Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak
atau unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati
dan mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak, jenis kelamin,
keadaan umum, serta kelainan yang tampak.
Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging setelah
dipotong terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada bagian mulut,
lidah, bibir, dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta
limpa.Maksud dilakukan pemeriksaan post-mortem adalah untuk membuang dan
mendeteksi bagian yang abnormal serta pengawasan apabila ada pencemaran oleh kuman
yang berbahaya, untuk memberikan jaminan bahwa daging yang diedarkan masih layak
untuk dikonsumsi.
Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas pada
limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot masseter, dan
pemeriksaan organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas normal
setiap hari. Jika terdapat abnormalitas pada karkas, organ visceral atau bagian-bagian
karkas lainnya dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 1992).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi dan Kambing adalah alur proses untuk
memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH). Kondisi
Aman dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :

Awal Proses pemotongan (ante mortem), untuk memeriksa penyakit-penyakit yang


menular.
Akhir proses pemotongan (post mortem),yaitu pemeriksaan kesehatan daging untuk
mengetahui kandungan bakteri/bakteri/ parasit dan kelainan patologis yang
membahayakan kesehatan atau yang menyebabkan daging sapi tidak layak lagi untuk
dikonsumsi.
Halal, adalah cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai dengan
ketentuan agama Islam serta di sembelih oleh seorang Muslim. Untuk memenuhi
persyaratan ASUH, proses pemotongan sapi harus dilakukan melalui prosedur dan tahaptahap proses yang baku (standar). Standar dan prosedur operasi (S.O.P) pemotongan sapi
yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sbb:
* Mengistirahatkan sapi dan kambing (rekondisi) yang akan dipotong minimal + 8 jam.
* Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang
berkepentingan.
* Sapi dimasukan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan
sanitasi.
* Sesuai standar Halal, sapi direbahkan mengarah kiblat.
* Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya.
* Dilakukan proses pemotongan.
* Didiamkan beberapa saaat hingga darah betul-betul tiris/ habis, kemudian daging
dimatangkan (aging), dengan cara menyimpannya pada suhu kamar (27 300C) selama
24 48 jam atau pada suhu pendinginan (10 -150C) selama 5 7 hari. Hal ini dilakukan
karena setelah proses pemotongan, karkas (daging)nya akan mengalami rigor mortis,
yaitu pengerasan dan peng-kakuan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat
daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras
dimakan. Penyimpanan karkas, di samping untuk pematangan daging juga bertujuan
untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.

* Proses pemisahan kepala dari badan.


* Proses pengulitan.
* Pemeriksaan kesehatan daging.
* Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan.
Hasil akhir pemeriksaan antemortem dapat dibagi tiga kelompok :
1. Ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang memenuhi syarat normal.
2. Ternak yang ditolak yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih
produktif dan betina bunting
3. Ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang
kondisinya meragukan (Arka dkk, 1988).

Menurut Arka dkk (1985), keputusan hasil akhir pemeriksaan postmortem dapat
digolongkan atas :
1. Karkas serta organ tubuh yang sehat diteruskan kepasaran untuk konsumsi masyarakat.
2. Karkas serta organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan yang
lebih seksama.
3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara lokal hendaknya diiris dan disingkirkan
sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran umum.
4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum atau keseluruhan
atau seluruh karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan semua.
5. Karkas dan organ tubuh yang sehat yang akan diteruskan ke pasar umum diberikan cap
BAIK.

BAB III
HASIL
Laporan Data
1. Pelaksanaan pemeriksaan antemortem dan postmortem di lakukan di daerah Bukit cemara
7, sengkaling
2. Jumlah sapi yang disembelih : 4
3. Jumlah kambing yang disembelih : 40
4. Temuan kasus saat postmortem :
Pneumonia pada kambing
Distomatosis pada sapi

ROSITA ARVIANA

0911310062
PKH-B09
TUGAS PEMERIKSAAN HEWAN QURBAN
Dosen Pengampu : drh.Analis W

1. Cara mengirimkan sampel


a. Distomatosis
Hati diinsisi dengan menggunakan scalpel handle, bila di temukan cacing maka cacing di
ambil dengan menggunakan pinset dan dibuang. Kemudian sampel ditaruh ke dalam pot
plastik yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke Lab patologi
anatomi
b. Pneumonia
Paru-paru diinsisi dengan menggunakan scalpel handle,. Kemudian sampel ditaruh ke
dalam pot plastik yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke Lab
patologi anatomi

2. Temuan yang ada di lapangan

Cacing fasciola hepatica, hati yang mengalami nekrosis, cirosis = pada sapi
Paru-paru yang mengalami pnemunia = pada kambing

3. Penyakit yang di temui


a. Distomatosis
Distomatosis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua trematoda
Fasciola hepatica dan gigantica Fasciola.Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang
bersifat zoonosis. F. hepatica adalah ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena
distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora,
termasuk manusia termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Cacing
dewasa dari kedua jenis dilokalisasi dalam saluran empedu dari hati atau kandung
empedu.
b. Pneumonia

Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada
bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem
pernafasan (Gabor 2003).
Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung baik
akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu auskultasi,
dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai agen etiologi,
radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya toksemia. Secara
patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi
bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.

4. Patogenesanya
a. Distomatosis
Patogenesis tergantung dari metaserkaria yang tertelan
Tidak ada kerusakan selama menembus dinding usus/ cavum peritoneum
Lesi terpenting pada hati di parenkim dan atau ductus biliverus
Pada dasarnya penyakit dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronis
Komplikasi yang terjadi sehubungan dengan infeksi distomatosis ini adalah infeksi
Black disease yang disebabkan Clostridium oedematicus novyi
Metaserkaria di laboratorium dapat hidup lebih dari 1 tahun, di tumbuh-tumbuhan 270340 hari, tergantung kelembaban dan suhu, di silage tahan 35-37 hari

setelah hospes definitif memakan rumput yang tercemar metaserkaria, maka


metaserkaria pecah didalam duodenum setelah bercampur dengan asam pepsin dalam
abomasum dan dilanjutkan dengan gertakan trypsin dan empedu dalam duodenum.
Kalau serkaria langsung termakan diduga akan hancur/mati karena pengaruh asam
pepsin dalam abomasum. Setelah kista pecah maka keluarlah fasciola muda dalam usus
halus.
Setelah 24 jam infeksi , fasciola muda telah ditemukan dalam rongga peritonium ,
dan 4-6 hari setelah infeksi sebagian besar Fasciola muda telah menembus kapsul hati
dan bermigrasi dalam parenkhim hati. Umumnya cacing muda mencapai hati dengan
cara menembus dinding usus, masuk ke ruang peritonium dan seterusnya menyerbu hati.
Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu, pada minggu ke-7 cacing telah

masuk ke saluran empedu dan selanjutnya menjadi dewasa. Derajat kerusakan


tergantung pada banyak sedikitnya metaserkaria yang menginfeksi/tertelan. Kerusakan
terjadi pada parenkhim hati dan saluran empedu.
b. Pneumonia
Patogenesa :

Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau


limfogen. Berat ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah
agen infeksi yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan
limfogen menyebabkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada
berbagai lobus paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela
sp dan Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri
Mycobacterium sp kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma.
Sedangkan agen infeksi yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang
memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya yaitu dengan kerja sama dengan
bakteri patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang jelek.
Radang paru-paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi
ganguan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut
hewan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa
sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami
radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal.
Adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan, konsolidasi yang dalam
keadaan lanjut terjadi pemadatan yang berkonsistensi seperti hati ( hepatisasi). Pada
uji apung jaringan yang berkonolidasi akan melayang ataupun tenggelam. Adanya
eksudat pada saluran pernafasan akan menyebabkan batuk bagi jaringan yang peka,
karena eksudat ini bila dilakukan auskultasi akan terdengar suara ronchi basah dan
hilangnya suara vesikuler. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe kostoabdominal
akan berubah menjadi tipe abdominal.
Menurut Welsh et.al (2004), hampir semua kejadian pneumonia berawal dari
mekanisme pertahanan paru-paru. Dibawah kondisi yang normal, aliran udara utama
dan parenkhim paru-paru mencegah masuknya agen yang berbahaya, menetralisir
serta menyingkirkannya, sehingga paru-paru mengandung sedikit, jika ada, organisme
yang sampai ke bagian ujung paru-paru. Beberapa infeksi alat respirasi berasal dari
partikel debu yang membawa agen infeksi dimana keluar/masuk paru-paru. Untuk
terjadinya suatu infeksi melalui rute aerosol, agen penyebab infeksi harus bersifat
mudah dibawa oleh udara (aerosolized), tahan di udara, dapat ditempelkan pada
dinding alat respirasi dari induk semang yang peka, dan kemudian memperbanyak
diri. Jadi patogenesa dari infeksi penyakit respirasi terkait dengan deposisi partikel
dan agen infeksi dalam alat respirasi.

Di bawah kondisi normal suatu mekanisme pertahanan biokimiawi, fisiologis dan


immunologis secara kompleks melindungi alat pernafasan dari partikel masuk, yang
mungkin bersifat melukai atau infeksius. Mekanisme pertahanan utama alat respirasi
meliputi filtrasi aerodynamika oleh rongga hidung, bersin, refleks laryngealis, refleks
batuk, mekanisme transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi
sistemik maupun lokal.
Selain itu, gambaran anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi
memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru
dibandingkan hewan lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran
gas yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran
gas yang kecil menyebabkan sapi mendapatkan tingkat oksigen alveolar dan
bronchial rendah selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas
fisik/metabolik. Pada saat itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin
memperlambat aktifitas mucociliary dan makrofag alveolar dan menurunkan
kecepatan proses pembersihan paru-paru (Subronto 2003).
Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar
dari pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya
udara sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan
aktifitas fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu,
karena makrofag alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme
pembersihan paru-paru tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat atypical
bioactivity dari lysozyme mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi
lebih mudah menderita infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan
lainnya.

5. Gejala Klinis
a. distomatosis
- Akut : Pada domba, hewan mati mendadak. Dari lubang hidung keluar leleran darah
berbuih dan dari anus keluar darah seperti pada anthrax.
- Kronis : Domba kepucatan menunjukkan adanya anemia (waktu cacing tembus hati),
lemah, nafsu makan menurun dan ada edema melanjut menjadi bottle jaw, kulit kering,
wool kering dan rontok, kekurusan, kadang diare / konstipasi dansedikit demam.
o Cacing biasanya hidup selama 9 bulan di domba kemudian mati dan keluar lewat usus,
tetapi ada beberapa yang hidup 5 tahun dan bahkan pernah 11 tahun.
o Bila hewan menyembuh, gejala akibat infeksi cacing ini berangsur-angsur berkurang,
tetapi lesi pada hati tidak pernah pulih sempurna.

- Pada sapi menunjukkan gejala karakteristik, gangguan pencernaan, konstipasi jelas,


tinja keras. Diare terjadi pada waktu stadium ekstrim. Hewan cepat menjadi kurus, lesu,
dan lemah terutama pada pedet.
Pada Domba dan kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan kematian mendadak
dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada infeksi
yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak malas, tidak gesit, nafsu
makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang bawah
yang disebut bottle jaw, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa sakit,
ternak kurus dan lemah.
b. Pneumonia
Gejala klinis
Pada awalnya radang paru-paru ( pneumonia ) didahului gejala hiperemi pulmonum,
diikuti dyspnoe, frekuensi nafas 40-80 kali permenit, tipe nafas bersifat abdominal,
napasnya mula-mula dangkal kemudian dalam, batuk, setelah berlangsung beberapa hari
muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42C ) kenaikan
suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan
berlangsungnya seperti antigen-antibodi.
Pada inspeksi terkadang tercium bau abnprmal dari pernapasan penderita. Bau
busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) dapat berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri
penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai
ganggren.
Pada auskultasi daerah paru-paru akan terdengar berbagai suara abnormal.
Terdengar suara bronchial ( rhonci basah ) yang seharusnya suara vesicular disebabkan
alveoli terisi cairan radang. Pada pemeriksaan perkusi pada daerah paru-paru tidak
ditemukan adanya perubahan pada batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang
dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi sampai
pekak total pada daerah yang mengalami hepatisasi.
Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi
susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan
nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan
oligouria.
Menurut Cordes et.al (1994) gejala klinis terjadinya pneumonia pada sapi adalah
respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat
pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu ditandai
dengan kenaikan suhu/demam karena kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan dengan

reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi antigenantibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai dengan
kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003).
Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal.
Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau
sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batasbatas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi (Gabor
2003).
Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan
mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan
lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Gabor 2003)

ROSITA ARVIANA
0911310062

PKH-B09
TUGAS PRAKTIKUM PATOLOGI SISTEMIK DAN NEKROPSI
Dosen Pengampu : drh.Nugroho

1. Pemeriksaan Antemortem pada sapi


Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak atau
unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati dan
mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak, jenis kelamin,
keadaan umum, serta kelainan yang tampak.
Hasil akhir pemeriksaan antemortem dapat dibagi tiga kelompok :
1. Ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang memenuhi syarat normal.
2. Ternak yang ditolak yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih
produktif dan betina bunting
3. Ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang
kondisinya meragukan (Arka dkk, 1988).
Manual Kesmavet (1993) mengutarakan bahwa pemeriksaan ante mortem dilaksanakan
dengan mengamati
a. Perhatikan kondisi hewan satu persatu (gerakan hewan, cara berjalan, bulu dan kulit,
mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta cara bernafas).
Hewan yang diduga sakit harus dipisahkan untuk diperiksa lebih lanjut untuk
memastikan penyakitnya
b. Sikap hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari segala arah.
c. Pemeriksaan dilakukan di bawah penerangan yang cukup, misalnya dapat mengenali
perubahan warna pada mata, selaput lendir mulut, hidung dan lubang kumlah
d. Kulit, kelenjar getah bening sub maxillaris, parotidea, prescapularis dan inguinalis.
e. Ada atau tidaknya adanya tanda-tanda hewan potong telah disuntik hormon dan suhu
badannya.
f. Mengadakan pengujian laboratorik apabila terdapat kecurigaan tentang adanya
penyakit yang tidak dapat diketahui dalam pengamatan.

2. Penyebab penyakit yang ditemui pada hewan qurban

A. Distomatosis
Distomatosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak disebabkan
oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola sp,seperti Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica. Fasciola yang menyerang ternak ruminansia di Indonesia hanya satu spesies,
yaitu F. gigantica dan induk semang antaranya, yaitu siput Lymnaea rubiginos.
Kejadiannya lebih sering pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan
sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basa. Fasciolosis pada ternak biasanya tidak
memperlihatkan gejala klinis yang menciri .
B. Pneumonia
Penyebab :
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan
seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab
atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam
satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesakdesakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan
faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Cordes et.al 1994). Selain itu,
adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai
penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya
bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui
bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah).
Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan
Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat
akut. Pada kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering
dijumpai adanya bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan
Pseudomonas aeruginosa.
Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Menurut Welsh et.al (2004), penyakit
pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya,
parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun spesifitas
agen penyebab tersebut adalah :
VIRUS : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever,
Bovine
Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine
Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
BAKTERI : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus
Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus

sp,

JAMUR: Chlamydia psittaci


MYCOPLASMA: Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis
PARASIT: Dictocaulus viviparus
3. Diagnosa
a. Distomatosis
1. Berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan penemuan telur cacing dalam
tinja. Telur cacing Fasciola sp. mirip dengan telur cacing Paramphistomum sp.
dimana telur Paramphistomum sp. lebih besar, lebih transparan dan operculumnya
lebih jelas. Dengan tetesan methyl biru telur Paramphistomum sp. berwarna biru
sedangkan Fasciola sp. tetap kekuning-kuningan.
2. Diagnosa kasus didasarkan atas penemuan parasit (Fasciola sp.) di organ hati
pada pemeriksaan postmortem. Pada pemeriksaan hati, dilakukan insisi atau
penyayatan pada bagian parenkim hati dan saluran empedu, karena cacing
dewasa dapat ditemukan pada saluran empedu dan cacing immature berada pada
jaringan parenkim hati.
B. Pneumonia
Diagnose ;
Saat masih hidup
Didasarkan pada:
a.
Gejala Klinis
Diagnosa pneumonia didasarkan atas gejala klinik yang terlihat dan
dilengkapi dengan pemeriksaan secara auskultasi, perkusi dan dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto rontgent.
Untuk mengetahui etiologi atau agen penyebab pneumonia perlu dilakukan
pemeriksaan mikrobiologis berupa pemeriksaan sputum atau leleran hidung
atau swab trakheal (Cordes et.al 1994).
b.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan ini untuk melihat gambaran sel darah putih dan jika
memungkinkan dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis, terutama untuk
mengetahui keberadaan agen virus. Bahkan pemeriksaan feses natif untuk
mengetahui telur cacing juga dapat dilakukan. Karena larva nematoda
Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paru-paru dapat menyebabkan
peradangan (Lungworm pneumonia).

c.
Pemeriksaan makroskopis
Paru sapi terkena pneumonia oleh M bovis
d. Dengan pengambilan swab pada batang tenggorokan dan bronchus
Saat sudah mati
Pemeriksaan organ paru-paru saat bedah bangkai Pemeriksaan makroskopis
pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang dari kemerahan sampai menjadi
abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah, konsistensinya berubah menjadi
seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan. Pada pengirisan paru-paru
ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai mukopurulen, jaringan parenkim
tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji apung akan melayang atau
tenggelam
4. Differensial diagnose
A. Distomatosis
Pada kasus fascioliasis akut sering kali sulit dibedakan dengan infectious necrotic
hepatitis karena lesinya sangat kecil, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
histopatologis. Kerusakan hati yang hebat dapat dikelirukan dengan haemonchiasis,
eperythrozoonosis, anthrax dan enterotoxaemia
b. Pneumonia
Diagnosa banding lainnya antara lain:
*
gangguan jantung
*
hiperemi pulmonum,
*
oedema pulmonum,
*
emfisema pulmonum
*
laringo-tracheitis
5. Terapi
a. Distomatosis
- Dapat diberikan carbontetrachloride yang sudah dipakai lebih dari 50 tahun. Untuk
domba 1 ml (hanya untuk cacing dewasa). Pemberian secara intra musculer mengurangi
resiko toksisitas disbanding per os.
- Pemberian hexachlorophene (intramuscular). Untuk sapi 220 mg 400 mg/kg bb dalam
3 4 dosis. Untuk domba 20 30 g/hewan.
- Pemberian hexachlorophene (per os). Untuk domba 15 20 mg/kg, akut 40 mg/kg.
Untuk sapi 10 20 mg/kg (efektif untuk cacing dewasa dan stadium parenkimal).

- Pemberian hetol. Untuk domba 150 mg/kg. Anak domba umur 5 6 bulan diberikan
dosis 5 10 gr. Untuk sapi 125 mg/kg.
- Pemberian bithionol. Untuk sapi 30 35 mg/kg bb.
- Pemberian bithionol sulphoxide. Untuk domba 40 mg/kg.
- Pemberian diamphenethide 100 mg/kg (untuk cacing muda) dan150 mg/kg (untuk
cacing dewasa).
- Pemberian oxyclozanida. Untuk domba 15 20 mg/kg dan 3X dosis 45 mg/kg efektif
untuk cacing muda dan akut. Untuk sapi 10 15 mg/kg.
- Pemberian rafaoxanide. Untuk sapid an domba 7,5 mg/kg.
- Pemberian nitroxynil (secara subcutan). Untuk domba dan sapi 10 mg/kg (efektif untuk
cacing dewasa) dan 15 mg/kg (untuk cacing muda umur 4 minggu)
- Beberapa Benzimidazole, Albendazole, dan Oxfenbendazole efektif untuk cacing hati
dan nematode gastrointestinal.
b. Pneumonia
Terapi :
Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan
dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian antibiotic dan
sulfonamid selama 3 hari secara parenteral atau melalui makanan diperlukan untuk
meniadakan agen infeksi oleh bakteri. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C
serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia.
6. Metode Sampling
a. Distomatosis
Hati diinsisi dengan menggunakan scalpel handle, bila di temukan cacing maka di ambil
dengan menggunakan pinset dan cacing dibuang . Kemudian ditaruh ke dalam pot plastik
yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke lab patologi anatomi
b. Pneumonia
Paru-paru diinsisi dengan menggunakan scalpel handle, bila di temukan cacing maka di
ambil dengan menggunakan pinset dan cacing dibuang . Kemudian ditaruh ke dalam pot
plastik yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke lab patologi
anatomi

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1

DISTOMATOSIS

Penyebab :
Cacing Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica

SIKLUS HIDUP

Cacing Fasciola sp. bertelur didalam kantong empedu dan telur keluar mengikuti aliran
empedu didalam ductus choleductus dan mencapai lumen duodenum, kemudian telur
bersama feses keluar saat defikasi.
Pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu (26oC ), PH) telur akan
menetas (17 hari ) dan terbebaslah larva mirasidium. Mirasidium mutlak harus berada
dalam air dan berenang mencari hospes intermidier ( HI ) serasi ialah golongan siput
Lymnaea tumentosa (di Australia ), L. truncatula (Eropa). Didalam tubuh siput tersebut
mirasidium berubah menjadi sporokista yang memperbanyak diri dengan pembelahan sel
secara transversal. Di dalam tubuh sporokista terbentuk banyak redia, pada masingmasing redia induk, terbentuk banyak redia anak ( cercaria ) yang berekor. Kemudian
cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang didalam air, dalam waktu 20-21 hari hari
setelah memasuki tubuh siput.
Pada kondisi menunjang cercaria berenang di air dan mencari tumbuhan air /rerumputan
untuk segera melekat dan ekor dilepaskan dan tubuhnya membentuk zat zat viskus dan
berubah bentuk menjadi metacercaria . Infeksi pada host terjadi bila memakan rumput
yang ditempeli metacercaria . di dalam duodenum kista pecah dan keluarlah cacing
muda. Dalam waktu 24 jam cacing muda sampai dalam ruang peritonium sesudah
menembus dinding usus. Sekitar 4-8 hari sesudah infeksi, sebagaian besar cacing telah
menembus kapsul hati dan migrasi dalam parenkim hati. Migrasi dalam hati memerlukan
waktu 5-6 minggu dan minggu ke-7 telah sampai dalam saluran empedu dan delapan
minggu setelah infeksi cacing telah bertelur.

Lokasi :
Pada ductus biliverus domba, kambing, sapi, ruminansia lain, babi, kelinci, gajah, kuda,
anjing, kucing, kangguru, dan manusia. Pada hospes yang tidak biasa (manusia dan
kuda), cacing dapat ditemukan di paru-paru, bawah kulit, dan lokasi lain. Parasit ini
tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan Fascioliasis / Distomatosis pada domba dan
sapi.

Gejala klinis :
- Akut : Pada domba, hewan mati mendadak. Dari lubang hidung keluar leleran darah
berbuih dan dari anus keluar darah seperti pada anthrax.
- Kronis : Domba kepucatan menunjukkan adanya anemia (waktu cacing tembus hati),
lemah, nafsu makan menurun dan ada edema melanjut menjadi bottle jaw, kulit kering,
wool kering dan rontok, kekurusan, kadang diare / konstipasi dansedikit demam.

o Cacing biasanya hidup selama 9 bulan di domba kemudian mati dan keluar lewat usus, tetapi
ada beberapa yang hidup 5 tahun dan bahkan pernah 11 tahun.
o Bila hewan menyembuh, gejala akibat infeksi cacing ini berangsur-angsur berkurang, tetapi
lesi pada hati tidak pernah pulih sempurna.
- Pada sapi menunjukkan gejala karakteristik, gangguan pencernaan, konstipasi jelas,
tinja keras. Diare terjadi pada waktu stadium ekstrim. Hewan cepat menjadi kurus, lesu,
dan lemah terutama pada pedet.

Patogenesis :
Patogenesis tergantung dari metaserkaria yang tertelan
Tidak ada kerusakan selama menembus dinding usus/ cavum peritoneum
Lesi terpenting pada hati di parenkim dan atau ductus biliverus
Pada dasarnya penyakit dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronis
Komplikasi yang terjadi sehubungan dengan infeksi distomatosis ini adalah infeksi Black
disease yang disebabkan Clostridium oedematicus novyi
Metaserkaria di laboratorium dapat hidup lebih dari 1 tahun, di tumbuh-tumbuhan 270340 hari, tergantung kelembaban dan suhu, di silage tahan 35-37 hari

setelah hospes definitif memakan rumput yang tercemar metaserkaria, maka


metaserkaria pecah didalam duodenum setelah bercampur dengan asam pepsin dalam
abomasum dan dilanjutkan dengan gertakan trypsin dan empedu dalam duodenum.
Kalau serkaria langsung termakan diduga akan hancur/mati karena pengaruh asam
pepsin dalam abomasum. Setelah kista pecah maka keluarlah fasciola muda dalam usus
halus.
Setelah 24 jam infeksi , fasciola muda telah ditemukan dalam rongga peritonium , dan 46 hari setelah infeksi sebagian besar Fasciola muda telah menembus kapsul hati dan
bermigrasi dalam parenkhim hati. Umumnya cacing muda mencapai hati dengan cara
menembus dinding usus, masuk ke ruang peritonium dan seterusnya menyerbu hati.
Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu, pada minggu ke-7 cacing telah
masuk ke saluran empedu dan selanjutnya menjadi dewasa. Derajat kerusakan
tergantung pada banyak sedikitnya metaserkaria yang menginfeksi/tertelan. Kerusakan
terjadi pada parenkhim hati dan saluran empedu.

Manifesasi penyakit bisa dibagi menjadi bentuk akut dan kronis.


Fascioliasis akut, bisa terjadi pada ternak apabila menelan dalam jumlah banyak
metaserkaria dalam waktu singkat. Jumlah fasciola muda menyerbu hati dan
menyebabkan kapsul hati pecah, maka terjadilah perdarahan ke dalam peritonium.
Domba bisa mati dalam beberapa hari. Dalam otopsi akan ditemukan hati yang
membesar, pucat, rapuh dan terlihat jalur-jalur perdarahan pada permukaan hati.
Fascioliasis khronis adalah bentuk umum yang terjadi pada hospes. Hal ini mungkin
karena ternak terinfeksi secara bertahap, sehingga kerusakan hatipun terjadi secara
bertahap. Fascioliasis khronis terjadi dua bentuk, yaitu fibrosis hati dan kholangitis.
Waktu Fasciola muda migrasi dalam hati, maka terjadi kerusakan parenkhim, perdarahan
dan nekrosa. Perjalan cacing juga menimbulkan trombus vena hepatica dan sinusoid hati,
dan gangguan aliran darah oleh tombus ini menimbulkan nekrosis dan iskhaemia dalam
parenkhima hati. Dalam proses penyembuhan jaringan parenkhim diganti dengan serabut
kolagen, maka terjadilan fibrosis. Apabila terjadi banyak lobus hati maka hati menjadi
bentuk tidak teratur dan mengeras (sirosis hati/sirosis hepatis).
Kehadiran cacing hati pada saluran empedu menyebabkan kholangitis. Epitel saluran
empedu mengalami hiperplasia. Sisik cacing dan batil isapnya merusak epitel saluran
empedu, maka reaksi radang menyebabkan terjadi fibrosis pada lamina propria dan
jaringan sekitarnya. Gerakan atau migrasi cacing dalam saluran empedu makin
memperluas kerusakan . telur cacing dalam saluran empedu juga mengundang reaksi
radang. Cacing juga menghisap darah yaitu sekitar 0,2 ml tiap hari tiap cacing, sehingga
terjadi hypoalbuminaemia dan hypoproteinaemia selama infeksi berlangsung.

Perubahan Pascamati :
Pada hewan dewasa perubahan-perubahan sering hanya terbatas pada hati.
Mungkin hewan tersebut sedikit kurus atau pucat. Pada hewan muda perubahanperubahan biasanya lebih mencolok. Kekurusan, anemia, dehidrasi merupakan
perubahan-perubahan penting yang timbul. Pada infeksi akut, hati bengkak karena
degenerasi parenkim atau infiltrasi lemak dibawah selubung hati dan pada bidang
sayatannya terlihat perdarahan-perdarahan disebabkan oleh migrasi parasit-parasit muda.
Dan dalam tingkat ini harus diwaspadai infeksi sekunder salmonella. Perubahan pada hati
dalam tingkat menahun ialah cholangitis, pericholangitis yang menjadikan hepatitis
chronica indurativa (sirosis parasiter). Dinding saluran empedu sangat tebal karena
pembentukan jaringan ikat dan endapan kalsium. Di dalam saluran itu tertimbun massa
detritus yang berlendir dan mengandung distoma dewasa. Sarang-sarang distomum sering
ditemukan di dalam paru-paru dan limpha

Domba sering mati karena distomatosis yang akut. Pada domba terlihat hepatitis fibrinosa
acuta, sepsis dan dehidrasi. Pemberantasan distomatosis harus berdasarkan profilaksis
termasuk pemberantasan induk-induk semang antara (siput).

Diagnosa :
Berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan penemuan telur cacing dalam tinja. Telur
cacing Fasciola sp. mirip dengan telur cacing Paramphistomum sp. dimana telur
Paramphistomum sp. lebih besar, lebih transparan dan operculumnya lebih jelas. Dengan
tetesan methyl biru telur Paramphistomum sp. berwarna biru sedangkan Fasciola sp. tetap
kekuning-kuningan.

Pengobatan :
- Dapat diberikan carbontetrachloride yang sudah dipakai lebih dari 50 tahun. Untuk
domba 1 ml (hanya untuk cacing dewasa). Pemberian secara intra musculer mengurangi
resiko toksisitas disbanding per os.
- Pemberian hexachlorophene (intramuscular). Untuk sapi 220 mg 400 mg/kg bb dalam
3 4 dosis. Untuk domba 20 30 g/hewan.
- Pemberian hexachlorophene (per os). Untuk domba 15 20 mg/kg, akut 40 mg/kg.
Untuk sapi 10 20 mg/kg (efektif untuk cacing dewasa dan stadium parenkimal).
- Pemberian hetol. Untuk domba 150 mg/kg. Anak domba umur 5 6 bulan diberikan
dosis 5 10 gr. Untuk sapi 125 mg/kg.
- Pemberian bithionol. Untuk sapi 30 35 mg/kg bb.
- Pemberian bithionol sulphoxide. Untuk domba 40 mg/kg.
- Pemberian diamphenethide 100 mg/kg (untuk cacing muda) dan150 mg/kg (untuk
cacing dewasa).
- Pemberian oxyclozanida. Untuk domba 15 20 mg/kg dan 3X dosis 45 mg/kg efektif
untuk cacing muda dan akut. Untuk sapi 10 15 mg/kg.
- Pemberian rafaoxanide. Untuk sapid an domba 7,5 mg/kg.
- Pemberian nitroxynil (secara subcutan). Untuk domba dan sapi 10 mg/kg (efektif untuk
cacing dewasa) dan 15 mg/kg (untuk cacing muda umur 4 minggu)

- Beberapa Benzimidazole, Albendazole, dan Oxfenbendazole efektif untuk cacing hati


dan nematode gastrointestinal.

Pencegahan :

- Mengobati dengan segera hewan yang terinfeksi.


- Melakukan pemberantasan siput dengan menghilangkan habitat siput dan perbaikan
drainage.
- Melaukan control biologis dengan menggunakan itik dan katak.
- Melakukan Molluscicida dengan memberikan Copper sulphate (bersifat toksik pada
ikan)
- Memberikan N Tritylomorpholine 0,45 kg dalam 680 l/ha

Distomatosis

4.2

PNEUMONIAE

Pneumoniae
Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung
baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu
auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai
agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya
toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus
hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.

Etiologi
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan
seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab
atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam
satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesakdesakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan
faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Cordes et.al 1994). Selain itu,
adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai
penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya
bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui
bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah).
Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan Streptococcus
sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut. Pada
kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya
bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan Pseudomonas
aeruginosa.
Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Menurut Welsh et.al (2004), penyakit
pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya,
parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun
spesifitas agen penyebab tersebut adalah :
VIRUS : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever,
Bovine
Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine
Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
BAKTERI : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus
Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus

sp,

JAMUR: Chlamydia psittaci


MYCOPLASMA: Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis
PARASIT: Dictocaulus viviparus

Gejala Klinis

Pada awalnya radang paru-paru ( pneumonia ) didahului gejala hiperemi pulmonum,


diikuti dyspnoe, frekuensi nafas 40-80 kali permenit, tipe nafas bersifat abdominal,
napasnya mula-mula dangkal kemudian dalam, batuk, setelah berlangsung beberapa hari

muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42C ) kenaikan
suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan
berlangsungnya seperti antigen-antibodi.
Pada inspeksi terkadang tercium bau abnprmal dari pernapasan penderita. Bau
busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) dapat berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri
penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai
ganggren.
Pada auskultasi daerah paru-paru akan terdengar berbagai suara abnormal.
Terdengar suara bronchial ( rhonci basah ) yang seharusnya suara vesicular disebabkan
alveoli terisi cairan radang. Pada pemeriksaan perkusi pada daerah paru-paru tidak
ditemukan adanya perubahan pada batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang
dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi
sampai pekak total pada daerah yang mengalami hepatisasi.
Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi
susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan
nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan
oligouria.
Menurut Cordes et.al (1994) gejala klinis terjadinya pneumonia pada sapi adalah
respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat
pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu
ditandai dengan kenaikan suhu/demam karena kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan
dengan reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi
antigen-antibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai
dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003).
Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal.
Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau
sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batasbatas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi
(Gabor 2003).
Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan
mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan
lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Gabor 2003)

Patogenesis

Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau


limfogen. Berat ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah agen

infeksi yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen
menyebabkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus
paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp dan
Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri Mycobacterium sp
kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan agen infeksi
yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam
patogenesisnya yaitu dengan kerja sama dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan
peternakan dan lingkungan yang jelek.

Radang paru-paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi ganguan


pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut hewan akan
meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika
bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang
pernapasan berlangsung cepat dan dangkal.
Adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan, konsolidasi yang dalam
keadaan lanjut terjadi pemadatan yang berkonsistensi seperti hati ( hepatisasi). Pada uji
apung jaringan yang berkonolidasi akan melayang ataupun tenggelam. Adanya eksudat
pada saluran pernafasan akan menyebabkan batuk bagi jaringan yang peka, karena
eksudat ini bila dilakukan auskultasi akan terdengar suara ronchi basah dan hilangnya
suara vesikuler. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe kostoabdominal akan berubah
menjadi tipe abdominal.
Menurut Welsh et.al (2004), hampir semua kejadian pneumonia berawal dari mekanisme
pertahanan paru-paru. Dibawah kondisi yang normal, aliran udara utama dan parenkhim
paru-paru mencegah masuknya agen yang berbahaya, menetralisir serta
menyingkirkannya, sehingga paru-paru mengandung sedikit, jika ada, organisme yang
sampai ke bagian ujung paru-paru. Beberapa infeksi alat respirasi berasal dari partikel
debu yang membawa agen infeksi dimana keluar/masuk paru-paru. Untuk terjadinya
suatu infeksi melalui rute aerosol, agen penyebab infeksi harus bersifat mudah dibawa
oleh udara (aerosolized), tahan di udara, dapat ditempelkan pada dinding alat respirasi
dari induk semang yang peka, dan kemudian memperbanyak diri. Jadi patogenesa dari
infeksi penyakit respirasi terkait dengan deposisi partikel dan agen infeksi dalam alat
respirasi.
Di bawah kondisi normal suatu mekanisme pertahanan biokimiawi, fisiologis dan
immunologis secara kompleks melindungi alat pernafasan dari partikel masuk, yang
mungkin bersifat melukai atau infeksius. Mekanisme pertahanan utama alat respirasi
meliputi filtrasi aerodynamika oleh rongga hidung, bersin, refleks laryngealis, refleks

batuk, mekanisme transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi sistemik
maupun lokal.
Selain itu, gambaran anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi
memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru
dibandingkan hewan lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran gas
yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran gas yang
kecil menyebabkan sapi mendapatkan tingkat oksigen alveolar dan bronchial rendah
selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas fisik/metabolik. Pada saat
itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin memperlambat aktifitas mucociliary
dan makrofag alveolar dan menurunkan kecepatan proses pembersihan paru-paru
(Subronto 2003).
Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari
pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya udara
sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas
fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, karena makrofag
alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme pembersihan paru-paru
tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat atypical bioactivity dari lysozyme
mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih mudah menderita
infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan lainnya.
Pemeriksaan patologi
Pemeriksaan makroskopis pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang
dari kemerahan sampai menjadi abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah,
konsistensinya berubah menjadi seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan.
Pada pengirisan paru-paru ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai
mukopurulen, jaringan parenkim tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji
apung akan melayang atau tenggelam, dan ditemukan inklusi bodi pada pneumonia yang
disebabkan virus.
Diagnosis
Didasarkan pada:
a.
Gejala Klinis
Diagnosa pneumonia didasarkan atas gejala klinik yang terlihat dan dilengkapi
dengan pemeriksaan secara auskultasi, perkusi dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
lanjutan berupa pemeriksaan foto rontgent. Untuk mengetahui etiologi atau agen
penyebab pneumonia perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis berupa pemeriksaan
sputum atau leleran hidung atau swab trakheal (Cordes et.al 1994).

b.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan ini untuk melihat gambaran sel darah putih dan jika memungkinkan
dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis, terutama untuk mengetahui keberadaan agen
virus. Bahkan pemeriksaan feses natif untuk mengetahui telur cacing juga dapat
dilakukan. Karena larva nematoda Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paruparu dapat menyebabkan peradangan (Lungworm pneumonia).
c.
Pemeriksaan makroskopis
Paru sapi terkena pneumonia oleh M bovis
d. Dengan pengambilan swab pada batang tenggorokan dan bronchus
Deferensial diagnose
Diagnosa Banding
Differensial diagnosa terhadap pneumonia adalah didasarkan pada adanya kemiripan
diantara penyakit seperti gejala klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas
(dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi
abduksio (bahu direnggangkan). Keadaan oedema pulmonum patut dipertimbangkan.
Mengingat pada kondisi oedema pulmonum juga terlihat adanya gangguan suplai
oksigen dan karbondioksida akibat adanya pengisian cairan pada alveolar (Welsh et.al
2004). Selain itu, gangguan pada pleura (pleuritis) perlu diperhatikan juga, karena
pada pemeriksaan atau uji gumba, kondisi pleuritis juga menunjukkan reaksi sakit
(positif). Terlebih radang ini jarang ditemukan yang berdiri sendiri. Kondisi
pneumonia yang telah berlanjut pun dapat mengakibatkan peradangan pada pleura
(Subronto 2003).
Diagnosa banding lainnya antara lain:
*
gangguan jantung
*
hiperemi pulmonum,
*
oedema pulmonum,
*
emfisema pulmonum
*
laringo-tracheitis
Terapi
Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan
dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian antibiotic dan
sulfonamid selama 3 hari secara parenteral atau melalui makanan diperlukan untuk
meniadakan agen infeksi oleh bakteri. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C
serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia. Terapi sangat
efektif dilakukan jika telah mengetahui agen penyebab pneumonia. Pengobatan
dengan antibiotik berspektrum luas.

pneumonia

BAB V
PENUTUP
Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak atau
unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan
kesehatan daging setelah dipotong terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe,
kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru,
jantung, ginjal, hati, serta limpa
Distomatosis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua trematoda
Fasciola hepatica dan gigantica Fasciola.Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang
bersifat zoonosis. F. hepatica adalah ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena
distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora,
termasuk manusia termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Cacing
dewasa dari kedua jenis dilokalisasi dalam saluran empedu dari hati atau kandung
empedu.

Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada
bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem
pernafasan (Gabor 2003).Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim
yang dapat berlangsung baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal
pada waktu auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh
berbagai agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan
terjadinya toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang
bronchus hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.

DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1995, Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah, Kanisius, Yogyakarta.
Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida
Disease Investigasi center.
Akoso, T. B., 1996, Kesehatan Sapi, Kanisius, Yogyakarta.
Blood, D.C dan. Radostits, O.M.. 1989.Veterinary Medicine. London: Baillere Tindall
Levine, Norman D. 1994.Parasitologi Veteriner. Yogyakarta:Gadjah Mada Press.
George, J.R.,1985.Parasitology for Veterinarians.W.B. Saunders Company
Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi
Unit Bali.

Soedarto, 2003, Zoonosisi Kedokteran, Airlangga press, Surabaya

PATOLOGI SISTEMIK DAN NEKROPSI


PEMERIKSAAN ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM
HEWAN KURBAN

Disusun Oleh :
Rosita Arviana (011310062)
PKH-B 2009

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

Anda mungkin juga menyukai