PENDAHULUAN
Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak
atau unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati
dan mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak, jenis kelamin,
keadaan umum, serta kelainan yang tampak.
Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging setelah
dipotong terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada bagian mulut,
lidah, bibir, dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta
limpa.Maksud dilakukan pemeriksaan post-mortem adalah untuk membuang dan
mendeteksi bagian yang abnormal serta pengawasan apabila ada pencemaran oleh kuman
yang berbahaya, untuk memberikan jaminan bahwa daging yang diedarkan masih layak
untuk dikonsumsi.
Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas pada
limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot masseter, dan
pemeriksaan organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas normal
setiap hari. Jika terdapat abnormalitas pada karkas, organ visceral atau bagian-bagian
karkas lainnya dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 1992).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi dan Kambing adalah alur proses untuk
memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH). Kondisi
Aman dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :
Menurut Arka dkk (1985), keputusan hasil akhir pemeriksaan postmortem dapat
digolongkan atas :
1. Karkas serta organ tubuh yang sehat diteruskan kepasaran untuk konsumsi masyarakat.
2. Karkas serta organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan yang
lebih seksama.
3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara lokal hendaknya diiris dan disingkirkan
sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran umum.
4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum atau keseluruhan
atau seluruh karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan semua.
5. Karkas dan organ tubuh yang sehat yang akan diteruskan ke pasar umum diberikan cap
BAIK.
BAB III
HASIL
Laporan Data
1. Pelaksanaan pemeriksaan antemortem dan postmortem di lakukan di daerah Bukit cemara
7, sengkaling
2. Jumlah sapi yang disembelih : 4
3. Jumlah kambing yang disembelih : 40
4. Temuan kasus saat postmortem :
Pneumonia pada kambing
Distomatosis pada sapi
ROSITA ARVIANA
0911310062
PKH-B09
TUGAS PEMERIKSAAN HEWAN QURBAN
Dosen Pengampu : drh.Analis W
Cacing fasciola hepatica, hati yang mengalami nekrosis, cirosis = pada sapi
Paru-paru yang mengalami pnemunia = pada kambing
Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada
bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem
pernafasan (Gabor 2003).
Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung baik
akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu auskultasi,
dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai agen etiologi,
radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya toksemia. Secara
patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi
bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.
4. Patogenesanya
a. Distomatosis
Patogenesis tergantung dari metaserkaria yang tertelan
Tidak ada kerusakan selama menembus dinding usus/ cavum peritoneum
Lesi terpenting pada hati di parenkim dan atau ductus biliverus
Pada dasarnya penyakit dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronis
Komplikasi yang terjadi sehubungan dengan infeksi distomatosis ini adalah infeksi
Black disease yang disebabkan Clostridium oedematicus novyi
Metaserkaria di laboratorium dapat hidup lebih dari 1 tahun, di tumbuh-tumbuhan 270340 hari, tergantung kelembaban dan suhu, di silage tahan 35-37 hari
5. Gejala Klinis
a. distomatosis
- Akut : Pada domba, hewan mati mendadak. Dari lubang hidung keluar leleran darah
berbuih dan dari anus keluar darah seperti pada anthrax.
- Kronis : Domba kepucatan menunjukkan adanya anemia (waktu cacing tembus hati),
lemah, nafsu makan menurun dan ada edema melanjut menjadi bottle jaw, kulit kering,
wool kering dan rontok, kekurusan, kadang diare / konstipasi dansedikit demam.
o Cacing biasanya hidup selama 9 bulan di domba kemudian mati dan keluar lewat usus,
tetapi ada beberapa yang hidup 5 tahun dan bahkan pernah 11 tahun.
o Bila hewan menyembuh, gejala akibat infeksi cacing ini berangsur-angsur berkurang,
tetapi lesi pada hati tidak pernah pulih sempurna.
reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi antigenantibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai dengan
kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003).
Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal.
Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau
sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batasbatas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi (Gabor
2003).
Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan
mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan
lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Gabor 2003)
ROSITA ARVIANA
0911310062
PKH-B09
TUGAS PRAKTIKUM PATOLOGI SISTEMIK DAN NEKROPSI
Dosen Pengampu : drh.Nugroho
A. Distomatosis
Distomatosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak disebabkan
oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola sp,seperti Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica. Fasciola yang menyerang ternak ruminansia di Indonesia hanya satu spesies,
yaitu F. gigantica dan induk semang antaranya, yaitu siput Lymnaea rubiginos.
Kejadiannya lebih sering pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan
sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basa. Fasciolosis pada ternak biasanya tidak
memperlihatkan gejala klinis yang menciri .
B. Pneumonia
Penyebab :
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan
seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab
atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam
satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesakdesakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan
faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Cordes et.al 1994). Selain itu,
adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai
penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya
bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui
bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah).
Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan
Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat
akut. Pada kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering
dijumpai adanya bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan
Pseudomonas aeruginosa.
Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Menurut Welsh et.al (2004), penyakit
pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya,
parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun spesifitas
agen penyebab tersebut adalah :
VIRUS : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever,
Bovine
Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine
Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
BAKTERI : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus
Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus
sp,
c.
Pemeriksaan makroskopis
Paru sapi terkena pneumonia oleh M bovis
d. Dengan pengambilan swab pada batang tenggorokan dan bronchus
Saat sudah mati
Pemeriksaan organ paru-paru saat bedah bangkai Pemeriksaan makroskopis
pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang dari kemerahan sampai menjadi
abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah, konsistensinya berubah menjadi
seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan. Pada pengirisan paru-paru
ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai mukopurulen, jaringan parenkim
tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji apung akan melayang atau
tenggelam
4. Differensial diagnose
A. Distomatosis
Pada kasus fascioliasis akut sering kali sulit dibedakan dengan infectious necrotic
hepatitis karena lesinya sangat kecil, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
histopatologis. Kerusakan hati yang hebat dapat dikelirukan dengan haemonchiasis,
eperythrozoonosis, anthrax dan enterotoxaemia
b. Pneumonia
Diagnosa banding lainnya antara lain:
*
gangguan jantung
*
hiperemi pulmonum,
*
oedema pulmonum,
*
emfisema pulmonum
*
laringo-tracheitis
5. Terapi
a. Distomatosis
- Dapat diberikan carbontetrachloride yang sudah dipakai lebih dari 50 tahun. Untuk
domba 1 ml (hanya untuk cacing dewasa). Pemberian secara intra musculer mengurangi
resiko toksisitas disbanding per os.
- Pemberian hexachlorophene (intramuscular). Untuk sapi 220 mg 400 mg/kg bb dalam
3 4 dosis. Untuk domba 20 30 g/hewan.
- Pemberian hexachlorophene (per os). Untuk domba 15 20 mg/kg, akut 40 mg/kg.
Untuk sapi 10 20 mg/kg (efektif untuk cacing dewasa dan stadium parenkimal).
- Pemberian hetol. Untuk domba 150 mg/kg. Anak domba umur 5 6 bulan diberikan
dosis 5 10 gr. Untuk sapi 125 mg/kg.
- Pemberian bithionol. Untuk sapi 30 35 mg/kg bb.
- Pemberian bithionol sulphoxide. Untuk domba 40 mg/kg.
- Pemberian diamphenethide 100 mg/kg (untuk cacing muda) dan150 mg/kg (untuk
cacing dewasa).
- Pemberian oxyclozanida. Untuk domba 15 20 mg/kg dan 3X dosis 45 mg/kg efektif
untuk cacing muda dan akut. Untuk sapi 10 15 mg/kg.
- Pemberian rafaoxanide. Untuk sapid an domba 7,5 mg/kg.
- Pemberian nitroxynil (secara subcutan). Untuk domba dan sapi 10 mg/kg (efektif untuk
cacing dewasa) dan 15 mg/kg (untuk cacing muda umur 4 minggu)
- Beberapa Benzimidazole, Albendazole, dan Oxfenbendazole efektif untuk cacing hati
dan nematode gastrointestinal.
b. Pneumonia
Terapi :
Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan
dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian antibiotic dan
sulfonamid selama 3 hari secara parenteral atau melalui makanan diperlukan untuk
meniadakan agen infeksi oleh bakteri. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C
serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia.
6. Metode Sampling
a. Distomatosis
Hati diinsisi dengan menggunakan scalpel handle, bila di temukan cacing maka di ambil
dengan menggunakan pinset dan cacing dibuang . Kemudian ditaruh ke dalam pot plastik
yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke lab patologi anatomi
b. Pneumonia
Paru-paru diinsisi dengan menggunakan scalpel handle, bila di temukan cacing maka di
ambil dengan menggunakan pinset dan cacing dibuang . Kemudian ditaruh ke dalam pot
plastik yang telah diisi dengan menggunakan formalin. Sampel dikirim ke lab patologi
anatomi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
DISTOMATOSIS
Penyebab :
Cacing Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica
SIKLUS HIDUP
Cacing Fasciola sp. bertelur didalam kantong empedu dan telur keluar mengikuti aliran
empedu didalam ductus choleductus dan mencapai lumen duodenum, kemudian telur
bersama feses keluar saat defikasi.
Pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu (26oC ), PH) telur akan
menetas (17 hari ) dan terbebaslah larva mirasidium. Mirasidium mutlak harus berada
dalam air dan berenang mencari hospes intermidier ( HI ) serasi ialah golongan siput
Lymnaea tumentosa (di Australia ), L. truncatula (Eropa). Didalam tubuh siput tersebut
mirasidium berubah menjadi sporokista yang memperbanyak diri dengan pembelahan sel
secara transversal. Di dalam tubuh sporokista terbentuk banyak redia, pada masingmasing redia induk, terbentuk banyak redia anak ( cercaria ) yang berekor. Kemudian
cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang didalam air, dalam waktu 20-21 hari hari
setelah memasuki tubuh siput.
Pada kondisi menunjang cercaria berenang di air dan mencari tumbuhan air /rerumputan
untuk segera melekat dan ekor dilepaskan dan tubuhnya membentuk zat zat viskus dan
berubah bentuk menjadi metacercaria . Infeksi pada host terjadi bila memakan rumput
yang ditempeli metacercaria . di dalam duodenum kista pecah dan keluarlah cacing
muda. Dalam waktu 24 jam cacing muda sampai dalam ruang peritonium sesudah
menembus dinding usus. Sekitar 4-8 hari sesudah infeksi, sebagaian besar cacing telah
menembus kapsul hati dan migrasi dalam parenkim hati. Migrasi dalam hati memerlukan
waktu 5-6 minggu dan minggu ke-7 telah sampai dalam saluran empedu dan delapan
minggu setelah infeksi cacing telah bertelur.
Lokasi :
Pada ductus biliverus domba, kambing, sapi, ruminansia lain, babi, kelinci, gajah, kuda,
anjing, kucing, kangguru, dan manusia. Pada hospes yang tidak biasa (manusia dan
kuda), cacing dapat ditemukan di paru-paru, bawah kulit, dan lokasi lain. Parasit ini
tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan Fascioliasis / Distomatosis pada domba dan
sapi.
Gejala klinis :
- Akut : Pada domba, hewan mati mendadak. Dari lubang hidung keluar leleran darah
berbuih dan dari anus keluar darah seperti pada anthrax.
- Kronis : Domba kepucatan menunjukkan adanya anemia (waktu cacing tembus hati),
lemah, nafsu makan menurun dan ada edema melanjut menjadi bottle jaw, kulit kering,
wool kering dan rontok, kekurusan, kadang diare / konstipasi dansedikit demam.
o Cacing biasanya hidup selama 9 bulan di domba kemudian mati dan keluar lewat usus, tetapi
ada beberapa yang hidup 5 tahun dan bahkan pernah 11 tahun.
o Bila hewan menyembuh, gejala akibat infeksi cacing ini berangsur-angsur berkurang, tetapi
lesi pada hati tidak pernah pulih sempurna.
- Pada sapi menunjukkan gejala karakteristik, gangguan pencernaan, konstipasi jelas,
tinja keras. Diare terjadi pada waktu stadium ekstrim. Hewan cepat menjadi kurus, lesu,
dan lemah terutama pada pedet.
Patogenesis :
Patogenesis tergantung dari metaserkaria yang tertelan
Tidak ada kerusakan selama menembus dinding usus/ cavum peritoneum
Lesi terpenting pada hati di parenkim dan atau ductus biliverus
Pada dasarnya penyakit dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronis
Komplikasi yang terjadi sehubungan dengan infeksi distomatosis ini adalah infeksi Black
disease yang disebabkan Clostridium oedematicus novyi
Metaserkaria di laboratorium dapat hidup lebih dari 1 tahun, di tumbuh-tumbuhan 270340 hari, tergantung kelembaban dan suhu, di silage tahan 35-37 hari
Perubahan Pascamati :
Pada hewan dewasa perubahan-perubahan sering hanya terbatas pada hati.
Mungkin hewan tersebut sedikit kurus atau pucat. Pada hewan muda perubahanperubahan biasanya lebih mencolok. Kekurusan, anemia, dehidrasi merupakan
perubahan-perubahan penting yang timbul. Pada infeksi akut, hati bengkak karena
degenerasi parenkim atau infiltrasi lemak dibawah selubung hati dan pada bidang
sayatannya terlihat perdarahan-perdarahan disebabkan oleh migrasi parasit-parasit muda.
Dan dalam tingkat ini harus diwaspadai infeksi sekunder salmonella. Perubahan pada hati
dalam tingkat menahun ialah cholangitis, pericholangitis yang menjadikan hepatitis
chronica indurativa (sirosis parasiter). Dinding saluran empedu sangat tebal karena
pembentukan jaringan ikat dan endapan kalsium. Di dalam saluran itu tertimbun massa
detritus yang berlendir dan mengandung distoma dewasa. Sarang-sarang distomum sering
ditemukan di dalam paru-paru dan limpha
Domba sering mati karena distomatosis yang akut. Pada domba terlihat hepatitis fibrinosa
acuta, sepsis dan dehidrasi. Pemberantasan distomatosis harus berdasarkan profilaksis
termasuk pemberantasan induk-induk semang antara (siput).
Diagnosa :
Berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan penemuan telur cacing dalam tinja. Telur
cacing Fasciola sp. mirip dengan telur cacing Paramphistomum sp. dimana telur
Paramphistomum sp. lebih besar, lebih transparan dan operculumnya lebih jelas. Dengan
tetesan methyl biru telur Paramphistomum sp. berwarna biru sedangkan Fasciola sp. tetap
kekuning-kuningan.
Pengobatan :
- Dapat diberikan carbontetrachloride yang sudah dipakai lebih dari 50 tahun. Untuk
domba 1 ml (hanya untuk cacing dewasa). Pemberian secara intra musculer mengurangi
resiko toksisitas disbanding per os.
- Pemberian hexachlorophene (intramuscular). Untuk sapi 220 mg 400 mg/kg bb dalam
3 4 dosis. Untuk domba 20 30 g/hewan.
- Pemberian hexachlorophene (per os). Untuk domba 15 20 mg/kg, akut 40 mg/kg.
Untuk sapi 10 20 mg/kg (efektif untuk cacing dewasa dan stadium parenkimal).
- Pemberian hetol. Untuk domba 150 mg/kg. Anak domba umur 5 6 bulan diberikan
dosis 5 10 gr. Untuk sapi 125 mg/kg.
- Pemberian bithionol. Untuk sapi 30 35 mg/kg bb.
- Pemberian bithionol sulphoxide. Untuk domba 40 mg/kg.
- Pemberian diamphenethide 100 mg/kg (untuk cacing muda) dan150 mg/kg (untuk
cacing dewasa).
- Pemberian oxyclozanida. Untuk domba 15 20 mg/kg dan 3X dosis 45 mg/kg efektif
untuk cacing muda dan akut. Untuk sapi 10 15 mg/kg.
- Pemberian rafaoxanide. Untuk sapid an domba 7,5 mg/kg.
- Pemberian nitroxynil (secara subcutan). Untuk domba dan sapi 10 mg/kg (efektif untuk
cacing dewasa) dan 15 mg/kg (untuk cacing muda umur 4 minggu)
Pencegahan :
Distomatosis
4.2
PNEUMONIAE
Pneumoniae
Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung
baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu
auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai
agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya
toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus
hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.
Etiologi
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan
seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab
atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam
satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesakdesakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan
faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Cordes et.al 1994). Selain itu,
adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai
penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya
bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui
bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah).
Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan Streptococcus
sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut. Pada
kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya
bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan Pseudomonas
aeruginosa.
Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Menurut Welsh et.al (2004), penyakit
pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya,
parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun
spesifitas agen penyebab tersebut adalah :
VIRUS : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever,
Bovine
Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine
Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
BAKTERI : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus
Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus
sp,
Gejala Klinis
muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42C ) kenaikan
suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan
berlangsungnya seperti antigen-antibodi.
Pada inspeksi terkadang tercium bau abnprmal dari pernapasan penderita. Bau
busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) dapat berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri
penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai
ganggren.
Pada auskultasi daerah paru-paru akan terdengar berbagai suara abnormal.
Terdengar suara bronchial ( rhonci basah ) yang seharusnya suara vesicular disebabkan
alveoli terisi cairan radang. Pada pemeriksaan perkusi pada daerah paru-paru tidak
ditemukan adanya perubahan pada batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang
dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi
sampai pekak total pada daerah yang mengalami hepatisasi.
Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi
susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan
nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan
oligouria.
Menurut Cordes et.al (1994) gejala klinis terjadinya pneumonia pada sapi adalah
respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat
pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu
ditandai dengan kenaikan suhu/demam karena kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan
dengan reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi
antigen-antibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai
dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003).
Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal.
Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau
sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batasbatas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi
(Gabor 2003).
Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan
mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan
lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Gabor 2003)
Patogenesis
infeksi yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen
menyebabkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus
paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp dan
Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri Mycobacterium sp
kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan agen infeksi
yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam
patogenesisnya yaitu dengan kerja sama dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan
peternakan dan lingkungan yang jelek.
batuk, mekanisme transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi sistemik
maupun lokal.
Selain itu, gambaran anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi
memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru
dibandingkan hewan lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran gas
yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran gas yang
kecil menyebabkan sapi mendapatkan tingkat oksigen alveolar dan bronchial rendah
selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas fisik/metabolik. Pada saat
itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin memperlambat aktifitas mucociliary
dan makrofag alveolar dan menurunkan kecepatan proses pembersihan paru-paru
(Subronto 2003).
Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari
pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya udara
sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas
fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, karena makrofag
alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme pembersihan paru-paru
tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat atypical bioactivity dari lysozyme
mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih mudah menderita
infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan lainnya.
Pemeriksaan patologi
Pemeriksaan makroskopis pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang
dari kemerahan sampai menjadi abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah,
konsistensinya berubah menjadi seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan.
Pada pengirisan paru-paru ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai
mukopurulen, jaringan parenkim tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji
apung akan melayang atau tenggelam, dan ditemukan inklusi bodi pada pneumonia yang
disebabkan virus.
Diagnosis
Didasarkan pada:
a.
Gejala Klinis
Diagnosa pneumonia didasarkan atas gejala klinik yang terlihat dan dilengkapi
dengan pemeriksaan secara auskultasi, perkusi dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
lanjutan berupa pemeriksaan foto rontgent. Untuk mengetahui etiologi atau agen
penyebab pneumonia perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis berupa pemeriksaan
sputum atau leleran hidung atau swab trakheal (Cordes et.al 1994).
b.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan ini untuk melihat gambaran sel darah putih dan jika memungkinkan
dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis, terutama untuk mengetahui keberadaan agen
virus. Bahkan pemeriksaan feses natif untuk mengetahui telur cacing juga dapat
dilakukan. Karena larva nematoda Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paruparu dapat menyebabkan peradangan (Lungworm pneumonia).
c.
Pemeriksaan makroskopis
Paru sapi terkena pneumonia oleh M bovis
d. Dengan pengambilan swab pada batang tenggorokan dan bronchus
Deferensial diagnose
Diagnosa Banding
Differensial diagnosa terhadap pneumonia adalah didasarkan pada adanya kemiripan
diantara penyakit seperti gejala klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas
(dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi
abduksio (bahu direnggangkan). Keadaan oedema pulmonum patut dipertimbangkan.
Mengingat pada kondisi oedema pulmonum juga terlihat adanya gangguan suplai
oksigen dan karbondioksida akibat adanya pengisian cairan pada alveolar (Welsh et.al
2004). Selain itu, gangguan pada pleura (pleuritis) perlu diperhatikan juga, karena
pada pemeriksaan atau uji gumba, kondisi pleuritis juga menunjukkan reaksi sakit
(positif). Terlebih radang ini jarang ditemukan yang berdiri sendiri. Kondisi
pneumonia yang telah berlanjut pun dapat mengakibatkan peradangan pada pleura
(Subronto 2003).
Diagnosa banding lainnya antara lain:
*
gangguan jantung
*
hiperemi pulmonum,
*
oedema pulmonum,
*
emfisema pulmonum
*
laringo-tracheitis
Terapi
Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan
dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian antibiotic dan
sulfonamid selama 3 hari secara parenteral atau melalui makanan diperlukan untuk
meniadakan agen infeksi oleh bakteri. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C
serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia. Terapi sangat
efektif dilakukan jika telah mengetahui agen penyebab pneumonia. Pengobatan
dengan antibiotik berspektrum luas.
pneumonia
BAB V
PENUTUP
Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak atau
unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan
kesehatan daging setelah dipotong terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe,
kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru,
jantung, ginjal, hati, serta limpa
Distomatosis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua trematoda
Fasciola hepatica dan gigantica Fasciola.Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang
bersifat zoonosis. F. hepatica adalah ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena
distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora,
termasuk manusia termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Cacing
dewasa dari kedua jenis dilokalisasi dalam saluran empedu dari hati atau kandung
empedu.
Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada
bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem
pernafasan (Gabor 2003).Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim
yang dapat berlangsung baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal
pada waktu auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh
berbagai agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan
terjadinya toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang
bronchus hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1995, Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah, Kanisius, Yogyakarta.
Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida
Disease Investigasi center.
Akoso, T. B., 1996, Kesehatan Sapi, Kanisius, Yogyakarta.
Blood, D.C dan. Radostits, O.M.. 1989.Veterinary Medicine. London: Baillere Tindall
Levine, Norman D. 1994.Parasitologi Veteriner. Yogyakarta:Gadjah Mada Press.
George, J.R.,1985.Parasitology for Veterinarians.W.B. Saunders Company
Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi
Unit Bali.
Disusun Oleh :
Rosita Arviana (011310062)
PKH-B 2009