Anda di halaman 1dari 35

PROFIL ERITROGRAM ANJING TERINFESTASI CAPLAK

Rhipicephalus sanguineus YANG DIOBATI DENGAN SEDIAAN


FLURALANER

GAGAS ADYATAMA HANIF

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Eritrogram


Anjing Terinfestasi Caplak Rhipicephalus sanguineus yang Diobati dengan
Sediaan Fluralaner adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Gagas Adyatama Hanif


NIM B04140097
ABSTRAK
GAGAS ADYATAMA HANIF. Profil Eritrogram Anjing Terinfestasi Caplak
Rhipicephalus sanguineus yang Diobati dengan Sediaan Fluralaner. Dibimbing
oleh SUS DERTHI WIDHYARI dan SUSI SOVIANA.

Sediaan fluralaner merupakan obat kunyah anticaplak terbaru dengan


isoxazoline sebagai struktur utamanya. Sediaan ini terbukti efektif membunuh
caplak Rhipicephalus sanguineus pada anjing sampai dengan 12 minggu setelah
pemberian satu kali dosis yang dianjurkan, namun belum ada laporan mengenai
pengaruhnya terhadap profil eritrogram. Penelitian ini mengevaluasi profil
eritogram sembilan ekor anjing sebelum pemberian sediaan, empat jam setelah
pemberian sediaan, serta pada 28, 56, serta 84 hari setelah pemberian sediaan
fluralaner. Mesin hematology analyzer digunakan untuk memeriksa parameter
berupa jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, serta indeks eritrosit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan fluralaner mampu memperbaiki
kondisi anemia pada anjing terinfestasi caplak yang ditunjukkan dengan
perubahan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, serta indeks eritrosit yang mendekati
nilai normal pada hari ke-84.

Kata kunci: anjing, fluralaner, infestasi caplak, profil eritrogram

ABSTRACT

GAGAS ADYATAMA HANIF. Erythrogram Profile in Rhipicephalus


sanguineus Infested Dogs that were Treated with Fluralaner. Supervised by SUS
DERTHI WIDHYARI and SUSI SOVIANA.

Fluralaner is a new form of chewable acaricide drug with isoxazoline as the


main structure. This drug has been reported to effectively kill Rhipicephalus
sanguineus ticks for up to 12 weeks after its use, but there are no reports about the
effects on the erythrogram profile. This study evaluated the erythogram profile by
examining blood from nine dogs seven days before administration, four hours
after administration, and on the 28th, 56th, along with the 84th day after giving
fluralaner. A hematology analyzer was used to examine parameters of erythrocyte
count, hemoglobin level, hematocrit value, and erythrocyte index. The results
showed that the fluralaner was capable in improving the anemic conditions of tick
infested dogs and showed changes in erythrocyte count, hematocrit value, and
erythrocyte index that were approaching the normal value on the 84th day.

Keywords: dogs, erythrogram profile, fluralaner, tick infestation


PROFIL ERITROGRAM ANJING TERINFESTASI CAPLAK
Rhipicephalus sanguineus YANG DIOBATI DENGAN SEDIAAN
FLURALANER

GAGAS ADYATAMA HANIF

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 ini ialah profil
eritrogram anjing, dengan judul Profil Eritrogram Anjing Terinfestasi Caplak
Rhipicephalus sanguineus yang Diobati dengan Sediaan Fluralaner.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Sus Derthi Widhyari, MSi
selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi selaku
pembimbing akademik sekaligus pembimbing kedua yang telah banyak memberi
saran dan masukan untuk tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu drh Tris Isyani
Tungga Dewi selaku dosen pembimbing penelitian serta pihak Direktorat Polisi
Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa Dua, Depok yang telah membantu
sepanjang penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua
orangtua penulis, Bapak Bambang Sutrisno dan Ibu Alifah serta kakak Nadilah
Tyassistha yang selalu memberi semangat, dukungan serta doa.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
perjuangan selama penelitian, Fakhri dan Zao, serta Luthfi, Bagaskara, Nadiy,
Pavee, Lim Yong Yi, Peng, Tisa atas bantuan, dukungan, dan doa selama
penelitian ini berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada
teman-teman Acinonyx 51 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Gagas Adyatama Hanif


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Infestasi Caplak pada Anjing 2
Fluralaner 3
Eritrosit 4
Hemoglobin (Hb) 5
Hematokrit 6
Indeks Eritrosit 6
METODE PENELITIAN 7
Waktu dan Tempat 7
Bahan dan Alat 7
Hewan Coba 7
Prosedur Penelitian 8
Prosedur Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL

1 Profil anjing penelitian 7


2 Profil eritrogram anjing sebelum dan setelah pemberian sediaan
fluralaner 9

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia fluralaner (Gassel et al. 2014) 3

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persetujuan Atas Perlakuan Etik 18


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infestasi ektoparasit pada hewan peliharaan khususnya anjing merupakan


masalah yang cukup serius karena memiliki tingkat prevalensi yang cukup tinggi.
Gangguan yang dapat ditimbulkan akibat dari infestasi ektoparasit cukup beragam
seperti penurunan bobot badan, kerontokan rambut, trauma, iritasi, anemia sampai
dengan kematian jika tidak diatasi (Puri et al. 2014). Ektoparasit juga berisiko
menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh protozoa, bakteri, maupun virus
(Motaghipisheh et al. 2016). Fritz (2009) menambahkan, beberapa penyakit
bahkan merupakan emerging zoonotic yang memiliki risiko tinggi terhadap
pemilik hewan. Menurut Puri et al. (2014), jenis ektoparasit yang paling sering
menyerang anjing peliharaan adalah caplak Rhipicephalus sanguineus,
Haemaphysalis sp., serta Dermacentor sp.
Berbagai macam strategi pencegahan serta pengendalian telah dilakukan
untuk mengatasi masalah infestasi ektoparasit seperti caplak yang sering dijumpai
pada anjing. Penggunaan ivermectin dan cypermethrin maupun kombinasi fipronil
9.8% dengan (S)-methoprene 8.8% dilaporkan efektif untuk mengeradikasi caplak
(Ayodhya 2014; Nambi et al. 2016). Walaupun demikian, penyediaan obat-obatan
terbaru yang lebih efektif dapat dikatakan penting karena ektoparasit mungkin
saja sudah lebih toleran serta memiliki potensi untuk resisten terhadap obat-obatan
yang umum digunakan saat ini (Coles dan Dryden 2014). Beck et al. (2013)
menambahkan, obat anticaplak yang umum digunakan saat ini juga dinilai kurang
ekonomis karena hanya memiliki durasi efektif yang singkat sehingga
penggunaannya direkomendasikan untuk diulang pada interval waktu yang juga
relatif singkat.
Fluralaner merupakan obat kunyah anticaplak dan antitungau golongan baru
dengan isoxazoline sebagai struktur utamanya (Kilp et al. 2014). Sediaan ini
terbukti secara in vitro maupun in vivo efektif untuk membunuh caplak dan
tungau hingga 12 minggu setelah pemberian dosis tunggal peroral pada anjing
(Gassel et al. 2014; Walther et al. 2017). Durasi kerja fluralaner yang tergolong
lama membuat sediaan ini dinilai lebih ekonomis sehingga dapat dijadikan pilihan
dalam mengatasi infestasi caplak pada anjing. Walaupun demikian, perlu
dilakukan penelitian terlebih dahulu untuk mengetahui pengaruh sediaan ini
terhadap profil darah khususnya sel darah merah anjing. Menurut Salam (2012),
gambaran darah pada setiap individu hewan dapat memberikan informasi
mengenai status kesehatan hewan tersebut serta memberikan gambaran gangguan
kesehatan yang dialaminya. Profil eritrogram juga diharapkan mampu dijadikan
sebagai parameter evaluasi pemulihan kesehatan hewan, khususnya anemia.

Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh pemberian sediaan fluralaner terhadap profil


eritrogram anjing yang terdiri dari jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin (Hb),
nilai hematokrit, serta indeks eritrosit yang terdiri dari nilai Mean Corpuscular
2

Volume (MCV), Mean Corpuscular Hematocrit (MCH), dan Mean Corpuscular


Hemoglobin Concentration (MCHC).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai


pemulihan status anemia pada anjing yang disebabkan oleh infestasi caplak
Rhipicephalus sanguineus setelah pemberian sediaan fluralaner sebagai obat
kunyah anticaplak.

TINJAUAN PUSTAKA

Infestasi Caplak pada Anjing

Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar tubuh inang yang berasal
dari kelas Insekta (pinjal dank kutu) serta Arachnida (caplak dan tungau)
(Natadisastra dan Agus 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puri et
al. (2014), jenis ektoparasit yang paling sering menyerang anjing peliharaan di
Kota Padang adalah caplak Rhipicephalus sanguineus dengan nilai prevalensi
mencapai 73.3%, diikuti oleh Haemaphysalis sp. (46.7%), Dermacentor sp. (20%),
pinjal Ctenocephalides canis (13.3%), serta satu spesies tungau dari famili
Laelapidae (6.7%). Sahu et al. (2013) melaporkan, anjing liar memiliki nilai
prevalensi terinfestasi oleh caplak yang lebih tinggi (58.33%) jika dibandingkan
dengan anjing peliharaan. Anjing berumur kurang dari satu tahun juga memiliki
nilai prevalensi yang lebih tinggi (56.25%) jika dibandingkan dengan anjing yang
berumur lebih dari satu tahun (43.75%). Hadi et al. (2016) menambahkan, ras
maupun jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap infestasi
caplak.
Caplak Rhipicepalus dapat menghisap darah anjing selama beberapa hari
hingga beberapa minggu tergantung pada stadium perkembangan caplak maupun
kondisi inang (Dantas-Torres 2010). Anjing yang terinfestasi caplak biasanya
menunjukan beberapa gejala klinis berupa rasa gatal sehingga anjing menjadi
gelisah dan menggosok-gosokan badannya ke permukaan kasar hingga
menimbulkan kebotakan (alopecia) maupun lesio yang dapat ditemukan pada
seluruh permukaan tubuh, penurunan nafsu makan, penurunan bobot badan,
kelelahan (lethargy), anemia, sampai dengan kematian jika tidak diatasi (Ayodhya
2014; Puri et al. 2014). Hadi et al. (2016) menambahkan, bagian tubuh anjing
yang paling sering terinfestasi oleh caplak Rhipicephalus adalah punggung (35%),
kepala hinggal leher (29%), kaki dan celah antar jari (14.5%), abdomen (10.9%),
serta ekor (10.9%). Hasan et al. (2012) menjelaskan, tingginya infestasi caplak
pada telinga dan punggung disebabkan karena bagian ini merupakan area tubuh
yang memiliki pembuluh darah besar yang dekat dengan permukaan kulit
sehingga memungkinkan caplak untuk menghisap darah dengan mudah dan
banyak. Suhu tubuh maupun denyut nadi biasanya tidak mengalami peningkatan,
tetapi membran mukosa biasanya terlihat pucat akibat anemia seperti yang
dilaporkan Ayodhya (2014).
3

Caplak juga berisiko menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh


protozoa, bakteri, maupun virus. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Motaghipisheh et al. (2016), bahwa anjing yang terinfestasi oleh caplak dapat
digolongkan sebaga resevoir patogen karena dapat menjadi inang definitif maupun
sebagai inang antara dari beberapa agen patogen. Infeksi sekunder yang
disebabkan oleh protozoa seperti Babesia canis bisanya juga memperparah
kondisi anjing karena dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, serta
monositosis seperti yang dilaporkan Salem dan Farag (2014). Beberapa tick-borne
diseases seperti Borreliosis, Ehrlichiosis, serta Anaplasmosis bahkan dilaporkan
Fritz (2009) sebagai emerging zoonotic diseases yang memiliki risiko tinggi
terhadap pemilik hewan. Prevalensi Ehrlichiosis dan Anaplasmosis pada anjing
yang ditularkan melalui caplak Rhipicephalus dilaporkan secara berurutan
mencapai 40% dan 16% (Hadi et al. 2016).
Berbagai macam strategi pencegahan serta pengendalian terhadap infestasi
caplak telah digunakan atau diupayakan meliputi tindakan pelindungan diri dari
caplak, menejemen lingkungan serta hewan pembawa caplak, pengambilan caplak
secara manual, maupun penggunaan akarisida secara langsung (Stafford et al.
2017). Penanganan infestasi caplak yang direkomendasikan oleh Ayodhya (2014)
merupakan kombinasi dari injeksi subkutan ivermectin yang diberikan tiap
minggu selama tiga minggu dengan dosis 0.02 mL/kg bobot badan, dimandikan
dengan shampo yang mengandung cypermethrin, serta penyemprotan kandang
dan lingkungan dengan cypermethrin (1 mL/L air). Metode ini dilaporkan efektif
untuk mengatasi infestasi caplak selama 14 hari. Bonneau et al. (2010)
melaporkan, penggunaan sediaan fipronil spot-on 10% juga dinilai efektif untuk
mengeradikasi caplak sampai dengan lima minggu setelah pemberian. Nambi et al.
(2016) menambahkan, kombinasi fipronil 9.8% dengan (S)-methoprene 8.8%
yang diberikan spot-on memiliki tingkat efikasi mencapai 65.48% terhadap caplak
pada hari ke-21 selama 35 hari pengamatan.

Fluralaner

Fluralaner merupakan sediaan insektisida serta askarisida sistemik untuk


anjing dan kucing yang diformulasikan dalam bentuk obat kunyah (Kilp et al.
2014). Sediaan dengan rumus kimia C22H17Cl2F6N3O3 ini masuk ke dalam
kelompok kimia baru dengan isoxazoline sebagai struktur utamanya (Gambar 1)
(Gassel et al. 2014; Rohdich et al. 2014). Kilp et al. (2014) menjelaskan,
fluralaner memiliki bobot molekul sebesar 556.29 serta dapat berikatan sangat
kuat dengan protein plasma. Penelitian in vitro yang dilakukan oleh Gassel et al.
(2014)

Gambar 1 Struktur kimia fluralaner (Gassel et al. 2014)


4

membuktikan bahwa fluranlaner merupakan inhibitor yang potensial terhadap


ligan γ-aminobutyric acid (GABA) dan ligan L-glutamate pada kanal klorida
susunan saraf artropoda. Penghambatan pada kanal klorida ini pada akhirnya akan
menyebabkan hiperpolarisasi pada susunan syaraf sehingga caplak mengalami
paralisis hingga menyebabkan kematian.
Kilp et al. (2014) dalam penelitiannya menjelaskan, konsentrasi fluralaner
maksimum dalam darah dicapai sehari setelah pemberian dan menurun secara
progresif seiring berjalannya waktu. Konsentrasi distribusi fluralaner dalam tubuh
juga ditemukan tinggi sebesar >10 mg/mL sampai dengan 112 hari setelah
pemberian yang menunjukan bahwa sediaan fluralaner memiliki waktu persisten
sistemik yang lama. Rata-rata total plasma clearance dari sediaan ini dilaporkan
rendah atau sebesar 0.14 L/kg/hari dengan rute eliminasi utama diasumsikan
melalui rute hepatik.
Uji efikasi yang dilakukan Hidayat (2017) membuktikan bahwa sediaan
fluralaner efektif membunuh caplak dengan penurunan infestasi mencapai 100%
pada hari ke-28 setelah pemberian sediaan fluralaner. Fluralaner juga dilaporkan
lebih efektif dalam membunuh caplak jika dibandingkan dengan tiga kali dosis
fipronil (Rohdich et al. 2014). Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Walther
et al. (2017), tidak ditemukan efek samping melalui observasi klinis, evaluasi
patologi anatomi maupun pemeriksaan mikroskopis post-mortem setelah
pemberian fluralaner dengan dosis mencapai 281.3 mg/kg atau lima kali dosis
maksimum yang dianjurkan pada 32 anjing Beagle sehat berumur delapan
minggu. Hal ini membuktikan bahwa fluralaner memiliki margin of safety yang
tinggi (lebih dari lima) untuk dosis maksimum yang dianjurkan sehingga aman
diberikan pada anjing secara peroral.

Eritrosit

Eritrosit atau sel darah merah memiliki fungsi utama untuk


mentransportasikan oksigen yang terikat dengan hemoglobin dari paru-paru
menuju seluruh jaringan tubuh untuk digunakan dalam proses metabolisme seluler.
Huyut et al. (2016) menambahkan, eritrosit juga mengandung enzim karbonat
anhidrase yang berfungsi untuk menjaga pH homeostasis tubuh maupun eritrosit
itu sendiri dengan cara mengkatalis reaksi hidrasi reversibel karbondioksida
menjadi bikarbonat dan proton.
Eritrosit mamalia memiliki bentuk cakram bikonkaf yang disebabkan karena
adanya perbedaan densitas pada membran plasmanya seperti yang dideskripsikan
Hoffman (2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adili et al. (2016),
anjing memiliki ukuran eritrosit bervariasi antara 6.30-7.71 µm dengan keliling
sebesar 20.63-28.31 µm, serta luas permukaan berukuran 25.55-47.05 µm2.
Ukuran ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran eritrosit kuda, sapi,
domba, maupun kambing.
Proses pembentukan eritrosit atau eritropoesis terjadi secara terus-menerus
pada hewan sehat di sum-sum tulang. Zhang et al. (2011) menjelaskan, eritrosit
pada awalnya merupakan stem cells yang kemudian berubah menjadi eritroblas
yang juga berinti. Eritroblas kemudian terdiferensiasi serta kehilangan intinya
menjadi retikulosit hingga pada akhirnya menjadi eritrosit yang tidak dapat
5

membelah lagi. Menurut Snyder dan Sheafor (1999), nukleus serta organel-
organel lain seperti retikulum endoplasma yang tidak dapat ditemukan dalam
eritrosit merupakan bukti terjadinya evolusi yang lebih maju pada mamalia karena
organel-organel tersebut tidak dibutuhkan sel untuk menjalankan fungsi utamanya
sebagai pembawa oksigen. Zhang et al. (2011) menambahkan, keberadaan
nukleus maupun organel-organel tersebut dalam eritrosit dapat menyebabkan
eritrosit tertahan pada pembuluh darah kapiler yang berukuran kecil.
Ketidakberadaan mitokondria sebagai pelaksana respirasi seluler juga
menyebabkan eritrosit hanya memiliki umur yang relatif singkat atau sekitar 120
hari.
Jumlah eritrosit yang beredar dalam tubuh hewan yang sehat selalu terjaga
konstan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Weiss dan Wardrop (2010),
jumlah tersebut pada anjing adalah 5.5-8.5 × 106 sel/µL. Laju produksi eritrosit
ditentukan oleh kondisi tubuh yang direspon dengan produksi hormon
eritropoietin oleh ginjal. Jelkmann (2011) menjelaskan, hormon eritropoietin
berfungsi untuk menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritrosit di sum-sum
tulang serta memelihara kelangsungan hidup eritrosit yang beredar dalam tubuh.
Peningkatan hormon eritropoietin akan meningkat seiring dengan rendahnya
kadar oksigen dalam jaringan yang secara langsung menyebabkan peningkatan
laju produksi eritrosit sehingga jumlah eritrosit yang beredar juga meningkat
(Jelkmann 2011). Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan kadar oksigen
jaringan rendah di antaranya kelainan jantung, gagal jantung, berada pada
ketinggian yang tinggi, chronic obstructive pulmonary disease, gangguan paru-
paru, sleep apnea, maupun pengaruh nikotin. Peningkatan jumlah eritrosit yang
beredar juga dapat disebabkan oleh pengaruh obat-obatan terutama yang
mengandung steroid maupun eritropoietin. Gangguan ginjal pasca transplantasi
maupun gangguan sum-sum tulang juga dapat menyebabkan peningkatan
produksi eritrosit. Peningkatan semu mungkin terjadi akibat dehidrasi di mana
konsentrasi plasma darah menurun sehingga jumlah darah yang terhitung seolah
meningkat. Kondisi yang ditandai denga peningkatan jumlah eritrosit yang
beredar dikenal dengan polisitemia. Penurunan jumlah eritrosit dapat disebabkan
oleh anemia akibat kehilangan darah secara akut maupun kronis, kegagalan dalam
produksi darah, maupun destruksi eritrosit (Holmes et al. 2018).

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari zat besi,


porphyrin, dan protein kompleks yang menempati peran penting dalam fisiologi
tubuh terutama dalam mengikat, transportasi, dan pengiriman oksigen menuju
jaringan yang membutuhkan. Selain itu, hemoglobin juga berfungsi dalam
pengangkutan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Solihah 2013).
Konsentrasi hemoglobin normal pada anjing menurut Weiss dan Wardrop (2010)
adalah 12.0-18.0 g/dL. Naigamwalla et al. (2012) menambahkan, kadar
hemoglobin anjing yang telah beradaptasi terhadap kondisi anemia biasanya lebih
rendah dari batas normal.
6

Hematokrit

Hematokrit atau disebut juga Packed Cell Volume (PCV) merupakan


perbandingan persentase eritrosit di dalam volume darah utuh (whole blood)
(Solihah 2013). Nilai hematokrit dapat digunakan untuk menentukan derajat
anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Menurut Salam (2012),
kondisi di mana terjadi peningkatan produksi eritrosit yang berlebihan
(polisitemia) akan menyebabkan nilai hematokrit mengalami peningkatan. Solihah
(2013) menambahkan, nilai hematokrit yang tinggi juga dapat mengindikasikan
terjadinya dehidrasi karena berkurangnya total plasma darah namun jumlah
eritrosit yang beredar tetap. Penurunan kadar hematokrit di bawah nilai normal
dapat mengindikasikan terjadinya anemia. Nilai hematokrit normal anjing
menurut Weiss dan Wardrop (2010) adalah 37-55%.

Indeks Eritrosit

Data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, serta nilai hematokrit yang


diperoleh melalui perhitungan lengkap darah/Compete Blood Count (CBC)
bermanfaat dalam menentukan indeks eritrosit yang terdiri atas Mean Corpuscular
Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), serta Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration (MCHC). Solihah (2013) menjelaskan, perhitungan
indeks eritrosit akan sangat membantu dalam mendiagnosa jenis anemia yang
diderita oleh hewan serta dapat dihubungkan untuk mengetahui penyebab kejadian
anemia yang dialami.
MCV menunjukkan ukuran rata-rata eritrosit yang dinyatakan dalam
femtoliter (fl). MCH menunjukkan berat rata-rata dari hemoglobin yang ada di
dalam eritrosit dan dinyatakan dalam pikogram (pg). MCHC menunjukkan rata-
rata konsentrasi hemoglobin per unit volume PCV dalam satuan gram per desiliter
(gr/dL) (Salam 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Weiss dan
Wardrop (2010), nilai MCV dan MCHC normal anjing berturut-turut adalah 60-
77 fl dan 32-36%.
Perubahan nilai MCV maupun MCHC dapat memberikan gambaran jenis
anemia yang terjadi. Chulilla et al. (2009) mengelompokkan anemia berdasarkan
perubahan morfologi eritrosit menjadi anemia mikrositik, makrositik, serta
normositik. Solihah (2013) menjelaskan, anemia mikrositik ditandai dengan
penurunan nilai MCV yang mengindikasikan eritrosit berukuran lebih kecil dari
normal (mikrositik), sebaliknya peningkatan nilai MCV mengindikasikan eritrosit
berukuran lebih besar dari normal (makrositik). Chulilla et al. (2009)
menambahkan, anemia juga dapat digolongkan berdasarkan nilai MCHC menjadi
anemia hipokromik, hiperkromik, serta normokromik. Penurunan nilai MCHC
mengindikasikan konsentrasi hemoglobin yang rendah (hipokromik) sedangkan
peningkatan nilai MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin yang tinggi
(hiperkromik) (Solihah 2013).
7

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan bulan


Februari 2017. Pengambilan serta pemeriksaan sampel dilakukan di Direktorat
Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan fluralaner


dengan dosis pemberian 250, 500, dan 1000 mg, sampel darah utuh anjing serta
alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah pencukur rambut, kapas, syringe 3 mL,
vacutainer yang berisi antikoagulan Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA),
label, mesin Abaxis VetScan HM5Hematology Analyzer®, laptop, serta alat tulis..

Hewan Coba

Penelitian menggunakan sampel darah utuh dari sembilan anjing yang


diperoleh dari Direktorat Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa Dua,
Depok. Anjing yang digunakan merupakan anjing jantan yang terinfestasi sangat
tinggi oleh caplak Rhipicephalus sanguineus, berusia 1 – 9 tahun, serta memiliki
bobot antara 8 – 30 kg. Tingkat keparahan infestasi caplak diukur berdasarkan
metode Hadi dan Rusli (2006), yaitu kategori 0 (nol) atau tanpa caplak untuk
infestasi negatif, 1 – 5 ekor untuk infestasi ringan, 6 – 10 ekor untuk infestasi
sedang, 11 – 20 ekor untuk infestasi tinggi, dan kategori ˃20 ekor caplak untuk
infestasi sangat tinggi. Profil untuk tiap anjing penelitian disajikan pada Tabel 1.
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan atas perlakuan etik dari Komisi Etik
Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor dengan nomor izin 30 – 2016 ACUC RSHP FKH-IPB.

Tabel 1 Profil anjing penelitian


Anjing Ras Jenis kelamin Umur (tahun)a Bobot badan (kg)a
1 Mini pincher Jantan 2 8.3
2 Mini pincher Jantan 4 9.8
3 Beagle Jantan 7 10.2
4 Malinois Jantan 1 15.8
5 Golden Retriever Jantan 6 25.6
6 Labrador Jantan 6 26.6
7 Labrador Jantan 9 28.5
8 Pointer Jantan 6 29.9
9 Labrador Jantan 6 30.0
a
Umur dan bobot badan terukur satu minggu sebelum pemberian sediaan fluralaner
8

Prosedur Penelitian

Pemeliharaan anjing
Anjing penelitian dipelihara dalam kandang individu pada lima kannel
berbeda (B, C, D, E, F) di Direktorat Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa
Dua, Depok selama 13 minggu. Kandang yang digunakan terdiri atas bagian
indoor serta bagian semi-outdoor. Terjadi interaksi antara anjing penelitian
dengan anjing bukan penelitian sehingga risiko reinfestasi caplak sangat mungkin
terjadi. Anjing diberikan pakan standar dua kali sehari serta minum ad libitum.

Tahap persiapan dan Pemberian Sediaan Fluralaner


Anjing yang digunakan dalam penelitian diperiksa terlebih dahulu hingga
dipastikan telah terinfestasi caplak R. sanguineus sebelum diberikan sediaan
fluralaner. Pemeriksaan infestasi caplak serta pengukuran bobot badan hanya
dilakukan satu minggu sebelum perlakuan. Sediaan fluralaner diberikan peroral
dengan dosis pemberian seperti yang terdapat pada petunjuk pemakaian, yaitu 250
mg untuk anjing berbobot 4.5 – 10 kg, 500 mg untuk anjing berbobot 10 – 20 kg,
serta 1000 mg untuk anjing berbobot 20 – 40 kg.

Pengambilan dan Pemeriksaan sampel darah


Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena cephalica antebrachii
satu minggu sebelum pemberian sediaan, empat jam setelah pemberian sediaan,
serta 28, 56 dan 84 hari berikutnya setelah pemberian sediaan. Darah diambil
sebanyak 3 mL dan dimasukkan ke dalam vacutainer yang berisi antikoagulan
EDTA. Darah dalam vacutainer kemudian dihomogenkan dengan cara
mengocoknya membentuk angka 8 selama beberapa kali. Sampel kemudian diberi
label dan kemudian diperiksa di Unit Kesehatan Satwa Direktorat Polisi Satwa
Baharkam Mabes Polri menggunakan mesin Abaxis VetScan HM5 Hematology
Analyzer®. Mesin ini mampu mengidentifikasi komponen darah meliputi jumlah
sel darah merah, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, Mean Corpuscular
Volume (MCV), Mean Corpuscular Hematocrit (MCH), serta Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration (MCHC). Metode identifikasi mesin ini meliputi
kombinasi teknik impedansi untuk menghitung jumlah sel serta volumenya dan
teknik fotometri untuk mengukur kadar hemoglobin. Sampel yang dibutuhkan
oleh mesin ini adalah 5 µL darah utuh yang dimasukkan dalam tabung sampel
dengan antikoagulan EDTA.

Prosedur Analisis Data

Rataan dan simpangan baku dari jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin,


nilai hematokrit, serta indeks eritrosit dihitung satu minggu sebelum pemberian
sediaan, empat jam setelah pemberian sediaan, serta pada 28, 56, dan 84 hari
setelah pemberian sediaan fluralaner menggunakan perangkat lunak Microsoft
Excel 2013. Variabel data dianalisis secara statistik menggunakan One-way
Analyze of Variant (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang
kepercayaan 95% menggunakan IBM Static Program for Social Science (SPSS)
23.0.
9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil eritrogram anjing sebelum penelitian terlebih dahulu dibandingkan


dengan profil eritrogram normal. Evaluasi profil eritrogram kembali dilakukan
pada empat jam, 28, 56, dan 84 hari setelah pemberian sediaan fluralaner (Tabel
1). Selama penelitian tidak dilakukan perubahan aktivitas harian, kuantitas dan
kualitas pakan, serta tindakan medis pada anjing penelitian, sehingga perubahan
profil eritrogram yang terjadi tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Sebanyak dua ekor anjing penelitian juga ditemukan mati sebelum hari ke-56
dengan dugaan penyebab kematian bukan karena pemberian sediaan fluralaner.

Tabel 2 Profil eritrogram anjing sebelum dan setelah pemberian sediaan fluralaner
Nilai Setelah pemberian sediaan
Parameter Sebelum
normal# 4 jam H+28 H+56* H+84*
Jumlah eritrosit
6.03-6.98 03.70±1.53ab 05.13±1.01b 05.55±1.48c 2.70±1.43a 4.48±2.73c
(106sel/µL)
Hb (g/dL) 14.1-16.1 14.09±6.27a 10.76±2.01a 11.21±3.09a 11.84±3.42a 9.82±6.04a
Hematokrit (%) 40.9-47.6 22.67±9.92ab 30.59±5.74bc 32.86±8.64c 16.27±7.81a 39.14±7.58c
MCV (fL) 67.1-68.9 61.11±5.01ab 60.00±5.07a 59.78±5.21a 61.57±5.88ab 68.23±4.30b
MCH (pg) 22.8-23.8 38.27±5.19b 21.14±2.13a 20.26±1.37a 50.13±16.00b 21.95±1.35a
MCHC (g/dL) 33.7-34.8 63.26±11.13b 35.29±1.69a 33.92±1.29a 71.30±23.09b 32.20±1.17a
#
Keterangan: Branten et al. (2016). *Nilai rata-rata pada hari ke-56 dan 84 tidak termasuk data dua
anjing yang mati pada hari ke-56. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P<0.05).

Hasil penelitian menunjukan bahwa profil eritrogram anjing penelitian


sebelum pemberian sediaan fluralaner memiliki nilai di luar batas eritrogram
normal (Brenten et al. 2016). Jumlah eritrosit, kadar hemogolobin, serta nilai
hematokrit yang berada di bawah batas normal merupakan karakteristik utama
terjadinya anemia (Johnson-Wimbley dan Graham 2011). Anemia yang terjadi
pada anjing dapat disebabkan karena adanya defisiensi nutrisi, penyakit kronis,
kerusakan pada ginjal maupun sum-sum tulang, serta kehilangan darah (Marks
2018). Pemberian sediaan sedativa juga dapat menyebabkan terganggunya
kontraksi limpa, sehingga dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit yang
beredar pada saat terjadi pendarahan (Deniau et al. 2013). Walaupun demikian,
anemia yang terjadi pada anjing penelitian sebelum perlakuan diduga kuat
disebabkan oleh infestasi caplak yang sudah parah. Koch dan Sauer (1984)
menjelaskan, infestasi kronis caplak Rhipicephalus pada anjing dapat
menyebabkan anemia mengingat satu individu caplak betina dewasa dapat
menghisap sampai dengan 0.55 mL darah dalam satu kali siklus reproduksinya.
Selain kehilangan darah secara langsung, caplak juga dapat berperan sebagai
vektor babesiosis yang disebabkan oleh Babesia canis dan B. gibsoni yang dapat
menyebabkan hemolisis (pecahnya eritrosit) sehingga terjadi anemia (Berrada dan
Telford 2009).
Kehilangan darah akibat infestasi caplak yang terjadi secara perlahan dan
kronis biasanya menyebabkan anemia regeneratif (Chulilla et al. 2009).
10

Berdasarkan indeks eritrositnya, anjing penelitian mengalami anemia mikrositik


hiperkromik sebelum diberikan sediaan fluralaner yang ditandai dengan nilai
MCV yang berada di bawah nilai normal serta nilai MCHC yang berada di atas
nilai normal. Penurunan nilai MCV ini mengindikasikan bahwa eritrosit
berukuran lebih kecil dari ukuran normal, sedangkan peningkatan nilai MCH
maupun MCHC mengindikasikan bahwa konsentrasi hemoglobin yang
terkandung dalam eritrosit tinggi (Solihah 2013). Anemia mikrositik menurut
Chulilla et al. (2009) umumnya disebabkan oleh defisiensi zat besi, kondisi
talasemia, serta akibat penyakit kronis seperti infeksi kronis dan neoplasia.
Kondisi hiperkromik walaupun jarang terjadi, secara patologis biasanya
terjadi akibat hereditary spherocytosis. Kondisi patologis ini ditandai dengan
banyak ditemukan sferosit yang berukuran lebih kecil dari eritrosit dan berbentuk
bulat dengan warna yang sangat pekat sehingga MCHC dapat ditemukan
meningkat. Pemeriksaan ulas darah diperlukan untuk memastikan dugaan ini.
Berda-Haddad et al. (2016) menambahkan, kondisi cold agglutination juga dapat
menyebabkan kesalahan pembacaan sel darah merah oleh mesin penghitung. Hal
ini sering kali terjadi saat pemeriksaan laboratoris akibat tersedianya auto-
antibodies yang mengaglutinasi sel darah merah saat berada pada suhu di bawah
37 oC (Berentsen dan Tjønnfjord 2012).
Evaluasi profil eritrogam yang dilakukan empat jam setelah pemberian
sediaan fluralaner ditujukan untuk mengetahui efek langsung dari sediaan ini.
Burgio et al. (2016) melaporkan, sediaan fluralaner mulai berkerja empat jam
setelah pemberian sediaan yang ditunjukkan dengan kematian caplak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah eritrosit mengalami peningkatan yang
tidak signifikan (P>0.05), sehingga dapat dikatakan sediaan fluralaner tidak
mempengaruhi jumlah eritrosit secara langsung empat jam setelah pemberiaan
sediaan. Hal ini disebabkan sediaan fluralaner belum efektif membunuh caplak
sehingga kehilangan darah masih terjadi dan pengaruh proses eritropoiesis belum
terlihat. Jumlah serta konsentrasi hemoglobin yang terkandung dalam sel juga
ditemukan mengalami penurunan yang ditunjukkan dengan penurunan nilai MCH
serta MCHC secara signifikan (P<0.05). Penurunan jumlah serta konsentrasi
hemoglobin yang sangat drastis ini dapat berakibat pada penurunan jumlah
oksigen serta karbondioksida yang dapat diangkut oleh sel untuk proses respirasi,
sehingga secara langsung anjing mungkin saja mengalami tachypnea akibat
kekurangan oksigen. Walaupun demikian, kadar hemoglobin total ditemukan
tidak mengalami perubahan yang signifikan (P>0.05), sehingga dapat diduga
bahwa penurunan nilai MCH maupun MCHC yang terjadi merupakan akibat dari
perubahan ukuran sel yang mengecil.
Jumlah eritrosit kembali meningkat secara signifikan (P<0.05) hingga
mencapai nilai maksimum sebesar 5.55±1.48 106sel/µL pada hari ke-28.
Peningkatan jumlah eritrosit ini diduga terjadi akibat infestasi caplak yang telah
teratasi dengan baik oleh sediaan fluralaner. Menurunnya jumlah caplak yang
menginfestasi anjing membuktikan terjadinya peningkatan efektifitas sediaan
tersebut. Hal ini seperti yang dilaporkan Wangenmayer et al. (2014) bahwa efikasi
tertinggi dari sediaan fluralaner dicapai pada hari ke-28. Jumlah serta konsentrasi
hemoglobin dalam eritrosit ditemukan menurun secara signifikan (P<0.05) jika
dibandingkan dengan kondisi sebelum pemberian sediaan fluralaner. Hal ini
11

diduga kembali terjadi akibat perubahan ukuran sel yang ditunjukkan dengan
perubahan nilai MCV.
Jumlah eritrosit ditemukan menurun secara signifikan (P<0.05) hingga
mencapai nilai minimum sebesar 2.70±1.43 106sel/µL pada hari ke-56. Penurunan
yang signifikan terhadap jumlah eritrosit ini diduga disebabkan karena terjadi
reinfestasi caplak, sehingga kehilangan darah kembali terjadi. Caplak betina
dewasa yang tidak terpengaruh sediaan fluralaner pada awal pemberian akan jatuh
dari tubuh anjing dan kemudian bertelur. Hadi dan Adventini (2015) menjelaskan,
telur caplak Rhipicephalus akan menetas menjadi larva 21-51 hari setelah caplak
betina jatuh dari inangnya. Larva caplak ini kemudian akan kembali menginfestasi
anjing sehingga menyebabkan kehilangan darah. Reinfestasi juga dapat terjadi
akibat sediaan fluralaner kurang efektif membunuh caplak pada hari ke-56. Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohdich et al. (2014) bahwa,
efikasi terendah sediaan fluralaner dicapai pada hari ke-56. Jumlah serta
konsentrasi hemoglobin dalam sel juga kembali ditemukan meningkat secara
signifikan (P<0.05) hingga mencapai nilai maksimum sebesar 50.13±16.00 pg
serta 71.30±23.09 g/dL pada hari ke-56.
Jumlah eritrosit kembali meningkat secara signifikan (P<0.05) pada hari ke-
84. Peningkatan jumlah eritrosit ini diduga disebabkan karena infestasi caplak
kembali menurun sehingga kehilangan darah dapat dihentikan. Hal ini seperti
yang dilaporkan Rohdich et al. (2014) bahwa sediaan fluralaner efektif
membunuh caplak sampai dengan hari ke-84. Faktor lain yang dapat mempercepat
peningkatan jumlah eritrosit secara signifikan adalah peningkatan produksi
hormon eritropoietin yang berguna dalam proses pembentukan eritrosit. Khan et
al. (2011) menjelaskan bahwa peningkatan produksi hormon eritropoietin dapat
terjadi sebagai respon kehilangan darah yang parah seperti yang terjadi pada hari
ke-56. Retikulosit yang dihasilkan oleh sum-sum tulang kemudian akan menuju
sirkulasi darah dan matang menjadi eritrosit dalam 1-4 hari (Lombardi et al.
2012). Peningkatan jumlah eritrosit yang beredar dalam tubuh dalam waktu yang
cepat juga dapat disebabkan kerena pelepasan eritrosit akibat kontraksi limpa pada
saat terjadi kehilangan darah (Hodgson dan Foreman 2014).
Ukuran sel ditemukan membesar sehingga mencapai ukuran normal eritrosit
anjing menurut Branten et al. (2016) pada hari ke-84 yang ditunjukkan dengan
meningkatnya nilai MCV secara signifikan (P<0.05). Hal ini membuktikan bahwa
sediaan fluralaner mampu mengubah kondisi eritrosit mikrositik menjadi
normositik pada hari ke-84. Jumlah serta konsentrasi hemoglobin dalam sel yang
ditunjukkan dengan nilai MCH serta MCHC ditemukan menurun secara
signifikan (P<0.05) hingga mendekati nilai normal. Walaupun demikian, hal ini
menyebabkan anjing mengalami kondisi hipokromik yang ditunjukkan dengan sel
berwarna lebih pucat dari normal. Naigamwalla et al. (2012) menjelaskan, kondisi
hipokromik biasa terjadi pada anjing yang mengalami defisensi zat besi.
Secara keseluruhan, sediaan fluralaner diduga tidak memengaruhi profil
eritrogram anjing secara langsung, namun disebabkan oleh efektifitasnya dalam
membunuh caplak sebagai salah satu faktor penyebab anemia. Hal ini dibuktikan
dengan pergerakan jumlah eritrosit anjing yang mengikuti perubahan efikasi dari
sediaan fluralaner. Jumlah eritrosit terbanyak dicapai pada hari ke-28 saat
efikasinya dilaporkan Wangenmayer et al. (2014) mencapai nilai tertinggi.
Semakin tinggi nilai efikasinya, maka jumlah caplak yang menginfestasi semakin
12

sedikit sehingga kehilangan darah pun berkurang. Walaupun demikian, anjing


ditemukan masih mengalami anemia sampai dengan akhir penelitian yang
ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang masih di bawah jumlah normal menurut
Branten et al. (2016). Hal ini diduga disebabkan karena masih adanya faktor lain
penyebab anemia. Infeksi parasit darah seperti B. canis diduga menjadi salah satu
penyebab kehilangan darah. Walaupun demikian, pemeriksaan ulas darah harus
dilakukan untuk memastikan dugaan ini. Faktor lain yang dapat menyebabkan
rendahnya jumlah eritrosit pada anjing penelitian adalah telah terjadinya proses
adaptasi terhadap anemia yang sudah berjalan kronis (Naigamwalla et al. 2012).
Kadar hemoglobin total yang tidak berubah selama penelitian juga diduga
terjadi bersamaan dengan defisiensi zat besi. Menurut Grimes dan Fry (2015),
penurunan konsentrasi zat besi dalam darah menyebabkan penurunan kemampuan
retikulosit untuk menyintesis hemoglobin. Walaupun demikian, pemeriksaan
konsentrasi zat besi dalam darah perlu dilakukan untuk memastikan dugaan ini.
Ukuran sel ditemukan tidak terpengaruh secara signifikan sampai dengan hari ke-
56, namun berubah signifikan pada hari ke-84 sehingga ukuran sel menjadi
normositik. Perubahan ukuran sel ini juga mempengaruhi jumlah serta konsentrasi
hemoglobin yang terkandung di dalamnya. Semakin besar ukuran sel maka
semakin banyak pula hemoglobin yang terkandung di dalamnya, begitu pula
sebaliknya. Hal ini ditunjukkan dengan pergerakan nilai MCV yang diikuti
dengan pergerakan nilai MCH serta MCHC.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sediaan fluralaner mampu memperbaiki kondisi anemia pada anjing


terinfestasi caplak yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah eritrosit, nilai
hematokrit, serta nilai MCV mendekati nilai normal.

Saran

Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan memperhatikan parameter


biologis lain seperti profil leukogram serta fungsi hati maupun ginjal untuk
mengetahui pengaruh sediaan fluralaner terhadap status kesehatan anjing.
Pemeriksaan farmakokinetik serta farmakodinamik juga dapat diteliti untuk
mengetahui pengaruh sediaan ini terhadap tubuh serta interaksinya dengan
senyawa lain. Pemeriksaan ulas darah serta efikasi sediaan fluralaner terhadap
parasit darah juga akan bermanfaat.
13

DAFTAR PUSTAKA

Adili N, Melizi M, Belabbas H. 2016. Species determination using the red blood
cells morphometry in domestic animals. Veterinary World. 9(7):960-963.
Ayodhya S. 2014. Management of tick infestation in dogs. Journal of Advanced
Veterinary and Animal Research. 1(3):145-147.
Beck S, Schein VE, Baldermann, Himmelstjerna G, Michniak-Kohn B, Samson G.
2013. Tick infestation and tick prophylaxis in dogs in the area of
Berlin/Brandenburg-results of a questionnaire study. Berliner und
Munchener Tierarztliche Wochenschrift. 126(1):69-76.
Berda-Haddad Y, Faure C, Boubaya M, Arpin M, Cointe S, Frankel D, Lacroix E,
Dignat-George F. 2016. Increased mean corpuscular haemoglobin
concentration: artefact or pathological condition? International Journal Of
Laboratory Hematology. 39:32-41.
Berentsen S, Tjønnfjord GE. 2012. Diagnosis and treatment of cold agglutinin
mediated autoimmune hemolytic anemia. Blood Reviews. 26(2012):107–115.
Berrada ZL, Telford III SR. 2009. Burden of tick-borne infections on American
companion animals. Topics in Companion Animal Medicine. 24(4):175-181.
Bonneau S, Gupta S, Cadiergues M. 2010. Comparative efficacy of two fipronil
spot-on formulations against experimental tick infestations (Ixodes ricinus)
in dogs. Parasitology Research. 107: 735-739.
Brenten T, Morris PJ, Salt C, Raila J, Kohn B, Schweigert FJ, Zentek J. 2016.
Age-associated and breed-associated variations in haematological and
biochemical variables in young Labrador Retriever and Miniature Schnauzer
dogs. Veterinary Record. doi: 10.1136/vetreco-2015-0001666.
Burgio F, Meyer L, Armstrong R. 2016. A comparative laboratory trial evaluating
the immediate efficacy of fluralaner, afoxolaner, sarolaner and imidacloprid
+ permethrin against adult Rhipicephalus sanguineus (sensu lato) ticks
attached to dogs. Parasites and Vectors. 9(626). doi: 10.1186/s13071-016-
1900-z.
Chulilla JAM, Colás MSR, Martín MG. 2009. Classification of anemia for
gastroenterologists. Journal of Gastroenterogists. 15(37):4627-4637. doi:
10.3748/wjg.15.4627.
Coles TB, Dryden MW. 2014. Insecticide/acaricide resistance in fleas and ticks
infesting dogs and cats. Parasites and Vectors. 7(8). doi: 10.1186/1756-
3305-7-8.
Dantas-Torres. 2010. Biology and ecology of the brown dog tick, Rhipicephalus
sanguineus. Parasites and Vectors. doi: 10.1186/1756-3305-3-26.
Deniau V, Depecker M, Bizon-Mercier C, Couroucé-Malblanc A. 2013. Influence
of detomidine and xylazine on spleen dimensions and on splenic response to
epinephrine infusion in healthy adult horses. Journal of Veterinary
Anaesthesia and Analgesia. 40(4):375-381.
Fritz CL. 2009. Emerging tick-borne diseases. Veterinary Clinics of North
America: Small Animal Practice. 39(2):265-278.
Gassel M, Wolf C, Noack S, Williams H, Ilg T. 2014. The novel isoxazoline
ectoparasiticide fluralaner: selective inhibition of arthropod γ-aminobutyric
14

acid- and L-glutamate-gated chloride channels and insecticidal/acaricidal


activity. Insect Biochemistry and Molecular Biology. (45):111-124.
Grimes CN, Fry MM. 2015. Nonregenerative anemia: Mechanisms of decreased
or ineffective erythropoiesis. Veterinary Pathology. 52(2):298-311.
Hadi UK, Adventini M. 2015. Fecundity, oviposition and egg incubation period of
female Rhipicephalus sanguineus latreille (Acari: Ixodidae) Ticks in
Indonesia. Journal of Veterinary Medicine and Research. 2(5):1036.
Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus
(Parasitiformes: Ixodidae) di Daerah Kota Bogor. Jurnal Medik Veteriner
Indonesia. 10(2):55- 60.
Hadi UK, Soviana S, Pratomo IRC. 2016. Prevalence of tick-borne diseases in
Indonesian dogs. Journal of Veterinary Science and Technology. 7(3). doi:
10.4172/2157-7579.1000330.
Hasan M, Abubakar M, Muhammad G, Khan MN, Hussain M. 2012. Prevalence
of tick infestation (Rhipicephalus sanguineus and Hyalomma anatolicum
anatolicum) in dogs in Punjab, Pakistan. Veterinarian Italiana. 48(1):95-98.
Hidayat S. 2017. Efikasi obat berbahan aktf fluralaner pada anjing yang terinfeksi
caplak dengan bobot badan kurang dari 20 kg [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hodgson DR, Foreman JH. 2014. Principles and Practice of Equine Sports
Medicine. Di dalam: The Athletic Horse [Internet]. hlm 9-18; [diunduh 2018
Jun 30]. Tersedia pada: https://doi.org/10.1016/B978-0-7216-0075-8.00011-
3
Hoffman JF. 2016. Biconcave shape of human red-blood-cell ghosts relies on
density differences between the rim and dimple of the ghost’s plasma
membrane. Proceedings of the national Academy of Sciences.
113(51):14847-14851. doi: 10.1073/pnas.1615452113.
Holmes PH, Jain NC, Waltisbuhl DJ, Bernstein M, Campbell KL, Fan TM,
Jorgensen WK. 2018. MSD Veterinary Manual: Anemia in Dogs. MSD
[internet]. [diunduh 2018 Mei 19]. Tersedia pada:
https://www.msdvetmanual.com/dog-owners/blood-disorders-of-
dogs/anemia-in-dogs
Huyut Z, Şekeroğlu MR, Balahoroğlu R, Karakoyun T, Çokluk E. 2016. The
relationship of oxidation sensitivity of red blood cells and carbonic
anhydrase activity in stored human blood: effect of certain phenolic
compounds. Biomed Research International. doi: 10.1155/2016/3057384.
Jelkmann W. 2011. Regulation of erithropoietin production. Journal of
Physiology. 589(6):1251-1258.
Johnson-Wimbley TD, Graham DY. 2011. Diagnosis and management of iron
deficiency anemia in the 21st century. Therapeutic Advances in
Gastroenterology. 4(3):177-184.
Khan SA, Epstein JH, Olival KJ, Hassan MM, Hossain MB, Rahman KBMA,
Elahi MF, Mamun MA, Haider N, Yasin G, Desmond J. 2011. Hematology
and serum chemistry reference values of stray dogs in Bangladesh. Open
Veterinary Journal. 1:13-20. ISSN: 2218-6050.
Kilp S, Ramirez D, Allan MJ, Roepke RKA, Nuernberger MC. 2014.
Pharmacokinetics of fluralaner in dogs following a single oral or
15

intravenous administration. Parasites and Vectors. 7(85). doi:


10.1186/1756-33057-85.
Koch HG, Sauer JR. 1984. Quantity of blood ingested by four species of hard
ticks (Acari: Ixodidae) fed on domestic dogs. Annals of the Entomological
Society of America. 77(2):142-146.
Lombardi G, Colombini A, Lanteri P, Banfi G. 2012. Chapter five – Reticulocyte
in sport medicine: an update. Di dalam: Advances in Clinical Chemestry
[Internet]. [diunduh 2018 Jun 30]. Tersedia pada:
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-405211-6.00005-X.
Marks SL. 2018. Anemia in Dogs. Di dalam: MSD Manual [Internet]. [diunduh
2018 Jul 12]. Tersedia pada: https://www.msdvetmanual.com/dog-
owners/blood-disorders-of-dogs/anemia-in-dogs.
Motaghipisheh S, Akhtardanesh B, Ghanbarpour R, Aflatoonian MR, Khalili M,
Nourollahifard SR, Mokhtari S. 2016. Erischiosis in houshold dogs and
parasitized ticks in Kerman-Iran: preliminary zoonotic risk assessment.
Journal of Anthropod-Borne Disease. 10(2):245-251.
Naigamwalla DZ, Webb JA, Giger U. 2012. Iron deficiency anemia. Canadian
Veterinary Journal.53:250-256.
Nambi AP, Rathi B, Kavitha S, Dudhatra G, Yamini HS, Bhat AA. 2016. Efficacy
of a novel topical combination of fipronil 9.8% and (S)-methoprene 8.8%
against ticks and fleas in naturally infested dog. Scientifica. doi:
10.1155/2016/7174685.
Natadisastra D, Agus R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Puri KM, Dahelmi, Mairawita. 2014. Jenis-jenis dan prevalensi ektoparasit pada
anjing peliharaan. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 3(3):183-187.
Rohdich N, Roepke RKA, Zschiesche E. 2014. A randomized, blinded, controlled
and multi-centered field study comparing the efficacy and safety of
Bravecto™ (fluralaner) against Frontline™ (fipronil) in flea- and tick-
infested dogs. Parasites and Vectors. 7(83). doi: 10.1186/1756-3305-7-83.
Sahu A, Mohanty B, Panda MR, Sardar KK, Dehuri M. 2013. Prevalence of tick
infestation in dogs in and around Bhubaneswar. Veterinary World.
6(12):982-985.
Salam SW. 2012. Gambaran jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai
hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
betina [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Salem NY, Farag HS. 2014. Clinical, hematologic, and molecular findings in
naturally occurring Babesia canis vogeli in Egyptian dogs. Veterinary
Medicine International. doi: 10.1155/2014/270345.
Solihah C. 2013. Profil eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Snyder GK, Sheafor BA. 1999. Red blood cells: centerpiece in the evolution of
the vertebrate circulatory system. American Zoologist. 39: 189-198.
Stafford III KC, Williams SC, Molaei G. 2017. Integrated pest management in
controlling ticks and tick-associated diseases. Journal of Integrated Pest
Management. 8(1). doi: 10.1093/jipm/pmx108.
Wangenmayer C, Williams H, Zschiesche E, Monritz A, Langenstein J, Roepke
RKA, Heckeroth AR. 2014. The speed of kill of fluralaner (Barvecto ™)
16

against Ixodides rinchinus ticks on dogs. Parasites and Vectors. 7(525). doi:
10.1186/s13071-014-0525-3.
Walther FM, Allan MJ, Roepke KA, Nuernberger MC. 2017. Safety of fluralaner
chewable tablets (Bravecto™), a novel systemic antiparasitic drug, in dogs
after oral administration. Parasites and Vectors.7(87). doi: 10.1186/1756-
3305-7-87.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. Ames
(US): Blackwell Publishing.
Zhang Z, Cheng J, Xu F, Chen Y, DU J, Yuan M, Zhu F, Xu X, Yuan S. 2011.
Red blood cell extrudes nucleus and mitochondria against oxidative stress.
Life. 63(7):560-565.
17

LAMPIRAN
18

Lampiran 1 Persetujuan Atas Perlakuan Etik


19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 4 Juni1996 dari Ibu Alifah dan
Ayah Bambang Sutrisno. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Mekarsari 2, Depok pada
tahun 2008, pendidikan menengah pertama di SMP Islam PB Soedirman, Jakarta
Timur, dan pada tahun 2014 lulus dari SMAN 38 Jakarta. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2014 melalui jalur SNMPTN dengan program
studi Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti
seluruh kegiatan wajib sebagai mahasiswa FKH IPB, mengikuti kegiatan magang
profesi, hingga mengikuti kegiatan sosial.

Anda mungkin juga menyukai