Tatalaksana Nyeri
Nama DM:
201273083
Dokter Pembimbing:
2017
1
1. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait
kerusakan suatu jaringan. International assosiation for the study of pain (IASP)
mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan kondisi aktual atau potensial tejadi kerusakan jaringan.
Tipe nyeri ada beberapa jenis : [1]
a. Nyeri nosiseptif : yang disebabkan oleh nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon
terhadap stimuli yang berbahaya.
b. Nyeri neuropatik : yang disebabkan sinyal yang diproses di sistem saraf perifer atau
saraf pusat yang menggambarkan kerusakan sistem saraf.
Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu distribusi temporal dan
spasial, karakteristik nyeri ( superfisial dan dalam) , gejala klinis yang diakibatkan, dan
pentunjuk-petunjuk lainnya yang mengarahkan ke suatu diagnostik dan penatalaksanaan.
[1] [2]
Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak melindungi badan kita
dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang
berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik)
misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. [3]
Pembagian nyeri
1) Nyeri akut
i) Nyeri somatik luar
Nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa.
ii) Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
iii) Nyeri viseral
Nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam.
2) Nyeri kronik
Sangat subyektif dan dipengaruhioleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lainnya
2
Nyeri ini sulit di lokalisir dan tak ada hubungannya dengan rangsang misalnya
rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut
saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5 2
meter/detik.
Nyeri inflamasi
Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimia atau selular yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya.
Reseptor nyeri
Reseptor nyeri ialah ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual muntah
melalui peningkatan sirkulasi katekolamin akibat stres.
2. Fisiologi Nyeri
a) Transduksi
Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang
kemudian menjadi impuls saraf.
b) Transmisi
Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis
disebut sebagai neuron aferen primer.
Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut
neuron penerima kedua
Neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron
penerima ketiga
c) Modulasi
3
Modulasi nyeri dapat timbul di nosireseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi.
d) Persepsi
Nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas.
4
3. Penilaian nyeri [1]
1. Anamnesis umum
2. Pemeriksaan fisik
3. Anamnesis spesifik nyeri dan evaluasi ketidakmampuan yang ditimbulkan nyeri:
a. Lokasi nyeri
b. Keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
c. Karakter nyeri
d. Intensitas nyeri
e. Gejala yang menyertai
f. Efek nyeri terhadap aktivitas
g. Tatalaksana yang sudah di dapat
h. Riwayat penyakit yang relevan dengan rasa nyeri
i. Factor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien
Dengan penilaian nyeri yang lengkap dapat di bedakan antara nyeri nosiseptif
(somatic dan visera) dengan nyeri neuropatik.
5
Perubahan system otonom regional (perubahan warna, suhu dan
keringat) serta phantom phenomenaSangatlah penting untuk
mengetahui tipe nyeri yang diderita, karena durasi nyeri dan respond
terhadap pemberian obat analgesia beragam antar tipe nyeri.
6
Skala kategorik adalah skala pengukuran derajat nyeri yang menggunakan
kata-kata untuk mendeskripsikan tingkat nyeri atau derajat perbaikan nyeri. Skala
deskripsi verbal (SDV) adalah skala yang paling sering digunakan (dengan
menggunakan kategori: tidak nyeri sama sekali, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat). Berkurangnya derajat nyeri juga dapat dikategorikan dengan
menggunakan SDV (tidak ada perbaikan, sedikit perbaikan, perbaikan sedang,
perbaikan total)
Terdapat kolerasi yang baik antara SDV dengan skala analog visual, namun
SDV kurang sensitive mengukur hasil terapi nyeri dibandingkan dengan Skala
Analog Visual (SAV).
b. Skala Numerik
Skala numerik (Numerical Rating Scale) terdiri atas 2 bentuk, verbal dan
tertulis. Pasien mengukur intensitas nyeri yang dirasakannya dalam skala 0 10
dimana 0 menunjukan tidak ada nyeri dan 10 menunjukan nyeri terburuk yang
dapat dibayangkan, ataupun tingkat berkurangnya nyeri mulai dari 0 yang tidak
ada perbaikan hingga 10 menunjukan perbaikan total
Skala Analog Visual (SAV, VAS = Visual Analog Scale) merupakan garis
horizontal sepanjang 100 mm dengan tanda verbal pada kedua ujungnya.
Pasien diminta membuat tanda pada garis tersebut dan skor yang didapat ialah
jarak dalam mm dari tanda disebelah kiri skala hingga tanda yang dibuat. VAS
adalah skala yang paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
dengan kata tidak nyeri diujung kiri dan sangat nyeri diujung kanan,
sementara bila digunakan untuk mengukur berkurangnya nyeri, tanda verbal yang
digunakan adalah tidak ada perbaikan dan perbaikan total. VAS dapat pula
digunakan untuk mengukur aspek lain dari nyeri (seperti komponen afektif,
kepuasan pasien, efek samping).
7
Nilai VAS lebih dari 70 mm dikategorikan sebagai nyeri berat dan 0-5 mm
tidak nyeri ; 5-44 mm nyeri ringan dan 45-74 nyeri sedang
VAS telah terbukti merupakan skala yang linear bila diterapkan pada pasien
dengan nyeri pasca bedah akut dengan intensitas ringan sedang. Sebagai skala
linear, derajat nyeri terdistribusi merata sepanjang skala sedemikian sehingga
perbedaan derajat nyeri yang dirasakan pasien untuk tiap pertambahan satuan
skala adalah sama.
Skala numerik vebal (SNV, VNRS = Verbal Numerical Rating Scale) adalah
pengukuran derajat nyeri yang dilakukan dengan meminta pasien mengukur
derajat nyeri dengan membayangkan 0 sebagai tidak nyeri dan 10 sebagai
sangat nyeri. Pengukuran dengan skala ini cukup mudah dilakukan, serta
memberikan hasil yang konsisten dan berkolerasi baik dengan VAS.
8
c. Pengukuran Nyeri Multidimensi
Obat analgesia opioid dan non opioid bisa diberikan secara sistemik dengan
berbagai cara. Pemilihan cara pemberian obat bisa ditentukan dengan dberbgai
faktor meliputi etiologi, keparahan, dari nyeri: kondisi dari pasien beroperasi
menyeluruh dan karakteristik dari teknik pemberian yang dipilih. Faktor
tambahan yang bisa dipertimbangkan lagi adalah mudahnya cara penggunaan,
kecepatan analgesia onset, realitas efeknya pada pasien, durasi obat, harga dan
penerimaan pasien pada cara tersebut pemberian. Keterbatasan fleksibilitas dalam
penjadwalan pemberian dosis analgesia terutama dengan cara intermiten dan prn
(tergantung kebutuhan) dalam menghilangkan nyeri terbukti tidak efektif dalam
pembahasan cara pemberian obat analgesia. Penilaian berkala pada tingkat nyeri
pasien dan respon mereka pada terapi yang (termasuk timbulnya berbagai efek
samping) lebih baik dibandingkan dengan sekedar ketaatan pemberian dosis obat.
[1]
i. Jalur oral
9
pemberian obat analgesia beroperasi oral adalah sangat mudah, non
invasif, memiliki efikasi yang baik dan diterima dengan baik oleh pasien.
Selain dalam penanganan nyeri akut yang berat, pemberian beroperasi oral
tidak ada kontraindikasi penggunaannya. Jalur oral adalah cara yang banyak
dipilih dalam pemberian sebagian besar obat analgesia. Keterbatasan
pemberian oral adalah muntah atau memperlambat waktu pengosongan
lambung. Bila analgesia oral dengan dosis multipel diberikan sebelum
motilitas lambung kembali normal, akan menimbulkan akumulasi dosis yang
kemudian masuk melalui usus halus kedalam tubuh kembali secara bersamaan
(efek dumping). ini akan menghasilkan penyerapan sistemik yang tidak bisa
diduga dari obat tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya efek samping
yang merugikan. Panduan tatalaksana nyeri perioperatif. [1]
10
pemberian obat melalui rektal adalah sangat bermanfaat apabila rute
yang yang lain tidak bisa dipergunakan. Hasilnya yaitu melalui penyerapan
kedalam pleksus vena submukosa dari rektum dimana drainasenya pada vena
rektalis superior, medius dan rendah. Obat diserap dari separuh bagian bawah
rektum akan menuju kedalam vena rektalis medius dan inferior lalu menuju
vena cava inferior melalui sistem porta dan mengalami first hepatic
metabolism. Masalah potensial yang dialami melalui rute rektal pada
pemberian suatu obat adalah berkaitan dengan variasi absorpsinya,
menyangkut juga masalah yang memang ada pada rektal itu sendiri dan faktor
kultural. Kontraindikasi panduan tatalaksana nyeri perioperatif penggunaan
rute ini adalah terdapatnya lesi direktal, pasca bedah koloektal yang belum
lama berselang dalam penurunan respon imun. Apabila obat tersebut diberikan
pada pasien yang masih sadar atau dalam pengaruh anestesia adalah sangat
penting dalam memberikan inform consent kepada pasien atau keluarganya
sebelum diberikan melalui rute tersebut.
vi. Jalur transdermal
salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan farmasi/obat
berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
vii. Jalur Transmukosa
Obat yang diberikan transmukosa (intranasal, sublingual, bukan dan paru
) di absorpsi secara cepat menuju sirkulasi sistemik tanpa melewati first
hepatic matabolism .obaat-obatan yang sering dipakai dalam penatalaksanaan
ntei akut adalah opioid yang cepat larut dalam lemak.
6. Farmakologi analgetik
Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu : [4] [5]
a) analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic
(misalnya asetosal dan acetaminofen).
b) analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya
morfin)
a. Analgetika non opioid
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu
enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah
satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah
11
daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri .
Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan
lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit.
Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
i. Salicylates
maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan
lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok
(minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).
fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer
dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk
nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan
ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah
12
iii. Indoles and Related Compounds
pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan
fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan
obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya.
kehamilan.
dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang
rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek anti-
inflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti
13
Contoh obatnya : Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru.
kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.
b. Analgetik Opioid
1 Agonis
Mengaktifkan reseptor.Contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, kodein, alfaprodin.
2 Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor. Contoh: nalokson, naltrekson
3 Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin.
i. Morfin [4]
14
Farmakodinamik : Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan
organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu
menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat
diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah
daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis
yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Eksresi
morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Apabila nyerinya makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar.
Morfin sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark
miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah
spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
Terhadap sistem respirasi harus hati hati, karena morfin dapat melepaskan
Efek samping : Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya)
15
pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan
hipotensi.
Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis
anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/
kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan.
menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral
lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding
morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis
3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri
neuropatik.
a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam
air.
b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
dan takikardia.
d. Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan.
16
e. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
f. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan
kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin
IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada
sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan
dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda
persalinan, akan tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi
pada kelahiran.
Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya
Dosis dan sediaan : Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ;
mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
17
Efek samping : Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan
dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan
kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil
(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan
itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi
menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf
neureptanalgesia.
kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
urin.
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah
18
Efek samping : Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung
yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat
dan kortisol.
iv. Sufentanil
mg/kgBB.
v. Alfentanil
vi. Tramadol
Tramadol atau tramal adalah anagesik sentral dengan afinitas rendah pada
Tamadol dapat diberikan secara oral, im, atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat
ANTAGONIS
vii. Nalokson
Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu,
delta, kappa, signa. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan morfin
akan terliat laju napas meningkat, kantuk hilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah
pembedahan dengan dosis cicil 1-2g/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5
menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan.
19
Dposis intramuskuler 2 kali dosis intravena . pada keracunan opioid diberikan
ml.
viii. Naltrekson
pada pasien ketergantungan opioid . waktu paro plasma 8-12 jam. Permberian oral
7. Penatalaksanaan nyeri
Garis besar terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri terdiri dari: [6]
1) Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
2) Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat
lemah misalnya kodein.
3) Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang
lebih kuat.
20
Tinjauan Pustaka
21