Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

INFEKSI Bordetella bronchiseptica dan INFESTASI Sarcoptes scabiei PADA


KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

Oleh:
Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara

16/408417/KH/09217

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAHMADA

YOGYAKARTA
2021
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK
INFEKSI Bordetella bronchiseptica dan INFESTASI Sarcoptes scabiei PADA
KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

Oleh:

Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara


16/408417/KH/09217

Disampaikan pada seminar Koasistensi Diagnosa Laboratorik


Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

Tanggal 14 April 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA

2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan


sehingga laporan “Infeksi Bordetella bronchiseptica dan Infestasi Sarcoptes
scabiei pada kelinci (Oryctolagus cuniculus)” Kegiatan Koasistensi Diagnosa
Laboratorik serta penyusunan laporan ini dapat terselesaikan dengan bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada, oleh karena itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. drh. Christin Marganingsih Santosa, M.Si. selaku koordinator
Koasistensi Diagnosa Laboratorik dan dosen pembimbing
Laboratorium Patologi Klinik
2. Prof. drh. Kurniasih, M. vsc., Ph.D selaku dosen pembimbing
Laboratorium Patologi.
3. Dr. drh. Tri Untari, M.Si. selaku dosen pembimbing Laboratorium
Mikrobiologi.
4. Dr.drh. Dwi Priyowidodo, MP selaku dosen pembimbing Laboratorium
Parasitologi.
6. Segenap Staf Laboratorium Patologi Anatomi, Mikrobiologi,
Parasitologi, dan Patologi Klinik atas segala bantuannya.
7. Rekan-rekan kelompok koasistensi A.2020.3 atas semangat dan kerja
samanya dalam menjalani Koasistensi Diagnosa Laboratorik.
Penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Yogyakarta, April 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

PENDAHULUAN................................................................................................... 3

Latar Belakang ................................................................................................. 3

Tujuan .............................................................................................................. 3

Manfaat ............................................................................................................ 3

KAJIAN PATOLOGI ANATOMI ........................................................................ 4

KAJIAN PARASITOLOGI ................................................................................... 6

KAJIAN MIKROBIOLOGI................................................................................... 9

KAJIAN PATOLOGI KLINIK............................................................................ 13

PEMBAHASAN .................................................................................................. 17

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 20

Kesimpulan .................................................................................................... 20

Saran .............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

LAMPIRAN .......................................................................................................... 24

2
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelinci merupakan hewan yang dipelihara dan diternakkan oleh manusia.


Kelinci dapat menjadi hewan kesayangan dan juga sebagai hewan ternak untuk
dikonsumsi dagingnya. Selain itu, kelinci juga digunakan sebagai hewan uji di
laboratorium. Kelinci memiliki lama hidup sekitar 5-10 tahun. Kelinci memiliki
kebiasaan corophagy, yaitu kebiasaan kelinci untuk memakan tinjanya sendiri.
Kelinci memakan tinjanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Berdasarkan kebiasaan kelinci tersebut, maka sangat perlu diperhatikan


mutu pakan, minum dan kondisi kandang. Kandang kelinci harus mempunyai
persyaratan kebersihan, hewan terlindungi dari angin dan hujan serta cahaya
matahari yang langsung dan lama. Tiap kandang sebaiknya mempunyai satu baki
baja yang digantung dibawahnya untuk menampung tinja. Hal yang sangat
disayangkan adalah seringkali peternak atau pemilik kelinci kurang memperhatikan
kebersihan kandang, tempat pakan dan minum serta kenyamanan kelinci tersebut.
Apabila hal tersebut dibiarkan sampai parah maka dapat menimbulkan resiko
kelinci terserang penyakit dari agen jamur, bakteri, virus, atau parasit.

Tujuan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui, menganalisa dan
mendiagnosa penyebab penyakit pada kelinci melalui pemeriksaan patologi,
mikrobiologi, parasitologi, dan patologi klinik.

Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik pada kelinci adalah sebagai pembelajaran
dan informasi kepada pembaca terutama peternak mengenai agen penyebab
penyakit dan dampak yang dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan pengobatan.

3
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Kelinci menderita alopesia dan luka gores di telinga, bibir, hidung, daerah
kepala dan leher. Pemilik melaporkan bahwa kelinci mengalami penurunan nafsu
makan sehingga kelinci mengalami anoreksia. Rambut kelinci kusam dan kasar,
demam. Kelinci juga mengalami gangguan di sistem pernapasan yaitu kelinci pilek
dan hidung berair.

Kulit
Pada perubahan makroskopik terdapat alopesia dan hiperkeratosis dan kulit
menebal. Sementara pada perubahan mikrokopik terjadi Penebalan stratum
korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes
scabiei dalam epidermis.

Gambar 1. Kelinci yang mengalami penebalan kulit dan terdapat krusta pada telinga akibat tungau
Sarcoptes scabiei (Prakash dkk., 2017)

Gambar 2. Histologi epidermis dengan adanya ditemukan Sarcoptes scabiei. (Niedringhaus


dkk.,2019)

Pulmo
Perubahan makroskopik pada pulmo yaitu Terlihat pucat di lobus cranial
dexter, konsistensi keras, bidang sayatan keluar cairan kemerahan, uji apung
tenggelam. Sementara untuk perubahan mikrokopik terdapat Alveoli terisi eksudat

4
fibrin dan infitrasi sel radang di daerah septa intra alveolaris , infiltrasi heterofil dan
makrofag pada bronkus.

Gambar 3. Pulmo kelinci terlihat pucat, konsistensi keras dengan permukaan yang
tidak rata (Turner dkk., 2017)

Gambar 4. Bronkopneumonia fibrinopurulent akut berupa infiltrasi sel radang (a). Alveoli
penuh dengan eksudat fibrin (b) (Barthold dkk., 2016)

5
KAJIAN PARASITOLOGI

Sarcoptes scabiei

Etiologi

Scabies (kudis) pada kelinci merupakan penyakit kulit menular yang


disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Secara morfologi, S. scabiei
berbentuk bulat dengan diameter hingga 0,4 mm dimana tungau betina memiliki
ukuran yang lebih besar, bagian ventral pipih dan bagian dorsal cembung dengan
sisik segitiga, serta memiliki empat pasang kaki yang pendek. Kaki pertama
memiliki cakar (empodial claws) dan alat pengisap (sucker atau pulvilli). Sucker
pada tungau jantan berada di kaki 1, 2, dan 4, sedangkan pada tungau betina berada
di kaki 1 dan 2. Pulvilli berguna untuk memegang substrat saat bergerak. Pada
jantan di kaki 3 dan pada betina di kaki 3 dan 4 memiliki bulu panjang. Anus terletak
di caudal agak dorsal. Sarcoptes scabiei menyerang dengan cara menginfestasi kulit
induk semangnya dan bergerak membuat terowongan di bawah lapisan kulit
(stratum korneum) (Laksono dkk., 2018; Taylor dkk., 2016).

Gambar 5. Sarcoptes scabiei yang ditemukan pada kelinci dari pemeriksaan skin scrapping
(Prakash, 2017)

Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei betina dewasa akan masuk ke dalam kulit hospes
menggali lubang sampai ke stratum korneum dan bertelur hingga menghasilkan 40-
50 telur. Telur menetas menjadi larva dalam waktu 4-5 hari dan dalam 3-4 hari akan
moulting menjadi nimfa. Di dalam sarang dalam waktu 4-7 hari nimfa moulting
menjadi tungau dewasa. Setelah mencapai tahap dewasa kemudian keluar dari
sarang melalui lubang lain dan kawin di permukaan kulit untuk mengulangi siklus

6
hidup yang sama dengan kurun waktu perkembangan sekitar 17-21 hari dari telur
sampai betina terfertilisasi (Mutiara dan Syailindra, 2016; Weisbroth dkk., 1974).

Patogenesis
Sarcoptes scabiei betina masuk ke dalam kulit hospes membuat terowongan
sampai ke stratum korneum dan bertelur. Telur yang menetas berkembang menjadi
larva dan kemudian menjadi nimfa dan dewasa sekitar 17 hari setelah menetas. Pada
proses ini tungau memakan sel epitel dan mengambil cairan jaringan, kemudian
akan memunculkan reaksi hipersensitivitas dan dapat menyebabkan timbulnya
seborrhea, penebalan kulit (hiperkeratosis), dan kerontokan bulu. Hiperkeratosis
dapat timbul pada wajah, hidung, telinga, dan kaki (Barthold dkk. 2016, Suckow
dkk., 2012). Penularan scabies ini dapat terjadi melalui kontak langsung antar
hewan penderita bahkan kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang
terkontaminasi. Tingkat higiene dan sanitasi yang relatif rendah menjadi faktor
pemicu terjangkitnya penyakit ini. Kondisi kandang yang sempit, lembab, dan
berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit scabies dari hewan
penderita ke hewan yang sehat (Laksono dkk., 2018).

Gejala Klinis
Gejala klinis pada kelinci yang menderita scabies antara lain berupa gatal-
gatal (pruritus), banyak ketombe pada permukaan kulit, terjadi kerontokan bulu
(alopesia), dan mengalami penebalan kulit hingga terbentuk krusta pada bagian
wajah yang meliputi area mulut, hidung, mata, telinga dan juga pada bagian kaki
(Laksono dkk., 2018).

7
Gambar 6. Kerontokan bulu dan terdapat krusta di sekitar mata, hidung, telinga,
dan kaki akibat infestasi S.scabiei (Prakash dkk., 2017)

Diagnosis
Metode diagnosis scabies dapat dilakukan dengan mengambil sampel
berupa kerokan kulit (skin scrapings). Kerokan kulit diambil dengan scalpel,
kemudian diletakkan di atas object glass dan ditetesi larutan KOH 10%, selanjutnya
ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran
400x untuk mendeteksi adanya Sarcoptes scabiei (Rahayu dan Candrarisna, 2015).

8
KAJIAN MIKROBIOLOGI

Infeksi Bordetella bronchiseptica

Etiologi

Bakteri ini termasuk famili Alcaligenaceae. Genus Bordetella saat ini terdiri
dari delapan spesies termasuk penyebab pertusis atau batuk rejan di manusia yaitu,
B. pertusis. Tiga spesies Bordetella yang menular pada sistem pernapasan hewan
yaitu B. bronchiseptica (rinitis atrofik pada babi; tracheobronchitis pada anjing,
sinonim: kennel cough, canine cough, canine croup), B. avium (turkey coryza) dan
B. parapertussis (pneumonia pada domba). Spesies Bordetella merupakan bakteri
aerob (kecuali B. petrii) dan tidak memfermentasi karbohidrat (asaccharolytic)
tetapi mendapatkan energi dari oksidasi asam amino dan karboksilat (Markey et al.,
2013).

Karakteristik

Morfologi koloni Bordetella bronchiseptica berbentuk sirkular, berwarna


abu-abu dan berkilau (Vaid et al., 2018). Bakteri bersifat motil dan bakteri aerob.
Bakteri ini dapat tumbuh pada media MacConkey Agar (Markey et al., 2013).

Gambar 7. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar Darah (Vaid et al.,
2018).

Bordetella bronchiseptica merupakan bakteri Gram-negatif yang berbentuk


coccobasil, berukuran kecil dengan diameter 0.2–0.5 μm dan panjang 0.5–2.0 μm
dan memiliki peritrichous flagela (Markey et al., 2013).

9
Gambar 8. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid et al.,
2018)

Semua spesies adalah katalase-positif dan oksidase-positif. Bordetella


bronchiseptica dan B. avium dapat tumbuh pada media MacConkey Agar.
Bordetella avium dan B. bronchiseptica bersifat motil oleh peri-flagela trichous,
sedangkan B. pertussis dan B. parapertussis adalah tidak motil (Markey et al.,
2013). Karateristik Bordetella khususnya Bordetella bronchiseptica dapat dilihat
Table 1.. Karateristik Bordetella bronchiseptica, B. avium dan Alcagenes faecalis (Mareky et al., 2013)

pada Tabel 1.

Faktor Virulensi

10
Faktor virulensi Bordetella sp. dapat dilihat pada Tabel 2. Faktor virulensi
seperti fimbrae (FIM), filsmentous hemagglutinin (FHA), pertactin (PTN)
meningkatkan kolonisasi Bordetella sp. Faktor virulensi seperti dermonecrotic
toxin (DNT), osteotoxin, tracheal cytotoxin (TCT) dan lipopolisakarida (LPS)
menginisiasi pembentukan lesi (Markey et al., 2013).

Table 2. Faktor virulensi Bordetella sp. (Markey et al., 2013)

Patogenesis

Bordetella sp. dikenal sebagai bakteri yang dapat menularkan penyakit


respirasi dengan tingkat mobiditas dan mortalitas yang tinggi (Markey et al., 2013).
Patogenesis Bordetella bronchiseptica memiliki pili yang memfsilitasi bakteri
berikatan dengan epitel bersilia dari saluran pernapasan. Bakteri ini aktif menempel
pada silia dan menghasilkan ciliostasis yang signifikan dalam waktu lima menit
kontak (Simmons dan Gibson, 2012). Faktor virulensi sangat mempengaruhi proses
patogenesis Bordetella. Bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki type III
secretion system (TTSS), yang berkontribusi agar bakteri dapat bertahan di sistem
respiratory bagian bawah pada tubuh hospes. Produk type III secretion system

11
memproduksi terlibat dalam cytotoxicitas, apoptosis dan inaktivasi transkripsi
faktor pada sel eukarotik (Markey et al., 2013).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu adanya leleran mukopurulen dari


hidung, dyspnea dan pyrexia. Pada hewan marmoset yang terinfeksi Bordetella
bronchiseptica akan mengalami leukopenia, hipoglikemia dan ketidakseimbangan
cairan elektrolit yang ringan dalam tubuh (Simmons dan Gibson, 2012). Pada
kelinci, Bordetella bronchiseptica relatif dapat bersifat non-patogenik, meskipun
telah menyebabkan bronkopneumonia supuratif yang terlokalisasi (Varga, 2014).
Menurut Markey et al. (2013), gejala klinis infeksi Bordetella yaitu batuk dengan
atau tanpa dyspnea, adanya leleran nasal dan ocular serta penurunan berat badan.

12
KAJIAN PATOLOGI KLINIK
Darah Kelinci

Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu nutrisional, ekskretorik dan


integratif. Fungsi nutrisional yaitu membawa makanan dari traktus digestivus dan
O2 ke jaringan. Fungsi ekskretorik yaitu mengangkut hasil metabolik, CO2 ke
jaringan ekskretorik (ginjal, kelenjar keringat). Fungsi integratif yaitu mengangkut
hormon-hormon dari kelenjar endokrin dan bahan-bahan intermediet dari satu
tempat ke tempat lain, misalnya tyroxin oleh glandula thyroidea (Salasia dan
Hariono, 2010). Berikut ini gambaran hematologi normal pada kelinci (Tabel 3.).

Table 3. Gambaran darah normal pada kelinci (Weiss dan Wardrop, 2010)

Parameter Nilai Rujukan

Hb (%) 9.8 - 17.4


Total eritrosit (103/mm3) 5.1 – 7.94
PCV (%) 37 - 50
MCV (fl) 57.8 - 65.4
MCH (pg) 17.1 - 23.5
MCHC(g/dl) 28.7 – 37
Total leukosit (103/mm3) 5.2 – 12
Heterofil (%) 8 – 50
Eosinofil (%) 1–3
Limfosit (%) 20 – 90
Basofil (%) 0.5 – 30
Monosit (%) 1–4

Gambaran Differensial Leukosit pada Kelinci

13
Limfosit

Gambar 2. Limfosit pada Kelinci. Normal limfosit yang terdiferensiasi dengan baik (kiri) dan reaktif limfosit
(kanan) (Vanessa et al., 2005)

Limfosit pada kelinci memiliki ciri yaitu memiliki nukleus yang besar dan
bulat seperti kacang. Termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma
tidak ditemukan granular. Pada sirkulasi sering ditemukan limfosit kecil yang
mendominasi, akan tetapi limfosit besar tetap ada. Limfosit reaktif merupakan
limfosit yang terstimulasi oleh antigen dimana sel lebih besar dengan sitoplasma
berwarna biru (Vanessa et al., 2005). Limfosit terdiri dari beberapai jenis sel yaitu
limfosit B dan limfosit T. Sulit untuk membedakan kedua jenis limfosit tersebut.
Limfosit B berfungsi untuk membentuk kekebalan humoral sedangkan limfosit T
bertanggung jawab dalam membentuk kekebalan seluler dan respon terhadap
sitokin. Sel T terbagi lagi menjadi sel T-induce/helper dan T-sitotoksik/supressor
(Weiss dan Wardrop, 2010).

Heterofil

Gambar 3. Heterofil normal pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Neutrofil pada kelinci disebut juga heterofil. Heterofil berdiameter 10-15


μm, memiliki nukleus lobular ungu yang dikelilingi oleh sitoplasma yang

14
mengandung butiran berwarna merah (biasa disebut granular) serta inti
bergelambir. Granular heterofil biasanya berbentuk seperti tongkat atau oval
(Vanessa et al., 2005).

Eosinofil

Gambar 4. Eosinofil normal pada kelinci (Vanessa et al., 2005).

Eosinofil memiliki kemiripan dengan heterofil, akan tetapi eosinofil


memiliki ukuran yang lebih besar dengan diameter 12-16 μm. Nukleus berwarna
ungu, sitoplasmik granular bersifat asidofilik, bulat dan jumlahnya lebih banyak
dibanding granular sitoplasmik heterofil (Vanessa et al., 2005). Eosinofil
merupakan sel yang penting dalam respon inang terhadap infeksi parasit dan reaksi
alergi. Selain itu, eosinofil juga ikut berperan dalam reaksi imun kompleks.
Kandungan granul eosinofil menyebabkan sel ini memiliki kemampuan untuk
melawan parasit cacing, dan bersama dengan basofil atau sel mast berperan sebagai
mediator peradangan (Weiss dan Wardrop, 2010).

Monosit

Gambar 5. Gambar 22. Monosit pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Monosit memiliki ukuran yang besar yaitu diameter 15-18 μm. Monosit memiliki
nukleus yang besar dengan kromatin yang nampak kurang terkondensasi dibandingkan

15
dengan heterofil. Kromatin memiliki warna lebih pucat dibandingkan limfosit.
Sitoplasma berwarna biru keabu-abuan (Vanessa et al., 2005). Monosit berperan dalam
respon peradangan. Monosit akan berpindah ke jaringan, dan berubah menjadi
makrofag. Sel mononuklear ini mampu memfagosit bakteri, organisme yang lebih
besar dan kompleks (seperti ragi dan protozoa), sel yang terinfeksi, sel debris dan
partikel asing (Thrall et al., 2004).

Basofil

Gambar 6. Basofil pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah
hewan piara. Basofil memiliki warna ungu muda, nukleus berlobus, granular
sitoplasma berwarna ungu sampai ungu kehitaman. Ukuan basofil hampir sama dengan
ukuran heterofil (Vanessa et al., 2005). Basofil berperan dalam reaksi hipersensitivitas.
Basofil akan memasuki jaringan yang mengalami peradangan dan melakukan
fagositosis pada hipersensitivitas (Weiss dan Wardrop, 2010).

16
PEMBAHASAN

Kelinci mengalami penurunan nafsu makan, menderita alopesia, ditemukan


adanya keropeng pada daun telinga, juga mengalami gangguan pernapasan dan
ditemukan adanya leleran mukopurulen dari hidung.

Pada pemeriksaan makroskopik organ tubuh kelinci, ditemukan hasil kulit


mengalam alopesia, hiperkeratosis dan penebalan sementara pulmo terlihat pucat
kelabu, konsistensi keras, bidang sayatan licin, keluar cairan kemerahan, dan uji
apung tenggelam.

Pada pemeriksaan mikroskopik, pada organ kulit ditemukan penebalan


stratum korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada dermis, ditemukan
Sarcoptes scabiei dalam epidermis, pada organ pulmo alveoli terisi oleh eksudat
fibrin yang menyebabkan ketika disayat maka akan keluar cairan kemerahan,
infiltrasi heterofil dan makrofag pada jaringan bronkus.

Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi pada Kelinci yang terinfeksi Scabies
(Sarcoptes scabiei).

Parameter Standar Hasil Keterangan


Eritrosit (x106/μL) 5,15-6,48 3,8 Menurun
Hb (g/dL) 10,7-13,9 7,53 Menurun
PCV (%) 38,1-44,1 33 Menurun
MCV (fL) 66,2-80,3 45 Menurun
MCH (pg) 19,5-22,7 15 Menurun
MCHC (%) 33 32,5 Menurun
Leukosit (x103/μL) 4,1-9,79 7,2 Normal
Neutrofil (%) 18,8-46,4 64 Meningkat
Eosinofil (%) 0-2,4 5 Meningkat
Limfosit (%) 44,6-77,8 28 Menurun
Dari hasil pemeriksaan darah didapatkan hasil penurunan jumlah eritrosit,
Hb, PCV, MCV, MCH, MCHC, dan limfosit, serta peningkatan heterofil dan
eosinofil. Penurunan eritrosit disertai penurunan MCV dan MCHC menunjukkan
terjadinya anemia mikrositik hipokromik. Menurut Salasia dan Hariono (2010),
terjadinya anemia mikrositik hipokromik dapat disebabkan oleh defisiensi zat besi
(Fe) akibat perdarahan kronis atau diet, defek-defek dalam kebutuhan dan
penyimpanan Fe, serta defisiensi vitamin B6. Pada kasus ini kelinci mengalami
anemia mikrositik hipokromik yang kemungkinan disebabkan karena faktor nutrisi

17
akibat infestasi ektoparasit yang mengakibatkan pasokan besi (Fe) tidak memadai
untuk menyintesis hemoglobin, sehingga sintesis Hb berkurang dan akhirnya kadar
Hb menurun (Casais dkk., 2014; Nurbadriyah, 2019). Selain itu, defisiensi Fe dapat
terjadi karena perdarahan kronis yang bila pada kulit disebabkan karena ektoparasit
(Stockham dan Scott, 2008).
Penyebab peningkatan kebutuhan jaringan akan sel neutrofil untuk proses
fagositosis dan neutrofilia terjadi sebagai respon terhadap inflamasi efek sekunder
dari infestasi Sarcoptes scabiei yang menyebabkan luka traumatis pada kulit
sehingga respon tersebut meingkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Casais dkk.,
2014; Salasia dan Hariono 2010).

Peningkatan eosinofil terlihat pada infestasi parasit dimana terjadi proses


sensitisasi, terjadi kontak antara jaringan hospes dengan parasit yang akan
merangsang eosinfilia (Salasia dan Hariono 2010). Eosiofilia pada kasus scabies
dimungkinkan akibat adanya infestasi ektoparasit Sarcoptes scabiei pada kulit
telinga.

Limfopenia dapat disebabkan karena faktor stress, peningkatan kortisol, dan


sering muncul pada infeksi akut atau kondisi peradangan. Rasa gatal pada tubuh
yang ditimbulkan akibat ektoparasit Sarcoptes scabiei dapat memicu stress pada
kelinci yang dapat menurunkan respon imun seluler, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi dari limfosit (Harvey, 2012; Tambayong, 1999; Varga, 2014).

Parameter Standar Hasil Keterangan


TPP (g/dl) 5,4-7,5 7,4 Normal
Bilirubin (mg/dl) 0-0,7 0,17 Normal
Kreatinin (mg/dl) 0,5-2,5 1,2 Normal
BUN (mg/dl) 13-29 48,3 Meningkat
ALT (U/L) 25-65 60 Normal
AST (U/L) 10-98 26 Normal
ALP (U/L) 10-70 37 Normal

Profil biokimia darah kelinci yang mengalami Scabies (Sarcoptes scabiei)

18
Dari hasil pemeriksaan biokimia darah pada kelinci yang terinfeksi
Sarcoptes scabiei didapatkan hasil adanya abnormalitas pada BUN saja dan yang
lainnya normal, hal ini menunjukkan infestasi dari Sarcoptes scabiei tidak memiliki
dampak secara langsung terhadap hati kelinci. Kenaikan BUN dapat terjadi karena
konsumsi protein berlebih, peningkatan katabolisme jaringan tubuh/darah (demam,
trauma otot, obat kortikosteroid), dan dehidrasi dengan kondisi penurunan ekskresi
air yang menyebabkan penurunan eksresi urea (Horne dan Swearingen, 1993;
Salasia dan Hariono, 2010).

Gambaran darah kelinci yang terinfeksi Bordetella


Parameter Standar Hasil Keterangan
Eritrosit (x10 /μL)
6
5,15-6,48 4,8 Menurun
Hb (g/dL) 10,7-13,9 7,47 Menurun
PCV (%) 38,1-44,1 31,9 Menurun
MCV (fL) 65 66,93 Meningkat
MCH (pg) 19,5-22,7 15,78 Menurun
MCHC (%) 31-35 23,57 Menurun
Leukosit (x10 /μL) 4,1-9,79
3
5,88 Normal
Neutrofil (%) 18,8-46,4 69,73 Meningkat
Limfosit (%) 44,6-77,8 17,69 Menurun

Berdasarkan parameter pemeriksaan hematologi pada kelinci yang


terinfeksi Clostridial didapatkan total eritrosit, kadar Hb, PCV, MCH, MCHC, dan
limfosit mengalami penurunan, sedangkan MCV dan neutrofil meningkat. Dilihat
dari kadar MCV yang meningkat dan MCHC yang menurun maka kelinci tersebut
mengalami anemia makrositik hipokromik. Menurut Salasia dan Hariono (2010),
terjadinya anemia makrositik hipokromik dapat disebabkan oleh adanya masa
kesembuhan dari perdarahan besar, seperti perdarahan karena trauma atau defek-
defek koagulasi, dan destruksi secara masif eritrosit.

19
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi kelinci mengalami hiperkeratosis
dermatitis, nekrosis epitel septa nasal, bronchopneumonia. Berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi, diidentifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica.
Berdasarkan pemeriksaan parasitologi ditemukan infestasi Sarcoptes scabiei.
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik kelnci mengalami anemia mikrositik
hipokromik, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia serta leukositosis yang disertai
dengan heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia. Sehingga kelinci
mengalami scabiosis dan infeksi Bordetella bronchiseptica.

Saran
Upaya untuk mencegah adanya penyakit maupun penyebarannya dapat
dilakukan dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan, diantaranya yaitu
dengan menjaga kebersihan lingkungan kandang dan sanitasi kandang yang baik,
kebersihan pakan dan minum, serta memisahkan dan mengisolasi kelinci yang
sakit.

20
PATOGENESIS

Faktor Predisposisi
Jarang dilakukan pembersihan kandang, kandang
lembab, stress, mutu pakan dan minum kurang baik

Infestasi Sarcoptes scabiei Infeksi Bordetella


bronchiseptica

Jalur Masuk Jalur Masuk


Kontak langsung dengan Kontak langsung, aerosol,
penderita atau melalui kulit dan droplet

Menempel pada epitel


Menembus lapisan epidermis
saluran pernafasan dan
menuju stratum korneum menghasilkan cilostasis.
Faktor virulensi yang lain
apotosis dan inaktivasi
transkripsi faktor pada sel
Hiperkeratosis dan lebih eukariotik serta
lanjut dermatitis menyebabkan lesi

Alveolis dipenuhi oleh


eksudat fibrin dan infiltrasi
sel radang di bronkus

Anemia mikrositik hipokromik,


hipoproteinemia, dan leukositosis
yang disertai dengan heterofilia, Nekrosis septa nasal dan
eosinofilia, monositosis dan bronchopneumonia
limfopenia

21
DAFTAR PUSTAKA

Arlian, L.G., Bruner, R.H., Stuhiman, R.A., Ahmed, M., dan Moher, D.L.V. 1990.
Histopathology in Hosts Parasitized by Sarcoptes scabiei. Journal of
Parasitology 76(6): 889-894.
Barthold, S.W., Griffey, S.M., and Percy, D.H. 2016. Pathology of Laboratory Rodents
and

Rabbits Fourth Edition. USA: Wiley Blackwell.

Jana, P.S., Guha, C., Saha, S.B., Biswas, U., Datta, S., dan Baksi, S. 2004. Clinico-
Pathological and Therapeutic Studies on Natural Psoroptic Acariosis in
Rabbits. Bangladesh Journal of Veterinary Medicine 2(2): 155-158.
Laksono, T.T., Yuliani, G.A., Sunarso, A., Dyah., N., Suwanti, L.T., dan Soeharsono. 2018.
Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di Desa
Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Journal of Parasite Science 2(1): 15-
20.

Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 67-69.

Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical


Veterinary Microbiology. USA: Mosby Elsevier.
Moore, D.M., Zimmerman, K., dan Smith, S.A. 2015. Hematological Assessment
in Pet Rabbits: Blood Sample Collection and Blood Cell Identification.
Veterinary Clinics Exotic Animal Practice 18: 9-19.
Mutiara, H. dan Syailindra, F. 2016. Skabies. Medical Journal of University Lampung 5(2):
37-42.

Niedringhaus, K.D., Brown, J.D., Ternent, M., Childress, W., Gettings, J.R., Yabsley,
M.J.,

2019. A review of sarcoptic mange in North American wildlife. IJP: Parasites and
Wildlife 9 (2019) 285-297

Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432.

Rahayu, A. dan Candrarisna, M. 2015. Perbandingan Aktivitas Linimentum Ekstrak Koral


Kelimutu dan Linimentum Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)

22
Terhadap Penyembuhan Scabies Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus). Jurnal Sain
Veteriner 33(2): 174-179.

Salasia, S.I.O. dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta:


Samudra Biru. 269-270.
Simmons J., dan S. Gibson. 2012. Nonhuman Primates in Biomedical Research.
Chapter 2: Bacterial and Mycotic Disease of Nonhuman Primates. American
College of Laboratory Animal Medicine 2012 105-172.
Suckow, M.A., Stevens, K.A., dan Wilson, R.P. 2012. The Laboratory Rabbit, Guinea Pig,
Hamster, and Other Rodents. USA: Elsevier.

Taylor, M.A., Coop, R.L., dan Wall, R.L. 2016. Veterinary Parasitology Fourth Edition.
UK: Wiley Blackwell.

Turner, P. V., M.L. Brash., dan D.A. Smith. 2017. Pathology of Small Mammal Pets.
New

Jersey: Wiley-Blackwell Publising.

Vaid, R.K., K. Shanmugasundaram., T. Anand., B.C. Bera., M. Tigga., R. Dedar., T.


Riyesh., S. Bardwaj., N. Virmani., B.N. Tripathi., dan Rajkumar. 2018.
Characterization of isolates of Bordetella bronchiseptica from horses. Journal
Equine Sci. Volume 29, No. 1, hal: 25-31, 2018.

Vanessa, K.L., L.T. Heathet., dan S.L. Kenneth. 2005. Small Mammal Hematology:
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs.
www.medirabbit.com.
Weisbroth, S.H., Flatt, R.E., dan Kraus, A.L. 1974. The Biology of The Laboratory Rabbit.
New York: Academic Press.

Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth
Edition. USA: Wiley Blackwell.

23
LAPORAN PEMERIKSAAN PATOLOGI

Jenis hewan : Kelinci; betina; umur 2,5 bulan


Pemilik : Bapak Imam
Anamnesa : Populasi kelinci 20 ekor. Dipelihara di kandang panggung.
Pakan rumput/kangkung dan polard. Gejala klinis: lemah,
kurus, nafsu makan menurun, alopesia, ditemukan keropeng
pada daun telinga, juga mengalami gangguan pernapasan dan
ditemukan adanya leleran mukopurulen dari hidung.

Hasil Pemeriksaan Makroskopik


Kulit :Menebal, mengeras, ada krusta pada daun telinga.
Pulmo :Terlihat pucat di lobus cranial dexter, konsistensi keras, bidang
sayatan keluar cairan kemerahan, uji apung tenggelam
Hasil Pemeriksaan Mikroskopik
Kulit :Hiperplasia stratum korneum dan spinosum, dan ditemukan
potongan ektoparasit Sarcoptes scabiei di stratum korneum,
infiltrasi leukositik pada stratum korneum.
Pulmo :Alveoli terisi eksudat fibrin dan infitrasi sel radang di daerah septa
intra alveolaris , infiltrasi heterofil dan makrofag pada bronkus.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopik dan
mikroskopik, kelinci tersebut mengalami dermatitis parasitika, dan
bronchopneumonia.
Yogyakarta, 26 Februari 2021

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa Kodil

(Prof. drh. Kurniasih, M. Vsc., Ph. D) (Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara, S.K.H.)

LAPORAN PEMERIKSAAN PARASITOLOGI

Jenis hewan : Kelinci; betina; umur 2,5 bulan

24
Anamnesa : Populasi kelinci 20 ekor. Dipelihara di kandang panggung.
Pakan rumput/kangkung dan polard.
Gejala klinis : Lemah, kurus, keropeng pada hidung dan telinga.

Sampel pemeriksaan:
Kerokan kulit
Hasil pemeriksaan:
1. Kerokan kulit : (+) Sarcoptes scabiei

Gambar Referensi Interpretasi


Kerokan Kulit: Badan bentuk globoid,
berkaki pendek dengan Sarcoptes
kaki posterior tidak scabiei
melebihi pinggir badan.
Pada jantan alat
penghisap pada kaki 1, 2,
dan 4 dan pada betina
alat penghisap pada kaki
1 dan 2. Betina
berukuran 300-600 x
250-400 mikron dan
yang jantan 200-240 x
150-200 mikron (Levine,
1994).
Sarcoptes scabiei pada hasil pemeriksaan
kerokan kulit dari daun telinga kelinci
(Prakash dkk, 2017)

Referensi :

Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 67-69.

Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.

25
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432. Barthold, S.W., Griffey, S.M., dan
Percy, D.H. 2016. Pathology of Laboratory Rodents and Rabbits Fourth Edition.
USA: Wiley Blackwell.

Laksono, T.T., Yuliani, G.A., Sunarso, A., Dyah., N., Suwanti, L.T., dan Soeharsono. 2018.
Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di Desa
Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Journal of Parasite Science 2(1): 15-
20.

Mutiara, H. dan Syailindra, F. 2016. Skabies. Medical Journal of University Lampung 5(2):
37-42.

Prakash, M.A., Soundararajan, C., Nagarajan, K., Gnanaraj, P.T., dan Saravanakumar, V.R.
2017. Sarcoptic Mange Infestation in Rabbits in An Organized Farm at Tamil Nadu.
Journal of Parasitic Diseases 41(2): 429-432.

Rahayu, A. dan Candrarisna, M. 2015. Perbandingan Aktivitas Linimentum Ekstrak Koral


Kelimutu dan Linimentum Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Terhadap Penyembuhan Scabies Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus). Jurnal Sain
Veteriner 33(2): 174-179.

Taylor, M.A., Coop, R.L., dan Wall, R.L. 2016. Veterinary Parasitology Fourth Edition.
UK: Wiley Blackwell.

Suckow, M.A., Stevens, K.A., dan Wilson, R.P. 2012. The Laboratory Rabbit, Guinea Pig,
Hamster, and Other Rodents. USA: Elsevier.

Weisbroth, S.H., Flatt, R.E., dan Kraus, A.L. 1974. The Biology of The Laboratory Rabbit.
New York: Academic Press.

Kesimpulan :

Berdasarkan pemeriksaan parasitologi, kelinci positif terinfestasi ektoparasit


Sarcoptes scabiei.

26
LAPORAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

Jenis hewan : Kelinci; betina; umur 2,5 bulan


Gejala Klinis : Adanya leleran mukopurulen dari hidung, dyspnea dan pyrexia,
mengalami snuffle-like syndrome.
Perubahan Organ : Terjadi bronchopneumonia dan perubahan warna pada pulmo
serta terjadi kematian sel pada epitel septa nasal.

Sampel pemeriksaan:
Sampel swab trakea, cairan dari aspirasi transtracheal, endotracheal, nasofaring dan
organ pulmo
Tujuan pemeriksaan:
Isolasi dan identifikasi Bordetella bronchiseptica
Hasil pemeriksaan:

Media Hasil Pemeriksaan


Pewarnaan
Gram

Gambar 7. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid
et al., 2018)

Bordetella bronchiseptica merupakan bakteri Gram-negatif yang


berbentuk coccobasil (Markey et al., 2013)

27
Plat Agar Darah

Gambar 8. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar Darah


(Vaid et al., 2018)

Morfologi koloni Bordetella bronchiseptica berbentuk sirkular,


berwarna abu-abu dan berkilau (Vaid et al., 2018).

MacConkey
Agar

Gambar 5. Koloni Bordetella bronchiseptica yang ditanam pada media MacConkey agar
(Markey et al., 2013)

Bordetella bronchiseptica juga dapat tumbuh pada media MacConkey


agar. Bentuk koloninya yaitu berukuran kecil, pucat dengan rona
kemerahan dan perubahan warna kuning dari media yang
mendasarinya (Markey et al., 2013)

28
Uji Motilitas

Gambar 6. Uji motilitas pada media semisolid agar (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji motilitas ini bertujuan untuk mendeteksi bakteri yang motil. Uji
motilitas menggunakan media semisolid agar yang mengandung agar
dengan konsentrasi 0,4%-1,5%, cocok untuk mempertahankan bentuk
agar dan memungkinkan pergerakan bakteri (Leboffe dan Pierce,
2011). Bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki peritrichous
flagela yang memungkinkan bakteri untuk bergerak (Markey et al.,
2013).

Uji Katalase

Gambar 7. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian kanan) (Leboffe
dan Pierce, 2011)

Uji katalase ini digunakan untuk identifikasi bakteri yang


menghasilkan enzim katalase. Katalase mengubah hidrogen peroksida
menjadi H2O dan O2 (Leboffe dan Pierce, 2011). Bordetella
bronchiseptica positif pada uji katalase (Markey et al., 2013).

29
Uji Oksidase

Gambar 8. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah warna) (Leboffe
dan Pierce, 2011)

Uji oksidase bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang


mengandung enzim respirator, cytochrome c oxidase. Hasil positif
ditandai dengan perubahan warna pada koloni menjadi biru sementara
negatif apabila tidak terjadi perubahan warna (Leboffe dan Pierce,
2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri Bordetella
bronchiseptica memiliki hasil positif pada uji oksidase.
Uji Citrat

Gambar 9. Uji citrat dengan media Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji citrat bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk


menggunakan citrat sebagai sumber karbon. Media yang digunakan
yaitu Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut
Market et al. (2013), bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki hasil
positif terhadap uji citrat. Hal ini menandakan bakteri tersebut dapat
menggunakan citrat sebagai sumber karbon.

30
Uji Urease

Gambar 10. Uji Urease (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji ini digunakan untuk differensiasi bakteri yang memiliki


kemampuan untuk menghidrolisis urea dengan enzim urease (Leboffe
dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri Bordetella
bronchiseptica memiliki hasil positif terhadap uji urease, hal ini
menunjukkan bakteri memiliki enzim urease yang dapat
menghidrolisis urea.
Uji Reduksi
Nitrat

Gambar 11. Uji Reduksi Nitrate (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji reduksi nitrat bertujuan untuk differensiasi bakteri yang tidak


dapat mereduksi nitrat atau yang dapat mereduksi nitrit menjadi N 2
(Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri
Bordetlla bronchiseptica memiliki enzim nitrate reductase.

31
Uji Karbohidrat

Gambar 12. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce, 2011)

Berbagai karbohidrat dapat digunakan dalam uji ini, tetapi yang


paling umum adalah glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa. Prinsip uji
karbohidrat dengan indikator phenol red adalah fermentasi
karbohidrat akan menghasilkan produksi asam yang membuat pH
turun dan mengubah warna indikator pH (Leboffe dan Pierce, 2011).
Menurut Markey et al. (2013), bakteri Bordetella bronchiseptica tidak
dapat memfermentasi karbohidrat, sehingga apabila dilakukan uji
maka warna indikator pH tidak akan merubah menjadi kuning karena
bakteri tidak dapat memfermentasi karbohidrat untuk menghasilkan
asam.

Kesimpulan:

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel mikrobiologi dari kelinci, terisolasi


dan diidentifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica.
Referensi:

Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.

Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical


Veterinary Microbiology. USA: Mosby Elsevier.

Simmons J., dan S. Gibson. 2012. Nonhuman Primates in Biomedical Research.


Chapter 2: Bacterial and Mycotic Disease of Nonhuman Primates. American
College of Laboratory Animal Medicine 2012 105-172.
Vaid, R.K., K. Shanmugasundaram., T. Anand., B.C. Bera., M. Tigga., R. Dedar., T.
Riyesh., S. Bardwaj., N. Virmani., B.N. Tripathi., dan Rajkumar. 2018.
Characterization of isolates of Bordetella bronchiseptica from horses. Journal
Equine Sci. Volume 29, No. 1, hal: 25-31, 2018.

32
Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa Kodil

(Dr. drh. Tri Untari, M. Si.) (Ahmad Roykhan Ebidzar El Guevara, S.K.H.)

33
LAPORAN PEMERIKSAAN PATOLOGI KLINIK

Jenis hewan : Kelinci; betina; umur 2,5 bulan


Anamnesa : Populasi kelinci 20 ekor. Dipelihara di kandang panggung.
Pakan rumput/kangkung dan polard.
Gejala klinis : Lemah, kurus, nafsu makan menurun, alopesia, ditemukan
keropeng pada daun telinga, juga mengalami gangguan
pernapasan dan ditemukan adanya leleran mukopurulen dari
hidung.

Bahan pemeriksaan : Darah dengan antikoagulan ethylene diamine tetraaccetic


acid (EDTA) untuk pemeriksaan hematologi rutin dan apus
darah yang diwarnai dengan Giemsa.

Hasil Pemeriksaan darah :

Gambaran darah kelinci yang terinfeksi Scabies (Sarcoptes scabiei)

Parameter Standar Hasil Keterangan


Eritrosit (x106/μL) 5,15-6,48 3,8 Menurun
Hb (g/dL) 10,7-13,9 7,53 Menurun
PCV (%) 38,1-44,1 33 Menurun
MCV (fL) 66,2-80,3 45 Menurun
MCH (pg) 19,5-22,7 15 Menurun
MCHC (%) 33 32,5 Menurun
Leukosit (x103/μL) 4,1-9,79 7,2 Normal
Neutrofil (%) 18,8-46,4 64 Meningkat
Eosinofil (%) 0-2,4 5 Meningkat
Limfosit (%) 44,6-77,8 28 Menurun

Profil biokimia darah kelinci yang mengalami Scabies (Sarcoptes scabiei)


Parameter Standar Hasil Keterangan
TPP (g/dl) 5,4-7,5 7,4 Normal
Bilirubin (mg/dl) 0-0,7 0,17 Normal
Kreatinin (mg/dl) 0,5-2,5 1,2 Normal
BUN (mg/dl) 13-29 48,3 Meningkat
ALT (U/L) 25-65 60 Normal
AST (U/L) 10-98 26 Normal
ALP (U/L) 10-70 37 Normal

Gambaran darah kelinci yang terinfeksi Bordetella


Parameter Standar Hasil Keterangan
Eritrosit (x106/μL) 5,15-6,48 4,8 Menurun
Hb (g/dL) 10,7-13,9 7,47 Menurun
PCV (%) 38,1-44,1 31,9 Menurun
MCV (fL) 65 66,93 Meningkat

34
MCH (pg) 19,5-22,7 15,78 Menurun
MCHC (%) 31-35 23,57 Menurun
Leukosit (x103/μL) 4,1-9,79 5,88 Normal
Neutrofil (%) 18,8-46,4 69,73 Meningkat
Limfosit (%) 44,6-77,8 17,69 Menurun
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinis kelinci yang terinfeksi Sarcoptes
scabiei mengalami anemia mikrositik hipokromik, heterofilia, eosinofilia,
limfopenia, dan peningkatan BUN. Kelinci terinfeksi bakteri Bordetella mengalami
anemia makrositik hipokromik, neutrofilia, dan limfopenia.

Referensi:
Arlian, L.G., Bruner, R.H., Stuhiman, R.A., Ahmed, M., dan Moher, D.L.V. 1990.
Histopathology in Hosts Parasitized by Sarcoptes scabiei. Journal of
Parasitology 76(6): 889-894.
Jana, P.S., Guha, C., Saha, S.B., Biswas, U., Datta, S., dan Baksi, S. 2004. Clinico-
Pathological and Therapeutic Studies on Natural Psoroptic Acariosis in
Rabbits. Bangladesh Journal of Veterinary Medicine 2(2): 155-158.
Moore, D.M., Zimmerman, K., dan Smith, S.A. 2015. Hematological Assessment
in Pet Rabbits: Blood Sample Collection and Blood Cell Identification.
Veterinary Clinics Exotic Animal Practice 18: 9-19.
Salasia, S.I.O. dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta:
Samudra Biru. 269-270.
Vanessa, K.L., L.T. Heathet., dan S.L. Kenneth. 2005. Small Mammal Hematology:
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs.
www.medirabbit.com.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth
Edition. USA: Wiley Blackwell

35
36

Anda mungkin juga menyukai