Anda di halaman 1dari 72

PENGARUH PROTEKTIF PEMBERIAN MADU

PERSONDE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI


GINJAL PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG
DIINDUKSI METANOL

SKRIPSI

Oleh
Derry Herdhimas
NIM 102010101025

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013

PENGARUH PROTEKTIF PEMBERIAN MADU


PERSONDE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI
GINJAL PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG
DIINDUKSI METANOL

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh
Derry Herdhimas
NIM 102010101025

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:


1. Orang Tua saya, Bapak Padiyono dan Ibu Endang Septiyahariningsih yang
senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dan yang telah mendidik, serta
menjadikan saya manusia yang lebih baik;
2. Kakak dan Adikku, Ardhika Hermigo dan Nur Fitria Hapsari yang
memberikan warna dalam kehidupan ini;
3. Guru-guruku tercinta yang telah mendidik dengan penuh kesabaran mulai dari
taman kanak-kanak hingga SMA;
4. Dosen-dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jember;
5. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember

ii

MOTO

Orang yang tidak pernah membuat kesalahan adalah orang yang tidak pernah
mencoba hal baru*)

Belajarlah dari masa lalu, hiduplah untuk masa depan. Yang terpenting adalah
tidak berhenti bertanya*)
Orang cerdas memecahkan masalah, sementara orang jenius mencegah masalah*)

Albert Einstein

iii

PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Derry Herdhimas
NIM : 102010101025
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh
Protektif Pemberian Madu Personde terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal
pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Metanol adalah benar-benar hasil karya
sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan
belum pernah diajukan pada institusi lain manapun serta bukan karya jiplakan.
Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap
ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya
tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi
akademik apabila jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 17 Oktober 2013


Yang menyatakan,

Derry Herdhimas
NIM. 102010101015

iv

SKRIPSI

PENGARUH PROTEKTIF PEMBERIAN MADU


PERSONDE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI
GINJAL PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG
DIINDUKSI METANOL

Oleh

Derry Herdhimas
NIM. 102010101025

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama (DPU)

: dr. Azham Purwandhono, M. Si

Dosen Pemimbing Anggota (DPA)

: dr. Sugiyanta, M. Ked.

PENGESAHAN
Skripsi berjudul Pengaruh Protektif Pemberian Madu Personde terhadap
Gambaran Histopatologi Ginjal pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi
Metanol telah diuji dan disahkan pada:
hari, tanggal

: Kamis, 17 Oktober 2013

tempat

: Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Tim Pengguji
Penguji I

Penguji II

dr. Al Munawir, M. Kes., Ph.D

dr. Muhamad Hasan, M. Kes., Sp.OT.

NIP 196909011999031003

NIP 196904111999031001

Penguji III

Penguji IV

dr. Azham Purwandhono, M. Si.

dr. Sugiyanta, M. Ked.

NIP 198105182006041002

NIP 197902072005011001

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember

dr. Enny Suswati, M. Kes.


NIP 197002141999032001

vi

RINGKASAN

Pengaruh Pemberian Madu Personde terhadap Gambaran Histopatologi


Ginjal pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Metanol; Derry Herdhimas,
102010101025; 2013; 45 halaman; Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Keracunan metanol sering terjadi di negara kita dan dapat menyebabkan


meningkatnya morbiditas dan mortalitas seperti yang pernah tejadi pada
pertengahan tahun 2008, 21 orang tewas di Jambi karena menenggak minuman
keras oplosan, 26 orang dilaporkan tewas di Denpasar tahun 2009. Di Manado, 12
orang tewas. Di Indramayu, 19 remaja juga tewas karena hal serupa. Di
Banjarmasin pada tahun 2011 4 Warga Negara Rusia tewas setelah minum miras
oplosan (Armandhanu, 2011). Hal ini disebabkan oleh sering dipakainya metanol
sebagai pengganti alkohol oleh pecandu-pecandu alkohol, karena harganya relatif
murah. Meskipun bahan ini utamanya hanya menimbulkan gangguan kesadaran
(inebriation), bahan metabolitnya sendiri dapat menimbulkan asidosis metabolik,
kebutaan, dan kematian setelah periode laten selama 6-30 jam (Tjokroprawiro, 2007).

Salah satu organ yang mendapat gangguan adalah ginjal. Ginjal umumnya kurang
dipertimbangkan sebagai target organ utama dalam kasus intoksikasi metanol.
Gagal ginjal akut sebelumnya lebih dipertimbangkan sebagai komplikasi terminal
keracunan metanol, akan tetapi episode berulang dari kerusakan ginjal akut telah
banyak didokumentasikan (Closs & Solbeg, 1970). Mekanisme patofisiologinya
masih diragukan, namun pada beberapa deskripsi terdahulu menjelaskan bahwa
mekanisme yang terjadi adalah nekrosis tubulus proksimal tanpa lesi glomerulus
(Erlanson et al, 1965). Madu adalah cairan manis alami yang berasal dari nektar
tumbuhan yang diproduksi oleh lebah madu. Madu merupakan salah satu dari
sekian banyak bahan alami yang telah lama digunakan sebagai obat (Susanto,
2007). Kandungan nutrisi dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan adalah
vitamin C, asam organik, enzim, asam fenolik, flavonoid dan beta karoten yang
bermanfaat sebagai antioksidan tinggi (Gheldof, et al., 2002) serta Vitamin A,
Vitamin E yang juga merupakan salah satu vitamin antioksidan esensial yang utama.

vii

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian madu terhadap


perubahan histopatologi ginjal tikus wistar jantan yang diinduksi metanol dan
mengetahui pengaruh perbedaan dosis madu yang diberikan tehadap perubahan
histopatologi ginjal tikus wistar jantan yang diinduksi metanol.
Penelitian ini adalah penelitian true eksperimental yang menggunakan hewan
coba tikus, dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember pada bulan September 2013. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah madu yang berasal dari nektar buah kelengkeng yang di
sekresikan oleh lebah Apis meliifera dan sudah memiliki sertifikat SNI. Sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah tikus Wistar jantan (Rattus novergicus) yang
rata-rata berusia 2-3 bulan dengan berat sekitar 150-200 gram. Penelitian ini
menggunakan sampel 25 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 5 kelompok
yaitu kelompok Kn (kontrol negatif), Kp (kontrol positif), P1 (perlakuan 1), P2
(perlakuan 2), dan P3 (perlakuan 3). Jumlah sample pada masing-masing kelompok
terdiri dari 5 ekor tikus wistar yang ditentukan secara acak (simple random sampling).
Selanjutnya tikus akan diaklimatisasi selama 7 hari dengan pemberian pakan dan
minum standar. Kemudian dilakukan perlakuan dengan pemberian madu melalui
sonde lambung dengan dosis yang ditentukan berdasarkan hasil konversi dari manusia
ke tikus yang setara dengan 0,25 mL/200 gram BB tikus ; 0,5mL/200 gram BB tikus
dan 0,75mL/200 gram BB tikus. Pemberian madu ini dilaksanakan pada hari ke-1
sampai hari ke-7. Pada hari ke 6 dan 7 dilakukan induksi metanol melalui sonde
lambung pada semua sampel dengan dosis 2,25 ml 1 jam setelah pemberian madu.
Pada hari ke-8, seluruh tikus dikorbankan melalui dekapitasi. Selanjutnya tikus
dibedah dan dilakukan pengambilan organ ginjal untuk dilakukan pemrosesan
jaringan yang kemudian dilakukan pengamatan mikroskopis. Sampel yang sudah
diambil kemudian dibersihkan dengan aquadest dan difiksasi dengan menggunakan
formalin 10%. Dari setiap sampel ginjal dibuat preparat dengan potongan koronal.
Preparat tersebut akan dibaca minimal 100 sel dalam lima lapangan pandang dengan
perbesaran 400x. Sasaran yang dibaca adalah perubahan abnormal gambaran
histopatologi pada ginjal dengan menghitung sel normal, atrofi/dilatasi sel,
inflamasi/fibrosis sel, dan nekrosis sel. Penentuan skor ditentukan berdasarkan
kriteria scoring Venient et Al..

viii

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan perubahan

gambaran histopatologi sel ginjal tikus wistar yang bermakna dengan nilai
p=0.002. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian madu
terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi metanol. Hal ini
didukung oleh temuan penelitian dalam analisis deskriptif yang menyatakan
bahwa pada kelompok perlakuan 3 terjadi kerusakan sel tubulus ginjal yang
terkecil daripada kelompok perlakuan lain (diluar kelompok kontrol negatif).
Sedangkan dalam analsis analitik antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan
2, dan kelompok perlakuan 2 dengan perlakuan 3, ditemukan perbedaan pada
analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam
analisis analitik. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan beberapa komponen
madu yang berfungsi sebagai antioksidan sangat bervariasi dan dimungkinkan
kurang mencukupi untuk mencegah kerusakan ginjal akibat induksi metanol
secara signifikan. Kemudian dapat juga diakibatkan oleh dosis metanol yang
diberikan terlalu banyak sehingga upaya pencegahan kurang bermakna, selain itu
terdapat pula faktor-faktor lain, yaitu rentang dosis madu yang tidak terlalu besar,
waktu penelitian yang singkat, dan faktor stress.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

pemberian madu personde dengan dosis 1ml/hari , 2ml/hari, dan 3ml/hari terhadap
perubahan gambaran histopatologi ginjal tikus wistar yang telah diinduksi
metanol. Pada kelompok kontrol negatif tidak terdapat perubahan gambaran
histopatologi, sedangkan pada kelompok kontrol positif terdapat perubahan
histopatologis yang sangat signifikan. Dosis pemberian madu berpengaruh
terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi metanol. Hal ini
ditunjukkan semakin tinggi pemberian dosis madu maka skor presentasi
kerusakan sel ginjal yang diinduksi metanol semakin menurun.

ix

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Protektif
Pemberian Madu Personde terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal pada Tikus
Wistar Jantan yang Diinduksi Metanol. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Enny Suswati, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Jember;
2. dr. Hairrudin, M. Kes., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran
Universitas Jember;
3. dr. Azham Purwandhono, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Utama (DPU)
dan dr. Sugiyanta, M. Ked., selaku Dosen Pembimbing Anggota (DPA) yang
telah banyak membantu dan meluangkan waktu, pikiran serta perhatiannya
untuk membimbing penulis skripsi ini sejak awal hingga akhir;
4. dr. Heni Fatmawati, M. Kes. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah bersedia membimbing penulis selama studi;
5. dr. Sugiyanta, M. Ked., selaku koordinator KTI yang telah menyetujui
penyusunan skripsi ini;
6. dr. Al Munawir, M. Kes. Ph.D, dr. Muhamad Hasan, M. Kes., Sp. OT., dr.
Azham Purwandhono, M. Sc., dan dr. Sugiyanta, M. Ked., selaku dosen
penguji yang telah banyak memberikan kritik, saran, dan masukan yang
membangun dalam penulisan skripsi ini;
7. Orang Tua, Bapak Padiyono dan Ibu Endang Septiyahariningsih terkasih dan
tercinta atas dukungan doa, moril, materi, dan semua curahan kasih sayang
yang tak akan pernah putus. Kebahagiaan kalian adalah segalanya untukku;
8. Kakakku Ardhika Hermigo dan Adikku Nur Fitria Hapsari yang selalu
memberikan keceriaan dalam hidup ini

9. Amalia Firdaus yang telah membantu dan memotivasi dari awal hingga akhir;
10. Sahabatku Rizal dan Enggar yang telah memberikan semangat dan motivasi;
11. Teman-teman seperjuagan Angkatan 2010, Lambda yang selalu saling
support dan menjadi teman seperjuangan demi menyelesaikan studi di
Fakultas Kedokteran Universitas Jember ini;
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga kaya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya untuk perkembangan Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.

Jember, 17 Oktober 2013

Penulis

xi

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... ii
HALAMAN MOTO ............................................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
HALAMAN PEMBIMBINGAN ...........................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. vi
RINGKASAN ...................................................................................................... vii
PRAKATA ..............................................................................................................x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................3
1.3 Tujuan dan Manfaat ..........................................................................3
1.3.1 Tujuan Penelitian ......................................................................3
1.3.2 Manfaat Penelitian ....................................................................4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metanol ...............................................................................................5
2.1.1 Metabolisme Metanol ...............................................................5
2.1.2 Keracunan Metanol ...................................................................6
2.2 Ginjal ..................................................................................................8
2.2.1 Struktur Anatomi Ginjal ...........................................................9
2.2.2 Fisiologi Ginjal ........................................................................11
2.2.3 Histologi Ginjal........................................................................16
2.2.4 Cedera Tubulus Proksimal .......................................................16
2.2.5 Faktor yang Berpengaruh pada Kerusakan Ginjal ..................17
xii

2.3 Madu .................................................................................................18


2.3.1 Karakteristik Madu .................................................................19
2.3.2 Komposisi Madu ......................................................................20
2.3.3 Fungsi Madu ............................................................................21
2.4 Radikal Bebas ...................................................................................21
2.5 Antioksidan.......................................................................................22
2.6 Kerangka Konseptual Penelitian ....................................................23
2.7 Hipotesis ............................................................................................24
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................25
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................25
3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan
Sampel ..............................................................................................25
3.4 Rancangan Penelitian ......................................................................26
3.5 Variabel Penelitian...........................................................................27
3.5.1 Variabel Bebas .........................................................................27
3.5.2 Variabel Terikat .......................................................................27
3.5.3 Variabel Terkendali .................................................................27
3.6 Definisi Operasional.........................................................................28
3.7 Alat dan Bahan.................................................................................29
3.7.1 Alat...........................................................................................29
3.7.2 Bahan .......................................................................................29
3.8 Prosedur Penelitian ..........................................................................30
3.8.1 Adaptasi Hewan Coba .............................................................30
3.8.2 Pembagian Kelompok Perlakuan .............................................30
3.8.3 Pelaksanaan Penelitian .............................................................30
3.9 Analisis Data .....................................................................................33
3.10 Etika Penelitian ..............................................................................33
3.11 Alur Penelitian ...............................................................................34
BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1 Analisa Sampel .................................................................................35

xiii

4.2 Analisa Deskriptif ............................................................................35


4.3 Analisa Statistik ...............................................................................37
4.4 Pembahasan ......................................................................................39
BAB 5. HASIL PENELITIAN
5.1 Kesimpulan .......................................................................................42
5.2 Saran .................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................43
LAMPIRAN ..........................................................................................................46

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1

Metabolisme Metanol .....................................................................................6

2.2

Mekanisme cedera ginjal akut akibat metanol................................................8

2.3

Struktur Anatomi Ginjal .................................................................................9

2.4

Struktur Nefron Ginjal .................................................................................11

2.5

Fungsi filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi ginjal ...............................................15

2.6

Struktur Histologi Ginjal ..............................................................................16

2.7

Degenerasi Tubulus Ginjal ..........................................................................17

3.1

Rancangan Penelitian ...................................................................................26

3.2

Alur Penelitiaan ............................................................................................34

4.1

Rerata Perubahan Gambaran Histopatologi Ginjal.......................................37

xv

DAFTAR TABEL

Halaman
2.1

Komposisi Madu Rata-rata di Indonesia ......................................................20

3.1

Skor Presentasi Sel Ginjal Abnormal (%) dengan kriteria Venien et al .......29

4.1

Hasil skoring pengamatan gambaran histopatologis ginjal tikus wistar ............ 36

4.2

Analisis deskriptif sel ginjal tikus wistar ........................................................... 37

4.3

Hasil uji normalitas Saphiro-Wilk...................................................................... 38

4.4

Nilai p pada uji Kruskal-Wallis tiap kelompok ................................................. 38

4.5

Nilai p pada uji Mann Whitney tiap kelompok ................................................. 39

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. Hasil Perhitungan Sel Ginjal ................................................................................ 46
B. Gambaran Perubahan Histopatologi Ginjal .......................................................47
C. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas .............................................................50
D. Hasil Uji Statistik Kruskal-Wallis .....................................................................51
E. Hasil Uji Post Hoc (Mann Whitney) ..................................................................52

xvii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Minuman keras merupakan minuman yang di dalamnya terkandung
senyawa etanol (C2H5OH=ethyl alkohol). Senyawa etanol adalah salah satu
anggota dari derivat senyawa alkohol. Senyawa ini jika masuk ke dalam tubuh
akan mempengaruhi kerja saraf otak sehingga efek pertama yang dirasakan oleh
peminum minuman keras adalah sakit kepala sampai muntah-muntah. Efek berat
yang ditimbulkannya adalah dapat menyebabkan bertindak di luar kesadarannya
(Mathiharan & Patnaik, 2010). Tindakan di luar kesadaran itu selalu merupakan
tindakan yang menjurus ke arah kriminal, memalak, memperkosa, dan sejenisnya.
Sehingga dalam hukum negara pun sepantasnya meminum minuman keras itu
dilarang.
Berdasarkan Permenkeu No. 62/PMK.011/2010 tentang tarif cukai etil
alkohol, biaya cukai pajak naik sebanyak 300%. Tarif cukai baru ini
diberlakukan untuk memudahkan pengawasan sehingga minuman beralkohol
tidak beredar di sembarang tempat. Untuk menyesuaikan naiknya pajak alkohol
tersebut, produsen minuman beralkohol harus meningkatkan harga jual
produknya. Tingginya angka jual minuman beralkohol ini tidak sesuai dengan
daya beli masyarakat. Berbagai cara dilakukan untuk membuat alkohol dengan
harga yang lebih rendah. Salah satunya adalah pembuatan alkohol rumahan.
Campuran yang sering digunakan masyarakat adalah metanol yang diketahui
sangat berbahaya bagi tubuh dan dapat menyebabkan kematian.
Metanol (CH3OH; metyl alkohol; carbinol; alkohol kayu) diperoleh dari
distilasi destruktif kayu, merupakan alkohol yang paling sederhana, dengan rumus
kimia CH3OH, berat molekul 32,04, titik didih 64,5 C (147 F), bersifat ringan,
mudah menguap, tak berwarna, mudah terbakar, beracun dan berbau khas.
Metanol digunakan sebagai bahan penambah bensin, bahan pemanas ruangan,
pelarut industry, pada larutan fotokopi, serta sebagai bahan makanan untuk bakteri

yang memproduksi protein. Metanol paling banyak dijumpai dalam rumah tangga
dalam bentuk canned heat atau cairan pembersih kaca mobil. (Mathiharan &
Patnaik, 2010).
Metanol dapat diabsorbsi ke dalam kulit, saluran pernafasan atau
pencernaan dan didistribusikan ke dalam cairan tubuh. Mekanisme utama metanol
di dalam tubuh manusia adalah dengan oksidasi menjadi formaldehida, asam
format dan CO2. Metanol

juga dapat disingkirkan dengan dimuntahkan, dan

dalam jumlah kecil diekskresikan melalui pernafasan, keringat dan urin. Metanol
tidak dapat diikat oleh karbon. Pada manusia kepekaan khusus terhadap
keracunan metanol mungkin disebabkan oleh produksi metabolit format dari
metanol yang membutuhkan folat dan bukan oleh metanolnya sendiri atau
formaldehid, suatu metabolit antara (Katzung, 1998).
Keracunan metanol sering terjadi di negara kita dan dapat menyebabkan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas seperti yang pernah tejadi pada
pertengahan tahun 2008, 21 orang tewas di Jambi karena menenggak minuman
keras oplosan, 26 orang dilaporkan tewas di Denpasar tahun 2009. Di Manado, 12
orang tewas. Di Indramayu, 19 remaja juga tewas karena hal serupa. Di
Banjarmasin pada tahun 2011 4 Warga Negara Rusia tewas setelah minum miras
oplosan (Armandhanu, 2011).
Ginjal merupakan organ utama yang berfungsi membuang produk sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea
(dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat (dari asam
nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit
berbagai hormon. Produk-produk sisa ini harus dibersihkan dari tubuh secepat
produksinya. Ginjal juga membuang sebagian besar toksin dan zat asing lainnya
yang diproduksi oleh tubuh atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan, dan
zat aditif makanan (Guyton & Hall, 2006). Ekskresi merupakan hasil dari tiga
proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan
reabsorbsi pasif di tubulus proksimal dan distal (Ganiswara, 2005).
Madu adalah cairan manis alami yang berasal dari nektar tumbuhan yang
diproduksi oleh lebah madu. Madu merupakan salah satu dari sekian banyak

bahan alami yang telah lama digunakan sebagai obat. Madu kaya akan vitamin A,
betakaroten, vitamin B complex (lengkap), vitamin D, E, dan K. Madu sebagai
obat dapat digunakan sebagai antibakteri, diare, meredakan alergi, kosmetika,
antikanker (Susanto, 2007).
Selain itu madu kaya akan kandungan antioksidan. Kandungan nutrisi dalam
madu yang berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin C, asam organik, enzim,
asam fenolik, flavonoid dan beta karoten yang bermanfaat sebagai antioksidan
tinggi serta Vitamin A, Vitamin E yang juga merupakan salah satu vitamin
antioksidan esensial yang utama. Dengan demikian pada madu terdapat banyak
nutrisi yang berfungsi sebagai antioksidan dan semua senyawa tersebut
bekerjasama dalam melindungi sel normal dan menetralisir radikal bebas.
Dengan besarnya potensi antioksidan yang terkandung dalam madu dan efek
proteksi madu terhadap ginjal belum banyak diteliti, maka peneliti ingin
mengetahui apakah madu dapat memberikan efek protektif terhadap histopatologi
ginjal yang diinduksi metanol.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penenelitian sebagai
berikut :
a.

Apakah pemberian madu dapat mencegah perubahan histopatologi ginjal


tikus wistar jantan yang diinduksi metanol?

b.

Apakah terdapat pengaruh perbedaan dosis madu yang diberikan tehadap


perubahan histopatologi ginjal tikus wistar jantan yang diinduksi metanol?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.

Untuk

mengetahui

pengaruh

pemberian

madu

terhadap

perubahan

histopatologi ginjal tikus wistar jantan yang diinduksi metanol


b.

Mengetahui pengaruh perbedaan dosis madu yang diberikan tehadap

perubahan histopatologi ginjal tikus wistar jantan yang diinduksi metanol.

1.3.2 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah tentang
khasiat madu.

b.

Dengan disusunnya karya tulis ini penulis berharap, pembaca dapat


memperkaya pengetahuan mengenai cara pengobatan konvensional, dalam
hal ini menggunakan madu sebagai pencegah kerusakan ginjal

c.

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
penelitian lain.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metanol
Metanol (methyl alcohol=wood alcohol) merupakan cairan tidak berwarna,
mudah menguap dalam suhu kamar dan merupakan bahan yang banyak dipakai
dalam industri sebagai bahan yang banyak dipakai dalam industri sebagai bahan
pelarut, seperti pembersih kaca, pembersih cat, dll (Tjokroprawiro, 2007).
Bahan ini juga sering dipakai pengganti alkohol oleh pecandu-pecandu
alkohol, karena harganya relatif murah. Meskipun bahan ini utamanya hanya
menimbulkan

gangguan kesadaran (inebriation), bahan metabolitnya sendiri

dapat menimbulkan asidosis metabolik, kebutaan, dan kematian setelah periode


laten selama 6-30 jam (Tjokroprawiro, 2007).

2.1.1 Metabolisme Metanol


Metanol sendiri tidak berbahaya, tetapi bahan hasil metabolitnya yang
toksik. Bila tertelan, cepat diserap dalam saluran makan, kadar dalam darah cepat
meningkat dalam waktu 30-60 menit setelah masuk tergantung ada tidaknya
makanan dalam lambung. Waktu paruh metanol sekitar 12 jam (Tjokroprawiro,
2007).
Metanol dimetabolisir secara perlahan-lahan oleh alkohol dehidrogenase
menjadi formaldehid, dan selanjutnya oleh aldehid dehidrogenase diubah menjadi
asam format. Asam format ini terakhir kemudian diubah menjadi CO2 dan H2O
(Tjokroprawiro, 2007).
Asidosis sistemik yang timbul disebabkan oleh pembentukan asam format
dan asam laktat. Sementara kerusakan mata disebabkan terutama oleh asam
format dan formaldehid. Formaldehid diketahui merusak sel-sel retina mata.
Bahan ini menghambat enzim cytochrome oxidase dalam syaraf mata,
menghambat aliran axoplasma (Tjokroprawiro, 2007).

Keracunan dapat melewati saluran makanan, inhalan dan lewat kulit. Dosis
toksik metanol sekitar 30-240 ml (20-150 gram). Dosis toksik minimum sekitar
100 mg/kg (Tjokroprawiro, 2007).

Gambar 2.1 Metabolisme Metanol


Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
2.1.2 Keracunan Metanol
Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai keracunan metanol antara lain:
a. Diagnosis
Gejala utama keracunan metanol adalah gangguan visus dan asidosis
metabolik. Tanda-tanda keracunannya sendiri sering didahului dengan periode
laten selama 40 menit 72 jam, dimana penderita sama sekali tidak
menunjukkan gejala-gejala apapun (Tjokroprawiro, 2007).
Keracunan ringan: rasa lelah, nyeri kepala, nausea, dan penglihatan kabur
temporer, setelah periode laten. Keracunan sedang: nyeri kepala hebat,
dizzines, mual, muntah, dan depresi SSP. Gangguan visus dapat menetap 2-6
hari. Keracunan berat: gejala diata sdengan cepat makin menghebat, dengan
pernapasan cepat akibat asidosis, sianosis, koma, hipotensi, midriasis, dan
hiperemi (Tjokroprawiro, 2007).
Beberapa jam pertama setelah keracunan, timbul gejala-gejala inabriation
dan gastritis. Asidosis biasanya belum timbul. Setelah periode laten selama 30
jam, mulai timbul gejala-gejala asidosis metabolik akibat meningkatnya anion
gap yang hebat, gangguan visus, kebutaan, kejang-kejang, koma dan kematian

bisa terjadi setiap saat. Periode laten bisa berlangsung lebih lama, bila metanol
diminum bersama-sama etanol (Tjokroprawiro, 2007).
b. Pemeriksaan Laboratorik
Anion gap meningkat. Peningkatan anion gap sebesar 10 mOsml/l,
biasanya sudah dianggap sebagai keracunan metanol. Kadar bikarbonat
biasanya menurun <15mEq/L. Kadar metanol serum > 20 mg/dl sudah dapat
dianggap toksik. Peningkatan > 40 mg/dL merupakan keracunan berat. Asam
format yang tinggi dalam serum, merupakan diagnosis yang pasti.
Laboratorium yang lain: DL, elektrolit, gula darah, faal ginjal, osmolalitas
serum dan anion gap, analisis gas darah, kadar etanol dalam serum
(Tjokroprawiro, 2007).
c. Patofisiologi Kerusakan pada Ginjal
Ginjal umumnya kurang dipertimbangkan sebagai target organ utama
dalam kasus intoksikasi metanol. Gagal ginjal akut sebelumnya lebih
dipertimbangkan sebagai komplikasi terminal keracunan metanol, akan tetapi
episode berulang dari kerusakan ginjal akut telah banyak didokumentasikan
(Closs & Solbeg, 1970). Mekanisme patofisiologinya masih diragukan, namun
pada beberapa deskripsi terdahulu menjelaskan bahwa mekanisme yang terjadi
adalah nekrosis tubulus proksimal tanpa lesi glomerulus (Erlanson et al, 1965).
Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan cedera ginjal akut akibat
intoksikasi metanol, antara lain:
1) Kebanyakan dari pasien dengan keracunan metanol menunjukkan gejala
asidosis asam format berat sebagai akibat penumpukan asam format dan
kurangnya ekskresi serta akibat dari produksi asam laktat. Asam format
merupakan suatu inhibitor terhadap mitochondrial cytochrome oxidase.
Penghambatannya meningkat seiring dengan penurunan pH dan akan
menyebabkan hipoksia jaringan dan cedera selular (Liesivouri &
Sovalainen, 1991). Keberadaan asam format juga menstimulus absorpsi
natrium klorida pada tubulus proksimal ginjal (Knauf et al, 2001).
2) Penurunan perfusi darah ginjal juga dipertimbangkan sebagai penyebab
cedera ginjal akut ini (Verhelst et al, 2004).

3) Keadaan mioglobulinuri dan hemoglobinuri juga dapat terjadi. Mekanisme


yang terjadi adalah vasokonstriksi renal, pembentukan cast intraluminal,
dan toksisitas langsung yang diinduksi protein heme. Terdapatnya
mioglobin dan hemoglobin juga menyebabkan penurunan pH urin (Zafer,
1996)
4) Perubahan osmotik pada sel tubular ginjal. Pada penelitian didapatkan
osmolalitas yang tinggi pada pasien dengan cedera ginjal akut (Verhelst et
al, 2004).

Gambar 2.2 Mekanisme cedera ginjal akut akibat metanol


Sumber: Verhelst et al, 2004
2.2 Ginjal
Ginjal adalah suatu organ di ruang retroperitoneal bagian posterior dari
abdomen, pada posisi supinasi terletak pada vertebra torakal XII sampai vertebra
lumbar III, dengan posisi ginjal sebelah kanan lebih rendah daripada ginjal kiri
dikarenakan adanya hati di sebelah depannya. Berat dari ginjal 130-150 gram,
dengan panjang 11 cm dan lebar 6 cm, berbentuk mirip kacang, berwarna coklat
kemerahan.

Permukaan luarnya halus dan licin, diselubungi oleh simpai (capsula) yang
dilingkupi oleh fasia Gerota dan jaringan lemak perinefrik. Pada sisi medial ginjal
terdapat cekungan yang disebut hilus (hillum of kidney) yang ditembus oleh arteri
dan vena renalis, nodul limfatikus, dan ureter. Pada irisan koronal ginjal tampak
parenkim ginjal yang terbagi menjadi bagian korteks (renal cortex) dan medula
(renal medulla), dengan tonjolan korteks disebut kolumna renalis (renal column),
dan tojolan medula disebut papila renalis (renal papila) (Drake et Al, 2010).

2.2.1 Struktur Anatomi


Pada potongan sagital ginjal terdapat 2 bagian, yaitu bagian tepi luar ginjal
yang disebut korteks dan bagian dalam ginjal yang berbentuk segitiga disebut
piramid ginjal atau bagian medulla ginjal. Di dalam ginjal terdapat satuan
fungsional ginjal yang paling kecil, yaitu nefron. Tiap ginjal tediri dari sekitar satu
juta nefron. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler yaitu glomerulus dan
komponen tubulus, keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat
(Leeson, 1996).

Gambar 2.3 Struktur Anatomi Ginjal


Sumber : Grays Anatomy. 39th Edition

10

Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu :


a. Glomerulus
Glomerulus adalah masa kapiler yang berbentuk bola yang terdapat sepanjang
arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam darah (Leeson,
1996).
b. Kapsula bowman
Kapsula bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel
yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang
difiltrasi oleh glomerulus. (Leeson, 1996) ; (Sherwood, 2006)
c. Tubulus kontortus proksimal
Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal. Letak
tubulus ini didalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 5060nm. Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus yang
berjalan kearah medulla, yaitu ansa henle (Leeson, 1996).
d. Ansa henle
Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang tipis yang
membentuk lengkung tajam berbentuk huruf U. Bagian pars desendens dari
ansa henle terbentang dari korteks ke bagian medulla, sedangkan pars asendens
berjalan kembali dari medulla ke arah korteks ginjal (Leeson, 1996).
e. Tubulus distal
Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian nefron tubulus
distal. Tubulus kontortus distal lebih pendek dari tubulus proksimal dan bagian
tubulus distal ini berkelok-kelok di bagian korteks dan berakhir di duktus
koligens (Leeson, 1996; Sherwood, 2006).
f. Duktus koligentes

11

Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan menerima cairan


dan zat terlarut dari tubulus distal. Duktus koligens berjalan dari dalam berkas
medulla menuju ke medulla. Setiap duktus pengumpul yang berjalan ke arah
medulla akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal
(Sherwood,2006).

Gambar 2.4 Struktur Nefron Ginjal


Sumber : Guyton Textbook of Medical Physiology. 11th Edition
2.2.2 Histologi Ginjal
Struktur histologi dari tubulus proksimal adalah epitel kolumner atau
piramid dimana bagian besar lebih lebar daripada aspeknya, batas sel tidak jelas,
permukaan sel terdapat brush border, inti besar dan bulat, terletak agak ke arah
basis.

12

Pada umumnya dengan paparan rendah terjadi perubahan fisiologis dari


tubulus proksimal, namun pada paparan dosis tinggi perubahan morfologi juga
dapat terjadi. Terdapat dua perubahan morforlogi yang sering terjadi pada ginjal
adalah perubahan morfologi yang reversibel dan ireversibel. Perubahan reversibel
antara lain adalah degenerasi sel tubulus, inflamasi sel tubulus dan terbentuknya
cast, sedangkan perubahan irreversibel dari sel tubulus antara lain adalah atrofi
atau dilatasi lumen, fibrosis sel tubulus, dan yang paling berat adalah nekrosis sel
tubulus. Perubahan irreversibel biasanya ditandai dengan hilangnya brush border
dan inti sel memipih.

Gambar 2.6 Struktur Histologi Ginjal


Sumber: Color Textbook of Histology. 3rd Edition

2.2.3 Cedera Tubulus Proksimal


Penyebab cedera tubulus proksimal atau yang sering disebut Acute Tubular
Necrosis (ATN) adalah keadaan syok dan akibat terdapatnya zat toksik. Untuk
keadaan akibat syok, kerusakan tubulus sebagai akibat dari iskemia dan sering
menyebabkan kerusakan tubulus distal. Sedangkan akibat dari paparan zat toksik
kerusakan lebih kepada tubulus proksimal (Macfarlane, 2000).

13

Gambar 2.7 Degenerasi Tubulus Proksimal


Sumber: Pathology Illustrated 5th Edition
Untuk melihat tingkat kerusakan dari tubulus proksimal akan digunakan
sistem skoring yang mengacu pada sistem skoring semikuantitatif Veniant et al.
Kerusakan yang dilihat pada tubulointersisial berupa degenerasi (atrofi lumen,
dilatasi tubulus, degenerasi epitel tubulus) dan nekrosis (inflamasi, fibrosis).

2.2.4 Faktor yang Berpengaruh pada Kerusakan Ginjal


Nefrotoksikasi ginjal dipengaruhi oleh berbagai hal dalam sistem tubuh
manusia maupun hewan, antara lain :
a. Obat atau zat kimia toksik
Ada beberapa jenis obat atau zat kimia yang dapat menyebabkan
nefrotoksikasi, contohnya antara lain, Acetaminophen dosis tinggi dapat
menyebabkan terjadinya nekrosis tubulus, obat Anti Inflamasi Non-Steroid
(NSAID) menyebabkan nekrosis papiler, maupun Aminoglikoksida dapat
menyebabkan gagal ginjal nonoliguri atau pada penelitian ini adalah metanol.
b. Dosis
Dosis obat atau zat kimia yang digunakan sangat berpengaruh pada tingkat
kerusakan ginjal. Semakin tinggi dosis yang masuk ke dalam peredaran
sistemik maka semakin besar pula kerusakan sel yang dapat terjadi. (Price et al,
2006)
c. Nutrisi

14

Keadaan gizi dari sesorang berpengaruh terhadap timbulnya kerusakan pada


sel-sel termasuk sel ginjal. Nutrisi diperlukan untuk menjaga keadaan fisiologis
dari sel tersebut (Price et al, 2006).
d. Usia
Pada usia lanjut keadaan tubuh akan mengalami kemunduran, hal ini juga akan
berpengaruh terhadap sel ginjal. Semakin tua sesorang maka akan semakin
besar resiko terjadinya kerusakan sel ginjal (Price et al, 2006).
e. Penyakit
Adanya penyakit penyerta atau penyakit pendahulu pada seseorang akan
mengakibatkan terganggunya baik fisiologi maupun morfologi dari ginjal tersebut,
sehingga akan memperberat kerusakan ginjal yang terjadi. (Price et al, 2006).

f. Alkohol
Konsumsi Alkohol yang berlebihan dalam jangka waktu yang panjang akan
menyebabkan kerusakan pada sel ginjal. Dengan adanya paparan dari alkohol
maka akan memperberat kerusakan ginjal yang terjadi. (Price et al, 2006).
g. Stres
Adanya stres pada organ ginjal akan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel
ginjal. Sehingga adanya stres sebelum pemaparan akan memperberat kerusakan ginjal

(Price et al, 2006).

2.3 Madu
Madu merupakan cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang
dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar) atau bagian
lain dari tanaman (ekstra floral nektar) atau eksresi serangga (SNI 01-3545-2004).
Madu yang sudah matang mempunyai kadar air rendah dan kandungan gula buah
(fruktosa) tinggi. Kandungan air yang rendah akan menjaga madu dari kerusakan
untuk jangka waktu relatif lama (Sihombing, 1997).
Madu dapat berasal dari bunga yang beragam, sehingga penampilan dan
kualitas dari masing-masing madu sangat bervariasi. Faktor-faktor yang
menentukan kualitas madu antara lain : warna, rasa, kekentalan, dan aroma.
Warna dan rasa dapat rusak saat pengolahan (Sihombing, 1997).

15

Penggunaan madu menyebar luas di seluruh dunia. Madu banyak digunakan


sebagai makanan, bumbu dalam masakan, bahan dalam produk obat, produkproduk fermentasi, juga dalam industri kosmetik. Khusus untuk industri kosmetik,
madu digunakan sebagai pelembab dan pelembut dalam krim, sabun, sampo, dan
lipstick (Krell, 1996).

2.3.1 Karakteristik Madu


a. Nilai pH
Umumnya pH madu berkisar sebesar 3,91. Paling sedikit ada 11 jenis
asam yang diketahui terdapat dalam madu. Keasaman madu ditentukan oleh
disosiasi ionhidrogen dalam larutan air, namun sebagian besar juga oleh
kandungan berbagaimineral, antara lain Ca, N, dan K (Sihombing, 1997).
b. Antimikroba
Daya antibakteri madu tidak hanya disebabkan oleh kadar air dan gula,
tetapi juga oleh suatu senyawa sejenis lysozyme yang memiliki daya
antibakteri. Senyawa tersebut kini lebih dikenal sebagai inhibine. Kadar
(bilangan) inhibine dalam madu sangat tergantung pada jenis, umur, dan
kondisi madu (Winarno, 1982). Beberapa mikroorganime ditemukan dalam
madu, diantaranya bakteri (Bacillus, Flavobacterium, Bacteridium, Escherichia
coli, Micrococcus), kapang (Chaetomium, Cephalosporium, Triposporium,
Peyronelia, Bettsia alvei,

Ustilaginaceae) dan

khamir (Nematospora,

Trichosporium, Saccharomyces, Schizosaccharomyces) (Olaitan et al., 2007).


c. Higroskopis
Madu bersifat higroskopis (mudah menarik air) karena secara alami
mengandung konsentrasi gula yang tinggi (Sihombing, 1997). Sifat higroskopis
madu yang memiliki kecenderungan untuk menyerap dan menahan
kelembaban ini sangat diinginkan dalam mempercepat penyembuhan luka,
membantu mencegah cacat bekas luka, juga dibutuhkan dalam industri
makanan dan roti. (Krell, 1996 dan Sihombing, 1997). Zat alami yang
terkandung dalam madu membantu tubuh menjalankan fungsinya dalam
melembabkan kulit (Krell, 1996).

16

2.3.2 Komposisi Madu


Komposisi madu berbeda-beda. Tabel 2.1 memperlihatkan komposisi ratarata madu di Indonesia. Komposisi madu tergantung pada dua faktor umum, yaitu
komposisi nektar dan pengaruh eksternal tertentu seperti klimatologi (Achmadi,
1991).
Tabel 2.1 Komposisi Rata-rata Madu di Indonesia

Komposisi madu sebagai berikut : persentase gula dalam madu berkisar


antara 95%-99% dari bahan kering madu, sebagian besar merupakan gula
sederhana fruktosa dan glukosa yang mencapai 85%-95% dari total gula.
Persentase yang besar dari gula sederhana ini berpengaruh terhadap karakteristik
sifat fisik dan nutrisi madu (Krell, 1996).
Air merupakan komponen kedua terpenting dalam madu karena akan
mempengaruhi kualitas dan umur simpan madu. Hanya madu dengan kandungan
air kurang dari 17% yang dapat disimpan dengan sedikit resiko terhadap
fermentasi.
Asam organik merupakan komponen yang berpengaruh terhadap keasaman
dan karakteristik rasa madu. Mineral dalam madu terdapat dalam jumlah yang
sedikit. Senyawa nitrogen, termasuk enzim, mempunyai peranan penting dalam
pembentukan madu. Enzim-enzim utama dalam madu adalah invertase, diastase,
dan glukosa oksidase (Krell, 1996).

17

Madu mengandung protein yang berasal dari lebah madu (Gojmerac, 1980).
Protein madu terdapat dalam bentuk albumin, globulin, protease, pepton, histon,
albumosa, albuminoid, nukleoprotein, dan asam-asam amino esensial (White,
1979). Sebagian protein dan asam amino bertanggung jawab terhadap sifat
koloidal madu (Matheson, 1984). Protein juga menyebabkan kecenderungan
membentuk gelembung udara kecil dan buih pada madu (Sukartiko, 1986).

2.3.3 Fungsi Madu


Madu kaya akan kandungan antioksidan. Kandungan nutrisi dalam madu
yang berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin C, asam organik, enzim, asam
fenolik, flavonoid dan beta karoten yang bermanfaat sebagai antioksidan tinggi
(Gheldof, et al., 2002) serta Vitamin A, Vitamin E yang juga merupakan salah
satu vitamin antioksidan esensial yang utama. Dengan demikian pada madu
terdapat banyak nutrisi yang berfungsi sebagai antioksidan dan semua senyawa
tersebut bekerjasama dalam melindungi sel normal dan menetralisir radikal bebas.

2.4 Kerangka Konseptual


Methanol LD

Madu

Sebagai Zat
Antioksidan

Ginjal

Kerusakan sel dan


jaringan ginjal

Gangguan fungsi ginjal

Nekrosis Tubular
Akut

Perubahaan
Gambaran
Histopatologi Ginjal

18

Keterangan :
Meningkatkan
Mencegah

Pemberian metanol pada tikus wistar jantan baik secara akut atau kronis
menyebabkan toksik pada ginjal (nefrotoksik), yang menyebabkan peningkatan
aktifitas enzim lipid peroksidase sehingga menimbulkan radikal bebas (stres
oksidatif) ditandai dengan kerusakan atau gangguan pada jaringan ginjal, yang
akibatnya terjadi nekrotik tubulus akut sehingga menyebabkan gangguan pada
ginjal.
Kadungan nutrisi pada madu seperti Vitamin C, asam organik, enzim, asam
fenolik, flavonoid dan beta karoten bermanfaat sebagai antioksidan tinggi
(Gheldof, et al., 2002) serta Vitamin A, Vitamin E yang juga merupakan salah
satu vitamin antioksidan esensial yang utama merupakan pemutus rantai
peroksida lemak pada membran.
Gambaran histopatologi ginjal tikus wistar didapatkan dengan menghitung
presentase sel abnormal pada tubulus proksimal ginjal tikus wistar yang telah
dicat HE dan dan sesuai dengan kriteria Venient et Al.

2.5 Hipotesis
a. Terdapat pengaruh pemberian madu terhadap perubahan histopatologi ginjal
tikus wistar jantan yang diinduksi metanol.
b. Dosis madu berpengaruh terhadap perubahan histopatologi ginjal tikus wistar
jantan yang diinduksi metanol.

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah true eksperiment yang menggunakan hewan coba tikus.
Bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian madu terhadap pencegahan
kerusakan ginjal tikus wistar jantan akibat pemberian metanol dan pengaruh
perbedaan dosis madu yang diberikan terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus
wistar jantan akibat pemberian metanol. Rancang penelitian yang digunakan yaitu the
post test only control group design. Pada kelima kelompok tidak diawali dengan pra
tes karena pada penelitian ini pengambilan organ untuk pemeriksaan hanya bisa
dilakukan satu kali. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan keduanya.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Jember. Waktu pelaksanaan adalah bulan September
2013.

3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel


Sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan teknik random
sederhana (simple random sampling) dari populasi tikus jantan dengan berat
badan rata-rata 150 200 gram dan berumur 2-3 bulan sampel terdiri atas 5
kelompok yaitu kelompok perlakuan 1,2,3 serta 2 kelompok kontrol.
Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus federer, yaitu:
(t-1)(n-1) 15
(5-1)(n-1) 15
4n 4 15
4n 19
n 4,75

20

Pada rumus tersebut, t adalah jumlah perlakuan dan n adalah banyaknya


sampel setiap kelompok perlakuan. Dengan rumus ini didapat jumlah sampel
untuk masing-masing kelompok adalah minimal 5 (lima) ekor tikus. Total adalah
25 ekor tikus.

3.4 Rancangan Penelitian


Jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah The Posttest Only
Control Group Design (Pratiknya, 2010). Secara skematis rancangan penelitian
dapat digambarkan sebagai berikut:
Kn

PKn

DKn

Kp

PKp

DKp

P1

DP1

P2

DP2

P3

DP3

R
Po

S
P

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian

Keterangan:
Po

: Populasi tikus

: Random sampling sederhana

: Sampel

Kn

: Kelompok kontrol negatif

Kp

: Kelompok kontrol positif

PKn

: Perlakuan kontrol negatif dengan pemberian aquadest per oral 1


ml/200g berat badan tikus selama 7 hari berturut turut tanpa diberikan
metanol

PKp

: Perlakuan kontrol dengan pemberian aquadest per oral 1 ml/200g


berat badan tikus selama 7 hari berturut turut dan pada hari 6 dan 7
diberi metanol 50% dosis 2,25 ml

: Kelompok perlakuan

21

P1

: Perlakuan 1 yang diberikan madu per oral dosis I yaitu 1 ml/200 gram
BB tikus berturut turut selama 7 hari, dengan hari ke 6 dan 7 juga
diberikan metanol 50% dosis 2,25 ml setelah 1 jam pemberian madu

P2

: Perlakuan 2 yang diberikan madu per oral dosis II yaitu 2 ml/200 gram
BB tikus berturut turut selama 7 hari, dengan hari ke 6 dan 7 juga
diberikan metanol 50% dosis 2,25 ml setelah 1 jam pemberian madu

P3

: Perlakuan 3 yang diberikan madu per oral dosis III yaitu 3 ml/200
gram BB tikus berturut turut selama 7 hari, dengan hari ke 6 dan 7
juga diberikan metanol 50% dosis 2,25 ml setelah 1 jam pemberian
madu

DKn : Data hasil pengamatan histopatologi Ginjal tikus kelompok kontrol negatif
DKn : Data hasil pengamatan histopatologi Ginjal tikus kelompok kontrol positif
DP1-DP3 : Data hasil pengamatan histopatologi Ginjal tikus P1,P2,P3
A

: Analisis Data

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah dosis madu yang diberikan pada tikus
yakni 1 ml, 2ml, dan 3ml yang diberikan selama 7 hari.

3.5.2 Variabel Terikat


Variabel terikat adalah perubahan gambaran histopatologi organ ginjal.
Pengamatan perubahan dilakukan dengan cara membandingkan struktur
histopatologi kelompok perlakuan dan perlakuan berdasarkan adanya kongesti,
perdarahan, infiltrasi sel radang, dan nekrosis.

3.5.3 Variabel Terkendali


Variabel terkendali pada penelitian ini adalah umur, berat, jenis pakan,
minum dan jenis kelamin tikus Wistar.

22

3.6 Definisi Operasional


a. Madu yang digunakan adalah madu yang berasal dari nektar buah kelengkeng
yang di sekresikan oleh lebah Apis meliifera. Madu ini diproduksi oleh Madu
Nusantara dari Solo yang sudah memiliki sertifikat SNI. Madu diberikan
kepada tikus secara oral melalui sonde lambung kepada 15 ekor tikus dengan
berbagai volume. Sebanyak 1 ml kepada kelompok perlakuan pertama, 2 ml
kepada kelompok perlakuan kedua, 3 ml kepada kelompok perlakuan ketiga.
b. Kontrol positif adalah metanol 50% dengan dosis 2,25 ml yang diberikan
kepada 5 ekor tikus secara oral melalui sonde lambung.
c. Kontrol negatif adalah aquades steril.
d. Tikus Wistar jantan (Rattus novergicus) sebanyak 25 ekor, yang rata-rata
berusia 2-3 bulan dengan berat sekitar 150-200 gram.
e. Gambaran histopatologi ginjal tikus wistar didapatkan dengan menghitung
presentase sel abnormal pada ginjal tikus wistar yang telah dicat HE, kemudian
diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali dalam 5
lapangan pandang sejumlah 100 sel. Penilaian gambaran histopatologi ginjal
sesuai dengan perubahan struktur histopatologi sebagai berikut:
1) Normal : tampak sel berbentuk poligonal, sitoplasma berwarna merah
homogen, dinding sel berbatas tegas
2) Atrofi Tubulus : merupakan keadaan menyempitnya lumen karena dilatasi
sel tubulus
3) Dilatasi Tubulus : tampak inti sel memipih, melebarnya lumen, dan
hilangnya brush border
4) Inflamasi Interstitial : merupakan salah satu tanda degenerasi dengan
sebukan sel radang
5) Fibrosis : merupakan keadaan dimana inti sel menghilang dan jaringan sel
digantikan dengan serat-serat fibrotik
6) Nekrosis : kerusakan sel permanen, terdapat 3 bentuk yaitu :
a) Piknotik : Inti menjadi kecil dan gelap

23

b) Karioreksis : Inti terfragmentasi


c) Kariolisis : Inti Hilang
Tabel 3.1 Skor persentase sel ginjal abnormal (%) dengan kriteria Venient et Al.
Skor

Keterangan Lesi

Lesi kurang dari 25% total lapangan pandang

Lesi 25 - kurang dari 50% total lapangan pandang

Lesi 50 kurang dari 75% total lapangan pandang

Lesi lebih dari samadengan 75% total lapangan pandang

3.7 Alat dan Bahan


3.7.1 Alat
a. Alat untuk memberikan perlakuan
1) Kandang tikus (termasuk tempat minum dan tempat makan)
2) Sonde Lambung
3) Spuit 6 cc
b. Alat untuk otopsi
1) Skalpel
2) Pinset chirurgis
3) Gunting
4) Botol untuk menyimpan organ
c. Alat untuk pemeriksaan histopatologis
a) Mikroskop cahaya
b) Kaca objek dan kaca penutup
c) Kamera digital

3.7.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus wistar jantan
dengan berat 200 gram sebanyak 25 ekor, Metanol 50%, Madu, Bahan Lain
yang digunakan adalah kapas, alkohol, larutan Netral Buffer Formalin 10 % untuk

24

fiksasi, bahan pembuatan preparat histopatologi seperti alkohol, xylol, paraffin,


gliserin, dan hematoksilin eosin (HE).

3.8 Prosedur Penelitian


3.8.1 Adaptasi Hewan Coba
Sebelum penelitian dimulai, tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama satu
minggu di Laboratorium Farmako Terapi dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember. Makanan (dalam bentuk pellet) dan minuman diberikan
secara oral.

3.8.2 Pembagian Kelompok Perlakuan


Hewan coba yang sudah diadaptasikan akan dikelompokan menjadi 5
kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit, yaitu 3
kelompok perlakuan antara lain yang diberikan sonde lambung sebanyak 1 ml, 2
ml, 3 ml madu, dan 2 kelompok kontrol.

3.8.3 Pelaksanaan Penelitian


a. Menyiapkan Madu
Madu yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu murni yang
terstandar sesuai dengan Standar Nasional indonesia (SNI). Dosis yang
diberikan ditentukan berdasarkan hasil konversi dari manusia ke tikus
(Ngatidjan, 1991) yang setara dengan pemberian 1 sendok makan penuh (15
ml), 2 sendok makan penuh (30 ml) dan 3 sendok makan penuh(45 ml) pada
orang dewasa dengan berat badan 70 kg.. Pada manusia, konsumsi madu untuk
pencegahan penyakit adalah 1-2 kali / hari 1 sendok makan (Susanto, 2007).
Dosis pemberian madu ini dibedakan dalam 3 dosis, yaitu 0,25 mL/200 gram
BB tikus ; 0,5mL/200 gram BB tikus dan 0,75mL/200 gram BB tikus. Madu
dosis I diberikan sehari sekali selama 7 hari berturut turut pada kelompok
perlakuan 1. Madu dosis II diberikan sehari sekali selama 7 hari berturut-turut

25

pada kelompok perlakuan 2, dan madu dosis III diberikan sehari sekali selama
7 hari berturut-turut pada kelompok perlakuan 3.
Perhitungan dosis madu :
1) Dosis I setara dengan dosis untuk manusia yaitu 15 mL.
Nilai konversi x 15 mL madu = 0,018 x 15ml madu = 0,25 ml madu
Pengenceran madu : 2,5 ml madu + 7,5 ml aquadest =10 ml larutan madu.
Jadi dalam 1 ml larutan mengandung 0,25 ml madu. Madu yang disondekan
adalah madu yang telah diencerkan. Jadi madu yang akan disondekan pada
tikus dengan berat badan 200 gram adalah 1 ml yang diberikan selama 7
hari berturut-turut
2) Dosis II madu adalah 2x dari madu dosis I
2 x 0,25ml madu = 0,5 ml
2 x 1 ml larutan = 2 ml
Madu dosis ke II ini akan diberikan berturut turut selama 7 hari dengan
dosis 2 ml
3) Dosis III madu adalah 3x dari madu dosis I
3 x 0,25ml madu = 0,75 ml
3 x 1ml larutan = 3 ml
Madu dosis ke III ini akan diberikan berturut turut selama 7 hari dengan
dosis 3 ml
b. Perlakuan Hewan Coba
Tikus jantan sebanyak 25 ekor yang telah diaklimatisasi selama satu
minggu dan telah dibagi menjadi 5 kelompok secara random dipuasakan
terlebih dahulu selama 8 jam sebelum perlakuan, tetapi tetap diberi minum
secara oral. Setelah dipuasakan masing masing kelompok diberi perlakuan.
Setiap tikus pada kelompok kontrol diberi aquadest. Sedangkan setiap
tikus pada semua kelompok perlakuan diberi madu dengan volume
pemberiannya berbeda dan pada hari ke 6 dan 7 diberi metanol 50% dengan
dosi 2,25 ml.
Pengelompokan subjek dilakukan secara random :

26

1) Kp sebagai kelompok kontrol positif diberi aquadest per oral 1 ml/200g BB


tikus selama 7 hari berturut-turut dan pada hari 6 dan 7 metanol 50%
dengan dosis 2,25 ml
2) Kn sebagai kelompok kontrol negatif diberi aquadest per oral 1 ml/200g
BB tikus selama 7 hari berturut-turut tanpa diberikan metanol pada hari ke
6 dan 7
3) P1 sebagai kelompok perlakuan 1, diberi larutan madu per oral dosis I
yaitu 1ml/200 gram BB tikus berturut turut selama 7 hari, dimana hari ke 6
dan 7 juga diberikan metanol 50% dengan dosis 2,25 ml setelah 1 jam
pemberian madu.
4) P2 sebagai kelompok perlakuan 2, diberilarutan madu per oral dosis II
yaitu 2ml/200 gram BB tikus berturut turut selama 7 hari, dimana hari ke 6
dan 7 juga diberikan metanol 50% dengan dosis 2,25 ml setelah 1 jam
pemberian madu.
5) P3 sebagai kelompok perlakuan 3, diberilarutan madu per oral dosis III
yaitu 3ml/200 gram BB tikus berturut turut selama 7 hari, dimana hari ke 6
dan 7 juga diberikan metanol 50% dengan dosis 2,25 ml setelah 1 jam
pemberian madu.
Pemberian

metanol

diberikan

setelah

jam

pemberian

madu

dimaksudkan agar madu terabsorbsi terlebih dahulu. Pada hari ke-8 Tikus
dikorbankan dengan dekapitasi, ginjal diambil kemudian dibersihkan dan
diproses untuk pembuatan preparat histopatologi.
c. Pengambilan Sampel Penelitian
Pada hari ke-8, seluruh tikus dikorbankan melalui dekapitasi. Selanjutnya
tikus dibedah dan dilakukan pengambilan organ ginjal untuk dilakukan
pemrosesan jaringan yang kemudian dilakukan pengamatan mikroskopis.
Sampel yang sudah diambil kemudian dibersihkan dengan aquadest dan
difiksasi dengan menggunakan formalin 10%.
d. Pemrosesan Jaringan

27

Tahapan pemrosesan jaringan adalah Fiksasi, Dehidrasi, Clearing,


Impregnasi, Embedding, Blocking, Sectioning, dan penempelan irisan pada
kaca objek, Staining HE, Mounting dan pelabelan preparat.

e. Pembacaan Preparat
Penentuan skor ditentukan berdasarkan kriteria scoring Venient et Al..
Dari setiap sampel ginjal dibuat preparat dengan potongan koronal. Preparat
tersebut akan dibaca minimal 100 sel dalam lima lapangan pandang dengan
perbesaran 400x. Sasaran yang dibaca adalah perubahan abnormal gambaran
histopatologi pada ginjal dengan menghitung sel normal, atrofi/dilatasi sel,
inflamasi/fibrosis sel, dan nekrosis sel.

3.9 Analisis Data


Data yang diperoleh diolah dan dilihat distribusi datanya normal atau tidak
dengan uji Shapiro-Wilk. Bila distribusi datanya normal, varians datanya sama, diuji
beda dengan menggunakan statistik parametrik One Way Anova, jika P < 0,05
dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Bila diistribusi datanya tidak normal, atau varians
data tidak sama, maka ditansformasi. Jika setelah ditransformasi tetap didapatkan
distribusi data yang tidak normal atau tidak sama, maka dilakukan uji beda
menggunakan statistik non parametrik Kruskal-Wallis, jika didapat P < 0,05
dilanjutkan dengan uji Post Hoc (Mann Whitney test).
a. Jika P < 0,05; maka ada perbedaan yang bermakna
b. Jika P > 0,05; maka tidak ada perbedaan yang bermakna

3.10 Etika Penelitian


Telah didapatkan Ethical Clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Tikus wistar dipelihara di Laboratorium
Farmakologi Terapi dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
Hewan diberi makan dan minum ad libitum. Untuk perlakuan, madu dosis
konversi dicampur dengan air hingga 50ml kemudian disondekan. Hewan

28

diterminasi dengan cara dekapitasi. Pembuatan preparat sesuai dengan metode


baku histopatologis pemeriksaan jaringan.
Seluruh biaya yang berkaitan dengan penelitian akan ditanggung oleh
peneliti.

3.11 Alur Penelitian


25 ekor tikus
Aklimatisasi
Randomisasi

Kp
Kn
Pemberian
Pemberian
Aquadest 1 ml per Aquadest 1 ml per
200 gram BB
200 gram BB

Tanpa pemberian methanol pada


hari ke 6 dan 7

P1
Pemberian
madu 1 ml per
200gram BB

P2
Pemberian
madu 2 ml per
200gram BB

Pemberian dengan methanol 50%


2,25ml pada hari ke 6 dan 7

Dikorbankan pada hari ke-8


Dibedah dan diambil organ ginjal kemudian
dibuat preparat histopatologi
Dibaca dan diamati dengan
pembesaran 400x
Analisis Data
Hasil
Gambar 3.2 Alur Penelitian

P3
Pemberian
madu 3 ml per
200gram BB

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Sampel


Penelitian ini menggunakan sampel 25 ekor tikus wistar jantan yang dibagi
menjadi 5 kelompok yaitu kelompok Kn (kontrol negatif), Kp (kontrol positif), P1
(perlakuan 1), P2 (perlakuan 2), dan P3 (perlakuan 3). Jumlah sample pada
masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus wistar yang ditentukan secara
acak (simple random sampling). Penelitian dilaksanakan selama 7 hari, sampel
diberikan madu dengan sonde lambung setiap hari dan diinduksi metanol pada
hari ke 6 dan 7 satu jam setelah sonde madu. Pada hari ke 8 semua tikus wistar
jantan didekapitasi. Semua sample kemudian diambil organ ginjalnya untuk
dibuat sediaan preparat histopatologis dan dilakukan pengamatan secara
penghitungan jumlah sel ginjal yang mengalami perubahan histopatologis dengan
menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x.

4.2 Analysis Deskriptif


Hasil skoring pembacaan preparat histopatologi ginjal tikus wistar minimal
dalam 100 sel yang dihitung dalam lima lapangan pandang pada setiap kelompok
perlakuan menurut kriteria Venient et Al. Dengan Rerata skor perubahan struktur

histopatologi ginjal tikus wistar yang diperoleh dapat dilihat dari tabel di bawah
ini
Tabel 4.1 Analisis deskriptif sel ginjal tikus wistar
Kelompok

Mean

SD

Minimum

Maksimum

Kontrol Positif (Kp)


1 ml Madu (P1)
2 ml Madu (P2)
3 ml Madu (P3)
Kontrol Negatif (Kn)

2.80
2.60
2.20
1.80
1.00

0.447
0.548
0.447
0.447
0.000

25 - <50%
25 - <50%
25 - <50%
< 25%
< 25%

50 - <75%
50 - <75%
50 - <75%
25 - <50%
< 25%

30

Berdasarkan tabel 4.1, rerata tertinggi perubahan gambaran histopatologis


ginjal tikus wistar terdapat pada kelompok kontrol positif (Kp) dan rerata terendah
terdapat pada kelompok kontrol negatif (Kn). Untuk kelompok perlakuan, nilai rerata
tertinggi perubahan histopatologi ginjal terdapat pada kelompok perlakuan 1 (P1) dan
rerata terendah pada kelompok perlakuan 3 (P3), dimana terdapat penurunan rerata
jumlah sel ginjal tikus wistar yang mengalami perubahan histopatologis dari
kelompok perlakuan 1 sampai dengan kelompok perlakuan 3 seperti terlihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 4.1 Rerata Perubahan Gambaran Histopatologi Ginjal

4.3 Analisis Analitik


Data hasil skoring perubahan histopatologi ginjal tikus wistar diuji
normalitasnya menggunakan Saphiro-Wilk dan hasilnya dapat dilihat pada tabel
4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Hasil uji normalitas Saphiro-Wilk
No

Kelompok

Kontrol Positif

.000

Perlakuan 1

.006

Perlakuan 2

.000

31

Perlakuan 3

.006

Kontrol Negatif

.000

Dari tabel di atas, didapatkan distribusi data tidak normal (p < 0.05) tetapi
homogenitas

varians

didapatkan

normal,

kemudian

dilanjutkan

dengan

transformasi data, karena sebaran data setelah transformasi masih tidak normal,
maka dilakukan uji non-parametik Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis
didapatkan p = 0.002*, sebagai berikut:

Tabel 4.4 Nilai p pada uji Kruskal-Wallis tiap kelompok


Variabel
Kontrol Positif
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Kontrol Negatif

Median
3
3
2
2
1

Minimum
2
3
2
1
1

Maksimum
3
3
3
2
1

0.002*

Artinya, paling tidak ada perubahan histopatologi ginjal secara bermakna


pada dua kelompok.
Selanjutnya akan dilakukan uji Post Hoc dari metode analitik KruskalWallis yaitu Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan
antar kelompok dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Nilai p pada uji Mann Whitney tiap kelompok


Variabel
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Kontrol Negatif
0.005*
0.004*
Perlakuan 1
0.221
Perlakuan 2
0.221
Perlakuan 3
0.031*
0.093
*Ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05)

Perlakuan 3
0.05*
0.031*
0.093
-

Kontrol Positif
0.004*
0.513
0.072
0.014*

Berdasarkan tabel di atas, uji beda antar kelompok didapatkan bahwa skor
derajat perubahan histopatologi ginjal antara kelompok kontrol negatif dengan

32

seluruh kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif, terdapat perbedaan


yang bermakna, yakni p < 0.05 dengan nilai tertinggi 0.050. Pada kelompok P1
dan P2 tidak terdapat perbedaan yang bermakna, dimana p > 0.05 dengan nilai
0.221, pada kelompok P1 dan P3 terdapat perbedaan bermakna dimana p < 0.05
dengan nilai 0.031, pada kelompok P1 dan Kontrol Positif tidak terdapat
perbedaan yang bermakna dimana p > 0.05 dengan nilai 0.513. Untuk uji beda
kelompok P2 dan P3 tidak terdapat perbedaan yang bermakna dimana p > 0.05
dengan nilai 0.097, pada kelompok P2 dan kontrol positif tidak terdapat
perbedaan yang bermakna dimana p > 0.05 dengan nilai 0.072. Sedangkan uji
beda kelompok P3 dan kontrol positif terdapat perbedaan yang bermakna dimana
p < 0.05 dengan nilai 0.014.

4.4 Pembahasan
Metanol (methyl alcohol=wood alcohol) merupakan cairan tidak berwarna,
mudah menguap dalam suhu kamar dan merupakan bahan yang banyak dipakai
dalam industri sebagai bahan yang banyak dipakai dalam industri sebagai bahan
pelarut, seperti pembersih kaca, pembersih cat, dll (Tjokroprawiro, 2007).
Bahan ini juga sering dipakai pengganti alkohol oleh pecandu-pecandu
alkohol, karena harganya relatif murah. Meskipun bahan ini utamanya hanya
menimbulkan gangguan kesadaran (inebriation), bahan metabolitnya sendiri dapat
menimbulkan asidosis metabolik, kebutaan, dan kematian setelah periode laten
selama 6-30 jam (Tjokroprawiro, 2007).
Ginjal umumnya kurang dipertimbangkan sebagai target organ utama dalam
kasus intoksikasi metanol. Gagal ginjal akut sebelumnya lebih dipertimbangkan
sebagai komplikasi terminal keracunan metanol, akan tetapi episode berulang dari
kerusakan ginjal akut telah banyak didokumentasikan (Closs & Solbeg, 1970).
Mekanisme patofisiologinya masih diragukan, namun pada beberapa deskripsi
terdahulu menjelaskan bahwa mekanisme yang terjadi adalah nekrosis tubulus
proksimal tanpa lesi glomerulus (Erlanson et al, 1965).
Kebanyakan dari pasien dengan keracunan metanol menunjukkan gejala
asidosis asam format berat sebagai akibat penumpukan asam format dan

33

kurangnya ekskresi serta akibat dari produksi asam laktat. Asam format
merupakan suatu

inhibitor terhadap mitochondrial

Penghambatannya

meningkat

seiring

dengan

cytochrome oxidase.

penurunan

pH

dan

akan

menyebabkan hipoksia jaringan dan cedera selular (Liesivouri & Sovalainen,


1991). Keberadaan asam format juga menstimulus absorpsi natrium klorida pada
tubulus proksimal ginjal (Knauf et al, 2001).
Penurunan perfusi darah ginjal juga dipertimbangkan sebagai penyebab
cedera ginjal akut ini (Verhelst et al, 2004). Keadaan mioglobulinuri dan
hemoglobinuri juga dapat terjadi. Mekanisme yang terjadi adalah vasokonstriksi
renal, pembentukan cast intraluminal, dan toksisitas langsung yang diinduksi
protein heme. Terdapatnya mioglobin dan hemoglobin juga menyebabkan
penurunan pH urin (Zafer, 1996).
Madu kaya akan kandungan antioksidan. Kandungan nutrisi dalam madu
yang berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin C, asam organik, enzim, asam
fenolik, flavonoid dan beta karoten yang bermanfaat sebagai antioksidan tinggi
(Gheldof, et al., 2002). Serta Vitamin A, Vitamin E yang juga merupakan salah
satu vitamin antioksidan esensial yang berperan sebagai antioksidan sekunder
yang berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai
(Kumalaningsih, 2006). Dengan demikian pada madu terdapat banyak nutrisi
yang berfungsi sebagai antioksidan dan semua senyawa tersebut bekerjasama
dalam melindungi sel normal dan menetralisir radikal bebas.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan perubahan
gambaran histopatologi sel ginjal tikus wistar yang bermakna dengan nilai
p=0.002. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian madu
terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi metanol. Hal ini
didukung oleh temuan penelitian dalam analisis deskriptif yang menyatakan
bahwa pada kelompok perlakuan 3 terjadi kerusakan sel tubulus ginjal yang
terkecil daripada kelompok perlakuan lain (diluar kelompok kontrol negatif).
Sedangkan dalam analsis analitik antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan
2, dan kelompok perlakuan 2 dengan perlakuan 3, ditemukan perbedaan pada
analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam

34

analisis analitik. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan beberapa komponen
madu yang berfungsi sebagai antioksidan sangat bervariasi dan dimungkinkan
kurang mencukupi untuk mencegah kerusakan ginjal akibat induksi metanol
secara signifikan. Kemudian dapat juga diakibatkan oleh dosis metanol yang
diberikan terlalu banyak sehingga upaya pencegahan kurang bermakna, selain itu
terdapat pula faktor-faktor lain, yaitu rentang dosis madu yang tidak terlalu besar,
waktu penelitian yang singkat, dan faktor stress.
Pada penelitian ini penulis telah meminimalisir bias perhitungan sel dengan
cara menggunakan teknik Single blind dalam pembacaan preparat histopatologis,
namun tidak tertutup kemungkinan bias yang lain antara lain adalah faktor
regenerasi sel tubulus. Dalam penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan
penelitian dengan rentang dosis madu yang lebih besar dan bervariasi, serta masa
perlakuan yang lebih lama. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian mengenai
perbandingan efek akut, subakut, dan kronis dari toksisitas metanol terhadap
ginjal.

BAB 5. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Terdapat pengaruh pemberian madu personde dengan dosis 1ml/hari ,
2ml/hari, dan 3ml/hari terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal tikus
wistar yang telah diinduksi metanol. Pada kelompok kontrol negatif tidak terdapat
perubahan gambaran histopatologi, sedangkan pada kelompok kontrol positif
terdapat perubahan histopatologis yang sangat signifikan.
Dosis pemberian madu berpengaruh terhadap perubahan gambaran
histopatologi ginjal yang diinduksi metanol. Hal ini ditunjukkan semakin tinggi
pemberian dosis madu maka skor presentasi kerusakan sel ginjal yang diinduksi
metanol semakin menurun.

4.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian madu
peroral terhadap organ lain.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian metanol
terhadap kerusakan ginjal dengan dosis yang lebih bervariasi dan waktu
penelitian yang lebih lama dan berjenjang.
c. Perlu dilakukan studi epidemiologi mengenai penggunaan metanol di
msyarakat

36

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1991. Analisis Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf
Laboratorium Pusat Perlebahan Nasional Parung Panjang. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Armandhanu, D. 2011. Minum Arak di Banjarmasin, 4 WN Rusia Tewas.
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/229071-minum-arak-di-banjarmasin-4-wn-rusia-tewas [20 Juli 2013]
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Madu SNI 01-3545-2004. Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Indonesia.
Cloos, K. & Solberg, C.O. 1970. Methanol Poisoning. JAMA
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Drake et Al. 2010. Grays Anatomy for Students 2nd Edition. Philadephia:
Elsenvier.
Erlanson, P., Fritz, H., Hagstam, KE., Liljenberg, B., Tryding, N., dan Voigt, G.
1965. Severe Methanol Intoxication. Scand: Acta Med.
Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, D.F., Purwantyastuti, Nafrialdi, 2005,
Farmakologi dan terapi, Edisi IV, Jakarta: bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Gheldof N, Wang Xiao-Hong, and Engeseth N.J., 2002, Identification and
Quantification of Antioxidant Components of Honeys from Various Floral
Sources, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50, 5870-5877
Gojmerac, W. L. 1980. Bees, Beekeping, Honey and Pollination. Westport,
Connecticut, Madison : AVI Publishing Company, Inc.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Pennsylvania: Elsevier Inc.
Katzung, B. G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI. Jakarta: EGC
Knauf, F., Yang, R. B., Thomson R.B., Metone, S.A., Giebisch, G., dan Aroson,
P.S. 2001. Identification of a Chlooride-formate Exchanger Expressed on
the Brush Border membrane of Renal Proximal Tubule Cells.USA: Proc.
Natl. Acad. Sci.

37

Krell, R. 1996. Value-added products from beekeeping. In: Food and Agriculture
of Organization Agricultural Services Bulletin 124, Rome.
http://www.fao.org/docrep/w0076E/w0076E00.htm [2 Juli 2013].
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami-Penangkal Radikal Bebas, Sumber,
Manfaat, Cara Penyediaan dan Pengolahan. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Liesivouri, J. & Savolainen, H. 1991. Methanol and Formic Acid toxicity :
Biochemical Mechanism.
Mathiharan, K. & Patnaik, A. K. 2010. Modis.Medical Jurisprudence and
Toxicology. 23th edition. Daytona, Ohio: LexisNexis.
McFarlane, P.S., Reid, R., dan Callander, R. 2000. Pathology Illustrated. Ed-5.
London: Churcil Livingstone.
Menteri Keuangan RI. 2010. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 62/PMK.011/2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang
Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol.
Jakarta: Menteri Keuangan RI.
Olaitan, P.B., O.E. Adeleke, and I.O. Ola. 2007. Honey: a reservoir for
microorganisms and an inhibitory agent for microbes. J. of African Health
Sciences.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC.
Sihombing, D. 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universitas Press.
Silalahi, J. 2006. Makanan Fungsional. Jogjakarta: Kanisius.
Susanto. 2007. Terapi Madu. Jakarta : Penebar Swadaya Plus. Hal. 27-28, 30-32.
Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press
Velhelst, D., Moulin, P., Haufroid, V., Wittebole, X., Jadoul, M., dan Hantson, P.
2004. Acute Renal Injury Following Methanol Poisoning: Analysis of a
Case Series. International Journal of Toxicology, 23:267-273.

38

White, J. W. 1979. Composition of Honey. In: Crane, E. (Editor). Honey : A


Comprehensive Survey. London: Heinemann.
Winarno, F.G. 1982. Madu: Teknologi Khasiat dan Analisa. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Zager, R.A. 1996. Rhabdomyolysis And Myohemoglobinuric Acute Renal
Failure. Kidney int, 49:314-326

39

Lampiran A. Hasil Perhitungan Sel Ginjal


Lp4
Lp5
N AN N AN
13 - 20 3
16 2 14 21 1 16 3

D
E

Lp1
Lp2
Lp3
N AN N AN N
AN
24 11 8
4 14
5
23 6 15 3 23
4
29 2 20 - 14
66666
24 3 26 2 21
4
24 3 18 5 22
-

9
32

2
-

12
21

5
-

P1

A
B
C
D
E

15
6
15
6
10

13
10
8
17
10

12
14
17
16
7

13
12
7
14
16

5
9
12
11
11

14
10
13
11
18

6
14
4
12
12

8
8
10
9
7

11
12
9
13
7

11
7
13
10
11

P2

A
B
C
D
E

13
17
15
10
10

16
8
11
14
12

10
8
8
7
15

8
11
12
15
9

12
10
13
12
20

9
11
15
13
8

11
6
6
13
15

5
19
11
12
8

9
23
3
22
7

8
11
8
8
17

P3

A
B
C
D
E

16
20
10
10
22

4
9
9
8
4

17
21
12
15
16

9
10
7
5
3

19
21
21
22
10

8
3
2
6
9

19
15
13
22
12

9
7
8
4
7

25
10
21
17
6

3
5
7
2
11

KP

A
B
C
D
E

16
8
10
9
7

17
14
12
11
19

11
15
10
16
7

19
11
12
13
18

13
12
9
13

17
10
15
13
18

3
17
7
16
7

18
9
7
15
16

6
5
8
2
8

8
11
8
8
12

Kn

A
B
C

40

Lampiran B. Gambaran Perubahan Histopatologi Ginjal


B.1 Kontrol Negatif

1
1
2

Catatan:
1. Tubulus Normal
2. Glomerulus
B.2 Kontrol Positif

1
2

3
3
3

Catatan:
1. Tubulus Normal
2. Glomerulus
3. Tubulus Abnormal

41

B.3 Perlakuan 1

1
3

Catatan:
1. Sel Tubulus Normal
2. Glomerulus
3. Sel Tubulus Abnormal
B.4 Perlakuan 2

2
3
2
1
3

Catatan:
1. Tubulus Normal
2. Glomerulus
3. Tubulus Abnormal

42

B.5 Perlakuan 3

2
3
1

1
2

Catatan:
1. Sel Tubulus Normal
2. Glomerulus
3. Sel Tubulus Abnormal

43

Lampiran C. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas


C.1 Uji Normalitas Shapiro-Wilk
b

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
Skor
Kontrol Positif

Statistic

df

Shapiro-Wilk
Sig.

Statistic

df

Sig.

.473

.001

.552

.000

Perlakuan 1

.367

.026

.684

.006

Perlakuan 2

.473

.001

.552

.000

Perlakuan 3

.367

.026

.684

.006

a. Lilliefors Significance Correction


b. Skor is constant when Kelompok = Kontrol Negatif. It has been omitted.

C.2 Uji Homogenitas


Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic
Skor

Based on Mean
Based on Median

df1

df2

Sig.

1.016

16

.412

.267

16

.848

Based on Median
.267
3
15.385
and with adjusted df
Based on trimmed
1.016
3
16
mean
a. Skor is constant when Kelompok = Kontrol Negatif. It has been omitted.

.848
.412

44

Lampiran D. Hasil Uji Statistik Kruskal-Wallis

45

Lampiran E. Hasil Uji Post Hoc (Mann Whitney)


E.1 Uji Kelompok Kontrol Negatif dengan Perlakuan 1

E.2 Uji Kelompok Kontrol Negatif degan Perlakuan 2

46

E.3 Uji Kelompok Kontrol Negatif degan Perlakuan 3

E.4 Uji Kelompok Kontrol Negatif degan Kontrol Positif

47

E.5 Uji Kelompok Perlakuan 1 dengan Perlakuan 2

E.6 Uji Kelompok Perlakuan 1 dengan Perlakuan 3

48

E.7 Uji Kelompok Perlakuan 1 dengan Kelompok Kontrol Positif

E.8 Uji Kelompok Perlakuan 2 dengan Perlakuan 3

49

E.9 Uji Kelompok Perlakuan 2 dengan Kelompok Kontrol Positif

E.10 Uji Kelompok Perlakuan 3 dengan Kelompok Kontrol Positif

50

51

52

53

Lampiran F. Persetujuan Komisi Etik

54

Anda mungkin juga menyukai