Anda di halaman 1dari 37

i

JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN


KADAR HEMOGLOBIN AYAM KETAWA

SKRIPSI

JHON PAMPANG ALLO


O 111 11 265

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii

JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN KADAR


HEMOGLOBIN AYAM KETAWA

JHON PAMPANG ALLO

NIM O111 11 265

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
iv

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Jhon Pampang Allo.
Nim : O111 11 265
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas : Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan
dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 16 Januari 2018

Jhon Pampang Allo


v

ABSTRAK

Jhon Pampang Allo. O11111265. JUMLAH ERITROSIT, NILAI


HEMATOKRIT DAN KADAR HEMOGLOBIN AYAM KETAWA. Di
bawah bimbingan drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc dan drh. Fedri Rell, M.Si
Ayam ketawa atau Ayam Gaga’ merupakan plasma nutfah asli Sulawesi
Selatan. Ayam ini telah dipelihara turun-temurun oleh masyarakat Sidrap sebagai
simbol kebangsawanan bagi pemiliknya. Ayam ini memiliki keunikan karena
memiliki bunyi/kokok yang seperti orang yang ketawa. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin
pada ayam ketawa. Penelitian ini menggunakan 12 ekor ayam ketawa yang terdiri
dari 6 ekor jantan dan 6 ekor betina. Sampel darah yang diambil melalui vena
pectoralis kemudian dilakukan perhitungan pada beberapa parameter darah yaitu
jumlah eritrosit, nilai hematrokrit dan kadar hemoglobin. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah
eritrosit pada ayam ketawa berkisar antara 1,52 x 106/mm3- 2,17 x 103/mm3, nilai
hematokrit berkisar antara 28-34%, sedangkan kadar hemoglobin berkisar antara
5,7 g/dl-7,8 gr/dl

Kata kunci: ayam ketawa, eritrosit, hematokrit, hemoglobin.


vi

ABSTRACT

Jhon Pampang Allo. O11111265. Amount of Erythrocytes, Hematocrit Values


and Hemoglobin Levels of Laughter Chicken. Under direction by Mrs. drh. A.
Magfira Satya Apada, M.Sc and Mr. drh. Fedri Rell, M.Si

Laughter Chicken or Gaga’ Chicken is a native germplasm of South


Sulawesi. This chicken has been preserved down through the generations by
society Sidrap as a symbol of nobility for its owner. This chicken has a
uniqueness because it has a sound / cock that like people who laugh. The purpose
of this study was to determine the amount of erythrocytes, hematocrit values and
hemoglobin levels in chickens. This study used 12 chickens of laughter consisting
of 6 males and 6 females. Blood samples taken through the pectoralis vein then
performed calculations on some blood parameters that is the amount of
erythrocytes, hematocrit values and hemoglobin levels. The data obtained were
analyzed descriptively. The results showed that the amount of erythrocytes in
chickens ranged from 1.52 x 106 / mm3- 2.17 x 106 / mm3, hematocrit values
ranged between 28-34%, while hemoglobin levels ranged from 5.7 g/dl -7.8 g/dl.
Keywords: Laughter Chicken, erythrocyte, hematocrit, hemoglobin.
vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
yang telah memberikan hikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit dan Kadar
Hemoglobin Ayam Ketawa” ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis sejak persiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan,
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Demmatannun dan ibu Datulangi yang selalu memberikan semangat,
motivasi, dan doa-doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Saudara-saudaraku yang tercinta, Marniati D, Herman D, Hermin, Gusliani,
Marseni D, sepupu terkasih Daen Manala D dan Marthen Pampang Langi
yang selalu menyemangati dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.Bs selaku Dekan Fakultas Kedokteran
4. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan.
5. Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc dan drh. Fedri Rell, M.Si sebagai dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasehat dengan
penuh kesabaran selama penelitian dan penyusunan skripsi.
6. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan arahan.
7. Drh. Novi Susanty yang telah mendampingi selama penelitian dan terus
memotivasi penulis selama penyusunan skripsi.
8. Seluruh dosen dan pegawai Program Studi Kedokteran Hewan FK UNHAS
terutama kepada Ibu Tuti dan Pak Akram yang telah membantu penulis dalam
pengurusan berkas.
9. Saudara-saudara dalam iman dr. Felix, dr. Lory Iswanto Latif, dr. Dwicky
Limbersia Aries, dr. Apmes Sumule, dr. Mikael Sri Pabilang, Eko Patioran, S.
Ft, Physio, Mesak Meljers, S.KH, Ima Saalino S. Kep, Ners dan Ni Putu
Prayoni Rosita, S. Kep, Ners yang terus mengingatkan dan menguatkan
selama pengerjaan skripsi.
10. Kakak-kakak senior dan teman-teman di PMK FK FKG UNHAS, SLM
Siloam Unhas dan teamwork MMT yang selalu mendukung penulis dalam
doa.
11. Kakak Rohani penulis kak Jacky Pelupessi S. T dan Ev. Zandy Kelinduan
yang terus memotivasi dan mendukung dalam doa.
viii

12. Teman seperjuangan Dwi Putra Jayanegara dan Aminul Rahman yang telah
membantu penulis dalam penelitian.
13. Teman-teman seangkatan 2011 “CLAVATA” yang telah menemani penulis
selama masa studi.
14. Teman –teman KKN Posko “PAMALI” yang telah berbagi suka dan duka
selama KKN.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah ikut
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik saran dan masukan yang membangun
agar penyusunan karya berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 16 Januari 2018

Jhon Pampang Allo


ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN iii


PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACK vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR GRAFIK x
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.5 Keaslian Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Ketawa 3
2.2 Hematologi Ayam 5
2.3 Eritrosit 6
2.4 Hemoglobin 7
2.5 Hematokrit 8
3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat Dan WaktuPenelitian 9
3.2 Materi Penelitian 9
3.3 Metode Penelitian 9
3.4 Analisis Data 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jumlah Eritrosit 11
4.2 Kadar Hemoglobin 13
4.3 Nilai Hematokrit 15
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 18
5.2 Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP
x

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan
Kadar Hemoglobin pada Beberapa Jenis Ayam Ras 6
Tabel 2. Hasil Pengamatan terhadap Jumlah Eritrosit Ayam
Ketawa selama Penelitian 11
Tabel 3. Hasil Penghitungan terhadap Kadar Hemoglobin pada
Ayam Ketawa 14
Tabel 4. Hasil Penghitungan Nilai Hematokrit pada Ayam
Ketawa 15

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ayam Ketawa 4
Gambar 2. Ayam Kedu 4

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Jumlah Eritrosit pada Ayam Ketawa Jantan dan Betina 13


Grafik 2. Kadar Hemoglobin pada Ayam Ketawa Jantan dan Betina 15
Grafik 3. Nilai Hematokrit pada Ayam Ketawa Jantan dan Betin 16
xi
1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam peliharaan dewasa ini bermula dari ayam hutan yang mengalami proses
domestikasi (penjinakan) yang sangat panjang (Suprijatna, 2005). Di Indonesia
terdapat ayam lokal yang masih alami dan belum banyak mengalami perbaikan mutu
genetis. Di beberapa daerah, ayam lokal dikembangkan masyarakat sehingga
memiliki karakteristik yang relatif homogen, baik bentuk maupun warna bulu.
Indonesia memiliki banyak rumpun unggas lokal yang berpotensi tinggi untuk
pengembangan peternakan. Saat ini terdapat 31 rumpun yang mempunyai ciri
spesifik dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial
pedaging dan/atau petelur (Sartika dan Iskandar, 2007).
Di propinsi Sulawesi Selatan terdapat ayam lokal yang memiliki karakter
kokok yang khas. Ayam tersebut dikenal dengan nama ayam Gaga’. Ayam Gaga’
termasuk dalam kategori unggas yang dilindungi, keberadaannya masih langka, dan
termasuk salah satu plasma nutfah ternak khas Sulawesi Selatan. Ayam Gaga’ dahulu
hanya dipelihara dan berkembang biak di lingkungan bangsawan Bugis sebagai
simbol status sosial. Secara fisik, baik perawakan maupun bulunya mirip dengan
ayam Kampung. Keunikannya terdapat pada suara di penghujung kokok yang
terdengar seperti suara ketawa manusia sehingga dikenal sebagai ayam Ketawa
(Junaedi, 2012). Secara fisik ayam ketawa ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan
ayam kampung biasa namun yang membedakannya yaitu ayam ketawa memiliki
suara mirip manusia yang sedang tertawa/ketawa. Makanya tidak heran ayam ini
cukup unik dan semakin banyak peminatnya. Menurut (Anonim, 2014) dalam sekali
bertelur ayam betina ini bisa menghasilkan rata-rata 11 sampai 13 telur. Sebagai salah
satu hewan peliharaan yang langka dan dilindungi, pemeliharaan kesehatan
merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan, dengan demikian akan menjaga
keberlangsungan hidup ayam jenis tersebut. Kesehatan yang terpelihara juga akan
mencapai reproduksi yang optimal dan performa ayam ketawa juga terjaga.
Pemeriksaan hematologis pada hewan berfungsi sebagai screening test untuk
menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk evaluasi
status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa. Status
hematologi merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kesehatan hewan.
Setiap hewan memiliki rentang kadar nilai hematologinya masing-masing. Gambaran
darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan karena
mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah secara
umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam tubuh seperti nutrisi,
oksigen, karbon dioksida, metabolit, hormon, panas, dan imun tubuh sedangkan
fungsi tambahan dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan dan pH tubuh
(Reece, 2006). Kecukupan nutrien dalam tubuh yang diangkut oleh darah akan
menyebabkan sistem pertahanan tubuh ayam menjadi lebih baik. Jumlah eritrosit,
nilai hematokrit dan kadar hemoglobin digunakan sebagai parameter kesehatan
misalnya pada keadaan eritrositosis, misalnya sebagai akibat dari dehidrasi berat. Hal
yang sama juga misalnya pada saat anemia, ketiga parameter ini akan mengalami
penurunan. Dalam peternakan ayam, peranan hematologi juga sangat penting dalam
menentukan kesehatan ayam.
2

Penelitian ini untuk melihat gambaran darah ayam ketawa sebagai hewan
endemik Sulawesi Selatan. Pemeriksaan darah ayam ketawa merupakan faktor
penting dalam membantu diagnosis, prognosis dan terapi. Penelitian ini akan
memberikan informasi tentang jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar
hemoglobin pada ayam ketawa yang diharapkan bisa menjadi literatur penilaian
kesehatan berdasarkan status hematologi.

1.2 Rumusan Masalah


Berapa kadar normal jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin
pada ayam ketawa?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui kadar jumlah
eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin ayam ketawa.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur untuk menambah
wawasan di bidang kedokteran hewan khususnya terkait dengan profil
hematologi ayam ketawa.
2. Penelitian ini sebagai bahan kajian dan referensi untuk menambah wawasan
maupun untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin
belum pernah dilakukan pada ayam ketawa. Penelitian tentang hematologi pada
ayam pernah dilakukan mengenai pengaruh jenis kelamin dan warna bulu terhadap
status hematologi (jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit) pada ayam
Kedu oleh Eko Budi Wicaksono pada tahun 2010.
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Ketawa
Ayam peliharaan yang ada dewasa ini (Gallus domesticus) merupakan
keturunan ayam hutan. Manusia telah memelihara ayam sejak 5.000 tahun yang lalu.
Ayam telah dipelihara oleh bangsa Mesir sejak 3.000 tahun sebelum masehi dan
bangsa Cina pada 1.500 tahun sebelum masehi. Proses penjinakannya telah
berlangsung lama, oleh karena itu, saat ini jenis-jenis ayam banyak mengalami
perubahan fisik dan genetik. Berdasarkan teori revolusi, ayam yang ada dewasa ini
merupakan perkembangan dari reptilian. Perkembangan ayam dimulai sejak 160 juta
tahun lalu, pada masa itu terdapat Archeopteryx, sejenis reptilian bersayap dan
mampu terbang dalam jarak pendek, tetapi tubuhnya belum seluruhnya tertutup bulu.
Sisa perkembangan evolusi itu masih tampak hingga saat ini, yaitu adanya sisik di
cakar, berkembang biak dengan bertelur, dan pada masa perkembangan embrionik
masih berdarah dingin. Perkembangan ayam terus berlangsung melalui rekayasa
manusia dengan perbaikan mutu genetis sesuai keinginan (Suprijatna dkk, 2005).
Secara garis besar, ayam dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu ayam buras (bukan
ras) dan ayam ras. Ayam buras merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama
dipelihara dan dikembangkan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di pelosok-
pelosok pedesaan. Ayam-ayam tersebut telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
pemeliharaan yang sederhana (Suprijatna, 2005).
Ayam diklasifikasikan berdasarkan tiga cara, yaitu, taksonomi zoologi, buku
standar The American Standard of Perfection dan tujuan pemeliharaan atau tipe
ayam. Secara taksonomi zoologi, ayam diklasifikasikan dalam filum Chordata,
subfilum Vertebrata, kelas Aves, subkelas Neornithes, ordo Galliformes Genus
Gallus Spesies Gallus domesticus. Klasifikasi standar adalah pengelompokan jenis-
jenis ayam berdasarkan buku yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peternak Unggas
Amerika Serikat, yaitu The American Standard of Perfection. Berdasarkan buku
tersebut, pengelompokan ayam didasarkan pada kelas, bangsa, varietas dan strain.
Klasifikasi berdasarkan tujuan pemeliharaan atau biasa disebut tipe ayam, ayam dapat
dikelompokkan menjadi tipe petelur, pedaging, dan medium atau dwiguna (dual
purpose) (Suprijatna dkk, 2005). Menurut cara hidupnya, ayam kampung dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yakni ayam yang hidup liar di alam bebas (ayam hutan)
dan yang hidup terbatas di lingkungan perumahan (ayam ternak atau ayam
peliharaan). Ayam ternak adalah ayam yang mampu beranak-pinak di lingkungan
perumahan (Redaksi AgroMedia, 2007).
Ayam Gaga’ merupakan plasma nutfah ternak unggas Indonesia dan termasuk
ayam Buras lokal tipe penyanyi asal daerah kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan yang
masih alami dan belum ada informasi ilmiah untuk karakter genetiknya. Ayam Gaga’
berbeda dengan ayam kampung yang selama ini dikenal oleh masyarakat umum.
Secara fisik ayam tersebut hampir sama dengan ayam lainnya. Di daerah asalnya
(Kabupaten Sidrap, Sulawesi-Selatan) ayam ini disebut Ayam Gaga’, tetapi karena
suara kokoknya seperti orang ketawa, maka ayam ini biasa juga disebut Ayam
Ketawa. Ayam Gaga’ menyebar dari daerah Sidrap keseluruh wilayah Sulawesi
4

Selatan bahkan saat ini, penyebaran ayam Gaga’ sampai lintas pulau yaitu Jawa dan
Kalimantan. Hal tersebut disebabkan karena adanya kontes ayam Gaga’ yang sering
dilakukan sehingga memikat hati para pencinta ayam Gaga’ untuk dipelihara sebagai
ayam Penyanyi. Ayam Gaga’ dipelihara berdasarkan dari kesukaan para peternak
baik dari segi warna bulu, postur tubuh, dan karakteristik suara (Junaedi, 2012).
Ayam ketawa atau dalam bahasa Bugis disebut “Manu Gaga” masuk dalam kategori
unggas yang dilindungi, keberadaannya langka dan hampir punah. Ayam ketawa ini
dulu hanya dipelihara dan berkembang biak di lingkungan bangsawan Bugis sebagai
simbol status sosial (Amri, 2010).
Menurut (Junaedi, 2012), ayam ketawa dibagi atas dua jenis yaitu:
a. Berdasarkan warna bulunya:
 Jenis ayam Bakka, yaitu ayam Gaga’ yang warna dasar putih mengkilap
dengan dihiasi warna hitam, oranye, merah dan kaki hitam atau putih.
 Jenis ayam Lappung, yaitu ayam Gaga’ warna dasar bulu hitam dengan
merah hati dan mata putih.
 Jenis ayam Ceppaga, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hitam dengan dihiasi
bulu hitam dan putih ditambah bentuk putih di badan sampai pangkal leher
dan kaki hitam.
 Jenis ayam Koro, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hitam dihiasi hijau, putih,
dan kuning mengkilat dan kaki kuning atau hitam.
 Jenis ayam Ijo Buata, yaitu ayam Gaga’ warna dasar hijau dihiasi merah,
diselingi warna hitam di sayap dan kaki warna kuning.
 Jenis Bori Tase’, yaitu ayam Gaga’ warna dasar bulu merah dan dihiasi bintik
bintik kuning keemasan.
b. Berdasarkan suaranya:
 Ayam Gaga’ tipe Slow yaitu interval nadanya kurang rapat dan iramanya
lambat antara nada awal dengan nada berikutnya.
 Ayam Gaga’ tipe Dangdut yaitu interval nadanya rapat, irama cepat, dan
umumnya durasi kokoknya panjang.

Gambar 1. Ayam Ketawa (Zuwito, 2015) Gambar 2. Ayam Kedu (Zuwito, 2015)
Menurut (Prawira, 2014) terdapat beberapa perbedaan yang membedakan
struktur syrinx pada ayam Ketawa terhadap ayam Kampung. Struktur otot M.
tracheolateralis pada ayam Ketawa jantan yang menutupi bagian ventral dari
5

sebagian trachea di daerah caudal. Selain itu letak insersio otot ini yang lebih ke arah
cranial pada ayam Ketawa dibanding ayam Kampung. Syrinx pada ayam Ketawa
jantan terlihat lebih kecil dibanding pada ayam Kampung jantan. Perbedaan struktur
ini diduga menjadi faktor yang memberikan suara yang khas pada ayam Ketawa.
Ciri-ciri ayam Ketawa yang baik, yaitu saat berdiri tubuh tegak atau membusungkan
dada dan ukuran proporsional antara tinggi badan, lingkar badan, panjang badan dan
panjang kaki. Ciri fisik sangat mempengaruhi kualitas suara dan dapat dijadikan
indikasi penduga kualitas kokok ayam Ketawa saat berada di arena. Ciri fisik
berhubungan erat dengan pertulangan atau struktur tulang rangka tubuh ayam. Ayam
ketawa memiliki ukuran tubuh yang paling kecil dibandingkan dengan ayam
Kampung dan ayam Pelung. Ayam Ketawa, ayam Pelung dan ayam Kampung
memiliki perbedaan variabel ukuran linear permukaan tubuh (P<0,01). Ukuran-
ukuran linear tubuh ayam Pelung tertinggi dan yang terkecil adalah ayam Ketawa
(Kuswardani, 2012). Menurut laporan Hardjosubroto dan Atmojo (1977) dewasa
kelamin ayam kampung berkisar antara 187-202 hari. Menurut Sugandi et al. (1968)
umur ayam kampung dewasa kelamin sekitar 6-7 bulan, tapi bila dipelihara secara
intensif umur dewasa kelamin lebih dini, yaitu sekitar 5 bulan.

2.2 Hematologi Ayam


Darah adalah suatu suatu suspense partikel dalam suatu larutan koloid cair
yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai media pertukaran antara sel
yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif
terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri. Komponen cair darah
yang disebut plasma terdiri dari 91 sampai 92 % air yang berperan sebagai medium
transport, dan 8 sampai 9% zat padat (Price, 2005). Plasma darah berfungsi sebagai
suplemen dalam bentuk protein sebagai makanan. Darah mempunyai fungsi penting
dalam pengaturan keseimbangan lingkungan internal dan transportasi yakni sebagai
termoregulasi, berperan mempertahankan keseimbangan air, berperan dalam sistem
buffer, membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke
jaringan tubuh, membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan, membawa
karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, membawa produk buangan dari berbagai
jaringan menuju ke ginjal untuk di ekskresikan, membawa hormon dari kelenjar
endokrin ke organ lain di dalam tubuh, serta mengandung faktor-faktor untuk
pertahanan tubuh. Fungsi transportasi dan kekebalan dapat dilihat dari variabel darah
yang berupa eritrosit dan leukosit serta diferensial leukosit darah. Kesehatan fisik
juga dapat diukur melalui status darah (Setyaningrum, 2010). Darah tersusun atas
cairan plasma, garam-garam, bahan kimia lainnya, eritrosit (sel darah merah, dan
leukosit (sel darah putih). Berbeda dengan mamalia yang tanpa nukleus, sel darah
merah burung terdiri dari nukleus. Darah merupakan 8% dari bobot anak ayam yang
baru menetas dan 7% dari bobot ayam dewasa. Sekitar 30% dari volume darah
merupakan sel darah merah. Seperti pada mamalia, jantung ayam memiliki empat
ruang, yaitu dua atria dan dua ventrikel. Laju jantung ketika berdenyut terhitung
cepat, sekitar 300 denyut/menit. Semakin kecil ayam, semakin cepat pula denyutnya.
Denyut masing-masing ayam sangat bervariasi dan sering menjadi dua kali lipat
6

akibat rangsangan. Tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat dengan


bertambahnya umur unggas. Ayam dewasa berkisar sekitar 75 mm Hg dan 175 mm
Hg. Darah ayam mengandung sekitar 2,5-3,5 juta sel darah merah per mm3 ,
tergantung umur dan jenis kelamin. Sebagai contoh, darah ayam jantan dewasa terdiri
atas 500.000 lebih banyak sel darah merah per mm3 dibandingkan ayam betina
(Suprijatna, 2011).
Gambaran darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan
karena darah mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi
darah secara umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam tubuh seperti
nutrisi, oksigen, karbon dioksida, metabolit, hormon, panas dan imun tubuh
sedangkan fungsi tambahan dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan dan pH
tubuh (Reece, 2005). Komponen darah bervariasi dari 5 sampai 13% dari massa
tubuh (O’Malley, 2005).

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Kadar Hemoglobin


pada Beberapa Jenis Ayam Ras
Peubah Eritrosit (x 106/mm3) Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)
Ayam Kampung 2,0-3,2 7,3-10,9 24-431)
Ayam Kedu 2,085-2,732 5,300-7,225 26,375-30,302)
Ayam Sentul 2,108±0,338-2,982±0,924 8,06±0,961-9,42±1,678 -3)
1)
Mangkoewidjojo dan Smith (1988) 2) Isroli et al (2009) 3) Sudrajat (2005)

2.3 Eritrosit
Eritrosit pada mamalia tidak berinti, sedangkan pada unggas, ikan, reptilia,
dan amphibi memiliki inti. Sel darah merah atau eritrosit pada unggas berbentuk
bikonkaf dan berukuran 7 μm tebal 1-3 μm dan eritrosit ini ada sebanyak 45% dari
volume total darah. Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut hemoglobin
yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton and Hall,
2008). Eritrosit adalah sel darah berbentuk piringan yang mencekung di bagian
tengah di kedua sisi, seperti donat donat dengan bagian tengah menggepeng bukan
lubang (yaitu, eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8 µm, ketebalan
2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah). Bentuk unik ini berperan
melalui dua cara, dalam menentukan efisiensi sel darah merah melakukan fungsi
utamanya mengangkut O2 dalam darah. (1) Bentuk bikonkaf menghasilkan luas
permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan
dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. (2) Tipisnya sel memungkinkan
O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel (Sherwood, 2011).
Gambaran struktural lain yang mempermudah fungsi transpor SDM adalah
kelenturan membrannya. Sel darah merah, yang garis tengah normalnya 8 µm dapat
mengalami deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati
kapiler yang garis tengahnya sesempit 3 µm. Karena sangat lentur maka SDM dapat
mengalir melalui kaplier berkelok-kelok untuk menyalurkan O2 di tingkat jaringan
tanpa pecah selama proses tersebut berlangsung (Sherwood, 2011). Fungsi primer
eritrosit adalah mentranspor hemoglobin, yang membawa oksigen ke jaringan.
Membran permeable pada sel darah merah tersusun dari lipid, protein dan
7

karbohidrat. Perubahan komposisi lipid (khususnya fosfolipid dan kolesterol) pada


membran akan menyebabkan bentuk sel yang abnormal (Thrall, 2013). Sel darah
merah pada burung berbentuk oval dan berinti, biasanya lebih besar dibandingkan
dengan mamalia. Burung terbang seperti burung unta memiliki eritrosit terbesar
sedangkan pada burung yang lebih berkembang evolusinya, seperti Passeriformes,
cenderung memiliki eritrosit lebih kecil. Sel darah merah yang kecil menghasilkan
luas permukaan yang lebih besar dan pertukaran gas lebih efisien, sehingga
memungkinkan untuk penyerapan oksigen yang lebih tinggi dan karenanya memiliki
tingkat metabolisme 10 kali dari mamalia (O’Malley, 2005). Menurut
Mangkoewidjojo dan Smith (1988), kadar normal jumlah eritrosit pada ayam adalah
2,0-3,2 x 106/mm.

2.4 Hemoglobin
Menurut Kiswari (2014), fungsi utama dari molekul hemoglobin adalah untuk
mengangkut oksigen. Selain itu, struktur hemoglobin mampu menarik CO2 dari
jaringan, serta menjaga darah pada pH yang seimbang. Satu molekul hemoglobin
mengikat satu molekul oksigen di lingkungan yang kaya oksigen. Hemoglobin
merupakan molekul besar yang mengandung empat rantai polipeptida, bersama
protein heme (mengandung besi) yang dapat mengikat O2 ketika besinya dalam
bentuk ferrous ( Fe++). Menjadi methemoglobin ketika besi yang dikandung dalam
bentuk ferric (Fe+++), dan ini tidak dapat mengikat O2. Kondisi methemoglobin yang
berada di bawah normal, akan mengurangi jumlah O2 yang dapat diikat oleh
hemoglobin. Satu gram hemoglobin mamalia dapat mengikat 0,060 mmol O2 ketika
pada kondisi betul-betul jenuh. Hemoglobin terkonsentrasi dalam sel darah merah
atau eritrosit (Weiss, 2012).
Menurut Guyton (1997), sintesis hemoglobin diawali dari dalam proeritoblast
kemudian dilanjutkan dalam fase retikulosit dalam sumsum tulang. Tahap dasar
kimiawi pembentukan hemoglobin yaitu suksinil KoA yang dibentuk dalam siklus
Krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk senyawa pirol yang menyatu
membentuk senyawa protoporfirin. Kemudian senyawa tersebut berikatan dengan
besi menggunakan bantuan enzim ferokelatase membentuk molekul heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin) membentuk
suatu subunit hemoglobin. Campbell (1995) menyatakan bahwa pada berbagai jenis
unggas yang normal, hemoglobin menempati sepertiga dari volume sel darah merah.
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian: (1) bagian globin, suatu protein yang
terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat; dan (2) empat
gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal sebagai gugus hem, dengan
masing-masing terikat ke salah satu polipeptida di atas. Masing-masing dari keempat
atom besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O2; karena itu, setiap
molekul hemoglobin dapat mengambil empat penumpang O2 di paru (Sherwood,
2011).
Satu molekul hemoglobin terdiri dari satu molekul globin dan empat molekul
hem. Pada berbagai macam hewan, globin pada hemoglobin sangat bervariasi dalam
8

ukuran, komposisi asam amino, kelarutan dan sifat fisika yang lain. Jumlah
hemoglobin bervariasi tergantung jenis hewan dan jenis kelamin (Marshall dan
Hughes, 1980 ; Martin, 1983). Kadar normal hemoglobin ayam yaitu 7,0- 13,0 g/dl
(Jain, 1993).

2.5 Hematokrit
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase seluler
bahan padat darah yang berupa komponen darah dalam 100 ml darah.Tingginya PCV
berhubungan dengan kebutuhan oksigen, dimana jumlah oksigen yang diperlukan di
dalam tubuh berhubungan dengan produk metabolisme. Pada hewan normal PCV
sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Setyaningrum, 2010)
Hematokrit merupakan persentase volume darah yang mengandung sel darah merah.
Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas darah di mana peningkatan
nilai hematokrit akan meningkatkan viskositas darah (Wilson, 1981). Secara normal,
jumlah eritrosit berkorelasi positif dengan nilai hematokrit.Besarnya nilai hematokrit
dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, umur dan fase produksi, jenis kelamin
ternak serta iklim setempat (Sujono, 1991). Naik turunnya nilai hematokrit
bergantung pada volume sel-sel darah yang dibandingkan dengan volume darah
keseluruhan (Swenson, 1977).
Peningkatan atau penurunan hematokrit dalam darah mempengaruhi
viskositas darah. Semakin besar persentase hematokrit maka akan semakin banyak
gesekan yang terjadi di dalam sirkulasi darah pada berbagai lapisan darah dan
gesekan ini menentukan viskositas, oleh karena itu viskositas darah meningkat
dengan bersamaan hematokrit pun meningkat (Guyton, 1997). Winarsih (2005)
menyatakan bahwa peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi pada keadaan edema
hebat yang akan terjadi pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke jaringan
ekstravaskuler. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan
hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma
darah (Sutedjo, 2007). Penurunan nilai hematokrit dapat disebabkan oleh kerusakan
eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran
eritrosit (Coles,1982). Nilai normal hematokrit ayam antara 22-35 % dengan rata-rata
30% (Jain,1993).
9

3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Diagnostik Klinik Hewan


Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (KHP FK Unhas).
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2017.

3.2 Materi Penelitian


3.2.1 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah ayam ketawa
dewasa yang berumur enam bulan ke atas sebanyak 6 ekor ayam jantan dan 6 ekor
ayam betina
3.2.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah syringe 3 ml, vacuum
tube dengan antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Acetat (EDTA), dan
hemositometer yang terdiri atas neubeur, pipet thoma eritrosit, cover glass, pipet
sahli, tabung hemometer, mikroskop, skala mikrohematokrit, box es, spuit 3 ml dan
sentrifus.
3.3.3 Bahan
Bahan untuk penelitian ini adalah ayam Ketawa berumur minimal 6 bulan
sebanyak 12 ekor, larutan hayem, aquades, plastisin, larutan HCl 0,1 N dan kertas
tissue.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengambilan Darah
Darah diambil dari vena pectoralis yang berada di bawah sayap dengan
menggunakan syringe. Darah diambil sebanyak 1-2 ml, kemudian dipindahkan ke
dalam vacuum tube yang mengandung antikoagulan EDTA dan disimpan di termos
es kemudian darah dibawa ke laboratorium untuk diamati.
3.3.2 Penghitungan Jumlah Eritrosit
Perhitungan jumlah butir eritrosit dilakukan dengan metode kamar hitung.
Darah ayam yang telah dimasukkan ke vacum tube dengan antikoagulan EDTA
dihisap dengan menggunakan pipet thoma eritrosit hingga skala 0,5. Ujung pipet
dibersihkan dan larutan hayem dihisap hingga skala 101. Pipet thoma dikocok hingga
sampel darah dan larutan hayem homogen. Larutan sampel kemudian diteteskan pada
neubeur (kamar hitung) yang telah ditutupi dengan cover glass. Sel-sel eritrosit
dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali. Darah yang diencerkan
dalam larutan hayem adalah untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah
hemolisis. Sel eritrosit dihitung pada 5 bidang sedang di tengah pada kamar hitung
Improved Neubauer (Arfah, 2015).
10

3.3.3 Penghitungan Nilai Hematokrit


Penghitungan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan metode
mikro/mikrohematokrit. Darah vena dimasukkan ke dalam tabung kapiler sekitar 6/7
bagian. Tutup ujung masuknya darah dengan plastisin kemudian disentrifus selama 4-
5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm sehingga terjadi pemadatan sel-sel darah
merah. Apabila sejumlah darah disentrifus dengan kecepatan tinggi maka elemen-
elemen darah akan terpisah menjadi plasma, bagian keruh (trombosit dan leukosit),
dan eritrosit. Tingginya eritrosit diukur dengan menggunakan skala mikro-hematokrit
yang dinyatakan dalam persen terhadap seluruh darah (Arfah, 2015)
3.3.4 Penghitungan Konsentrasi Hemoglobin
Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL0,1 N sampai tanda 2 gram%.
Darah dengan antikoagulan diisap dengan pipet Sahli sampai tepat pada tanda 20
mm³. Bagian luar dari pipet dibersihkan dengan kertas tissue. Darah segera
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam tabung hemometer yang berisi HCL 0,1 N
tanpa menimbulkan gelembung udara. Sebelum dikeluarkan, pipet dibilas dengan
menghisap dan meniup HCL yang ada dalam tabung beberapa kali. Bagian luar pipet
juga dibilas dengan beberapa tetes aquades. Ditunggu 10 menit untuk pembentukan
asam hematin. Setelah terbentuk asam hematin, asam ini kemudian diencerkan
dengan aquades tetes demi tetes sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna
coklat pada gelas standar (Dharmawan, 2002).

3.4 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Parameter yang diamati
adalah jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin.
11

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah Eritrosit


Hasil penelitian terhadap 12 sampel darah ayam ketawa menunjukkan bahwa
jumlah eritrosit tertinggi terdapat pada ayam ketawa 1 yaitu 2,17 x 106 /mm3
sedangkan jumlah eritrosit terendah terdapat pada ayam ketawa 12 yaitu 1,52 x 106
/mm3 (Tabel 1). Jumlah eritrosit secara rata-rata yaitu 1,92 x 106 mm3. Hasil ini lebih
rendah dari kisaran nilai normal, seperti yang dilaporkan Mangkoewidjojo dan Smith
(1988), jumlah total tiap mm3 darah ayam berkisar antara 2,0-3,2 x 106 /µl.

Tabel 2. Hasil Pengamatan terhadap Jumlah Eritrosit Ayam Ketawa selama Penelitian
Sampel Darah
PARAMETER AK AK AK AK AK AK AK AK AK9 AK AK AK
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12
JUMLAH 2,17 1,97 2,16 2,00 2,03 1,99 1,97 2,06 1,80 1,61 1,72 1,52
ERITROSIT (x
106 mm3)
Rata-rata (x
2,05 1,79
106/mm3)
Rata-rata total 1,92 x 106/mm3
Range 1,52 – 2,17 x 106/mm3
Keterangan: AK 1-6 (Ayam Jantan) AK 7-12 (Ayam Betina)

Kadar eritrosit normal pada ayam berkisar antara 2,5-3,5 juta/ mm3 dan batas
toleransi antara 1,89 – 5,00 juta/mm3 (Sturkie, 1976). Hasil dari penelitian ini
menunjukkan rataan jumlah eritrosit masih berada pada kisaran yang dapat
ditoleransi. Berdasarkan hasil penelitian Isroli et al (2009), kadar eritrosit paling
rendah pada berbagai jenis ayam Kedu secara rata-rata adalah 2,085 x 106 /mm3
dengan kisaran 2,085 x 106 /mm3 – 2,732 x 106 /mm3. Hal ini menujukkan bahwa
dibandingkan dengan ayam Kedu, ayam Ketawa memiliki rataan kadar eritrosit yang
relatif lebih rendah. Penelitian Sudrajat (2015) melaporkan bahwa rataan eritosit pada
berbagai jenis ayam Sentul betina periode awal yaitu 2,108±0,338 x 106 /mm3 dengan
kisaran 2,108 ±0,338 x 106 /mm3 – 2,982±0,924 x 106 /mm3.
Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, dan jenis kelamin, semakin dewasa
umur ayam maka jumlah eritrositnya meningkat. Ayam dengan jenis kelamin jantan
jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan betina. Ayam jantan umur 32-46 hari
mempunyai jumlah eritrosit rata-rata 2,83 juta/mm3 (Ganong, 2008). Penelitian yang
dilakukan Addas et al (2012) pada ayam kampung, dilaporkan pengaruh kelompok
umur pada PCV, RBC dan WBC, ditemukan bahwa kelompok umur 150 hari secara
signifikan memiliki kadar sel darah putih lebih tinggi, namun pada kelompok umur
90 hari memiliki sel darah merah yang lebih tinggi. Penelitian ini juga menujukkan
bahwa parameter hematologi meningkat seiring bertambahnya usia ayam kampung
12

dengan ayam jantan dilaporkan memiliki nilai hematologis yang lebih tinggi
dibandingkan ayam betina. Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin
(Suprijatna dkk, 2005).
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mentranspor hemoglobin yang membawa
oksigen ke jaringan (Thrall, 2012). Eritrosit berfungsi sebagai pembawa hemoglobin.
Hemoglobin bereaksi dengan oksigen yang dibawa dalam darah untuk membentuk
menjadi oksihemoglobin selama respirasi (Johnstone & Morris, 1996; Chineke,
Ologun, & Ikeobi, 2006). Menurut Isaac et al. (2013) sel darah merah terlibat dalam
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Pengurangan jumah sel
darah merah akan berimplikasi berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa ke
jaringan dan juga jumlah karbon dioksida yang kembali ke paru-paru (Ugwuene,
2011; Soetan, Akinrinde, & Ajibade, 2013; Isaac et al, 2013). Jumlah eritrosit
dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, jenis kelamin, umur, kondisi tubuh, variasi
harian, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, temperatur lingkungan dan keadaan stress
(Swenson, 1977).
Proses eritropoesis terjadi di sumsum tulang. Sel darah merah pada unggas
memiliki masa hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan mamalia, rupanya
karena kecepatan metabolisme mereka yang tinggi dan temperatur tubuh (O’Malley,
2005). Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon
eritroprotein yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi
proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dan asam
folat mempengaruhi eritropoiesis pada tahap pematangan akhir dari erirosit
sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang berada dalam
sirkulasi (Meyer dan Harvey, 2004).
Pada kondisi normal erythron dapat mempertahankan keseimbangan produksi,
destruksi eritrosit oleh sistema retikulo endothelial (SRE) dalam hati, lien dan
sumsum tulang. Sel-sel tua akan didestruksi oleh SRE dalam hati, lien, dan sumsum
tulang, dan selanjutnya Fe masih digunakan oleh sumsum tulang oleh pembentukan
darah. Eritrosit terdiri dari 60-70 % air (H2O), 28-35% haemoglobin (Hb), matrik
anorganik dan organik, membran sel non-elastik tetapi fleksibel (merupakan bentuk
khusus atau biconcave), eritrosit mamalia tidak berinti sedang eritrosit unta dan
unggas berinti (Salasia, 2010). Proses pembentukan eritrosit baru setiap harinya
membutuhkan prekursor untuk mensintesis sel baru. Prekursor yang dibutuhkan
antara lain zat besi, vitamin, asam amino dan hormon (Hoffbrand dan Pettit, 1996)
Kerusakan bentuk pada membran eritrosit dapat mempengaruhi masa hidup.
Umur eritrosit Aves 28-25 hari, setelah mencapai umur tersebut harus digantikan
yang baru. Jumlah eritrosit pada ayam berkisar antara 2,5-3,5 juta dan batas toleransi
antara 1,89 – 5,00 juta/mm3. Ayam jantan umur 32-46 hari mempunyai jumlah
13

eritrosit rata-rata 2,83 juta/ mm3 (Jain, 1993). Jumlah eritrosit akan selalu meningkat
sejalan dengan peningkatan umut sampai mencapai kedewasaan, setelah dewasa
jumlah eritrosit cenderung konstan (Sturkie,1976)

Grafik 1. Jumlah Eritrosit pada Ayam Ketawa Jantan dan Betina


2,1
2,05
2
1,95
1,9
1,85 Ayam Jantan
1,8 Ayam Betina
1,75
1,7
1,65
Jumlah Eritrosit
(106/mm3)

4.2 Kadar Hemoglobin


Hasil pengamatan pada sampel darah ayam ketawa memperlihatkan bahwa
rataan kadar hemoglobin pada ayam ketawa adalah 7,04 g/dl. Kadar hemoglobin
tertinggi terdapat pada ayam ketawa 1 yaitu 7,80 g/dl, sedangkan kadar terendah
terdapat pada ayam ketawa 10 yaitu 5,70 g/dl (tabel 2). Menurut Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) pada umumnya unggas memiliki hemoglobin antara 7,0-10,9
gr%. Sedangkan menurut Weiss (2010) jumlah hemoglobin ayam (Gallus gallus
domesticus) berkisar antara 7,0-13 g/dl. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata
kadar hemoglobin ayam ketawa berada pada kisaran normal. Dibandingkan dengan
ayam lokal lain, yaitu pada ayam Kedu memiliki kadar hemoglobin berkisar antara
5,300 g/dl – 7,225 g/dl (Isroli, 2009) atau pada ayam Sentul betina periode awal
dengan kadar kadar hemoglobin berkisar antara 8,06±0,961 g/dl – 9,42±1,678 g/dl
(Sudrajat, 2015).
Konsentrasi hemoglobin dalam darah berkorelasi kuat dengan jumlah
eritrosit. Semakin rendah jumlah eritrosit, maka semakin rendah pula konsentrasi
hemoglobin dalam darah (Lagler et al,1977). Kadar hemoglobin antara lain
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pakan dan lingkungan (Sturkie, 1976).
14

Tabel 3. Hasil Penghitungan terhadap Kadar Hemoglobin pada Ayam Ketawa


Sampel Darah
PARAMETER AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KADAR
HEMOGLOBIN 7,8 7,6 7,0 7,0 7,7 6,9 6,7 6,9 7,2 5,7 7,3 6,7
(g/dl)
Rata-rata (g/dl) 7,33 6,75
Rata-rata total 7,04 g/dl
Range 5,7- 7,8 g/dl
Keterangan: AK 1-6 (Ayam Jantan) AK 7-12 (Ayam Betina)

Faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah umur hewan, spesies,


lingkungan, pakan, ada tidaknya kerusakan eritrosit, dan penanganan darah pada saat
pemeriksaan (Wardhana, 2001). Pengamatan indeks eritrosit meliputi Mean
Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC), dan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH). Indeks eritrosit ini digunakan
untuk mengetahui keadaan anemia. MCV sebagai indikator anemia berdasarkan
ukuran eritrosit. Nilai MCHC digunakan untuk mengetahui kondisi anemia ternak
berdasarkan konsentrasi hemoglobin. Adapun MCH untuk mnegetahui kondisi
anemia berdasarkan berat hemoglobin (Guyton dan Hall, 2008).
Mayoritas parameter hemoglobin pada ayam kampung meningkat seiring
bertambahnya umur, jantan umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
betina (Addass et al 2012). Penelitian Peters et al (2011) melaporkan ayam jantan
pada umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam betina
pada berbagai genotype yang berbeda. Pada berbagai jenis unggas yang normal,
hemoglobin menempati sepertiga dari volume eritrosit (Campbell, 1995). Menurut
Guyton (1997), sintesis hemoglobin diawali dari dalam proeriotoblast kemudian
dilanjutkan dalam fase retikulosit dalam sumsum tulang. Tahap dasar kimiawi
pembentukan hemoglobin yaitu suksinil KoA yang dibentuk dalam siklus Krebs
berikatan dengan glisin untuk membentuk senyawa protoporfin. Kemudian senyawa
tersebut berikatan dengan besi menggunakan bantuan enzim ferokelatase membentuk
molekul heme. Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang
(globin) membentuk suatu subunit hemoglobin.
15

Grafik 2. Kadar Hemoglobin pada Ayam Ketawa Jantan dan Betina

7,4
7,3
7,2
7,1
7
Ayam
6,9 Jantan
6,8
Ayam
6,7
Betina
6,6
6,5
6,4
Kadar Hemoglobin
(g/dl)

4.3 Nilai Hematokrit


Hasil penelitian nilai hematokrit pada 12 ekor ayam ketawa menunjukkan
nilai hematokrit tertinggi yaitu 34% sedangkan nilai terendah yaitu 28% dengan
rataan 30,67 %. Nilai hematokrit tertinggi pada ayam ketawa 1 yaitu sebesar 34%
sedangkan nilai hematokrit terendah terdapat pada ayam ketawa 11 yaitu 28% (tabel
3). Nilai hematokrit ini berada pada kisaran normal, seperti yang dilaporkan oleh
Darmawan (2002) di mana nilai hematokrit ayam pada umumnya berkisar antara
22,0-35,0 %. Penelitian Isroli (2009) menunjukkan nilai hematokrit pada ayam Kedu
yaitu berkisar antara 2 6,375 % - 30,30 %.

Tabel 4. Hasil Penghitungan Nilai Hematokrit pada Ayam Ketawa

Sampel Darah
PARAMETER AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK AK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NILAI
HEMATOKRIT 34 31 33 30 30 34 30 29 30 29 28 29
(%)
Rata-rata (%) 32 29,17
Rata-rata total 30,58 %
Range 28-34 %
Keterangan: AK 1-6 (Ayam Jantan) AK 7-12 (Ayam Betina)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai hematokrit dengan jumlah eritrosit


memiliki keterkaitan. Semakin besar jumlah eritrosit, semakin besar pula jumlah
hematokrit dalam darah. Hematokrit menunjukkan besarnya volume sel darah merah
penuh atau eritrosit dalam 100 mm3 darah dan dinyatakan dalam persen (Hoffbrand
16

dan Pettit, 2010). Menurut Soeharsono et al (2010) nilai hematokrit merupakan


persentase dari sel-sel darah terhadap seluruh volume darah, termasuk eritrosit.
Peningkatan ataupun penurunan nilai hematokrit dalam darah akan
berdampak pada viskositas (kekentalan) darah. Semakin besar persentase hematokrit
maka viskositas akan semakin meningkat. Begitupun sebaliknya, penurunan nilai
hematokrit dapat disebabkan oleh kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit
atau dapat juga dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran eritrosit (Dawson dan Whittow,
2000). Perubahan nilai hematokrit akan berdampak negatif karena mempengaruhi
viskositas darah, hematokrit yang tinggi atau rendah menyebabkan peningkatan dan
sebaliknya akan memperlambat aliran darah pada kapiler dan mempercepat kerja
jantung (Cunningham, 2002). Semakin besar persentase hematokrit maka semakin
banyak gesekan yang terjadi dalam sirkulasi darah pada berbagai lapisan darah dan
gesekan ini menentukan viskositas, oleh karena itu viskositas darah meningkat
dengan bersamaan hematokrit pun meningkat (Guyton, 1997)
Natalia (2008), melaporkan bahwa apabila terjadi penyimpangan dari nilai
hematokrit berpengaruh penting terhadap kemampuan darah untuk membawa
oksigen. Nilai hematokrit secara umum juga menjadi indikator penentuan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah
Oxygen Carrying Capacity. Nilai hematokrit dalam tubuh ayam dapat mengalami
penurunan dan peningkatan yang disebabkan oleh kondisi tubuh ayam itu sendiri atau
yang biasa disebut homeostatis (Davey et. al., 2000). Sturkie (1976) menyatakan
bahwa kadar hematokrit dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin,
status nutrisi, keadaan hipoksia, jumlah eritrosit dan ukuran hematokrit.

Grafik 3. Nilai Hematokrit pada Ayam Ketawa Jantan dan Betina


32,5
32
31,5
31
30,5
30 Ayam Jantan
29,5
Ayam Betina
29
28,5
28
27,5
Nilai Hematokrit
(%)
17

Hasil penelitian menunjukkan secara umum jumlah eritrosit, kadar


hemoglobin dan nilai hematokrit pada ayam ketawa jantan lebih besar dibandingkan
dengan ayam ketawa betina. Hal ini sesuai dengan penelitian Addas et al (2012) yang
melaporkan bahwa mayoritas parameter hematologi pada ayam jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan ayam betina. Nilai eritrosit, kadar hemoglobin juga secara
umum pada 12 sampel darah ayam ketawa berkorelasi positif artinya jika nilai
eritrosit tinggi maka nilai parameter yang lain relatif tinggi begitu pun sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan Meyer dan Harvey (2004) yang menyatakan bahwa jumlah
eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin berjalan sejajar satu sama lain
apabila terjadi perubahan.
18

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 12 sampel darah ayam Ketawa, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Jumlah eritrosit berkisar antara 1,52 x 106 /mm3 - 2, 17 x 106 /mm3 dengan rata-
rata 2,05 x 106 /mm3 pada jantan dan 1,79 x 106 /mm3 pada betina sedangkan rata-
rata keseluruhan 1,92 x 106 /mm3.
2. Nilai hematokrit berkisar antara 28%-34% dengan rata-rata 32 % pada jantan dan
29,17 % pada betina sedangkan rata-rata keseluruhan 30,58 %.
3. Kadar hemoglobin berkisar antara 5,7 g/dl.-7,8 g/dl dengan rata-rata 7,33 g/dl
pada jantan dan 6, 75 g/dl pada betina sedangkan rata-rata total 7,04 g/dl.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan populasi sampel yang lebih banyak
dan diberi perlakuan khusus pada ayam Ketawa untuk mengetahui perubahan
gambaran darah yang terjadi.
19

DAFTAR PUSTAKA
Addas, P. A, David, D,L., Edwared, A., Zira, K, E., & Midau, A. 2012. Effect of
Age, Sex and Management System on Some Haematological Parameters of
Intensively and Semi-Intensively Kept Chicken in Mubi, Adamawa State,
Nigeria. Iranian Journal of Applied Animal Science, 2(3), 277-282.
Amri, Arfi Bambani. 2010. Ayam Ketawa Nan Langka Bersuara Tawa., (online)
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/179194-ayam-ketawa-nan-langka-
bersuara-tawa, diakses 10 Mei 2015)
Anonim. 2010. Ayam Ketawa, (online) (http://www.infoternak.com/ayam-ketawa/,
diakses 10 Mei 2015)
Arfah, N.A. 2015. Pengaruh Pemberian Tepung Kunyit pada Ransum Terhadap
Jumlah Eritrosit, Hemoglobin, PCV dan Leukosit Ayam Broiler. Skripsi.
Universitas Hasanuddin Makassar.
Campbell TW. 1995. Avian Hematology and Cytology. 1th Ed. Iowa State University
Press.Ames. Iowa. United States of America.
Chineke, C. A., Ologun, A. G., & Ikeobi, C. O. N. (2006). Haematological
parameters in rabbit breeds and crosses in humid tropics. Pakistan Journal of
Biological Sciences, 9(11), 2102-2106.
Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Saunders Company,
USA.
Davey, C., Lill, A. and Baldwin, J. 2000. Variation during breeding in parameters
that influence blood oxygen carrying capacity in shearwaters. Aust. J.Zool.
48, 347-356.
Dawson, W.R., and G.C. Whittow. 2000. Regulation of Body Temperature. Pages
343-379 in Sturkie’s Avian Physiology.G.C.Whittow, ed. Academic Press,
New York, NY.
Dharmawan, NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Hematologi Klinik.
Universitas Udayana: Denpasar.
Ganong, W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 14th Ed . Diterjemahkan oleh
dr. Jonatan Oswari. EGC. Jakarta.
Guyton A.C and Hall J.E. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi ke-
9.Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan. EGC. Jakarta.
Hardjosubroto, W. dan S.P. Atmodjo. 1977. Performans dari ayam kampung dan
ayam Kedu. Makalah pada Seminar Pertama tentang Ilmu dan Industri
Perunggasan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
20

Hoffbrand A.V, JE Pettit. 1996. Kapita Selekta Hematologi. Ed ke-2. Iyan D,


penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Terjemahan dari :
Essential Hematology.
Isaac, L. J., Abah, G., Akpan, B., & Ekaette, I. U. (2013).Haematological properties
of different breeds and sexes of rabbits (p.24-27). Proceedings of the 18th
Annual Conference of Animal Science Association of Nigeria
Isroli, S. Susanti, E. Widiastuti, T. Yudiarti & Sugiharto.2009. Observasi Beberapa
Variabel Hematologis Ayam Kedu pada Pemeliharaan Intensif. Seminar
Nasional Kebangkitan Peternakan, 2009 Mei 20 , Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
Jain, N.C. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Lea and Febriger, Philadelphia.
Junaedi. 2012. Kajian Biokustik Tipe Suara Ayam Gaga. Skripsi. Universitas
Hasanuddin Makassar
Kiswari, Rukman. 2014. Hematologi dan Transfusi. Erlangga : Jakarta.
Kuswardani, WA 2012. “Studi Ukuran dan Bentuk Tubuh Ayam Ketawa, Ayam
Pelung, dan Ayam Kampung Melalui Analisis Komponen Utama”. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Meyer, D. J., and Harvey J. W. 2004.Veterinary Laboratory Medicine Interpretation
& Diagnosis.Third edition. Saunders, USA
Natalia, R. D. 2008. Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Ayam
Pedaging Umur 6 Minggu yang Diberi Suplemen Kunyit, Bawang Putih dan
Zink. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
O’Malley, Bairbre. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Spesies.
Germany: Elsevier Limited
Peters, S. O., Gunn, H. H., Imumorin, I. G., Agaviezor, B. O., & Ikeobi, C. O. (2011).
Haematological Studies on Frizzled and Naked Neck Genotypes of Nigerian
Native Chickens. Tropical Animal Health Production, 43(3), 631-638.
Prawira, AY. 2014. Struktur Anatomi Syrinx pada Ayam Ketawa. Skripsi. Program
Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar
Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Pathophysiology :
Clinical Consets of Diesease Processes, 6/e, diterjemahkan oleh dr. Brahm U.
Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Redaksi AgroMedia. 2007. Beternak Ayam Kampung Petelur. Jakarta: PT.
Agromedia Pustaka
21

Reece, W.O. 2006.Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animal, 3rd ed.
Blackwell Publishing, USA.
Salasia, S.I dan B. Hariono. 2010. Patologi Klinik Veteriner: Kasus Patologi Klinis.
Penerbit Samudra Biru. Yogyakarta
Sartika, T dan S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan
Pemanfaatannya. Edisi ke-2. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 140 hlm.
Setyaningrum, M. 2010. “Profil Hematologi Darah Ayam Broiler yang Diberi
Ransum Mengandung Aflatoksin”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sherwood, L. 2011. Human Physilogy: From Cells to Systems, 6th Ed, diterjemahkan
oleh dr. Brahm U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press.
Jakarta
Soeharsono, A. Mushawwir, E. Hernawan, L. Adriani, K. A. Kamil. 2010. Fisiologi
Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada
Hewan. Widya Padjadjaran, Bandung.
Soetan, K. O., Akinrinde, A. S., & Ajibade, T. O. (2013). Preliminary studies on the
haematological parameters of cockerels fed raw and processed guinea corn
(Sorghum bicolor) (p. 49-52). Proceedings of 38th Annual Conference of
Nigerian Society for Animal Production.
Sriwati, D. Widodo, E. Natsir, MH. -. “ Pengaruh Penggunaan Tepung Jintan Putih
(Cuminum cyminum L) dalam Pakan terhadap Profil Darah Ayam
Pedaging”. Hal 1-9
Sturkie, P. D. 1976. Blood : Physical Characteristics, Formed, Elements,
Hemoglobin, and Coagulan in Avian Physiology. Thirt Edition. Springer
Verlag, New York.
Sudrajat, A. 2015. Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Darah pada Berbagai
Jenis Ayam Sentul Betina Periode Awal. Skripsi. Universitas Jenderal
Soedirman. Banjarnegara.
Sugandi, D., J. Wahju, K. Gunardi, S. Rukadi dan M.M. Sundari. 1968. Case study
unggas. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Sujono, A. 1991. Nilai Hematokrit dan Konsentrasi Mineral dalam Darah. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suprijatna, E. 2005.Ayam Buras Krosing Petelur. Jakarta: Penerbit Swadaya
22

Suprijatna, E., Atmomarsono, U. Kartasudjana, R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.


Jakarta: Penerbit Swadaya
Sutedjo, A.Y. 2007. Mengenal Penyakit melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Amara Books: Yogyakarta
Swenson. 1997. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. 9th Ed. Cornel university
Press. London
Thrall, Mary Anna. 2012. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry.
Ugwuene, M. C. (2011). Effect of Dietary Palm Kernel Meal for Maize on the
Haematological and Serum Chemistry of Broiler Turkey.Nigerian Journal of
Animal Science, 13, 93-103
Wardhana, April H, E Kenanawati, Nurmawati, Rahmaweni, dan C.B. Jatmiko. 2001.
Pengaruh Pemberian Sediaan Patikaan Kebo (Euphorbia Hirta L) terhadap
Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit pada Ayam yang
Diinfeksi dengan Eimeria tenella. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 6
No. 2 Th. 2001. Bogor.
Weiss, DJ., Wardrop, KJ. Schalm, OW. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th
Edition. Blackwell Publishing Ltd, Oxford..
Wilson, B.J. 1981. Growth in Birds for Meat Production.In T. L. J Laurence (ed).
Growth in Animals. Butterworths, London Boston.
Winarsih, W. 2005.Pengaruh Probiotik dalam Pengendalian Salmonellosis Subklinis
pada Ayam Gambaran Patologis dan Performan. Thesis. Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijayanti, D. 2014. “Gambaran Darah Ayam Petelur Fase Grower (7-10 minggu)
pada Kepadatan Kandang yang Berbeda”, hal. 71-80
Zuwito, J. 2015. Mengenal Ayam Kedu.(online)
(http://jesrilzuwito80.blogspot.co.id/2015/03/mengenal-ayam-kedu.html,
diakses 9 Juni 2017)
Zuwito, J. 2015. Mengenal Ayam Ketawa. (online)
(http://jesrilzuwito80.blogspot.co.id/2015/03/mengenal-ayam-ketawa.html, di
akses 9 Juni 2017)
23

LAMPIRAN
Keterangan Sampel

 Ayam Ketawa dengan motif bulu Bakka.


.

Dokumentasi Penelitian
Foto 1. Alat dan Bahan Penelitian
24

Foto 2. Beberapa Prosedur Penelitian


25

Foto 3. Beberapa Hasil Penelitian


26

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1993 di Mamasa,
Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dari ayahanda Demmatannun
dan ibunda Datulangi. Penulis merupakan anak terakhir dari enam
bersaudara.
Penulis memasuki pendidikan formal sekolah dasar di SDN 005
Ranteliang dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama,
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Mamasa dan lulus pada
tahun 2008. Pada tahun 2011 menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 1 Mamasa dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai