Anda di halaman 1dari 21

Referat

Tatalaksana Nyeri

Nama DM:

Riadhus Machfud Alfian

201273083

Dokter Pembimbing:

Kepaniteraan Klinik Stase Anastesi

Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta

2017

1
1. Definisi

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait
kerusakan suatu jaringan. International assosiation for the study of pain (IASP)
mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan kondisi aktual atau potensial tejadi kerusakan jaringan.
Tipe nyeri ada beberapa jenis : [1]

a. Nyeri nosiseptif : yang disebabkan oleh nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon
terhadap stimuli yang berbahaya.
b. Nyeri neuropatik : yang disebabkan sinyal yang diproses di sistem saraf perifer atau
saraf pusat yang menggambarkan kerusakan sistem saraf.

Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu distribusi temporal dan
spasial, karakteristik nyeri ( superfisial dan dalam) , gejala klinis yang diakibatkan, dan
pentunjuk-petunjuk lainnya yang mengarahkan ke suatu diagnostik dan penatalaksanaan.
[1] [2]

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak melindungi badan kita
dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang
berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik)
misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. [3]

Pembagian nyeri

1) Nyeri akut
i) Nyeri somatik luar
Nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa.
ii) Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
iii) Nyeri viseral
Nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam.
2) Nyeri kronik
Sangat subyektif dan dipengaruhioleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lainnya

Berdasarkan kualitasnya nyeri dibagi menjadi :

1. Nyeri cepat (fast pain)


Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuai rangsang yang diberikan misalnya
nyeri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf kecil
bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12 30 meter/detik.
2. Nyeri lambat (slow pain)

2
Nyeri ini sulit di lokalisir dan tak ada hubungannya dengan rangsang misalnya
rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut
saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5 2
meter/detik.

Nyeri inflamasi

Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimia atau selular yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya.

Tanda-tanda utama inflamasi ialah :

1. Rubor (kemerahan jaringan)


2. Kalor (kehangatan jaringan)
3. Tumor (pembengkakan jaringan)
4. Dolor (nyeri jaringan)
5. Fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan)

Reseptor nyeri

Reseptor nyeri ialah ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual muntah
melalui peningkatan sirkulasi katekolamin akibat stres.

2. Fisiologi Nyeri

Mekanisme Nyeri [3]

Nyeri timbul setelah menjalani setelah menjalani proses transduksi, transmisi,


modulasi dan persepsi.

a) Transduksi
Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang
kemudian menjadi impuls saraf.
b) Transmisi
Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis
disebut sebagai neuron aferen primer.
Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut
neuron penerima kedua
Neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron
penerima ketiga
c) Modulasi

3
Modulasi nyeri dapat timbul di nosireseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi.
d) Persepsi
Nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas.

Zat-zat penghasil nyeri [3]

Pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan


mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul di sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya (Tabel ): bradikinin,
histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostaglandin, substansi P dan
5-hidroksitriptamin. Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.

Table . zat yang timbul akibat nyeri

Zat Sumber Menimbulkan Nyeri Efek pada Aferen


Primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel Sensitisasi
rusak
Lekotrien Asam arakidonat dan sel Sensitisasi
rusak
Substansi P Aferen Primer Sensitisasi

4
3. Penilaian nyeri [1]

Penilaian dan pengukuran derajat nyeri sangatlah penting dalam proses


diagnosis penyebab nyeri. Dengan penilaian dan pengukuran derajat nyeri dapat
dilakukan tata laksana nyeri yang tepat, evaluasi serta perubahan tata laksana sesuai
dengan respond pasien. Nyeri harus di periksa dalam suatu kerangka biopsikososial
dengan memperhatikan factor fisiologis, psikologis serta lingkungan. [1]

Penilaian nyeri meliputi:

1. Anamnesis umum
2. Pemeriksaan fisik
3. Anamnesis spesifik nyeri dan evaluasi ketidakmampuan yang ditimbulkan nyeri:
a. Lokasi nyeri
b. Keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
c. Karakter nyeri
d. Intensitas nyeri
e. Gejala yang menyertai
f. Efek nyeri terhadap aktivitas
g. Tatalaksana yang sudah di dapat
h. Riwayat penyakit yang relevan dengan rasa nyeri
i. Factor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien

Dengan penilaian nyeri yang lengkap dapat di bedakan antara nyeri nosiseptif
(somatic dan visera) dengan nyeri neuropatik.

- Nyeri somatic dapat dideskripsikan sebagai nyeri tajam, panas atau


menyengat, yang dapat di tunjukkan lokasinya serta di asosiasikan dengan
nyeri tekan local di sekitarnya
- Nyeri visera di deskripsikan sebagai nyeri tumpul, kram atau kolik yang tidak
terlokalisir ang dapat disertai dengan nyeri tekan local, nyeri alih, mual,
berkeringat dan perubaha kardiovaskular
- Nyeri neuropatik memiliki ciri khas:
Deskripsi nyeri seperti terbakar, tertembak atau tertusuk
Nyeri terjadi secara paroksismal atau spontan serta tanpa terdapat
factor presipitasi
Terdapatnya diastesia (sensasi abnormal yang tidak menyenangkan
yang timbul spontan ataupun dipresipitasi, hyperalgesia (peningkatan
derajat respond terhadap stimulus nyeri normal), alodinia (nyeri yang
dirasakan akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak
menyebabkan nyeri) atau adanya hipoestesia.

5
Perubahan system otonom regional (perubahan warna, suhu dan
keringat) serta phantom phenomenaSangatlah penting untuk
mengetahui tipe nyeri yang diderita, karena durasi nyeri dan respond
terhadap pemberian obat analgesia beragam antar tipe nyeri.

4. Pengukuran derajat nyeri [1]


Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena sangat
dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologis, psikologi, lingkungan
(pengalaman, budaya, prognosis, strategi mengatasi masalah, rasa takut, ansietas)
karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan mandiri pasien yang bersifat
sensitive dan konsisten sangatlah penting.
Pada keadaan dimana tidak mungkin mendapatkan penilaian mandiri pasien
seperti ada keadaan gangguan kesadaran, ganguan kognitif, pasien pediatric,
kegagalan komunikasi, tidak adanya kerjasama atau ansietas hebat dibutuhkan cara
pengukuran yang lain.
Modalitas yang sering digunakan untuk memberikan informasi tambahan
tentang derajat nyeri pasien antara lain derajat hyperalgesia (ambang respond
mekanik), respond stress (kortisol plasma), respon perilaku (ekspresi wajah), tidak
mampu batuk, serta respond fisiologis (perubahan laju jantung)
Kebutuhan analgesia pasien (contoh total dosis opioid yang dibutuhkan
pasien) juga dapat digunakan sebagai pengukuran post hoe nyeri.
Saat ini derajat nyeri ditetapkan sebagai tanda vital kelima yang bertujuan
untuk meningkatkan kepedulian akan rasa nyeri dan diharapkan dapat memperbaiki
tatalaksana nyeri akut.
Pengukuran derajat nyeri yang regular dan berulang akan membantu
mengetahui adekuat atau tidaknya terapi analgesia. Frekuensi pemeriksaan ulang yang
tepat ditentukan oleh lama dan beratnya nyeri, respon pasien, serta jenis tatalaksana
yang diberikan.
Pengukuran nyeri sebaiknya dilakukan baik pada posisi static (istirahat)
maupun dinamis (duduk, batuk). Pengukuran nyeri static berhubungan dengan
kemampuan pasien untuk tidur, sedangkan pengukuran nyeri dinamik berhubungan
dengan hyperalgesia mekanik dan menentukan apakah analgesia yang diberikan
cukup untuk fungsi penyembuhan.
Bila nyeri tidak dapat di kendalikan, harus dipikirkan adanya diagnosis
diferensial lain seperti adanya komplikasi operasi atau adanya nyeri neuropatik.
Pertimbangkan konsultasi degan Acute Pain Service atau spesialis lainnya.
a. Skala Kategorik

6
Skala kategorik adalah skala pengukuran derajat nyeri yang menggunakan
kata-kata untuk mendeskripsikan tingkat nyeri atau derajat perbaikan nyeri. Skala
deskripsi verbal (SDV) adalah skala yang paling sering digunakan (dengan
menggunakan kategori: tidak nyeri sama sekali, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat). Berkurangnya derajat nyeri juga dapat dikategorikan dengan
menggunakan SDV (tidak ada perbaikan, sedikit perbaikan, perbaikan sedang,
perbaikan total)

Terdapat kolerasi yang baik antara SDV dengan skala analog visual, namun
SDV kurang sensitive mengukur hasil terapi nyeri dibandingkan dengan Skala
Analog Visual (SAV).

Skala kategorik memiliki beberapa kelebihan yaitu pengukuran lebih cepat,


mudah serta masih dapat digunakan pada pasien usia lanjut, pasien dengan
gangguan penglihatan ataupun anak-anak tertentu. Disisi lain skala kategorik
memiliki pilihan lebih sedikit dibandingkan dengan skala numerik sehingga
menimbulkan kesulitan dalam mendeteksi ada tidaknya perbedaan efikasi
beberapa terapi.

b. Skala Numerik

Skala numerik (Numerical Rating Scale) terdiri atas 2 bentuk, verbal dan
tertulis. Pasien mengukur intensitas nyeri yang dirasakannya dalam skala 0 10
dimana 0 menunjukan tidak ada nyeri dan 10 menunjukan nyeri terburuk yang
dapat dibayangkan, ataupun tingkat berkurangnya nyeri mulai dari 0 yang tidak
ada perbaikan hingga 10 menunjukan perbaikan total

Skala Analog Visual (SAV, VAS = Visual Analog Scale) merupakan garis
horizontal sepanjang 100 mm dengan tanda verbal pada kedua ujungnya.
Pasien diminta membuat tanda pada garis tersebut dan skor yang didapat ialah
jarak dalam mm dari tanda disebelah kiri skala hingga tanda yang dibuat. VAS
adalah skala yang paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
dengan kata tidak nyeri diujung kiri dan sangat nyeri diujung kanan,
sementara bila digunakan untuk mengukur berkurangnya nyeri, tanda verbal yang
digunakan adalah tidak ada perbaikan dan perbaikan total. VAS dapat pula
digunakan untuk mengukur aspek lain dari nyeri (seperti komponen afektif,
kepuasan pasien, efek samping).

7
Nilai VAS lebih dari 70 mm dikategorikan sebagai nyeri berat dan 0-5 mm
tidak nyeri ; 5-44 mm nyeri ringan dan 45-74 nyeri sedang

Kelebihan VAS dibandingkan skala pengukuran yang lain adalah: mudah


dan cepat digunakan, serta menghindari penggunaan istilah yang tidak tepat.
Walaupun demikian, skala ini memerlukan konsentrasi dan koordinasi lebih untuk
digunakan, tidak cocok digunakan pada anak dibawah 5 tahun serta mungkin
tidak cocok pada hampir 26% pasien dewasa.

VAS telah terbukti merupakan skala yang linear bila diterapkan pada pasien
dengan nyeri pasca bedah akut dengan intensitas ringan sedang. Sebagai skala
linear, derajat nyeri terdistribusi merata sepanjang skala sedemikian sehingga
perbedaan derajat nyeri yang dirasakan pasien untuk tiap pertambahan satuan
skala adalah sama.

Skala numerik vebal (SNV, VNRS = Verbal Numerical Rating Scale) adalah
pengukuran derajat nyeri yang dilakukan dengan meminta pasien mengukur
derajat nyeri dengan membayangkan 0 sebagai tidak nyeri dan 10 sebagai
sangat nyeri. Pengukuran dengan skala ini cukup mudah dilakukan, serta
memberikan hasil yang konsisten dan berkolerasi baik dengan VAS.

8
c. Pengukuran Nyeri Multidimensi

Pengukuran nyeri multidimensional dapat digunakan untuk mengukur


derajat nyeri, sekaligus memberikan informasi lebih lanjut mengenai karakteristik
nyeri dan dampaknya terhadap individu. Contohnya kuesioner nyeri McGill yang
digunakan untuk mengamati dimensi sensorik, afektif dan evaluative dari nyeri.

Alat pengukur derajat nyeri unidimensional seperti VAS tidaklah cukup


ketika digunakan untuk mengkuantifikasi nyeri neuropatik. Skala spesifik telah
dikembangkan untuk mengidentifikasi (dan/atau mengkuantifikasi) factor
deskriptif spesifik untuk nyeri neuropatik dan memungkinkan evaluasi respond
pengobatan nyeri neuropatik.

d. Pengukuran Nyeri Unidimensional

Beberapa skala dapat digunakan untuk mengukur derajat nyeri ataupun


derajat perbaikan nyeri setelah intervensi. Skala pengukuran nyeri dapat
digunakan untuk membandingkan efikasi beberapa terapi nyeri.

5. Jenis-jenis jalur pemberian analgesia


a. Jalur Pemberian sistemik [1]

Obat analgesia opioid dan non opioid bisa diberikan secara sistemik dengan
berbagai cara. Pemilihan cara pemberian obat bisa ditentukan dengan dberbgai
faktor meliputi etiologi, keparahan, dari nyeri: kondisi dari pasien beroperasi
menyeluruh dan karakteristik dari teknik pemberian yang dipilih. Faktor
tambahan yang bisa dipertimbangkan lagi adalah mudahnya cara penggunaan,
kecepatan analgesia onset, realitas efeknya pada pasien, durasi obat, harga dan
penerimaan pasien pada cara tersebut pemberian. Keterbatasan fleksibilitas dalam
penjadwalan pemberian dosis analgesia terutama dengan cara intermiten dan prn
(tergantung kebutuhan) dalam menghilangkan nyeri terbukti tidak efektif dalam
pembahasan cara pemberian obat analgesia. Penilaian berkala pada tingkat nyeri
pasien dan respon mereka pada terapi yang (termasuk timbulnya berbagai efek
samping) lebih baik dibandingkan dengan sekedar ketaatan pemberian dosis obat.
[1]

i. Jalur oral

9
pemberian obat analgesia beroperasi oral adalah sangat mudah, non
invasif, memiliki efikasi yang baik dan diterima dengan baik oleh pasien.
Selain dalam penanganan nyeri akut yang berat, pemberian beroperasi oral
tidak ada kontraindikasi penggunaannya. Jalur oral adalah cara yang banyak
dipilih dalam pemberian sebagian besar obat analgesia. Keterbatasan
pemberian oral adalah muntah atau memperlambat waktu pengosongan
lambung. Bila analgesia oral dengan dosis multipel diberikan sebelum
motilitas lambung kembali normal, akan menimbulkan akumulasi dosis yang
kemudian masuk melalui usus halus kedalam tubuh kembali secara bersamaan
(efek dumping). ini akan menghasilkan penyerapan sistemik yang tidak bisa
diduga dari obat tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya efek samping
yang merugikan. Panduan tatalaksana nyeri perioperatif. [1]

ii. Jalur intra vena


Obat analgesia yang diberikan secara intravena memilikionset yang
lebih cepat dibandingkan dengan cara pemberian melalui rute lain. [1]
iii. Infus kontinyu
Infus kontinyu dari obat golongan opioid menghasilkan tingkat obat
yang konstan level obat yang konstan dalam plasma darah setelah kira-kira 4
waktu paruh opioid dipergunakan. Tujuan dari penggunaan infus ini adalah
untuk review menghindari masalah akibat puncak kadar obat dalam plasma
darah melalui teknik pemberian intermiten. Akan tetapi beberapa variasi
respon pasien akibat perubahan intensitas nyeri akut dan jeda waktu antara
pemberian dosis infus dan efek yang diharapkan menghasilkan
ketidakadekuatan terapi yang penanggulangan nyeri akut atau menimbulkan
efek samping yang tertunda seperti depresi nafas. Dibandingkan dengan PCA.
Infus opioid intravena kontinyu pada ruang perawatan umum menghasilkan
peningkatan insiden depresi nafas sebanyak 5 kali. [1]
iv. Jalur intra muskular dan subkutan
Injeksi analgesia secara IM dan subkutan (biasanya golongan opioid)
masih sering digunakan untuk untuk menangani nyeri sedang sampai berat.
Absorbsinya dapat terganggu oleh keadaan yang berfusinya sangat jelak
(misalnya hipovolemik, syok, hipotermi atau imobilitas) hal ini juga
disebabkan oleh karena terlambatnya pemberian analgesia dan absopsi yang
lambat dari debo obat saat perfusi sudah kembali normal. [1]
v. Jalur rektal

10
pemberian obat melalui rektal adalah sangat bermanfaat apabila rute
yang yang lain tidak bisa dipergunakan. Hasilnya yaitu melalui penyerapan
kedalam pleksus vena submukosa dari rektum dimana drainasenya pada vena
rektalis superior, medius dan rendah. Obat diserap dari separuh bagian bawah
rektum akan menuju kedalam vena rektalis medius dan inferior lalu menuju
vena cava inferior melalui sistem porta dan mengalami first hepatic
metabolism. Masalah potensial yang dialami melalui rute rektal pada
pemberian suatu obat adalah berkaitan dengan variasi absorpsinya,
menyangkut juga masalah yang memang ada pada rektal itu sendiri dan faktor
kultural. Kontraindikasi panduan tatalaksana nyeri perioperatif penggunaan
rute ini adalah terdapatnya lesi direktal, pasca bedah koloektal yang belum
lama berselang dalam penurunan respon imun. Apabila obat tersebut diberikan
pada pasien yang masih sadar atau dalam pengaruh anestesia adalah sangat
penting dalam memberikan inform consent kepada pasien atau keluarganya
sebelum diberikan melalui rute tersebut.
vi. Jalur transdermal
salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan farmasi/obat
berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
vii. Jalur Transmukosa
Obat yang diberikan transmukosa (intranasal, sublingual, bukan dan paru
) di absorpsi secara cepat menuju sirkulasi sistemik tanpa melewati first
hepatic matabolism .obaat-obatan yang sering dipakai dalam penatalaksanaan
ntei akut adalah opioid yang cepat larut dalam lemak.
6. Farmakologi analgetik
Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu : [4] [5]
a) analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic
(misalnya asetosal dan acetaminofen).
b) analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya
morfin)
a. Analgetika non opioid

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu

enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah

satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah

memblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada

11
daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri .

Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan

lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit.

Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan

dosis besar. Obat- obat Nonopioid Analgesics ( Generic name ) Acetaminophen,

Aspirin, Celecoxib, Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen,

Indomethacin, Ketoprofen, Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid

Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam

Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin. Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid.

i. Salicylates

Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis

prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel,

pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin

maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan

lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok

(minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).

ii. p-Aminophenol Derivatives

Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari

fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer

dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk

nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan

dan keadaan lain. Efek samping kadang-kadang timbul 10 kali peningkatan

ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah

terangsang dan disorientasi.

12
iii. Indoles and Related Compounds

Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada

aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping

menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare,

pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan

jarang terjadi kelainan hati.

iv. Derivat Fenamates

Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam

fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan

obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya.

Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada

kehamilan.

v. Arylpropionic Acid Derivatives

Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis rendah

dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang

menderita polip hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap

aspirin. Efek samping: gejala saluran cerna.

vi. Pyrazolone Derivatives

Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis

rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek anti-

inflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti

agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.

vii. Oxicam Derivatives

13
Contoh obatnya : Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru.

Waktu paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai

kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.

viii. Acetic Acid Derivatives

Contoh Obatnya : Diclovenac (Volatren) : Obat ini adalah penghambat

siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi , analgetik, dan antipiretik.

Waktu paruhnya pendek, dianjurkan untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan

berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distress saluran cerna,

perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.

b. Analgetik Opioid

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia


grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal
tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama
bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor k. [3] [4] [5]

Opioid digolongkan menjadi :

1 Agonis
Mengaktifkan reseptor.Contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, kodein, alfaprodin.
2 Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor. Contoh: nalokson, naltrekson
3 Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin.

Dalam klinik opiodi digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat


(morfin), tetapi penggolongan ini kurang populer. Penggolong lain diantaranya : [3]

a. natural (morfin, kodein, papaverin dan tebain),


b. semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivat tebain) dan
c. sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

i. Morfin [4]

14
Farmakodinamik : Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan

organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat

mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu

analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk

stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi

dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).

Farmakokinetik : Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat

menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat

diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah

daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis

yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Eksresi

morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam

tinja dan keringat.

Indikasi : Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan

atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-

opioid. Apabila nyerinya makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar.

Morfin sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark

miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah

perifer, pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak

spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

Terhadap sistem respirasi harus hati hati, karena morfin dapat melepaskan

histamin, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di

kontraindikasi pada kasus asma dan bronkitis kronis.

Efek samping : Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya)

meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia,

15
pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan

hipotensi.

Dosis dan sediaan : Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.

Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis

anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/

kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yang diperlukan.

ii. Petidin [4]

Farmakodinamik : Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja

sebagai agonis reseptor . Seperti halnya morfin, meperidin (petidin)

menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral

lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding

morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis

3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri

neuropatik.

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :

a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam

air.
b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam

meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang

masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek

analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli

ditemukan dalam urin.


c. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan

dan takikardia.
d. Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih

ringan.

16
e. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak

ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
f. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik : Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun

berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah

suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan

kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin

IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,

kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin

dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada

manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang

kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat

sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan

dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak,

dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda

persalinan, akan tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi

pada kelahiran.

Indikasi : Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.

Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya

yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk

menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik.

Dosis dan sediaan : Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ;

suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50

mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis

untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

17
Efek samping : Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang

ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan

lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

iii. Fentanil [4]

Farmakodinamik : Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid

poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan

dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan

kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil

(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan

itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi

menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf

tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan

neureptanalgesia.

Farmakokinetik : Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara

kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru

ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-

dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat

urin.

Indikasi : Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.

Dosis 1-3 mg/kgBBanalgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya

dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis

besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan

anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah

jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

18
Efek samping : Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung

yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat

mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron

dan kortisol.

iv. Sufentanil

Sufat sufentanilkira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat

dari fentanil. Efek analgeniknya kira-kira 5-10 kali fentanil.dosisnya 0,1-0,3

mg/kgBB.

v. Alfentanil

Kekuatan analgesiknya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual muntahnya sangat

besar. Mulai kerjanya cepat. Dosis analgesil 10-20 g/kgBB.

vi. Tramadol

Tramadol atau tramal adalah anagesik sentral dengan afinitas rendah pada

reseptor (mu) dan kelemahan analgesiknya 10-20% dibandingkan morfin.

Tamadol dapat diberikan secara oral, im, atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat

diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.

ANTAGONIS

vii. Nalokson

Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu,

delta, kappa, signa. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan morfin

akan terliat laju napas meningkat, kantuk hilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah

sebelumnya rendah akan meningkat.

Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir

pembedahan dengan dosis cicil 1-2g/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5

menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan.

19
Dposis intramuskuler 2 kali dosis intravena . pada keracunan opioid diberikan

nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml , sehingga setiapa ml mengandung 0,04

ml.

viii. Naltrekson

Merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan peroral,

pada pasien ketergantungan opioid . waktu paro plasma 8-12 jam. Permberian oral

dapat bertahan selama 24 jam. Naltrekson peroral 5 atau 10 mg dapat mengurangi

pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa

menghilangkan efek analgesianya.

7. Penatalaksanaan nyeri

Garis besar terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri terdiri dari: [6]
1) Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
2) Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat
lemah misalnya kodein.
3) Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang
lebih kuat.

Gambar 4 WHO Three Step Analgesic Ladder

20
Tinjauan Pustaka

[1 A. H. Marsaban, H. Bagianto and E. M. ma'as, Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif,


] Jakarta: PP IDSAI, 2009.

[2 A. Binagwaho, Pain management guidelines, Republic of Rwanda: ministry of Health,


] 2012.

[3 S. A. latief, K. A. Suryadi and M. R. Dachlan, Petunjuk peraktis Anestesiologi edisi


] kedua, Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2009.
[4 A. Muchtar, D. F. Suyatna and i. Darmansjah, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Jakarta:
] Badan Penerbit FKUI, 2012.

[5 A. Arif, S. Mirdhatillah, P. and S. E. Sudrajat, Cara Mudah Belajar Farmakologi, Jakarta:


] Badan Penerbit FKUI, 2014.

[6 WHO, "http://www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/," WHO, [Online]. Available:


] http://www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/. [Accessed 3 Februari 2017].

21

Anda mungkin juga menyukai