PENDAHULUAN
1
pada umur dibawah 6 minggu, maka akan terjadi miokarditis dan kematian
mendadak. Hal ini disebabkan oleh pada umur itu sel yang aktif membelah adalah
sel pada jantung. Sedangkan jika CPV menyerang diatas umur 6 minggu maka
pembelahan pada sel miosit akan menurun tetapi pembelahan sel mitotic pada
kripta usus meningkat sehingga gejala yang akan timbul adalah diare (Sendow,
2003). Parvovirus merupakan virus yang menyerang sel krypton bagian dalam
yang menyebabkan silia menjadi pendek dan bahkan satu dengan yang lain
bergabung. Sehingga menyebabkan permukaan reabsorbsi usus mengecil.
Sehingga mengakibatkan kumpulan cairan dalam lumen usus dan akan keluar
bersamaan dengan feses.
Canine parvovirus (CPV) sangat stabil pada pH 3 hingga 9 dan tahan pada
suhu 600C selama 60 menit, serta tahan terhadap pelarut lemak dikarenakan virus
ini tidak beramplop. CPV menjadi inaktif dalam formalin 1%, beta-propiolakton,
dan sinar ultra-violet (Sendow, 2003). Lokalisasi pada proses replikasi virus
merupakan hal yang penting untuk penularan selanjutnya ke individu lainnya,
parvovirus memperbanyak diri pada saluran pencernaan, maka penularan
selanjutnya dapat terjadi melalui kontak langsung terhadap feses hewan terinfeksi.
1.1 Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengarahkan diagnosa pada kasus
dengan nomor protokol 55/KO-PPDH/15-X/2016 berdasarkan anamnesa,
gejala klinis, perubahan patologi anatomi, epidemiologi, serta hasil
pemeriksaan darah rutin. Selain itu, tujuannya adlah untuk mengetahui agen
penyebab penyakit guna melakukan upaya pencegahan pada hewan lain.
2
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1 Materi
sampel yang digunakan adalah:
Laboratorium Sampel
Patologi klinik Darah, urin, feses
Virologi Specimen organ : Usus, limfa, jantung,
ginjal, paru, hati
2.2 Metode
Pada pengumpulan data, metode yang digunakan adalah melalui
pengamatan klinis hewan, pengamatan terhadap lokasi yaitu wilayah RT
no.4 jln. Dr. Goris no. 2, wawancara kepada pemilik anjing, masyarakat
setempat, dan ketua RT. Nekropsi dilakukan di laboratorium Patologi
Anatomi FKH Unud.
Untuk meneguhkan diagnosa dilakukan pengujian di Laboratorium
Patologi klinik menggunakan uji hematologi rutin, uji urin menggunakan
deep stick dan uji fisik feses. Serta pengujian pada Laboratorium Virologi
Veteriner yakni uji HA (hemaglutinasi), isolasi DNA, PCR (Polymerase
Chain Reaction), dan elektroforesis.
2.3 Pengujian Laboratorium Patologi Klinik
2.3.1 Pemeriksaan Ulas Darah (Diferensial dan benda asing)
Darah diambil dari vena cephalica dan dibuat preparat ulas darah
tipis, dengan cara satu tetes darah ayam diteteskan pada gelas objek
pertama dengan posisi mendatar. Gelas objek yang lainnya ditempatkan
pada bagian darah tadi dengan membentuk sudut 45o, sehingga darah
menyebar sepanjang garis kontak antara kedua gelas objek. Selanjutnya,
objek gelas di dorong ke arah depan dengan cepat hingga terbentuk usapan
darah tipis di atas gelas objek. Ulasan darah tersebut dikeringkan di udara,
kemudian difiksasi dalam methanol selama 5 menit, lalu di masukkan
dalam pewarnaan Giemza 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci
dengan air mengalir, dan dikeringkan di udara atau dengan tissue. Preparat
3
ini siap diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x
dengan menggunakan minyak emersi.
Metode Differensiasi
Setiap 100 sel leukosit yang ditemukan, kemudian didifferensiasikan
kedalam kelompok limfosit, monosit, netrofil, eosinofil dan basofil. Hasil
yang diperoleh merupakan jumlah persentase dan kemudian data tersebut
dianalisis.
2.3.2 Penentuan Total Leukosit
Pemeriksaan terhadap total leukosit dilakukan setelah pengambilan
sampel darah dengan cara darah sampel yang telah dicampur dengan
antikoagulan disedot menggunakan pipet leukosit sebanyak 0,5 kemudian
ditambahkan larutan Reagen Turk sampai tanda 10,1 pada pipet leukosit
sehingga terjadi pengenceran sebanyak 20 kali. Kedua ujung pipet leukosit
tersebut dipegang menggunakan jari tengah dan ibu jari, pipet leukosit
diputar-putar pada sumbu panjangnya dengan membentuk angka delapan
agar reagen Turk tercampur dengan baik (homogen). Larutan Reagen yang
terdapat di ujung bagian dalam pipet leukosit yang tidak tercampur lalu
dikeluarkan sebanyak tiga tetes, larutan yang telah tercampur dimasukan
kedalam plat kamar hitung dengan menempatkan ujung pipet leukosit pada
tepi gelas penutup. Karena gaya kapiler maka larutan yang telah tercampur
akan mengalir masuk diantara gelas penutup dengan kamar hitung.
Penghitungan dilakukan terhadap leukosit yang terdapat pada bidang
persegi W menggunakan mikroskop dengan pembesaran objek 10 kali dan
dilakukan kalkulasi sebagai berikut, misalnya jumlah leukosit yang
didapatkan pada empat bidang persegi W adalah N, dan volume keempat
bidang persegi tersebut 4 x 0,1 mm3. Pengenceran dilakukan 20 kali, maka
jumlah leukosit per mm3 adalah (1:0,4) X 20 = 50 N (Jumlah leukosit yang
didapat pada empat bidang persegi W).
4
Pemeriksaan terhadap total eritrosit dilakukan setelah pengambilan
sampel darah dengan cara darah sampel yang telah dicampur dengan
antikoagulan disedot menggunakan pipet eritrosit sebanyak 0,5 kemudian
ditambahkan larutan Reagen Hayem sampai tanda 10,1 pada pipet eritrosit
sehingga terjadi pengenceran sebanyak 20 kali. Kedua ujung pipet leukosit
tersebut dipegang menggunakan jari tengah dan ibu jari, pipet leukosit
diputar-putar pada sumbu panjangnya dengan membentuk angka delapan
agar reagen Hayem tercampur dengan baik (homogen). Larutan Reagen
yang terdapat di ujung bagian dalam pipet eritrosit yang tidak tercampur
lalu dikeluarkan sebanyak tiga tetes, larutan yang telah tercampur
dimasukan kedalam plat kamar hitung dengan menempatkan ujung pipet
eritrosit pada tepi gelas penutup. Karena gaya kapiler maka larutan yang
telah tercampur akan mengalir masuk diantara gelas penutup dengan
kamar hitung. Kamar hitung yang sudah berisi larutan darah diletakkan
dibawah mikroskop dengan penghitungan dilakukan dengan obyektif 45X
Penghitungan jumlah sel darah yang terdapat pada bidang yang
ditengah dengan luas masing-masing 1/25 mm2. Sel yang menyinggung
garis batas sebelah kiri dan sebelah bawah tidak dihitung. Setelah hasil
didapat, maka dilakukan kalkulasi sebagai berikut: N= jumlah eritrosit
pada 5 bidang X 10000 (Dharmawan et al., 2006).
2.3.4 Penentuan Hematokrit
Darah dengan antikoagulansia dimasukkan ke dalam pipet
mikrohematokrit sekitar 6/7 bagian pipet. Tutup ujung masuknya darah
dengan penutup khusus atau malam. Letakkan pipet mikrohematokrit pada
pemusing mikrohematokrit yang mempunyai kecepatan tinggi. Pusingka
dengan kecepatan 10.000 sampa 13.000 rpm selama 5 menit. Bacalah nilai
PCV pada alat baca khusus (microhematicrit reader).
5
2.3.5 Penentuan Haemoglobin
Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL 0,1 N sampai tanda 2
gram %. kemudian darah dengan antikoagulansia diisap dengan pipet Sahli
sampai tepat pada tanda 20 ammo. Bagian luar dari pipet dibersihkan
dengan kertas tissue dengan catatan tidak sampai menghisap darah dalam
pipet. Darah segera dimasukkan denganhati-hati kedalam tabung
hemometer yang berisi larutan HCL 0,1 N tanpa menimbulkan gelembung
udara. Sebelum dikeluarkan, pipet dibilas dengan menghisap dan meniup
HCL yang ada dalam tabung beberapa kali. Bagian luar pipet juga dibilas
dengan beberapa tetes aquadest. Ditunggu 10 menit untuk pembentukan
asam hematin (95%). Lalu, Asam hematin ini diencerkan dengan aquadest
tetes demi tets sambil dimasuk sampai warnanya sama dengan warna
coklat pada gelas standard. Minikus dari larutan dibaca dalam skala gram
%.
2.3.6 Penentuan MCV (Mean Corpuscular Haemoglobin)
Penentuan MCV didapat dari rumus :
MCV = (PCV : Eritrosit) X 10
2.3.7 Penentuan MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin)
Penentuan MCH didapat dari Rumus :
MCH = (Hb : Eritrosit) X 10
2.3.8 Penentuan MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin
Concentration)
Penentuan MCHC didapat dari Rumus :
MCHC = (HB : PCV) X 100
2.3.9 Pemeriksaan Kandungan Urin
Urin anjing ditampung pada sebuah wadah , lalu ambil hanya
sebanyak strip yang diperlukan dari wadah dan segera tutup wadah.
Celupkan strip reagen sepenuhnya ke dalam urin selama dua detik.
Hilangkan kelebihan urine dengan menyentuhkan strip di tepi wadah
spesimen atau dengan meletakkan strip di atas secarik kertas tisu.
6
mungkin tidak akurat jika membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, atau
jika pencahayaan kurang. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis
lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara
visual.
2.3.10 Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dilakukan berdasarkan pengamatan, ada atau tidak
perubahan warna, konsistensi feses, serta bau.
2.4 Pengujian Laboratorium Virologi
Pembuatan bahan (ekstraksi) dibuat dari spesimen organ. Terlebih
dahulu dipotong kecil dan dihaluskan. Organ tersebut dimasukkan dalam
tabung eppendorf menggunakan pipet pastel sambil ditambahkan cairan
Phosphate Buffered Saline (PBS)pH 7,4 sebanyak 1 ml hingga konsentrasi
suspense 10%-20%. Selain itu, dilakukan gerusan pada organ usus untuk
melakukan uji HA. Kemudian dilakukan isolasi DNA.
2.4.1 Cara kerja uji Hemaglutinasi (Teknik Mikrotiter)
Bahan dan Alat yang diperlukan untuk uji tersebut antara lain: plat
mikro, pengencer mikro (mikrodiluter) 0,025 ml, penetes mikro
(mikrodropper) atau pipet mikro 0,025 dan 0,05 ml, pengocok mikro
(mikroshaker), antigen (suspense virus atau bahan pemeriksaan), suspense
sel darah merah, dan PBS pH 7,2 dan air suling.
Siapkan semua bahan dan peralatan yang diperlukan, isilah lubang
pada plat mikro masing-masing dengan 0,025 ml PBS dengan
menggunakan penetes mikro atau pipet mikro, tambahkan pada lubang
pertama dan kedua suspense antigen yang akan diuji, tambahkan 0,025 ml
pbs kedalam tiap lubang dan selanjutnya aduk dengan pengocok mikro,
kemudian tambahkan kedalam setiap lubang masing-masing 0,05 ml
suspense sel darah merah 1% dan ayak selama 30 detik, eramkan pada
suhu kamar selama 1 jam dan awasi setiap 15 menit.
2.4.2 Isolasi DNA Virus (Qiagen)
25 gr jaringan dimasukkan ke dalam tube ukuran 1,5 ml. Kemudian
tambahkan buffer ATL sebanyak 180 l lalu dihomogenkan. Kemudian
7
tambahkan 20 l proteinase K lalu vortek hingga tercampur baik.
Kemudian heating pada suhu 56o C selama 1-3 jam.
Vortek selama 15 detik, kemudian tambahkan 200 l buffer AL dan
divortek hingga tercampur baik. Tambahkan 200 l ethanol (96-100%)
lalu di vortek hingga tercampur baik. Ambil sampel kemudian dimasukkan
ke dalam DNeasy Mini Spin Column (mini spin column yang berada
dalam tabung ukuran 2 m yang sudah disediakan). Kemudian di sentrifuge
dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit Buanglah bagian bawah dan
tabung bagian bawah, sedangkan mini spin column (dengan membrane)
digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini Spin Column dalam tabung
baru ukuran 2 ml yang baru (sudah disediakan dalam KIT ).
Kemudian tambahkan 500 l buffer AW1, lalu sentrifuge dengan
kecepatan 8000 rpm Selama 1 menit. Buanglah cairan bagian bawah dan
tabung bagian bawah, sedangkan mini spin column (dengan membrane)
digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini Spin Column dalam tabung
ukuran 2 ml yang baru lalu tambahkan 500 l buffer AW2, lalu sentrifuge
dengan kecepatan 8000 rpm dalam waktu 1 menit. Buanglah cairan
bagian bawah dan tabung bagian bawah, sedangkan mini spin column
(dengan membrane) digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini Spin
Column dalam tabung ukuran 1,5 ml atau 2 ml yang baru (tidak disediakan
dalam KIT). Tambahkan 200 l buffer AE (Langsung ke DNeasy
membrane). Lalu inkubasikan pada suhu ruangan selama 1 menit.
Sentrifuge dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Ulangi sentifuge
dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit untuk hasil yang optimal.
Liquid dalam tabung siap digunakan. Simpan dalam freezer.
8
peneliti atau diagnostian saja (Mahardika et al, 2015). Komponen-
komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA,
sepasang primer, dNTPs (deoxynukleotide triphosphates), buffer PCR,
MgCl2, dan enzyme polymerase DNA (Handoyo, 2000).
Uji PCR dilakukan dengan menambahkan 10x PCR buffer sebanyak
2,5 l ; dNTPs (8 M) sebanyak 2,5 l ; MgCl 2 (25 mM) sebanyak 2,0 l ;
primer 1 (10 mM) sebanyak 1,25 l ; primer 2 (10 mM) sebanyak 1,25 l ;
PE Amplitaq (5 unit/ l) sebanyak 0,125 l ; DNA isolate sebanyak 1 l ;
dan Aquabidest 14,5 l.
Kemudian campuran itu dimasukkan ke dalam mesin Thermocycler
yang telah diprogram dengan kondisi : 1) 95o C selama 7 menit ; 2) 94o C
selama 45 detik ; 3) 55o C selama 45 detik ; 4) 72 o C selama 1 menit,
siklus kemudian diulang dari tahapan ke-2 sampai tahapan ke-4 sebanyak
39 kali ; 6) 72o C selama 5 menit dan 7) 22o C Selama 3 jam.
2.4.4 Elektroforesis dan Visualisasi
Elektroforesis digunakan untuk mengetahui panjang produk basa dari
gen yang diuji. Produk PCR 3 l ditambahkan dengan blue juiceTM (Treat
Mark Invitrogen) 1 l. Selanjutnya dielektroforesis pada 1% (0,5 gr gel
Agarose dalam 50 ml air). Tambahkan TAE (Tri Acid Edta) sebagai buffer
kemudian dipanaskan sampai homogen. Sebanyak 3 l Etidium Bromide
ditambahkan kemudian tunggu 30 menit sampai agar mengental. Setelah
mengental, marker diletakan pada sumur pertama gel, yang berfungsi
untuk mengetahui panjang produk basa yang diharapkan. Mesin
elektroforesis deprogram dengan tegangan 100 volt selama 30 menit, lalu
divisualisasikan di UV Reader, kemudian pita yang terlihat diamati dan
dicocokkan dengan kontrol positif dan dapat di dokumentasikan dengan
kamera dan film polaroid.
9
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN
3.1 Signalment
Nama Pemilik : Ibu Komang
Alamat Pemilik : Jln. Dr. Goris gg. Teknik No. 2 Denpasar
10
Hewan : Anjing
Nama Hewan : Zizi
Ras Hewan : Lokal
Umur : 3 bulan
Jenis Kelamin : Betina
Berat Badan : 1,5 kg
Warna : Hitam Putih
3.2 Anamnesa
Pemilik anjing yakni ibu Komang tinggal di Jl. Dr. goris no.2
Denpasar, Bali. Zizi merupakan salah satu anjing peliharaannya. Ibu
komang memelihara Zizi sejak 1 bulan yang lalu. Zizi merupakan anjing
pemberian dari saudara sepupu ibu Komang. Kondisi Zizi pada saat baru
datang masih terlihat sehat dan aktif bermain.
Ibu Komang memelihara Zizi dengan cara dilepas di pekarangan
rumah bersama 2 anjing dewasa lainnya. Pemilik anjing sesekali memberi
makan dog food ataupun nasi dan kuah, sedangkan untuk minum anjing di
beri air PDAM.
Menurut informasi pemilik, nafsu makan anjing berkurang sejak 2 hari
yang lalu. Aktifitas anjing tidak aktif seperti biasanya dan kondisinya
terlihat lemas. Pada pagi hari anjing mengeluarkan feses yang berwarna
kemerahan serta encer. Untuk vaksinasi, anjing belum pernah diberi
vaksinasi. Pengobatan lain juga belum dilakukan.
11
Gambar 1. Feses pada hewan kasus Gambar 2. Anjing lemas
12
atau kelompok (Budiartha dan suardana, 2007). Faktor penting dalam
penentuan epidemiologi yaitu inang, agen, dan lingkungan. Ketiga faktor
tersebut saling mendukung dalam suatu kejadian penyakit.
3.5.1 Hospes
Hospes dalam kasus ini adalah anjing. Data dari dinas peternakan
Bali, pada tahun 2016 hingga 10 agustus jumlah populasi anjing di
Denpasar selatan terdapat 14.259 ekor. Untuk anjing yang berpemilik
berjumlah 8.833 ekor dan anjing liar berjumlah 5.426 ekor.
Jumlah keseluruhan anjing di RT no.4 tidak diketahui pasti, akan
tetapi menurut ketua RT, jumlah anjing di RT tersebut lebih kurang
berjumlah 15 ekor untuk anjing berpemilik, sedangkan jumlah anjing liar
di wilayah tersebut tidak dapat dipastikan jumlahnya.
Jumlah anjing yang dipelihara ibu Komang berjumlah 3 ekor, 2
anjing dewasa dan 1 anjing muda. 2 anjing lainnya, 1 dari ras husky,
berumur 4 tahun, berjenis kelamin jantan, berwarna hitam putih dan
anjing ras minipom, 4 tahun, berwarna hitam bercampur coklat, berjenis
kelamin betina. Kedua anjing tersebut telah mendapat vaksinasi. Untuk
sistem pemeliharaan, anjing di lepas di pekarangan rumah dan pada
malam hari dimasukkan kedalam kandang. Makanan yang diberikan
biasanya berupa dog food maupun nasi dicampur dengan daging serta
kaldu.
3.5.2 Agen
Berdasarkan anamnesa yang didapat dari pemilik, anjing belum
mendapat vaksinasi atau pengobatan lain. Dalam hal ini, terkait agen di
lapangan tidak terbatas hanya pada satu agen. Dari beberapa pemilik
anjing di wilayah tersebut, anjing mereka sudah diberikan vaksinasi
lengkap dan beberapa belum diberikaan vaksinasi. Vaksin yang didapat
hanya vaksinasi rabies yang dilakukan oleh dinas pemerintah.
3.5.3 Lingkungan
Pemilik anjing dalam kasus ini beralamatkan Jln. Dr. Goris gg.
Teknik no.2 RT no.4 Denpasar Selatan. Anjing dipelihara di lingkungan
13
padat penduduk. Di rumah tersebut terdapat 2 ekor anjing dewasa yaitu
ras mini pom dan ras husky. Cara pemeliharaan anjing yaitu dengan
melepas di pekarangan rumah, dan dikandangkan pada malam hari. Di
sekitar rumah tersebut, terdapat anjing peliharaan milik tetangga serta
ada beberapa anjing liar. Anjing liar pada lingkungan tersebut
merupakan anjing dari lingkungan lain yang berkeliaran di sekitar
tempat pembuangan sampah yang ada di wilayah tersebut. Menurut
pemilik anjing, dikarenakan cara pemeliharaannya dilepas, anjing
peliharaannya sesekali keluar dari pekarangan rumah
Dari beberapa pemilik anjing di wilayah tersebut, anjing mereka
sudah diberikan vaksinasi lengkap. Di wilayah tersebut terdapat tempat
pembuangan sampah sementara yang biasa digunakan warga. Menurut
ketua RT di tempat pembuangan sampah biasanya ditemukan bangkai
anjing liar.
9 Eosinofil 2 2 -10 %
10 Basofil 0 Jarang %
11 Limfosit 75 12 30 %
12 Monosit 2 2-10 %
14
3. Konsistensi Encer
4 Benda Asing -
1 2 3
15
Gambar 8. Hasil Elektroforesis uji PCR pada Canine Parvovirus
Keterangan :
1. Specimen dengan nomor protocol 55/KO-PPDH/15-X/2016
2. Kontrol negatif
3. Kontrol positif
4. Specimen dengan nomor protocol 55/KO-PPDH/15-X/2016
Pada uji PCR yang dilakukan terhadap anjing dengan protokol
55/KO-PPDH/15-X/2016 telah menunjukkan hasil positif yang berarti
anjing tersebut positif terinfeksi Canine Parvovirus. Hal ini ditandai
dengan adanya pita yang sejajar dengan pita control positif.
16
BAB IV
PEMBAHASAN
17
yang fatal, ciri khusus pada pemeriksaan darah dalah leukopenia (Meuner et al,
1985).
Sedangkan neutropenia disebabkan oleh penurunan jumlah neutrophil
yang disebabkan penggunaan neutrophil dalam jaringan dalam proses fagositosis
(Bijanti et al, 2010). Dalam kasus ini penyebab leukopenia dan neutropenia
dicurigai karena adanya infeksi virus. Rendahnya kadar neutrophil dalam darah
diakibatkan karena jika terjadi paparan mikroorganisme dari luar tubuh, maka
neutropil hanya akan berada beberapa saat di dalam sirkulasi kemudian akan
menuju ke jaringan yang mengalami kerusakan (Bijanti et al, 2010).
Gejala klinis yang tampak pada anjing adalah lemas, dehidrasi, anoreksia,
muntah, serta diare berwarna kehitaman bercampur berdarah. Hal tersebut sesuai
dengan yang dikatakan Judge (2011), bahwa gejala klinis pada infeksi parvovirus
adalah anoreksia, depresi, muntah, serta diare berdarah. Selain itu, Purnama et al
(2015), mengatakan bahwa gejala yang khas pada anjing yang terinfeksi CPV-2
yaitu muntah berat, diare, anoreksia, dehidrasi, feses berwarna abu kekuningan
kadang bercampur darah. Penyebab munculnya gejala diare bercampur darah
diakibatkan oleh peradangan dan rusaknya vili-vili usus.
Hasil pemeriksaan feses pada anjing kasus secara makroskopis
konsistensinya encer dan berwarna kehitaman serta terdapat darah. Menurut
sendow salah satu gejala khas pada kasus canine parvovirus (CPV) adalah diare
berdarah serta berwarna kehitaman (Sendow, 2003). Pemeriksaan pada turgor
kulit anjing sangat lambat. Hal ini dapat diindikasikan terjadinya dehidrasi.
Gejala dehidrasi pada penyakit parvovirus juga dilaporkan oleh Judge (2015)
bahwa dehidrasi pada anjing terinfeksi parvovirus terjadi karena kurangnya
arbsorbi cairan oleh usus. Selain itu Canine parvovirus merupakan virus yang
menyerang sel krypton bagian dalam yang menyebabkan silia menjadi pendek dan
bahkan satu dengan yang lain bergabung. Sehingga menyebabkan permukaan
reabsorbsi usus mengecil (Rantam, 2005).
Perubahan lain terjadi pada organ usus yang mengalami perdarahan.
Rusaknya organ usus disebabkan karena usus adalah organ tempat replikasi virus
CPV. Canine parvovirus merupakan virus yang bereplikasi pada sel yang sedang
18
mengalami pembelahan. Apabila CPV menyerang anak anjing pada umur
dibawah 6 minggu, maka akan terjadi miokarditis dan kematian mendadak. Hal
ini disebabkan oleh pada umur itu sel yang aktif membelah adalah sel pada
jantung. Sedangkan jika CPV menyerang diatas umur 6 minggu maka
pembelahan pada sel miosit akan menurun tetapi pembelahan sel mitotis pada
kripta usus meningkat sehingga gejala yang akan timbul adalah diare (Sendow,
2003).
Perubahan lain yang diamati adalah pembengkakan dan kehitaman yang
terjadi pada organ limfa. Menurut Winaya et al (). Salah satu organ yang
mengalami perubahan akibat infeksi CPV adalah organ limfa. Hal ini juga sesuai
dengan sumber lain yang mengatakan bahwa Canine parvovirus suka terhadap
orhan-organ yang sedang mengalami pembelahan seperti usus, jantung, limfa
(Subronto, 2010).
Perubahan lain yang ditemukan pada patologi anatomi adalah perubahan
warna yang terjadi pada organ hati yaitu ikterik. Hal ini sesuai dengan yang
dilaporkan Winaya et al (2014), bahwa kemerahan terlihat pada jaringan paru dan
kekuningan pada hati. Ikterik adalah perubahan warna yang terjadi akibat
banyaknya jumlah bilirubin. Kejadian ikterik pada penyakit parvovirus belum
banyak dilaporkan, hal ini karena perubahan pada organ hati jarang ditemukan.
Tetapi, asam nukleotida spesifik CPV pernah ditemukan dihati dan diginjal (Nho
et al, 1997; Winaya et al 2014). Sumber lain mengatakan bahwa pada kejadian
Canine parvovirus secara makroskopis organ hati, ginjal dan limfa tidak
mengalami perubahan yang spesifik, tetapi pada paru terdapat lobular pnemonia
(Sendow dan Hamid, 2003).
Selain itu, perubahan yang terjadi pada organ adalah perdarahan pada
paru-paru anjing. Kemerahan pada paru disebabkan oleh penebalan septa alveoli
akibat adanya akumulasi eritrosit yang mengindikasikan adanya bakteri coliform.
Dari 16 anjing yang digunakan terdapat 7 anjing yang mengalami penebalan septa
alveoli Winaya et al (2014).
Kajian epidemiologi pada kasus Canine parvovirus meliputi beberapa hal
antara lain: umur, jenis kelamin, ras, status vaksinasi, dan musim. Anjing pada
19
kasus ini berumur 3 bulan. Menurut suartha et al (2011) anjing berumur <3
bulan lebih beresiko 3,09 kali terinfeksi Canine parvovirus dari pada anjing
berumur >3 bulan. Hal ini didukung oleh Godar dan Andrew yang mengatakan
bahwa anjing yang berumur 6 minggu lebih rentan terinfeksi Canine parvovirus.
Hal tersebut hamper sama dengan yang dikatakan sendow (2003), bahwa penyaki
Canine parvovirus menyerang anjing muda terutama berumur dibawah 4 bulan.
Selain itu ras merupakan faktor penting pada penyakit parvovirus. Dalam
penelitiannya, Suartha et al (2011) menemukan prevalensi dari anjing ras
Bassethound dan Spaniel masing-masing 6,3% dan 7,7%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ras tersebut sangat rentan terhadap penyakit parvovirus.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa ras anjing yang rentan terhadap Canine
parvovirus adalah Rottweiler, Pincher, dan Spaniel (Truyen, 2000; suartha et al
2011). hal ini ada kaitannya dengan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan
anjing ras Bassethound dan Spaniel sehingga lebih rentan terserang penyakit.
Dari laporan pemilik anjing belum mendapat vaksinasi apapun. Keparahan
pada infeksi Canine parvovirus sangat erat kaitannya dengan status imun tubuh.
Vaksinasi merupakan salah salu faktor penting dalam terjadinya infeksi virus.
Anjing yang belum divaksinasi beresiko 10,15 kali terinfeksi Canine parvovirus
dibandingkan dengan anjing yang telah divaksinasi (Suartha et al, 2011). Selain
pengobatan untuk agen parvovius belum ditemukan, vaksinasi merupakan cara
penting untuk melakukan pencegahan terhadap infeksi. Selain itu sejarah
vaksinasi juga dapat dijadikan data untuk melakukan diagnose, walaupun dikuti
dengan data gejala klinik dan konfirmasi hasil uji laboratorium (Judge, 2015).
Anjing pada kasus ini terinfeksi pada bulan oktober, dimana bulan tersebut
merupakan bulan peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Untuk faktor
lingkungan seperti suhu, musim, dan kelembapan tidak berpengaruh secara nyata
terhadap infeksi Canine parvovirus, tetapi dalam data penelitiannya prevalensi
anjing yang terinfeksi Canine parvovirus pada bulan oktober tahun 2004-2007 di
kota Denpasar mencapai 3,26% (Suartha et al, 2011). Hal tersebut dapat dipahami
karena pada bulan peralihan musim cuaca tak menentu dan berpengaruh terhadap
penurunan kondisi fisik hewan.
20
Populasi anjing Jumlah yang sakit Jumlah yang mati
3 ekor 1 ekor 1 ekor
21
ada atau tidaknya pita yang sejajar dengan kontrol positif. Dari hasil pembacaan
elektroforesis, didapat panjang DNA virus adalah 960 bp. Hal ini dikarenakan
primer yang digunakan pada proses PCR adalah primer dengan panjang 960 bp.
Primer adalah suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida
yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA template (Handoyo dan
Rudiretna, 2000). Dapat dilihat dari terang atau tidaknya pita yang muncul,
bahwa pita sampel tidak terlalu terang. Terang tidaknya pita pada elektroforesis
berkaitan dengan banyak sedikitnya partikel DNA virus yang menempel pada
marker. Uji PCR merupakan uji yang sensitive terhadap Canine parvovirus.
Dengan menggunakan teknik PCR agen pathogen dapat dideteksi walaupun
memiliki titer yang rendah (Sakulwira et al, 2001).
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, epidemiologi, uji laboratorium
patologi klinik, dan laboratorium virologi, menunjukkan bahwa anjing tersebut
terinfeksi Canine parvovirus. Dalam tindakan pencegahan perlu diperhatikan
bahwa Canine parvovirus dapat tinggal berbulan-bulan dalam lingkungan
penderita CPV. dalam hal ini tindakan yang dilakukan adalah menjaga kebersihan
lingkungan dari tinja menggunakan larutan formalin, ataupun kaporit (Subronto,
2010). Selain itu tindakan vaksinasi juga sangat dianjurkan dilakukan secara
teratur untuk menginduksi kekebalan humoral yang protektif terhadap virus
tersebut.
22
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan temuan gejala klinik, perubahan patologi anatomi, serta
hasil pengujian pada laboratorium Virologi disimpulkan anjing dengan
nomor protocol 55/KO-PPDH/15-X/2016 disebabkan oleh agen virus
Canine parpovirus (CPV).
5.2 Saran
Pemilik anjing seharusnya melakukan hal-hal yang berhubungan
dengan pecegahan penyakit. Vaksinasi pada hewan perlu dilakukan untuk
tindakan pencegahan. Perbaikan sistem pemeliharaan hewan juga perlu
diperhatikan, dikarenakan dipelihara dikawasan padat penduduk yang
terdapat anjing liar. Dalam tindakan pencegahan perlu diperhatikan bahwa
Canine parvovirus dapat tinggal berbulan-bulan dalam lingkungan penderita
CPV. dalam hal ini tindakan yang dilakukan adalah menjaga kebersihan
lingkungan dari tinja menggunakan larutan formalin, ataupun kaporit.
Selain itu tindakan vaksinasi juga sangat dianjurkan dilakukan secara teratur
untuk menginduksi kekebalan humoral yang protektif terhadap virus
tersebut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Bijanti R, Yuliani MGA, Wahjuni RS, Utomo BR. 2010. Patologi Klinik Veteriner.
Airlangga University Press. Surabaya.
Budiarta S, Suardana IW. 2007. Epidemioogi & Ekonomi Veteriner. Universitas
Udayana: Denpasar.
Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner. Universitas Udayana.
Dharmawan, N S. 2009. Anjing Bali dan Rabies. Denpasar. Arti Foundation. Hal
84-120.
Handoyo D, Rudiretra A. 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (PCR). Pusat Bioteknologi Universitas Surabaya: Vol. 9
No. 2:17-29.
Judge PR,. 2015. Management of The Patient With Canine Parvovirus Enteritis.
Vet Education Pty Ltd.
Kelman N. 2015. Parvovirus Diagnosis and Treatment in Outbreaks and
Epidemic.
Mahardika, I G N K, Astawa NM, Kencana GAY, Suardana IBK, Sari TK. 2015.
Teknik Lab Virus. Udayana University press. Denpasar. Bali.
Meuner PC, Cooper BJ, Appel MJG, Slauson DO. 1985. Pathogenesis of Canine
Parvovirus Enteritis: The Importan of Viremia. Cornell University. Ithaca
N.Y.
Purnamasari IAA, Berata K, Kardena IM. 2015. Studi Histopatologi Organ Usus
dan Jantung Anjing Terinfeksi Virus Parvo. Buletin Veteriner Udayana. Vol.
7 No.2:107-113.
Rantam FA .2005. Virologi. Airlangga University Press. Surabaya.
Sakulwira K, Oraveerakul K, Poovorawan Y. 2001. Detection and Genotyping of
Canine Parvovirus in Enteritic Dogs by PCR and RFLP. Research Article.
Sience Asia: 143-147.
Sendow I. 2003. Canine Parvovirus pada Anjing. Balai Penelitian Veteriner:
Wartazoa Vol. 13 No. 2.
Sendow I, Syafriati T. 2004. Seropidemiologi Infeksi Canine Parvovirus pada
Anjing. Balai Penelitian Veteriner Vol. 9 No. 3 :181-190.
24
Sendow I, Hamid H. 2004. Isolasi Virus Penyebab Canine Parvovirus dan
Perubahan Patologik Infeksi pada Anjing. Balai Penelitian Veteriner: 9(1)
46-54
Suartha N, Mustika D, Erawan IGMK, Widiastuti SK. 2011. Prevalensi dan
Faktor resiko Penyakit Virus Parvo Pada Anjing Di Denpasar. Jurnal
Veteriner. Vol. 2 No. 3: 235-240.
Sri AAP. 2013. Faktor-faktor yang Memotivasi Perempuan sebagai Pengelola
Pondok Wisata di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
Jurnal Pariwisata. Vol 13(1):1-10
Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing Dan Kucing.
Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Tabor, B. 2011. Canin Parvovirus. Medimedia Animal Health.
Winaya IBO, Berata IK, Adi AAAM, Kardena IM. 2014. Aspek Patologis Infeksi
Parvovirus pada Anak Anjing di Kota Denpasar. Jurnal Kedokteran Hewan
Vol. 8 :85-89.
Sakulwira K, Oraveerakul K, Poovorawan Y. 2001. Detection and Genotyping of
Canine Parvovirus in Enteritic Dogs by PCR and RFLP. Research Article.
Sience Asia: 143-147
25
LAMPIRAN KASUS
26
akan berwama ungu karena menyerap zat warna Crystal Violet sedangkan bakteri
Gram negative akan berwarna merah karena menyerap zat warna Safranin.
27
2) Penanaman pada Media sulfid Indol Motility (SIM)
Penanaman pada media sulfid Indol Motility (SIM) untuk mengetahui sifat
kuman dalam memproduksi H2S, Indol dan untuk mengetahui pergerakan kuman
(motilitas). Penanaman kuman pada media SIM dilakukan dengan cara
mengambil koloni kuman dan media TSIA menggunakan needle steril kemudian
ditusukkan pada bagian tegak dari medium, selanjutnya media tersebut
dinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370 C. Produksi H2S ditandai dengan
media berwama hitam, produksi indol dapat dilihat setelah ditetesi dengan reagen
Erlich/Kovacs sebanyak 3-5 tetes kedalam media. Bila indol positif akan
terbentuk cicin merah pada permukaan media sedangkan apabila motil, maka akan
lerlibat kuman tumbuh tidak hanya disekitar tempat tusukan.
3) Penanaman pada Media Methyl Red Voges Proskauer (MRVP)
Penanaman pada media Methyl Red Voges Proskauer (MRVP) untuk
mengetahui sifat kuman dalam memproduksi asam tunggal atau campuran dan
acetil metil karbinol. Uji dilakukan dengan cara mengambil koloni dengan ossa
steril kemudian dicelupkan pada media. Media diinkubasikan dengan suhu 37 o C
selama 24 jam. Setelah inkubasi, media dibagi menjadi 2 tabung, tabung pertama
ditetesi dengan reagen MR dan tabung kedua ditetesi dengan reagen VP. Hasil
positif ditandai dengan adanya warna merah pada media
4) Penanaman pada Media Simmon Cimat Agar (SCA)
Penanaman pada media Simmon Cimat Agar (SCA) untuk mengetahui
sifat kuman dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon atau tidak. Koloni
kuman diambil menggunakan ossa steril kemudian diusapkan pada permukaan
medium mulai dari panghal sampai ke ujung yang sama pada media SCA.
Kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37 o C. Hasil positif ditandai
dengan perubahan warna media dari hijau menjadi biru
5) Uji Gula-gula
Uji gula-gula meliputi uji glukosa dan laktosa menggunakan media
berbentuk cair dengan tabung durham di dalamnya. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui adanya fermentasi gula. Dilakukan dengan cara mengambil koloni
pada media biakan dengan ossa steril kemudian dicelupkan pada masing-masing
28
media. Media diinkubasikan pada suhu 37o C selama 24 jam. Hasil positif apabila
media berubah warna sedangkan adanya produksi gas dapat diamati apabila
tabung durham berisi gelembung gas atau terangkat ke atas.
HASIL PEMERIKSAAN
a. Signalment
Nama pemilik : I Made Redes Sanjaya
Alamat : Br. Dinas Biaung Kaja, Ds. Biaung, Kec. Penebel,
Tabanan
Nama hewan : Ayam Broiler
Jenis kelamin : Betina
Warna : Putih
Umur : 13 hari
Berat badan : 0,5 kg
b. Anamnesa
Berdasarkan informasi dari peternak, ayam broiler menunjukkan gejala
sakit dari pagi hari. Ayam-ayam yang sakit langsung dipisahkan dari ayam-ayam
yang masih sehat. Biasanya ayam-ayam yang sakit dibiarkan begitu saja tanpa
diberikan pengobatan. Untuk vaksinasi tidak dilakukan oleh peternak karena
peternakan ini menggunakan sistem kemitraan dimana memang tidak disediakan
program vaksinasi oleh mitra usahanya tersebut.
c. Gejala klinis
Gejala klinis yang teramati pada ayam berupa ayam kurus, feses agak
encer berwarna kekuningan, lemas, tidak aktif bergerak, ayam berbulu kusam,
nafsu makan dan minum ayam broiler menurun. Akoso (1993) melaporkan ayam
yang terserang kolibasilosis, umumnya memperlihatkan tanda-tanda klinis: kurus,
bulu kusam, nafsu makan menurun dan murung. Pertumbuhannya terganggu,
diare, bulu kotor atau lengket di sekitar pantatnya.
29
Gambar 3.1 Ayam Kasus Gambar 3.2. Feses Ayam
d. Epidemiologi
Budiharta dan Suardana (2007) menyatakan epidemiologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang faktor yang menyebabkan, distribusi dan frekuensi
kejadian penyakit di suatu populasi atau kelompok. Sidik epidemiologi dari suatu
penyakit sangat penting dalam membantu menentukan arah penyebab penyakit
dilapangan. Penentuan tersebut berdasarkan analisis detail pada segitiga
epidemiologi yaitu inang, agen, dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut tidak dapat
berdiri sendiri atau dapat dikatakan saling berkaitan satu dengan lainnya.
Hospes
Hospes dalam kasus ini adalah ayam broiler. Peternakan ayam broiler
milik Pak Made ini menggunakan sistem kandang terbuka dan terdiri tiga lantai.
Pakan yang diberikan berupa konsentrat yang didapatkan dari mitra usaha.
Sementara itu, air yang digunakan adalah air sumur. Jumlah populasi ayam yang
dipelihara di peternakan ini adalah sebanyak 6000 ekor. Jumlah ayam yang sakit
sebanyak 88 ekor, dan jumlah ayam yang mati sebanyak 39 ekor. Vaksinasi tidak
dilakukan oleh peternak karena peternakan ini menggunakan sistem kemitraan
dimana memang tidak disediakan program vaksinasi oleh mitra usahanya tersebut.
Agen
Berdasarkan keterangan dari peternak dimana tidak adanya pemberian
obat dan vaksinasi untuk ternak ayam broilernya, maka peluang masuknya
penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit akan sangat
dimungkinkan. Dilihat dari gejala klinis, jumlah ayam yang sakit dan jumlah
kematian ayam yang relatif kecil, sehingga agen penyebab penyakit yang dicurigai
mengarah ke infeksi bakteri atau parasit. Menurut peternak, kasus kejadian
penyakit yang biasa terjadi di peternakan ini adalah kejes (kaki ayam tidak bisa
ditekuk), perut kembung, kaki kering dan E. coli.
Lingkungan
30
Peternakan ayam broiler ini terletak di Br. Dinas Biaung Kaja, Ds. Biaung,
Kec. Penebel, Tabanan. Cuaca yang relatif sejuk dan tidak terlalu panas membuat
banyaknya terdapat peternakan ayam di desa ini khususnya ayam pedaging.
Menurut peternak ada setidaknya 6 peternakan di banjar ini yang letaknya tidak
terlalu jauh dari peternakan ini. Selain peternakan ayam ada juga ternak babi di
dekat peternakan ayam ini.
Berdasarkan keterangan peternak, keadaan cuaca saat ini yang cenderung
berubah-ubah sangat mempengaruhi keadaan ayam. Hal ini akan menyebabkan
ayam rentan mengalami stress yang selanjutnya bisa menurunkan daya tahan
tubuh ayam dan akan memudahkan masuknya penyakit. Kenaikan suhu
lingkungan ini akan membawa berbagai dampak yang spesifik, termasuk ke dunia
peternakan, antara lain meningkatnya stres panas (heat stress) pada ayam
(Quinteiro-Filho et al., 2010). Pada ayam pedaging, saat suhu kandang mencapai
40,6 0C selama 3 jam dapat menyebabkan kematian (Al-Ghamdi, 2008). Selain
itu, peternakan ayam disini rata-rata terletak di wilayah pemukiman penduduk, hal
ini juga bisa menyebabkan hewan menjadi stress jika ayam mendengar suara
bising yang mungkin disebabkan oleh warga, dimana ayam sangat rentan terhadap
suara bising.
Data Epidemiologi Penyakit
Tabel Data Epidemiologi Penyakit
Populasi ayam broiler Jumlah ayam yang sakit Jumlah ayam yang mati
Case Fatality Rate = jumlah yang mati jumlah yang sakit x 100%
= 39 88 x 100% = 44,32 %
31
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Tabel Pemeriksaan Hematologi Rutin
No Darah Rutin Hasil Rujukan Normal Interpretasi
1 Hemoglobin 10,6 g/dl 7 - 13 g/dl Normal
2 Eritrosit 2,9 x 106/ul 2,5 - 3,5 x 106/ul Normal
3 Leukosit 36,4 x 103/ul 12 - 30 x 103/ul Leukositosis
4 Hematokrit 33% 22 - 35 % Normal
5 MCV 113,8 fl 90 - 140 fl Normal
6 MCH 36,5 pg 33 - 47 pg Normal
7 MCHC 32,1 % 26 - 35 % Normal
8 Limfosit 39% 45 - 70 % Limfositopenia
9 Monosit 6% 5 - 10 % Normal
10 Neutrofil 51% 15 - 40 % Neutrofilia
11 Eosinofil 4% 1,5 - 6 % Normal
12 Basofil 0% Jarang Normal
No Uji Hasil
1 Warna Kekuningan
2 Bau Normal
3 Konsistensi Agak encer
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi
Tabel Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi
Jenis Media Keterangan
32
Nutrient Agar Tumbuh 3 koloni
Primary Test
33
Katalase
Oksidase
Secondary test
TSIA
34
kekuningan.
SIM
SCA
35
MRVP
MR VP
Gula gula
Laktosa
36
Glukosa A. Terjadi perubahan warna
dari biru menjadi kuning
B. Terbentuk gas didalam
B tabung durham
glukosa positif (+)
37
ditambah 30 ml akuades dan diaduk sampai homogen, lalu disaring menggunakan
saringan. Fitrat dimasukkan ke tabung sentrifuge samapi volume tabung (skala
10), kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit.
Tabung sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, supernatannya dibuang dengan
cara dituangkan, hasil sedimen yang ada ditabung dihomogenkan, kemudian buat
preparat seperti pemeriksaan langsung dan diperiksa dibawah mikroskop
pembesaran objektif 10X.
3) Metode Apung
Pemeriksaan feses dengan metode apung dilakukan dengan mengambil
feses sebesar biji kemiri ( 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker,
ditambahkan akuades sampai konsentrasinya kira-kira 10% atau 3 gram tinja
ditambah 30 ml akuades dan diaduk sampai homogen, lalu disaring menggunakan
saringan. Fitrat dimasukkan ke tabung sentrifuge samapi volume tabung,
kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit. Tabung
sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, supernatannya dibuang dengan cara
dituangkan, kemudian tambahkan larutan pengapung volume tabung (skala 10)
dan diaduk hingga homogen lalu kembali di sentrifuge selama 2-3 menit. Tabung
sentrifuge secara hati-hati dikeluarkan dari sentrifugator dan diletakkan pada arak
tabung lalu ditambahkan larutan pengapung secara perlahan dengan cara ditetesi
sampai cairan cembung, tunggu 2 menit dengan tujuan memberi kesempatan telur
cacing untuk mengapung kembali kepermukaan, lalu ambil gelas penutup
kemudian disentuhkan pada permukaan cairan pengapung lalu ditempelkan diatas
gelas objek dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 10X
(Natadisastra dan Agoes, 2009).
b. Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses secara Kuantitatif
Pemeriksaan tinja kuantitatif bertujuan untuk memprediksi intensitas (berat
ringannya) suatu infeksi cacing.
Metode Mac. Master
Pemeriksaan metode Mac Master dilakukan dengan menimbang feses
hingga 2 gram lalu meletakannya di gelas ukur, tambahkan larutan pengapung (60
ml) sedikit demi sedikit bersamaan dengan mengaduk hingga homogen, kemudian
38
disaring hingga bagian feses yang besar tersaring, filtratnya ditampung pada gelas
beker lain. Selanjutnya, mengaduk filtrat dengan alat pengaduk magnetik, setelah
itu mengambil cairan dengan pipet pasteur dan memasukkannya ke dalam kamar
hitung Mc. Master (kanan dan kiri) sampai penuh tanpa ada gelembung udara.
Memeriksa dengan mikroskop pembesaran obyektif 10X.
Telur dihitung dengan cara:
39
40
HASIL PEMERIKSAAN
Signalment
a. Nama Pemilik : Adis
b. Alamat : Jl. Nangka Utara Gang Kusuma, Denpasar Timur
c. Nama Hewan : Popi
d. Ras : Mix
e. Jenis Kelamin : Jantan
f. Warna : Dominan putih, ada sedikit coklat di punggung
g. Umur : 2 Bulan
h. Berat Badan : 1,4 kg
41
sibuk kuliah dan bekerja maka semenjak Popi sakit tidak pernah dibawa ke
dokter hewan untuk diperiksa.
Saudari adis memberikan makanan berupa nasi dan hati dan air minum dari
air PDAM. Selama ini hanya si lusi yang pernah diberi obat cacing pada umur 1,5
tahun, selain itu lusi sudah pernah divaksin sebanyak dua kali, yaitu pada umur 6
bulan, dan umur 1 tahun. Untuk ketiga anjing lainnya belum pernah divaksin dan
belum pernah diberikan obat apapun. Menurut keterangan saudari Adis, sebelum
diberi obat cacing, si lusi pernah mengalami diare pada umur 1,5 tahun, dan
setelah diperiksakan ke dokter hewan ternyata si Lusi mengalami Toxocariasis.
Berikut hasil pemeriksaan fisik Popi :
Keadaan umum : Kondisi tubuh sedang, ekspresi muka lesu.
Frequensi nafas : 56x/ menit
Pulsus : 80x/ menit
Temperatur : 37,6 C
Kulit dan rambut : Turgor kulit baik, warna rambut kusam, rambut
kasar dan tidak rontok.
Selaput lendir : Konjungtiva pucat, CRT<2, cermin hidung basah.
Pencernaan : Inspeksi anus bersih, palpasi abdomen tidak ada
rasa sakit.
Syaraf : Refleks pupil dan palpebra baik
Anggota gerak : Dapat berdiri dan berjalan dengan normal..
Berat badan : 1,4 kg
Gejala Klinis
Gejala klinis yang teramati, berupa perut buncit, mukosa pucat,
ekspresi muka lesu, rambut kasar, diare, dan batuk-batuk.
Epidemiologi
Anjing kasus dipelihara secara lepas pada siang hari dan pada malam
harinya dikandangkan. Dirumah saudari adis terdapat 4 ekor anjing (satu ekor
dewasa dan tiga ekor anak). Dari keemapat anjing yang ada, hanya satu anjing
yang terlihat pucat dan lemas.
42
Rumah saudari adis berada di Jalan Nangka Utara gang Kusuma,
Kecamatan Denpasar Timur. Jl. Nangka Utara termasuk daerah yang tidak
terawat, banyak tempat kotor seperti tempat pembuangan sampah, banyak anjing
liar, selokan yang tidak berfungsi, karena banyaknya sampah yang membuat
selokan menjadi tersumbat sehingga pada musim hujan sering terjadi banjir dan
banyak terjadi genangan air sehingga mempermudah penyebaran agen penyakit.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Pemeriksaan Feses
Tabel Hasil Pemeriksaan feses
No. Uji Hasil
1. Warna Coklat
2. Bau Tidak anyer
3. Konsistensi Lunak
Pemeriksaan Urin
43
8 Neutrofil 60 60 70 %
9 Limfosit 34 12 30 %
10 Monosit 5 3 10 %
11 Eosinofil 1 2 - 10 %
12 Basofil 0 01 %
Tabel Hasil Pemeriksaan Ulas Darah
Hasil Keterangan Identifikasi
1.Eritrosit terlihat 1. Anemia
bolong seperti regeneratif
cincin
1
2. Eritrosit 2. Anemia
1
Polikromasi regeneratif
44
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi
Pemeriksaan Feses
Tabel Hasil Pemeriksaan Feses Anjing
Pemerik Pemeriksaan
saan Natif Sedimen
Feses
Pemerik Pemeriksaan
saan Apung EPG
45
Feses
Darah
Anjing Negatif benda
Tidak ada
asing
parasit darah
46
1. Anjing
Epg =
7000
Menurut
Menurut Thienpont et Thienpont et al., Menurut
al., (1986) Bentuk (1986) Bentuk Thienpont et al.,
telur bulat (spherical) telur bulat (1986) Bentuk
dan beberapa oval (spherical) dan telur bulat
dengan dinding tebal. beberapa oval (spherical) dan
Isi berwarna hitam dengan dinding beberapa oval
kecoklatan tebal. Isi berwarna dengan dinding
hitam kecoklatan tebal. Isi berwarna
Identifikasi : hitam kecoklatan
Toxocara canis Identifikasi :
(Thienpont et al., 1986) Toxocara canis Identifikasi :
(Thienpont et al., Toxocara canis
1986) (Thienpont et al.,
1986)
2. Babi
Epg =
26400
Bentuk Elips
Dinding telur Tipis, isi Bentuk Elips Bentuk Elips
larva Dinding telur Dinding telur Tipis,
Tipis, isi larva isi larva
Identifikasi :
Telur Strongyloides Identifikasi : Identifikasi :
(Natadisastra & Agoes, Telur Strongyloides Telur Strongyloides
2005) (Natadisastra & (Natadisastra &
Agoes, 2005) Agoes, 2005)
3. Kuda
47
Negatif Negatif
Epg =
600
Bentuk oval.
Dinding telur tipis
dan halus
Dengan kutub
hampir sama
Berisi morulla
dengan sejumlah
blastomer besar
Identifikasi :
Telur Strongyl
(Thienpont, 1986)
4. Kucin
g
Epg =
9600
Menurut Thienpont et
al., (1986) Bentuk Menurut Menurut
telur bulat (spherical) Thienpont et al., Thienpont et al.,
dan beberapa oval (1986) Bentuk (1986) Bentuk
dengan dinding tebal. telur bulat telur bulat
Isi berwarna hitam (spherical) dan (spherical) dan
kecoklatan beberapa oval beberapa oval
Ukuran telur lebih dengan dinding dengan dinding
kecil dibanding telur tebal. Isi berwarna tebal. Isi berwarna
Toxocara canis hitam kecoklatan hitam kecoklatan
Ukuran telur lebih Ukuran telur lebih
Identifikasi : kecil dibanding kecil dibanding
48
Toxocara cati telur Toxocara telur Toxocara
(Thienpont et al., 1986) canis canis
Identifikasi : Identifikasi :
Toxocara cati Toxocara cati
(Thienpont et al., (Thienpont et al.,
1986) 1986)
Diagnosting
Helminthiasis by
Coprological
5. Sapi
Negatif Negatif
Bentuk oval.
Dinding telur tipis
dan halus
Dengan kutub
hampir sama
Berisi morulla
dengan sejumlah
blastomer besar
Identifikasi :
Telur Strongyl
(Thienpont, 1986)
6. Ayam
49
hexacan embrio hexacan embrio hexacan
Dinding dengan 3 Dinding dengan 3 Dinding dengan 3
lapis lapis lapis
Identifikasi : Identifikasi :
Identifikasi : Telur Railletina sp. Telur Railletina sp.
Telur Railletina sp. (Taylor et al./ 2007) (Taylor et al./ 2007)
(Taylor et al./ 2007)
50
1
2. Trematoda a) Tubuh Eurytem
Sapi berbentuk oval a
1
2 dan relatif
lebar ( Levine,
b)Memiliki 1994.
sucker oral (1) Hal.
dan ventral 124)
sucker (2)
c) Selaput vitelin
tidak menyatu
(3)
3. Cestoda
2 a) Memiliki Railletin
Ayam 1
sucker a sp.
dengan
bentuk (Levine,
melingkar 1994.
(1) Hal. 167)
b) Terdapat
rostelum (2)
c) Tubuh
memiliki
segmen
dengan
3 panjang
sampai 15
cm (3)
Hasil Pemeriksaan
No Materi Identifikasi
Gambar Keterangan
51
1. Tungau a. Memiliki 4 Notoedres sp.
pasang kaki
gemuk pendek (Zajac dan
2 (1). Conboy, 2012.
b. kaki pertama Hal. 218)
1 pendek (2)
3 c. memiliki anus
pada bagian
Dorsal (3)
52
4. Kutu 1 1. Kutu ditemukan Menachantus
pada ayam Stremineus.
2. Antena
menempel pada (Mallophaga :
bagian lateral Pictorial Key
kepala (1) to Some
3. Memiliki 3 Common
2 3
pasang kaki (2) Species On
4. Bagian Chicken,
abdomen Chester J.
ditutupi oleh Stojanovich
rambut kecil (3) and Harry D.
Pratt)
6. Lalat a. Warna tubuh abu Musca
2 abu, memiliki domestica
3 pasang kaki,
sepasang sayap (Domestic
b. Pada vena Flies: Pictorial
keempat Key to
berbelok Common
membentuk Species in
sudut (1) Southern U.S.)
c. Thoraks
memiliki 3 buah
garis hitam (2)
1
53
drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes Satria Yuda Prawira, S.KH.
NIP. 19600504 198702 2 001 NIM. 1209006023
54