Anda di halaman 1dari 24

STUDI KASUS INFESTASI

PINJAL KUCING (Ctenocephalides felis) PADA MANUSIA


DI DESA CANGKURAWOK KABUPATEN BOGOR

JONI PRASETYA SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Infestasi
Pinjal Kucing (Ctenocephalides felis) pada Manusia di Desa Cangkurawok
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013

Joni Prasetya Saputra


NIM B04090020
ABSTRAK

JONI PRASETYA SAPUTRA. Studi Kasus Infestasi Pinjal Kucing


(Ctenocephalides felis) pada Manusia di Desa Cangkurawok Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN.

Studi kasus ini melaporkan terjadinya infestasi pinjal kucing


(Ctenocephalides felis) pada manusia dibulan Oktober 2012. Pinjal menyerang
lima anggota keluarga yang tinggal pada sebuah rumah di Desa Cangkurawok
Kabupaten Bogor. Gangguan klinis hanya tampak pada tiga orang anak berupa
rasa gatal yang hebat setelah terjadinya gigitan pinjal dan berujung dengan ruam
makulopapular pada lokasi tersebut. Reaksi alergi yang terjadi merupakan reaksi
hipersensitifitas akibat gigitan pinjal (flea allergic dermatitis). Wawancara yang
dilakukan mengungkap hadirnya kucing liar di depan rumah mereka satu minggu
sebelum kasus ini terjadi. Pinjal dikoleksi secara manual dengan menggunakan
kain lap atau kapas yang telah dibasahi alkohol pada daerah kaki, tangan, maupun
leher yang sedang digigit. Berdasarkan identifikasi mikroskopis dipastikan bahwa
pinjal tersebut adalah pinjal kucing. Temuan ini mengindikasikan manusia dapat
menjadi inang asidental bagi pinjal kucing yang kehilangan inang alaminya.
Akhirnya studi kasus ini menunjukkan bahwa pinjal tidak memiliki inang khusus,
sehingga pinjal dapat menjadi hama bagi pemukiman.

Kata kunci: Ctenocephalides felis, flea allergic dermatitis, kucing liar.

ABSTRACT

JONI PRASETYA SAPUTRA. Case Study of Cat Flea Infestation


(Ctenocephalides felis) Among People in Cangkurawok Village Bogor Regency.
Supervised by AKHMAD ARIF AMIN.

This case study reports cat flea infestations (Ctenocephalides felis) in


humans on October 2012. Fleas attacked five members of a family who lived in
Cangkurawok village Bogor regency. Clinical disorders appeared only in three
children, all of them suffered from severe itching after flea bites then led to a
maculopapular rash on the site. Allergic reaction that occured was hypersensitivity
due to flea bites (flea allergic dermatitis). Interview revealed the presence of stray
cat in front of their home, one week before this case happened. Fleas were
collected manually by using cloth or cotton that had been soaked with alcohol on
the toe, hands, and neck being bitten. Microscopic identification confirmed that
the flea is cat flea (C. felis). This finding indicates that humans could be
accidental host for cat fleas which lose its natural host. Finally this result showed
that fleas do not have specific host and could be residential pest.

Keyword: Ctenocephalides felis, flea allergic dermatitis, stray cat


STUDI KASUS INFESTASI
PINJAL KUCING (Ctenocephalides felis) PADA MANUSIA
DI DESA CANGKURAWOK KABUPATEN BOGOR

JONI PRASETYA SAPUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Studi Kasus Infestasi Pinjal Kucing (Ctenocephalidesfelis)
pada Manusia di Desa Cangkurawok Kabupaten Bogor.
Nama : Joni Prasetya Saputra
NIM : B04090020

Disetujui oleh

Dr drh Akhmad Arif Amin


Pembimbing

Tanggal Lulus: 2 4 OCT 20/j


Judul Skripsi : Studi Kasus Infestasi Pinjal Kucing (Ctenocephalides felis)
pada Manusia di Desa Cangkurawok Kabupaten Bogor.
Nama : Joni Prasetya Saputra
NIM : B04090020

Disetujui oleh

Dr drh Akhmad Arif Amin


Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Kajian dilaksanakan pada bulan
Oktober 2012 sampai Februari 2013 dengan judul Studi Kasus Infestasi Pinjal
Kucing (Ctenocephalides felis) pada Manusia di Desa Cangkurawok Kabupaten
Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Dr drh H Akhmad
Arif Amin selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing,
mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis selama penyusunan
skripsi ini. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada staf bagian
laboratorium parasitologi veteriner yang telah banyak membantu dalam studi
kasus ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada keluarga bapak Solihin
yang telah memberikan izin kajian kasus ini dilaksanakan di rumah beliau serta
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang sebesar-
besarnya disampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga serta teman-teman,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

Joni Prasetya Saputra


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Pinjal 2
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Alat dan bahan 4
Metode penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Jumlah dan Jenis Pinjal yang Ditemukan 6
Ektoparasit yang Ditemukan pada Tikus di Dalam Rumah 7
Sebaran Frekuensi Serangan dan Reaksi Alergi pada Manusia 8
Lokasi Sekitar Serangan Pinjal 9
Pengendalian yang Dilakukan 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 11
LAMPIRAN 13
RIWAYAT HIDUP 13
DAFTAR TABEL
1 Spesimen pinjal hasil koleksi pada manusia 6
2 Ektoparasit yang ditemukan pada tikus didalam rumah 7
3 Sebaran frekuensi serangan pinjal pada manusia 8

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi pinjal 3
2 Siklus hidup pinjal 4
3 Gambaran mikroskopis Ctenocephalides felis 7
4 Kunci identifikasi perbandingan C. felis dan C. canis 7
5 Serangan pinjal pada balita 8
6 Gambaran makroskopis flea allergic dermatitis pada anak 9
7 Lokasi serangan pinjal di sekitar tempat cuci 10
8 Sudut dapur dan kamar yang berbatas dengan dapur 10

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kunci identifikasi pemerian Wall dan Shearer 13
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena parasitisme dalam konsep ekologi menggambarkan hubungan


antara dua organisme, salah satu organisme tersebut merugikan yang lain sehingga
dapat menimbulkan gejala-gejala sakit (Levine 1994). Berdasarkan tempat
manifestasinya, parasit dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit.
Ektoparasit merupakan parasit yang terdapat di permukaan luar tubuh inang
misalnya di rambut, kepala atau di sekitar inangnya (Dwibadra 2008). Infestasi
ektoparasit dapat menyebabkan dampak yang sangat luas, tidak hanya berdampak
negatif bagi inang tetapi juga dapat menimbulkan masalah pada lingkungan.
Ektoparasit banyak dijumpai di Indonesia karena wilayah ini memiliki kondisi
iklim dan kelembaban yang menunjang kehidupan ektoparasit sepanjang tahun
(Dharmojono 2001).
Ektoparasit yang dapat menimbulkan dampak luas contohnya adalah pinjal
karena pinjal tidak memiliki inang yang spesifik, sehingga dapat berpindah pada
inang lain. Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit yang bersifat
fakultatif, yaitu hanya berada pada permukaan tubuh inang saat membutuhkan
makanan. Pinjal termasuk ke dalam kelas Insecta (serangga) dan ordo
Siphonaptera. Inang dari serangga ini diantaranya adalah kucing, anjing, tikus,
unggas, kelelawar dan hewan berkantung. Beberapa pinjal utama yang sering
menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans, Ctenocephalides felis,
Ctenocephalides canis, dan Xenopsylla cheopis (Hadi dan Soviana 2010).
Pinjal dapat mengganggu kehidupan hewan dan manusia baik secara
langsung maupun tak langsung. Mengingat pinjal dapat memiliki alternatif inang,
oleh karena itu keberadaan pinjal di sekitar pemukiman dapat mengganggu
kehidupan. Manusia sebagai inang asidental dapat menjadi sasaran gigitan pinjal.
Dari beberapa kasus yang pernah ditemui, serangan pinjal ke manusia dapat
terjadi akibat manusia menempati rumah yang telah lama kosong, tidak terawat,
dan menjadi sarang kucing (Soviana dan Hadi 2006).
Kepentingan mempelajari pinjal dalam bidang kedokteran hewan tidak
hanya karena dampaknya terhadap hewan, tetapi juga karena peranannya dalam
kesehatan manusia. Gangguan yang ditimbulkan pinjal secara langsung berupa
gigitan pada inangnya. Gigitan pinjal dapat mengakibatkan flea allergic
dermatitis, contohnya terjadi kasus infestasi C. felis pada enam mahasiswa laki-
laki di Kuala Lumpur dengan gejala klinis pruritus dan maculopapular rashes
(Chin et al. 2010). Dampak tidak langsung dari gigitan pinjal adalah perannya
sebagai vektor penyakit plague (Eisen et al. 2008). Penyakit lain yang dapat
ditularkan oleh pinjal adalah kecacingan pada manusia karena pinjal merupakan
inang antara cacing pita D. caninum (Ballweber 2001). Kasus Dipylidiasis
melalui transmisi oral telah dilaporkan Adam et al. (2012) pada laki-laki 41 tahun
di Sudan. Studi kasus ini melaporkan terjadinya kasus luar biasa infestasi pinjal
kucing pada manusia. Hasil dari studi kasus ini diharapkan memberikan gambaran
umum serangan pinjal kucing pada manusia sebagai dampak luas interaksi hewan
dan manusia di pemukiman.
2

Tujuan Penelitian

Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis pinjal dan


mengetahui penyebab serangan pinjal pada manusia beserta dampaknya sehingga
dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian dengan tepat.

Manfaat Penelitian

Kajian ini diharapkan bisa memberikan informasi yang dapat dijadikan


sumber acuan pencegahan dan penanganan jika timbul kasus serupa dikemudian
hari.

TINJAUAN PUSTAKA

Pinjal

Klasifikasi
Pinjal termasuk ke dalam filum Arthropoda, kelas Insecta, dan ordo
Siphonaptera (Soviana dan Hadi 2006). Menurut Wall dan Shearer (2001) hanya
dua famili pinjal yang penting dalam dunia kedokteran hewan yaitu
Ceratophyllidae dan Pulicidae (Wall dan Shearer 2001). Famili Ceratophyllidae
merupakan famili besar yang terdiri dari 80 spesies parasit burung dan sekitar 420
spesies parasit hewan pengerat (Taylor et al. 2007). Adapun famili Pulicidae
memiliki beberapa genus penting, misalnya Ctenocephalides (pinjal kucing dan
anjing), Pulex (pinjal manusia) dan Xenopsylla (pinjal tikus) merupakan jenis-
jenis pinjal yang sering dijumpai sebagai ektoparasit utama serta menimbulkan
masalah di Indonesia (Hadi dan Soviana 2010).

Morfologi
Pinjal dewasa memiliki bentuk morfologi yang berbeda dengan serangga
lainnya yaitu berbentuk pipih bilateral (Bowman 2002). Ukuran tubuh dewasa
memiliki panjang 1 sampai 3 mm, berwarna kuning terang hingga coklat tua
(Zentko 2011) dan biasanya ukuran betina lebih besar dibandingkan jantan (Wall
dan Shearer 2001). Ektoparasit ini tidak bersayap tetapi memiliki tiga pasang
tungkai kaki yang panjang dan berkembang baik berfungsi untuk melompat
(Ballweber 2001).
Permukaan tubuh pinjal dilapisi khitin yang tebal untuk memudahkannya
bergerak pada rambut dan kulit inangnya (Urquhart 1996). Kepala pinjal
berukuran kecil dan memiliki lekuk dibelakang mata yang berfungsi menyimpan
antena bersegmen (Levine 1994). Pinjal memiliki mata sederhana di depan antena,
namun tidak semua jenis pinjal memilikinya (Urquhart 1996). Pinjal memiliki
mulut dengan struktur berlapis, yang terdiri dari sepasang maxillary lacinae
berfungsi untuk menusuk kulit inang. Bagian ventral mulut memiliki epiharynx
3

labrum yang berfungsi masuk ke kapiler inang dan mengalirkan darah inang ke
saluran pencernaan pinjal (Wall dan Shearer 2001).
Bagian toraks terdiri atas tiga segmen yaitu dikenal sebagai pronotum,
mesonotum, dan metanotum (metatoraks). Pada segmen terakhir, metatoraks
berkembang sangat baik untuk menunjang tungkai belakang sebagai pendorong
saat melompat. Di bagian atas mulut pada beberapa jenis pinjal terdapat sebaris
duri kuat berbentuk sisir yang disebut genal ctenidium, sedangkan di belakang
pronotum terdapat sebaris duri kuat lainnya yang disebut pronotal ctenidium
(Levine 1994). Duri-duri tersebut berguna untuk mengidentifikasi jenis pinjal
(Urquhart 1996). Abdomen pinjal terbagi menjadi sepuluh segmen. Tiga segmen
bagian terakhir telah termodifikasi. Pinjal betina mempunyai organ yang disebut
spermateka, berfungsi menyimpan sperma, dan berbentuk seperti kantung terletak
di antara segmen 6 sampai 8 (Hadi dan Soviana 2010). Pinjal jantan memiliki
organ penis berkhitin yang disebut aedeagus (Wall dan Shearer 2001). Secara
kesuluruhan morfologi tubuh pinjal terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen yang
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 morfologi pinjal (Wall dan Shearer 2001).

Siklus Hidup
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur, larva, pupa dan
dewasa. Pada kondisi optimal seluruh tahapan siklus tersebut bisa dicapai dalam
waktu 2 sampai 3 minggu (Hadi dan Soviana 2010). Namun, juga dapat berkisar
enam sampai 12 bulan apabila kondisi tidak ideal (Wall dan Shearer 2001).
Panjang waktu siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu
dan kelembaban saat tahap larva dan pupa (Urquhart et al. 1996).
Levine (1994) menyatakan pinjal betina bertelur 3 sampai 18 butir telur
setiap harinya. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang kemudian telur
tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan muncul setelah 2 sampai 6 hari
(Wall dan Shearer 2001).
Larva pinjal akan memakan sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan
kotoran pinjal dewasa (Levine 1994). Larva akan mengalami 2 sampai 3 kali
pergantian kulit instar menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21
hari (Gambar 2). Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan dan
kelembaban (Hadi dan Soviana 2010). Selanjutnya terbentuk kokon, pinjal
dewasa biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan yang
4

dihasilkan oleh inang. Pinjal dewasa akan segera mencari inang dan menghisap
darah inang untuk mempersiapkan reproduksi (Wall dan Shearer 2001).

Gambar 2 Siklus hidup pinjal (Charlessworth 2008).

Permasalahan Akibat Infestasi Pinjal


Gangguan pinjal secara langsung adalah gigitan pada inangnya. Efek
gigitan pinjal bergantung pada kepekaan korbannya. Ektoparasit ini menghisap
darah inangnya, sehingga dalam tingkat parah dapat menyebabkan anemia. Pinjal
juga menyuntikan saliva saat menghisap darah sehingga mengiritasi inangnya.
Reaksi hipersensitif tersebut dikenal sebagai Flea Alergic Dermatitis yang
disebabkan oleh saliva pinjal (Cheeseman 2001). Selain gangguan langsung,
pinjal juga berperan dalam penularan beberapa penyakit berbahaya bagi manusia
dan hewan secara tidak langsung. Misalnya beberapa pinjal berperan sebagai
inang antara cacing pita, selain itu juga sebagai vektor virus dan bakteri (Wall dan
Shearer 2001).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Studi kasus ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 di desa


Cangkurawok, Dramaga, Bogor dan identifikasi dilakukan di Laboratorium
Ektoparasit, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

.
Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah sampel pinjal, alkohol 70%,
minyak cengkeh, xylol, canada balsam, kapas, perangkap tikus, tempat
penampung sampel, senter, kamera digital, dan mikroskop.
5

Metode Penelitian

Pengambilan sampel pinjal pada manusia


Sampel pinjal diperoleh dari sebuah keluarga yang terkena serangan pinjal.
Sampel diambil selama serangan berlangsung yaitu 5 kali dalam waktu satu
minggu setiap pagi hari (05.30) dan sore hari (18.00), sesuai dengan laporan dari
korban. Pinjal dikoleksi secara manual menggunakan tangan, dengan bantuan kain
lap atau kapas yang telah dibasahi alkohol. Setelah itu dimasukkan ke dalam botol
koleksi yang berisi larutan alkohol 70-80%.

Koleksi tikus yang ada dalam rumah


Tikus yang ada di dalam rumah diambil sebanyak 1 ekor, kemudian
dilakukan pengkoleksian ektoparasit dengan cara menyisir rambutnya. Ektoparasit
yang didapatkan selanjutnya diidentifikasi di bawah mikroskop.

Wawancara dan kajian lapangan


Wawancara dan kajian lapangan dilakukan untuk mengetahui kebiasaan
keluarga yang terinfestasi pinjal dan mengetahui intensitas interaksi dengan
hewan yang dapat menjadi inang pinjal. Selain itu juga untuk mengetahui
gangguan atau dampak yang ditimbulkan serta penanganan yang dilakukan.

Preservasi spesimen dalam bentuk preparat kaca


Sebelum sampel diidentifikasi dilakukan pengawetan dalam bentuk preparat
kaca. Pertama pinjal yang telah dikoleksi dimasukan ke dalam KOH 10% pada
suhu kamar selama 4 sampai 5 hari untuk menipiskan lapisan khitin. Penipisan
khitin dapat dipercepat dengan pemanasan. Kemudian dilakukan pencucian
dengan air sebanyak 3 sampai 4 kali bilasan. Selanjutnya dilakukan dehidratasi
dengan alkohol konsentrasi bertingkat yaitu 70%, 85% dan 95% masing-masing
10 menit. Pinjal yang telah terdehidratasi direndam dalam minyak cengkeh selama
15 sampai 30 menit dengan tujuan pelemasan. Pinjal yang telah lemas dicuci
dengan xylol 2 sampai 3 kali agar jernih.
Pinjal yang telah diproses diletakkan di atas object glass yang telah ditetesi
1 sampai 2 tetes Canada balsam sebagai perekat. Object glass ditutup dengan
cover glass selanjutnya dikeringkan dalam slide warmer dengan suhu 37 sampai
40 °C selama 4 sampai 5 hari.

Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan mencocokan spesimen dalam bentuk
preparat kaca dibawah mikroskop dengan kunci identifikasi berupa pemerian
(Wall dan Shearer 2001) dan sketsa gambar (Urquhart 1996). Identifikasi ini
bertujuan untuk menetapkan spesies pinjal yang menyerang manusia tersebut.

Analisis data
Data hasil wawancara dan kajian lapang ditelaah hubungannya dengan
spesimen yang telah diidentifikasi, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sesuai
dengan teori yang mengacu pada sumber ilmiah.
6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah dan Jenis Pinjal yang Ditemukan

Jumlah pinjal yang berhasil dikoleksi selama serangan berlangsung


sebanyak 31 ekor (Tabel 1). Pengambilan pinjal tidak dilakukan setiap hari karena
bergantung pada laporan keluarga yang diserang. Waktu koleksi spesimen
dilakukan pada pagi hari (05.30) dan sore hari (18.00) disaat aktivitas gigitan
pinjal sedang berlangsung, namun terdapat satu kali pengambilan diluar waktu
normal yaitu pada siang hari (12.00) sesuai dengan laporan korban. Pinjal
ditemukan paling banyak pada pagi hari (05.30) di dalam rumah yaitu sebanyak
20 ekor. Hal ini dapat disebabkan karena pinjal mendeteksi inangnya secara
visual, sesuai pendapat Blagburn dan Dryden (2008) bahwa pinjal menyerang
inangnya pada saat intensitas cahaya rendah. Selain itu pada pagi hari suhu udara
lebih rendah hal ini memudahkan pinjal untuk mendeteksi inangnya (Rust dan
Dryden 1997).

Tabel 1 Spesimen pinjal hasil koleksi pada manusia


Pengambilan Waktu Lokasi Bagian Jumlah Jenis
ke yang (ekor) Pinjal
digigit

Sore Dalam rumah Kaki 8 C. felis


1
hari

Siang Luar rumah Leher 1 C. felis


2
hari

3 Pagi Dalam rumah Kaki 15 C. felis


hari

4 Pagi Dalam rumah Kaki 5 C. felis


hari

5 Sore Dalam rumah Tangan 2 C. felis


hari
JUMLAH 31

Hasil pengamatan dibawah mikroskop dicocokan dengan kunci identifikasi


berupa pemerian dari Wall dan Shearer (2001) menunjukkan bahwa seluruh pinjal
yang dikoleksi merupakan jenis Ctenocephalides sp., hal ini karena spesimen
tersebut memiliki ciri khusus yang dapat digunakan sebagai pembeda dengan
pinjal jenis lain yaitu memiliki pronotal ctenidium dan genal ctenidium (Gambar
3). Selanjutnya untuk membedakan genus C. felis dan C. canis adalah berdasarkan
bentuk kepalanya, C. canis memiliki kepala yang lebih cembung, sedangkan C.
felis memiliki kepala yang lebih datar (Wall dan Shearer 2001). Selain itu untuk
memastikan spesimen pinjal yang dikoleksi adalah C. felis dilihat ukuran duri
7

pertama dibandingkan dengan duri keduanya. Duri pertama pada sisir gena
C.canis ukurannya lebih pendek dibandingkan duri kedua, sedangkan C. felis
memiliki ukuran duri pertama sisir gena hampir sama dengan duri kedua terlihat
pada Gambar 4 (Urquhart 1996).

Gambar 3 Gambaran mikroskopis Ctenocephalides felis.


(10 x).

Gambar 4 Kunci identifikasi perbandingan C. felis dan C. canis (Urquhart 1996).

Ektoparasit yang Terdapat pada Tikus di Dalam Rumah

Pemeriksaan ektoparasit yang dilakukan pada tikus di dalam rumah tersebut


menunjukkan tidak ditemukan adanya pinjal jenis Ctenocephalides felis (Tabel 2),
hal ini membuktikan bahwa C. felis yang menyerang keluarga tersebut berasal
dari luar rumah.

Tabel 2 Ektoparasit yang ditemukan pada tikus dalam rumah.


Spesies Jenis Jumlah
yang ditemukan

Ixodes sp Caplak 4

Xenopsylla sp Pinjal Tikus 6


8

Sebaran Frekuensi Serangan dan Reaksi Alergi pada Manusia

Pinjal diketahui menyerang anggota keluarga tersebut sebanyak 5 kali


(Tabel 3), dalam pengamatan yang dilakukan satu minggu selama serangan
berlangsung. Frekuensi serangan terbanyak adalah pada anak dan dewasa yaitu
masing-masing 2 kali serangan. Sedangkan serangan pada balita diketahui hanya
satu kali pada siang hari di daerah sekitar telinga (Gambar 5). Anak-anak dan
orang dewasa memiliki aktivitas yang tinggi sehingga dapat memicu pinjal untuk
menggigit mereka, sesuai dengan pendapat Bitam (2010) bahwa munculnya
serangan pinjal dapat dipicu oleh berbagai rangsangan yang dihasilkan oleh inang.
Pinjal akan terpicu melompat jika terjadi perubahan gerak, temperatur, atau kadar
karbon dioksida disekitarnya (Zentko 2011).

Tabel 3 Sebaran frekuensi serangan pinjal pada manusia


Tingkatan Frekuensi
Umur Serangan
Balita 1
Anak 2
Dewasa 2
Total 5

Gambar 5 Serangan pinjal pada balita.

Gejala klinis hanya terlihat pada anak-anak dalam keluarga tersebut


(Gambar 6), hal ini disebabkan anak-anak memiliki kepekaan yang lebih tinggi
dibandingkan orang dewasa. Sesuai pendapat Service (2008) bahwa timbulnya
reaksi alergi bergantung pada kepekaan masing-masing individu .Gangguan yang
terjadi berupa rasa gatal yang hebat dan berujung dengan ruam berwarna merah
disekitar bagian yang digigit. Rasa gatal yang terjadi dikenal sebagai pruritus
(Leelavathi 2012) hingga berujung timbulnya ruam merah yang dikenal dengan
bentuk maculopapular rashes (Noorhayati 2002).
9

Gambar 6 Gambaran makroskopis flea allergic dermatitis pada anak (kiri)


dan kanan gambar referensi (Chin 2010).

Lokasi Sekitar Serangan Pinjal

Pinjal dikoleksi di sekitar tempat cuci dan dapur yang masih berlantai
tanah (Gambar 7). Suhu dalam rumah tersebut berkisar antara 24-26 ºC dengan
kelembaban berkisar antara 76-81%, kondisi ini menurut Rust dan Dryden (1997)
merupakan kondisi optimal bagi kehidupan pinjal yaitu pada suhu 25 ºC dengan
kelembaban 75-90%. Pada sudut dapur terdapat potongan bambu dan kayu
(Gambar 8), hal ini memungkinkan sebagai tempat persembunyian larva. Sesuai
dengan pendapat Levine (1994) larva dapat hidup pada sarang, tempat
persembuyian di lantai, tanah, reruntuhan gudang, kayu, bambu, dipadang-padang
rumput dan tempat sampah. Larva pinjal akan memakan sisa protein organik
seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa yang terdapat pada tempat-tempat
tersebut. Pinjal juga ditemukan pada kamar yang berbatas terbuka dengan dapur
(Gambar 9). Berdasarkan wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa
keluarga tersebut tidak memiliki interaksi langsung dengan kucing, hal ini
dikarenakan tidak ditemukan adanya kucing peliharaan disekitar rumah tersebut.
Penyebab utama terjadinya kasus serangan pinjal kucing pada keluarga ini diduga
berasal dari kucing liar, sesuai dengan pernyataan hasil wawancara bahwa satu
minggu sebelum kasus ini terjadi terlihat hadirnya kucing liar di depan rumah
mereka. Hal ini memungkinkan kucing liar tersebut menjatuhkan pinjal dewasa
maupun telur pinjal di depan rumah, kemudian terbawa masuk ke dalam rumah
sesuai pendapat Rust dan Dryden (1997) bahwa kucing liar sering melakukan
grooming sehingga dapat menjatuhkan pinjal dewasa maupun telurnya di lokasi
sekitar pemukiman. Pinjal yang telah kehilangan host alaminya dapat menghisap
darah pada host lain disekitarnya misalnya manusia (Shaw 2004 ; Lee 2006).
10

Gambar 7 Lokasi serangan pinjal di sekitar tempat cuci.

Gambar 8 Sudut dapur dan kamar yang berbatas dengan dapur.

Pengendalian yang Dilakukan

Kasus berakhir setelah satu minggu serangan berlangsung, ditunjukkan


dengan tidak ditemukan lagi adanya pinjal yang menyerang. Hal ini dapat terjadi
karena telur pinjal yang terjatuh di depan rumah mereka telah menetas seluruhnya
menjadi dewasa, sebagian pinjal dewasa yang menyerang keluarga tersebut telah
dikoleksi dan sebagian menyebar mencari inang lainnya. Pinjal dewasa dapat
bertelur di dalam rumah, serangan terjadi saat telur-telur tersebut menetas, waktu
yang dibutuhkan telur menjadi dewasa dalam kasus ini diduga sekitar 2 minggu.
Siklus yang telah berakhir diikuti dengan pengendalian yang tepat dapat
menghentikan serangan pinjal pada manusia. Hal ini sesuai pendapat Ballweber
(2001) bahwa siklus hidup pinjal sedikitnya membutuhkan waktu 2-3 minggu
dalam kondisi optimal. Pengendalian secara kimiawi telah dilakukan keluarga
tersebut dengan cara menyemprotkan insektisida yang mengandung propoxur
(Baygon®), keseluruh area rumah yang diduga menjadi tempat persembunyian
pinjal. Propoxur termasuk kedalam insektisida golongan karbamat (Hadi dan
Soviana 2010). Setelah pemberian propoxur selama satu minggu, serangan pinjal
tidak ditemukan lagi. Menurut Blagburn dan Dryden (2009) karbamat merupakan
salah satu insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan pinjal. Untuk
mencegah serangan pada manusia dapat digunakan repelan seperti dietiltoluamide
atau benzilbenzoat (Soviana dan Hadi 2006). Pengendalian secara mekanik atau
fisik dilakukan dengan membersihkan karpet, celah lantai, dan seluruh daerah di
dalam rumah yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva, dan pupa pinjal
yang ada (Zentko 2011).
11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pinjal yang dikoleksi menunjukkan morfologi spesies Ctenocephalides felis


(pinjal kucing). Serangan yang terjadi pada keluarga ini disebabkan karena
manusia dapat berperan sebagai inang asidental dari pinjal yang diketahui tidak
memiliki inang khusus. Berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan disimpulkan
bahwa penyebab serangan ini adalah hadirnya kucing liar yang dapat menjatuhkan
pinjal dewasa, telur pinjal, maupun larva pinjal di depan rumah tersebut.

Saran

Pengaturan interaksi yang baik antara manusia dan hewan serta


pengendalian mekanik berupa pembersihan area rumah yang rutin harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya kasus serupa dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Adam AA, Saeed OM, Ibrahim HM, Malik HYE, Ahmed ME. 2012. D. caninum
Infection in a 41 Year Old sudanese man in Nyala, Sudan: the first reported
case in Sudan in 2006. Neel Med J. 6(2):37-42.
Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitologi. United States of America (US):
Butterworth–Heinemann.
Bitam I, Dittmar K, Parola P, Whitting MF, Raoult D. 2010. Fleas and Flea-Borne
Disease. Int J Infectious Diseases. 14:667-676.
Blagburn BL, Dryden MW. 2009. Biology, Treatment, and Control of Flea
Infestations. Vet Clin Small Anim. 39:1173-1200.
Bowman DD, Hendrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical
Parasitology. Ed k-1. Iowa (US): Iowa State Univ Pr.
Charlessworth. 2008. Life cycle of cat flea [Internet]. Wisconsin (US) [diunduh
2013 Mei 29]. Tersedia pada http//bioweb.uwlax.edu/bio210/ life_cycle.jpg.
Cheeseman MT, Bates PA, Crampton JM. 2001. Preliminary characterisation of
esterase and platelet-activating factor (PAF)-acetylhydrolase activities from
cat flea (Ctenocephalides felis) salivary glands. Insect Biochemistry. 31:
57-164.
Chin HC, Ahmad NW, Lim LH, Jeffery J, Hadi AA, Othman H, Omar B. 2010.
Infestation with the cat flea, Ctenocephalides felis felis (Siphonaptera:
Pulicidae) among students in Kuala Lumpur, Malaysia. Southeast Asian J
Trop Med. 41(6):1331-1334.
Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran veteriner : Hewan kecil. 2. Jakarta
(ID) : Pustaka Populer Obor.
Dwibadra. 2008. Tungau, Caplak, Kutu, dan Pinjal. Maj Fauna Indonesia.
8(2):29-33.
12

Eisen RJ et al. 2008. Early-phase transmission of Yersinia pestis by cat fleas


(Ctenocephalides felis) and their potential role as vectors in a plague-
endemic region of Uganda. Am J Trop Med Hyg. 78(6): 949–956.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.
Lee, HL, Krishnasamy M, Jeffery J, Paramasvaran S. 2006. Notes on some
ectoparasites received by the medical entomology unit, Institute for medical
research. Trop Biomed J. 23(2):1331-1334
Leelavathi M, Moktar N, Lee YY. 2012. Cat Flea Infestation in a Hospital: A
Case Report. Korean J Parasitol. 50(1):79-82.
Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah; Wardiarto,
editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari Parasitologi Veteriner.
Noorhayati MI, Jeffery J, Anisah N, Yusuf S. 2002. Maculopapular rashes caused
by cat flea bites in university student. Trop Biomed J. 19:131-4.
Rust Mk, Dryden MW. 1997. The biology, ecology, and management of the cat
flea. Annu rev entomol. 42:451-73.
Service M. 2008. Medical entomology for student. Ed 14. Cambridge (UK):
cambridge University Pr.
Shaw SE, Kenny S,Tasker S, Brtles RJ. 2004. Pathogen carriage by cat flea in
United kingdom. Vet Microbiol J. 102:183-188.
Soviana S, Hadi UK. 2006. Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi dan
Pengendalian. Sigit SH, Hadi UK, editor. Bogor (ID): IPB Pr.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed k-3. Australia
(AU): Blackwell scientific.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary
Parasitology. Ed 2. Scotland (UK): Blackwell scientific.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology and
Control. Ed 2. Iowa (US) : Iowa State Univ Pr.
Zentko DC. 2011. Cat Flea, Ctenocephalides felis felis (Bouché) [Internet].Florida
(US) [diunduh 2013 Juni 3]. Tersedia pada http//edfl.ifs.edu/ifas/ vector.
13

LAMPIRAN

Kunci identifikasi Wall dan Shearer (2011)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 3 Juni 1991 dari bapak


Musa dan ibu Sri Umi R. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 20 Pemecutan lulus tahun 2003,
dilanjutkan ke SMPN 1 Grogol lulus tahun 2006, selanjutnya masa SMA penulis
diselesaikan di SMA Negeri 7 Kediri dan lulus pada tahun 2009 dan melanjutkan
kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti
organisasi UKM Pramuka IPB, BEM FKH IPB, anggota Himpunan Minat dan
Profesi Satwaliar, dan LS STERIL.

Anda mungkin juga menyukai