan ini juga dapat dilakukan biopsy atau menghilangkan abnormalias seperti polip. Tingkat sensitivitas colonoscopy dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip colorectal adalah 95%. 7. CAT Scan Prosedur ini juga menggunakan x-ray yang akan menghasilkan gambaran cross sectional. Bisa digunakan pada orang yang tidak mau atau tidak dapat dilakukan tes invasive. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan

nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan staging dari lesi sebelum tindakan operatif 8. Pemeriksaan kadar CEA (Carcino Embryonic Antigent) darah. 9. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul kembali). 10. Pemeriksaan DNA Tinja.

2.9 Penatalaksanaan Kemoprevensi Obat Antiinflamatori Nonsteroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan penurunan mortalitas kanker colorectal. Beberapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP (Familial Adenomatous Polyposis). Data epidemiologi menunjukkan adanya penurunan risiko kanker dikalangan pemakai OAIN namun bukti yang mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker colorectal sporadik masih lemah. Pembedahan Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan, kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan reseksi abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan pada pasien yang tidak mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut dengan antigen embrionik adalah penanda yang sensitif untuk rekurensi tumor yang tidak terdeteksi. Daya tahan hidup 5 tahun adalah sekitar 50%.Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum, colon ascenden, colon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan colon descenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di hati dapat memberikan hasil 25-35% rata-rata masa bebas tumor (disease free survival rate). Radiasi Radiasi pra bedah hanya diberikan pada karsinoma rectum. Sementara itu, radiasi pasca bedah diberikan jika sel karsinoma telah menembus tunika muscularis

propria, ada metastasis ke kelenjar limfe regional, atau apabila masih ada sisa-sisa sel karsinoma yang tertinggal akan tetapi belum ada metastasis jauh. Kemoterapi Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional (Dukes C), tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor setelah dioperasi kemudian residif kembali.Kemoterapi yang biasa diberikan pada penderita kanker colorectal adalah kemoterapi ajuvan. Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi dibedakan menjadi: 1. Kemoterapi Adjuvant Kemoterapi ini dilakukan setelah operasi atau terapi radiasi. Pada dasarnya ini adalah bagian dari terapi kuratif. Kemoterapi akan menghancurkan sel-sel kanker yang masih berada di dalam tubuh walaupun sudah dilakukan operasi atau terapi radiasi. Dengan kemoterapi ini dapat mengendalikan lesi subklinis, sisa lokal, atau yang lebih sering ditemukan adalah mikometastatis yang mungkin terdapat. Kemoterapi ini telah meningkatkan peluang survival pasca operasi kanker tertentu. Pasien kanker kolon dengan metastatis ke kelenjar limfe regional setelah operasi reseksi memakai regimen fluorourasil dan asam folinat (CF/5-FU) atau regimen FOLFOX dan lainnya. Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker colorectal setelah operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi ajuvan. Pasien kanker colorectal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor (disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada kanker colorectal Dukes B. 2. Kemoterapi Neo-adjuvant Kemoterapi ini dilakukan sebelum operasi atau terapi radiasi. Tujuan utama dalam kemoterapi ini adalah untuk mengurangi ukuran tumor sehingga lebih mudah untuk menghancurkan sel-sel kanker saat operasi ataupun terapi radiasi. Selain mengurangi ukuran tumor, juga dapat memperbaiki pasokan darah. Pada waktu bersamaan dapat diamati respon tumor terhadap kemoterapi dan secara dini melakukan terapi lesi metastatik subklinis yang mungkin terdapat. Penelitian mutakhir menunjukkan kemoterapi neo-adjuvant meningkatkan peluang operatif (misal untuk kanker kepala leher, kanker sel kecil, osteosarkoma),

mengurangi pelaksanaan operasi yang membawa kecacatan kanker tertentu (laring, kandung kemih, kanalis analis), dan memperbaiki kualitas hidup.
Jenis Tumor Formula Kemoterapi Dosis dan penggunaan CF 200 mg/m2 ivd 2jam CF/5-FU (Formula de Gramont, regimen dua mingguan) d1,2 5-FU 400 mg/m iv d1,2 5-FU 600 mg/m civ 22 jam d1,2; diulang tiap 2 minggu Xeloda 2500 mg/m2 d, Xeloda (Kapesitabin) dibagi 2 kali po, d1-14; diulang tiap 3 minggu Oksaliplatin 100 mg/m2 ivd d1 CF 400 mg/m2 ivd d1 Karsinoma Kolorektal FOLFOX6 5-FU 400 mg/m iv d1 5-FU 2,4-3,0 g/m civ 46 jam; diulang tiap 2 minggu
2 2 2 2

Keterangan

Pemberian obat mengikuti urutan tersebut

Pemberian obat mengikuti urutan tersebut

Dalam 24 jam pasca Irinotekan (CPT-11) 180 mg/m2 iv d1, 5-FU 400 FOLFIRI mg/m2 iv d1, 5-FU 2,4-3,0 g/m2 civ 46 jam; diulang tiap 2 minggu pemberian CPT-11, timbul diare, sakit perut, dll, harus diterapi dengan atropine. Bila setelah 24 jam timbul diare harus diterapi dengan imodium

Klasifikasi Dukes 1. Stadium 0 : stadium kanker in situ; pada stadium ini, sel yang abnormal masih di temukan pada garis batas dalam dari kolon (muscularis mukosa). 2. Stadium 1 : stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam dari kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar keluar kolon.

3. Stadium 2 : stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon hingga lapisan ketiga dari lapisan lemak atau kulit tipis yang mengelilingi kolon dan rectum. Namun belum mengenai kelenjar limfe. 4. Stadium 3 : stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi belum menyebar ke bagian lain daripada tubuh. 5. Stadium 4 : stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh seperti hati dan paru-paru.

Pembahasan 5FU (Fluorourasil) Agen kemoterapi 5-FU, yang telah digunakan untuk melawan kanker selama sekitar 40 tahun, bertindak dalam beberapa cara, tetapi terutama sebagai inhibitor sintase timidilat.Mengganggu aksi ini sintesis enzim blok dari pirimidin timidin, yang merupakan nukleosida diperlukan untuk replikasi DNA. Sintase timidilat methylates monofosfat deoxyuridine (Dump) menjadi monofosfat timidin (dTMP). Administrasi 5-FU menyebabkan kelangkaan di dTMP, sehingga sel-sel kanker dengan cepat mengalami kematian sel. Merupakan analog pirimidin yang terserap ke dalam DNA sebelum pembelahan terjadi.

5FU juga mengalami fosforibosilasi oleh orotat fosforibosil transferase, Banyak digunakan sebagia terapi paliatif untuk karsinoma kolorektal diseminata dan karsinoma mammae. Obat ini hanya berguna pada tumor padat(solid). Sebagai obat tunggal, respons untuk kedua kanker tersebut hanya 20% dan 30%. Bila diberikan dalam regimen CMF (siklofosfamid, metotreksat, fluorourasil) atau CAF

(siklofosfamid, adriamisin, fuorourasil), fluorourasil merupakan pilihan kemoterapi adjuvan untuk karsinoma mammae. Fluorourasil juga berguna untuk karsinoma ovarium, prostat, kepala, leher, pankreas, esofagus, hepatoma.

Efek samping terutama mengenai sistem hemopoietik dan saluran cerna. Leukopenia merupakan efek samping primernya, pemulihan terjadi apabila dosis dikurangi. Stomatitis aftosa merupakan petunjuk bahwa obat harus dihentikan secara temporer.

Netralisasi Radikal Bebas DNA manusia dapat beriktan dengan senyawa kimia yang memiliki satu lengan bebas / 1 orbital electron tidak berpasangan misalnya dengan metal dan radikal bebas. Radikal bebas bebas dapat menyebabkan kerusakan DNA yang dapat memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi ganas. Sel membentuk beberapa system enzimatik dan non enzimatik untuk menonaktifkan radikal bebas : Kerusakan DNA spontan akan langsung mengaktifkan enzim superoksida dismutase (SOD) untuk mengkatalis radikal bebas Glutation peroksidase melindungi sel dengan mengkatalis perurusakan radikal bebas. Katalase terdapat dalam peroksisom, langsung mendegradasi hydrogen peroksida Antioksidan endogen ataupun eksogen (Vit E,A,dan C serta -karoten) juga dapat menghambat pembentukan radikal bebas Zat besi dan tembaga yang diionisasi bebas dapat mengkatalis pembentukan spesies oksigen reaktif (Robbin, 2007).

Pencegahan 1. Mengubah pola makan dengan mengonsumsi lebih banyak serat. 2. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi Penderita kolitis ulseratif atau Crohn lebih dari 10 tahun Bila telah 20 tahun atau telah ditemukan displasia maka dianjurkan untuk melakukan kolonoskopi setiap tahun Penderita pasca polopektomi karena adenoma kolon dan rektum Harus ditawarkan kolonoskopi follow up Bila ditemukan polip < 1 cm maka dikolonoskopi setiap 5 tahun Bila ditemukan adenoma > 3 adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm atau adanya displasia berat maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun Individu yang memilki resiko tinggi menderita FAP berdasarkan riwayat keluarga

BAB III PENUTUP KESIMPULAN 1) Perdarahan per rectum bisa terjadi karena adanya penyakit di saluran perncernaan bagian bawah, terutama mulai dari daerah kolon ascenden sampai dengan rectum. Hal ini bisa disebabkan karena adanya trauma, penyakit bakteriologis, maupun keganasan neoplasma. 2) Pada skenario ini, pasien didiagnosis terkena karsinoma kolorektal berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan yang ada. 3) Karsinoma kolorektal terjadi di daerah kolon maupun rektum dimana kedua organ ini merupakan saluran terakhir proses metabolisme zat-zat yang masuk ke tubuh dan sebagai saluran pembuangan zat-zat yang tidak diperlukan tubuh. 4) Banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya perdarahan ini. Penting bagi dokter untuk mengetahuinya guna mengatahui diagnosa banding penyakit yang diderita oleh pasien. 5) Penatalaksanaan pasien dilakukan berdasarkan dengan diagnosa pasti pasien. Untuk menentukan diagnosa pasti terkadang diperlukan berbagai pemeriksaan penunjang agar tidak terjadi kesalahan dalam mendiagnosis.

SARAN Walaupun karsinoma kolorektal belum diketahui penyebabnya secara pasti, sebagai tindakan preventif, seseorang harus menghindari faktor-faktor resiko yang bisa menyebabkan terjadinya karsinoma kolorektal. Harapan untuk tutorial ke depannya mahasiswa lebih mendalami apa yang akan didiskusikan, banyak membaca sehingga tutorial tidak macet karena sudah kehabisan bahan diskusi.

DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society. 2012. Colorectal Cancer Early Detection. http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003170-pdf.pdf (diakses tanggal 17 September 2012) De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi., Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi., Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Desen, Wan. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 848. Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L., 2007. Buku Ajar Patologi, Ed. 7, Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Murray, Robert K; Granner, Daryl K; Rodwell, Victor W. 2009. Biokimia Harper., Edisi 27. Jakarta: EGC. Pierce A, Grace & Neil R Borley. 2007. At a Glance : Ilmu Bedah., Edisi 3. Jakarta : EMS. Price, Sylvia A; Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta : EGC. Siregar, G.A. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Kanker Usus Besar. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sobin LH, Wittekind C. 2002. UICC: TNM classification of malignant tumours. 6th ed. London. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Winawer, SJ., Zauber, AG., Gerdes H., et.al., 1996. Risk of Colorectal Cancer in the Families of Patient With Adenomatous polyps. National Polyp Study Workgroup. N Engl J Med 1996:334;81-7. Youjian, He. 2011. Kemoterapi Tumor Ganas dalam Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Anda mungkin juga menyukai