Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Infestasi
Pinjal Kucing (Ctenocephalides felis) pada Manusia di Desa Cangkurawok
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Disetujui oleh
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Kajian dilaksanakan pada bulan
Oktober 2012 sampai Februari 2013 dengan judul Studi Kasus Infestasi Pinjal
Kucing (Ctenocephalides felis) pada Manusia di Desa Cangkurawok Kabupaten
Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Dr drh H Akhmad
Arif Amin selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing,
mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis selama penyusunan
skripsi ini. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada staf bagian
laboratorium parasitologi veteriner yang telah banyak membantu dalam studi
kasus ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada keluarga bapak Solihin
yang telah memberikan izin kajian kasus ini dilaksanakan di rumah beliau serta
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang sebesar-
besarnya disampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga serta teman-teman,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Pinjal 2
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Alat dan bahan 4
Metode penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Jumlah dan Jenis Pinjal yang Ditemukan 6
Ektoparasit yang Ditemukan pada Tikus di Dalam Rumah 7
Sebaran Frekuensi Serangan dan Reaksi Alergi pada Manusia 8
Lokasi Sekitar Serangan Pinjal 9
Pengendalian yang Dilakukan 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 11
LAMPIRAN 13
RIWAYAT HIDUP 13
DAFTAR TABEL
1 Spesimen pinjal hasil koleksi pada manusia 6
2 Ektoparasit yang ditemukan pada tikus didalam rumah 7
3 Sebaran frekuensi serangan pinjal pada manusia 8
DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi pinjal 3
2 Siklus hidup pinjal 4
3 Gambaran mikroskopis Ctenocephalides felis 7
4 Kunci identifikasi perbandingan C. felis dan C. canis 7
5 Serangan pinjal pada balita 8
6 Gambaran makroskopis flea allergic dermatitis pada anak 9
7 Lokasi serangan pinjal di sekitar tempat cuci 10
8 Sudut dapur dan kamar yang berbatas dengan dapur 10
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kunci identifikasi pemerian Wall dan Shearer 13
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pinjal
Klasifikasi
Pinjal termasuk ke dalam filum Arthropoda, kelas Insecta, dan ordo
Siphonaptera (Soviana dan Hadi 2006). Menurut Wall dan Shearer (2001) hanya
dua famili pinjal yang penting dalam dunia kedokteran hewan yaitu
Ceratophyllidae dan Pulicidae (Wall dan Shearer 2001). Famili Ceratophyllidae
merupakan famili besar yang terdiri dari 80 spesies parasit burung dan sekitar 420
spesies parasit hewan pengerat (Taylor et al. 2007). Adapun famili Pulicidae
memiliki beberapa genus penting, misalnya Ctenocephalides (pinjal kucing dan
anjing), Pulex (pinjal manusia) dan Xenopsylla (pinjal tikus) merupakan jenis-
jenis pinjal yang sering dijumpai sebagai ektoparasit utama serta menimbulkan
masalah di Indonesia (Hadi dan Soviana 2010).
Morfologi
Pinjal dewasa memiliki bentuk morfologi yang berbeda dengan serangga
lainnya yaitu berbentuk pipih bilateral (Bowman 2002). Ukuran tubuh dewasa
memiliki panjang 1 sampai 3 mm, berwarna kuning terang hingga coklat tua
(Zentko 2011) dan biasanya ukuran betina lebih besar dibandingkan jantan (Wall
dan Shearer 2001). Ektoparasit ini tidak bersayap tetapi memiliki tiga pasang
tungkai kaki yang panjang dan berkembang baik berfungsi untuk melompat
(Ballweber 2001).
Permukaan tubuh pinjal dilapisi khitin yang tebal untuk memudahkannya
bergerak pada rambut dan kulit inangnya (Urquhart 1996). Kepala pinjal
berukuran kecil dan memiliki lekuk dibelakang mata yang berfungsi menyimpan
antena bersegmen (Levine 1994). Pinjal memiliki mata sederhana di depan antena,
namun tidak semua jenis pinjal memilikinya (Urquhart 1996). Pinjal memiliki
mulut dengan struktur berlapis, yang terdiri dari sepasang maxillary lacinae
berfungsi untuk menusuk kulit inang. Bagian ventral mulut memiliki epiharynx
3
labrum yang berfungsi masuk ke kapiler inang dan mengalirkan darah inang ke
saluran pencernaan pinjal (Wall dan Shearer 2001).
Bagian toraks terdiri atas tiga segmen yaitu dikenal sebagai pronotum,
mesonotum, dan metanotum (metatoraks). Pada segmen terakhir, metatoraks
berkembang sangat baik untuk menunjang tungkai belakang sebagai pendorong
saat melompat. Di bagian atas mulut pada beberapa jenis pinjal terdapat sebaris
duri kuat berbentuk sisir yang disebut genal ctenidium, sedangkan di belakang
pronotum terdapat sebaris duri kuat lainnya yang disebut pronotal ctenidium
(Levine 1994). Duri-duri tersebut berguna untuk mengidentifikasi jenis pinjal
(Urquhart 1996). Abdomen pinjal terbagi menjadi sepuluh segmen. Tiga segmen
bagian terakhir telah termodifikasi. Pinjal betina mempunyai organ yang disebut
spermateka, berfungsi menyimpan sperma, dan berbentuk seperti kantung terletak
di antara segmen 6 sampai 8 (Hadi dan Soviana 2010). Pinjal jantan memiliki
organ penis berkhitin yang disebut aedeagus (Wall dan Shearer 2001). Secara
kesuluruhan morfologi tubuh pinjal terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen yang
dapat dilihat pada Gambar 1.
Siklus Hidup
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur, larva, pupa dan
dewasa. Pada kondisi optimal seluruh tahapan siklus tersebut bisa dicapai dalam
waktu 2 sampai 3 minggu (Hadi dan Soviana 2010). Namun, juga dapat berkisar
enam sampai 12 bulan apabila kondisi tidak ideal (Wall dan Shearer 2001).
Panjang waktu siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu
dan kelembaban saat tahap larva dan pupa (Urquhart et al. 1996).
Levine (1994) menyatakan pinjal betina bertelur 3 sampai 18 butir telur
setiap harinya. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang kemudian telur
tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan muncul setelah 2 sampai 6 hari
(Wall dan Shearer 2001).
Larva pinjal akan memakan sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan
kotoran pinjal dewasa (Levine 1994). Larva akan mengalami 2 sampai 3 kali
pergantian kulit instar menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21
hari (Gambar 2). Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan dan
kelembaban (Hadi dan Soviana 2010). Selanjutnya terbentuk kokon, pinjal
dewasa biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan yang
4
dihasilkan oleh inang. Pinjal dewasa akan segera mencari inang dan menghisap
darah inang untuk mempersiapkan reproduksi (Wall dan Shearer 2001).
METODE
.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah sampel pinjal, alkohol 70%,
minyak cengkeh, xylol, canada balsam, kapas, perangkap tikus, tempat
penampung sampel, senter, kamera digital, dan mikroskop.
5
Metode Penelitian
Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan mencocokan spesimen dalam bentuk
preparat kaca dibawah mikroskop dengan kunci identifikasi berupa pemerian
(Wall dan Shearer 2001) dan sketsa gambar (Urquhart 1996). Identifikasi ini
bertujuan untuk menetapkan spesies pinjal yang menyerang manusia tersebut.
Analisis data
Data hasil wawancara dan kajian lapang ditelaah hubungannya dengan
spesimen yang telah diidentifikasi, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sesuai
dengan teori yang mengacu pada sumber ilmiah.
6
pertama dibandingkan dengan duri keduanya. Duri pertama pada sisir gena
C.canis ukurannya lebih pendek dibandingkan duri kedua, sedangkan C. felis
memiliki ukuran duri pertama sisir gena hampir sama dengan duri kedua terlihat
pada Gambar 4 (Urquhart 1996).
Ixodes sp Caplak 4
Pinjal dikoleksi di sekitar tempat cuci dan dapur yang masih berlantai
tanah (Gambar 7). Suhu dalam rumah tersebut berkisar antara 24-26 ºC dengan
kelembaban berkisar antara 76-81%, kondisi ini menurut Rust dan Dryden (1997)
merupakan kondisi optimal bagi kehidupan pinjal yaitu pada suhu 25 ºC dengan
kelembaban 75-90%. Pada sudut dapur terdapat potongan bambu dan kayu
(Gambar 8), hal ini memungkinkan sebagai tempat persembunyian larva. Sesuai
dengan pendapat Levine (1994) larva dapat hidup pada sarang, tempat
persembuyian di lantai, tanah, reruntuhan gudang, kayu, bambu, dipadang-padang
rumput dan tempat sampah. Larva pinjal akan memakan sisa protein organik
seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa yang terdapat pada tempat-tempat
tersebut. Pinjal juga ditemukan pada kamar yang berbatas terbuka dengan dapur
(Gambar 9). Berdasarkan wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa
keluarga tersebut tidak memiliki interaksi langsung dengan kucing, hal ini
dikarenakan tidak ditemukan adanya kucing peliharaan disekitar rumah tersebut.
Penyebab utama terjadinya kasus serangan pinjal kucing pada keluarga ini diduga
berasal dari kucing liar, sesuai dengan pernyataan hasil wawancara bahwa satu
minggu sebelum kasus ini terjadi terlihat hadirnya kucing liar di depan rumah
mereka. Hal ini memungkinkan kucing liar tersebut menjatuhkan pinjal dewasa
maupun telur pinjal di depan rumah, kemudian terbawa masuk ke dalam rumah
sesuai pendapat Rust dan Dryden (1997) bahwa kucing liar sering melakukan
grooming sehingga dapat menjatuhkan pinjal dewasa maupun telurnya di lokasi
sekitar pemukiman. Pinjal yang telah kehilangan host alaminya dapat menghisap
darah pada host lain disekitarnya misalnya manusia (Shaw 2004 ; Lee 2006).
10
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adam AA, Saeed OM, Ibrahim HM, Malik HYE, Ahmed ME. 2012. D. caninum
Infection in a 41 Year Old sudanese man in Nyala, Sudan: the first reported
case in Sudan in 2006. Neel Med J. 6(2):37-42.
Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitologi. United States of America (US):
Butterworth–Heinemann.
Bitam I, Dittmar K, Parola P, Whitting MF, Raoult D. 2010. Fleas and Flea-Borne
Disease. Int J Infectious Diseases. 14:667-676.
Blagburn BL, Dryden MW. 2009. Biology, Treatment, and Control of Flea
Infestations. Vet Clin Small Anim. 39:1173-1200.
Bowman DD, Hendrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical
Parasitology. Ed k-1. Iowa (US): Iowa State Univ Pr.
Charlessworth. 2008. Life cycle of cat flea [Internet]. Wisconsin (US) [diunduh
2013 Mei 29]. Tersedia pada http//bioweb.uwlax.edu/bio210/ life_cycle.jpg.
Cheeseman MT, Bates PA, Crampton JM. 2001. Preliminary characterisation of
esterase and platelet-activating factor (PAF)-acetylhydrolase activities from
cat flea (Ctenocephalides felis) salivary glands. Insect Biochemistry. 31:
57-164.
Chin HC, Ahmad NW, Lim LH, Jeffery J, Hadi AA, Othman H, Omar B. 2010.
Infestation with the cat flea, Ctenocephalides felis felis (Siphonaptera:
Pulicidae) among students in Kuala Lumpur, Malaysia. Southeast Asian J
Trop Med. 41(6):1331-1334.
Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran veteriner : Hewan kecil. 2. Jakarta
(ID) : Pustaka Populer Obor.
Dwibadra. 2008. Tungau, Caplak, Kutu, dan Pinjal. Maj Fauna Indonesia.
8(2):29-33.
12
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP