Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH FARMAKOEPIDEMIOLOGI

“CEMARAN NDMA DALAM PRODUK RANITIDIN”

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Farmakoepidemiologi
Dosen Pengampu : Indra Lesmana, M.Si

Disusun oleh :

Kelas A17C (Konversi)

Reiny Kusuma Fajarianti D1A210042


Zulfa Nurani Alfiyyah D1A210055
Ade Cahyati D1A210065
Dini Febrianty D1A210077
Cecilia Febianti D1A210016
Hasna Zakiyah D1A210064

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-nya kami dapat meneyelesaikan Makalah Farmakoepidemiologi “Cemaran
NDMA dalam Produk Ranitidin”.
Makalah Farmakoepidemiologi ini disusun untuk memenuhi tugas dari Bapak
Indra Lesmana, M.Si selaku Dosen Pengampu mata kuliah Farmakoepidemiologi.
Selain itu kami berterimakasih kepada beliau yang telah membimbing kami selama
mata kuliah Farmakoepidemiologi ini dan memberikan kami kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi para
pembacanya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk makalah ini. Kami
juga mohon maaf apabila ada kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Bandung, 30 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4


2.1 Penyakit Tukak Lambung............................................................................. 4
2.2 Ranitidin....................................................................................................... 6
2.3 Sejarah Penemuan MDMA di Produk Ranitidin.......................................... 9
2.4 Penarikan Produk........................................................................................ 10
2.5 Penjelasan BPOM Tentang Penarikan Produk Ranitidin yang terkontam-
inasi Nitrosodimethylamine (NDMA)......................................................... 10
2.6 NDMA......................................................................................................... 12
2.7 Pengertian Desain Penelitian....................................................................... 14
2.8 Desain Penelitian Observasional dengan Pendekatan Case Control........... 14
2.9 Desain Penelitian Kohort............................................................................ 17

BAB III METODELOGI PENELITIAN ............................................................ 19


3.1 Desain Penelitian........................................................................................ 19
3.1.1 Kasus Kontrol................................................................................. 20
3.1.2 Kohort ............................................................................................ 20
3.2 Spesifikasi Penelitian ................................................................................. 21
3.3 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 21
3.4 Metode Analisis Data ................................................................................. 21

BAB IV Hasil Pengamatan dan Pembahasan ...................................................... 22


4.1 Pelaporan Spontan (Spontaneous Reporting)............................................. 22
4.2 Kasus Penarikan Obat Ranitidin................................................................. 23

ii
BAB V Kesimpulan .............................................................................................. 28
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia kesehatan terus melakukan perkembangan baik dibidang teknologi
dan ilmu pengetahuannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah terus melakukan
penelitian-penelitian dibidang kesehatan dan studi ilmu kesehatan. Hal tersebut
terus dikembangkan di setiap negara, karena kesehatan merupakan indikator
tingkat kesejahteraan manusia dalam suatu negara sehingga menjadi prioritas
pembangunan nasional suatu bangsa (Susanto, 2018). Dalam dunia kefarmasian,
terdapat studi kesehatan yang mempelajari tentang penggunaan obat dan efeknya
pada sejumlah besar manusia. Disebut dengan ilmu farmakoepidemiologi.
Berdasarkan perannya, farmakoepidemiologi dibedakan menjadi studi
observasional yang membahas tentang studi kasus control (case control), studi
potong lintang (cross sectional) dan studi kohort, serta studi eksperimental yang
membahas tentang eksperimen dengan kontrol random (Randomized Controlled
Trial /RCT) dan eksperimen semu (kuasi).
Dua diantara penelitian mengenai farmakoepidemiologi adalah studi kohort
dan kasus kontrol (case control). Dalam Epidemiologi, istilah kohort lebih
mengacu kepada sekelompok orang yang diteliti dan lahir dalam tahun yang sama,
atau dalam periode yang sama. Studi kohort akan melihat berbagai hubungan
antara faktor risiko dan efek dengan memilih kelompok studi berdasarkan
perbedaan faktor risiko. Kemudian penelitian kasus kontrol (case control)
merupakan suatu metode yang termasuk dalam golongan studi analitik yang
bersifat retrospektif (backward direction) yang digunakan untuk membandingkan
orang dalam sampel yang terkena penyakit sebagai kelompok case, dan orang
sehat/tanpa penyakit sebagai kelompok control. Status penyakit ditentukan
terlebih dahulu, baru kemudian mengusut riwayat paparannya ke belakang. Studi
case-control adalah desain utama yang digunakan untuk menentukan hubungan
antara penggunaan obat dan efek sampingnya atau reaksi sampingnya
(Sastroasmoro, 2011).

1
Jenis penelitian atau studi yang beragam mengharuskan untuk berpikir kritis
agar dapat menentukan studi yang tepat dan sesuai dengan masalah, tempat, dan
waktu yang akan diteliti. Seperti pada masalah epidemiologi, dimana
epidemiologi kesehatan mengalami perubahan dari penyakit menular yang selalu
menjadi masalah kematian utama, mulai digantikan oleh penyakit tidak menular
seperti kanker, penyakit jantung, stroke, serta penyakit kronik lainnya yang
merupakan penyebab kematian di dunia dengan persentase 63% dengan
membunuh 36 juta jiwa pertahun (Kemenkes RI, 2014).
Kanker merupakan penyakit tidak menular yang menjadi beban kesehatan
diseluruh dunia. Epidemiologi kanker dunia menunjukkan terjadi 10 juta kasus
baru kanker setiap tahun, dimana 4,7 juta lebih terjadi di negara maju dan hampir
5,5 juta terdapat di negara berkembang. Kematian akibat kanker diperkirakan
akan terus meningkat hingga lebih dari 13,1 juta pada tahun 2030. Kanker data
terjadi saat terjadi perubahan genetik sel menuju penyakit kanker yang dapat
terjadi secara spontan atau disebabkan oleh suatu agen karsinogenik yang
merupakan faktor resiko kanker. Suatu senyawa umumnya bisa menjadi
karsinogenik apabila dikonsumsi melebihi batas yang diperbolehkan. Seperti
NDMA (N-Nitrosodimethylamine) merupakan senyawa organik yang terbentuk
secara alami maupun sebagai produk sampingan industri. Nilai ambang batas
cemaran NDMA (N-Nitrosodimethylamine) yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari
dan bersifat karsinogenik bila dikonsumsi melebihi ambang batas secara terus
menerus dalam jangka panjang. Dalam suatu penelitian yang dikemukakan oleh
Juan (2017) disebutkan bahwa NDMA merupakan produk hasil dekomposisi atau
uraian (degradasi) dari Ranitidin. Sehingga, berdasarkan hal tersebut BPOM
menarik Ranitidin yang merupakan obat tukak lambung karena diduga terdapat
cemaran NDMA diatas nilai ambang batas yang dapat memicu kanker. Hal
tersebut juga dapat menambah resiko epidemiologi kanker semakin tinggi.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan farmakoepidemiologi, studi kasus kontrol
(case control) dan studi kohort?
2. Studi kasus farmakoepidemiologi yang berakibat terhadap penarikan obat?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi farmakoepidemiologi, studi kasus kontrol (case control)
dan studi kohort.
2. Mengetahui kasus farmakoepidemiologi yang berakbiat terhadap penarikan
obat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tukak Lambung


Lambung merupakan bagian dari saluran cerna setelah esofagus dan
sebelum duodenum. Tukak (ulkus) dapat terjadi pada mukosa, submukosa, dan
kadangkadang sampai lapisan muskularis dari traktus gastrointestinal
berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCl; Termasuk
tukak yang terdapat pada bagian bawah esofagus, lambung, dan duodenum bagian
atas (Sujono Hadi, 2002).
Berbagai penyakit pada lambung dapat menyebabkan lambung tidak
berfungsi secara maksimal dalam mencerna makanan dan minuman. Sebagai salah
satu organ sistem pencernaan, lambung berfungsi memecah makanan dan
minuman yang dikonsumsi menjadi cairan berbentuk pasta agar nutrisi di
dalamnya mudah diserap oleh usus halus.
Tukak lambung dapat disebabkan oleh zat yang dapat menginduksi sekresi
asam lambung, misalnya histamin dan anti inflamasi nonsteroid. Kerja berat,
stress berat, tidak tenang, atau kurang tidur juga menyebabkan asam lambung
yang tinggi. Sering terlambat makan, kebiasaan minum obat yang bersifat asam
saat perut kosong, minum minuman beralkohol dan menghisap rokok berlebihan
juga dapat menjadi penyebab tukak lambung. Demikian pula dengan infeksi
bakteri Helicobacter pylori yang dapat menyerang lapisan submukosa lambung
(Grossman, 1981).
Tukak lambung atau lebih populer dengan penyakit maag, banyak terdapat
pada masyarakat di dunia, pada semua umur. Tukak lambung lebih sering terjadi
pada pria daripada wanita di mana insidensi pria:wanita adalah 35:1 dan lebih
sering terjadi pada usia lebih dari 50 tahun (Wilson dan Lester, 1995).
Berbagai Macam Penyakit pada Lambung menurut Pieter J (2005):
Ada beberapa macam penyakit lambung yang perlu Anda waspadai.
Pasalnya, penyakit pada lambung ini dapat menyebabkan tubuh kekurangan

4
asupan nutrisi dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa
jenis penyakit pada lambung dan berbagai gejala yang menyertainya:
1. Gastritis
Gastritis atau peradangan pada dinding lambung terbagi menjadi dua jenis,
yaitu gastritis akut dan kronis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal,
mulai dari penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid dalam jangka panjang,
konsumsi alkohol secara berlebihan, hingga adanya penyakit autoimun. Pada
sebagian orang, gastritis dapat terjadi tanpa disertai gejala. Namun, jika
menimbulkan gejala, penderita gastritis bisa mengalami muntah, mual,
cegukan, nyeri pada ulu hati, hingga buang air besar dengan tinja berwarna
hitam. Jika tidak ditangani, gastritis dapat menyebabkan komplikasi serius
pada penderitanya, seperti tukak lambung, perdarahan lambung, dan kanker
lambung.
2. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
GERD (gastroesophageal reflux disease), yang juga dikenal sebagai
penyakit asam lambung, merupakan kondisi di mana makanan atau minuman
yang telah bercampur dengan asam lambung kembali naik ke kerongkongan.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan munculnya rasa asam atau pahit pada
mulut dan sensasi terbakar di dada. Tak hanya itu, penderita GERD juga bisa
mengalami mual, muntah, sakit tenggorokan, dan sulit tidur. Dalam jangka
panjang dan tanpa penanganan yang tepat, GERD dapat menyebabkan iritasi
serta perdarahan pada kerongkongan dan bahkan kanker esofagus.
3. Tukak lambung
Tukak lambung adalah luka akibat pengikisan pada dinding lambung atau
usus halus. Pada umumnya, penyakit pada lambung ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Helicobacter pylori atau konsumsi obat antiradang, seperti aspirin dan
ibuprofen, secara berlebihan. Seseorang yang mengalami tukak lambung dapat
merasakan beberapa gejala, seperti perut kembung, mual, sering sendawa,
nyeri ulu hati, bahkan muntah darah. Beberapa gejala ini juga bisa memburuk
saat penderitanya mengalami stres, mengonsumsi makanan pedas atau asam
secara berlebihan, serta merokok dan minum alkohol.

5
4. Gastroparesis
Otot lambung bertugas untuk mendorong makanan atau minuman ke
dalam usus halus. Namun, pada penderita gastroparesis, otot lambung tidak
dapat bekerja dengan maksimal, sehingga proses pencernaan makanan pun
menjadi lambat. Gastroparesis biasanya disertai dengan beberapa keluhan,
mulai dari cepat merasa kenyang saat makan, perut kembung, mual, nyeri ulu
hati, hingga memuntahkan makanan yang belum tercerna sempurna. Meski
penyebabnya belum diketahui secara pasti, gastroparesis diduga terjadi akibat
rusaknya saraf yang mengontrol otot lambung. Penyakit lambung satu ini juga
lebih berisiko terjadi pada orang dengan masalah kesehatan tertentu, seperti
amiloidosis, diabetes, dan skleroderma.
5. Kanker lambung
Penyakit pada lambung yang juga perlu diwaspadai adalah kanker
lambung. Pasalnya, kanker lambung jarang menimbulkan gejala yang spesifik
pada stadium awal, sehingga baru terdeteksi saat sudah memasuki stadium
lanjut.

2.2 Ranitidin
Ranitidin adalah obat maag yang termasuk dalam golongan antihistamin,
lebih tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi
produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat
ulkus atau tukak lambung, dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
Ranitidin merupakan obat pencegah kenaikan asam lambung yang mudah
ditemukan di apotek. Zat dalam obat ini dapat menekan asam lambung yang
diproduksi oleh sistem pencernaan. Secara klinis, obat ini mengurangi produksi
asam lambung berlebih akibat pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang
tidak sehat. Bentuknya bermacam-macam dan bisa berupa tablet, sirup, atau
bahkan suntikan. Disarankan untuk dikonsumsi sebelum makan untuk mengurangi
rasa mual yang berlebihan. Namun dosis yang diberikan harus sesuai anjuran
dokter karena kebutuhan tubuh akan obat ini berbeda-beda (PIOM Badan POM,
2019)

6
Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk mengobati gejala penyakit
tukak lambung dan tukak usus. Pada 13 September 2019, Badan Pengawas Obat
dan Makanan AS (FDA) dan Badan Obat Eropa (EMA) mengeluarkan peringatan
tentang penemuan kontaminasi NDMA dalam jumlah yang relatif kecil. NDMA
adalah turunan nitrosamin yang terjadi secara alami. Studi global telah
menentukan bahwa ambang batas yang diizinkan untuk kontaminasi NDMA
adalah 96 ng/hari (asupan harian yang dapat diterima), di atas itu, jika dikonsumsi
terus menerus untuk waktu yang lama, itu bersifat karsinogenik. (PIOM Badan
POM, 2019).
NDMA adalah cairan kuning, tidak berbau. Cairan buatan AS ini hanya
digunakan untuk bahan kimia penelitian. NDMA secara tidak sengaja terbentuk
dalam berbagai proses manufaktur di banyak lokasi industri dan di udara, air dan
tanah dari reaksi yang melibatkan bahan kimia lain yang disebut alkylamines.
Sayangnya, paparan NDMA membawa risiko tinggi merusak fungsi hati.
Kontaminasi tubuh dapat berasal dari obat-obatan, makanan dan udara. Efeknya
tergantung pada bagaimana cairan ini bersentuhan dengan tubuh, kebiasaan, dosis
tinggi, dan adanya bahan kimia lain di dalam tubuh. NDMA saat ini
diklasifikasikan sebagai "mungkin karsinogenik" pada manusia karena telah
ditemukan dan terbukti menyebabkan kanker pada penelitian pada hewan. FDA
masih menyelidiki apakah kadar NDMA yang relatif rendah dalam obat ranitidin
menimbulkan risiko kesehatan bagi penggunanya (PIOM Badan POM, 2019).
Meski begitu, kadar NDMA yang ditemukan pada ranitidin sangat rendah.
Diyakini bahwa itu tidak akan menyebabkan kerusakan sebanyak mungkin bila
digunakan dalam kadar dan dosis berlebih. Mengenai penggunaannya, pasien
yang memutuskan untuk berhenti minum obat ini karena alasan keamanan dan
keselamatan harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter mereka. Termasuk
saat meminta penggantian obat dengan fungsi serupa. Nah, jika Anda salah satu
orang yang ingin mengubah atau mencari informasi lebih lanjut terkait ranitidin
dan kontaminasi dengan pengotor NDMA ini (PIOM Badan POM, 2019).
Dalam rangka kehati-hatian, Badan POM telah menerbitkan informasi awal
untuk tenaga profesional kesehatan pada tanggal 17 September 2019 terkait

7
Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA. Badan POM
melakukan pengambilan dan pengujian beberapa sampel produk ranitidin. Hasil
uji sebagian sampel mengandung cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi
batas yang diperbolehkan. Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap
seluruh produk yang mengandung ranitidin (PIOM Badan POM, 2019).
Badan POM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun
1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu. Ranitidin tersedia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Pada tanggal 13 September 2019,
US FDA dan EMA mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran
NDMA dalam jumlah yang relatif kecil pada sampel produk yang mengandung
bahan aktif ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang
dapat terbentuk secara alami (PIOM Badan POM, 2019)
Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang
diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik
jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu
yang lama. Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengawal keamanan
obat yang beredar di Indonesia (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,
Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Berdasarkan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperboleh, Badan
POM memerintahkan kepada Industri Farmasi pemegang izin edar produk
tersebut untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi serta melakukan
penarikan kembali seluruh bets produk dari peredaran. Produk ranitidin yang
diperintahkan penarikannya antara lain Ranitidin Cairan Injeksi 25 mg/mL dengan
pemegang izin edar PT Phapros Tbk. Sementara itu, produk ranitidin yang ditarik
sukarela adalah Zantac Cairan Injeksi 25 mg/mL dari PT Glaxo Wellcome
Indonesia, Rinadin Sirup 75 mg/5mL dari PT Global Multi Pharmalab, Indoran
Cairan Injeksi 25 mg/mL dan Ranitidin cairan injeksi 25 mg/ML dari PT
Indofarma (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
RI, 2019).

8
2.3 Sejarah penemuan NDMA di Produk Ranitidin
Pada tanggal 13 Sepetember 2019, US-FDA mengeluarkan “Alert
Statement” beberapa produk Ranitidin, termasuk originator-nya yaitu ZANTAC
ditemukan telah “tercemar” suatu zat turunan Nitrosamine, yaitu NDMA – suatu
bahan yang diklasifikasikan sebagai bahan yang dapat menyebabkan kanker. US-
FDA (yang kemudian diikuti oleh EMA) segera mengambil langkah cepat dengan
mengeluarkan “Alert Statement” untuk melindungi pasien. Meskipun senyawa
NDMA yang ditemukan dalam obat Ranitidin tersebut hanya dalam jumlah yang
sangat kecil, namun demi prinsip “kehati-hatian”, US-FDA maupun EMA
merekomendasikan agar pasien yang mengkonsumsi Ranitidin, disarankan untuk
mengganti dengan obat lain.
Badan POM RI keluarkan pernyataan awal. Sikap yang sama juga diambil
oleh Badan POM RI yang merekomendasikan agar pasien yang diberi obat
Ranitidin diberikan informasi mengenai bahaya penggunaan bahan tersebut.
Meskipun tidak ada rekomendasi penarikan maupun penghentian terapi
menggunakan bahan ini, namun para profesi kesehatan diminta untuk waspada
dan melaporkan terhadap segala efek samping yang ditimbulkan.
Singapura dan Kanada tarik produk ranitidin. Sikap berbeda ditunjukan oleh
Otoritas Pengawasan Obat Singapore -Health Science Authority (HSA) – yang
langsung mengeluarkan surat recall dan larangan peredaran terhadap 8 merek obat
yang mengandung bahan aktif Ranitidin, yaitu Aciloc, Apo-Ranitidin, Hyzan,
Neoceptin, Vesyca (film-coated) , Xanidine, Zantac (injection, syrup dan tablet)
serta Zynol-150 dari seluruh klinik, rumah sakit, dan apotek.
Demikian pula dengan Otoritas Pengawasan Obat di Canada, Health
Canada, memerintahkan kepada seluruh distributor maupun produsen untuk
sementara waktu menghentikan distribusi seluruh produk Ranitidin dari
peredaran, termasuk Ranitidin produksi “raksasa” Sandoz AG maupun Sanofi SA.

9
2.4 Penarikan Produk
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan
pernyataan tentang kontaminasi NDMA atau n-nitrosodimethylamine, obat asam
lambung yang biasa digunakan untuk meredakan gangguan pencernaan, ranitidin.
Informasi ini diperoleh melalui Food and Drug Administration (FDA) dan
European Medicines Agency (EMA).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia,
menindaklanjuti surat edaran informasi awal berupa “Informasi Awal untuk
Tenaga Profesional Kesehatan Terkait Keamanan Produk Yang Mengandung
Bahan Aktif Ranitidin”. Badan POM menarik 5 produk mengandug ranitidin pada
4 Oktober 2019.
Penarikan tersebut menindak-lanjuti laporan dari US-FDA dan EMA
(European Medicines Agency) yang menemuakan adanya kontaminasi
(impurities) zat yang beberapa waktu lalu sempat membuat viral jagat
kefarmasian yaitu NDMA (Nitrosodimethylamine) pada sampel produk yang
mengandung bahan aktif ranitidin.

2.5 Penjelasan Bpom RI Tentang Penarikan Produk Ranitidin Yang


Terkontaminasi N-Nitrosodimethylamine (NDMA).
Sehubungan dengan adanya informasi cemaran N-Nitrosodimethylamine
(NDMA) pada produk obat yang mengandung ranitidin sebagaimana disampaikan
oleh US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine
Agency (EMA), Badan POM perlu menginformasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit
tukak lambung dan tukak usus.
2. Badan POM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun
1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu. Ranitidin
tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi.
3. Pada tanggal 13 September 2019, US FDA dan EMA mengeluarkan
peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam jumlah yang
relatif kecil pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin,

10
dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk
secara alami.
4. Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang
diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat
karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus
dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM
dalam mengawal keamanan obat yang beredar di Indonesia.
5. Dalam rangka kehati-hatian, Badan POM telah menerbitkan Informasi Awal
untuk Tenaga Profesional Kesehatan pada tanggal 17 September 2019
terkait Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA.
6. Badan POM saat ini sedang melakukan pengambilan dan pengujian
beberapa sampel produk ranitidin. Hasil uji sebagian sampel mengandung
cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi batas yang diperbolehkan.
Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh produk yang
mengandung ranitidin.
7. Berdasarkan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan,
Badan POM memerintahkan kepada Industri Farmasi pemegang izin edar
produk tersebut untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi serta
melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk dari peredaran
(terlampir).
8. Badan POM akan terus memperbaharui informasi sesuai dengan data yang
terbaru.
Sebagai bentuk tanggung jawab industri farmasi dalam menjamin mutu dan
keamanan obat yang diproduksi dan diedarkan, industri farmasi diwajibkan untuk
melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA dan menarik
secara sukarela apabila kandungan cemaran melebihi ambang batas yang
diperbolehkan.

11
2.6 NDMA
NDMA merupakan zat kimia organik yang termasuk golongan nitrosoamin.
Nitrosamin merupakan senyawa dari bentuk kimia R1 NNOR 2.

Gambar 1. Struktur kimia Senyawa Nitrosamin (Luan et al, 2005)


NDMA muncul dari Reaksi Degradasi Produk Ranitidin. NMDA terbentuk
melalui reaksi nitrit dengan amina sekunder. Sementara banyak nitrosamin
bersifat karsinogenik, beberapa tidak, dan potensinya bervariasi tergantung pada
struktur molekulnya. N-nitrosodimethylamine (NDMA), karsinogen yang sangat
kuat, biasanya terdeteksi dan sering digunakan sebagai senyawa indikator untuk
nitrosamin. Tingkat karsinogenisitas di antara senyawa-senyawa tersebut
bervariasi. N-Nitrosodiethylamine (NDEA) adalah karsinogen yang paling kuat
(Selin, 2011).
Beberapa contoh nitrosamin yang ditemukan pada makanan antara lain
adalah NDMA (N-nitrosodimethyamine), NDEA (N-nitrosodiethylamine),
NDBA (Nnitrosodibutylamine), NPIP (N-nitrosopiperidine), NPYR
(N-nitrosopyrrolidine), NMOR (N-nitrosomorpholine), NDPhA
(Nnitrosodiphenylamine), NPRO (N-nitrosoproline), dan NSAR (N-
nitrososarcosine). Berdasarkan klasifikasi International Agency for Research on
Cancer (IARC), NMDA dan NDEA merupakan nitrosoamin yang diklasifikasikan
sebagai kelas 2A , yaitu probably carcinogenic to human. NMEA, NDBA, NPIP,
NPYR, NMOR, and NSAR diklasifikasikan sebagai 2B (possibly carcinogenic to
human), sedangkan NPRO dan N- nitrosodiphenylalnine (NDPhA) diklasifikan
sebagai kelas 3 (not classifiable as to its carcinogenicity to humans) (Park, et al.,
2015).

12
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al pada hamster yang
berikan NDMA dan NDEA secara intratekal, menyimpulkan bahwa NDEA yang
diberikan secara intratekal lebih berpotensi menyebabkan kanker pada sistem
pernafasan dibandingkan dengan NDMA, Namun pemberian NDMA sendiri
menyebabkan karsinogenik pada hati pada total dosis 1,5 mg (Tanaka et al, 1988).
NDMA atau Nitrosodimethylamine banyak digunakan terutama dalam
penelitian laboratorium untuk menginduksi tumor pada hewan percobaan. Zat ini
dapat terbentuk selama memasak makanan, terutama daging dan ikan yang
diawetkan, yang mengandung natrium nitrit sebagai pengawet, tetapi juga
ditemukan dalam beberapa sayuran, keju, minuman beralkohol dan buah-buahan,
dan sebagai kontaminan dalam produk karet.
NMDA dapat muncul tiba-tiba dari berbagai bahan baku industri melalui
beberapa reaksi kimia seperti yang melibatkan alkilamina dengan nitrogen oksida,
asam nitrat atau garam nitrit. Sumber industri potensial termasuk produk
sampingan dari penyamakan kulit, pabrik pestisida, pabrik karet dan ban, situs
pembuatan dan penggunaan alkilamin, fasilitas pengolahan ikan, pabrik
pengecoran dan pewarna.
NDMA juga merupakan produk sampingan yang tidak disengaja dari
klorinasi air limbah dan air minum di pabrik pengolahan yang menggunakan
kloramin untuk desinfeksi (NCBI) Paparan NDMA dapat terjadi melalui (EPA,
2014) :
a Menelan makanan yang mengandung nitrosamin, seperti daging dan ikan
yang diasap atau disembuhkan
b Menelan makanan yang mengandung alkylamines, yang dapat
menyebabkan NDMA terbentuk di perut
c Minum air yang terkontaminasi
d Minum minuman malt (seperti bir dan wiski) yang mungkin mengandung
kadar nitrosamin rendah yang terbentuk selama pemrosesan
e Menggunakan produk perlengkapan mandi dan kosmetik seperti sampo dan
pembersih yang mengandung NDMA

13
f Menghirup atau menghirup asap rokok. Paparan di tempat kerja dapat
terjadi di penyamakan kulit, pabrik pembuat pestisida dan pabrik karet dan
ban Rute oral merupakan jalur utama paparan NDMA terhadap manusia
(EPA, 2014).
Paparan berlebih (overexposure) NDMA dapat menyebabkan kerusakan hati
pada manusia. Gejala overexposure NDMA yang mungkin terjadi antara lain
adalah sakit kepala, demam, mual, penyakit kuning, muntah, nyeri bagian perut,
pembengkakan hati, penurunan fungsi hati, ginjal, dan paru-paru, serta pusing.
Dalam studi hewan dari berbagai spesies termasuk tikus dan tikus, paparan
NDMA telah menyebabkan tumor terutama hati, saluran pernapasan, ginjal dan
pembuluh darah (DHHS 2011; IARC 1998).

2.7 Pengertian Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan semacam daftar yang berisi apa yang harus
dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Desain penelitian adalah sebuah
rencana, sebuah garis besar tentang bagaimana peneliti akan memahami bentuk
hubungan antar variabel yang diteliti. Desain penelitian dalam arti luas adalah
suatu desain penelitian yang dirancang mulai ditemukannya permasalahan
penelitian, penentuan tinjauan pustaka ilmiah, menentukan rancangan, pemproses
dan menyajikan hasil penelitian, sampai pada pembuatan laporan. Sedangkan
dalam arti sempit adalah desain penelitian yang dirancang dalam menentukan
metode atau jenis penelitian yang akan digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian (Irmawati dan Nurhaedah, 2017).
Klasifikasi penelitian desain penelitian secara garis besar terdiri dari desain
penelitian berdasarkan pada waktu penelitian (Irmawati dan Nurhaedah, 2017) :
a. Penelitian transversal (cross sectional); prospektif atau retrospektif
b. Penelitian longitudinal; prospektif atau retrospektif

2.8 Desain Penelitian Observasional dengan Pendekatan Case Control


Studi kasus kontrol adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari
hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit dengan cara

14
membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status
paparannya (Irmawartini dan Nurhaedah, 2017). Jadi, studi ini dapat dianggap
sebagai studi longitudinal, sebab subjek (kasus) diobservasi, tidak pada satu saat
saja, melainkan diikuti sampai periode tertentu. Sebagai control, dipilih subjek
yang berasal dari populasi yang memiliki karakteristik sama seperti kelompok
kasus namun tidak memiliki variabel tergantung (efek). Tujuan studi kasus
kontrol ini adalah untuk mengindentifikasi faktor-faktor risiko terjadinya suatu
penyakit (Santosa, 2020).
Tahapan dalam pelaksanaannya, ada beberapa tahapan pada penelitian
kasus-kontrol, yaitu (Irmawartini dan Nurhaedah, 2017).:
1. Tahap I : menentukan identifikasi masalah yang diikuti dengan membuat
hipotesis penelitian.
2. Tahap II : menentukan variabel penelitian yang terdiri dari efek dan faktor
risiko.
3. Tahap III : menentukan populasi terjangkau dan sampel, baik untuk
kelompok kasus maupun kelompok control.
4. Tahap IV : melakukan pengukuran variabel efek dan faktor risiko.
5. Tahap V : melakukan analisis data.
Ciri-ciri studi kasus kontrol adalah pemilihan subyek berdasarkan status
penyakit, untuk kemudian dilakukan pengamatan apakah subyek mempunyai
riwayat terpapar faktor penelitian atau tidak. Subyek yang didiagnosis menderita
penyakit disebut kasus, berupa insidensi (kasus baru) yang muncul dari suatu
populasi. Sedangkan subyek yang tidak menderita penyakit disebut kontrol, yang
dicuplik secara acak dari populasi yang berbeda dengan populasi asal kasus.
Tetapi, untuk keperluan inferensi kausal, kedua populasi tersebut harus dipastikan
setara. Dalam mengamati dan mencatat riwayat paparan faktor penelitian harus
menjaga untuk tidak terpengaruh status penyakit subyek (Irmawartini dan
Nurhaedah, 2017).
Studi kasus kontrol bersifat retrospektif yaitu menelusuri ke belakang
penyebab- penyebab yang dapat menimbulkan suatu penyakit di masyarakat,
dengan kelompok studi (kasus) adalah orang-orang yang menderita penyakit dan

15
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu orang-orang yang tidak menderita
penyakit tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan orang-orang yang
menderita penyakit atau kelompok studi (Irmawartini dan Nurhaedah, 2017).
Studi case control dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Rancangan penelitian kasus kontrol


Kelebihan penelitian kasus-kontrol, diantaranya sebagai berikut (Santosa, 2020) :
1. Dapat digunakan untuk meneliti suatu kasus yang jarang atau penyakit yang
memiliki masa laten yang panjang.
2. Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
3. Biaya penelitian relative lebih sedikit.
4. Jumlah subjek penelitian lebih sedikit.
5. Dapat sekaligus mengidentifikasi beberapa faktor risiko.
Kekurangan penelitian kasus-kontrol, diantaranya sebagai berikut (Santosa,
2020):
1. Terdapat recall bias dalam menentukan ada/tidaknya faktor risiko karena
mengandalkan memori dari subjek penelitian maupun data rekam medik
yang kurang akurat.
2. Validasi dari informasi kadang-kadang sulit didapat.
3. Sulit untuk meyakinkan bahwa antara kelompok kasus dengan control
memiliki sumber bias yang setara.

16
4. Tidak dapat memberikan incidence rates.
5. Tidak dapat digunakan untuk menentukan lebih dari satu variabel dependen
(efek/penyakit).

2.9 Desain Penelitian Kohort


Studi kohort adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan antara
paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar dan tidak
terpapar berdasarkan status penyakit (Irmawartini dan Nurhaedah, 2017). Berbeda
dengan studi kasus-kontrol, maka pada studi kasus kohort penelitian dimulai
dengan melakukan identifikasi faktor resiko (kausa) terlebih dahulu, kemudian
subjek diikuti secara prospektif selama periode tertentu untuk mencari ada atau
tidaknya efek (penyakit) yang ditimbulkan oleh faktor risiko tersebut (Santosa,
2020).
Ciri-ciri studi kohort adalah pemilihan subyek berdasarkan status
paparannya, dan kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah subyek
dalam perkembangannya mengalami penyakit yang diteliti atau tidak. Pada saat
mengidentifikasi status paparan, semua subyek harus bebas dari penyakit yang
diteliti. Jadi kelompok terpapar maupun kelompok tidak terpapar berasal dari satu
populasi atau dua populasi yang bebas dari penyakit yang diteliti. Jika berasal dari
dua populasi yang terpisah, maka untuk kepentingan inferensi kausal, peneliti
harus memastikan bahwa kedua populasi setara dalam hal faktor-faktor diluar
paparan yang diteliti (Irmawartini dan Nurhaedah, 2017).

Gambar 2.2 Rancangan penelitian kohort

17
Kelebihan studi kohort, diantaranya sebagai berikut (Santosa, 2020) :
1. Merupakan rancangan terbaik dalam menentukan insidens atau perjalanan
penyakit dan efek yang diteliti.
2. Terbaik dalam menerangkan dinamika hubungan antara faktor risiko dengan
efek secara temporal.
3. Terbaik dalam meneliti kasus yang bersifat fatal dan progresif.
4. Dapat digunakan untuk meneliti beberapa efek sekaligus dari suatu faktor
risiko tertentu.
5. Memiliki kekuatan yang andal dalam meneliti berbagai masalah kesehatan,
karena sifat pengamatannya yang kontinu dan longitudinal.

Kekurangan studi kohort, diantaranya sebagai berikut (Santosa, 2020) :


1. Memerlukan waktu yang lama.
2. Memerlukan sarana dan biaya yang besar.
3. Lebih rumit.
4. Kurang efisien dalam meneliti kasus yang terjadi.
5. Ancaman terjadinya drop-out cukup besar.
6. Masalah etika penelitian sering terabaikan.

18
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian epidemiologi adalah suatu rencana struktur dan strategi
untuk menjawab permasalahan yang mengoptimasi validitas. Rancangan disusun
sedemikian rupa sehingga menuntun peneliti memperoleh jawaban dari hipotesis.
Dalam arti sempit mengacu pada jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai
tujuan. Dasar desain studi epidemiologi ditegakkan atas dasar dua asumsi yaitu
kejadian sakit tidak terjadi secara acak dan penelusuran sistematik, cermat pada
kelompok penduduk yang berbeda dapat mengenal faktor-faktor penyebab dan
pencegahan terjadinya penyakit.
Pada kasus epidemiologi mengenai penarikan obat ranitidin yang diduga
mengandung cemaran NDMA diatas nilai ambang batas dapat menyebabkan
kanker adalah nilai yang melebihi 96 ng/hari (acceptable daily intake), sehingga
bersifat karsinogenik jika dikonsumsi diatas nilai ambang batas secara terus
menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penulusuran sistematik dari FDA
dengan EMA mengenai pengecekan pada saat row material masuk kemudian
dilakukan uji spesific CoA (Certificate of Analysis) menggunakan alat yang
spesifik dengan hasil yang dapat mendeteksi bahan pengotor (impurities) dengan
jumlah yang sangat kecil sekali yaitu menggunakan metode yang disebut LC-
HRMS (Liquid Chromatography – High Resolution Mass Spectrometry)
kemudian hasil dari pengecekan tersebut menghasilkan kejadian adanya
pencemaran NDMA terhadap obat ranitidin tersebut. Melalui hasil pelaporan dari
EMA dan FDA menjadikan obat tukak lambung tersebut ditarik karena
dikhawatirkan dapat menyebabkan epidemiologi kanker meningkat di dunia
maupun di Indonesia. Epidemiologi juga banyak digunakan untuk mengevaluasi
program-program pelayanan kesehatan pada tahun 1987 menyatakan bahwa
epidemiologi berguna dalam melayani penyebab case control dan cohort studies.

19
3.1.1 Kasus Kontrol (Case Control)
Rancangan Kasus Kontrol adalah rancangan studi epidemiologi yang
mempelajari hubungan antara penyebab suatu penyakit dan penyakit yang
diteliti dengan membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol
berdasarkan status penyebab penyakitnya. Pada kasus epidemiologi kanker
hubungan antara penyebab dan penyakit meliputi NDMA sebagai produk
sampingan yang bersifat karsinogenik yang menyebabkan penyakit kanker
dengan membandingkan kelompok kasus konsumen ranitidin dengan
kandungan NDMA diatas standar dan kelompok kontrol konsumen ranitidin
dengan kandungan NDMA dibawah standar.
3.1.2 Kohort
Rancangan Kohort adalah rancangan studi epidemiologi yang
mempelajari hubungan antara penyebab dari suatu penyakit dan penyakit
yang diteliti dengan membandingkan kelompok terpapar dan kelompok
yang tidak terpapar berdasar status penyakitnya. Pada kasus epidemiologi
penarikan ranitidin ini studi kohort yang dimaksud adalah penyebab
penyakitnya NDMA sebagai penyebab karsinogenik yang menyebabkan
penyakit kanker dengan membandingkan kelompok yang terpapar yaitu
orang yang mengkonsumsi ranitidin dengan kandungan NDMA lebih dari
acetable daily intake dan kelompok tidak terpapar yaitu orang yang masih
mengkonsumsi ranitidin tetapi masih dibawah aceptable daily intake nya.
1. Kohort Prospektif
Dalam kohort prosfektif faktor resiko diukur pada awal penelitian
kemudian dilakukan tindak lanjut untuk melihat kejadian penyakit
dimasa yang kan datang. Pada kasus penarikan ranitidin tersebut terjadi
karena adanya faktor resiko dari agen karsinogenik yaitu NDMA yang
menyebabkan obat tersebut ditarik dari pasaran.
2. Kohort Retrospektif
Faktor resiko dalam kohort retrospektif ini sudah terjadi sebelum
penelitian dimulai dimana variabel tersebut dapat terukur melalui
catatan sejarah. Seperti faktor resiko kanker dari bahan karsinogenik

20
dari suatu zat yang terbentuk secara spontan dalam berbagai reaksi
dimana bahan tersebut tidak diperlukan tetapi menjadi bahan pencemar
dalam suatu produk. Untuk kontaminasi obat sendiri pada tahun 2018
valsartan ditarik karena terkontaminasi NDMA, pada tahun 2019
ranitidin ditarik dari seluruh dunia karena terkontaminasi NDMA, dan
disusul oleh penarikan obat metformin di Singapura. Sehingga harus
dilakukan berbagai penelitian secara berkala untuk memastikan tidak
adanya kontaminasi obat karena adanya cemaran NDMA dalam jangka
waktu berkesinambungan.

3.2 Spesifikasi Penelitian


Spesifikasi dalam makalah ini menggunakan spesifikasi deskriptif analitis.
Dengan cara menjelaskan sekaligus menguraikan data-data yang diperoleh dari
berbagai sumber seperti jurnal-jurnal yang diperoleh dan media yang diberitakan.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Makalah ini bersumber dari data sekunder sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti :
a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
peraturan mengenai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
2. Bahan hukun sekunder, terdiri dari buku-buku teks yang memuat tulisan dan
pendapat para sarjana/ahli, hasil penelitian, hasil seminar, jurnal yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3.4 Metode Analisis Data


Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif
dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan
dengan topik makalah ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan
rumusan masalah.

21
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pelaporan Spontan (Spontaneous Reporting)


Pelaporan spontan merupakan laporan kejadian tidak diinginkan yang
diduga disebabkan oleh obat termasuk vaksin yang diedarkan oleh Industri
Farmasi. Pelaporan spontan tersebut dilakukan oleh Industri Farmasi berdasarkan
laporan tertulis atau lisan yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan, namun bukan dalam rangka pemantauan yang
direncanakan atau bagian dari suatu penelitian.
Fungsi yang paling penting dari sistem pelaporan spontan ini adalah
identifikasi awal sinyal dan perumusan hipotesis, yang kemudian mengarah untuk
lebih mengonfrimasi suatu penyelidikan atau kadang – kadang peringatan
peraturan dan perubahan informasi produk (Pal, et. al., 2013).
Fokus utama dari sistem pelaporan spontan ini adalah untuk mendeteksi
reaksi obat yang diketahui merugikan secara serius (efek samping obat). Semua
laporan ditinjau dan dianalisis untuk menghasilkan 'sinyal' atau 'peringatan' yang
serius, namun belum dikenali peristiwa terkait obat yang mungkin
mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat (Vallano, et. al., 2005). Sumber
data lain, seperti temuan farmakologi klinis dan hasil toksikologi hewan, dan
penelitian, juga dapat berkontribusi pada tubuh manusia secara keseluruhan data.
Data yang diperoleh dari pelaporan spontan selanjutnya dapat diintegrasikan
dengan pemahaman pengolahan data oleh peneliti dan metode analisis yang
digunakan untuk menyeimbangkan hasil yang diperoleh dengan uji klinis yang
dilakukan. Hasil yang diperoleh nantinya akan menunjukkan manfaat dan resiko
dari penelitian yang dilakukan. Metodologi pelaporan spontan ini diharapkan bisa
meningkatkan pelaporan efek samping yang dicurigai terhadap obat secara
langsung (Vallano, et. al., 2005).

22
4.2 Kasus Penarikan Obat Ranitidin
Pada Tahun 1989 BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
memberikan persetujuan penjualan dan peredaran ranitidin melalui kajian evaluasi
keamanan, khasiat, dan mutu. Seiringnya waktu berjalan selama 30 Tahun
beredar, pada tanggal 13 September 2019 pihak US Food and Drug
Administration (FDA) dan European Medicine Agency (EMA) mengeluarkan
peringatan melalui situs resmi FDA bahwa FDA mengetahui dari pengujian
laboratorium independen yang menemukan cemaran senyawa nitrosamine atau
biasa disebut N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang termasuk dalam cemaran
kimia yang berasal dari unsur atau senyawa kimia yang dapat membahayakan
kesehatan manusia yaitu diduga dapatmemicu timbulnya kanker (Rufaidah, 2020).
NDMA yang terdapat pada ranitidin sebelumnya di uji menggunakan
metode yang lama, namun hal tersebut tidak terdeteksi. Seiring berjalannya waktu
dengan perkembangan kemajuan teknologi, Center for Drug Evaluation and
Research US – FDA, Amerika Serikat, melakukan pengujian dan penelitian pada
obat ranitidin menggunakan metode Analisa dengan teknologi yang sedemikian
luar biasa, termasuk alat – alat deteksi dan alat ukur seperti LC-HRMS (Liquid
Chromatography – High Resolution Mass Spectrometry), maka impurities NDMA
dalam ranitidin dengan jumlah yang sangat kecil jauh di bawah ambang yang
ditetapkan, yaitu 17 microgram/ml pun dapat terdeteksi dan diukur dengan akurat
dan presisi. hasil pengujian tersebut ditemukan bahwa NDMA yang ada pada
ranitidin merupakan hasil dekomposisi atau uraian (degradasi) yakni, adanya
reaksi antara monochloramine dengan ranitidin yang menghasilkan zat yang
disebut nitrosodimethylamine (NDMA). Reaksi degradasi inilah penyebab dari
keberadaan NDMA dalam obat ranitidin. FDA telah menemukan tingkat N-
nitrosodimethylamine (NDMA) di beberapa produk ranitidin meningkat seiring
waktu dan suhu yang menimbulkan risiko bagi konsumen, dan oleh karena itu
badan tersebut telah meminta penarikan semua produk ranitidin dari pasar AS.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Juan dkk, 2017 tingkat NDMA
meningkat pada ranitidin bahkan dalam kondisi penyimpanan normal, dan NDMA
telah ditemukan meningkat secara signifikan dalam sampel yang disimpan pada

23
suhu yang lebih tinggi, termasuk suhu yang mungkin terpapar produk selama
distribusi dan penanganan oleh konsumen. Pengujian juga menunjukkan bahwa
semakin tua produk ranitidin, atau semakin lama waktu sejak diproduksi, semakin
besar tingkat NDMA. Kondisi ini dapat meningkatkan tingkat NDMA dalam
produk ranitidin di atas batas asupan harian yang dapat diterima.
NDMA (N-Nitrosodimethylamine) merupakan senyawa organik yang
terbentuk secara alami maupun sebagai produk sampingan industri. Zat ini dapat
ditemukan di tanah, air, udara, makanan, air dari hasil pengolahan, produk karet,
obat-obatan dan bahkan dapat dibentuk di dalam tubuh manusia. NDMA dapat
terdegradasi dan terurai secara alami dengan berbagai cara, salah satunya adalah
dengan sinar ultraviolet dari matahari. NDMA merupakan salah satu senyawa
sederhana dari golongan potential human carsinogenic, N-nitrosamine.
Keberadaan NDMA tidak selalu memicu gangguan kesehatan, hal ini tergantung
pada konsentrasi dan lama paparan (KalbeMed).
Senyawa nitrosamine sebenarnya di perbolehkan terlarut dalam obat, akan
tetapi harus sesuai dengan batas maksimum yang diperbolehkan, namun pada
kenyataannya senyawa yang ada pada beberapa obat ranitidin berada dalam kadar
melebihi ambang batas maksimum yang diperbolehkan. Ambang batas yang
diperbolehkan dalam kandungan obat ranitidin yakni 0,096 mikrogram (96
nanogram) acceptable daily intake yang artinya masyarakat boleh mengkonsumsi
obat ranitidin tersebut dengan ambang batas tersebut atau setara dengan 0,32 ppm
(part per million) (Rufaidah, 2020).
Beberapa batch produk ranitidin di Indonesia mengandung cemaran dengan
kadar yang melebihi batas ambang sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
terbentuknya kanker apabila produk ranitidin di konsumsi secara terus menerus.
Sehingga ada beberapa produk ranitidin ditarik dan dimusnahkan karena
kandungan NDMA melebihi ambang batas dan dirasa membahayakan konsumen,
namun ada juga kandungan NDMA yang ada dibawah ambang batas sehingga
tetap boleh beredar dipasaran. Total 67 batch dari 9 produk ranitidin yang
diedarkan 7 perusahaan farmasi diketahui memiliki kadar NDMA diatas ambang
batas dipersyaratkan dan izin edarnya dibekukan.

24
Beberapa produk ranitidin yang ditarik dari pasaran ada yang bersifat
perintah dan sukarela berdasarkan rilis resmi Badan POM (per 4 Oktober 2019)
adalah:
1. Perintah penarikan
Perintah berlaku pada produk Ranitidin berbentuk cairan injeksi 25 mg/ml
dengan pemegang izin edar PT Phapros Tbk, Nomer bets produk yang beredar
adalah:
 95486 160 s/d 190
 06486 001 s/d 008
 16486 001 s/d 051
 26486 001 s/d 018
2. Penarikan sukarela
Penarikan bersifat sukarela berlaku pada empat jenis produk dengan
pemegang izin yang berbeda-beda. Berikut keterangannya:
 Zantac
Produk ini berbentuk cairan injeksi 25 mg/ml dengan nomer bets produk
yang beredar 0400518001, 0400718001, dan 0400818001. Pemegang izin
edar adalah PT Global Multi Pharmalab.
 Indoran
Obat ini berbentuk cairan injeksi 25 mg/ml dengan nomer bets prouk yang
beredar BF 12/008. Pemegang izin edar adalah PT Indofarma.
 Ranitidin
Produk ini berbentuk cairan infeksi 25 mg/ml dengan nomer bets
BF17/009 s/d 021. Pemegang izin edar adalah PT Indofarma.

Tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap konsumen


sebagai contoh dalam kasus obat Ranitidin sebagai berikut :
1. Pada tanggal 13 September 2019, US Food and Drug Administration (US
FDA) dan European Medicine Agency (EMA) mengeluarkan peringatan
tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam jumlah yang relatif kecil
pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin. Studi global

25
memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan
adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika
dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu
yang lama. Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengawal
keamanan obat yang beredar di Indonesia.
2. Pada tanggal 17 September 2019, Badan POM menerbitkan informasi awal
untuk tenaga profesional kesehatan terkait keamanan produk yang
mengandung bahan aktif ranitidin.
3. Pada tanggal 4 Oktober 2019, Badan POM menerbitkan penjelasan terkait
jenis produk ranitidin yang terdeteksi mengandung cemaran NDMA di atas
ambang batas berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan Badan POM.
Badan POM telah memerintahkan industri farmasi pemegang izin edar
produk yang terdeteksi mengandung cemaran NDMA yang melebihi batas
ambang untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi serta
melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk yang terdeteksi
mengandung cemaran NDMA.
4. Berdasarkan kajian terhadap hasil pengujian yang telah dilakukan Badan
POM sampai dengan tanggal 9 Oktober 2019 terhadap adanya cemaran
NDMA pada produk ranitidin, dalam rangka kehati-hatian untuk melindungi
masyarakat Badan POM memerintahkan seluruh industri farmasi pemegang
izin edar produk ranitidin untuk menghentikan sementara produksi,
distribusi dan peredarannya.
5. Sebagai bentuk tanggung jawab industri farmasi dalam menjamin mutu dan
keamanan obat yang diproduksi dan diedarkan, beberapa industri farmasi
telah melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA dan
menarik secara sukarela produk ranitidin dengan kandungan cemaran
melebihi ambang batas yang diperbolehkan.
6. Badan POM terus melakukan pengambilan dan pengujian sampel produk
ranitidin. Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh
produk yang mengandung ranitidin untuk menjadikan dasar pengambilan
keputusan selanjutnya.

26
7. Masyarakat yang sedang menjalani pengobatan dengan ranitidin dapat
menghubungi dokter atau apoteker untuk mendapatkan alternatif pengganti
terapi.

27
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Farmakoepidemiologi merupakan suatu studi yang mempelajari penggunaan
obat pada populasi dan memegang peranan penting dalam fokus utama
untuk menguraikan sejarah alamiah dari suatu penyakit.
2. Studi kasus kontrol (case control) dilakukan dengan cara membandingkan
antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status
paparannya sementara studi kohort mempelajari hubungan antara paparan
dan penyakit, dengan membandingkan kelompok terpapar dan tidak terpapar
berdasarkan status penyakit.
3. Kasus penarikan obat ranitidin dilatarbelakangi dengan ditemukannya
cemaran senyawa nitrosamine atau N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang
termasuk dalam cemaran kimia dan diduga dapat memicu timbulnya kanker.

28
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2019). Penjelasan


Badan POM RI tentang Perkembangan Penarikan Produk Ranitidin.
www.pom.go.id diakses tanggal 30 Maret 2022.
Badan POM. (2019). Diakses pada tanggal 05 April 2022 jam 11:10
https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/102/PENJELASAN-
BPOM-RI-TENTANG-PENARIKAN-PRODUK-RANITIDIN--YANG-
TERKONTAMINASI-N-NITROSODIMETHYLAMINE--NDMA-.html
Dyan, N. 2011. Konsep Dasar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
Environmental Protection Agency (EPA). (2014). Air Quality Index: A Guide to
Air Quality and Your Health. New York: U.S. Government Printing Office.
Grossman L.I., Seymour O., Carlos E., (2013). Ilmu Endodontik Dalam Praktek,
11th., Jakarta: EGC
Irmawartini dan Nurhaedah. (2017). Bahan Ajar Kesehatan Lingkungan
Metodologi Penelitian. Jakarta : Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Badan Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan.
Juan, Lin Wang, dan Yongmei Li. (2017) .Characterization of N-
nitrosodimethylamine formation from 2 the ozonation of ranitidin. Journal
Of Enviromental Sciences.
KalbeMed. https://kalbemed.com/article/show/257
Kemenkes RI. (2014). Data dan Informasi Tahun 2014 Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Liteplo RG. Meek ME. Windle W. (2002). Concise International Chemical
Assessment Document 38 – N-Nitrosodimethylamine. United Nations
Environment Programme, Labour Organization, World Health Organization
Luan, F., R. Zhang, C. Zhao, X. Yao, M. Liu, Z. Hu, and B. Fan .(2005).
Classification of the carcinogenicity of N-nitroso compounds based on

29
support vector machines and linear discriminant analysis, Chemical
research in toxicology. New York
Morton, Richard. 2009. Panduan Studi Epidemiologi dan Biostatistik. Jakarta:
EGC.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pal S N, Falzon D, Duncombe C, Olsson S. WHO Strategy for Collecting Safety
Data in Public Health Programmes: Complementing Spontaneous
Reporting Systems. Drug Saf 2013; 36:75–81.
Park, J. E., Seo, J. E., Lee, J. Y., & Kwon, H. (2015). Distribution of Seven
NNitrosamines in Food. Toxicological research, 31(3), 279-88.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor Hk.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 Tentang Penerapan
Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi
Pieter J. (2005). Lambung dan Duodenum. Dalam. Buku Ajar Ilmu Bedah. II.
Jakarta. EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Pieter J. (2005). Lambung dan Duodenum. Dalam. Buku Ajar Ilmu Bedah. II.
Jakarta. EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Priyambodo, Bambang. Diakses pada tanggal 5 April 2022 11:00
https://farmasetika.com/2019/10/05/ndma-muncul-dari-reaksi-degradasi-
produk-ranitidin/
PubMed Central. (2021). Diakses pada tanggal 04 April 2022 09:46
https://www-ncbi-nlm-nih-gov./pmc/articles/PMC8301580/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
Rufaidah, Ani. (2020). Tanggung Gugat Badan Pengawas Obat dan Makanan
Terhadap Peredaran Ranitidin. Jurist-Diction Vol. 3. Universitas Airlangga
Santosa, Slamet. (2020). Metodologi Penelitian Biomedis. Bandung : Universitas
Maranatha.
Sastroasmoro dan Imanuel S. (2011). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto.
Selin, N.E. (2011). Environmental Guidelines and Regulations for Nitrosamines:
A Policy Summary.

30
Sujono, Hadi. (2002). Asites dalam Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Susanto. Ahmad (2018). Hubungan Antara Karakteristik Individu dan
pengetahuan dengan Kepatuhan Perawat Terhadap Penvcegahan dan
Pengendalian Infeksi di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang. Magelang :
Universitas Muhammadiyah Magelang.
Tanaka A., Hisanaga A., Inamasu T., Hirata M., Ishinishi N. (1988) . A
comparison of the carcinogenicity of N-nitrosodiethylamine and N-
nitrosodimethylamine after intratracheal instillation into Syrian golden
hamsters. Food and Chemical Toxicology Japanesse Journal. Tokyo
The U.S. Department of Health and Human Services. A Timeline of AIDS.
(2014). New York: U.S. Government Printing Office.
US Food & Drug Administration. Diakses pada tanggal 3 April 2022 10:23
https://www.fda.gov/news-events/press-announcements/fda-requests-
removal-all-ranitidin-products-zantac-market
Vallano A, Cereza G, Pedròs C, Agustí A, Danés I, Aguilera C, et al. (2005).
Obstacles and Solutions for Spontaneous Reporting of Adverse Drug
Reactions in The Hospital. British Journal of Clinical Pharmacology; 60:6
653–658.
Wilson dan Lester, (1995). Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam:
Patofisiologi. Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai