Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suhu terhadap
terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit serta Kadar Malondialdehid (MDA)
Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) dengan Indikator Jumlah dan
Diferensiasi Leukosit serta Kadar malondialdehid (MDA) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2017
Permasalah utama pada peternakan unggas daerah tropis yang sering terjadi
adalah tinggi angka mortalitas. Kematian yang terjadi rata-rata karena unggas
terkena heat stres atau stres panas yang diakibatkan oleh temperatur yang tinggi
( >28 °C). Salah satu bentuk stres akibat pemberian cekaman panas adalah stress
oksidatif akibat peningkatan radikal bebas yang ditandai dengan meningkatnya
kadar differensial leukosit (heterofil, limfosit, monosit, basofil, dan eosinophil),
jumlah BDP dan MDA. Cekaman panas yang berkepanjangan diberikan pada 24
ekor burung puyuh yang dikelompokkan dalam empat grup yaitu A (39 °C), B
(41 °C), C (43 °C) dan D (45 °C). Pemberian cekaman panas dilakukan saat puyuh
berumur 2 hari. Pengambilan darah dilakukan saat puyuh berumur 6 minggu. Hasil
pengamatan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol secara keseluruha n
menunjukkan terjadi peningkatan jumlah pada semua kelompok perlakuan.
Parameter yang mengalami peningkatan yaitu jumlah butir darah putih, heterofil,
eosinophil, monosit, rasio H/L serta kadar malondialdehid (MDA). Sedangkan pada
parameter limfosit dan basofil terjadi penurunan jumlah dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Peningkatan pada parameter utama yaitu, rasio H/L dan kadar
MDA mengindikasikan pememeliharaan pada suhu >25 °C dapat menimbulka n
stres oksidatif akibat cekaman panas pada puyuh.
The main problem in tropical poultry farming that often happens is a high
mortality rate. Deaths occurrance mostly by heat stress, a condition which is caused
by high temperature ( >28 ° C). One form of stress due to heat stress is oxidative
stress due to increased free radical characterized by increased levels of differentia l
leukocytes (heterophils, lymphocytes, monocytes, basophils, and eosinophils), the
amount of BDP and MDA. Prolonged heat stress was given to 24 quails grouped in
four groups: A (39 ° C), B (41 ° C), C (43 ° C) and D (45 ° C). Provision of heat
stress was done when the quails were 2 days old. Blood sampling was performed at
the age of 6 weeks. The observed results compared with the control group as a
whole showed an increase in the number in all treatment groups. Parameters that
increased were white blood, heterophil, eosinophil, monocyte, H /L and
malondialdehid (MDA). Whereas in lymphocyte and basophil parameter there was
decreasing amount compared to control group.The increase in the main parameters
ie, the ratio of H /L and MDA levels indicate the maintenance of temperature >25
° C can cause oxidative stress due to heat stress in quail.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 adalah
Pengaruh Suhu terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit serta Kadar
Malondialdehid (MDA) Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica).
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada:
1. Dr Drh Koekoeh Santoso sebagai dosen pembimbing utama atas segala
bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Drs Pudji Achmadi, MSi sebagai dosen pembimbing anggota atas segala
bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini
3. Dr Drh Okti Nadia Poetri sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik.
4. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi, Departemen Anantomi, Fisiologi dan
Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah
membantu selama pengumpulan data
5. Ayah, Mama, Sutan, Sunan, Arrum serta seluruh keluarga tercinta atas segala
bentuk dukungan dan kasih sayang.
6. Teman penelitian, Anindita, Ambi, Nurfira, Joanita, dan Nalia atas bantuan dan
dukungan selama proses penelitian berlangsung.
7. Teman penyemangat selama masa perkuliahan, Indra, Satya, Ervan, Hutomo
dan Keluarga Besar UKF khususnya angkatan 11 yang bersedia membantu
disaat penulis membutuhkan bantuan.
Demikian Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Tabel 1 Rataan jumlah heterofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 8
Tabel 2 Rataan jumlah limfosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 9
Tabel 3 Rataan jumlah monosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 10
Tabel 4 Rataan jumlah eosinofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 11
Tabel 5 Rataan jumlah basofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 11
Tabel 6 Rataan jumlah leukosit burung puyuh yang diberikan cekaman panas 12
Tabel 7 Rataan rasio H/L darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas 13
Tabel 8 Rataan jumlah MDA darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk unggas memiliki nilai gizi yang tinggi. Ternak puyuh merupakan
salah satu komoditas unggas sebagai penghasil telur dan daging. Keberadaannya
dapat sebagai pendukung ketersediaan protein hewani yang murah dan mudah
didapat. Usaha budidaya puyuh merupakan salah satu jenis usaha yang banyak
diminati dan dikembangkan. Hal ini karena ternak puyuh ini merupakan salah satu
ternak yang dapat berproduksi dalam waktu cepat (40 hari sudah bertelur). Selain
itu, usaha budidaya puyuh dapat dilakukan dengan modal yang relatif kecil dan
tidak memerlukan lahan yang luas, yaitu hanya diperlukan lahan sekitar 7.5 m2
untuk beternak 1000 ekor puyuh (Wuryadi 2011).
Industri unggas juga membawa dampak positif terhadap perkembangan
dunia usaha peternakan. Kendala yang dihadapi industri perunggasan saat ini di
Indonesia adalah produktivitas yang belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu genetik, bangsa dan suhu lingkungan serta manajeme n
kandang yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Unggas tidak memiliki kelenjar
keringat untuk membantu melepaskan panas tubuh. Lima cara unggas untuk
melepaskan panas tubuhnya melalui radiasi, konduksi, konveksi, evaporasi dan
ekskreta (Gemilang 2013). Stres adalah respon yang tidak spesifik dari tubuh
terhadap tuntutan (bersifat eksternal) dan respon atau tanggapan (bersifat interna l)
(Soeharto 2004).
Permasalah utama pada peternakan unggas daerah tropis yang sering terjadi
adalah tinggi angka motilitas. Kematian yang terjadi rata-rata karena unggas
terkena heat stress atau stres panas yang diakibatkan oleh temperatur yang tinggi
(>28 °C). Menurut North (1972) setiap kenaikan temperatur kandang 3 °C akan
mempengaruhi performans unggas. Unggas umumnya mengalami stres oksidatif,
yaitu keadaan saat kadar radikal bebas dalam tubuh yang meningkat melebihi
kemampuan dari jumlah sistem antioksidan dalam tubuh untuk mengatasinya.
Keberadaannya dalam tubuh menimbulkan kerusakan pada sel. Stres oksidatif
dalam tubuh dapat diukur dengan menggunakan salah satu parameternya yaitu
kadar malondialdehid (MDA) plasma. Semakin tinggi stres oksidatif yang terjadi
dalam tubuh maka semakin tinggi kadar MDA plasma (Ramatina 2011).
Mediator malondialdehid (MDA) merupakan suatu produk akhir
peroksidasi lemak yang digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lemak
serta dapat menggambarkan derajat stres oksidatif (Rahardjani 2010). Heterofil
berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap pengaruh luar, apabila partikel asing
terkurung ke dalam sitoplasma heterofil, maka partikel tersebut akan menempatkan diri
ke dalam ruang yang disebut fagosom (Mayes et al. 1997).
Rasio H/L merupakan indikator stres yang paling mudah diketahui secara dini.
Semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi pula tingkat cekaman sebagai bentuk
stres pada unggas (Kusnadi 2008). Penelitian yang pernah dilakukan Yustikadewi dan
Hidayatullah (2016) menunjukkan peningkatan rasio H/L serta kadar MDA pada
burung puyuh fase grower yang dipelihara pada suhu 36 °C. Penelitian ini
menggunakan burung puyuh pada fase starter untuk mengetahui respon fisiologi
terhadap pegaruh pemberian cekaman panas.
2
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh termasuk petelur yang andal, dalam setahun mampu bertelur hingga
300 butir. Unggas dari genus Coturnix ini yang dalam bahasa perdagangan
internasional sering disebut dengan quail, jarang mengerami telurnya dan hanya
mengandalkan alam untuk menetaskan telurnya. Produksi telur yang optimum
dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu breeding, feeding, dan management.
Proses penetasan telur puyuh biasanya dilakukan pada suhu 37–40 °C dan
kelembaban 55% selama 17 hari (Wuryadi 2011).
Manajemen lingkungan merupakan salah satu kunci untuk kenyamana n
ternak. Puyuh dirawat di kandang pada suhu 20 °C – 25 °C. Suhu yang terlalu
tinggi akan menyebabkan puyuh mengalami heat stres serta akan menyebabkan
alkalosis respiratori. Kelembapan juga harus diperhatikan hal ini untuk menjaga
agar puyuh tetap sehat. Kelembapan optimum kandang puyuh adalah sekitar 30%
sampai 80% (Wuryadi 2013). Kelembaban kandang yang terlalu tinggi akan
menyebabkan puyuh mudah terserang penyakit karena kelembaban yang tinggi
akan mendukung perkembangan mikroorganisme dan bakteri (Tetty 2002).
3
Cekaman panas atau heat stress merupakan kondisi saat ternak mengala mi
kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan pembuangan panas
tubuh (Yalcin et al. 2001). Unggas akan memproduksi panas dan membuang
kelebihan panas tubuh secara terkendali pada zona termonetral (thermoneutral
zone) sehingga suhu tubuh konstan (Tamzil et al. 2013). Suhu tubuh normal pada
ternak unggas berkisar antara 40.5 °C sampai 41.5 °C (Sandikci et al. 2004).
Burung puyuh harus dipelihara pada lingkungan dengan suhu berkisar antara 20 °C
sampai 25 °C dan kelembaban relatif sekitar 50% sampai 70% untuk dapat
mempertahankan suhu tubuh ini (Borges et al. 2004). Bila pemeliharaan dilakukan
di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulita n
membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Cooper dan Washburn 1998).
Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara,
yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003). Sensible
heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi dan
konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh
melalui proses panting. Pada suhu pemeliharaan 23 °C sebanyak 75% panas tubuh
dibuang secara sensible, 25% dikeluarkan secara insensible, sebaliknya apabila
suhu lingkungan meningkat sampai 35 °C sebanyak 75% panas tubuh dibuang
melalui proses insensible dan sebanyak 25% dibuang secara sensible.
Secara fisiologis, suhu lingkungan tinggi mempengaruhi sintesis, stabilitas
dan aktivitas enzim. Perubahan temperatur mempengaruhi keseimbangan reaksi
biokimia, terutama pembentukan ikatan kimia yang lemah (Noor dan Seminar
2009), sehingga ternak yang dipelihara di atas suhu nyaman akan mengala mi
perubahan fisiologis.
Benda darah leukosit, yaitu berupa heterofil dan limfosit, juga dapat
dijadikan indikator stres pada unggas (Schalm 2011). Jumlah leukosit normal ayam
berkisar antara (16 – 40) x 103 butir/mm3 (Al-Fattah dan Abu-Diyeh 2007). Jumlah
leukosit sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, stres, penyakit, dan pemberian
pakan atau obat tertentu.
Leukosit akan bekerja bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah
penyakit yaitu (1) dengan benar-benar merusak bahan yang menyerbu melalui
proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit yang peka,
4
salah satu atau keduanya dapat menghancurkan atau membuat sel benda asing tidak
aktif (Guyton 1996).
Menurut Yalcinkaya et al. (2008), bahwa limfosit merupakan unsur penting dalam
sistem kekebalan tubuh, yang berfungsi merespon antigen dengan membentuk antibodi.
Heterofil berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap pengaruh luar, apabila partikel
asing terkurung kedalam sitoplasma heterofil, maka partikel tersebut akan
menempatkan diri ke dalam ruang yang disebut fagosom (Mayes et al. 1997). Jumlah
heterofil normal pada unggas adalah 40% sampai 75% dari jumlah leukosit. Sedangkan
jumlah eosinofil, basofil, limfosit dan monosit normal secara berurutan yaitu 0%
sampai 2%, 0% sampai 5%, 20% sampai 50% dan 0% sampai 3% dari jumlah leukosit
(Miesle 2011).
Indikator ketahanan tubuh sebagai bentuk respon ayam terhadap faktor-faktor
penyebab cekaman dapat diketahui dari komponen darah seperti rasio heterofil limfos it
(H/L). Darah merupakan sistem sirkulasi di dalam tubuh yang mempunyai fungsi
sebagai transportasi nutrien dan pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing
(Widjajakusuma dan Sikar 1986). Rasio H/L merupakan indikator stres yang paling
mudah diketahui secara dini. Semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi pula
tingkat cekaman sebagai bentuk stres pada unggas (Kusnadi 2008). Tingkat ketahanan
tubuh pada unggas dapat ditentukan oleh nilai rasio H/L, sekitar 0.2 (rendah), 0.5
(normal) dan 0.8 (tinggi) terhadap adaptasi lingkungan.
METODE
Alat yang digunakan untuk memelihara puyuh adalah box khusus yang
dilengkapi dengan pengaturan temperatur berupa termostat, layar monitor
temperatur serta tempat untuk pakan dan minum. Alat yang digunakan untuk
pemeriksaan rutin kondisi burung puyuh adalah timbangan. Alat yang digunaka n
untuk mengambil sampel darah adalah object glass, syringe, kapas, centrifuge,
tabung ependoff, tabung reaksi dan pipet. Serta alat yang digunakan untuk uji
diferential leukosit dan kadar MDA adalah mikroskop, object glass, cover glass,
dan spektofotometri.
Bahan yang digunakan untuk memelihara puyuh adalah pakan burung puyuh,
air minum dan vaksin Newcastle Diseases. Bahan yang digunakan untuk uji kadar
leukosit dan uji MDA adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%, darah puyuh, alkohol
70 %, minyak emersi, xylol, methanol 75%, dan pewarna GIEMSA 10%.
6
Tahap Perlakuan
Day Old Quil yang baru datang diberikan perlakuan masa adaptasi selama satu
hari. Suhu kandang yang digunakan untuk semua DOQ adalah 39 °C. Setelah itu
burung puyuh dibagi ke dalam empat kandang dengan suhu yang berbeda. Setiap
kandang berisi enam ekor burung puyuh. Kandang puyuh dibersihkan satu kali
seminggu. Setiap pagi dan sore suhu kandang dipantau. Air minum diberikan secara
ad-libitum. Puyuh akan diberi pakan dan minum setiap harinya tanpa penambahan
obat atau vitamin. Puyuh umur 1 sampai 3 minggu akan diberi pakan starter,
sedangkan puyuh umur 4 sampai 5 minggu akan diberi pakan grower.
Minggu satu sampai minggu kedua kandang puyuh menggunakan suhu yang
berbeda yaitu kandang A pada suhu 39 °C, kandang B pada suhu 41 °C, kandang C
pada suhu 43 °C, dan kandang D pada suhu 45 °C. Suhu optimal masa brooding
DOQ yaitu 39 °C, sementara untuk masa non brooding suhu optimal yang
dibutuhkan adalah 25 °C. Setiap akhir minggu setiap puyuh ditimbang bobot
badannya. Awal minggu ketiga suhu di keempat kandang puyuh diturunkan secara
bertahap yaitu penurun suhu sebesar 1 °C/hari. Penurunan suhu dilakukan sampai
suhu kandang mencapai 26 °C untuk kandang A, 31 °C untuk kandang B, 33 °C
untuk kandang C, dan 35 °C untuk kandang D. Hal ini dilakukan selama ± 10 hari
atau hingga minggu kelima. Sebelum penurunan suhu kandang burung puyuh
diberikan vaksin Newcastle Disease (ND). Penurunan suhu dilakukan karena puyuh
sudah memasuki masa non brooding atau grower.
Tahap Pengamatan
Satu minggu sekali burung puyuh akan ditimbang bobot badannya per individ u.
Pada minggu kelima puyuh diambil darahnya kemudian diperiksa kadar jumlah dan
diferensiasi leukosit. Uji MDA juga dilakukan untuk mengetahui kadar stres pada
puyuh. Uji ini dilakukan di akhir penelitian atau saat umur burung puyuh lima
minggu.
Heterofil
Tabel 1 Rataan jumlah heterofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Heterofil (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 1.510 ± 0.393a
B (41 °C) 2.876 ± 0.483a
C (43 °C) 6.080 ± 2.792b
D (45 °C) 5.256 ± 4.97b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Limfosit
Tabel 2 Rataan jumlah limfosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Limfosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 7.553 ± 1.13a
B (41 °C) 4.214 ± 1.789b
C (43 °C) 1.658 ± 0.348a
D (45 °C) 1.062 ± 0.789a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
103 butir/mm3 ). Semakin tinggi suhu yang diberikan, semakin turun jumlah limfos it
yang dihasilkan. Jumlah limfosit yang didapatkan pada semua perlakuan bebeda
nyata (P <0.05). Hal ini berarti pemberian suhu berpengaruh pada produksi limfos it.
Penurunan jumlah limfosit dapat dikarenakan adanya cekaman dan stres
akibat faktor lingkungan, tempratur kandang yang panas, ukuran kandang yang
sempit dan banyaknya jumlah puyuh dalam satu kandang dapat menjadi faktor
turunnya jumlah limfosit dalam tubuh. Suhu optimal untuk pemeliharaan unggas
adalah 20 °C – 25 °C (Hillman et al. 2000). Limfosit yang menghasilkan sistem
kekebalan. IgG adalah antibodi yang utama yang dihasilkan limfosit (Rahman
2003). Penurunan jumlah limfosit terjadi pada kondisi stres, hal ini terlihat dari
meningkatnya rasio H/L (Kusnadi et al. 2008 ; Zulkifli et al. 2000).
Jumlah limfosit yang turun juga dapat disebabkan oleh berkurangnya bobot
organ limfoid termasuk bursa fabricius dan cekaman panas (Siegel 1995). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Kusnadi (2008), bahwa suhu lingkungan yang tinggi
dapat menyebabkan turunnya bobot bursa fabricius. Pemeliharaan yang dilakukan
diatas suhu optimal dapat menyebabkan puyuh kesulitan untuk melakukan
pembuangan panas tubuh ke lingkungan. Stres pada unggas akan merangsang
terjadinya peningkatan sekresi hormon glukokortikoid yang mengakibatka n
penurunan jumlah limfosit di dalam darah (Siegal 1995).
Monosit
Tabel 3 Rataan jumlah monosit darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
Kelompok perlakuan Monosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 1.578 ± 0.375a
B (41 °C) 3.746 ± 3.28a
C (43 °C) 7.553 ±1.13a
D (45 °C) 1.659 ± 0.348a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Eosinofil
Tabel 4 Rataan jumlah eosinofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman
panas
KELOMPOK PERLAKUAN EOSINOFIL (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 2.867 ± 1.347a
B (41 °C) 3.931 ± 1.36a
C (43 °C) 7.076 ± 2.44a
D (45 °C) 3.518 ± 1.892a
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Basofil
Tabel 5 Rataan jumlah basofil darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Basofil (x 103 butir/mm3 )
A (39°C) 13.833 ± 11.83a
B (41°C) 2.226 ± 1.642ab
C (43°C) 9.733 ± 7.504ab
D (45°C) 1.100 ± 0.541b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Leukosit
Leukosit yang juga disebut sel darah putih adalah unit yang aktif dari sistem
pertahanan tubuh individu. Leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh, melawan
infeksi secara langsung dan toksin yang dihasilkan akan dinetralisir oleh antibodi
yang berada dalam plasma darah. Jumlah leukosit di dalam tubuh setiap individ u
berbeda dan berubah sesuai dengan kondisi tubuh. Perubahan komposisi leukosit
dapat terjadi pada keadaan stres, umur, status gizi, dan aktivitas fisiologis (Dellma n
dan Brown 1992).
Tabel 6 Rataan jumlah leukosit burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Leukosit (x 103 butir/mm3 )
A (39 °C) 48.667 ± 4.37a
B (41 °C) 70.667 ± 8.07ab
C (43 °C) 76.167 ± 11.47ab
D (45 °C) 80.500 ± 11.37b
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Tabel 7 Rataan rasio H/L darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan H/L
A (39 °C) 0.442 ± 0.14a
B (41 °C) 5.688 ± 3.03ab
C (43 °C) 8.762 ± 1.43b
D (45 °C) 3.882 ± 1.03ab
Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata
Malondialdehid (MDA)
Tabel 8 Rataan jumlah MDA darah burung puyuh yang diberikan cekaman panas
Kelompok perlakuan Malondialdehid (mda) g/µl
A (39°C) 0.438
B (41°C) 0.690
C (43°C) 2.020
D (45°C) 1.764
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aengwanich W, Chinrasri O. 2003. Effects of chronic heat stress on red blood cell
disorders in broiler chickens. Mahasarakham Univ. J. 21: 1-10.
Al-Fatattah AAA, Abu-Dieyeh Z H M. 2007. Effect of chronic heat stress on
broiler performance in Jordan. Int J Poult. Sci. 6(1): 64-70.
Altan O, Altan A, Çabuk M, Bayraktar H. 2000. Effects of heat stress on some
blood parameters in broilers. Turky J Vet Anim Sci. 24:145–148.
Asni E, Harahap I P, Prijanti AR, Wanandi SI, Jusman SWA, Sadikin M. 2009.
Pengaruh hipoksia berkelanjutan terhadap kadar malondialdehid, glutatio n
tereduksi, dan aktivitas katalase ginjal tikus. Maj Kedokt Indon [Internet].
[diunduh 2017 Jan 23]; 59(12): 595-600. Tersedia pada : http://www.
indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed
Bedanova I, Voslarova E, Vecerek V, Strakova E, Suchy P. 2003. The
haematological jumlahe of broilers under acute and chronic heat stress at
30 ± 1 °C level. J Folia Vet. 47:188-192
Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat stres in cage layer.
Ontario (CA): Ministry of Agriculture and Food.
Blecha F. 2000. Immune system response to stress. Di dalam: Moberg, GP,
Mench JA, editor. The Biology of Animal Stress: Basic Principle and
Implications for Animal Welfare. London (UK): CABI Publishing. Hlm
111-146.
Boonstra R. 2005. Coping with changing northern environments: the role of
the stress axis in birds and mammals. Integr. Comp. Biol. 44: 95–108.
Borges SA., FA Vda Silva, A Maiorka, DM Hooge dan KR Cummings.
2004. Effect of die and cyclic daily heat stress on electrocyte,
nitorgen and water intake, excretion and retention by colostomized
male broiler chickens. Int J Poult Sci. 3(5):313-321.
15
Mayes PA, Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 1997. Biokimia Harper.
24th Ed. Buku Kedokteran, Jakarta. (Diterjemahkan oleh A. Hartono).
Miesle Jeannine. 2011. Demystifying the Avian CBC: The Complete Blood
Count. [internet] diakses tanggal 30 Novemer 2016 tersedia
http://www.beautyofbirds.com//
North MO.1972. Commercial Chicken Production Manual.
Noor RR, Seminar KB. 2009. Rahasia dan hikmah pewarisan sifat (ilmu
genetika dalam Al-Qur’an). Bogor (ID): IPB Press.
Padgett DA, Glaser R. 2003. How stress influences the immune response. J Trends
Immunol. 24: 444-448.
Rahardjani, KB. 2010. Hubungan antara Malondialdehid (MDA)
dengan Hasil Luaran Sepsis Neonatorum. Jurnal Sari Pediatri. 12(2): 82-
87.
Ramatina. 2011. Efektifitas Berbagai Suplemen Antioksidan Penurun Status
Oksidatif (Malondialdeyde (MDA) Plasma) Pada Mahasiswa Alih Jenis
IPB. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi dan
Manusia IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin remodelling and gene transcription in
inflammation and chronic lung desease. J. Biochem. Mol. Biol. 36:95-109
Sahin N, Sahin K, Kucuk O. 2001. Effects of vitamin E and vitamin A
supplementation on performance, thyroid status and serum concentrations
of some metabolites and minerals in broilers reared under heat stress
(32°C). Vet. Med. Czech. 46: 286-292.
Samuel IR. 1987. Introduction to Hematology. Second Edition. Philadhelp hia
(US): JB Lippincott company.
Sandikci M, Eren U, Onol A G, Kum S. 2004. The effect of Heat Stress and
The use of Saccharomyces cereviseae or (and) Bacitrazin Zinc Againts
Heat Stress on Intestinal mucosa Quail. Turkey (TR): Adnan Menders
University.
Schalm OWNCJ. 2011.Veteriner Hematology. Edisi ke-6. Philadelphia (US): Lea
& Febiger.
Scope A, Filip T, Gabler C, Resch F. 2001. The influence of stress from transport
and handling on hematologic and clinical chemistry blood parameters of
racing pigeons (Columba livia domestica). Avian Dis. 46(1) :224–229.
Seto, Sagung. 2000. Ilmu Kedokteran Molekular. Jakarta (ID): Kapita Selekta.
Siegal HS. 1995. Stress, Strain and Resistance. Poult Sci. 36:3-22
Sies, Helmut. 1985.Oxidative Stres. Jerman (DE): Academic Press.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Strukie PD, Grimminger. 1976. Avian Physiology. New York (US): Cornell
University Press.
Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013. Keragaman
gen heat Shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan ayam Ras. J Vet.
14:317-326.
Tetty. 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Jakarta (ID): Agro Media
Pustaka.
Triyanto. 2007. Peforma produksi burung puyuh (Coturnix coturnix
Japonica) periode produksi umur 6-13 minggu pada lama pencahayaan
17
RIWAYAT HIDUP