oleh :
Vidya Muqsita
112011101036
Pembimbing :
dr. Sugeng, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
Irritable bowel syndrome (IBS) adalah gangguan sistem gastrointestinal
bersifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau sensasi tidak nyaman pada abdomen,
kembung dan perubahan kebiasaan buang air besar. Penyakit ini didasari oleh
perubahan psikologis dan fisiologis yang mempengaruhi regulasi sistem
gastrointestinal, persepsi viseral dan integritas mukosa (Camflerl M, Chang L,
2008).
Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen
dan perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan
konstipasi bergantian serta rasa kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala
yang khas tanpa adanya gejala alarm seperti penurunan berat badan, perdarahan
per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan tes diagnostik yang
sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS, sehingga
diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut.
Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami,
pengobatan utama difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk
mempertahankan fungsi sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup orang
dengan IBS. (Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. 2009)
BAB II
IRRITABLE BOWEL SYNDROME
1. Definisi
Irritable bowel syndrome (IBS) adalah gangguan sistem gastrointestinal
bersifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau sensasi tidak nyaman pada abdomen,
kembung dan perubahan kebiasaan buang air besar. Penyakit ini didasari oleh
perubahan psikologis dan fisiologis yang mempengaruhi regulasi sistem
gastrointestinal, persepsi viseral dan integritas mukosa (Camflerl M, Chang L,
2008).
2. Epidemiologi
Penelitian pada suatu populasi memperkirakan prevalensi IBS 10-20% dan
insidensi IBS berkisar 1-2% per tahun. Dari seluruh kasus IBS, diperkirakan 1020% saja yang berkonsultasi pada tenaga medis. Sekitar 20-50% rujukan ke ahli
gastrienterologi mengarah pada gejala gejala IBS ( Jenifer K Lehrer, dkk, 2013).
Prevalensi dinegara Amerika Utara yaitu 10-15%, sedangkan di Asia diperkirakan
3,5-25%, terendah di Iran dan tertinggi di Jepang. Penelitian terakhir melaporkan
prevalensi IBS di negara-negara Asia berkisar 4-20% dan dikomunitas India
bagian utara adalah 4%. Di Indonesia belum ada data nasional, namun untuk
wilayah Jakarta, 304 kasus gangguan pencernaan yang tergabung dalam penelitian
Asian Functional Gastrointestinal Disorder Study (AFGID) tahun 2013, dilaporan
angka kejadian konstipasi fungsional 5,3% dan angka kejadian IBS tipe konstipasi
sebesar 10,5%. Prevalensi IBS pada wanita sekitar 1,5-2 kali prevalensi laki-laki.
IBS dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan mayoritas pada usia 20-30
tahun dan cenderung menurun seiring bertambahnya usia.
3. Etiologi
Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh
salah satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain
Para peneliti telah menyimpulkan bahwa penyebab dari IBS adalah gabungan
dari beberapa faktor yang akan mengakibatkan gangguan fungsional dari usus.
Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut :
a. Faktor psikologis
Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Seperti jantung dan
paru, sebagian kolon dikontol oleh SSO, yang berespon terhadap stress.
Sebagai comtoh pada saat kita takut detak jantung kita akan bertambah cepat
dan tekanan darah akan naik. Begitu pula dengan kolon, kolon dapat
berkontraksi secara cepat atau sebaliknya. Para peneliti percaya bahwa sistim
limbik ikut terlibat. Pada percobaan dengan binatang, perangsangan stress
akan menyebabkan pelepasan faktor kortikotropin.
Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS
diturunkan dalam keluarga.
d. Peneliti menemukan bahwa gejala IBS sering muncul pada wanita yang
sedang menstruasi, mengemukakan bahwa hormon reproduksi dapat
meningkatkan gejala dari IBS.
e. Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala
setelah menggunakan obat-obatan konvensional seperti antibiotik, steroid dan
obat anti inflamasi.
5
4. Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
c. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon,
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat
rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan
pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini. Ada atau
tidaknya riwayat abuse pada masa anak-anak (seksual, fisik, atau keduanya)
dihubungkan dengan beratnya gejala pada pasien dengan IBS. Ini telah
diusulkan bahwa pengalaman awal pada hidup dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat dan memberikan predisposisi untuk keadaan kewaspadaan yang
berlebihan.
d.
Ketidakseimbangan neurotransmitter
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa neurotransmitter dilibatkan pada
patogenesis IBS. Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95%
di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel
otot polos. Saat dilepas oleh sel enterokromafin, serotonin merangsang serat
saraf aferen vagus ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsik.
Mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik
dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung.
Bukti awal menunjukkan pasien IBS memiliki peningkatan kadar
serotonin pada plasma dan kolon rektosigmoid. Neurotransmitter lain yang
memiliki peranan penting pada kelainan fungsional saluran cerna meliputi
calcitonin generelated peptide, acetylcholine, substance P, pituitary
adenylate cyclaseactivating polypeptide, nitric oxide, and vasoactive
intestinal peptide. Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya
antara kontraktilitas usus dan sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf
usus dan sistem saraf pusat. (Horwitz, et all. 2001)
Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi, motilitas
dan keadaan sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah reseptor
yang tersebar luas pada saraf usus dan eferen sensoris. Sel enterosit
mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan interstitial
10
Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal yang dapat menjelaskan
semua kasus dari IBS. (Horwitz, et all. 2001)
6. Manifestasi klinik
Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung,
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan
kebiasaan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diarea yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume
yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan
diselingi diare atau defekasi yang normal.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan
produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi
yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang
setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang,
sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala. (National Digestive
Diseases Information Clearinghouse. 2007)
7. Kriteria Diagnostik
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan
demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah
umur 50 tahun.
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III (seperti yang dijelaskan tabel 2, 3
dan 4).
11
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3
hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal
berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari
kotoran.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6
bulan sebelum diagnosis.
Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi
kelaianan pada frekuensi kotoran (< 3 kali per minggu atau > 3 kali per hari),
kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair), defekasi
strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan
mukus dan perut kembung.
(Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan Penatalaksanaan Irritable Bowel
Syndrome. I Ketut Mariadi dan I Dewa Nyoman Wibawa. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar.2007)
Tabel 1. Kriteria Rome II
Gejala lain :
o
12
Adanya mukus/lendir
Kembung
13
14
8. Diagnosis
A. Anamnesis
1. Keluhan
1.1 Deskripsi Nyeri
Gejala utama meliputi pola nyeri atau sensasi tidak nyaman, yang berasal
dari gangguan fungsi saluran cerna dan perubahan pola defekasi. Nyeri
berkurang setelah defekasi atau berkaitan dengan perubahan konsistensi
feses. Nyeri tanpa kondisi tersebut harus dipertimbangkan sebagai kondisi
neoplasma, infeksi saluran pencernaan, penyakit urogenital.
1.2 Nyeri konstan
Nyeri konstan yang tidak membaik dengan defekasi merefl eksikan nyeri
neoplastik atau karena sindrom nyeri abdomen fungsional. Hal ini
umumnya berkaitan dengan masalah psikiatri kompleks meliputi
kemungkinan gangguan personal.
1.3 Gangguan defekasi
Klasifikasi tipe diare atau konstipasi merupakan hal penting, dan Bristol
Stool Form merupakan cara yang mudah. Pasien yang mengalami diare
dan konstipasi masingmasing pada periode singkat dimasukkan dalam
kategori mixed. Diare pada IBS umumnya terutama pagi hari dan setelah
makan. Volume diare yang masif, berdarah, dan nokturnal merupakan
gejala yang tidak terkait IBS, dan lebih mengarah pada gangguan organik.
Konstipasi pada IBS ditandai dengan feses berbentuk seperti pil, dan
pasien akan sulit defekasi.
2. Faktor Psikologis
Setidaknya dua pertiga pasien IBS dirujuk ke ahli gastroenterologi dengan
distres psikologis, paling sering anxietas. Stresor (anxietas) penting untuk
diidentifi kasi karena dapat mengganggu respons terapi. Gejala klinis
sering kali merupakan manifestasi somatisasi.
15
3. Faktor Keluarga
Hal penting adalah riwayat keluarga dengan penyakit Infl ammatory
Bowel Disease atau
16
atau penjepitan saraf dapat diidentifi kasi dengan tes Carnett. Tes ini
dilakukan dengan menginstruksikan pasien memfleksikan siku dan
meletakkan di atas dinding dada (posisi sit-up) dan mengangkat kepala.
Apabila nyeri perut berkurang maka hasil tes Carnett negatif, hal ini
mengindikasikan nyeri intraabdominal. Apabila nyeri perut bertambah
maka hasil tes Carnett positif, hal ini mengindikasikan nyeri berasal dari
dinding abdomen, dan sebagian besar didasari oleh nyeri psikogenik.
Pemeriksaan regio perianal dan rectum dilakukan apabila diare,
perdarahan rektal, atau gangguan defekasi.
9. Pemeriksaan penunjang
IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi heterogen, sampai saat ini
belum didapatkan biomarker yang spesifik. Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan
pemeriksaan darah samar feses dianjurkan untuk tujuan skrining. Pemeriksaan
tambahan laju endap darah (LED), serum elektrolit dan pemeriksaan feses untuk
deteksi parasit dapat dilakukan berdasarkan gejala, area geografis, dan temuan
klinis yang relevan seperti pada IBS tipe predominan diare. Pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengeksklusi kelainan organik seperti keganasan kolorektal, dan
diare infeksius. Beberapa ahli merekomendasikan tes pernafasan dan fungsi
tiroid untuk mendeteksi malabsorpsi laktosa dan disfungsi tiroid. Beberapa
pemeriksaan tambahan menurut rekomendasi ACG (American College of
Gastroenterology) dapat dilihat pada tabel
Tabel 2 Rekomendasi ACG untuk pemeriksaan diagnostic pada IBS
Pemeriksaan Diagnostik
Tes Darah Rutin (hitung darah
Rekomendasi
Hanya jika ditemukan tanda alarm
17
Kolonoskopi
IBS tipikal
Tidak direkomendasikan bila tidak ditemukan
18
19
Diare fungsional
Dispepsia fungsional
Penyakit dasar panggul
Gejala
Pemeriksaan
Prognosis
IBS
IBD
IBS merupakan gangguan IBD adalah suatu kondisi
fungsional tanpa disertai
yang digambarkan
cerna
Pasien dengan IBS dapat
cerna
Pasien dengan IBD
darah
Pasien IBS lebih banyak
dibandingkan dengan
dengan diare
Tes feses, X-ray dan
konstipasi
Tampak kelainan pada X-
endoskopi tidak
menunjukan kelainan
IBS tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan
komplikasi kanker
21
22
Absorben dan
galaktosidase
intoleransi laktosa
Efektif apabila mengkonsumsi makanan
Enzim pankreas
Simetikon
pasti
Efektif untuk dispepsia fungsional dan
Arang aktif
Bismuth subsalisilat
Antobiotik
agen yang
mengurangi
tekanan
permukaan
Modifikasi flora
normal
Agen prokinetik
IBS
Mengurangi kembung
Mengurangi kembung; mengurangi distensi
Tegaserod
neostigmin
23
Hindari stress.
24
13. Prognosis
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya
<5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada
perkembangan menjadi keganasan dan penyakit imflamasi. (Manan, Chudahma
dan Ari Fahrial Syam. 2008)
DAFTAR PUSTAKA
1. Ann Gwee, Kok et al. Asian consensus on irritable bowel syndrome. Journal
of Gastroenterology and Hepatology.2009
2. Barbara G,et all. New pathophysiological mechanisms in irritable bowel
syndrome. Aliment Pharmacol Ther.2004
3. Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. Irritable bowel syndrome:
Epidemiology, diagnosis and treatment: An update for health-care
practitioners. Journal of Gastroenterology and Hepatology, 2009
4. Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel
syndrome. Postgrad Med J. 2003
5. Horwitz, et all. Massachusetts Medical Society. Irritable Bowel Sindrome.
The New England Journal of Medicine. 2001
25
26