Anda di halaman 1dari 28

PENGARUH SUHU TERHADAP JUMLAH DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT

SERTA KADAR MALONDIALDEHID (MDA) BURUNG PUYUH (Coturnix


coturnix Japonica)

ANNISSA NURIDFI SASMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suhu terhadap
terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit serta Kadar Malondialdehid (MDA)
Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) dengan Indikator Jumlah dan
Diferensiasi Leukosit serta Kadar malondialdehid (MDA) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2017

Annissa Nuridfi Sasmita


NIM B04130177
ABSTRAK

ANNISSA NURIDFI SASMITA. Pengaruh Suhu terhadap Jumlah dan Diferens ia s i


Leukosit serta Kadar Malondialdehid (MDA) Burung Puyuh (Coturnix coturnix
Japonica). Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan PUDJI ACHMADI.

Permasalah utama pada peternakan unggas daerah tropis yang sering terjadi
adalah tinggi angka mortalitas. Kematian yang terjadi rata-rata karena unggas
terkena heat stres atau stres panas yang diakibatkan oleh temperatur yang tinggi
( >28 °C). Salah satu bentuk stres akibat pemberian cekaman panas adalah stress
oksidatif akibat peningkatan radikal bebas yang ditandai dengan meningkatnya
kadar differensial leukosit (heterofil, limfosit, monosit, basofil, dan eosinophil),
jumlah BDP dan MDA. Cekaman panas yang berkepanjangan diberikan pada 24
ekor burung puyuh yang dikelompokkan dalam empat grup yaitu A (39 °C), B
(41 °C), C (43 °C) dan D (45 °C). Pemberian cekaman panas dilakukan saat puyuh
berumur 2 hari. Pengambilan darah dilakukan saat puyuh berumur 6 minggu. Hasil
pengamatan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol secara keseluruha n
menunjukkan terjadi peningkatan jumlah pada semua kelompok perlakuan.
Parameter yang mengalami peningkatan yaitu jumlah butir darah putih, heterofil,
eosinophil, monosit, rasio H/L serta kadar malondialdehid (MDA). Sedangkan pada
parameter limfosit dan basofil terjadi penurunan jumlah dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Peningkatan pada parameter utama yaitu, rasio H/L dan kadar
MDA mengindikasikan pememeliharaan pada suhu >25 °C dapat menimbulka n
stres oksidatif akibat cekaman panas pada puyuh.

Kata kunci: Cekaman panas, Malondialdehida (MDA), Puyuh, stres oksidatif


ABSTRACT

ANNISSA NURIDFI SASMITA. The Influence of Temperature on Leucocytes


Differentiation and Malondialdehyde Level in Quail (Coturnix coturnix Japonica).
Supervised by KOEKOEH SANTOSO and PUDJI ACHMADI

The main problem in tropical poultry farming that often happens is a high
mortality rate. Deaths occurrance mostly by heat stress, a condition which is caused
by high temperature ( >28 ° C). One form of stress due to heat stress is oxidative
stress due to increased free radical characterized by increased levels of differentia l
leukocytes (heterophils, lymphocytes, monocytes, basophils, and eosinophils), the
amount of BDP and MDA. Prolonged heat stress was given to 24 quails grouped in
four groups: A (39 ° C), B (41 ° C), C (43 ° C) and D (45 ° C). Provision of heat
stress was done when the quails were 2 days old. Blood sampling was performed at
the age of 6 weeks. The observed results compared with the control group as a
whole showed an increase in the number in all treatment groups. Parameters that
increased were white blood, heterophil, eosinophil, monocyte, H /L and
malondialdehid (MDA). Whereas in lymphocyte and basophil parameter there was
decreasing amount compared to control group.The increase in the main parameters
ie, the ratio of H /L and MDA levels indicate the maintenance of temperature >25
° C can cause oxidative stress due to heat stress in quail.

Key Words: Heat Exposure, Malondialdehyde, Quail, Oxidative Stress


PENGARUH SUHU TERHADAP JUMLAH DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT
SERTA KADAR MALONDIALDEHID (MDA) BURUNG PUYUH (Coturnix
coturnix Japonica)

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 adalah
Pengaruh Suhu terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit serta Kadar
Malondialdehid (MDA) Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica).
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada:
1. Dr Drh Koekoeh Santoso sebagai dosen pembimbing utama atas segala
bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Drs Pudji Achmadi, MSi sebagai dosen pembimbing anggota atas segala
bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini
3. Dr Drh Okti Nadia Poetri sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik.
4. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi, Departemen Anantomi, Fisiologi dan
Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah
membantu selama pengumpulan data
5. Ayah, Mama, Sutan, Sunan, Arrum serta seluruh keluarga tercinta atas segala
bentuk dukungan dan kasih sayang.
6. Teman penelitian, Anindita, Ambi, Nurfira, Joanita, dan Nalia atas bantuan dan
dukungan selama proses penelitian berlangsung.
7. Teman penyemangat selama masa perkuliahan, Indra, Satya, Ervan, Hutomo
dan Keluarga Besar UKF khususnya angkatan 11 yang bersedia membantu
disaat penulis membutuhkan bantuan.
Demikian Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Annissa Nuridfi Sasmita


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) 2
Cekaman Panas Pada Unggas 3
Pengaruh Cekaman Panas Terhadap Jumlah Leukosit 3
Pengaruh Cekaman Panas Terhadap Malondialdehida (MDA) 4
METODE 5
Waktu dan Tempat Penelitian 5
Alat dan Bahan Penelitian 5
Tahap Perlakuan 6
Tahap Pengamatan 6
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Heterofil 7
Limfosit 8
Monosit 9
Eosinofil 10
Basofil 10
Leukosit 11
Rasio Heterofil dan Limfosit (H/L) 12
Malondialdehid (MDA) 13
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
Riwayat Hidup 18
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rataan jumlah heterofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 8
Tabel 2 Rataan jumlah limfosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 9
Tabel 3 Rataan jumlah monosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 10
Tabel 4 Rataan jumlah eosinofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 11
Tabel 5 Rataan jumlah basofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 11
Tabel 6 Rataan jumlah leukosit burung puyuh yang diberikan cekaman panas 12
Tabel 7 Rataan rasio H/L darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas 13
Tabel 8 Rataan jumlah MDA darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 14
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk unggas memiliki nilai gizi yang tinggi. Ternak puyuh merupakan
salah satu komoditas unggas sebagai penghasil telur dan daging. Keberadaannya
dapat sebagai pendukung ketersediaan protein hewani yang murah dan mudah
didapat. Usaha budidaya puyuh merupakan salah satu jenis usaha yang banyak
diminati dan dikembangkan. Hal ini karena ternak puyuh ini merupakan salah satu
ternak yang dapat berproduksi dalam waktu cepat (40 hari sudah bertelur). Selain
itu, usaha budidaya puyuh dapat dilakukan dengan modal yang relatif kecil dan
tidak memerlukan lahan yang luas, yaitu hanya diperlukan lahan sekitar 7.5 m2
untuk beternak 1000 ekor puyuh (Wuryadi 2011).
Industri unggas juga membawa dampak positif terhadap perkembangan
dunia usaha peternakan. Kendala yang dihadapi industri perunggasan saat ini di
Indonesia adalah produktivitas yang belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu genetik, bangsa dan suhu lingkungan serta manajeme n
kandang yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Unggas tidak memiliki kelenjar
keringat untuk membantu melepaskan panas tubuh. Lima cara unggas untuk
melepaskan panas tubuhnya melalui radiasi, konduksi, konveksi, evaporasi dan
ekskreta (Gemilang 2013). Stres adalah respon yang tidak spesifik dari tubuh
terhadap tuntutan (bersifat eksternal) dan respon atau tanggapan (bersifat interna l)
(Soeharto 2004).
Permasalah utama pada peternakan unggas daerah tropis yang sering terjadi
adalah tinggi angka motilitas. Kematian yang terjadi rata-rata karena unggas
terkena heat stress atau stres panas yang diakibatkan oleh temperatur yang tinggi
(>28 °C). Menurut North (1972) setiap kenaikan temperatur kandang 3 °C akan
mempengaruhi performans unggas. Unggas umumnya mengalami stres oksidatif,
yaitu keadaan saat kadar radikal bebas dalam tubuh yang meningkat melebihi
kemampuan dari jumlah sistem antioksidan dalam tubuh untuk mengatasinya.
Keberadaannya dalam tubuh menimbulkan kerusakan pada sel. Stres oksidatif
dalam tubuh dapat diukur dengan menggunakan salah satu parameternya yaitu
kadar malondialdehid (MDA) plasma. Semakin tinggi stres oksidatif yang terjadi
dalam tubuh maka semakin tinggi kadar MDA plasma (Ramatina 2011).
Mediator malondialdehid (MDA) merupakan suatu produk akhir
peroksidasi lemak yang digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lemak
serta dapat menggambarkan derajat stres oksidatif (Rahardjani 2010). Heterofil
berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap pengaruh luar, apabila partikel asing
terkurung ke dalam sitoplasma heterofil, maka partikel tersebut akan menempatkan diri
ke dalam ruang yang disebut fagosom (Mayes et al. 1997).
Rasio H/L merupakan indikator stres yang paling mudah diketahui secara dini.
Semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi pula tingkat cekaman sebagai bentuk
stres pada unggas (Kusnadi 2008). Penelitian yang pernah dilakukan Yustikadewi dan
Hidayatullah (2016) menunjukkan peningkatan rasio H/L serta kadar MDA pada
burung puyuh fase grower yang dipelihara pada suhu 36 °C. Penelitian ini
menggunakan burung puyuh pada fase starter untuk mengetahui respon fisiologi
terhadap pegaruh pemberian cekaman panas.
2

Perumusan Masalah

Unggas tergolong hewan homeothermic dengan ciri khas tidak mempunya i


kelenjar keringat dan menjadi penyebab unggas mudah mengalami stres panas.
Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis merupakan pemicu terjadinya stres
oksidatif (kondisi aktivitas radikal bebas melebihi antioksidan). Jumlah dan
diferensiasi leukosit serta kadar Malondialdehida (MDA) merupakan senyawa yang
dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan
sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stres oksidatif akibat cekaman


panas terhadap respon fisiologi burung puyuh melalui jumlah butir darah putih,
jumlah diferensial leukosit dan kadar malondialdehid (MDA) pada darah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai stres


oksidatif pada respon fisiologi burung puyuh akibat cekaman panas.

TINJAUAN PUSTAKA

Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)

Puyuh termasuk petelur yang andal, dalam setahun mampu bertelur hingga
300 butir. Unggas dari genus Coturnix ini yang dalam bahasa perdagangan
internasional sering disebut dengan quail, jarang mengerami telurnya dan hanya
mengandalkan alam untuk menetaskan telurnya. Produksi telur yang optimum
dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu breeding, feeding, dan management.
Proses penetasan telur puyuh biasanya dilakukan pada suhu 37–40 °C dan
kelembaban 55% selama 17 hari (Wuryadi 2011).
Manajemen lingkungan merupakan salah satu kunci untuk kenyamana n
ternak. Puyuh dirawat di kandang pada suhu 20 °C – 25 °C. Suhu yang terlalu
tinggi akan menyebabkan puyuh mengalami heat stres serta akan menyebabkan
alkalosis respiratori. Kelembapan juga harus diperhatikan hal ini untuk menjaga
agar puyuh tetap sehat. Kelembapan optimum kandang puyuh adalah sekitar 30%
sampai 80% (Wuryadi 2013). Kelembaban kandang yang terlalu tinggi akan
menyebabkan puyuh mudah terserang penyakit karena kelembaban yang tinggi
akan mendukung perkembangan mikroorganisme dan bakteri (Tetty 2002).
3

Pencahayaan memiliki fungsi penting dalam pemelihara an puyuh. Tiga


fungsi utama cahaya untuk unggas yaitu untuk membantu penglihatan, membantu
mengekskresikan hormon serta merangsang siklus internalnya. Pada periode starter
cahaya berperan dalam proses pertumbuhan melalui pengaturan sekresi hormon
somatotropik dan hormon tiroid. Cahaya pada periode grower berperan penting
dalam proses pendewasaan kelamin dan pengaturan aktivitas harian. Pada periode
layer cahaya berperan dalam pematangan dan pengeluaran ovum yang pada
akhirnya mempengaruhi produksi telur (Triyanto 2007).

Cekaman Panas pada Unggas

Cekaman panas atau heat stress merupakan kondisi saat ternak mengala mi
kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan pembuangan panas
tubuh (Yalcin et al. 2001). Unggas akan memproduksi panas dan membuang
kelebihan panas tubuh secara terkendali pada zona termonetral (thermoneutral
zone) sehingga suhu tubuh konstan (Tamzil et al. 2013). Suhu tubuh normal pada
ternak unggas berkisar antara 40.5 °C sampai 41.5 °C (Sandikci et al. 2004).
Burung puyuh harus dipelihara pada lingkungan dengan suhu berkisar antara 20 °C
sampai 25 °C dan kelembaban relatif sekitar 50% sampai 70% untuk dapat
mempertahankan suhu tubuh ini (Borges et al. 2004). Bila pemeliharaan dilakukan
di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulita n
membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Cooper dan Washburn 1998).
Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara,
yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003). Sensible
heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi dan
konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh
melalui proses panting. Pada suhu pemeliharaan 23 °C sebanyak 75% panas tubuh
dibuang secara sensible, 25% dikeluarkan secara insensible, sebaliknya apabila
suhu lingkungan meningkat sampai 35 °C sebanyak 75% panas tubuh dibuang
melalui proses insensible dan sebanyak 25% dibuang secara sensible.
Secara fisiologis, suhu lingkungan tinggi mempengaruhi sintesis, stabilitas
dan aktivitas enzim. Perubahan temperatur mempengaruhi keseimbangan reaksi
biokimia, terutama pembentukan ikatan kimia yang lemah (Noor dan Seminar
2009), sehingga ternak yang dipelihara di atas suhu nyaman akan mengala mi
perubahan fisiologis.

Pengaruh Cekaman Panas terhadap Jumlah Leukosit

Benda darah leukosit, yaitu berupa heterofil dan limfosit, juga dapat
dijadikan indikator stres pada unggas (Schalm 2011). Jumlah leukosit normal ayam
berkisar antara (16 – 40) x 103 butir/mm3 (Al-Fattah dan Abu-Diyeh 2007). Jumlah
leukosit sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, stres, penyakit, dan pemberian
pakan atau obat tertentu.
Leukosit akan bekerja bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah
penyakit yaitu (1) dengan benar-benar merusak bahan yang menyerbu melalui
proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit yang peka,
4

salah satu atau keduanya dapat menghancurkan atau membuat sel benda asing tidak
aktif (Guyton 1996).
Menurut Yalcinkaya et al. (2008), bahwa limfosit merupakan unsur penting dalam
sistem kekebalan tubuh, yang berfungsi merespon antigen dengan membentuk antibodi.
Heterofil berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap pengaruh luar, apabila partikel
asing terkurung kedalam sitoplasma heterofil, maka partikel tersebut akan
menempatkan diri ke dalam ruang yang disebut fagosom (Mayes et al. 1997). Jumlah
heterofil normal pada unggas adalah 40% sampai 75% dari jumlah leukosit. Sedangkan
jumlah eosinofil, basofil, limfosit dan monosit normal secara berurutan yaitu 0%
sampai 2%, 0% sampai 5%, 20% sampai 50% dan 0% sampai 3% dari jumlah leukosit
(Miesle 2011).
Indikator ketahanan tubuh sebagai bentuk respon ayam terhadap faktor-faktor
penyebab cekaman dapat diketahui dari komponen darah seperti rasio heterofil limfos it
(H/L). Darah merupakan sistem sirkulasi di dalam tubuh yang mempunyai fungsi
sebagai transportasi nutrien dan pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing
(Widjajakusuma dan Sikar 1986). Rasio H/L merupakan indikator stres yang paling
mudah diketahui secara dini. Semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi pula
tingkat cekaman sebagai bentuk stres pada unggas (Kusnadi 2008). Tingkat ketahanan
tubuh pada unggas dapat ditentukan oleh nilai rasio H/L, sekitar 0.2 (rendah), 0.5
(normal) dan 0.8 (tinggi) terhadap adaptasi lingkungan.

Pengaruh Cekaman Panas terhadap Malondialdehid (MDA)

Malondialdehid (MDA) adalah produk oksidasi yang berasal dari


peroksidasi lipid. Akumulasi MDA akan mengaktifkan hidrogen peroksida yang
berhubungan dengan hemolisis, menggertak peroksida lipid sebelum terjadi
hemolisis. MDA dapat bertautan silang dengan asam amino bebas di dalam
membran. Paparan langsung dari sel darah merah terhadap MDA mengakib ata n
pertautan silang protein membran sel darah merah yang dapat diperiksa dengan
spectroflourometric detector (Sies 1985). Menurut Ramatina (2011) MDA adalah
senyawa yang tidak stabil dari penguraian peroksida lipid sebagai akibat dari
terjadinya reaksi antara radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh dan merupakan
salah satu parameter stres oksidatif dalam tubuh. Peroksida lipid adalah rusaknya
asam lemak tidak jenuh ganda teroksidasi oleh radikal bebas yang menyerang
membran sel (Ramatina 2011).
Radikal bebas adalah suatu molekul, atom atau beberapa atom yang
mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga
bersifat sangat reaktif yang bersumber dari Polutan, sinar x, sinar ultraviolet, asap
rokok, stres, sakit, olah raga berlebihan dan makanan sumber lipid. Radikal bebas
dalam tubuh dapat berasal dari dalam (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen).
Secara endogen, radikal bebas dapat berasal dari makanan sumber lipid yang dapat
membentuk peroksidasi lipid di dalam tubuh, selain itu, radikal endogen juga bisa
disebabkan oleh kondisi stres, sakit dan olah raga yang berlebihan. Secara eksogen,
radikal bebas bersumber dari polutan, sinar X, asap rokok, radiasi dan lain-la in.
Secara alami tubuh dapat menghasilkan antioksidan, yang disebut sebagai
antioksidan endogen seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT),
glutation peroksidase (GPx), glutation reduktase (GR) dan seruloplasmin na
(Ramatina 2011).
5

Radikal bebas menimbulkan peroksidasi lemak membran terutama asam


lemak tidak jenuh, sehingga memudahkan masuknya radikal bebas eksogen ke
dalam sel serta meningkatnya keganasan dari radikal bebas endogen yang dapat
menyerang DNA dan protein (Rahman 2003). Ketika temperatur lingkunga n
mencapai ambang batas atas (upper critical temperature), terjadi peningkata n
akitivitas pembuangan panas melalui panting. Panting adalah peningkata n
frekuensi nafas membuang CO 2 dalam jumlah besar dan meningkatkan pH darah
sehingga terjadi alkalosis. Kadar kalium dan fosfat darah menurun, sedangkan
natrium dan klorida meningkat (Tamzil et al. 2013).
Apabila jumlah radikal bebas lebih tinggi dibandingkan antioksida n
endogen dapat menimbulkan stres oksidatif dalam tubuh. Stres oksidatif adalah
keadaan di mana kadar radikal bebas dalam tubuh yang meningkat melebihi
kemampuan dari jumlah sistem antioksidan dalam tubuh untuk mengatasinya.
Keberadaannya dalam tubuh menimbulkan kerusakan pada sel. Stres oksidatif
dalam tubuh dapat diukur dengan menggunakan salah satu parameternya yaitu
kadar MDA plasma. Semakin tinggi stres oksidatif yang terjadi dalam tubuh maka
semakin tinggi kadar MDA plasma (Ramatina 2011). Konsentrasi MDA dalam
material biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan oksidatif
pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan radikal bebas
(Donne et al. 2006).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2016 – Mei 2016.


Pemeliharaan dan pengambilan sampel dilakukan di Ruang Observasi dan
Laboratorium Observasi FKH IPB dan Laboratorium Utama Fisiologi Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan untuk memelihara puyuh adalah box khusus yang
dilengkapi dengan pengaturan temperatur berupa termostat, layar monitor
temperatur serta tempat untuk pakan dan minum. Alat yang digunakan untuk
pemeriksaan rutin kondisi burung puyuh adalah timbangan. Alat yang digunaka n
untuk mengambil sampel darah adalah object glass, syringe, kapas, centrifuge,
tabung ependoff, tabung reaksi dan pipet. Serta alat yang digunakan untuk uji
diferential leukosit dan kadar MDA adalah mikroskop, object glass, cover glass,
dan spektofotometri.
Bahan yang digunakan untuk memelihara puyuh adalah pakan burung puyuh,
air minum dan vaksin Newcastle Diseases. Bahan yang digunakan untuk uji kadar
leukosit dan uji MDA adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%, darah puyuh, alkohol
70 %, minyak emersi, xylol, methanol 75%, dan pewarna GIEMSA 10%.
6

Tahap Perlakuan

Day Old Quil yang baru datang diberikan perlakuan masa adaptasi selama satu
hari. Suhu kandang yang digunakan untuk semua DOQ adalah 39 °C. Setelah itu
burung puyuh dibagi ke dalam empat kandang dengan suhu yang berbeda. Setiap
kandang berisi enam ekor burung puyuh. Kandang puyuh dibersihkan satu kali
seminggu. Setiap pagi dan sore suhu kandang dipantau. Air minum diberikan secara
ad-libitum. Puyuh akan diberi pakan dan minum setiap harinya tanpa penambahan
obat atau vitamin. Puyuh umur 1 sampai 3 minggu akan diberi pakan starter,
sedangkan puyuh umur 4 sampai 5 minggu akan diberi pakan grower.

Minggu satu sampai minggu kedua kandang puyuh menggunakan suhu yang
berbeda yaitu kandang A pada suhu 39 °C, kandang B pada suhu 41 °C, kandang C
pada suhu 43 °C, dan kandang D pada suhu 45 °C. Suhu optimal masa brooding
DOQ yaitu 39 °C, sementara untuk masa non brooding suhu optimal yang
dibutuhkan adalah 25 °C. Setiap akhir minggu setiap puyuh ditimbang bobot
badannya. Awal minggu ketiga suhu di keempat kandang puyuh diturunkan secara
bertahap yaitu penurun suhu sebesar 1 °C/hari. Penurunan suhu dilakukan sampai
suhu kandang mencapai 26 °C untuk kandang A, 31 °C untuk kandang B, 33 °C
untuk kandang C, dan 35 °C untuk kandang D. Hal ini dilakukan selama ± 10 hari
atau hingga minggu kelima. Sebelum penurunan suhu kandang burung puyuh
diberikan vaksin Newcastle Disease (ND). Penurunan suhu dilakukan karena puyuh
sudah memasuki masa non brooding atau grower.

Tahap Pengamatan

Satu minggu sekali burung puyuh akan ditimbang bobot badannya per individ u.
Pada minggu kelima puyuh diambil darahnya kemudian diperiksa kadar jumlah dan
diferensiasi leukosit. Uji MDA juga dilakukan untuk mengetahui kadar stres pada
puyuh. Uji ini dilakukan di akhir penelitian atau saat umur burung puyuh lima
minggu.

Pembuatan Sediaan Apus Darah dan Differensiasi BDP


Sediaan darah diteteskan pada ujung objek glass, lalu diulas dengan objek
glass yang lain membentuk sudut 30°, kemudian dikeringkan dan difiksasi selama
5 menit dengan menggunakan larutan methanol 75%. Sediaan apus yang telah
difiksasi kemudian direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 30 menit lalu
dibilas dengan air dan dikeringkan dengan tisu. Sediaan apus kemudiaan diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali untuk menghitung differens ia s i
sel darah putih. Sel darah putih yang diamati adalah limfosit, monosit, heterofil,
basofil dan eosinofil. Sel darah putih diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10 dan dihitung hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah
100 sel BDP.
7

Perhitungan Jumlah Leukosit


Perhitungan jumlah leukosit menggunakan hemositometer, sediaan darah
dihisap menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai batas garis 0.5 lalu
ditambahkan larutan pengencer Turk hingga batas garis. Campuran dihomoge nka n
dengan mengocok pipet membentuk angka 8. Campuran yang sudah homogen
tersebut diteteskan ke dalam kamar hitung dengan menempelkan ujung pipet pada
dasar kamar hitung yang ditutup dengan cover glass. Penghitungan leukosit
dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x 10 dengan melihat
leukosit pada empat kotak besar kamar hitung. Jumlah leukosit yang ditemukan
kemudian dikalikan dengan 50.

Teknik Uji Malondialdehid (MDA)


Malondialdehid (MDA) diukur dengan mengukur konsentrasi Thiobarbituric
Acid Reactive Substances. Sebanyak 750 μL asam fosfat dimasukkan dengan pipet
ke dalam tabung polypropilen 13 mL. Kemudian sebanyak 50 μL TEP (Tetra
Etoksipropana) standar/pengontrol kualitas/sampel plasma/aquades di tambahkan
ke dalam tabung. Campuran dikocok sampai homogen kemudian ditambahkan 250
μL larutan TBA (Trichloro Barbituric Acid) 40 mM. Kemudian ditambahka n
aquades sebanyak 450 μL ke dalam tabung dan tabung ditutup rapat. Campuran
dipanaskan selama 1 jam, setelah pemanasan tabung ditempatkan dalam ice bath
untuk mendinginkan sampel. Sampel yang sudah dingin dimasukkan ke dalam Set
Pack C 18-column. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 532 nm.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan membandingakan dengan


kontrol saat keadaan tubuh unggas normal. Analisis statistik mennggunaka n
software SPSS versi 16.0 dengan metode Anova One Way.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Heterofil

Heterofil memiliki fungsi utama fagositosis dan merespon adanya infeksi di


dalam tubuh. Heterofil dapat keluar dari pembuluh darah dan menuju pusat infeks i
(Ganong 1995). Heterofil sebagai sel leukosit memiliki respon pertama terhadap
benda asing yang masuk. Heterofil dihasilkan dalam sumsum tulang belakang,
sirkulasi heterofil di dalam darah berkisar selama 6-10 jam dan masuk ke jaringa n.
Heterofil bertahan 1 sampai 2 hari didalam jaringan (Strukie 1976). Jumlah
heterofil normal pada unggas adalah 40% sampai 75% dari jumlah leukosit (Mayes
et al. 1997).
8

Tabel 1 Rataan jumlah heterofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Heterofil (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 1.510 ± 0.393a
B (41 °C) 2.876 ± 0.483a
C (43 °C) 6.080 ± 2.792b
D (45 °C) 5.256 ± 4.97b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah heterofil pada kelompok perlakuan


(B, C dan D) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (A). Jumlah
heterofil pada kelompok D (5.256 x (103 butir/mm3 ) mengalami penurunan tapi
masih dianggap mengalami kenaikkan jumlah dibandingkan kelompok A (1.510 x
103 butir/mm3 ) yang merupakan kontrol. Semua kelompok perlakuan menunjukka n
hasil yang berbeda nyata (P < 0.05). Hal ini berarti bahwa suhu memenga r uhi
jumlah heterofil yang diproduksi. Semakin tinggi suhu yang terpapar, maka akan
semakin banyak heterofil yang diproduksi.
Peningkatan jumlah heterofil disebabkan oleh terjadi akibat adanya induksi
glukokortikoid pada jalur pembentukannya dan juga pelepasan heterofil cadangan
pada sumsum tulang (Blecha 2000). Glukokortikoid adalah hormon pemicu
terjadinya stres. Stres yang terjadi dapat disebabkan karena suhu kandang yang
tinggi. Hal ini dapat dilihat kenaikan jumlah heterofil yang mengikuti peningkata n
suhu perlakuan pada kandang.

Limfosit

Limfosit berperan pada proses kekebalan dalam pembentukan antibodi


khusus. Populasi limfosit dalam aliran darah mencakup dua tipe limfosit, yaitu
limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam imunitas selular, populasi
dalam tubuh sekitar 70% - 75% dari seluruh limfosit. Limfosit B populasi sekitar
10% - 12% dan dapat membentuk sel-sel plasma yang menghasilkan antibodi
(Hartono 1989). Limfosit merupakan sel darah putih yang paling banyak ditemukan
di dalam tubuh unggas, limfosit paling banyak ditemukan di jaringan limfo ge n
seperti limpa, timus, kelenjar limfe, daun payer dan bursa fabrisius (Guyton 1996).

Tabel 2 Rataan jumlah limfosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Limfosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 7.553 ± 1.13a
B (41 °C) 4.214 ± 1.789b
C (43 °C) 1.658 ± 0.348a
D (45 °C) 1.062 ± 0.789a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan terjadi penurunan jumlah limfosit pada


semua kelompok perlakuan, yang dilihat dari kontrol yaitu kelompok A (7.553 x
9

103 butir/mm3 ). Semakin tinggi suhu yang diberikan, semakin turun jumlah limfos it
yang dihasilkan. Jumlah limfosit yang didapatkan pada semua perlakuan bebeda
nyata (P <0.05). Hal ini berarti pemberian suhu berpengaruh pada produksi limfos it.
Penurunan jumlah limfosit dapat dikarenakan adanya cekaman dan stres
akibat faktor lingkungan, tempratur kandang yang panas, ukuran kandang yang
sempit dan banyaknya jumlah puyuh dalam satu kandang dapat menjadi faktor
turunnya jumlah limfosit dalam tubuh. Suhu optimal untuk pemeliharaan unggas
adalah 20 °C – 25 °C (Hillman et al. 2000). Limfosit yang menghasilkan sistem
kekebalan. IgG adalah antibodi yang utama yang dihasilkan limfosit (Rahman
2003). Penurunan jumlah limfosit terjadi pada kondisi stres, hal ini terlihat dari
meningkatnya rasio H/L (Kusnadi et al. 2008 ; Zulkifli et al. 2000).
Jumlah limfosit yang turun juga dapat disebabkan oleh berkurangnya bobot
organ limfoid termasuk bursa fabricius dan cekaman panas (Siegel 1995). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Kusnadi (2008), bahwa suhu lingkungan yang tinggi
dapat menyebabkan turunnya bobot bursa fabricius. Pemeliharaan yang dilakukan
diatas suhu optimal dapat menyebabkan puyuh kesulitan untuk melakukan
pembuangan panas tubuh ke lingkungan. Stres pada unggas akan merangsang
terjadinya peningkatan sekresi hormon glukokortikoid yang mengakibatka n
penurunan jumlah limfosit di dalam darah (Siegal 1995).

Monosit

Monosit berfungsi sebagai makrofag benda asing yang masuk kedalam


tubuh, sebagai sel pertahanan tubuh dan reaksi homeostatis. Monosit
memfagositosis mikroorganisme tertentu dan jaringan yang rusak karena
inflamasi (Samuel 1987).

Tabel 3 Rataan jumlah monosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Monosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 1.578 ± 0.375a
B (41 °C) 3.746 ± 3.28a
C (43 °C) 7.553 ±1.13a
D (45 °C) 1.659 ± 0.348a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah monosit pada kelompok perlakuan


(B, C dan D) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah monosit kelompok A (1.578
x 103 butir/mm3 ) yang merupakan kontrol. Kenaikkan tertinggi terjadi pada
kelompok D yaitu sebesar 7.553 x 10 3 butir/mm3 . Namun jumlah monosit tidak
berbeda nyata (P >0.05). Hal ini berarti perlakuan pemberian panas tidak
mempengaruhi jumlah monosit yang dihasilkan.
10

Eosinofil

Eosinofil adalah leukosit granulosit yang paling banyak ditemukan dan


berkumpul pada jaringan yang mengalami reaksi alergi (Guyton 1996). Eosinofil
berperan aktif dalam mengatur alergi, proses perdarahan, mengatur investasi parasit
dan memfagosit bakteri (Dellman dan Brown 1992). Eosinofil dapat mencegah
proses peradangan lokal dengan melakukan detoksifikasi toksin yang menyebabkan
peradangan, eosinofil memiliki histaminase yang dapat melepaskan serotonin dan
melepaskan zinc untuk menghalangi agregasi trombosit dan migrasi makrofag
(Dharmawan 2002).

Tabel 4 Rataan jumlah eosinofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
KELOMPOK PERLAKUAN EOSINOFIL (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 2.867 ± 1.347a
B (41 °C) 3.931 ± 1.36a
C (43 °C) 7.076 ± 2.44a
D (45 °C) 3.518 ± 1.892a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah eosinofil pada kelompok perlakuan


(B, C dan D) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A (2.876 x 103 butir/mm3 )
yang merupakan kontrol, dengan jumlah tertinggi pada kelompok C (7.076 x 103
butir/mm3 ). Namun jumlah eosinofil tidak berbeda nyata (P >0.05). Hal ini berarti
perlakuan pemberian panas tidak mempengaruhi jumlah eosinofil yang dihasilkan.

Basofil

Basofil merupakan leukosit yang memiliki jumlah paling sedikit dalam


aliran darah (0.5% - 0.15%) dan termasuk leukosit agranulosit. Fungsi utama
basofil adalah membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan mengsekresika n
mediator yang bersifat vasoaktif. Menurut Frandson (1992) basofil merupaka n
prekursor bagi sel mast dan melepaskan histamin pada reaksi peradanga n
jaringan dan reaksi alergi.

Tabel 5 Rataan jumlah basofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Basofil (x 103 butir/mm3 )
A (39°C) 13.833 ± 11.83a
B (41°C) 2.226 ± 1.642ab
C (43°C) 9.733 ± 7.504ab
D (45°C) 1.100 ± 0.541b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah basofil pada kelompok perlakuan


(B,C dan D) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (A). Jumlah
basophil tidak berbeda nyata. Hal ini berarti perlakuan pemberian panas tidak
11

memengaruhi jumlah basofil yang dihasilkan. Peningkatan jumlah basofil dapat


terjadi karena stress, inflamasi dan fase penyumbuhan infeksi (Bedanova et al.
2003).

Leukosit

Leukosit yang juga disebut sel darah putih adalah unit yang aktif dari sistem
pertahanan tubuh individu. Leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh, melawan
infeksi secara langsung dan toksin yang dihasilkan akan dinetralisir oleh antibodi
yang berada dalam plasma darah. Jumlah leukosit di dalam tubuh setiap individ u
berbeda dan berubah sesuai dengan kondisi tubuh. Perubahan komposisi leukosit
dapat terjadi pada keadaan stres, umur, status gizi, dan aktivitas fisiologis (Dellma n
dan Brown 1992).

Tabel 6 Rataan jumlah leukosit burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Leukosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 48.667 ± 4.37a
B (41 °C) 70.667 ± 8.07ab
C (43 °C) 76.167 ± 11.47ab
D (45 °C) 80.500 ± 11.37b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah leukosit pada kelompok perlakuan


(B, C, dan D) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (A). Peningkata n
jumlah butir darah putih disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah pada
beberapa differensial leukosit. Menurut Yustikadewi (2016) jumlah leukosit atau
butir darah putih yang ada pada setiap individu berbeda dan akan berubah sesuai
dengan kondisi tubuh. Semakin tinggi suhu yang diberikan, semakin tinggi jumlah
butir darah putih yang bersirkulasi. Hal ini dapat berkaitan dengan semakin
tingginya jumlah heterofil yang dihasilkan sesuai dengan hasil pengamatan
sebelumnya.
Peningkatan jumlah butir darah putih pada pengamatan ini yang
diakibatkan karena peningkatan jumlah pada satu atau beberapa diferens ia l
leuksoit terutama adanya peningkatan jumlah heterofil, disebabkan karena
paparan panas di atas suhu normal (20 °C–25 °C) selama 24 jam. Hal ini didukung
melalui literatur yang menyebutkan bahwa perubahan komposisi leukosit dapat
terjadi pada keadaan stres, umur, status gizi, dan aktivitas fisiologis (Delma n
dan Brown 1992). Leukosit dalam darah dibedakan dalam 2 jenis yaitu
leukosit yang memilik i granula pada sitoplasmanya (granulosit) dan
limfos it yang tidak memiliki granula pada sitoplasmanya (agranulosit). Jenis-
jenis leukosit granulosit adalah heterofil, eosinofil dan basofil. Sedangkan jenis
leukosit agranulosit adalah monosit dan limfosit.
12

Rasio Heterofil dan Limfosit (H/L)

Stres panas meningkatkan sekresi kortikosteroid dari kelenjar adrenal yang


menyebabkan atrofi organ limfoid sehingga menekan jumlah limfosit, sebaliknya,
kortikosteroid justru meningkatkan pelepasan heterofil dari sumsum tulang
(Mahmoud et al. 2013). Hal tersebut berimplikasi pada tingginya rasio H/L yang
menjadi indikasi utama stres hewan (Mahmoud et al. 2013). Karena adanya
keterkaitan yang kuat antara pelepasan glukokortikoid dan pembentukan sel-sel
leukosit, terutama heterofil dan limfosit, pengukuran kedua parameter ini selalu
digunakan sebagai indikator cekaman panas pada hewan (Scope et al. 2001;
Dehnhard et al. 2003; Boonstra 2005).

Tabel 7 Rataan rasio H/L darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan H/L
A (39 °C) 0.442 ± 0.14a
B (41 °C) 5.688 ± 3.03ab
C (43 °C) 8.762 ± 1.43b
D (45 °C) 3.882 ± 1.03ab
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya peningkatan rasio H/L dari


kontrol yaitu kelompok A (0.442 x 103 butir/mm3 ) pada semua kelompok perlakuan.
Semakin tinggi suhu yang diberikan, semakin tinggi rasio H/L yang berarti puyuh
mengalami stres akibat cekaman panas. Peningkatan rasio H/L berbeda nyata (P
<0.05). Hal tersebut berarti suhu dapat mempengaruhi perubahan rasio H/L.
Cekaman panas menginduksi reaksi pada sistem saraf dan endokrin sehingga
terjadi peningkatan aktivitas jalur hipotalamus hipofisa kelenjar adrenal, yang
dikenal sebagai jalur hipotalamus, hipofisa, adrenal. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan pelepasan berbagai jenis hormon, seperti CRH (Corticotropin
Releasing Hormone), ACTH (Adrenocorticotropic Hormone), dan glukokortiko id
serta penurunan pembentukan hormon triiodotironin (T3) dalam sirkulasi darah
(Hillman et al. 2000; Sahin et al. 2001; Downing dan Bryden 2002; Boonstra 2005).
Peningkatan nilai rasio H/L pada unggas yang mengalami cekaman panas terkait
dengan meningkatnya pembentukan glukokortikoid. Keberadaan reseptor
glukokortikoid pada berbagai sel pembentuk sel-sel pertahanan akan mengga nggu
fungsi nukleus faktor-kaffa B (NF-B) yang mengatur gen pembentukan sitokin
untuk pengaturan produksi sel-sel imun.
Perubahan ekspresi gen yang diperantarai glukokortikoid ini dapat
mengganggu produksi sel-sel imunitas tubuh (Padgett dan Glaser 2003). Menurut
Kusnadi (2008) semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi pula tingkat
cekaman sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Aktivitas hormon
glukokortikoid juga berdampak pada peningkatan jumlah leukosit. Unggas yang
mengalami cekaman panas kronis akan mengalami penurunan jumlah limfosit dan
peningkatan jumlah heterofil sehingga rasio antara heterofil dan limfosit (H/L)
meningkat (Aengwanich dan Chinrasri 2003) serta terjadinya penurunan nilai
hematokrit dan peningkatan jumlah basofil (Bedanova et al. 2003).
13

Malondialdehid (MDA)

Malondialdehida (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh


radikal bebas (Asni et al. 2009). MDA dapat terbentuk apabila radikal bebas
hidroksil seperti Reactive Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam
lemak dari membran sel sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan
peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya
rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan
pada membran sel (Yunus 2001).

Tabel 8 Rataan jumlah MDA darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Malondialdehid (mda) g/µl
A (39°C) 0.438
B (41°C) 0.690
C (43°C) 2.020
D (45°C) 1.764

Hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan jumlah MDA pada


puyuh. Semakin tinggi suhu yang diberikan, semakin meningkat jumlah MDA. Hal
ini berarti perlakuan pemberian panas mempengaruhi jumlah MDA yang dihasilka n.
Menurut Stockham dan Scott (2008) kadar MDA di dalam serum dapat
menggambarkan kondisi hati akibat peroksidasi lipid oleh radikal yang teralihka n
ke pembuluh vena. Selain itu, kadar MDA sebagai penanda kerusakan seluler akibat
radikal bebas (Inoue 2001).
Produksi radikal bebas dapat meningkat apabila terdapat keadaan-keadaaan
patologis akibat stres fisik maupun psikologis (Lei et al. 2007). Sumber radikal
bebas utama tubuh antara lain transpor elektron mitokondria, metabolisme asam
lemak peroksisom, reaksi sitokrom P-450 dan sel fagosit (Droge 2002). Radikal
bebas yang meningkat dapat mengganggu proses fisiologis normal. Ini terjadi
karena senyawa radikal bebas bereaksi dengan makromolekul intraseluler maupun
ekstraseluler seperti protein, lipid dan asam nukleat. Perubahan struktur kimia
makromolekul akan menyebabkan gangguan fungsi biologis molekul- molek ul
tersebut (Droge 2002). Produksi radikal bebas yang meningkat dan melebihi
kemampuan sistem antioksidan endogen untuk mempertahankan homeostasis
redoks menyebabkan terjadinya keadaan yang disebut dengan stres oksidatif.
Keadaan stres oksidatif dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh (Droge 2002).
Peningkatan jumlah MDA disebabkan oleh stress oksidatif yang dialami
burung puyuh selama perlakuan pemberian panas. Stres oksidatif adalah keadaan
di mana kadar radikal bebas dalam tubuh yang meningkat melebihi kemampuan
dari jumlah system antioksidan dalam tubuh untuk mengatasinya. Keberadaannya
dalam tubuh menimbulkan kerusakan pada sel (Ramatina 2011). Adanya
peningkatan stres oksidatif berdampak negatif pada beberapa komponen penyusun
membran sel, yaitu kerusakan pada lipid membran membentuk MDA, kerusakan
protein, karbohidrat, dan DNA (Kevin et al. 2006). Menurut Kevin et al. (2006)
dan Valko et al. (2007) peningkatan jumlah MDA juga didukung melalui literature
yaitu semakin tinggi stres oksidatif yang terjadi dalam tubuh maka semakin tinggi
kadar MDA plasma (Ramatina 2011).
14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa cekaman


panas berpengaruh terhadap peningkatan jumlah diferensiasi leukosit terutama
heterofil dan limfosit, rasio antara heterofil dan limfosit serta kadar
Malondialdehida (MDA) yang dapat mengindikasikan terjadinya stres oksidatif
pada burung puyuh. Semakin tinggi suhu yang diberikan semakin tinggi pula nilai
jumlah butir darah putih, jumlah diferensial leukosit terutama heterofil dan limfos it,
rasio antara heterofil dan limfosit Malondialdehida (MDA) yang didapat.

Saran

Penelitian dengan pemberian suhu di atas 45 °C diperlukan untuk mengetahui


tingkat stres pada puyuh umur 0 sampai 6 minggu akibat cekaman panas.

DAFTAR PUSTAKA
Aengwanich W, Chinrasri O. 2003. Effects of chronic heat stress on red blood cell
disorders in broiler chickens. Mahasarakham Univ. J. 21: 1-10.
Al-Fatattah AAA, Abu-Dieyeh Z H M. 2007. Effect of chronic heat stress on
broiler performance in Jordan. Int J Poult. Sci. 6(1): 64-70.
Altan O, Altan A, Çabuk M, Bayraktar H. 2000. Effects of heat stress on some
blood parameters in broilers. Turky J Vet Anim Sci. 24:145–148.
Asni E, Harahap I P, Prijanti AR, Wanandi SI, Jusman SWA, Sadikin M. 2009.
Pengaruh hipoksia berkelanjutan terhadap kadar malondialdehid, glutatio n
tereduksi, dan aktivitas katalase ginjal tikus. Maj Kedokt Indon [Internet].
[diunduh 2017 Jan 23]; 59(12): 595-600. Tersedia pada : http://www.
indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed
Bedanova I, Voslarova E, Vecerek V, Strakova E, Suchy P. 2003. The
haematological jumlahe of broilers under acute and chronic heat stress at
30 ± 1 °C level. J Folia Vet. 47:188-192
Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat stres in cage layer.
Ontario (CA): Ministry of Agriculture and Food.
Blecha F. 2000. Immune system response to stress. Di dalam: Moberg, GP,
Mench JA, editor. The Biology of Animal Stress: Basic Principle and
Implications for Animal Welfare. London (UK): CABI Publishing. Hlm
111-146.
Boonstra R. 2005. Coping with changing northern environments: the role of
the stress axis in birds and mammals. Integr. Comp. Biol. 44: 95–108.
Borges SA., FA Vda Silva, A Maiorka, DM Hooge dan KR Cummings.
2004. Effect of die and cyclic daily heat stress on electrocyte,
nitorgen and water intake, excretion and retention by colostomized
male broiler chickens. Int J Poult Sci. 3(5):313-321.
15

Cooper MA, Washburn KW. 1998. The relationships of body temperature to


weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat
stres. Poult Sci. 77:237-242.
Dellman HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. 3rd Ed. Jakarta
(ID) : Universitas Indonesia Press.
Dehnhard M, Schreer A, Krone O, Jewgenow K, Krause M, Grossmann R. 2003.
Measurement ofplasma corticosterone and fecal glucocorticoid metabolites
in the chicken (Gallus domesticus), the great cormorant (Phalacrocorax
carbo), and the goshawk (Accipiter gentilis). Gen. Compar. Endocrinol.
131: 345-352.
Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner. Cetakan II.
Denpasar (ID): Erlangga
Donne, Dalle I, Rossi R, Colombo R, Giustarini D, Milzani A. 2006.
Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Clin Chem.
Downing JA, Bryden WL. 2002. Stress, hen husbandry and welfare – A literature
review of stress in poultry. In: A Non-Invasive Test of Stress in Laying
Hens. Rural Industries Research and Development Corporation.
Australia. pp. 52-118.
Droge W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiol
Rev. 82(1):47-95. doi: 10.1152/physrev.00018.2001
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak 4th ed. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID): Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Gemilang Ardi. 2013. Stres Panas Penyebab Peternak Stres. [internet] diakses
tanggal 20 Januari 2016 tersedia http://www.arboge.com/
Guyton AC. 1996. Buku Fisiologi Kedokteran. Ed Ke-7. Terjemahan. K. A Engadi.
Jakarta (ID): EGC.
Hartono. 1989. Histology Veteriner. Bogor (ID). Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Hillman PE, Scot NR, Van TA. 2000. Physiological, Responses and
Adaptations to Hot and Cold Environments. 3th Ed. Florida (US): CRC
Press.
Kevin C, Kregel, Hannah J, Zhang. 2006. An integrated view of oxidative stress in
aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological consideratio ns.
Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 292:R18-R36.
Kusnadi E. 2008. Perubahan malonaldehida hati, bobot relatif bursa fabricius
dan rasio heterofil/limfosit (H/L) ayam broiler yang diberi cekaman
panas. Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Univers itas
Andalas Padang Kampus Limau Manis, Padang.
Lei W, Gong M, Nishida H, Shirakawa C, Sato S, Konishi T. 2007. Psychologica l
stress-induced oxidative stress as a model of sub-healthy condition and the
effect of TCM.evid based complement. Alternat Med.4(2): 195–202. Doi:
10.1093/ecam/nel080.
Mahmoud, Usama T, Rahman M A A, Hosney M A., Mosaad D G M. 2013. The
effect of heat stress on blood picture of Japanese quail. J of Adv Vet
Research. 3: 69-76.
16

Mayes PA, Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 1997. Biokimia Harper.
24th Ed. Buku Kedokteran, Jakarta. (Diterjemahkan oleh A. Hartono).
Miesle Jeannine. 2011. Demystifying the Avian CBC: The Complete Blood
Count. [internet] diakses tanggal 30 Novemer 2016 tersedia
http://www.beautyofbirds.com//
North MO.1972. Commercial Chicken Production Manual.
Noor RR, Seminar KB. 2009. Rahasia dan hikmah pewarisan sifat (ilmu
genetika dalam Al-Qur’an). Bogor (ID): IPB Press.
Padgett DA, Glaser R. 2003. How stress influences the immune response. J Trends
Immunol. 24: 444-448.
Rahardjani, KB. 2010. Hubungan antara Malondialdehid (MDA)
dengan Hasil Luaran Sepsis Neonatorum. Jurnal Sari Pediatri. 12(2): 82-
87.
Ramatina. 2011. Efektifitas Berbagai Suplemen Antioksidan Penurun Status
Oksidatif (Malondialdeyde (MDA) Plasma) Pada Mahasiswa Alih Jenis
IPB. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi dan
Manusia IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin remodelling and gene transcription in
inflammation and chronic lung desease. J. Biochem. Mol. Biol. 36:95-109
Sahin N, Sahin K, Kucuk O. 2001. Effects of vitamin E and vitamin A
supplementation on performance, thyroid status and serum concentrations
of some metabolites and minerals in broilers reared under heat stress
(32°C). Vet. Med. Czech. 46: 286-292.
Samuel IR. 1987. Introduction to Hematology. Second Edition. Philadhelp hia
(US): JB Lippincott company.
Sandikci M, Eren U, Onol A G, Kum S. 2004. The effect of Heat Stress and
The use of Saccharomyces cereviseae or (and) Bacitrazin Zinc Againts
Heat Stress on Intestinal mucosa Quail. Turkey (TR): Adnan Menders
University.
Schalm OWNCJ. 2011.Veteriner Hematology. Edisi ke-6. Philadelphia (US): Lea
& Febiger.
Scope A, Filip T, Gabler C, Resch F. 2001. The influence of stress from transport
and handling on hematologic and clinical chemistry blood parameters of
racing pigeons (Columba livia domestica). Avian Dis. 46(1) :224–229.
Seto, Sagung. 2000. Ilmu Kedokteran Molekular. Jakarta (ID): Kapita Selekta.
Siegal HS. 1995. Stress, Strain and Resistance. Poult Sci. 36:3-22
Sies, Helmut. 1985.Oxidative Stres. Jerman (DE): Academic Press.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Strukie PD, Grimminger. 1976. Avian Physiology. New York (US): Cornell
University Press.
Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013. Keragaman
gen heat Shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan ayam Ras. J Vet.
14:317-326.
Tetty. 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Jakarta (ID): Agro Media
Pustaka.
Triyanto. 2007. Peforma produksi burung puyuh (Coturnix coturnix
Japonica) periode produksi umur 6-13 minggu pada lama pencahayaan
17

yang berbeda. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut


Pertanian Bogor
Yustikadewi F. 2016. Diferensiasi Sel Darah Putih Burung Puyuh
(Coturnix coturnix Japonica) Yang Diberi Perlakuan Cekaman Panas.
[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor
Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MTD, Mazur M, Telser J. 2007. Review:
Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human
disease. Inter J Biochem Cell Biol. 39:44-84.
Widjajakusuma R, Sikar SHS. 1986. Fisiologi Hewan. Institut Pertanian, Bogor
(ID): Bogor Press.
Wuryadi S. 2011. Beternak dan Berbisnis Puyuh. Jakarta (ID): Agro Media
Pustaka.
Wuryadi S. 2013. Sukses Beternak Puyuh.. Jakarta (ID): Agro Media
Pustaka.
Yalcin S, Ozkan VS, Turkmut L, Siegel PB. 2001. Responses to heat stres
in commercial and local broiler stocks.
Yalcinkaya L, Gonggor TM., Basalan, Erdem E. 2008. Mannan
oligosaccharides (MOS) from Saccharomyces cerevisiae in broilers:
Effects on performance and blood biochemistry. Turk J Vet Anim
Sci.Vol : 32(1) : 43-48.
Yunus M. 2001. Pengaruh Antioksidan Vitamin C Terhadap MDA Eritrosit Tikus
Wistar Akibat Latihan Anaerobik. J PenJas. (1):9-16.
Zulkifli I, Che MT, Norma CH, Chong, Loh TC. 2000. Heterophil to
lymphocyte ratio and tonic immobility reactions to preslaughter
handling in broilers chickens treated with ascorbic acid. Poult Sci 79:
402-406.
18

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis Annissa Nuridfi Sasmita. Penulis dilahirkan di Jakarta,


21 Februari 1995 dari ayah Arie Aradhea Aziz dan ibu Noormaulina H Harahap.
Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Tahun 2013 penulis lulus dari
SMA Negeri 1 Kota Bekasi dan pada tahun yang sama penulis masuk Institut
Pertanian Bogor melalui program Ujian Talenta Mandiri (UTM) di Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten
mata kuliah Pengenalan Profesi Kedokteran Hewan pada tahun ajaran 2014. Selain
itu, penulis juga aktif di Himpunan Minat Profesi Satwaliar FKH IPB dan Unit
Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKF) Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai