ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 ini ialah profil
eritrogram anjing, dengan judul Profil Eritrogram Anjing Terinfestasi Caplak
Rhipicephalus sanguineus yang Diobati dengan Sediaan Fluralaner.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Sus Derthi Widhyari, MSi
selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi selaku
pembimbing akademik sekaligus pembimbing kedua yang telah banyak memberi
saran dan masukan untuk tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu drh Tris Isyani
Tungga Dewi selaku dosen pembimbing penelitian serta pihak Direktorat Polisi
Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa Dua, Depok yang telah membantu
sepanjang penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua
orangtua penulis, Bapak Bambang Sutrisno dan Ibu Alifah serta kakak Nadilah
Tyassistha yang selalu memberi semangat, dukungan serta doa.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
perjuangan selama penelitian, Fakhri dan Zao, serta Luthfi, Bagaskara, Nadiy,
Pavee, Lim Yong Yi, Peng, Tisa atas bantuan, dukungan, dan doa selama
penelitian ini berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada
teman-teman Acinonyx 51 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar tubuh inang yang berasal
dari kelas Insekta (pinjal dank kutu) serta Arachnida (caplak dan tungau)
(Natadisastra dan Agus 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puri et
al. (2014), jenis ektoparasit yang paling sering menyerang anjing peliharaan di
Kota Padang adalah caplak Rhipicephalus sanguineus dengan nilai prevalensi
mencapai 73.3%, diikuti oleh Haemaphysalis sp. (46.7%), Dermacentor sp. (20%),
pinjal Ctenocephalides canis (13.3%), serta satu spesies tungau dari famili
Laelapidae (6.7%). Sahu et al. (2013) melaporkan, anjing liar memiliki nilai
prevalensi terinfestasi oleh caplak yang lebih tinggi (58.33%) jika dibandingkan
dengan anjing peliharaan. Anjing berumur kurang dari satu tahun juga memiliki
nilai prevalensi yang lebih tinggi (56.25%) jika dibandingkan dengan anjing yang
berumur lebih dari satu tahun (43.75%). Hadi et al. (2016) menambahkan, ras
maupun jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap infestasi
caplak.
Caplak Rhipicepalus dapat menghisap darah anjing selama beberapa hari
hingga beberapa minggu tergantung pada stadium perkembangan caplak maupun
kondisi inang (Dantas-Torres 2010). Anjing yang terinfestasi caplak biasanya
menunjukan beberapa gejala klinis berupa rasa gatal sehingga anjing menjadi
gelisah dan menggosok-gosokan badannya ke permukaan kasar hingga
menimbulkan kebotakan (alopecia) maupun lesio yang dapat ditemukan pada
seluruh permukaan tubuh, penurunan nafsu makan, penurunan bobot badan,
kelelahan (lethargy), anemia, sampai dengan kematian jika tidak diatasi (Ayodhya
2014; Puri et al. 2014). Hadi et al. (2016) menambahkan, bagian tubuh anjing
yang paling sering terinfestasi oleh caplak Rhipicephalus adalah punggung (35%),
kepala hinggal leher (29%), kaki dan celah antar jari (14.5%), abdomen (10.9%),
serta ekor (10.9%). Hasan et al. (2012) menjelaskan, tingginya infestasi caplak
pada telinga dan punggung disebabkan karena bagian ini merupakan area tubuh
yang memiliki pembuluh darah besar yang dekat dengan permukaan kulit
sehingga memungkinkan caplak untuk menghisap darah dengan mudah dan
banyak. Suhu tubuh maupun denyut nadi biasanya tidak mengalami peningkatan,
tetapi membran mukosa biasanya terlihat pucat akibat anemia seperti yang
dilaporkan Ayodhya (2014).
3
Fluralaner
Eritrosit
membelah lagi. Menurut Snyder dan Sheafor (1999), nukleus serta organel-
organel lain seperti retikulum endoplasma yang tidak dapat ditemukan dalam
eritrosit merupakan bukti terjadinya evolusi yang lebih maju pada mamalia karena
organel-organel tersebut tidak dibutuhkan sel untuk menjalankan fungsi utamanya
sebagai pembawa oksigen. Zhang et al. (2011) menambahkan, keberadaan
nukleus maupun organel-organel tersebut dalam eritrosit dapat menyebabkan
eritrosit tertahan pada pembuluh darah kapiler yang berukuran kecil.
Ketidakberadaan mitokondria sebagai pelaksana respirasi seluler juga
menyebabkan eritrosit hanya memiliki umur yang relatif singkat atau sekitar 120
hari.
Jumlah eritrosit yang beredar dalam tubuh hewan yang sehat selalu terjaga
konstan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Weiss dan Wardrop (2010),
jumlah tersebut pada anjing adalah 5.5-8.5 × 106 sel/µL. Laju produksi eritrosit
ditentukan oleh kondisi tubuh yang direspon dengan produksi hormon
eritropoietin oleh ginjal. Jelkmann (2011) menjelaskan, hormon eritropoietin
berfungsi untuk menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritrosit di sum-sum
tulang serta memelihara kelangsungan hidup eritrosit yang beredar dalam tubuh.
Peningkatan hormon eritropoietin akan meningkat seiring dengan rendahnya
kadar oksigen dalam jaringan yang secara langsung menyebabkan peningkatan
laju produksi eritrosit sehingga jumlah eritrosit yang beredar juga meningkat
(Jelkmann 2011). Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan kadar oksigen
jaringan rendah di antaranya kelainan jantung, gagal jantung, berada pada
ketinggian yang tinggi, chronic obstructive pulmonary disease, gangguan paru-
paru, sleep apnea, maupun pengaruh nikotin. Peningkatan jumlah eritrosit yang
beredar juga dapat disebabkan oleh pengaruh obat-obatan terutama yang
mengandung steroid maupun eritropoietin. Gangguan ginjal pasca transplantasi
maupun gangguan sum-sum tulang juga dapat menyebabkan peningkatan
produksi eritrosit. Peningkatan semu mungkin terjadi akibat dehidrasi di mana
konsentrasi plasma darah menurun sehingga jumlah darah yang terhitung seolah
meningkat. Kondisi yang ditandai denga peningkatan jumlah eritrosit yang
beredar dikenal dengan polisitemia. Penurunan jumlah eritrosit dapat disebabkan
oleh anemia akibat kehilangan darah secara akut maupun kronis, kegagalan dalam
produksi darah, maupun destruksi eritrosit (Holmes et al. 2018).
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit
Indeks Eritrosit
METODE PENELITIAN
Hewan Coba
Prosedur Penelitian
Pemeliharaan anjing
Anjing penelitian dipelihara dalam kandang individu pada lima kannel
berbeda (B, C, D, E, F) di Direktorat Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri, Kelapa
Dua, Depok selama 13 minggu. Kandang yang digunakan terdiri atas bagian
indoor serta bagian semi-outdoor. Terjadi interaksi antara anjing penelitian
dengan anjing bukan penelitian sehingga risiko reinfestasi caplak sangat mungkin
terjadi. Anjing diberikan pakan standar dua kali sehari serta minum ad libitum.
Tabel 2 Profil eritrogram anjing sebelum dan setelah pemberian sediaan fluralaner
Nilai Setelah pemberian sediaan
Parameter Sebelum
normal# 4 jam H+28 H+56* H+84*
Jumlah eritrosit
6.03-6.98 03.70±1.53ab 05.13±1.01b 05.55±1.48c 2.70±1.43a 4.48±2.73c
(106sel/µL)
Hb (g/dL) 14.1-16.1 14.09±6.27a 10.76±2.01a 11.21±3.09a 11.84±3.42a 9.82±6.04a
Hematokrit (%) 40.9-47.6 22.67±9.92ab 30.59±5.74bc 32.86±8.64c 16.27±7.81a 39.14±7.58c
MCV (fL) 67.1-68.9 61.11±5.01ab 60.00±5.07a 59.78±5.21a 61.57±5.88ab 68.23±4.30b
MCH (pg) 22.8-23.8 38.27±5.19b 21.14±2.13a 20.26±1.37a 50.13±16.00b 21.95±1.35a
MCHC (g/dL) 33.7-34.8 63.26±11.13b 35.29±1.69a 33.92±1.29a 71.30±23.09b 32.20±1.17a
#
Keterangan: Branten et al. (2016). *Nilai rata-rata pada hari ke-56 dan 84 tidak termasuk data dua
anjing yang mati pada hari ke-56. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P<0.05).
diduga kembali terjadi akibat perubahan ukuran sel yang ditunjukkan dengan
perubahan nilai MCV.
Jumlah eritrosit ditemukan menurun secara signifikan (P<0.05) hingga
mencapai nilai minimum sebesar 2.70±1.43 106sel/µL pada hari ke-56. Penurunan
yang signifikan terhadap jumlah eritrosit ini diduga disebabkan karena terjadi
reinfestasi caplak, sehingga kehilangan darah kembali terjadi. Caplak betina
dewasa yang tidak terpengaruh sediaan fluralaner pada awal pemberian akan jatuh
dari tubuh anjing dan kemudian bertelur. Hadi dan Adventini (2015) menjelaskan,
telur caplak Rhipicephalus akan menetas menjadi larva 21-51 hari setelah caplak
betina jatuh dari inangnya. Larva caplak ini kemudian akan kembali menginfestasi
anjing sehingga menyebabkan kehilangan darah. Reinfestasi juga dapat terjadi
akibat sediaan fluralaner kurang efektif membunuh caplak pada hari ke-56. Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohdich et al. (2014) bahwa,
efikasi terendah sediaan fluralaner dicapai pada hari ke-56. Jumlah serta
konsentrasi hemoglobin dalam sel juga kembali ditemukan meningkat secara
signifikan (P<0.05) hingga mencapai nilai maksimum sebesar 50.13±16.00 pg
serta 71.30±23.09 g/dL pada hari ke-56.
Jumlah eritrosit kembali meningkat secara signifikan (P<0.05) pada hari ke-
84. Peningkatan jumlah eritrosit ini diduga disebabkan karena infestasi caplak
kembali menurun sehingga kehilangan darah dapat dihentikan. Hal ini seperti
yang dilaporkan Rohdich et al. (2014) bahwa sediaan fluralaner efektif
membunuh caplak sampai dengan hari ke-84. Faktor lain yang dapat mempercepat
peningkatan jumlah eritrosit secara signifikan adalah peningkatan produksi
hormon eritropoietin yang berguna dalam proses pembentukan eritrosit. Khan et
al. (2011) menjelaskan bahwa peningkatan produksi hormon eritropoietin dapat
terjadi sebagai respon kehilangan darah yang parah seperti yang terjadi pada hari
ke-56. Retikulosit yang dihasilkan oleh sum-sum tulang kemudian akan menuju
sirkulasi darah dan matang menjadi eritrosit dalam 1-4 hari (Lombardi et al.
2012). Peningkatan jumlah eritrosit yang beredar dalam tubuh dalam waktu yang
cepat juga dapat disebabkan kerena pelepasan eritrosit akibat kontraksi limpa pada
saat terjadi kehilangan darah (Hodgson dan Foreman 2014).
Ukuran sel ditemukan membesar sehingga mencapai ukuran normal eritrosit
anjing menurut Branten et al. (2016) pada hari ke-84 yang ditunjukkan dengan
meningkatnya nilai MCV secara signifikan (P<0.05). Hal ini membuktikan bahwa
sediaan fluralaner mampu mengubah kondisi eritrosit mikrositik menjadi
normositik pada hari ke-84. Jumlah serta konsentrasi hemoglobin dalam sel yang
ditunjukkan dengan nilai MCH serta MCHC ditemukan menurun secara
signifikan (P<0.05) hingga mendekati nilai normal. Walaupun demikian, hal ini
menyebabkan anjing mengalami kondisi hipokromik yang ditunjukkan dengan sel
berwarna lebih pucat dari normal. Naigamwalla et al. (2012) menjelaskan, kondisi
hipokromik biasa terjadi pada anjing yang mengalami defisensi zat besi.
Secara keseluruhan, sediaan fluralaner diduga tidak memengaruhi profil
eritrogram anjing secara langsung, namun disebabkan oleh efektifitasnya dalam
membunuh caplak sebagai salah satu faktor penyebab anemia. Hal ini dibuktikan
dengan pergerakan jumlah eritrosit anjing yang mengikuti perubahan efikasi dari
sediaan fluralaner. Jumlah eritrosit terbanyak dicapai pada hari ke-28 saat
efikasinya dilaporkan Wangenmayer et al. (2014) mencapai nilai tertinggi.
Semakin tinggi nilai efikasinya, maka jumlah caplak yang menginfestasi semakin
12
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adili N, Melizi M, Belabbas H. 2016. Species determination using the red blood
cells morphometry in domestic animals. Veterinary World. 9(7):960-963.
Ayodhya S. 2014. Management of tick infestation in dogs. Journal of Advanced
Veterinary and Animal Research. 1(3):145-147.
Beck S, Schein VE, Baldermann, Himmelstjerna G, Michniak-Kohn B, Samson G.
2013. Tick infestation and tick prophylaxis in dogs in the area of
Berlin/Brandenburg-results of a questionnaire study. Berliner und
Munchener Tierarztliche Wochenschrift. 126(1):69-76.
Berda-Haddad Y, Faure C, Boubaya M, Arpin M, Cointe S, Frankel D, Lacroix E,
Dignat-George F. 2016. Increased mean corpuscular haemoglobin
concentration: artefact or pathological condition? International Journal Of
Laboratory Hematology. 39:32-41.
Berentsen S, Tjønnfjord GE. 2012. Diagnosis and treatment of cold agglutinin
mediated autoimmune hemolytic anemia. Blood Reviews. 26(2012):107–115.
Berrada ZL, Telford III SR. 2009. Burden of tick-borne infections on American
companion animals. Topics in Companion Animal Medicine. 24(4):175-181.
Bonneau S, Gupta S, Cadiergues M. 2010. Comparative efficacy of two fipronil
spot-on formulations against experimental tick infestations (Ixodes ricinus)
in dogs. Parasitology Research. 107: 735-739.
Brenten T, Morris PJ, Salt C, Raila J, Kohn B, Schweigert FJ, Zentek J. 2016.
Age-associated and breed-associated variations in haematological and
biochemical variables in young Labrador Retriever and Miniature Schnauzer
dogs. Veterinary Record. doi: 10.1136/vetreco-2015-0001666.
Burgio F, Meyer L, Armstrong R. 2016. A comparative laboratory trial evaluating
the immediate efficacy of fluralaner, afoxolaner, sarolaner and imidacloprid
+ permethrin against adult Rhipicephalus sanguineus (sensu lato) ticks
attached to dogs. Parasites and Vectors. 9(626). doi: 10.1186/s13071-016-
1900-z.
Chulilla JAM, Colás MSR, Martín MG. 2009. Classification of anemia for
gastroenterologists. Journal of Gastroenterogists. 15(37):4627-4637. doi:
10.3748/wjg.15.4627.
Coles TB, Dryden MW. 2014. Insecticide/acaricide resistance in fleas and ticks
infesting dogs and cats. Parasites and Vectors. 7(8). doi: 10.1186/1756-
3305-7-8.
Dantas-Torres. 2010. Biology and ecology of the brown dog tick, Rhipicephalus
sanguineus. Parasites and Vectors. doi: 10.1186/1756-3305-3-26.
Deniau V, Depecker M, Bizon-Mercier C, Couroucé-Malblanc A. 2013. Influence
of detomidine and xylazine on spleen dimensions and on splenic response to
epinephrine infusion in healthy adult horses. Journal of Veterinary
Anaesthesia and Analgesia. 40(4):375-381.
Fritz CL. 2009. Emerging tick-borne diseases. Veterinary Clinics of North
America: Small Animal Practice. 39(2):265-278.
Gassel M, Wolf C, Noack S, Williams H, Ilg T. 2014. The novel isoxazoline
ectoparasiticide fluralaner: selective inhibition of arthropod γ-aminobutyric
14
against Ixodides rinchinus ticks on dogs. Parasites and Vectors. 7(525). doi:
10.1186/s13071-014-0525-3.
Walther FM, Allan MJ, Roepke KA, Nuernberger MC. 2017. Safety of fluralaner
chewable tablets (Bravecto™), a novel systemic antiparasitic drug, in dogs
after oral administration. Parasites and Vectors.7(87). doi: 10.1186/1756-
3305-7-87.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. Ames
(US): Blackwell Publishing.
Zhang Z, Cheng J, Xu F, Chen Y, DU J, Yuan M, Zhu F, Xu X, Yuan S. 2011.
Red blood cell extrudes nucleus and mitochondria against oxidative stress.
Life. 63(7):560-565.
17
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 4 Juni1996 dari Ibu Alifah dan
Ayah Bambang Sutrisno. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Mekarsari 2, Depok pada
tahun 2008, pendidikan menengah pertama di SMP Islam PB Soedirman, Jakarta
Timur, dan pada tahun 2014 lulus dari SMAN 38 Jakarta. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2014 melalui jalur SNMPTN dengan program
studi Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti
seluruh kegiatan wajib sebagai mahasiswa FKH IPB, mengikuti kegiatan magang
profesi, hingga mengikuti kegiatan sosial.