Oleh:
Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara
16/408417/KH/09217
YOGYAKARTA
2021
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK
INFEKSI Bordetella bronchiseptica dan INFESTASI Sarcoptes scabiei PADA
KELINCI (Oryctolagus cuniculus)
Oleh:
2021
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
PENDAHULUAN................................................................................................... 3
Tujuan .............................................................................................................. 3
Manfaat ............................................................................................................ 3
KAJIAN MIKROBIOLOGI................................................................................... 9
PEMBAHASAN .................................................................................................. 17
Kesimpulan .................................................................................................... 20
Saran .............................................................................................................. 20
LAMPIRAN .......................................................................................................... 24
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui, menganalisa dan
mendiagnosa penyebab penyakit pada kelinci melalui pemeriksaan patologi,
mikrobiologi, parasitologi, dan patologi klinik.
Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik pada kelinci adalah sebagai pembelajaran
dan informasi kepada pembaca terutama peternak mengenai agen penyebab
penyakit dan dampak yang dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan pengobatan.
3
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Kelinci menderita alopesia dan luka gores di telinga, bibir, hidung, daerah
kepala dan leher. Pemilik melaporkan bahwa kelinci mengalami penurunan nafsu
makan sehingga kelinci mengalami anoreksia. Rambut kelinci kusam dan kasar,
demam. Kelinci juga mengalami gangguan di sistem pernapasan yaitu kelinci pilek
dan hidung berair.
Kulit
Pada perubahan makroskopik terdapat alopesia dan hiperkeratosis dan kulit
menebal. Sementara pada perubahan mikrokopik terjadi Penebalan stratum
korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes
scabiei dalam epidermis.
Gambar 1. Kelinci yang mengalami penebalan kulit dan terdapat krusta pada telinga akibat tungau
Sarcoptes scabiei (Prakash dkk., 2017)
Pulmo
Perubahan makroskopik pada pulmo yaitu Terlihat pucat di lobus cranial
dexter, konsistensi keras, bidang sayatan keluar cairan kemerahan, uji apung
tenggelam. Sementara untuk perubahan mikrokopik terdapat Alveoli terisi eksudat
4
fibrin dan infitrasi sel radang di daerah septa intra alveolaris , infiltrasi heterofil dan
makrofag pada bronkus.
Gambar 3. Pulmo kelinci terlihat pucat, konsistensi keras dengan permukaan yang
tidak rata (Turner dkk., 2017)
Gambar 4. Bronkopneumonia fibrinopurulent akut berupa infiltrasi sel radang (a). Alveoli
penuh dengan eksudat fibrin (b) (Barthold dkk., 2016)
5
KAJIAN PARASITOLOGI
Sarcoptes scabiei
Etiologi
Gambar 5. Sarcoptes scabiei yang ditemukan pada kelinci dari pemeriksaan skin scrapping
(Prakash, 2017)
Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei betina dewasa akan masuk ke dalam kulit hospes
menggali lubang sampai ke stratum korneum dan bertelur hingga menghasilkan 40-
50 telur. Telur menetas menjadi larva dalam waktu 4-5 hari dan dalam 3-4 hari akan
moulting menjadi nimfa. Di dalam sarang dalam waktu 4-7 hari nimfa moulting
menjadi tungau dewasa. Setelah mencapai tahap dewasa kemudian keluar dari
sarang melalui lubang lain dan kawin di permukaan kulit untuk mengulangi siklus
6
hidup yang sama dengan kurun waktu perkembangan sekitar 17-21 hari dari telur
sampai betina terfertilisasi (Mutiara dan Syailindra, 2016; Weisbroth dkk., 1974).
Patogenesis
Sarcoptes scabiei betina masuk ke dalam kulit hospes membuat terowongan
sampai ke stratum korneum dan bertelur. Telur yang menetas berkembang menjadi
larva dan kemudian menjadi nimfa dan dewasa sekitar 17 hari setelah menetas. Pada
proses ini tungau memakan sel epitel dan mengambil cairan jaringan, kemudian
akan memunculkan reaksi hipersensitivitas dan dapat menyebabkan timbulnya
seborrhea, penebalan kulit (hiperkeratosis), dan kerontokan bulu. Hiperkeratosis
dapat timbul pada wajah, hidung, telinga, dan kaki (Barthold dkk. 2016, Suckow
dkk., 2012). Penularan scabies ini dapat terjadi melalui kontak langsung antar
hewan penderita bahkan kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang
terkontaminasi. Tingkat higiene dan sanitasi yang relatif rendah menjadi faktor
pemicu terjangkitnya penyakit ini. Kondisi kandang yang sempit, lembab, dan
berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit scabies dari hewan
penderita ke hewan yang sehat (Laksono dkk., 2018).
Gejala Klinis
Gejala klinis pada kelinci yang menderita scabies antara lain berupa gatal-
gatal (pruritus), banyak ketombe pada permukaan kulit, terjadi kerontokan bulu
(alopesia), dan mengalami penebalan kulit hingga terbentuk krusta pada bagian
wajah yang meliputi area mulut, hidung, mata, telinga dan juga pada bagian kaki
(Laksono dkk., 2018).
7
Gambar 6. Kerontokan bulu dan terdapat krusta di sekitar mata, hidung, telinga,
dan kaki akibat infestasi S.scabiei (Prakash dkk., 2017)
Diagnosis
Metode diagnosis scabies dapat dilakukan dengan mengambil sampel
berupa kerokan kulit (skin scrapings). Kerokan kulit diambil dengan scalpel,
kemudian diletakkan di atas object glass dan ditetesi larutan KOH 10%, selanjutnya
ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran
400x untuk mendeteksi adanya Sarcoptes scabiei (Rahayu dan Candrarisna, 2015).
8
KAJIAN MIKROBIOLOGI
Etiologi
Bakteri ini termasuk famili Alcaligenaceae. Genus Bordetella saat ini terdiri
dari delapan spesies termasuk penyebab pertusis atau batuk rejan di manusia yaitu,
B. pertusis. Tiga spesies Bordetella yang menular pada sistem pernapasan hewan
yaitu B. bronchiseptica (rinitis atrofik pada babi; tracheobronchitis pada anjing,
sinonim: kennel cough, canine cough, canine croup), B. avium (turkey coryza) dan
B. parapertussis (pneumonia pada domba). Spesies Bordetella merupakan bakteri
aerob (kecuali B. petrii) dan tidak memfermentasi karbohidrat (asaccharolytic)
tetapi mendapatkan energi dari oksidasi asam amino dan karboksilat (Markey et al.,
2013).
Karakteristik
Gambar 7. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar Darah (Vaid et al.,
2018).
9
Gambar 8. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid et al.,
2018)
pada Tabel 1.
Faktor Virulensi
10
Faktor virulensi Bordetella sp. dapat dilihat pada Tabel 2. Faktor virulensi
seperti fimbrae (FIM), filsmentous hemagglutinin (FHA), pertactin (PTN)
meningkatkan kolonisasi Bordetella sp. Faktor virulensi seperti dermonecrotic
toxin (DNT), osteotoxin, tracheal cytotoxin (TCT) dan lipopolisakarida (LPS)
menginisiasi pembentukan lesi (Markey et al., 2013).
Patogenesis
11
memproduksi terlibat dalam cytotoxicitas, apoptosis dan inaktivasi transkripsi
faktor pada sel eukarotik (Markey et al., 2013).
Gejala Klinis
12
KAJIAN PATOLOGI KLINIK
Darah Kelinci
Table 3. Gambaran darah normal pada kelinci (Weiss dan Wardrop, 2010)
13
Limfosit
Gambar 2. Limfosit pada Kelinci. Normal limfosit yang terdiferensiasi dengan baik (kiri) dan reaktif limfosit
(kanan) (Vanessa et al., 2005)
Limfosit pada kelinci memiliki ciri yaitu memiliki nukleus yang besar dan
bulat seperti kacang. Termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma
tidak ditemukan granular. Pada sirkulasi sering ditemukan limfosit kecil yang
mendominasi, akan tetapi limfosit besar tetap ada. Limfosit reaktif merupakan
limfosit yang terstimulasi oleh antigen dimana sel lebih besar dengan sitoplasma
berwarna biru (Vanessa et al., 2005). Limfosit terdiri dari beberapai jenis sel yaitu
limfosit B dan limfosit T. Sulit untuk membedakan kedua jenis limfosit tersebut.
Limfosit B berfungsi untuk membentuk kekebalan humoral sedangkan limfosit T
bertanggung jawab dalam membentuk kekebalan seluler dan respon terhadap
sitokin. Sel T terbagi lagi menjadi sel T-induce/helper dan T-sitotoksik/supressor
(Weiss dan Wardrop, 2010).
Heterofil
14
mengandung butiran berwarna merah (biasa disebut granular) serta inti
bergelambir. Granular heterofil biasanya berbentuk seperti tongkat atau oval
(Vanessa et al., 2005).
Eosinofil
Monosit
Monosit memiliki ukuran yang besar yaitu diameter 15-18 μm. Monosit memiliki
nukleus yang besar dengan kromatin yang nampak kurang terkondensasi dibandingkan
15
dengan heterofil. Kromatin memiliki warna lebih pucat dibandingkan limfosit.
Sitoplasma berwarna biru keabu-abuan (Vanessa et al., 2005). Monosit berperan dalam
respon peradangan. Monosit akan berpindah ke jaringan, dan berubah menjadi
makrofag. Sel mononuklear ini mampu memfagosit bakteri, organisme yang lebih
besar dan kompleks (seperti ragi dan protozoa), sel yang terinfeksi, sel debris dan
partikel asing (Thrall et al., 2004).
Basofil
Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah
hewan piara. Basofil memiliki warna ungu muda, nukleus berlobus, granular
sitoplasma berwarna ungu sampai ungu kehitaman. Ukuan basofil hampir sama dengan
ukuran heterofil (Vanessa et al., 2005). Basofil berperan dalam reaksi hipersensitivitas.
Basofil akan memasuki jaringan yang mengalami peradangan dan melakukan
fagositosis pada hipersensitivitas (Weiss dan Wardrop, 2010).
16
PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi pada Kelinci yang terinfeksi Scabies
(Sarcoptes scabiei).
17
akibat infestasi ektoparasit yang mengakibatkan pasokan besi (Fe) tidak memadai
untuk menyintesis hemoglobin, sehingga sintesis Hb berkurang dan akhirnya kadar
Hb menurun (Casais dkk., 2014; Nurbadriyah, 2019). Selain itu, defisiensi Fe dapat
terjadi karena perdarahan kronis yang bila pada kulit disebabkan karena ektoparasit
(Stockham dan Scott, 2008).
Penyebab peningkatan kebutuhan jaringan akan sel neutrofil untuk proses
fagositosis dan neutrofilia terjadi sebagai respon terhadap inflamasi efek sekunder
dari infestasi Sarcoptes scabiei yang menyebabkan luka traumatis pada kulit
sehingga respon tersebut meingkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Casais dkk.,
2014; Salasia dan Hariono 2010).
18
Dari hasil pemeriksaan biokimia darah pada kelinci yang terinfeksi
Sarcoptes scabiei didapatkan hasil adanya abnormalitas pada BUN saja dan yang
lainnya normal, hal ini menunjukkan infestasi dari Sarcoptes scabiei tidak memiliki
dampak secara langsung terhadap hati kelinci. Kenaikan BUN dapat terjadi karena
konsumsi protein berlebih, peningkatan katabolisme jaringan tubuh/darah (demam,
trauma otot, obat kortikosteroid), dan dehidrasi dengan kondisi penurunan ekskresi
air yang menyebabkan penurunan eksresi urea (Horne dan Swearingen, 1993;
Salasia dan Hariono, 2010).
19
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi kelinci mengalami hiperkeratosis
dermatitis, nekrosis epitel septa nasal, bronchopneumonia. Berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi, diidentifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica.
Berdasarkan pemeriksaan parasitologi ditemukan infestasi Sarcoptes scabiei.
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik kelnci mengalami anemia mikrositik
hipokromik, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia serta leukositosis yang disertai
dengan heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia. Sehingga kelinci
mengalami scabiosis dan infeksi Bordetella bronchiseptica.
Saran
Upaya untuk mencegah adanya penyakit maupun penyebarannya dapat
dilakukan dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan, diantaranya yaitu
dengan menjaga kebersihan lingkungan kandang dan sanitasi kandang yang baik,
kebersihan pakan dan minum, serta memisahkan dan mengisolasi kelinci yang
sakit.
20
PATOGENESIS
Faktor Predisposisi
Jarang dilakukan pembersihan kandang, kandang
lembab, stress, mutu pakan dan minum kurang baik
21
DAFTAR PUSTAKA
Arlian, L.G., Bruner, R.H., Stuhiman, R.A., Ahmed, M., dan Moher, D.L.V. 1990.
Histopathology in Hosts Parasitized by Sarcoptes scabiei. Journal of
Parasitology 76(6): 889-894.
Barthold, S.W., Griffey, S.M., and Percy, D.H. 2016. Pathology of Laboratory Rodents
and
Jana, P.S., Guha, C., Saha, S.B., Biswas, U., Datta, S., dan Baksi, S. 2004. Clinico-
Pathological and Therapeutic Studies on Natural Psoroptic Acariosis in
Rabbits. Bangladesh Journal of Veterinary Medicine 2(2): 155-158.
Laksono, T.T., Yuliani, G.A., Sunarso, A., Dyah., N., Suwanti, L.T., dan Soeharsono. 2018.
Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di Desa
Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Journal of Parasite Science 2(1): 15-
20.
Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 67-69.
Niedringhaus, K.D., Brown, J.D., Ternent, M., Childress, W., Gettings, J.R., Yabsley,
M.J.,
2019. A review of sarcoptic mange in North American wildlife. IJP: Parasites and
Wildlife 9 (2019) 285-297
Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432.
22
Terhadap Penyembuhan Scabies Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus). Jurnal Sain
Veteriner 33(2): 174-179.
Taylor, M.A., Coop, R.L., dan Wall, R.L. 2016. Veterinary Parasitology Fourth Edition.
UK: Wiley Blackwell.
Turner, P. V., M.L. Brash., dan D.A. Smith. 2017. Pathology of Small Mammal Pets.
New
Vanessa, K.L., L.T. Heathet., dan S.L. Kenneth. 2005. Small Mammal Hematology:
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs.
www.medirabbit.com.
Weisbroth, S.H., Flatt, R.E., dan Kraus, A.L. 1974. The Biology of The Laboratory Rabbit.
New York: Academic Press.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth
Edition. USA: Wiley Blackwell.
23
LAPORAN PEMERIKSAAN PATOLOGI
Mengetahui,
(Prof. drh. Kurniasih, M. Vsc., Ph. D) (Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara, S.K.H.)
24
Anamnesa : Populasi kelinci 20 ekor. Dipelihara di kandang panggung.
Pakan rumput/kangkung dan polard.
Gejala klinis : Lemah, kurus, keropeng pada hidung dan telinga.
Sampel pemeriksaan:
Kerokan kulit
Hasil pemeriksaan:
1. Kerokan kulit : (+) Sarcoptes scabiei
Referensi :
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 67-69.
Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.
25
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432. Barthold, S.W., Griffey, S.M., dan
Percy, D.H. 2016. Pathology of Laboratory Rodents and Rabbits Fourth Edition.
USA: Wiley Blackwell.
Laksono, T.T., Yuliani, G.A., Sunarso, A., Dyah., N., Suwanti, L.T., dan Soeharsono. 2018.
Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di Desa
Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Journal of Parasite Science 2(1): 15-
20.
Mutiara, H. dan Syailindra, F. 2016. Skabies. Medical Journal of University Lampung 5(2):
37-42.
Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432.
Taylor, M.A., Coop, R.L., dan Wall, R.L. 2016. Veterinary Parasitology Fourth Edition.
UK: Wiley Blackwell.
Suckow, M.A., Stevens, K.A., dan Wilson, R.P. 2012. The Laboratory Rabbit, Guinea Pig,
Hamster, and Other Rodents. USA: Elsevier.
Weisbroth, S.H., Flatt, R.E., dan Kraus, A.L. 1974. The Biology of The Laboratory Rabbit.
New York: Academic Press.
Kesimpulan :
26
LAPORAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
Sampel pemeriksaan:
Sampel swab trakea, cairan dari aspirasi transtracheal, endotracheal, nasofaring dan
organ pulmo
Tujuan pemeriksaan:
Isolasi dan identifikasi Bordetella bronchiseptica
Hasil pemeriksaan:
Gambar 7. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid
et al., 2018)
27
Plat Agar Darah
MacConkey
Agar
Gambar 5. Koloni Bordetella bronchiseptica yang ditanam pada media MacConkey agar
(Markey et al., 2013)
28
Uji Motilitas
Gambar 6. Uji motilitas pada media semisolid agar (Leboffe dan Pierce, 2011)
Uji motilitas ini bertujuan untuk mendeteksi bakteri yang motil. Uji
motilitas menggunakan media semisolid agar yang mengandung agar
dengan konsentrasi 0,4%-1,5%, cocok untuk mempertahankan bentuk
agar dan memungkinkan pergerakan bakteri (Leboffe dan Pierce,
2011). Bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki peritrichous
flagela yang memungkinkan bakteri untuk bergerak (Markey et al.,
2013).
Uji Katalase
Gambar 7. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian kanan) (Leboffe
dan Pierce, 2011)
29
Uji Oksidase
Gambar 8. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah warna) (Leboffe
dan Pierce, 2011)
Gambar 9. Uji citrat dengan media Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce, 2011)
30
Uji Urease
31
Uji Karbohidrat
Gambar 12. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce, 2011)
Kesimpulan:
Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.
32
Mengetahui,
(Dr. drh. Tri Untari, M. Si.) (Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara, S.K.H.)
33
LAPORAN PEMERIKSAAN PATOLOGI KLINIK
34
MCH (pg) 19,5-22,7 15,78 Menurun
MCHC (%) 31-35 23,57 Menurun
Leukosit (x103/μL) 4,1-9,79 5,88 Normal
Neutrofil (%) 18,8-46,4 69,73 Meningkat
Limfosit (%) 44,6-77,8 17,69 Menurun
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinis kelinci yang terinfeksi Sarcoptes
scabiei mengalami anemia mikrositik hipokromik, heterofilia, eosinofilia,
limfopenia, dan peningkatan BUN. Kelinci terinfeksi bakteri Bordetella mengalami
anemia makrositik hipokromik, neutrofilia, dan limfopenia.
Referensi:
Arlian, L.G., Bruner, R.H., Stuhiman, R.A., Ahmed, M., dan Moher, D.L.V. 1990.
Histopathology in Hosts Parasitized by Sarcoptes scabiei. Journal of
Parasitology 76(6): 889-894.
Jana, P.S., Guha, C., Saha, S.B., Biswas, U., Datta, S., dan Baksi, S. 2004. Clinico-
Pathological and Therapeutic Studies on Natural Psoroptic Acariosis in
Rabbits. Bangladesh Journal of Veterinary Medicine 2(2): 155-158.
Moore, D.M., Zimmerman, K., dan Smith, S.A. 2015. Hematological Assessment
in Pet Rabbits: Blood Sample Collection and Blood Cell Identification.
Veterinary Clinics Exotic Animal Practice 18: 9-19.
Salasia, S.I.O. dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta:
Samudra Biru. 269-270.
Vanessa, K.L., L.T. Heathet., dan S.L. Kenneth. 2005. Small Mammal Hematology:
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs.
www.medirabbit.com.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth
Edition. USA: Wiley Blackwell
35
36