Anda di halaman 1dari 31

JENIS JENIS CACING PADA ORGAN TUBUH TIKUS GOT

(Rattus norvegicus) DAN TIKUS RUMAH (Rattus tanezumi)

HERIANTO SITEPU

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Jenis-Jenis Cacing


pada Organ Tubuh Tikus Got (Rattus norvegicus) dan Tikus Rumah (Rattus
tanezumi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2017

Herianto Sitepu
NIM B04130155
ABSTRAK
HERIANTO SITEPU. Jenis-Jenis Cacing pada Organ Tubuh Tikus Got (Rattus
norvegicus) dan Tikus Rumah (Rattus tanezumi. Dibimbing oleh RISA TIURIA
dan RIDI ARIF.

Kejadian penyakit zoonotik bersumber dari tikus salah satunya disebabkan


oleh adanya endoparasit berupa cacing. Tikus merupakan makhluk yang sangat
dekat dengan manusia, sehingga potensi penularan penyakit menjadi sangat tinggi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan endoparasit pada tikus. Jenis
penelitian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan
identifikasi jenis endoparasit pada organ pencernaan, hati, dan jantung. Hasil dari
penelitian ini adalah identifikasi spesies cacing yang ditemukan dan gambaran
infeksi cacing pada tikus. Spesies tikus yang digunakan yaitu Rattus tanezumi dan
Rattus norvegicus. Strobilocercus ditemukan pada organ hati, Hymenolepis
diminuta dan Nippostrongilus brassiliensis ditemukan pada organ usus, dan
Angiostrongylus cantonensis pada organ jantung. Cacing yang ditemukan dalam
penelitian ini hampir semua bersifat zoonosis. Gambaran infeksi pada tikus yaitu
infeksi tunggal, infeksi dan jumlah cacing lebih banyak pada tikus dengan umur
dewasa dan tikus jantan.

Kata kunci : Cacing, tikus, zoonosis

ABSTRACT
HERIANTO SITEPU. Types of Helminths on Rattus norvegicus and Rattus
tanezumi Organs. Supervised by RISA TIURIA and RIDI ARIF.

The occurrence of zoonotic diseases with rats as an intermediate host can


be caused by endoparasite such as helminths. Rats are an organism which very
close to human beings, therefore the potential for disease transmission becomes
high. Therefore, it is necesarry to check endoparasite in rats. This study was
conducted descriptive. The collection of data was done by identifying type of
endoparasite in the gastrointestinal tract, liver, and heart. The result showed the
research was an identification of helminths species found in the organ and an
overview of worm infections in rats. The species of rats use Rattus tanezumi and
Rattus norvegicus. The types of helminths such as Strobilocercus was found in liver,
Hymenolepis diminuta and Nippostrongilus brassiliensis in gastrointestinal tract,
and Angiostrongylus cantonensis was found in heart. The types of helminths found
in this study were mostly zoonotic. The infection in rats is single infections,
infections and an amount of helminths more found in adult rats and male rats.

Key Words : Helminths, rats, zoonotic


JENIS JENIS CACING PADA ORGAN TUBUH TIKUS GOT
(Rattus norvegicus) DAN TIKUS RUMAH (Rattus tanezumi)

HERIANTO SITEPU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada TUHAN yang maha ESA atas segala
karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul
karya ilmiah ini adalah Jenis-Jenis Cacing pada Organ Tubuh Tikus Got (Rattus
norvegicus) dan Tikus Rumah (Rattus tanezumi).
Terima kasih dan rasa syukur yang besar penulis ucapkan kepada kedua orangtua
penulis atas semua kasih sayang, nasihat, dukungan, dan motivasi sehingga penulis
dapat menuntut ilmu hingga sarjana. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh
Risa Tiuria, MS PhD dan Drh Ridi Arif selaku dosen pembimbing karya ilmiah yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dari awal penelitian hingga akhir
penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh Titiek
Sunartatiek, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing,
mendukung, dan membantu penulis selama empat tahun ini. Ungkapan terima kasih
penulis ucapkan kepada Pemerintah Kabupaten Simalungun atas beasiswa selama
empat tahun sehingga penulis dapat melaksanakan kuliah dengan lancar.
Terima kasih kepada rekan-rekan Beasiswa Utusan Daerah yang telah menjadi
saudara penulis di Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya rasa terima kasih penulis
ucapkan kepada keluarga besar Gyrfalcon 50 yang bersama-sama berjuang dalam
menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Penulis menyadari kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penelitian selanjutnya. Penulis
berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2017

Herianto Sitepu
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Tikus 2
Nematoda 4
Nippostrongylus brasiliensis 4
Angiostrongylus cantonensis 4
Cestoda 5
Hymenolepis diminuta 5
Taenia taeniaeformis 6
BAHAN DAN METODE 6
Metode Penelitian 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Pembedahan Tikus 7
Pewarnaan Cacing 7
Identifikasi Cacing 8
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Hasil 8
Pembahasan 10
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
RIWAYAT HIDUP 17
DAFTAR TABLE
1. Cacing yang teridentifikasi pada organ tubuh tikus 8
2. Cacing berdasarkan pola infeksinya 8
3. Persentase cacing pada Rattus norvegicus dan Rattus tanezumi
berdasarkan jenis kelamin 8
4. Persentase cacing pada Rattus norvegicus dan Rattus tanezumi
berdasarkan umur 9

DAFTAR GAMBAR
1. Rattus norvegicus 3
2. Rattus tanezumi 3
3. Siklus hidup cacing Angiostrongylus cantonensis 4
4. Siklus hidup cacing Hymenolepis diminuta 5
5. Morfologi Hymenolepis diminuta
a. Scolex 10
b. Proglotid Muda 10
c. Proglotid Dewasa 10
d. Proglotid Gravid 10
6. Morfologi Nippostrongilus braziliensis 11
7. Morfologi posterior A. cantonensis
a. Morfologi ujung anterior 12
b. Morfologi ujung anterior literatur 12
c. Morfologi ujung posterior 12
d. Morfologi ujung posterior literatur 12
8. Morfologi Strobilocercus
a. Strobilocercus 13
b. Strobilocercus literatur 13
c. Strobilocercus setelah diekskitas 13
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus merupakan kelompok hewan yang tersebar luas di seluruh belahan


dunia. Jumlah tikus sangat melimpah dan kehidupan mereka sangat berasosiasi
dengan manusia dalam aktivitas mencari makanan ataupun tempat bersarang. Di
lingkungan pemukiman, tikus sering ditemukan merusak bahan-bahan makanan,
alat-alat elektronik, dan lain-lain, sehingga menimbulkan kerugian secara
ekonomis. Selain menimbulkan berbagai kerusakan dan gangguan kenyamanan,
tikus juga memiliki peran yang signifikan dalam penyebaran penyakit menular pada
manusia.
Beberapa penyakit berbahaya dan zoonotik yang disebarkan oleh tikus
adalah penyakit pes, leptspirosis, salmonelosis, typus, dan penyakit kecacingan
(Ristiyanto dan Nurisa 2005). Selain itu, tikus juga merupakan makhluk hidup yang
hidup dan habitanya dekat dengan manusia. Dua spesies tikus yang hidup dan
habitatnya dekat dengan manusia yaitu tikus got dan tikus rumah. Tikus got atau
Rattus norvegicus hidup disaluran pembuangan air, atau riul atau got, sedangkan
tikus rumah atau Rattus tanezumi hidup didalam rumah seperti didalam dapur dan
didalam lemari.
Tikus merupakan makhluk hidup yang rentan terinfeksi penyakit berbahaya
karena menyukai lingkungan yang kotor. Setyaningrum (2016) melaporkan bahwa
hampir seluruh organ tubuh tikus sudah terinfeksi oleh penyakit berbahaya terutama
penyakit kecacingan. Beberapa penyakit kecacingan yang disebarkan oleh tikus
yaitu himenolepiasis, strobilocerkosis, dan panyakit meningocephalitis. Penularan
penyakit kecacingan dapat terjadi langsung dan tidak langsung. Penularan langsung
disebabkan mengkonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi oleh telur cacing,
sedangkan penularan tidak langsung terjadi melalui perantara pinjal, nyamuk, dan
lain lain.
Berdasarkan beberapa pengamatan, ditemukan Angiostrongylus cantonensis
yang menginfeksi otak manusia dan menyebabkan penyakit meningoensefalitis
(Dewi 2011), Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta yang menyebabkan
penyakit himenolepiasis (Widiastuti 2016). Cacing parasit tikus di Jawa Barat yang
pernah dilaporkan yaitu Strobilocercus pada organ hati, Hymenolepis diminuta dan
Nippostrongilus brassiliensis pada usus halus (Tutstsintaiyn 2013).
Keberadaan cacing pada tikus dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Hal
ini dikarenakan tikus akan berpotensi tinggi untuk menyebarkan penyakit
kecacingan pada manusia. Selain itu, penyakit kecacingan merupakan penyakit
neglected disease yaitu penyakit yang kurang diperhatikan oleh masyarakat,
sehingga pengamatan potensi risiko infeksi cacing tetap penting dilakukan terkait
dengan keberadaan infeksi pada tikus rumah dan tikus got yang memiliki kebiasaan
berada di rumah dan kemungkinan kontaminasi makanan dan air yang dikonsumsi
manusia melalui feses yang dikeluarkan oleh tikus.
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis cacing parasit pada organ-


organ tikus got (Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattus tanezumi) dan
gambaran infeksi cacing pada tikus.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis


jenis cacing parasitik dan kejadian penyakit zoonotik yang diakibatkan oleh adanya
cacing parasit zoonosis.

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus
Tikus adalah binatang yang termasuk dalam ordo Rodentia, sub ordo
Myormorpa, famili Muridae. Famili Muridae ini merupakan famili yang dominan
dari ordo Rodentia karena memiliki daya reproduksi yang tinggi, pemakan segala
macam makanan (omnivorous), dan mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Jenis tikus yang sering berhabitat di rumah adalah tikus got (Rattus norvegicus)
dan tikus rumah (Rattus tanezumi) (Priyambodo 2006).
Klasifikasi tikus menurut Krinke (2000) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Cordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Rattus tanezumi

a) Tikus Got (Rattus norvegicus)


Tikus got merupakan tikus yang memiliki tekstur rambut kasar dan
agak panjang, bentuk hidung kerucut terpotong, hidung tumpul, badan
besar, pendek, bentuk badan silindris sedikit membesar ke belakang, warna
badan bagian atas coklat hitam kelabu, warna badan bagian bawah coklat
kelabu, warna ekor bagian atas gelap dan bagian bawah gelap agak pucat,
berat 150-600 gram, panjang kepala dan badan 150-250 mm, panjang ekor
160-210 mm (lebih pendek dari panjang kepala dan badan), panjang dari
ujung hidung sampai ujung ekor 310-460 mm, lebar telinga 14-24 mm,
panjang telapak kaki belakang 40-47 mm, dan memiliki puting susu
sebanyak 6 pasang. Banyak dijumpai di saluran air, riul, dan got di daerah
pemukiman dan pasar, gudang, pelabuhan, pemukiman manusia di pesisir
pantai (Sholichah 2007).
3

Gambar 1. Tikus Got (Rattus norvegicus)


Sumber : Pascal et al. (2005)

b) Tikus Rumah (Rattus tanezumi)


Tikus rumah merupakan tikus yang memiliki tekstur rambut yang
sedikit kasar dan lebih mengkilap dari tikus riul, bentuk hidung kerucut,
hidung runcing, badan kecil, bentuk badan silindris, warna badan bagian
atas dan bawah coklat hitam kelabu, warna ekor bagian atas dan bawa coklat
gelap, berat 60-300 gram, panjang kepala dan badan 100-210 mm, panjang
ekor 120-250 mm (lebih panjang dari panjang kepala dan badan), panjang
telapak kaki belakang 30-37 mm, lebar telinga 19-23 mm, dan memiliki
puting susu sebanyak 5 pasang. Tikus ini terdapat di gudang makanan,
pemukiman manusia terutama di langit-langit rumah. Tikus rumah
merupakan tikus yang pandai memanjat dan sering disebut pemanjat yang
ulung (Sholichah 2007).

Gambar 2. Tikus Rumah (Rattus tanezumi)


Sumber : Salibay dan Luyon (2008)
4

Jenis Cacing Parasit pada R. norvegicus dan R. tanezumi

Nematoda
Nippostrongylus brasiliensis
Nippostrongylus brasiliensis adalah parasit yang umum pada sistem
pencernaan tikus (Rattus assimilis, Rattus conatus, R. norvegicus dan R. tanezumi)
dan mencit (M. musculus). Cacing tersebut pada tahap dewasa hidup di duodenum,
jejunum kadang di ileum bagian atas, namun duodenum adalah tempat yang disukai
cacing tersebut dibandingkan tempat lain didalam saluran pencernaan. Cacing ini
termasuk nematoda yang tidak bersifat zoonosis
Siklus hidup Nippostrongylus brasiliensis yaitu siklus hidup langsung.
Telur cacing dapat ditemukan di dalam feses hospes setelah enam hari infeksi
(Noble dan Noble 1989).

Angiostrongylus cantonensis
Angiostrongylus cantonensis merupakan genus parasit pada rodensia dan
beberapa mamalia. Angiostrongylus cantonensis betina memiliki panjang 13-33
mikron dan berdiameter 280-500 mikron serta menghasilkan telur yang tidak
bersegmen. Induk semang antara adalah siput dan keong (Levine 1990). Larva
masuk kedalam kaki siput atau keong. Tumbuh didalam otot kaki maupun di dalam
rongga badan.

Gambar 3. Siklus hidup cacing Angiostrongylus cantonensis


Sumber : CDC (2012)
Manusia dan tikus terinfeksi apabila mengkonsumsi siput dan keong
yang mengandung larva infektif. Larva menembus dinding usus, masuk aliran darah
dan terbawa ke sistem saraf pusat. Angiostrongylus cantonensis merupakan cacing
zoonosis yang menyebabkan penyakit meningoensefalitis (Dewi 2011). Hal ini
5

terjadi karena larva Angiostrongylus cantonensis menembus otak, sumsum tulang


belakang, dan mata, sehingga menyebabkan kelumpuhan, kebutaan, atau kematian.
Larva muda masuk dan menetap didalam otak, ke sistem vena dan arteri jantung (
Levine 1990).
Cestoda
Hymenolepis diminuta
Tubuh Hymenolepis diminuta terdiri atas skoleks, leher, dan rangkaian
segmen yang disebut proglotid. Skoleks kecil mempunyai 4 batil hisap berbentuk
bulat dengan diameter 0.1 mm. Leher diantara skoleks dan segmen pertama dari
strobila merupakan ruang halus tanpa segmen. Bentuk segmen melebar dan lebar
segmen lebih panjang dari ukuran panjang segmen. Lebar segmen muda 0.560-
0.867 mm dan panjang 0.081-0.096. Segmen dewasa ukuran lebarnya adalah 2.581-
2.783 mm dan panjang 0.19-0.23 mm. Segmen gravid lebarnya adalah 2.942-3.210
mm dan panjangnya adalah 0.268-0.301 mm. Pada proglotid dewasa tampak alat
reproduksi yang lengkap terdapat pada masing-masing segmen. Ovarium terletak
di tengah segmen, porus genitalia kecil, satu buah terletak unilateral, sedangkan
testis berjumlah 3. Proglotid gravid tampak uterus penuh berisi telur meluas sampai
ke tepi saluran ekskretori. Telur berdiameter 53.6-68.6 µm dan akan berkembang
menjadi hexacanth yang mempunyai enam kait kecil yang berfungsi dalam
penetrasi pada dinding pencernaan hospes antara ( Priyanto et al. 2012).

Gambar 4. Siklus hidup cacing Hymenolepis diminuta


Sumber : CDC (2012)
Hymenolepis diminuta merupakan salah satu cacing pita yang bersifat
zoonotik yang berada pada tikus Rattus norvegicus dan Rattus tanezumi. Habitatnya
di usus halus. Hospes definitif dari cacing ini yaitu manusia, tikus, mencit,
sedangkan hospes intermediet adalah pinjal tikus (Xenopsylla cheopis), pinjal
manusia (Pulex irritans), dan kumbang tepung (Tenebrio molitor). Manusia dan
6

tikus terinfeksi cacing ini melalui makanan yang terkontaminasi dengan


cysticercoid yang hidup di hospes intermediet. Cysticercoid yang termakan ini
begitu sampai di usus akan segera menjadi dewasa.

Taenia taeniaeformis
Taenia taeniaeformis merupakan cacing pita yang hidup di usus halus kucing
dan karnivora. Spesies ini memiliki ukuran panjang 50-60 cm, berbentuk unik yaitu
tidak memiliki leher serta proglotid posteriornya berbentuk mirip genta (bell-
shaped). Skoleks berukuran lebar 1,7 mm memiliki rostellum lebar dengan kait
yang berjumlah 26-52 buah (biasanya 34 buah). Penghisapnya menonjol, mengarah
keluar dan kedepan. Telurnya berbentuk bundar, berdiameter 31-37 mikron
(Tutstsintaiyn 2013).
Proglotid T. taeniaeformis yang matang berisi ribuan telur yang dikeluarkan
melalui tinja hospes definitif yaitu kucing dan beberapa karnivora lainnya ke
lingkungan. Hospes intermediet dapat terinfeksi ketika mengonsumsi makanan, air,
maupun rerumputan atau dedaunan yang terkontaminasi oleh telur T. taeniaeformis.
Tikus yang terinfeksi T. taeniaeformis akan menimbulkan lesi yang diikuti
peningkatan sekresi asam lambung, hiperplasia mukosa usus dan hipergastrinemia
Cacing dewasa dapat mengganggu pencernaan makanan yang serius pada tikus.
Pada organ hati tikus ditemukan dalam bentuk metascestoda. Metacestodanya
dikenal sebagai Strobilocercus, ditemukan pada urat daging babi, anjing , kadang
kadang manusia, dan ditemukan juga pada organ organ hati tikus. Taenia
taeniaeformis merupakan salah satu cacing yang bersifat zoonosis. Levine (1990)
melaporkan Strobilocercus menginfeksi 2% pada manusia yang diotopsi di Berlin,
akan tetapi sekarang sejak tinja manusia dibuang lebih efisien, kejadian
strobilocerkosis pada manusia banyak menurun sedemikian banyak sehingga secara
praktis dapat diabaikan.

BAHAN DAN METODE

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Metode pengambilan


sampel yang digunakan yaitu metode purposive sampling. Metode purposive
sampling adalah metode yang dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap
unsur-unsur yang dikehendaki telah terdapat dalam anggota sampel yang diambil.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2017.


Penangkapan tikus got dan tikus rumah dilakukan dengan memasang perangkap
pada malam hari mulai pukul 19.00 sampai pukul 04.00 WIB di sekitar daerah
Babakan Lebak, Dramaga, Bogor. Identifikasi sampel dilaksanakan di laboratorium
Helminthologi, Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu
7

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan


IPB.
Pembedahan Tikus
Alat dan Bahan
Sepuluh ekor tikus got (Rattus norvegicus), lima ekor tikus rumah (Rattus
tanezumi), eter, alkohol, NaCl fisiologis, 1 set peralatan bedah, botol, cawan petri,
dan mikroskop stereo.

Cara kerja
Tikus yang telah dibius dengan eter dibedah secara vertikal dari bagian
bawah abdomen sampai thoraks. Organ-organ jantung, hati, paru-paru, dan saluran
pencernaan dikeluarkan dan dimasukan ke dalam plastik. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan mikroskop stereo. Cacing yang ditemukan dimasukan ke
dalam cawan petri yang berisi NaCl fisiologis dan disimpan dalam refrigerator
selama 1 hari. Selanjutnya cacing dibersihkan menggunakan aquades dan disimpan
ke dalam botol berisi alkohol 70 %.

Pewarnaan Cacing
Alat dan Bahan
Aquades, alkohol (70%, 85%, 90% dan 100%), Gliserin, Lactopenol,
Semichon’s Acetocarmine, HCL, Xylol, entellan, gelas ukur, dan cawan petri.

Pewarnaan Cacing Cestoda


Pewarnaan permanen atau dikenal juga dengan pewarnaan Semichon’s-
Acetocarmine biasa digunakan untuk mengindentifikasi cacing pipih. Tahap
pertama dalam pewarnaan ini adalah dengan merendam spesimen dalam larutan
Semichon’s-Acetocarmine selama 30 menit hingga 2 jam (sampai warna terserap
dan spesimen berubah warna menjadi merah cerah). Kemudian direndam di dalam
larutan asam alkohol (99 bagian alkohol 70%, dicampur dengan 1 bagian HCl).
Setelah itu, spesimen dibilas dengan menggunakan alkohol 70%. Kemudian ,
spesimen didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat (70%, 85%, 95%, 100%)
dengan cara merendamnya selama 20 menit pada setiap konsentrasi alkohol.
Setelah itu, spesimen direndam di dalam Lactopenol beberapa menit sampai
spesimen terlihat tembus pandang. Spesimen didehidrasi kembali dengan alkohol
absolut. Kemudian di clearing menggunakan xylol sampai warna terlihat
transparan. Langkah terakhir adalah spesimen di-mounting dengan entelan sebagai
media fiksasi (Soulbsy 1982).

Pewarnaan Cacing Nematoda


Metode pewarnaan cacing nematoda dilakukan berdasarkan PKP (1999)
yang dimodifikasi. Tahapan kerja pewarnaan cacing nematoda yaitu pencelupan
spesimen pada larutan konsentrasi alkohol 70%, 80% dan 90 % selama 15 menit,
kemudian dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 20 menit, spesimen
dibilas dalam larutan alkohol 70%, spesimen dipindahkan ke dalam larutan alkohol
bertingkat (96%, 100%, 100%) masing-masing selama 15 menit. Kemudian
dilakukan mounting dengan glycerin jelly.
8

Identifikasi Cacing
Identifikasi cacing dilakukan berdasarkan Levine (1990), Noble dan Noble
(1989), Cowie ( 2011), Priyanto et al. (2012), Harley and Parker (1961).

Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif berdasarkan data
tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan habitat cacing pada tikus


yang ditemukan adalah pada bagian usus halus, jantung, dan hati. Cacing yang
teridentifikasi pada tikus Rattus norvegicus pada organ usus adalah Hymenolepis
diminuta dan Nippostrongilus brassiliensis. Cacing yang teridentifikasi pada
jantung adalah Angiostrongylus cantonensis. Cacing yang teridentifikasi pada
organ hati adalah Strobilocercus. Berbeda dengan Rattus norvegicus, cacing yang
teridentifikasi pada Rattus tanezumi hanya Hymenolepis diminuta pada organ usus
( Tabel 1).
Tabel 1. Cacing yang teridentifikasi pada organ tubuh tikus
Jenis Tikus Organ Spesies cacing
Rattus norvegicus Usus Hymenolepis diminuta
Nippostrongilus brassiliensis
Jantung Angiostrongylus cantonensis
Hati Strobilocercus
Rattus tanezumi Usus Hymenolepis diminuta

Tabel 2. Pola infeksi berdasarkan jenis tikus


Jenis Tikus Pola Infeksi Jenis Cacing (%)
Rattus norvegicus Infeksi Tunggal H. diminuta 70
N. brassiliensis 20
Infeksi Campuran H. diminuta , N. brassiliensis 10
, dan A. cantonensis
Rattus tanezumi Infeksi Tunggal H. diminuta 40
Infeksi Negatif - 60

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan persentase infeksi tunggal pada R.


norvegicus dan R. tanezumi tinggi yaitu 70% dan 40%. Cacing yang mendominasi
pada infeksi tunggal yaitu Hymenolepis diminuta pada Rattus norvegicus dan
Rattus tanezumi. Infeksi Campuran memiliki persentase 10% yaitu Hymenolepis
diminuta dengan Nippostrongilus brassiliensis dan Hymenolepis diminuta dengan
Angiostrongylus cantonensis
9

Tebel 3. Persentase cacing pada Rattus norvegicus dan Rattus tanezumi berdasarkan
jenis kelamin
Tikus Jenis kelamin Jumlah parasit
Jenis cacing tikus(%) (±ekor)
Jenis tikus Habitat positif (%)
parasit

NEMATODA ♂ ♀ ♂ ♀
N. braziliensis R. norvegicus Usus 30 0 75 0 26
A. cantonensis R. norvegicus Jantung 10 0 25 1 0
CESTODA
H. diminuta R. tanezumi Usus 40 40 0 3 0
R. norvegicus Usus 80 100 50 39 2
Strobilocercus R. tanezumi Hati 0

R. norvegicus Hati 80 83 75 1 1
Keterangan : ♂ = Tikus jantan ♀ = Tikus betina

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase infeksi cacing pada


Rattus norvegicus jantan lebih tinggi daripada tikus betina. Tikus jantan terinfeksi
100% H. diminuta, sedangkan tikus betina lebih banyak terinfeksi N. brassiliensis
75%. Selain itu, Tabel 3 juga menunjukkan jumlah rata- rata cacing H. diminuta
lebih banyak pada tikus jantan dan N. brassiliensis lebih banyak pada tikus betina.
Berbeda dengan R. norvegicus, Rattus tanezumi hanya terinfeksi oleh H. diminuta
40% pada tikus jantan dengan jumlah rata-rata 3 cacing.

Tebel 4. Persentase cacing pada Rattus norvegicus dan Rattus tanezumi berdasarkan
umur
Tikus Umur Indeks parasit
Jenis cacing positif (%) relatif(%)
Jenis tikus Habitat (±ekor)
parasit
NEMATODA BD D BD D
N. braziliensis R. norvegicus Usus 30 67 14 26 4
A. cantonensis R. norvegicus Jantung 10 0 14 0 1
CESTODA
H. diminuta R. tanezumi Usus 40 0 40 0 3
R. norvegicus Usus 80 67 83 5 37
Strobilocercus R. tanezumi Hati 0 0 0 0 0
R. norvegicus Hati 80 67 86 1 1

Keterangan : BD = Tikus belum dewasa D = Tikus dewasa


Indeks parasit : Jumlah rata-rata cacing dalam satu ekor

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase cacing pada Rattus


norvegicus yang sudah dewasa lebih tinggi daripada tikus yang belum dewasa.
Tikus dewasa terinfeksi 83% H. diminuta, sedangkan tikus belum dewasa lebih
10

banyak terinfeksi N. brassiliensis 67%. Selain itu, Tabel 4 juga menunjukkan


jumlah rata- rata cacing H. diminuta lebih banyak pada tikus dewasa dan N.
brassiliensis lebih banyak pada tikus yang belum dewasa. Infeksi cacing pada R.
tanezumi 40% pada tikus dewasa dan jumlah rata-rata 3 cacing.

Pembahasan

Penelitian ini menemukan cacing cestoda dan nematoda pada Rattus


norvegicus dan Rattus tanezumi. Cacing yang teridentifikasi pada tikus Rattus
norvegicus pada organ usus adalah Hymenolepis diminuta dan Nippostrongilus
brassiliensis. Cacing yang teridentifikasi pada jantung adalah Angiostrongylus
cantonensis dan cacing yang teridentifikasi pada organ hati adalah Strobilocercus.
Berbeda dengan Rattus norvegicus, cacing yang teridentifikasi pada Rattus
tanezumi hanya Hymenolepis diminuta pada organ usus.

a b

c d
Gambar 5. Morfologi Hymenolepis diminuta, (a) Scoleks, (b) Proglotid muda, (c)
Proglotid dewasa, (d) Proglotid gravid. Perbesaran 10x10
Sumber : (a, b, dan c) : Dokumen pribadi, (d) : Priyanto (2012)

Hymenolepis diminuta merupakan cacing yang umum pada tikus. Cacing ini
menyukai usus halus sebagai habitat. Usus halus merupakan organ yang memiliki
banyak sari-sari makanan. Hymenolepis merupakan cacing pita yang terdiri atas dua
spesies yaitu Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta. Hymenolepis nana
sering disebut cacing pita kerdil karena berukuran sangat kecil. Berbeda dengan
Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta memiliki panjang 10-60 cm dan lebar 3-
11

5 cm. Hymenolepis diminuta terdiri dari Scoleks, Poglotid muda, Proglotid


dewasa, dan Proglotid gravid. Scoleks kecil bulat, mempunyai empat sucker dan
rostellum tanpa kait (Gambar 4a). Proglotid dewasa mempunyai susunan alat
kelamin jantan dan betina yang lengkap, sehingga termasuk cacing yang
hermafrodit (Gambar 4c). Ciri khas Proglotid dewasa pada Hymenolepis diminuta
terdapat testis berjumlah empat. Proglotid Gravid mengandung uterus yang
berbentuk kantong berisi telur yang berkelompok-kelompok, telur berukuran 58x86
µ( Gambar 4d ).
Cacing Hymenolepis diminuta termasuk golongan cacing zoonosis yang
menyebabkan himenolepiasis. Himenolepiasis ringan hanya menimbulkan gejala
yang minimal atau sama sekali tanpa gejala. Infeksi berat sering ditandai dengan
diare dan sakit kepala (Tutstsintaiyn 2013). Manusia akan terinfeksi apabila
mengkonsumsi air, makanan yang terkontaminasi sistiserkoid Hymenolepis
diminuta.

Gambar 6. Morfologi Nippostrongylus brasiliensis


Perbesaran 10x40

Nippostrongilus brassiliensis merupakan endoparasit yang umum pada


pencernaan tikus dan termasuk golongan nematoda yang tidak bersifat zoonosis
(Setyaningrum 2016). Ukuran cacing yang ditemukan sesuai dengan ukuran yang
ditemukan Harley dan Parker (1961) yaitu 2-3 mm. Stadium dewasa cacing ini
hidup di saluran pencernaan seperti duodenum, jejunum, kadang ditemukan di
ileum bagian atas. Morfologi Nippostrongilus brassiliensis berukuran kecil
berwarna merah muda pada saat masih hidup, tetapi jika sudah diawetkan berwarna
putih.
Angiostrongylus cantonensis merupakan cacing yang umum pada tikus dan
berhabitat di organ jantung. Ciri khusus morfologi yang diperoleh sesuai dengan
ciri spesies yang ditemukan oleh Cowie (2011) yaitu struktur khusus bagian anterior
yang dimiliki A. cantonensis adalah struktur bentuk T atau seperti kenop, struktur
bentuk batang, nervus ring, esofagus, dan lubang ekskretori. Cacing yang
ditemukan berjumlah satu dan berjenis kelamin betina. Hal ini terlihat dari ujung
posterior yang berbentuk lurus, memiliki vulva, dan tidak terdapat spikula (Gambar
6c). Angiostrongylus cantonensis pada penelitian ini ditemukan pada organ
jantung. Pada siklus hidupnya larva menembus dinding usus, masuk aliran darah
dan terbawa ke sistem saraf pusat, sumsum tulang belakang, mata, dan menetap
didalam otak, serta masuk ke sistem vena dan arteri jantung (Capinera dan Walden
2016). Angiostrongylus cantonensis merupakan cacing zoonosis yang menginfeksi
otak manusia dan menyebabkan penyakit meningoensefalitis dan kebutaan
12

(Capinera dan Walden 2016). Manusia terinfeksi apabila mengkonsumsi keong atau
siput yang mengandung larva infektif Angiostrongylus cantonensis.

a b

c d
Gambar 7. Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis yang ditemukan pada sampel
dengan literatur. Morfologi bagian anterior ( a dan b ). Morfologi bagian posterior ( c
dan d). (a dan b ) : Dokumen Pribadi, (b dan d) Sumber : Namue C dan Wongsawad
C (1997)
Keterangan : AN = Anus, BC = Buccal Capsule, E = Eggs, ESO = Esophagus, INT =
Intestine, TE = Teeth, UT = Uterus, S = Spine. Perbesaran 10x10

Taenia taeniaeformis merupakan golongan cestoda yang hidup di dalam


usus halus kucing dan karnivora, akan tetapi ditemukan pada organ hati tikus dalam
bentuk metacestoda ( Strobilocercus)(7a). Pada siklus hidupnya, tikus merupakan
inang antara cacing Taenia taeniaeformis (Estuningsih 2009). Strobilocercus
kemudian diekskistasi dan terdapat cacing larva Taenia taeniaeformis dalam bentuk
metacestoda (Gambar 7c). Strobilocercus berbentuk unik yaitu tidak memiliki
leher atau pembatas antara skoleks dengan strobila. Strobilocercus bersifat zoonosis
yang menyebabkan penyakit Strobiloserkosis. Manusia terinfeksi ketika
mengkonsumsi makanan, air, maupun rerumputan atau dedaunan yang
terkontaminasi telur Taenia taeniaeformis (Tutstsintaiyn 2013).
13

a b c
Gambar 7 Morfologi (a dan b) Strobilocercus, (c) Strobilocercus setelah diekskistasi.
Sumber : (a dan b) : Dokumen pribadi, (c): Priyanto et al. (2012)

Gambaran infeksi cacing pada tikus dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu jenis
tikus, pola infeksi, jumlah cacing berdasarkan umur, dan jenis kelamin.
Berdasarkan pola infeksi persentase infeksi tunggal pada R. norvegicus dan R.
tanezumi yaitu 70% dan 40%. Hymenolepis diminuta merupakan cacing yang
paling banyak menginfeksi tikus secara tunggal. Hal ini dikarenakan cacing H.
diminuta ditemukan dalam jumlah yang besar. Jumlah yang besar akan berpengaruh
pada penyerapan sari makanan yang sangat tinggi sehingga sulit untuk cacing yang
lain untuk berkompetisi. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Setyaningrum (2016) bahwa 91% cacing yang menginfeksi tikus adalah infeksi
tunggal, sedangkan Infeksi campuran hanya 10%. Infeksi campuran menyebabkan
potensi penularan sangat tinggi karena tikus dapat menyebarkan penyakit kepada
tikus dan manusia.
Berdasarkan jenis tikus, jumlah dan jenis cacing lebih banyak ditemukan
pada tikus Rattus norvegicus. yang dipengaruhi oleh higene dan sanitasi tempat
tinggal tikus tersebut. Rattus norvegicus lebih banyak tinggal di dalam got dan
saluran pembuangan rumah tangga yang kotor. Rattus norvegicus memiliki daya
jelajah yang lebih jauh sehingga mempunyai potensi lebih tinggi terinfeksi oleh
inang antara (Ahmad et al. 2014). Berdasarkan penelitian Rattus norvegicus
merupakan reservoir penyakit berbahaya dan zoonosis. Hal ini digambarkan dari
cacing yang teridentifikasi pada organ-organ tersebut, sedangkan Rattus tanezumi
lebih banyak hidup di dalam perabotan rumah tangga seperti dapur, lemari, dan
lain lain ( Supriyati dan Ustiawan 2013).
Berdasarkan umur pada Rattus norvegicus menunjukkan bahwa persentase
H. diminuta lebih tinggi pada tikus dewasa daripada tikus yang belum dewasa.
Tingkat infeksi H. diminuta lebih tinggi pada tikus dewasa karena konsumsi pakan
pada tikus dewasa lebih banyak dan daya jelajah yang lebih jauh dibandingkan
dengan tikus muda (Ahmad et al. 2014). Selain itu, persentase H. diminuta lebih
tinggi pada tikus dewasa disebabkan oleh paparan oleh lingkungan yang lebih lama
pada tikus dewasa sehingga peluang mendapatkan infeksi lebih tinggi daripada
yang lebih muda (Onyenwe et al. 2009). Infeksi cacing pada tikus yang belum
dewasa lebih banyak terinfeksi N. brassiliensis yaitu 67%. Hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan dan kompetisi dengan H. diminuta. Nippostrongilus
brassiliensis mampu bertahan pada tikus muda atau betina yang belum terinfeksi
berat oleh H. diminuta. Hymenolepis diminuta akan mendominasi penyerapan
makanan di dalam usus sehingga cacing lain tidak mampu berkompetisi.
14

Berdasarkan jenis kelamin, persentase infeksi pada Rattus norvegicus jantan


lebih tinggi daripada Rattus norvegicus betina. Persentase H. diminuta 100% pada
tikus jantan dengan rata-rata 39 cacing dan 50% pada tikus betina dengan rata-rata
2 cacing. Hal ini sejalan dengan penelitian Ahmad (2014) di Lahore, Pakistan
bahwa H. diminuta lebih banyak ditemukan pada tikus jantan (43.8%) daripada
betina (29.3%). Daya jelajah tikus jantan dari satu tempat ke tempat yang lain lebih
tinggi sehingga mempunyai peluang lebih besar terinfeksi dari inang antara (Ahmad
et al. 2014). Setyaningrum (2016) melaporkan hal yang berbeda yaitu tikus betina
lebih banyak terinfeksi karena berulangkali keluar untuk mencari makan pada saat
masa kebuntingan. Persentase tinggi juga dialami oleh Rattus tanezumi yaitu 40%
terinfeksi H. diminuta dengan rata-rata jumlah 3 cacing.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Cacing yang teridentifikasi pada Rattus norvegicus adalah Hymenolepis


diminuta, Nippostrongilus brassiliensis, Angiostrongylus cantonensis, dan
Strobilocercus. Cacing yang teridentifikasi pada Rattus tanezumi adalah
Hymenolepis diminuta. Gambaran infeksi pada kedua tikus tersebut yaitu pola
infeksi tunggal, jumlah cacing lebih banyak pada tikus dengan jenis kelamin jantan
dan berumur dewasa.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai deteksi penyakit zoonotik


pada manusia dan memberikan penyuluhan mengenai penyakit yang disebabkan
oleh tikus pada masyarakat sehingga menimbulkan kesadararan terhadap higene
dan sanitasi lingkungan. Selain itu, perlu dilakukan pengendalian tikus sebagai
reservoir penyakit dengan perbaikan sanitasi, higene, dan pengurangan populasi
tikus.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad MS, Maqbool A, Anjum AA, Ahmad N, Khan MR, Sultana R, Ali MA.
2014. Occurance of Hymenolepis diminuta in rats and mice captured from
urban localities of Lahore, Pakistan. J Anim Plant Sci. 24(2): 392–96.
Capinera J, Walden HS. 2016. Rat Lungworm Angiostrongylus cantonensis (Chen,
1935) (Nematoda: Strongylida: Metastrongylida). U.S. Department of
Agriculture. UF/IFAS Extension Service, University of Florida. Hal 1-4
15

Cowie RH. 2011. Biology: Taxonomy, Identification, and Life Cycle of


Angiostrongylus cantonensis. Hawaii (US): Pacific Biosciences Research
Center University of Hawaii.
Dewi K. 2011. Nematoda parasit pada tikus di desa Pakuli, Kec. Gumbara, Kab.
Donggala, Sulawesi Tengah. J Eko Kes. 10(1): 38 – 43
Estuningsih SE. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis
parasiter. Wartazoa. 19(2): 84-90.
Harley AJ, Parker JC. 1961. Size of adult Nippostrongylus brasiliensis from light
and heavy infections in laboratory. J of Parasitol. 47(3): 461-463.
Krinke GJ.2000. The Laboratory Rat. San Diego (CA): Academic Press: Hal 150-
152.
Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner : Yogyakarta (ID) : Gajah Mada
University Press.
Namue C, Wongsawad C. 1997. A survei of helminth infection in rats ( Rattus
Spp) from Chiang Mai Moat. J of Trofi Mci and Public Health. 28(1):
179-183
Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi. Biologi Parasit Hewan Edisi ke V.
Wardiarto, penerjemah; Yogyakarta (ID) : Gajah Mada University Press.
Onyenwe IW, Ihedioha JI, Ezeme RI. 2009. Prevalence of zoonotic helminths in
local house rats (Rattus rattus) in Nsukka, Eastern Nigeria. J Anim Rsch
Internation. 6(3): 1040–1044.
Pascal M, Siorat F, Lorvelec O, Yésou P, Simberloff D. 2005. A pleasing Norway
rat eradication consequence: two shrew species recover. J Diver and
Distribut. 11:193-198
[PKP] Pusat Karantina Pertanian. 1999. Petunjuk Teknis Teknik
Pengembangbiakan dan Penyimpanan Spesimen HPI/HPIK (Parasit,
Mikotik, Bakteri dan Virus). Hlm 5-23.
Priyambodo S. 2006. Tikus. Di dalam: Sigit SH dan Hadi UK, editor. Hama
Permukiman Indonesia Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Bogor (ID):
Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman. hlm 195 – 258.
Priyanto D, Rahmawati, Ningsih DP, Setiyani E. 2012. Identifikasi Tikus pada
Berbagai Habitat di Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara : Balai
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Banjarnegara.
Ristiyanto, Nurisa I. 2005. Penyakit bersumber rodensia (tikus dan mencit) di
Indonesia. J Eko Kes. 4(3): 308-319
Salibay CC, Luyon HA. 2008. Distribution of native and non native rats (Rattus
sp). Along an elevational gradient in a trophical rainforest of Southhern
Luzon, Philiphines. Ecotropica. 14: 129-136
16

Setyaningrum AD. 2016. Jenis tikus dan endoparasit cacing dalam usus tikus di
Pasar Rasamala Kelurahan Srondol Wetan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang. J Kes Mas. 4(3): 52-56
Sholichah Z. 2007. Mengenal jenis tikus. Balaba. 5(2): 18-19.
Supriyati D, Ustiawan A. 2013. Spesies tikus, cecurut dan pinjal yang ditemukan
di Pasar Kota Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara Tahun 2013. Balaba.
9(2): 39-46
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Anthropods, and Protozoa of Domesticated
Animals. Eds Seveb London (GB) : Bailiere-Tindall.
Suyanto, A. 2006. Rodent di Jawa. Bogor (ID) : LIPI.
Tutstsintaiyn R. 2013. Pemeriksaan cacing endoparasit pada tikus (rattus spp.) di
desa Citereup Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung Jawa Barat
2013. Balaba. 9(2):47-52
Widiastuti D, Astuti NT, Pramestuti N, Sari TF.2016. Infeksi cacing Hymenolepis
nana dan Hymenolepis diminuta pada tikus dan cecurut di area pemukiman
Kabupaten Banyumas. Vek Vol. 8(2): 81 – 90
17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Teran pada tanggal 09 Mei 1995 dari ayah
Benar Sitepu dan ibu Perobahen Br Ginting. Penulis adalah putra kedua dari lima
bersaudara. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
(SD) di SD 045955 Ujung Teran Deram selama 6 tahun. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Berastagi
selama 3 tahun. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMK Plus
Kesehatan Efarina. Tahun 2013 penulis lulus dari SMK Plus Kesehatan Efarina dan
pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan. Selama mengikuti perkuliahan aktif di Himpro Satwa liar divisi eksternal,
pada tahun 2016 penulis melakukan praktek lapang di Balai Besar Inseminasi
Buatan (BBIB) Singosari. Penulis juga pernah aktif dalam pelayanan PMK komisi
Diaspora.

Anda mungkin juga menyukai