SKRIPSI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PERNYATAAN KEASLIAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
yang telah memberikan hikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit dan Kadar
Hemoglobin Ayam Ketawa” ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis sejak persiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan,
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Demmatannun dan ibu Datulangi yang selalu memberikan semangat,
motivasi, dan doa-doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Saudara-saudaraku yang tercinta, Marniati D, Herman D, Hermin, Gusliani,
Marseni D, sepupu terkasih Daen Manala D dan Marthen Pampang Langi
yang selalu menyemangati dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.Bs selaku Dekan Fakultas Kedokteran
4. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan.
5. Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc dan drh. Fedri Rell, M.Si sebagai dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasehat dengan
penuh kesabaran selama penelitian dan penyusunan skripsi.
6. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan arahan.
7. Drh. Novi Susanty yang telah mendampingi selama penelitian dan terus
memotivasi penulis selama penyusunan skripsi.
8. Seluruh dosen dan pegawai Program Studi Kedokteran Hewan FK UNHAS
terutama kepada Ibu Tuti dan Pak Akram yang telah membantu penulis dalam
pengurusan berkas.
9. Saudara-saudara dalam iman dr. Felix, dr. Lory Iswanto Latif, dr. Dwicky
Limbersia Aries, dr. Apmes Sumule, dr. Mikael Sri Pabilang, Eko Patioran, S.
Ft, Physio, Mesak Meljers, S.KH, Ima Saalino S. Kep, Ners dan Ni Putu
Prayoni Rosita, S. Kep, Ners yang terus mengingatkan dan menguatkan
selama pengerjaan skripsi.
10. Kakak-kakak senior dan teman-teman di PMK FK FKG UNHAS, SLM
Siloam Unhas dan teamwork MMT yang selalu mendukung penulis dalam
doa.
11. Kakak Rohani penulis kak Jacky Pelupessi S. T dan Ev. Zandy Kelinduan
yang terus memotivasi dan mendukung dalam doa.
viii
12. Teman seperjuangan Dwi Putra Jayanegara dan Aminul Rahman yang telah
membantu penulis dalam penelitian.
13. Teman-teman seangkatan 2011 “CLAVATA” yang telah menemani penulis
selama masa studi.
14. Teman –teman KKN Posko “PAMALI” yang telah berbagi suka dan duka
selama KKN.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah ikut
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik saran dan masukan yang membangun
agar penyusunan karya berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan
Kadar Hemoglobin pada Beberapa Jenis Ayam Ras 6
Tabel 2. Hasil Pengamatan terhadap Jumlah Eritrosit Ayam
Ketawa selama Penelitian 11
Tabel 3. Hasil Penghitungan terhadap Kadar Hemoglobin pada
Ayam Ketawa 14
Tabel 4. Hasil Penghitungan Nilai Hematokrit pada Ayam
Ketawa 15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ayam Ketawa 4
Gambar 2. Ayam Kedu 4
DAFTAR GRAFIK
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam peliharaan dewasa ini bermula dari ayam hutan yang mengalami proses
domestikasi (penjinakan) yang sangat panjang (Suprijatna, 2005). Di Indonesia
terdapat ayam lokal yang masih alami dan belum banyak mengalami perbaikan mutu
genetis. Di beberapa daerah, ayam lokal dikembangkan masyarakat sehingga
memiliki karakteristik yang relatif homogen, baik bentuk maupun warna bulu.
Indonesia memiliki banyak rumpun unggas lokal yang berpotensi tinggi untuk
pengembangan peternakan. Saat ini terdapat 31 rumpun yang mempunyai ciri
spesifik dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial
pedaging dan/atau petelur (Sartika dan Iskandar, 2007).
Di propinsi Sulawesi Selatan terdapat ayam lokal yang memiliki karakter
kokok yang khas. Ayam tersebut dikenal dengan nama ayam Gaga’. Ayam Gaga’
termasuk dalam kategori unggas yang dilindungi, keberadaannya masih langka, dan
termasuk salah satu plasma nutfah ternak khas Sulawesi Selatan. Ayam Gaga’ dahulu
hanya dipelihara dan berkembang biak di lingkungan bangsawan Bugis sebagai
simbol status sosial. Secara fisik, baik perawakan maupun bulunya mirip dengan
ayam Kampung. Keunikannya terdapat pada suara di penghujung kokok yang
terdengar seperti suara ketawa manusia sehingga dikenal sebagai ayam Ketawa
(Junaedi, 2012). Secara fisik ayam ketawa ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan
ayam kampung biasa namun yang membedakannya yaitu ayam ketawa memiliki
suara mirip manusia yang sedang tertawa/ketawa. Makanya tidak heran ayam ini
cukup unik dan semakin banyak peminatnya. Menurut (Anonim, 2014) dalam sekali
bertelur ayam betina ini bisa menghasilkan rata-rata 11 sampai 13 telur. Sebagai salah
satu hewan peliharaan yang langka dan dilindungi, pemeliharaan kesehatan
merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan, dengan demikian akan menjaga
keberlangsungan hidup ayam jenis tersebut. Kesehatan yang terpelihara juga akan
mencapai reproduksi yang optimal dan performa ayam ketawa juga terjaga.
Pemeriksaan hematologis pada hewan berfungsi sebagai screening test untuk
menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk evaluasi
status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa. Status
hematologi merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kesehatan hewan.
Setiap hewan memiliki rentang kadar nilai hematologinya masing-masing. Gambaran
darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan karena
mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah secara
umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam tubuh seperti nutrisi,
oksigen, karbon dioksida, metabolit, hormon, panas, dan imun tubuh sedangkan
fungsi tambahan dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan dan pH tubuh
(Reece, 2006). Kecukupan nutrien dalam tubuh yang diangkut oleh darah akan
menyebabkan sistem pertahanan tubuh ayam menjadi lebih baik. Jumlah eritrosit,
nilai hematokrit dan kadar hemoglobin digunakan sebagai parameter kesehatan
misalnya pada keadaan eritrositosis, misalnya sebagai akibat dari dehidrasi berat. Hal
yang sama juga misalnya pada saat anemia, ketiga parameter ini akan mengalami
penurunan. Dalam peternakan ayam, peranan hematologi juga sangat penting dalam
menentukan kesehatan ayam.
2
Penelitian ini untuk melihat gambaran darah ayam ketawa sebagai hewan
endemik Sulawesi Selatan. Pemeriksaan darah ayam ketawa merupakan faktor
penting dalam membantu diagnosis, prognosis dan terapi. Penelitian ini akan
memberikan informasi tentang jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar
hemoglobin pada ayam ketawa yang diharapkan bisa menjadi literatur penilaian
kesehatan berdasarkan status hematologi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Ketawa
Ayam peliharaan yang ada dewasa ini (Gallus domesticus) merupakan
keturunan ayam hutan. Manusia telah memelihara ayam sejak 5.000 tahun yang lalu.
Ayam telah dipelihara oleh bangsa Mesir sejak 3.000 tahun sebelum masehi dan
bangsa Cina pada 1.500 tahun sebelum masehi. Proses penjinakannya telah
berlangsung lama, oleh karena itu, saat ini jenis-jenis ayam banyak mengalami
perubahan fisik dan genetik. Berdasarkan teori revolusi, ayam yang ada dewasa ini
merupakan perkembangan dari reptilian. Perkembangan ayam dimulai sejak 160 juta
tahun lalu, pada masa itu terdapat Archeopteryx, sejenis reptilian bersayap dan
mampu terbang dalam jarak pendek, tetapi tubuhnya belum seluruhnya tertutup bulu.
Sisa perkembangan evolusi itu masih tampak hingga saat ini, yaitu adanya sisik di
cakar, berkembang biak dengan bertelur, dan pada masa perkembangan embrionik
masih berdarah dingin. Perkembangan ayam terus berlangsung melalui rekayasa
manusia dengan perbaikan mutu genetis sesuai keinginan (Suprijatna dkk, 2005).
Secara garis besar, ayam dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu ayam buras (bukan
ras) dan ayam ras. Ayam buras merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama
dipelihara dan dikembangkan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di pelosok-
pelosok pedesaan. Ayam-ayam tersebut telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
pemeliharaan yang sederhana (Suprijatna, 2005).
Ayam diklasifikasikan berdasarkan tiga cara, yaitu, taksonomi zoologi, buku
standar The American Standard of Perfection dan tujuan pemeliharaan atau tipe
ayam. Secara taksonomi zoologi, ayam diklasifikasikan dalam filum Chordata,
subfilum Vertebrata, kelas Aves, subkelas Neornithes, ordo Galliformes Genus
Gallus Spesies Gallus domesticus. Klasifikasi standar adalah pengelompokan jenis-
jenis ayam berdasarkan buku yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peternak Unggas
Amerika Serikat, yaitu The American Standard of Perfection. Berdasarkan buku
tersebut, pengelompokan ayam didasarkan pada kelas, bangsa, varietas dan strain.
Klasifikasi berdasarkan tujuan pemeliharaan atau biasa disebut tipe ayam, ayam dapat
dikelompokkan menjadi tipe petelur, pedaging, dan medium atau dwiguna (dual
purpose) (Suprijatna dkk, 2005). Menurut cara hidupnya, ayam kampung dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yakni ayam yang hidup liar di alam bebas (ayam hutan)
dan yang hidup terbatas di lingkungan perumahan (ayam ternak atau ayam
peliharaan). Ayam ternak adalah ayam yang mampu beranak-pinak di lingkungan
perumahan (Redaksi AgroMedia, 2007).
Ayam Gaga’ merupakan plasma nutfah ternak unggas Indonesia dan termasuk
ayam Buras lokal tipe penyanyi asal daerah kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan yang
masih alami dan belum ada informasi ilmiah untuk karakter genetiknya. Ayam Gaga’
berbeda dengan ayam kampung yang selama ini dikenal oleh masyarakat umum.
Secara fisik ayam tersebut hampir sama dengan ayam lainnya. Di daerah asalnya
(Kabupaten Sidrap, Sulawesi-Selatan) ayam ini disebut Ayam Gaga’, tetapi karena
suara kokoknya seperti orang ketawa, maka ayam ini biasa juga disebut Ayam
Ketawa. Ayam Gaga’ menyebar dari daerah Sidrap keseluruh wilayah Sulawesi
4
Selatan bahkan saat ini, penyebaran ayam Gaga’ sampai lintas pulau yaitu Jawa dan
Kalimantan. Hal tersebut disebabkan karena adanya kontes ayam Gaga’ yang sering
dilakukan sehingga memikat hati para pencinta ayam Gaga’ untuk dipelihara sebagai
ayam Penyanyi. Ayam Gaga’ dipelihara berdasarkan dari kesukaan para peternak
baik dari segi warna bulu, postur tubuh, dan karakteristik suara (Junaedi, 2012).
Ayam ketawa atau dalam bahasa Bugis disebut “Manu Gaga” masuk dalam kategori
unggas yang dilindungi, keberadaannya langka dan hampir punah. Ayam ketawa ini
dulu hanya dipelihara dan berkembang biak di lingkungan bangsawan Bugis sebagai
simbol status sosial (Amri, 2010).
Menurut (Junaedi, 2012), ayam ketawa dibagi atas dua jenis yaitu:
a. Berdasarkan warna bulunya:
Jenis ayam Bakka, yaitu ayam Gaga’ yang warna dasar putih mengkilap
dengan dihiasi warna hitam, oranye, merah dan kaki hitam atau putih.
Jenis ayam Lappung, yaitu ayam Gaga’ warna dasar bulu hitam dengan
merah hati dan mata putih.
Jenis ayam Ceppaga, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hitam dengan dihiasi
bulu hitam dan putih ditambah bentuk putih di badan sampai pangkal leher
dan kaki hitam.
Jenis ayam Koro, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hitam dihiasi hijau, putih,
dan kuning mengkilat dan kaki kuning atau hitam.
Jenis ayam Ijo Buata, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hijau dihiasi merah,
diselingi warna hitam di sayap dan kaki warna kuning.
Jenis Bori Tase’, yaitu ayam Gaga’ warna dasar bulu merah dan dihiasi bintik
bintik kuning keemasan.
b. Berdasarkan suaranya:
Ayam Gaga’ tipe Slow yaitu interval nadanya kurang rapat dan iramanya
lambat antara nada awal dengan nada berikutnya.
Ayam Gaga’ tipe Dangdut yaitu interval nadanya rapat, irama cepat, dan
umumnya durasi kokoknya panjang.
Gambar 1. Ayam Ketawa (Zuwito, 2015) Gambar 2. Ayam Kedu (Zuwito, 2015)
Menurut (Prawira, 2014) terdapat beberapa perbedaan yang membedakan
struktur syrinx pada ayam Ketawa terhadap ayam Kampung. Struktur otot M.
tracheolateralis pada ayam Ketawa jantan yang menutupi bagian ventral dari
5
sebagian trachea di daerah caudal. Selain itu letak insersio otot ini yang lebih ke arah
cranial pada ayam Ketawa dibanding ayam Kampung. Syrinx pada ayam Ketawa
jantan terlihat lebih kecil dibanding pada ayam Kampung jantan. Perbedaan struktur
ini diduga menjadi faktor yang memberikan suara yang khas pada ayam Ketawa.
Ciri-ciri ayam Ketawa yang baik, yaitu saat berdiri tubuh tegak atau membusungkan
dada dan ukuran proporsional antara tinggi badan, lingkar badan, panjang badan dan
panjang kaki. Ciri fisik sangat mempengaruhi kualitas suara dan dapat dijadikan
indikasi penduga kualitas kokok ayam Ketawa saat berada di arena. Ciri fisik
berhubungan erat dengan pertulangan atau struktur tulang rangka tubuh ayam. Ayam
ketawa memiliki ukuran tubuh yang paling kecil dibandingkan dengan ayam
Kampung dan ayam Pelung. Ayam Ketawa, ayam Pelung dan ayam Kampung
memiliki perbedaan variabel ukuran linear permukaan tubuh (P<0,01). Ukuran-
ukuran linear tubuh ayam Pelung tertinggi dan yang terkecil adalah ayam Ketawa
(Kuswardani, 2012). Menurut laporan Hardjosubroto dan Atmojo (1977) dewasa
kelamin ayam kampung berkisar antara 187-202 hari. Menurut Sugandi et al. (1968)
umur ayam kampung dewasa kelamin sekitar 6-7 bulan, tapi bila dipelihara secara
intensif umur dewasa kelamin lebih dini, yaitu sekitar 5 bulan.
2.3 Eritrosit
Eritrosit pada mamalia tidak berinti, sedangkan pada unggas, ikan, reptilia,
dan amphibi memiliki inti. Sel darah merah atau eritrosit pada unggas berbentuk
bikonkaf dan berukuran 7 μm tebal 1-3 μm dan eritrosit ini ada sebanyak 45% dari
volume total darah. Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut hemoglobin
yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton and Hall,
2008). Eritrosit adalah sel darah berbentuk piringan yang mencekung di bagian
tengah di kedua sisi, seperti donat donat dengan bagian tengah menggepeng bukan
lubang (yaitu, eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8 µm, ketebalan
2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah). Bentuk unik ini berperan
melalui dua cara, dalam menentukan efisiensi sel darah merah melakukan fungsi
utamanya mengangkut O2 dalam darah. (1) Bentuk bikonkaf menghasilkan luas
permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan
dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. (2) Tipisnya sel memungkinkan
O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel (Sherwood, 2011).
Gambaran struktural lain yang mempermudah fungsi transpor SDM adalah
kelenturan membrannya. Sel darah merah, yang garis tengah normalnya 8 µm dapat
mengalami deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati
kapiler yang garis tengahnya sesempit 3 µm. Karena sangat lentur maka SDM dapat
mengalir melalui kaplier berkelok-kelok untuk menyalurkan O2 di tingkat jaringan
tanpa pecah selama proses tersebut berlangsung (Sherwood, 2011). Fungsi primer
eritrosit adalah mentranspor hemoglobin, yang membawa oksigen ke jaringan.
Membran permeable pada sel darah merah tersusun dari lipid, protein dan
7
2.4 Hemoglobin
Menurut Kiswari (2014), fungsi utama dari molekul hemoglobin adalah untuk
mengangkut oksigen. Selain itu, struktur hemoglobin mampu menarik CO2 dari
jaringan, serta menjaga darah pada pH yang seimbang. Satu molekul hemoglobin
mengikat satu molekul oksigen di lingkungan yang kaya oksigen. Hemoglobin
merupakan molekul besar yang mengandung empat rantai polipeptida, bersama
protein heme (mengandung besi) yang dapat mengikat O2 ketika besinya dalam
bentuk ferrous ( Fe++). Menjadi methemoglobin ketika besi yang dikandung dalam
bentuk ferric (Fe+++), dan ini tidak dapat mengikat O2. Kondisi methemoglobin yang
berada di bawah normal, akan mengurangi jumlah O2 yang dapat diikat oleh
hemoglobin. Satu gram hemoglobin mamalia dapat mengikat 0,060 mmol O2 ketika
pada kondisi betul-betul jenuh. Hemoglobin terkonsentrasi dalam sel darah merah
atau eritrosit (Weiss, 2012).
Menurut Guyton (1997), sintesis hemoglobin diawali dari dalam proeritoblast
kemudian dilanjutkan dalam fase retikulosit dalam sumsum tulang. Tahap dasar
kimiawi pembentukan hemoglobin yaitu suksinil KoA yang dibentuk dalam siklus
Krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk senyawa pirol yang menyatu
membentuk senyawa protoporfirin. Kemudian senyawa tersebut berikatan dengan
besi menggunakan bantuan enzim ferokelatase membentuk molekul heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin) membentuk
suatu subunit hemoglobin. Campbell (1995) menyatakan bahwa pada berbagai jenis
unggas yang normal, hemoglobin menempati sepertiga dari volume sel darah merah.
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian: (1) bagian globin, suatu protein yang
terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat; dan (2) empat
gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal sebagai gugus hem, dengan
masing-masing terikat ke salah satu polipeptida di atas. Masing-masing dari keempat
atom besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O2; karena itu, setiap
molekul hemoglobin dapat mengambil empat penumpang O2 di paru (Sherwood,
2011).
Satu molekul hemoglobin terdiri dari satu molekul globin dan empat molekul
hem. Pada berbagai macam hewan, globin pada hemoglobin sangat bervariasi dalam
8
ukuran, komposisi asam amino, kelarutan dan sifat fisika yang lain. Jumlah
hemoglobin bervariasi tergantung jenis hewan dan jenis kelamin (Marshall dan
Hughes, 1980 ; Martin, 1983). Kadar normal hemoglobin ayam yaitu 7,0- 13,0 g/dl
(Jain, 1993).
2.5 Hematokrit
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase seluler
bahan padat darah yang berupa komponen darah dalam 100 ml darah.Tingginya PCV
berhubungan dengan kebutuhan oksigen, dimana jumlah oksigen yang diperlukan di
dalam tubuh berhubungan dengan produk metabolisme. Pada hewan normal PCV
sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Setyaningrum, 2010)
Hematokrit merupakan persentase volume darah yang mengandung sel darah merah.
Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas darah di mana peningkatan
nilai hematokrit akan meningkatkan viskositas darah (Wilson, 1981). Secara normal,
jumlah eritrosit berkorelasi positif dengan nilai hematokrit.Besarnya nilai hematokrit
dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, umur dan fase produksi, jenis kelamin
ternak serta iklim setempat (Sujono, 1991). Naik turunnya nilai hematokrit
bergantung pada volume sel-sel darah yang dibandingkan dengan volume darah
keseluruhan (Swenson, 1977).
Peningkatan atau penurunan hematokrit dalam darah mempengaruhi
viskositas darah. Semakin besar persentase hematokrit maka akan semakin banyak
gesekan yang terjadi di dalam sirkulasi darah pada berbagai lapisan darah dan
gesekan ini menentukan viskositas, oleh karena itu viskositas darah meningkat
dengan bersamaan hematokrit pun meningkat (Guyton, 1997). Winarsih (2005)
menyatakan bahwa peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi pada keadaan edema
hebat yang akan terjadi pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke jaringan
ekstravaskuler. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan
hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma
darah (Sutedjo, 2007). Penurunan nilai hematokrit dapat disebabkan oleh kerusakan
eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran
eritrosit (Coles,1982). Nilai normal hematokrit ayam antara 22-35 % dengan rata-rata
30% (Jain,1993).
9
3. METODE PENELITIAN
Tabel 2. Hasil Pengamatan terhadap Jumlah Eritrosit Ayam Ketawa selama Penelitian
Sampel Darah
PARAMETER AK AK AK AK AK AK AK AK AK9 AK AK AK
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12
JUMLAH 2,17 1,97 2,16 2,00 2,03 1,99 1,97 2,06 1,80 1,61 1,72 1,52
ERITROSIT (x
106 mm3)
Rata-rata (x
2,05 1,79
106/mm3)
Rata-rata total 1,92 x 106/mm3
Range 1,52 – 2,17 x 106/mm3
Keterangan: AK 1-6 (Ayam Jantan) AK 7-12 (Ayam Betina)
Kadar eritrosit normal pada ayam berkisar antara 2,5-3,5 juta/ mm3 dan batas
toleransi antara 1,89 – 5,00 juta/mm3 (Sturkie, 1976). Hasil dari penelitian ini
menunjukkan rataan jumlah eritrosit masih berada pada kisaran yang dapat
ditoleransi. Berdasarkan hasil penelitian Isroli et al (2009), kadar eritrosit paling
rendah pada berbagai jenis ayam Kedu secara rata-rata adalah 2,085 x 106 /mm3
dengan kisaran 2,085 x 106 /mm3 – 2,732 x 106 /mm3. Hal ini menujukkan bahwa
dibandingkan dengan ayam Kedu, ayam Ketawa memiliki rataan kadar eritrosit yang
relatif lebih rendah. Penelitian Sudrajat (2015) melaporkan bahwa rataan eritosit pada
berbagai jenis ayam Sentul betina periode awal yaitu 2,108±0,338 x 106 /mm3 dengan
kisaran 2,108 ±0,338 x 106 /mm3 – 2,982±0,924 x 106 /mm3.
Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, dan jenis kelamin, semakin dewasa
umur ayam maka jumlah eritrositnya meningkat. Ayam dengan jenis kelamin jantan
jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan betina. Ayam jantan umur 32-46 hari
mempunyai jumlah eritrosit rata-rata 2,83 juta/mm3 (Ganong, 2008). Penelitian yang
dilakukan Addas et al (2012) pada ayam kampung, dilaporkan pengaruh kelompok
umur pada PCV, RBC dan WBC, ditemukan bahwa kelompok umur 150 hari secara
signifikan memiliki kadar sel darah putih lebih tinggi, namun pada kelompok umur
90 hari memiliki sel darah merah yang lebih tinggi. Penelitian ini juga menujukkan
bahwa parameter hematologi meningkat seiring bertambahnya usia ayam kampung
12
dengan ayam jantan dilaporkan memiliki nilai hematologis yang lebih tinggi
dibandingkan ayam betina. Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin
(Suprijatna dkk, 2005).
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mentranspor hemoglobin yang membawa
oksigen ke jaringan (Thrall, 2012). Eritrosit berfungsi sebagai pembawa hemoglobin.
Hemoglobin bereaksi dengan oksigen yang dibawa dalam darah untuk membentuk
menjadi oksihemoglobin selama respirasi (Johnstone & Morris, 1996; Chineke,
Ologun, & Ikeobi, 2006). Menurut Isaac et al. (2013) sel darah merah terlibat dalam
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Pengurangan jumah sel
darah merah akan berimplikasi berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa ke
jaringan dan juga jumlah karbon dioksida yang kembali ke paru-paru (Ugwuene,
2011; Soetan, Akinrinde, & Ajibade, 2013; Isaac et al, 2013). Jumlah eritrosit
dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, jenis kelamin, umur, kondisi tubuh, variasi
harian, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, temperatur lingkungan dan keadaan stress
(Swenson, 1977).
Proses eritropoesis terjadi di sumsum tulang. Sel darah merah pada unggas
memiliki masa hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan mamalia, rupanya
karena kecepatan metabolisme mereka yang tinggi dan temperatur tubuh (O’Malley,
2005). Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon
eritroprotein yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi
proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dan asam
folat mempengaruhi eritropoiesis pada tahap pematangan akhir dari erirosit
sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang berada dalam
sirkulasi (Meyer dan Harvey, 2004).
Pada kondisi normal erythron dapat mempertahankan keseimbangan produksi,
destruksi eritrosit oleh sistema retikulo endothelial (SRE) dalam hati, lien dan
sumsum tulang. Sel-sel tua akan didestruksi oleh SRE dalam hati, lien, dan sumsum
tulang, dan selanjutnya Fe masih digunakan oleh sumsum tulang oleh pembentukan
darah. Eritrosit terdiri dari 60-70 % air (H2O), 28-35% haemoglobin (Hb), matrik
anorganik dan organik, membran sel non-elastik tetapi fleksibel (merupakan bentuk
khusus atau biconcave), eritrosit mamalia tidak berinti sedang eritrosit unta dan
unggas berinti (Salasia, 2010). Proses pembentukan eritrosit baru setiap harinya
membutuhkan prekursor untuk mensintesis sel baru. Prekursor yang dibutuhkan
antara lain zat besi, vitamin, asam amino dan hormon (Hoffbrand dan Pettit, 1996)
Kerusakan bentuk pada membran eritrosit dapat mempengaruhi masa hidup.
Umur eritrosit Aves 28-25 hari, setelah mencapai umur tersebut harus digantikan
yang baru. Jumlah eritrosit pada ayam berkisar antara 2,5-3,5 juta dan batas toleransi
antara 1,89 – 5,00 juta/mm3. Ayam jantan umur 32-46 hari mempunyai jumlah
13
eritrosit rata-rata 2,83 juta/ mm3 (Jain, 1993). Jumlah eritrosit akan selalu meningkat
sejalan dengan peningkatan umut sampai mencapai kedewasaan, setelah dewasa
jumlah eritrosit cenderung konstan (Sturkie,1976)
7,4
7,3
7,2
7,1
7
Ayam
6,9 Jantan
6,8
Ayam
6,7
Betina
6,6
6,5
6,4
Kadar Hemoglobin
(g/dl)
Sampel Darah
PARAMETER AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NILAI
HEMATOKRIT 34 31 33 30 30 34 30 29 30 29 28 29
(%)
Rata-rata (%) 32 29,17
Rata-rata total 30,58 %
Range 28-34 %
Keterangan: AK 1-6 (Ayam Jantan) AK 7-12 (Ayam Betina)
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 12 sampel darah ayam Ketawa, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Jumlah eritrosit berkisar antara 1,52 x 106 /mm3 - 2, 17 x 106 /mm3 dengan rata-
rata 2,05 x 106 /mm3 pada jantan dan 1,79 x 106 /mm3 pada betina sedangkan rata-
rata keseluruhan 1,92 x 106 /mm3.
2. Nilai hematokrit berkisar antara 28%-34% dengan rata-rata 32 % pada jantan dan
29,17 % pada betina sedangkan rata-rata keseluruhan 30,58 %.
3. Kadar hemoglobin berkisar antara 5,7 g/dl.-7,8 g/dl dengan rata-rata 7,33 g/dl
pada jantan dan 6, 75 g/dl pada betina sedangkan rata-rata total 7,04 g/dl.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan populasi sampel yang lebih banyak
dan diberi perlakuan khusus pada ayam Ketawa untuk mengetahui perubahan
gambaran darah yang terjadi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Addas, P. A, David, D,L., Edwared, A., Zira, K, E., & Midau, A. 2012. Effect of
Age, Sex and Management System on Some Haematological Parameters of
Intensively and Semi-Intensively Kept Chicken in Mubi, Adamawa State,
Nigeria. Iranian Journal of Applied Animal Science, 2(3), 277-282.
Amri, Arfi Bambani. 2010. Ayam Ketawa Nan Langka Bersuara Tawa., (online)
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/179194-ayam-ketawa-nan-langka-
bersuara-tawa, diakses 10 Mei 2015)
Anonim. 2010. Ayam Ketawa, (online) (http://www.infoternak.com/ayam-ketawa/,
diakses 10 Mei 2015)
Arfah, N.A. 2015. Pengaruh Pemberian Tepung Kunyit pada Ransum Terhadap
Jumlah Eritrosit, Hemoglobin, PCV dan Leukosit Ayam Broiler. Skripsi.
Universitas Hasanuddin Makassar.
Campbell TW. 1995. Avian Hematology and Cytology. 1th Ed. Iowa State University
Press.Ames. Iowa. United States of America.
Chineke, C. A., Ologun, A. G., & Ikeobi, C. O. N. (2006). Haematological
parameters in rabbit breeds and crosses in humid tropics. Pakistan Journal of
Biological Sciences, 9(11), 2102-2106.
Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Saunders Company,
USA.
Davey, C., Lill, A. and Baldwin, J. 2000. Variation during breeding in parameters
that influence blood oxygen carrying capacity in shearwaters. Aust. J.Zool.
48, 347-356.
Dawson, W.R., and G.C. Whittow. 2000. Regulation of Body Temperature. Pages
343-379 in Sturkie’s Avian Physiology.G.C.Whittow, ed. Academic Press,
New York, NY.
Dharmawan, NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Hematologi Klinik.
Universitas Udayana: Denpasar.
Ganong, W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 14th Ed . Diterjemahkan oleh
dr. Jonatan Oswari. EGC. Jakarta.
Guyton A.C and Hall J.E. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi ke-
9.Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan. EGC. Jakarta.
Hardjosubroto, W. dan S.P. Atmodjo. 1977. Performans dari ayam kampung dan
ayam Kedu. Makalah pada Seminar Pertama tentang Ilmu dan Industri
Perunggasan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
20
Reece, W.O. 2006.Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animal, 3rd ed.
Blackwell Publishing, USA.
Salasia, S.I dan B. Hariono. 2010. Patologi Klinik Veteriner: Kasus Patologi Klinis.
Penerbit Samudra Biru. Yogyakarta
Sartika, T dan S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan
Pemanfaatannya. Edisi ke-2. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 140 hlm.
Setyaningrum, M. 2010. “Profil Hematologi Darah Ayam Broiler yang Diberi
Ransum Mengandung Aflatoksin”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sherwood, L. 2011. Human Physilogy: From Cells to Systems, 6th Ed, diterjemahkan
oleh dr. Brahm U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press.
Jakarta
Soeharsono, A. Mushawwir, E. Hernawan, L. Adriani, K. A. Kamil. 2010. Fisiologi
Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada
Hewan. Widya Padjadjaran, Bandung.
Soetan, K. O., Akinrinde, A. S., & Ajibade, T. O. (2013). Preliminary studies on the
haematological parameters of cockerels fed raw and processed guinea corn
(Sorghum bicolor) (p. 49-52). Proceedings of 38th Annual Conference of
Nigerian Society for Animal Production.
Sriwati, D. Widodo, E. Natsir, MH. -. “ Pengaruh Penggunaan Tepung Jintan Putih
(Cuminum cyminum L) dalam Pakan terhadap Profil Darah Ayam
Pedaging”. Hal 1-9
Sturkie, P. D. 1976. Blood : Physical Characteristics, Formed, Elements,
Hemoglobin, and Coagulan in Avian Physiology. Thirt Edition. Springer
Verlag, New York.
Sudrajat, A. 2015. Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Darah pada Berbagai
Jenis Ayam Sentul Betina Periode Awal. Skripsi. Universitas Jenderal
Soedirman. Banjarnegara.
Sugandi, D., J. Wahju, K. Gunardi, S. Rukadi dan M.M. Sundari. 1968. Case study
unggas. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Sujono, A. 1991. Nilai Hematokrit dan Konsentrasi Mineral dalam Darah. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suprijatna, E. 2005.Ayam Buras Krosing Petelur. Jakarta: Penerbit Swadaya
22
LAMPIRAN
Keterangan Sampel
Dokumentasi Penelitian
Foto 1. Alat dan Bahan Penelitian
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1993 di Mamasa,
Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dari ayahanda Demmatannun
dan ibunda Datulangi. Penulis merupakan anak terakhir dari enam
bersaudara.
Penulis memasuki pendidikan formal sekolah dasar di SDN 005
Ranteliang dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama,
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Mamasa dan lulus pada
tahun 2008. Pada tahun 2011 menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 1 Mamasa dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin Makassar.