Anda di halaman 1dari 23

Tinjauan Pustaka

Vaginosis Bakterial
HALAMAN JUDUL

Oleh

Aufa Muhammad Nadhif, S.Ked.

04054822022136

Pembimbing Prof. Dr. Soenarto K, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

DEPARTEMEN/KSM DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN 2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tinjauan Pustaka


Vaginosis Bakterial

Oleh:

Aufa Muhammad Nadhif, S.Ked. 04054822022136

Tinjauan pustaka ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 6 Juli – 22 Juli 2020.

Palembang, Juli 2020


Pembimbing,

Prof. Dr. Soenarto K, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka dengan judul
“Vaginosis Bakterial” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Dermatologi
dan Venerologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof.
Dr. Soenarto K, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan bimbingan dan masukan sehingga tinjauan pustaka ini
dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Juli 2020

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I .......................................................................................................................1

BAB II ......................................................................................................................3

2.1.Definisi .......................................................................................................3

2.2.Epidemiologi ..............................................................................................3

2.3.Etiologi .......................................................................................................4

2.4.Patogenesis .................................................................................................5

2.5.Gejala Klinis...............................................................................................9

2.6.Diagnosis ....................................................................................................9

2.7.Diagnosis Banding ...................................................................................12

2.8.Tatalaksana ...............................................................................................13

2.9.Komplikasi ...............................................................................................15

2.10.Prognosis ................................................................................................15

BAB III...................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................17

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Vaginosis bakterial adalah penyakit infeksi yang paling sering pada wanita
usia 15 sampai 44 tahun.1 Di antara wanita yang datang untuk perawatan, vaginosis
bakterial adalah penyebab paling umum dari keluhan terkait keputihan. Namun,
dalam survei yang dilakukan secara nasional, sebagian besar wanita dengan
vaginosis bakterial tidak menunjukkan gejala.2 Sebagian besar wanita biasanya
enggan mencari perawatan medis ketika mereka bertemu dengan abnormal
keputihan karena mereka sering salah mengartikandan menganggapnya sebagai
keadaan yang normal.3
Vaginosis bakterial adalah penyebab paling umum dari keluhan pada
vagina. Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta (29,2%) di antara
wanita usia 14-49. Wanita non-kulit putih memiliki angka yang lebih tinggi (Afrika-
Amerika 51%, Meksiko-Amerika 32%) daripada wanita kulit putih (23%).4
Diperkirakan sekitar 10% hingga 30% wanita hamil di Amerika Serikat mungkin
menderita vaginosis bakterial selama kehamilan karena perubahan hormon yang
terjadi selama periode ini.1 Prevalensi vaginosis bakterial pada wanita hamil di
Asia juga cukup tinggi, contohnya di Jepang (13,6%), di Thailand (15,9%), dan
Indonesia (18%).5
Vaginosis bakterial ditandai dengan perubahan flora saluran genital, yaitu
dominasi Lactobacillus sp. digantikan oleh berbagai jenis organisme Gram positif
maupun Gram negatif, yakni Gardnerella vaginalis, Prevotella sp., Bacteroides sp.,
dan lain-lain. Perubahan mikrobiologis ini menyebabkan peningkatan pH vagina,
produksi uap amin, serta peningkatan kadar endotoksin, enzim sialidase dan
glikosidase bakteri pada cairan vagina.6
Diagnosis vaginosis bakterial ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti disarankan dengan
memperoleh swab vagina dari daerah serviks atau lokasi keputihan serta membuat
slide preparat basah untuk diperiksa di bawah mikroskop. Dalam praktiknya
diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakkan bila memenuhi tiga dari empat
kriteria Amsel.6 Manfaat pengobatan untuk vaginosis bakterial pada wanita yang

1
bergejala adalah (1) meringankan gejala dan tanda-tanda infeksi vagina dan (2)
mengurangi risiko komplikasi infeksi setelah berbagai prosedur ginekologi.1 Terapi
utama adalah medikamentosa, walau hingga 30% kasus dapat sembuh dengan
sendirinya.7
Tinjauan pustaka ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis
dari vaginosis bakterial. Vaginosis bakterial adalah penyakit dengan tingkat
kemampuan 4 sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
Indonesia (SNPPDI) tahun 2019. Dokter umum diharapkan mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri
dan tuntas.8

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Vaginosis bakterial adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh


ketidakseimbangan flora bakteri yang biasanya ada di vagina. Ketidakseimbangan
ini disebabkan oleh menurunnya populasi organisme Lactobacillus dan bertambah
banyaknya bakteri anaerob komensal dalam vagina seperti Gardnerella vaginalis,
M. hominis; Mycoplasma curtisii, Prevotella, Porphyromonas, Bacteroides dan
Peptostreptococcus spp.1 . Pada sekitar 60% kasus, gejala vaginosis bakterial
meliputi vaginal discharge atau keputihan yang jumlahnya tidak normal, biasanya
berwarna abu-abu dan menempel pada mukosa vagina dan seringkali berbau amis.
Bau tersebut biasanya dideskripsikan sebagai "fishy odor". Bau ini berasal dari
volatilisasi amina yang dihasilkan dari metabolisme bakteri anaerob yang
berlebihan.9

2.2 Epidemiologi

Secara global, kejadian vaginosis bakterial sangat umum . Berdasrkan


penelitian di AS dengan subjek penelitian sebanyak 3.739 wanita yang terdaftar
selama 2001-2004 dalam sampel yang representatif secara nasional dari penduduk
sipil AS yang tidak dilembagakan, hampir satu dari tiga wanita (29,2%; 95% CI:
27,2-31,3) memiliki vaginosis bakterial yang terkonfimasi dengan pewarnaan
Gram. Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta (29,2%) di antara
wanita usia 14-49 tahun. Namun, sekitar 84% dari subjek penelitian tidak
melaporkan adanya gejala. Wanita non-kulit putih memiliki angka yang lebih tinggi
(Afrika-Amerika 51%, Meksiko-Amerika 32%) daripada wanita kulit putih (23%).4
Wanita Afrika Timur dan Selatan memiliki tingkat vaginosis bakterial yang lebih
tinggi: Kenya (44%), Lesotho (51%), Gambia (37%) dan Nigeria (40%)10,11
Penelitian yang dilakukan terhadap wanita hamil di Nigeria menujukkan prevalensi
sebesar 16.6% wanita (60 dari 362) terdiagnosis vaginosis bakterial.

3
Di Indonesia belum ada penelitian dalam skala besar yang dapat
mereprentasikan secara akurat prevalensi vaginosis bakterial. Penelitian di Manado
menunjukkan bahwa 32,5% wanita (116 dari 357) mengalami vaginosis bakterial.
Vaginosis bakterial juga ditemukan lebih tinggi pada wanita pengguna intrauterine
device (IUD) dibandingkan wanita yang tidak menggunakan IUD (47,2% vs
29,9%).12 Prevalensi vaginosis bakterial di Indonesia, berdasarkan penelitian oleh
Ocviyanti dkk tahun 2010 yang dilakukan di Karawang menunjukkan angka
prevalensi sebesar 30,7%.13 Penelitian lain yang dilakukan pada ibu hamil di
Jatinangor menunjukkan 17.85% (10 dari 56) wanita hamil yang diperiksa
terkonfirmasi vaginosis bakterial melalui pemeriksaan Gram14 Penelitian yang
dilakukan kepada wanita pekerja seks di Tangerang menujukkan angka yang cukup
tinggi, yakni sebesar 69,31% (131 dari 189 SP).6 Studi di Departemen Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2012-2014 mendapatkan
bahwa bakterial vaginosis paling banyak ditemukan pada wanita usia produktif (25-
44 tahun) dengan jumlah kasus 74,3%.15

2.3 Etiologi

Vaginosis bakterial adalah akibat dari infeksi sinergis polimikroba. Populasi


lactobacilli yang biasanya dominan berkurang di vagina, sementara populasi
bakteri anaerob komensal lainnya lainnya meningkat.2 Vaginosis bakterial pernah
disebut Gardnerella vaginitis karena diyakini bahwa bakteri ini adalah penyebab
kondisi ini. Namun, nama yang lebih baru disebut adalah vaginosis bakterial,
menyoroti fakta bahwa berbagai bakteri berbeda yang secara alami hidup di vagina
dapat tumbuh berlebihan dan menyebabkan perkembangan vaginosis bakterial.16
Kultur konvensional bakteri dari cairan vagina wanita dengan vaginosis bakterial
biasanya menghasilkan spektrum bakteri anaerobik komensal seperti Gardnerella
vaginalis, Prevotella sp Mobiluncus sp ,Ureaplasma urealyticum, dan Mycoplasma
hominis. Baru-baru ini, teknik molekuler yang melebihi kultur konvensional telah
digunakan untuk memperluas spektrum mikrobiologi vaginosis bakterial. Selain
mengkonfirmasi kehadiran bakteri-bakteri yang dijelaskan sebelumnya, pelitian ini
telah mendeteksi Atopobium vaginae, Lactobacillus iners, Eggerthella,
Megasphaera, Leptotrichia, Dialister, Bifidobacterium, Slackia, Arthrobacter,
Caulobacter, Butyrivibrio dan Clostridiales.9

4
Faktor-faktor lain yang terkait dalam pengembangan vaginosis bakterial
termasuk vaginal douching, bath tub (khususnya dengan bubble bath), penggunaan
produk-produk kebersihan intravaginal yang dijual bebas, mempunyai banyak
pasangan seksual, frekuensi hubungan seksual yang tinggi, penggunaan IUD dan
kehadiran penyakit menular seksual lainnya. 17

2.4 Patogenesis

1. Transmisi G. vaginalis menggeser populasi Lactobacilli dan menginisasi


pembentukan biofilm.
Fitur penting dari vaginosis bakterial adalah adanya polymicrobial biofilm
pada sel epitel vagina. Kehadiran biofilm ini menciptakan lingkungan yang
menguntungkan bagi bakteri anaerob dengan adanya gradien oksigen dalam
biofilm. Biofilm pada vaginosis bakterial telah ditemukan mengandung G.
vaginalis dengan jumlah terbanyak , lalu A. vaginae, Lactobacillus, dan bakteri
spesies lainnya. Deskuamasi sel epitel vagina dilapisi dengan vaginosis
bakterial biofilm mengasilkan clue cell, yang dapat dilihat pada analisis wet
mount dari spesimen cairan vagina. Biofilm polimikroba pada vaginosis
bakterial, menggabungkan bakteri sekunder setelah spesies colonizer awal
melekat ke permukaan. Hubungan sinergis antar spesies ini memungkinkan
perkembangan biofilm. Pengembangan vaginosis bakterial dipicu oleh
transmisi seksual G. vaginalis, yang menggeser populasi lactobacilli vagina
yang sehat, seperti L. crispatus, dan memulai pembentukan biofilm vaginosis
bakterial pada epitel vagina. G. vaginalis, tidak seperti yang bakteri yang lain
yang terkait dengan vaginosis bakterial, dapat mentolerir potensi redoks yang
tinggi dari mikrobiota vagina yang didominasi lactobacillus. Virulensi G.
vaginalis pada batas tertentu dapat menurunkan potensi redoks dalam
mikrobiota vagina yang mengarah ke penurunan yang nyata pada lactobacilli
dan peningkatan bakteri terkait vaginosis bakterial anaerob lainnya
(misalnya,P. bivia dan A. vaginae).18 Bakteri terkait vaginosis bakterial ini,
yang diperoleh dari secara maternal dan lingkungan, biasanya hadir dalam
jumlah yang sangat rendah .Selama proses pergantian lactobacilli, G. vaginalis
melakukan adhesi pada sel epitel vagina dalam jumlah besar dan memicu
pertumbuhan biofilm vaginosis bakterial.19 Dalam sebuah studi oleh Patterson
dkk, strain G. vaginalis yang diperoleh dari wanita dengan vaginosis bakterial

5
ditemukan membentuk biofilm yang secara signifikan lebih tebal dibandingkan
dengan bakteri lain yang terkait dengan vaginosis bakterial.20 Sejalan dengan
itu, dalam studi yang menggunakan 30 bakteri terkait vaginosis bakterial secara
in vitro Alves dkk juga menemukan bahwa vaginosis bakterial strain G.
vaginalis memiliki kecenderungan terbesar untuk membentuk biofilm. Dalam
penelitian ini ditemukan banyak dari bakteri lain yang terkait dengan vaginosis
bakterial juga memiliki kecenderungan membentuk biofilm, khususnya
Mycoplasmahominis, Staphylococcus hominis, Brevibacterium. Namun, ketika
diuji adhesi awal pada sel HeLa, spesies ini memiliki kemampuan yang jauh
lebih rendah untuk melakukan adhesi dibanding G. vaginalis. Ini menunjukkan
bahwa, ketika berhubungan dengan sel manusia, sejumlah kecil bakteri yang
terkait dengan vaginosis bakterial tidak cukup untuk menginduksi pembentukan
biofilm.21 G. vaginalis membentuk biofilm dalam vagina. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa biofilm mungkin resisten terhadap beberapa bentuk
perawatan medis. Biofilm G. vaginalis telah terbukti bertahan dalam hidrogen
peroksida (H2O2), asam laktat, dan antibiotik tingkat tinggi.22,23

2. Sinergi antara G. vaginalis dan P. bivia terjadi pada Epitel Vagina.


Setelah populasi G. vaginalis menggeser populasi lactobacilli vagina dan
memulai pembentukan biofilm vaginosis bakterial, terdapat dugaan bahwa
interaksi antara G. vaginalis dan P. bivia mempromosikan langkah selanjutnya
dalam patogenesis vaginosis bakterial. Selama masa inilah P. bivia bergabung
dengan G. vaginalis di lapisan bawah biofilm. P. bivia adalah konstituen umum
mikrobiota vagina manusia yang ditemukan pada vaginosis bakterial. G.
vaginalis dan P. bivia memiliki hubungan simbiosis yang baik secara in vitro,
dan interaksi antara bakteri ini mungkin merupakan langkah kunci dalam
patogenesis vaginosis bakterial. Proteolisis oleh G. vaginalis menghasilkan
asam amino yang meningkatkan pertumbuhan P. bivia dan amonia diproduksi
oleh P. bivia merangsang pertumbuhan G. vaginalis. Penelitian lain telah
menunjukkan bahwa P. bivia meningkatkan pembentukan biofilm yang
diprakarsai oleh G. vaginalis.23,24

6
3. Produksi sialidase oleh bakteri merusak lapisan mucus pelindung pada
lapisan epitel vagina.
Sialidase diproduksi oleh beberapa bakteri terkait vaginosis bakterial
menyebabkan kerusakan lapisan mukus pelindung pada epitel vagina dan
mengarah ke peningkatan kerentanan terhadap infeksi yang meningkat pada
saluran genital wanita. G. vaginalis dan P. bivia adalah bakteri terkait
vaginosis bakterial yang terbukti secara in vivo menghasilkan sialidase.
Spesies Prevotella lainnya (Prevotellaoralis dan Prevotella loescheii) dan B.
fragilis juga menghasilkan sialidase dalam penelitian ini, tetapi dalam jumlah
yang jauh lebih kecil Sialidase vagina diketahui telah terlibat dalam berbagai
aspek interaksi host-patogen, termasuk degradasi penghalang mukosa yang
kemungkinan berkontribusi pada karakteristik konsistensi cairan vagina pada
vaginosis bakterial, perlekatan bakteri,dan pelepasan sumber karbon untuk
memfasilitasi pertumbuhan bakteri.22 Aktivitas Sialidase juga memiliki
konsekuensi imunomodulatoruntuk pada reseptor sel inang.23

4. Hilangnya lapisan mucus meningkatkan kerentanan epitel terhadap


potensi adhesi bakteri terkait vaginosis bakterial lainnya dan
menyebabkan maturasi biofilm.
Hilangnya lapisan mukus pelindung pada epitel vagina menyebabkan
peningkatan adhesi bakteri terkait vaginosis bakterial lainnya dan terhadap
pembentukan biofilm polimikroba yang lebih matang. Ada banyak bukti yang
mendukung keterlibatan A. vaginae dalam patogenesis vaginosis bakterial. A.
vaginae sangat spesifik untuk vaginosis bakterial dan jarang terjadi tanpa
adanya G. vaginalis. A. vaginae telah ditemukan untuk menstimulasi respon
imun yang lebih kuat dari sel-sel epitel vagina daripada G. vaginalis dalam
hal produksi sitokin lokal dan produksi β-defensin. Hal inilah yang yang
diduga merupakan komponen utama dalam proses host immune response
vaginosis bakterial. Respon imun dapat berkontribusi pada perkembangan
gejala lain seperti keputihan serta komplikasi yang merugikan lainnya seperti
Pelvic Inflammatory Disease (PID).

7
Bau vagina khususnya juga terkait untuk meningkatkan kadar amina
biogenik vagina, termasuk putresin, kadaverin, dan trimetilamin, yang diproduksi
oleh beberapa bakteri yang berhubungan dengan vaginosis bakterial dan dapat
mengurangi komponen asam dan menjadi penghalang dalam pertumbuhan
lactobacilli vagina.23

Gambar 1. Patogenesis vaginosis bakterial.23

Hubungan antara vaginosis bakterial dan peningkatan risiko IMS pada


pasien penderita vaginosis bakterial di masa depan berasal dari fakta bahwa
vaginosis bakterial memungkinkan potensi patogen lainnya di vagina untuk
mendapatkan akses ke saluran genital bagian atas. Vaginosis bakterial juga
bertanggung jawab atas keberadaan enzim yang mengurangi kemampuan leukosit
penderita untuk melawan infeksi dan untuk peningkatan pelepasan endotoksin yang
merangsang produksi sitokin dan prostaglandin di dalam vagina.25

8
2.5 Gejala Klinis

Vaginosis bakterial simptomatik biasanya menyebabkan vaginal discharge


berwarna keputihan hingga abu-abu dengan jumlah yang banyak dan sering berbau
busuk. Bau, biasannya dideskripsikan sebagai "fishy odor" atau amis . Bau khas ini
berasal dari volatilisasi dari amina yang diproduksi oleh metabolisme bakteri
anaerob. Pruritus vulvovaginal dan peradangan pada umumnya tidak ada atau
ringan. Pada pemeriksaan fisik, lapisan vagina yang homogen seperti susu mungkin
terlihat melekat pada dinding vagina. Infeksi ini tidak umum pada pria. Namun,
uretra pria yang pasangan seksualnya memiliki gejala vaginosis bakterial sering
memiliki koloni dengan strain G. vaginalis yang sama.1,9

Gambar 2. Gambaran klinis vaginal discharge pada vaginosis bakterial.9

2.6 Diagnosis

Keluhan utama pada yang membawa pasien bakterial vaginosis ke klinis


adalah keputihan atau keluarnya cairan dari vagina. Cairan vagina atau vaginal
discharge dapat bersifat fisiologis ataupun patologis. Perlu dicurigai adanya
infeksi bila terdapat tanda cairan vagina patologis, yaitu perubahan warna, cairan
kental, berbau, dan terdapat gejala penyerta seperti gatal, nyeri vagina, disuria, dan
nyeri panggul.26 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis pasien
adalah:

- Karakteristik duh vagina: meliputi warna, konsistensi, volume, dan bau

9
- Gejala penyerta: rasa gatal, nyeri, dan perdarahan
- Riwayat kontrasepsi dan menstruasi
- Riwayat seksual pasien dan pasangan
- Riwayat obstetric
- Skrining faktor risiko: vaginal douching, penggunaan produk intravaginal,
wanita yang berhubungan seksual dengan sesama wanita, penggunaan
intrauterine device (IUD).
- Skrining infeksi menular seksual lain: HIV, trikomoniasis, klamidia,
gonorrhea.26,28

Dalam praktik klinis, vaginosis bakterial didiagnosis secara klasik


menggunakan kriteria Amsel.9 Kriteria diagnosis Amsel membutuhkan tiga dari
empat kriteria yang harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis vaginosis
bakterial. Kriteria yang dimaksud antara lain:
1) PH vaginal yang lebih dari 4,5,
2) clue cell di cairan vagina
3) pengeluaran cairan seperti susu yang homogen dari vagina
4) bau amis seperti ikan (fishy odor) setelah diberi KOH 10% ke cairan
vagina (Whiff test).

Pemeriksaan clue cell umumnya dilakukkan menggunakan metode wet


mount test, dengan cara mengambil sampel pada cairan vagina lau diletakan pada
gelas objek yang telah ditetesi dengan normal saline/ nacl 0.9. selanjutnya ditutup
di objek gelas dan diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x.9

Vaginosis bakterial juga dapat didiagnosis menggunakan Kriteria Nugent,


yaitu sistem skoring yang diterapkan pada pemeriksaan Gram cairan vagina.
Kriteria Nugent menghitung jumlah per lapang pandang lactobacilli relatif terhadap
jumlah morphotypes bakteri terkait vaginosis bakterial. Kriteria Nugent dianggap
sebagai gold standard untuk diagnosis vaginosis bakterial dalam lingkup
penelitian.9,29

10
Organisme Jumlah per Lapang Pandang Skor
Lactobacillus >30 per lapang pandang 0

5-30 per lapang pandang 1

1-4 per lapang pandang 2

<1 per lapang pandang 3

0 per lapang pandang 4

Bacteroides/Gardnerella 0 per lapang pandang 0

<1 per lapang pandang 1

1-4 per lapang pandang 2

5-30 per lapang pandang 3

>30 per lapang pandang 4

Mobiluncus 0 per lapang pandang 0

1-4 per lapang pandang 1

5 per lapang pandang 2

Tabel 1. Kriteria Nugent.29

Interpretasi Kriteria Nugent:


- Skor 0-3: normal
- Skor 4-6: intermediate (lakukan pemeriksaan ulang)
- Skor 7-10: bakterial vaginosis

Tes lain, termasuk Affirm VP III dan tes OSOM BV Blue yang mendeteksi
aktivitas sialidase cairan vagina , memiliki karakteristik kinerja yang dapat diterima

11
dibandingkan dengan pewarnaan Gram.2 Baru-baru ini, pemeriksaan Polymerase
Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi berbagai Bakteri terkait- vaginosis
bakterial telah diteliti. Meskipun PCR dapat menawarkan beberapa utilitas dalam
di masa depan, PCR belum divalidasi secara luas untuk diagnosis vaginosis
bakterial pada populasi besar dan beragam perempuan serta biaya pemakaian yang
mahal. Kultur untuk G. vaginalis sebaiknya tidak digunakan mendiagnosis
vaginosis bakterial karena 36-55% wanita tanpa vaginosis bakterial akan memiliki
bakteri terkait vaginosis bakterial ini sebagai bagian dari normal flora.9

Gambar 3. Clue cell pada pasien vaginosis bakterial.9

Gambar 4. Pewarnaan Gram cairan vagina dari seorang wanita dengan vaginosis
bakterial.9

2.7. Diagnosis Banding

1. Trikomoniasis
Gejala trikomoniasis berupa cairan vagina berwarna kuning kehijauan,
berbusa dan berbau busuk. Pemeriksaan apusan vagina trikomoniasis sering
menyerupai pemeriksaan apusan vaginosis bakterial, namun mobilincus dan
clue cells tidak pernah ada dalam trikomoniasis. Pada pemeriksaan

12
mikroskopik, akan ditemukan peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan
pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk diagnosis.31

2. Kandidiasis
Cairan vagina pada kandidiasis hanya sedikit. Cairan vagina pada
kandidiasis berwarna putih, tidak berbau, kental dan dengan pH normal (<4,5).
Namun, kadang dijumpai gambaran khas yaitu vaginal thrush, yaitu bercak
putih yang terdiri dari gumpalan jamur dan jaringan nekrosis epitel yang
menempel pada vagina. Berbeda dari vaginosis, pasien dengan kandidiasi
mengalami gejala rasa sakit pada vagina dan iritasi/panas/sakit saat berkemih.
Pada pemeriksaan mikroskopik, duh tubuh vagina yang ditambah KOH 10%
akan menunjukkan hifa dan spora Candida.32

3. Gonore
Pada gonore duh tubuh vagina berwarna putih, encer, purulen dan sedikit
berbau busuk. Pada pemeriksaan gram mukosa serviks, akan ditemukan
bakteri diplococcus Gram negatif intrasel.33

2.8. Tatalaksana

1. Farmakologis
Pengobatan vaginosis bakterial bertujuan untuk mengurangi efek yang
ditimbulkan bakteri anaerob pada vagina dan untuk memperbaiki gejala
keputihan abnormal atau berbau busuk. Perawatan farmakologis untuk
vaginosis bakterial termasuk terapi oral atau intravaginal dengan metronidazole
atau klindamisin. Kedua obat ini aktif melawan mayoritas anaerob yang
mendominasi dalam vaginosis bakterial, dan relatif tidak aktif pada tingkat yang
bermakna secara klinis terhadap kelangsungan hidup spesies Lactobacillus .
Efektivitas metronidazole oral dan metronidazole intravagina tidak jauh
berbeda. Metronidazole oral yang diberikan selama 7 hari dapat mengurangi
gejala pada 87% wanita pada 2-3 minggu pengobatan. Perbaikan gejala terjadi
pada 71%-78% wanita yang menggunakan metronidazole intravaginal.
Efektivitas klindasmisin oral umumnya setara dengan metronidazole oral,

13
sementara klindamisin intravaginal memiliki rata-rata kesembuhan agak lebih
rendah dibandingkan dengan metronidazole intravaginal. 9
Lini pertama tatalaksana yang direkomendasikan International Union
against Sexually Transmitted Infections / World Health Organization
(IUSTI/WHO) adalah:
- Metronidazole oral 400-500 mg dua kali sehari selama 5-7 hari atau
- Metronidazole gel intravagina 0,75% 5 gram sekali sehari selama 5 hari atau
- Clindamycin krim intravagina 2% 5 gram sekali sehari selama 7 hari
Tatalaksana alternatif yang direkomendasikan adalah :
- Metronidazole oral 2 gram dosis tunggal atau
- Tinidazole oral 2 gram dosis tunggal atau
- Tinidazole oral 1 gram sekali sehari selama 5 hari atau
- Clindamycin oral 300 mg dua kali sehari selama 7 hari atau
- Dequalinium klorida tablet vagina 10 mg sekali sehari selama 6 hari.26

Regimen pengobatan vaginosis bakterial yang direkomendasikan


berdasarkan Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual tahun
2016 adalah:
- Metronidazole oral 2000 mg dosis tunggal
Terapi alternatif yang direkomendasikan adalah:
- Metronidazole oral 500 mg dua kali sehari selama 7 hari
- Clindamycin oral 300 mg dua kali sehari selama 7 hari.34

2. Nonfarmakologis (Edukasi dan Pencegahan)


Pasien dianjurkan untuk menghindari pemakaian produk pembersih
intravaginal atau vaginal douching.9 Pasien juga disarankan untuk
menkonsumsi probiotik. Pasien diberikan edukasi untuk tidak mengonsumsi
alkohol selama pengobatan dengan metronidazol berlangsung sampai 24 jam
sesudahnya. Penting bagi dokter untuk membahas perilaku seks aman dengan
semua pasien, terutama pasien yang termasuk dalam salah satu kelompok
demografis berisiko tinggi. Mengedukasi pasien tentang metode penularan,
komplikasi PMS, dan pilihan pengobatan sangat penting dalam meningkatkan
kesadaran terhadap penyakit.1,2

14
2.9. Komplikasi

Vaginosis bakterial yang tidak diobati dapat meningkatkan risiko infeksi


menular seksual termasuk HIV dan komplikasi kehamilan. Vaginosis bakterial
dapat meningkatkan risiko infeksi klamidia atau gonore kepada penderitanya
masing-masing sebesar 1,9 dan 1,8 kali lipat. Penelitian telah menunjukkan bahwa
perempuan terinfeksi HIV yang ditemukan memiliki vaginosis bakterial lebih
mungkin untuk menularkan HIV ke pasangan seksual mereka daripada mereka
yang tidak memiliki dan telah terbukti dikaitkan dengan peningkatan kejadian HIV
hingga enam kali lipat.20,34
Vaginosis bakterial telah terbukti menjadi faktor risiko dalam kehamilan
untuk persalinan prematur dan bayi dengan berat lahir rendah. Vaginosis bakterial
dapat meningkatkan risiko infeksi pascaoperasi setelah prosedur seperti
histerektomi atau dilatasi dan kuretase. Vaginosis bakterial kadang dapat
menyebabkan PID dan meningkatkan risiko infertilitas.1

2.10. Prognosis

Kasus vaginosis bakterial tanpa komplikasi dapat tuntas setelah perawatan


yang tepat. Dalam beberapa kasus vaginosis bakterial bahkan dapat sembuh tanpa
terapi. Komplikasi jarang terjadi, tetapi vaginosis bakterial lama atau tidak diobati
dapat menyebabkan gejala sisa yang lebih serius. Infeksi rekuren juga dapat terjadi.
Dokter harus mencurigai adanya infeksi yang terjadi bersamaan seperti kandidiasis
jika gejala tidak sembuh setelah pengobatan.1

15
BAB III

PENUTUP

Vaginosis bakterial adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh


ketidakseimbangan flora bakteri yang biasanya ada di vagina sehingga
menyebabkan penurunan lactobacilli pada flora normal. Secara umum vaginosis
bakterial ditandai dengan gejala klinis berupa vaginal discharge berjumlah banyak,
berwarna keputihan hingga abu-abu serta berbau khas fishy odor. Diagnosis
vaginosis bakterial salah satunya ditegakkan menggunakan Kriteria Amsel.
Tatalaksana dilakukan dengan pemberian metronidazol atau klindamisin. Setelah
didiagnosis dengan vaginosis bakterial, perempuan memiliki peningkatan risiko
memperoleh infeksi menular seksual lainnya (IMS), dan wanita hamil memiliki
peningkatan risiko prematuritas. Prognosis dari vaginosis bakterial baik apabila
diberikan tatalaksana yang tepat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Strowd LC, McGregor S, Pichardo RO. Gonorrhea, Mycoplasma, and


Vaginosis. Dalam Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS (Editor). Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi 9. Newyork: McGraw-Hill Co. 2019.h.3278-84.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease
Guideline 2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(3):69-75
3. Singh A, Walia I, Dhaliwal L. Demedicalizing women’s health. New Delhi:
Gyan Publishing House; 2010. h.64-69
4. Koumans EH, Sternberg M, Bruce C, McQuillan G, Kendrick J, Sutton M,
Markowitz LE. The prevalence of bacterial vaginosis in the United States,
2001-2004; associations with symptoms, sexual behaviors, and
reproductive healthexternal icon. Sex Transm Dis. 2007(11):864-9.
5. Thinkhamrop J. Antibiotics for treating bacteria vaginosis in pregnancy.
The WHO Reproductive Health Library. Geneva: World Health
Organization. 2018. [Disitasi 11 Juli 2020] Tersedia di:
https://extranet.who.int/rhl/es/node/75891.
6. Astriningrum R, .et .al. Prevalensi dan faktor risiko vaginosis bakterial
sesuai kriteria Amsel pada wanita penjaja seks di Tangerang. MDVI.
2015(42): 56-60
7. Clark N, Tal R, Sharma H, et al. Microbiota and Pelvic Inflammatory
Disease. Seminars in Reproductive Medicine. 2014;32(1):043–049.
8. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Standar Nasional Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia. Jakarta: KKI, 2019.h.154
9. Marazzo JM. Bacterial Vaginosis. Dalam: Beigi RH. Sexually Transmitted
Disease. Edisi ke-1. West Sussex:2012.h.54-63
10. Javed A, Parvaiz F, Manzoor S. Bacterial vaginosis: An insight into the
prevalence, alternative treatments regimen and it's associated resistance
patterns. Microb. Pathog. 2018 Feb;127:21-30.
11. Abdullateef RM. Ijaiya AS, Idris H. Bacterial vaginosis: Prevalence and
associated risk factors among non-pregnant women of reproductive age

17
attending a Nigerian tertiary hospital. Malawi Medical Journal. 2018 29(4),
290-93
12. Joesoef MR, Karundeng A, Runtupalit C, Moran JS, Lewis JS, Ryan CA.
High rate of bacterial vaginosis among women with intrauterine devices in
Manado, Indonesia. Contraception. 2001;64:169–72.
13. Ocviyanti D, Rosana Y, Olivia S, et al. Risk factors for bacterial vaginosis
among indonesian women, Med J Indones 2010, 19(2): 130–135.
14. Yi AW, Sudigdoadi S, Susiarno H. The bacterial vaginosis among pregnant
women in jatinangor. AMJ. 2019;6(4):186–91
15. Karim A, Barakbah J. Studi Retrospektif: Bakterial vaginosis. Period
Dermatol Venereol. 2016;5:127–33
16. Secor M, Coughlin G. Bacterial vaginosis update. Adv NPs PAs. 2013
Aug;4(8):23-6.
17. Payne SC, Cromer PR, Stanek MK, Palmer AA. Evidence of African-
American women's frustrations with chronic recurrent bacterial vaginosis. J
Am Acad Nurse Pract. 2010 Feb. 22(2):101-8
18. Schwebke JR, Muzny CA, Josey WE. Role of Gardnerella vaginalis in the
pathogenesis of bacterial vaginosis: a conceptual model. J Infect Dis 2014;
210:338–43.
19. Castro J, Alves P, Sousa C, et al. Using an in-vitro biofilm model to assess
the virulence potential of bacterial vaginosis or non-bacterial vaginosis
Gardnerella vaginalis isolates. Sci Rep 2015; 5:11640
20. Patterson JL, Stull-Lane A, Girerd PH, Jefferson KK. Analysis of
adherence, biofilm formation and cytotoxicity suggests a greater virulence
potential of Gardnerella vaginalis relative to other bacterial-vaginosis-
associated anaerobes. Microbiology. 2010; 156:392–9.
21. Alves P, Castro J, Sousa C, Cereija TB, Cerca N. Gardnerella vaginalis
outcompetes 29 other bacterial species isolated from patients with bacterial
vaginosis, using in an in vitro biofilm formation model. J Infect Dis. 2014;
210:593–6.
22. Gilbert NM, Lewis WG, Li G, et al. Gardnerella vaginalis and Prevotella
bivia trigger distinct and overlapping phenotypes in a mouse model of
bacterial vaginosis. J Infect Dis. 2019

18
23. Muzny CA, Taylor CM, Swords WE, Tamhanen A, Chattopadhyay D,
Cerca, N, Schwebke JR. An Updated Conceptual Model on the
Pathogenesis of Bacterial Vaginosis. The Journal of Infectious Diseases.
2019
24. Castro J, Machado D, Cerca N. Unveiling the role of Gardnerella vaginalis
in polymicrobial Bacterial Vaginosis biofilms: the impact of other vaginal
pathogens living as neighbors. ISME J. 2019; 13:1306–17.
25. Greenbaum S, Greenbaum G, Moran-Gilad J, et al. Ecological dynamics of
the vaginal microbiome in relation to health and disease. Am J Obstet
Gynecol. 2019 Apr;220(4):324-335.
26. Sherrard J, Wilson J, Donders G, Mendling W, Jensen J. 2018 European
(IUSTI/WHO) Guideline on the Management of Vaginal Discharge. Int J
STD AIDS. 2018;1–6
27. Nasioudis D, Linhares IM, Ledger WJ, Witkin SS. Bacterial vaginosis: a
critical analysis of current knowledge. BJOG. 2017;124:61–9.
28. Patel N, Seifeldin R, Hill W. Vaginal discharge in a young woman. Am Fam
Physician. 2014;89:905–6.
29. Rao DSR, Pindi DKG, Rani DU, Sasikala DG, Kawle DV. Diagnosis of
Bacterial Vaginosis: Amsel’s Criteria vs Nugent’s scoring. Sch J Appl Med
Sci. 2016;4:2027–31.
30. Van Der Pol B. Clinical and Laboratory Testing for Trichomonas vaginalis
Infection. J Clin Microbiol. 2016 Jan;54(1):7-12.
31. Armstrong AW, Bukhalo M, Blauvelt A. A Clinician's Guide to the
Diagnosis and Treatment of Candidiasis in Patients with Psoriasis. Am J
Clin Dermatol. 2016;17(4):329‐336.
32. Ng LK, Martin IE. The laboratory diagnosis of Neisseria gonorrhoeae. Can
J Infect Dis Med Microbiol. 2005 Jan;16(1):15
33. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta:
Kemenkes RI; 2016.
34. Jain JP, Bristow CC, Pines HA, et al. Factors in the HIV risk environment
associated with bacterial vaginosis among HIV-negative female sex
workers who inject drugs in the Mexico-United States border region. BMC
Public Health. 2018 Aug 20;18(1):1032.

19

Anda mungkin juga menyukai