Anda di halaman 1dari 25

Clinical Science Session

VAGINOSIS BAKTERIALIS

Oleh :
Nurul Izzah 2140312071

Preseptor :

dr. Benny Oktora, Sp. OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD DR. AHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................2


BAB 1 .......................................................................................................................3
PENDAHULUAN ....................................................................................................3
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................3
1.2 Batasan Masalah............................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................4
1.4 Metode Penulisan ..........................................................................................4
BAB 2 .......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................5
2.1 Anatomi Vagina ............................................................................................5
2.1 Vaginitis ........................................................................................................6
2.2 Vaginosis Bakterialis ....................................................................................6
2.2.1 Definisi ......................................................................................................6
2.2.2 Epidemiologi .............................................................................................7
2.2.3 Faktor Resiko.............................................................................................7
2.3.4 Etiologi Vaginosis Bakterialis .................................................................10
2.3.5 Gejala Klinis ............................................................................................12
2.3.6 Diagnosis Vaginosis Bakterialis ..............................................................12
2.3.7 Pemeriksaan .............................................................................................14
2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik tambahan ..........................................................16
2.3.9 Diagnosis banding ...................................................................................17
2.3.10 Tatalaksana ..............................................................................................17
2.3.11 Follow up .................................................................................................18
2.4 Vaginosis Bakterialis pada Kehamilan........................................................19
2.4.1 Cairan Vagina pada Kehamilan ...............................................................19
2.4.2 Hubungan Vaginosis Bakterialis dengan Kelahiran Prematur ................20
2.4.3 Pengobatan pada kehamilan ...................................................................20
2.4.4 Komplikasi ...................................................................................................22
BAB 3 .....................................................................................................................23
KESIMPULAN ......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vaginosis Bakterialis (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang
sering dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi, disebabkan
ketidakseimbangan flora normal yang terdapat di vagina. Tanda klinis infeksi
vaginosis bakterialis ditandai dengan adanya produksi sekret vagina yang banyak,
berwarnaputih, homogen, berbau amis dan terdapat peningkatan pH.1,2 Di seluruh
dunia, vaginosis bakterialis merupakan penyebab keluhan vagina yang umum di
antara wanita usia reproduksi, dengan variasi menurut populasi yang diteliti.3
Prevalensi dan distribusi vaginosis bakterialis bervariasi di antara seluruh
populasi dunia. Di Amerika Serikat vaginosis bakterialis merupakan penyakit
yang sering terjadi pada perempuan, dengan prevalensi yang bervariasi antar ras
dan etnis, African-American 51%, Hispanic 32%, dan ras kulit putih 23%.2
Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
2001-2004, diperkirakan 21,2 juta (29,2%) pada perempuan berusia 14-49. Ini
termasuk semua kasus dengan gejala infeksi dan asimptomatik.3
Beberapa penelitian melaporkan prevalensi vaginosis bakterialis tinggi
pada populasi ras Afrika, Afro-Amerika, dan Afro-Karibia.3,4 Afrika Timur dan
Selatan memiliki angka kejadian vaginosis bakterialis yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan Afrika Barat.2 Prevalensi vaginosis bakterialis didapatkan
sebesar 32% di antara wanita Asia di India dan Indonesia.5 Berdasarkan penelitian
Pujiastuti di poli IMS RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007-2011
didapatkan 35 pasien baru vaginosis bakterialis, yang merupakan 0,71% dari
jumlah kunjungan pasien Divisi IMS dan 0,1% dari jumlah kunjungan pasien baru
URJ Penyakit Kulit dan Kelamin. Kelompok usia terbanyak didapatkan pada
kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 74.3%.6
Vaginosis bakterialis bukan merupakan infeksi menular seksual, namun
bila terinfeksi, dapat meningkatkan risiko terkena HIV dan menularkan HIV.
Wanita dengan vaginosis bakterialis juga meningkatkan risiko terkena herpes
simpleks virus tipe 2, dan meningkatkan risiko terinfeksi dan reinfeksi HPV
(human papillomavirus). Vaginosis bakterialis juga diasosiasikan dengan
infertilitas, dimana angka kejadiannya lebih tinggi pada wanita infertil (45,5%)
dibandingkan wanita fertile (15,4%). Selama kehamilan, ibu yang terkena
vaginosis bakterialis juga berisiko melahirkan prematur (bila didiagnosis pada
trimester 2 awal), risiko abortus spontan (bila didiagnosis pada trimester 1), risiko
korioamnionitis, KPD, dan post partum endometriosis.1
Diagnostik infeksi vaginosis bakterial dapat ditegakkan dengan beberapa
metode, yaitu Kriteria Nugent, Kriteria Amsel, Kriteria Spiegel. Melihat besarnya
risiko yang ada pada infeksi vaginosis bakterial, maka perlu dilakukan skrinning
yang jelas pada wanita hamil maupun tidak hamil sehingga dapat menghindari
risiko yang ada serta melaksanakan penanganan secara holistik.1,2

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala
klinis, diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis
bakterialis.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
vaginosis bakterialis.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vagina


Vagina adalah rongga muskulo membranosa berbentuk tabung mulai dari
tepi cervix uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral.
Vagina berfungsi untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada haid, untuk jalan lahir
dan untuk kopulasi (persetubuhan). Batas dalam secara klinis yaitu forniks
anterior, posterior dan lateralis di sekitar serviks uteri. Vagina menghubungkan
genitalia interna dan eksterna. Panjang ukuran anterior vagina adalah 6,5 cm dan
posterior vagina 9 cm. Sumbu vagina berjalan sejajar dengan arah pinggir bawah
simfisis ke promontorium. Secara embriologis 2/3 bagian atas vagina terbentuk
dari duktus Mulleri (asal dari entoderm), 1/3 bagian bawah berasal dari sinus
urogenitalis (lipatan-lipatan ektoderm).7
Epitel vagina terdiri dari atas epitel skuamosa, terdiri dari beberapa lapis
epitel gepeng tidak bertanduk dan tidak mengandung kelenjar, tapi dapat terjadi
transudasi. Mukosa vagina berlipat-lipat secara horizontal (rugae), di tengah dan
bagian belakang ada yang mengeras, disebut dengan kolumna rugarum. Di bawah
epitel vagina terdapat jaringan ikat yang banyak mengandung pembuluh darah.
Di bawah jaringan ikat terdapat otot-otot yang sususnannya serupa dengan otot-
otot usus. Bagian luar otot terdapat fasia (jaringan ikat) yang elastis dan akan
berkurang keelastisitasannya sesuai dengan pertambahan usia. Sebelah depan
vagina terdapat uretra sepanjang 2,5-4 cm. Bagian atas vagina berbatsan dengan
vesika urinaria sampai ke forniks anterior vagina.7
Gambar 2.1 Anatomi Vagina

2.1 Vaginitis
Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering
terjadi. Peradangan ini dapat disebabkan oleh infeksi, ataupun efek dari perubahan
hormonal yang terjadi di dalam tubuh. Vagina secara normal didiami oleh
sejumlah organisme (flora normal), antara lain, Lactobacillus acidophillus,
Difterioid, Candida, dan flora normal lain. pH fisiologis vagina adalah 4 (3,5-4,5)
yang akan menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mengontrol
pertumbuhan flora normal yang terdapat di dalam vagina. Diagnosis vaginitis
memerlukan pemeriksaan mikroskopik cairan vagina.8

2.2 Vaginosis Bakterialis


2.2.1 Definisi
Vaginosis bakterialis sebelumnya telah disebut sebagai vaginitis
nonspesifik atau vaginitis Gardnerella. Vaginosis bakterialis adalah penyebab
vaginitis paling biasa. Umumnya tidak dianggap sebagai penyakit menular
seksual karena pernah dilaporkan kejadiannya pada perempuan muda dan
biarawati yang tidak aktif secara seksual.8
Tidak ada penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran
komposisi flora vagina normal yang mengakibatkan hilangnya hidrogen peroksida
- memproduksi lactobacilli dan peningkatan bakteri anerobik sampai sepuluh kali
serta kenaikan dalam konsentrasi Gardnerella vaginalis.8

2.2.2 Epidemiologi
Vaginosis bakterialis sering mengenai perempuan usia reproduksi.
Diperkirakan 5-70% wanita terkena vaginosis bakterialis. Angka kejadian
vaginosis bakterialis cukup tinggi di Afrika, dan jarang di Asia dan Eropa. Di
Amerika Serikat, angka kejadian vaginosis bakterialis pada wanita usia 14-49
tahun sekitar 30%. Terdapat variasi jumlah wanita yang terkena antar grup etnis,
dan yang paling sering adalah pada wanita kulit hitam.1
Vaginosis bakterialis dapat meningkatkan terkenanya dan penularan HIV,
juga meningkatkan risiko penyakit radang panggul (PID). Vaginosis bakterialis
lebih sering dijumpai pada pemakai AKDR dibanding kontrasepsi lain dan
meningkatkan risiko penyakit menular seksual. Pada ibu hamil dengan vaginosis
bakterialis meningkatkan infeksi klamidia dua kali dan gonorea enam kali lipat.
Di samping itu, ada hubungan kuat antara vaginosis bakterialis yang didiagnosis
pada umur kehamilan 16 sampai 20 minggu dengan kelahiran prematur (umur
kehamilan kurang dari 37 minggu).8
Studi terbaru yang dilakukan pada wanita hamil, HIV-positif dan wanita
dengan infertilitas melaporkan prevalensi vaginosis bakterialis tinggi. Di antara
perempuan hamil di timur laut Nigeria dan Ethiopia, prevalensi vaginosis
bakterialis adalah 17 dan 19%, masing-masing; wanita dengan (HIV) positif,
prevalensi vaginosis bakterialis 48% terdapat di India, sedangkan pada wanita
dengan infertilitas di Qom dan Iran prevalensi vaginosis bakterialis ditemukan
sebanyak 70%. Dalam beberapa tahun terakhir, vaginosis bakterialis dalam
kalangan wanita yang berhubungan seks dengan wanita (WSW) telah meningkat.2

2.2.3 Faktor Resiko


Beberapa faktor risiko dari vaginosis bakterialis antara lain sbb:

a. Aktivitas seksual
Aktivitas seksual merupakan faktor risiko untuk vaginosis bakterial,
terutama ketika kondom tidak digunakan secara konsisten. Bukti epidemiologi
sangat mendukung transmisi seksual dari vaginosis bakterialis patogen. Ada
kejadian yang tinggi vaginosis bakterialis dan konkordansi flora pada wanita yang
berhubungan seks dengan wanita, lebih lanjut menunjukkan bahwa transmisi
seksual adalah penting. Wanita yang berhubungan seks dengan wanita beresiko
untuk infeksi menular seksual (IMS). Wanita lesbian dan biseksual dapat
mengalami IMS satu sama lain melalui: Kulit-ke-kulit, kontak mukosa (misalnya,
mulut ke vagina) cairan vagina, darah haid dan berbagi mainan seks. Beberapa
IMS lebih umum di kalangan lesbian dan wanita biseksual dan dapat lolos
dengan mudah dari wanita untuk wanita (seperti vaginosis bakteri). IMS lain
sangat kecil kemungkinannya untuk diteruskan dari wanita dengan wanita
melalui hubungan seks (seperti HIV). Vaginosis bakterialis dikaitkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap berbagai infeksi menular seksual, termasuk
gonore, herpes, trichomoniasis dan HIV namun vaginosis bakterialis belum dapat
dikategorikan dalam infeksimenular seksual.9

b. Kebiasaan Douching
Selain itu, vaginosis bakterialis dapat juga terjadi tanpa hubungan seksual.
Menurut Office on Women’s Health, US Department of Health and Human
Services, kebiasaan douche dapat meningkatkan risiko vaginosis bakterialis.(10)
Wanita yang sering douche (sekali seminggu) berpotensi 5 kali lipat lebih
mungkin untuk mengembangkan vaginosis bakterialis daripada wanita yang tidak
douche.(11) Kebanyakan dokter menyarankan supaya wanita tidak douche.
Douching dapat mengubah keseimbangan flora vagina (bakteri yang hidup dalam
vagina) dan keasaman vagina yang sehat.10
Vagina yang sehat memiliki bakteri baik dan berbahaya. Keseimbangan
bakteri komensal membantu menjaga lingkungan asam. Lingkungan asam
melindungi vagina dari infeksi atau iritasi. Douching dapat menyebabkan
pertumbuhan berlebih dari bakteri berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
ragi atau Vaginosis bakterial. Jika seseorang sudah memiliki infeksi vagina,
douching dapat mendorong bakteri penyebab infeksi, ke dalam rahim, saluran
tuba, dan ovarium. Hal ini dapat menyebabkan penyakit radang panggul.10
c. Merokok
Pada penelitian Bagaitkar et al. mengutip tiga mekanisme tembakau
mempengaruhi infeksi bakteri di tubuh manusia: perubahan fisiologis dan
struktural, peningkatan virulensi bakteri, dan disregulasi fungsi kekebalan tubuh.
Nikotin dan metabolitnya cotinine telah terdeteksi dalam lendir serviks perokok.
Ada hipotesis bahwa merokok menyebabkan akumulasi amina vagina, yang
dikombinasikan dengan efek antiestrogenik dari merokok menyebabkan
predisposisi seorang wanita untuk vaginosis bakterialis.11
Wanita yang merokok memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari
pertengahan siklus dan estradiol fase luteal dibandingkan dengan non-perokok,
dan didokumentasikan dengan baik bahwa mikro vagina dipengaruhi oleh
estrogen endogen. Selain itu, sedikit jumlah benzo [a] pyrene diol epoksida
(BPDE) ditemukan di cairan vagina perempuan yang merokok dan BPDE secara
signifikan meningkatkan induksi bakteriofag di lactobacilli. Merokok maka dapat
mengurangi jumlah lactobacilli vagina sebagai pelindung dengan
mempromosikan induksi fag.11

d. Stress
Stres adalah suatu peristiwa fisik atau emosional yang dapat
mempengaruhi tubuh dan / atau kesehatan emosional individu. Awalnya stres
memicu respon fight-or-flight. Pada saat yang sama pencernaan dan sistem
kekebalan tubuh melambat. Kortisol, adrenalin dan noradrenalin dilepaskan oleh
kelenjar adrenal, untuk membantu melakukan perubahan yang diperlukan untuk
mengatasi stres.Sebagai respon stres dipertahankan, tubuh terus memproduksi
kortison dalam jumlah tinggi, yang dapat menyebabkan siklus tidur terganggu,
peningkatan kebutuhan gizi dan kekebalan menurun. Respon stres dan kekebalan
rendah, dapat menyebabkan vagina menjadi lebih rentan terhadap
ketidakseimbangan flora.12

e. Kekurangan Vitamin D
Menurut Journal of Nutrition, dari 41 persen wanita yang memiliki
vaginosis bakterialis, 52 persen digolongkan sebagai kekurangan vitamin D,
setara dengan 25(OH)D kurang dari 37.5nmol/L. Wanita dengan vaginosis
bakterialis ditemukan memiliki 25(OH)D (29.5nmol/L)lebih rendah dibandingkan
dengan wanita bebas dari vaginosis bakterialis (40.1nmol/L). Penelitian ini
namun, tidak membuktikan hubungan sebab-akibat dan studi lebih lanjut
diperlukan untuk menambahkan dukungan untuk pengamatan bahwa kadar
vitamin D mungkin berhubungandengan kejadian vaginosis bakterial.13

f. Penggunaan kontrasepsi
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pil KB kombinasi oral dan
progestin, serta penggunaan kondom, adalah pelindung terhadap vaginosis
bakterialis. Hubungan antara vaginosis bakterialis dan penggunaan IUD kurang
jelas; beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko vaginosis
bakterialis pada pengguna IUD sedangkan penelitian lain tidak menemukan
peningkatan risiko pada pengguna. Penggunaan IUD yang menyebabkan
perdarahan yang tidak teratur memiliki dua kali lebih kemungkinan untuk
berkembang menjadi vaginosis bakterialis. Beberapa mekanisme potensial
dimana perdarahan tidak teratur bisa meningkatkan risiko akuisisi vaginosis
bakterialis adalah, darah memiliki pH netral yang meningkatkan pH vagina
normal asam. Hubungan antara menstruasi dan kekambuhan vaginosis bakterialis
telah dijelaskan dengan peningkatan bakteri anaerob dan penurunan lactobacilli.
Selain itu, lactobacilli adhesi pada sel-sel darah merah yang dapat mengakibatkan
konsentrasi lactobacillus vagina menurun pada wanita dengan perdarahan uterus
yang sering atau terus-menerus.14

2.3.4 Etiologi Vaginosis Bakterialis


Vaginosis akterialis bukan merupakan infeksi menular seksual, dan
mekanisme transmisinya belum sepenuhnya diketahui. Diperkirakan
ketidakseimbangan flora normal di vagina berperan dalam patomekanisme
vaginosis bakterialis, dimana terjadi penurunan jumlah produksi hydrogen
peroksida oleh Lactobacillus sp. disertai pertumbuhan bakteri anaerob.1
Pengujian PCR baru sekarang tersedia melalui peningkatan laboratorium
diagnostik komersial yang menawarkan identifikasi berbagai bakteri vaginosis
bakterialis terkait, termasuk: Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae, spesies
Megasphaera dan Mobiluncus.9

Tabel 2.1 Bakteri penyebab Vaginosis bakterial

Patofisiologi Vaginosis Bakterialis


Penjelasan definitif patogenesis vaginosis bakterial tetap sulit dipahami,
namun pemahaman saat ini adalah mengenai perpindahan flora normal
lactobacilli dalam vagina ke bakteri anaerob, yang mengarah ke respon pro-
inflamasi dan sindrom klinis. Lactobacilli menghasilkan asam laktat dari
glikogen, sebuah proses yang mempertahankan pH vagina tetap asam;
lingkungan pH rendah menghambat pertumbuhan spesies bakteri lain yang
biasanya hadir dalam vagina dalam tingkat rendah.

Gambar 2.2 Fungsi Lactobacilli


Ketika Lactobacilli kurang, flora vagina berubah secara signifikan dengan
pertumbuhan berlebihan dari organisme, seperti Gardnerella vaginalis, Atopobium
vaginae, Mobiluncus curtisii, Prevotella bivia, spesies Haemophilus, spesies
Bacteroides, spesies Fusobacterium, Mycoplasma hominis, spesies
Peptostreptococcus, dan spesies Ureaplasma.11
Peneliti telah menetapkan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis jelas
memiliki keragaman bakteri lebih besar bila dibandingkan dengan wanita tanpa
vaginosis bakterialis. Salah satu model yang diusulkan dari vaginosis bakterialis
berpendapat bahwa G. Vaginalis merangsang atau menginduksi transisi patogen
dengan menempel pada sel epithelium host dan menciptakan komunitas bakteri
biofilm yang memfasilitasi akumulasi epitel patogen lainnya. Ekologi vagina
berbeda antara perempuan dan dipengaruhi oleh status kekebalan individu, serta
banyak faktor lingkungan dan perilaku lainnya; faktor-faktor ini dapat
memodulasi ekspresi penyakit dan tingkat keparahan. Temuan dari beberapa
penelitian menunjukkan penularan bakteri anaerob dapat memainkan peran kunci
dalam pengembangan vaginosis bakterialis, baik pada wanita heteroseksual dan
pada wanita yang berhubungan seks dengan wanita.11

2.3.5 Gejala Klinis


Sampai setengah dari semua perempuan dengan vaginosis bakteri tidak
memiliki gejala. Jika ada gejala, sebagian besar wanita dengan vaginosis bakteri
akan berbau busuk (“bau amis”), cairan homogen, yang jelas, putih atau abu-abu
keputihan yang dilaporkan lebih sering setelah berhubungan seksual dan setelah
selesai menstruasi; Keputihannya bisa banyak sekali dan pada pemeriksaan
dengan spekulum lengket di dinding vagina. Pruritus atau iritasi vulva dan vagina
jarang terjadi. labial dan / atau vulva bengkak dan tanda-tanda atau gejala
peradangan lainnya biasanya tidak hadir.11

2.3.6 Diagnosis Vaginosis Bakterialis


Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan
riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-
kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau
nyeri abdomen. Pada pemeriksaan inspekulo dapat ditemukan sekret vagina yang
berwarna putih atau abu-abu yang melekat padadinding vagina.15

Kriteria Amsel
Secara klinik menurut Amsel, dkk., diagnosis bakterial ditegakkan bila
terdapat tiga dari empat kriteria berikut, yaitu:15
• adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah;
• adanya bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,
• duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;
• pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine
paper(nitrazine paper).
Dari ke empat kriteria tersebut, yangpaling baik untuk menegakkan
diagnosis vaginosis bakterial adalah pemeriksaan basah untuk mencari adanya
clue cell(sel epitelvagina yang diliputi oleh coccobacillus yangpadat) dan adanya
bau amis pada penetesan KOH 10%.15
Penelitian yang telah dilakukan oleh Thomason Jl, dkk. melaporkan bahwa
untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial, menunjukkan:15
• bila ditemukan sel clue pada sediaan basah, memberikan nilai sensitivitas
98,2%,spesifisitas 94,3%, prediksi positif 89,9%, dan prediksi negatif 99%,
• bila ditemukan sel clue ditambah adanya bau amis, memberikan nilai
sensitivitas81,6%, spesifisitas 99,5%, prediksi positif 98,8%, dan prediksi
negatif 92,1%;
• bila dilakukan pewarnaan Gram, maka memberikan nilai sensitivitas
97%,spesifikasi 66,2%, prediksi positif 57,2%, dan prediksi negatif 97,9%.
Dengan melihat hasil tersebut, apabila fasilitas laboratorium belum
memadai, maka metode terbaik dalam membantu menegakkan diagnosis
Vaginosis bakterial adalah mencari clue cell pada sediaan basah dan tes adanya
bau amis pada penetesan KOH 10%. Tetapi adanya bau amis ini tidak selalu dapat
dievaluasi pada saat siklus menstruasi, dan juga tergantung pada fungsi
penciuman agar dapat mendeteksi adanya bau amis tersebut.
Dengan demikian apabila adanyabau amis ini sukar dievaluasi, maka
ditemukannya clue cell saja sudah dapat membantu menegakkan diagnosis
kemungkinan adanya bakterialis vaginosis.15

Kriteria Hay/Ison15
• Grade 1 (normal): Morphotypes Lactobacillus mendominasi
• Grade 2 (Intermediate): Kombinasi flora dengan beberapa Lactobacilli, dan
jugaGardnerella atau Mobiluncus morphotypes.
• Grade 3 (BV): Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes.
Sedikitatau tidak ada Lactobacilli.

2.3.7 Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Clue cell
Sampel cairan vagina harus dikumpulkan dari dinding lateral vagina.
Sebuah slide spesimen, disebut sebagai “wet mount”, dapat dibuat dengan setetes
0,9% NaCl dan setetes spesimen keputihan. Sebuah metode alternatif persiapan
preparat basah adalah dengan mengambil swab vagina dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dengan kurang dari 1 mL saline, diaduk, dan kemudian
menambahkan satu tetes dari tabung reaksi ke slide spesimen. Setelah itu, kaca
penutup harus ditempatkan di atas tetesan pada slide, diikuti dengan pemeriksaan
langsung di bawah mikroskop pada pembesaran (10x) dan (40x).
Preparat harus diteliti secara menyeluruh untuk clue cell dan organisme
trichomonas yang motil. Penundaan lebih dari 10 menit dalam memeriksa sediaan
basah secara signifikan mengurangi kemungkinan memvisualisasikan
trichomonads motil. Clue cell yang ditemukan menyarankan suatu diagnosis
vaginosis bakteri.11
Gambar 2.3 Fungsi lactobacilli

b. Tes Whiff
Sampel cairan vagina ditempatkan pada kaca objek dan solusi KOH 10%
ditambahkan. Segera setelah pemberiaan KOH, gelas objek didekatkan kehidung
untuk melakukan tes whiff; kehadiran bau "amis" yang kuat dianggap sebagai tes
whiff positif.11

c. Pemeriksaan pH
pH cairan vagina dapat ditentukan dengan menempatkan pH kertas lakmus
pada dinding vagina atau langsung di sekresi vagina yang dikumpulkan. pH
normal vagina biasanya antara 3,8 dan 4,5. pH lebih dari 4,5 dapat didiagnosis
dengan vaginosis bakteri.11

d. Pewarnaan Gram
Pemeriksaan sederhana, cepat dan tidak mahal untuk membantu diagnosis
Vaginosis bakterial adalah dengan melakukan pewarnaan Gram pada pulasan
cairan vagina. Kombinasi pH vagina 4.5 dan pewarnaan Gram dari cairan vagina
merupakan metode yang baik dalam membantu diagnosis. Meskipun Vaginosis
bakterial sering dihubungkan dengan isolasi Gardnerella vaginalis, suatu bakteri
anaerob, tetapi sampai saat ini cara tersebut tidak dapat dipakai untuk kriteria
diagnosis. Dengan melakukan pewarnaan Gram pada cairan vagina, pasien
dengan Vaginosis bakterial memperlihatkan sesuatu yang khas yaitu banyak
organisme Gram negatif ukuran kecil yang menyerupai Gardnerella vaginalis pada
keadaan tidak dijumpainya Lactobacillus.15
Spiegel dkk. menemukan bahwa pewarnaan Gram bersifat konsisten
terhadap vaginosis bakterial. Oleh karena itu Spiegel merekomendasikan
pewarnaan Gram tanpa kultur pada cairan vagina untuk diagnosis bakterial dapat
disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang sukar dibiakkan sehingga
pemeriksaan laboratorium menjadi mahal, juga Gardnerella vaginalis dijumpai
pada >40-50% wanita sehat. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian
Thomason, dkk. yang tidak mengevaluasi hasil kultur Gardenella vaginalis karena
hanya mempunyai nilai diagnostik rendah.15
Meskipun demikian, spesimen swab vagina tetap dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain dan menambah
dukungan terhadap diagnosis lain dan menambah dukungan terhadap diagnosis
klinik bakterial vaginosis. Menurut Thomason, dkk. untuk terjadinya Vaginosis
bakterial maka jumlah Lactobacillus menurun, sedangkan jumlah bakteri lainnya
meningkat, dan pH vagina juga harus meningkat. Ketiga keadaan ini harus terjadi
bersamaan.15

2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik tambahan


Modalitas diagnostik lainnya termasuk BD Affirm VPIII DNA
hybridization Probe (yang dapat mendeteksi T. vaginalis, C. albicans, dan G.
vaginalis) dan pemeriksaan tidak langsung aktivtas enzimatik yang terkait dengan
organisme yang menyebabkan vaginosis bakteri: PIP memeriksa aktivitas
aminopeptidase prolin dan OSOM BV-blue memeriksasialidase. Baik kultur
maupun tes Papanicolaou serviks dianjurkan karena sensitivitas dan spesifisitas
rendah.15
Pemeriksaan kultur tersedia untuk kedua spesies T. vaginalis dan
Candida.Kultur untuk vaginosis bakteri tidak dianjurkan karena sensitivitas
rendah (kurang dari 50%) dan potensi salah dalam mengidentifikasi bakteri
komensal sebagai patogen, sehingga pengobatan yang tidak sesuai.15
2.3.9 Diagnosis banding
Tabel 2.2 Diagnosis Banding Vaginitis

2.3.10 Tatalaksana
Pedoman pengobatan CDC Tahun 2015 merekomendasikan pengobatan
pada Wanita dengan gejala vaginosis bakteri. Direkomendasikan rejimen
termasuk metronidazole 500 mg secara oral dual ali sehari selama 7 hari,
metronidazole gel 0,75%/22g dalam vagina sekali sehari selama 5 hari; atau krim
klindamisin 2%, 2g dalam vagina sebelum tidur selama 7 hari; rejimen alternatif
termasuk tinidazol oral, klindamisin oral, atau klindamisin intravagina ovules.
Pasien harus diedukasi supaya tidak minum alkohol saat mengonsumsi
metronidazol atau tinidazol karena bisa memicu reaksi disulfiram.9
Selain itu, pasien tidak harus minum alkohol selama 24 jam setelah dosis
terakhir metronidazole dan selama 72 jam setelah dosis terakhir tinidazol. Krim
Klindamisin adalah berbasis minyak dan dapat melemahkan lateks kondom
dan diafragma selama 5 hari setelah pengunaanya.Pasien harus disarankan untuk
mengurangi aktivitas seksual atau menggunakan kondom secara konsisten selama
rejimen pengobatan.9
Gardnerella telah menunjukkan tingkat tinggi resistensi terhadap
metronidazole. Jika pengobatan ini digunakan untuk episode awal, atau jika
pasien tidak memberi respon dengan metronidazol, agen alternatif harus
dipertimbangkan. Pasien harus difollow up dalam sehari atau dua setelah dosis
asam borat terakhir. Jika seorang pasien mengalami remisi, gel metronidazole
harus diberikan dua kali seminggu selama 4 sampai 6 bulan sebagai terapi
supresif. Setelah vaginosis bakterialis diobati, jadwal follow up kunjungan 1
sampai 2 bulan setelah pengobatan untuk memantau kriteria Amsel. Ini akan
membantu memastikan eradikasi anaerob dan pertumbuhan kembali lactobacilli
yang sehat. Tes follow up dari penyembuhan juga menunjukkan keberhasilan
pengobatan dan meminimalkan kemungkinan kekambuhan.9
Probiotik sedang diteliti potensi mereka sebagai sumber eksogen
penggantian lactobacilli. Penyisipan vagina dengan asam boratatau asam laktat
mencipta lingkungan yang lebih asam, yang diperlukan untuk menghindari
kolonisasi organisme patogen terkait dengan vaginosis bakterialis. Penyisipan
vagina dengan Lactobacillus acidophilus dapat meningkat pertumbuhan kembali
lactobacilli. Dua lactobacilli yang berbeda berada pada flora vagina yang sehat,
Lactobacillus crispatus dan Lactobacillus jensenii. Penelitian berfokus pada
perumusan lactobacilli tersebut ke dalam kapsul untuk digunakan vagina namun
tidak ada suplemen lactobacilli yang tersedia secara komersial telah terbukti
efektif sejauh ini.9

2.3.11 Follow up
Follow up tidak perlu jika tidak ada lagi keluhan pada pasien. Bakterialis
vaginosis bersifat persisten atau rekuren adalah umum, sehingga pasien harus
disarankan untuk follow up bertujuan untuk mengevaluasi jika gejala kambuh.
Deteksi organisme Bakterialis vaginosis tertentu telah dikaitkan dengan resistensi
antimikroba dan mungkin prediksi risiko kegagalan pengobatan selanjutnya. Data
yang terbatas tersedia mengenai strategi pengelolaan yang optimal untuk wanita
dengan vaginosis bakterialis persisten atau berulang. Menggunakan rejimen
pengobatan yang berbeda direkomendasikan pada wanita yang memiliki
kekambuhan.9
Untuk wanita dengan beberapa kali rekurensi setelah selesai rejimen,
direkomendasikan metronidazole gel 0,75% dua kali seminggu selama 4-6 bulan
dan telah terbukti mengurangi kekambuhan. Data terbatas menunjukkan bahwa
Nitroimidazole oral (metronidazol atau tinidazol 500 mg dua kali sehari selama 7
hari) diikuti dengan pemberiaan asam borat intravaginal 600 mg setiap hari
selama 21 hari dan kemudian supresif dengan metronidazole gel 0,75% dua kali
seminggu selama 4-6 bulan untuk para wanita dalam remisi mungkin menjadi
pilihan bagi wanita dengan vaginosis bakterialis berulang. Pemberian 2 g
metronidazole oral perbulan dengan flukonazol 150 mg juga telah dievaluasi
sebagai terapi supresif; rejimen ini mengurangi kejadian vaginosis bakterialis dan
mempromosikan kolonisasi flora normal vagina.9

2.4 Vaginosis Bakterialis pada Kehamilan


2.4.1 Cairan Vagina pada Kehamilan
Pada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH ≤ 4-5), karena
adanya peningkatan kolonisasi Lactobacillus (floranormal vagina) yang
m emproduksi asam laktat. Keadaan asam yang berlebih ini membuat
Lactobacillus tumbuh subur, sehingga mencegah terjadinya pertumbuhan
berlebihan bakteri patogen. Lactobacillus diketahui sebagai mikroorganisme yang
mempertahankan homeostasis vagina, karena dengan menghasilkan asam laktat
dan membuat H2O2 yang akan menghambat pertumbuhan sebagian besar
mikroorganisme lainnya, sehingga menurunkan risiko persalinan preterm.1
Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan, karena apabila jumlah
bakteri Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan akan
mengakibatkan bertambahnya bakteri lain, seperti antara lain Gardnerella
vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp. Adanya perubahan flora
vagina menyebabkan terjadinya vaginosis bacterial. Wanita hamil dengan
vaginosis bakterial mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terserang
amnionitis, endometritis pascapersalinan, ketuban pecah dini dan persalinan
prematur.1

2.4.2 Hubungan Vaginosis Bakterialis dengan Kelahiran Prematur


Berdasarkan penelitian yang dilakukanoleh Graveyy, dkk. ternyata wanita
dengan vaginosis bacterial mempunyai risiko3-8 kali lebih tinggi dibandingkan
wanitadengan flora normal untuk mengalamipersalinan preterm. Demikian pula
terjadinyaketuban pecah dini lebih sering terjadi padawanita dengan vaginosis
bakterial (46%) dibandingkan wanita tanpa vaginosis bakterial (4%). Selain itu
juga ditemukan bahwa konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
pada sekret vagina wanita hamil dengan vaginosis bakterial adalah 100-1000 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan pada wanita tidak hamil. Di Indonesia sampai
saat ini, pemeriksaan tentang kolonisasi bakteri atau adanya vaginosis bakterial
sebagai upaya untuk menurunkan angka kejadian persalinan preterm belum ada.
Martius, dkk. dalam penelitiannya menemukan bahwa wanita yang melahirkan
premature ternyata lebih banyak yang mengalami infeksi vaginosis bakterial
dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm.12

2.4.3 Pengobatan pada kehamilan


Pengobatan direkomendasikan untuk semua wanita hamil dengan gejala.
Ibu hamil dengan gejala dapat diobati dengan salah satu dari rejimen oral atau
intravagina. Meskipun efek kehamilan yang merugikan, termasuk ketuban pecah
dini, persalinan prematur, kelahiran prematur, infeksi intra-amnion, dan
endometritis postpartum telah dikaitkan dengan vaginosis bakterialis dalam
beberapa studi observasional, pengobatan vaginosis bakterialis pada ibu hamil
dapat mengurangi tanda-tanda dan gejala infeksi vagina. Dalam sebuah penelitian,
terapi vaginosis bakterialis oral dapat mengurangi risiko untuk keguguran, dan
dalam dua studi tambahan, terapi tersebut menurun hasil yang merugikan pada
neonatus.9
Pengobatan vaginosis bakterialis pada wanita hamil yang asimtomatik dan
berisiko tinggi untuk kelahiran prematur (misalnya, orang-orang dengan kelahiran
prematur sebelumnya) telah dievaluasi oleh beberapa penelitian, yang telah
menghasilkan hasil yang beragam. Tujuh percobaan telah mengevaluasi
pengobatan ibu hamil dengan vaginosis bakterialis asimtomatik berisiko tinggi
untuk kelahiran prematur: satu menunjukkan bahaya, dua menunjukkan tidak ada
manfaat, dan empat manfaat ditunjukkan.9
Meskipun metronidazole melintasi plasenta, tidak ada bukti teratogen atau
efek mutagenik pada bayi telah ditemukan di beberapa studi cross-sectional dan
kohort ibu hamil. Data menunjukkan bahwa terapi metronidazol menimbulkan
risiko rendah pada kehamilan. Metronidazol disekresi dalam ASI. Dengan terapi
oral ibu, bayi yang disusui menerima metronidazol dalam dosis yang kurang dari
yang digunakan untuk mengobati infeksi pada bayi, meskipun metabolit aktif
menambah total eksposur bayi. Kadar plasma obat dan metabolit yang terukur,
namun tetap kurang dari kadar plasma ibu. Meskipun beberapa melaporkan
serangkaian kasus tidak menemukan bukti efek samping metronidazol terkait
pada bayi, beberapa dokter menyarankan menunda menyusui selama12-24 jam
setelah pengobatan ibu dengan 2-g dosis tunggal metronidazole. Dosis yang lebih
rendah menghasilkan konsentrasi yang lebih rendah dalam ASI dan sesuai pada
ibu menyusui.9

Tabel 2.3 Regimen Pengobatan Vaginosis Bakterial


2.4.4 Komplikasi
• Wanita dengan vaginosis bakterialis berisiko tinggi mengalami penyakit
radang panggul (PID), postportal PID, infeksi manset pasca operasi setelah
histerektomi, dan sitologiserviks abnormal.
• Wanita hamil dengan vaginosis bakterialis berisiko mengalami ketuban pecah
dini, persalinan prematur, korioamnionitis, dan endometritis.1,8
BAB 3
KESIMPULAN

Vaginosis Bakterialis (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang


sering dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi, disebabkan
ketidakseimbangan flora normal yang terdapat di vagina. Vaginosis bakterialis
bukan merupakan infeksi menular seksual, namun bila terinfeksi, dapat
meningkatkan risiko terkena penyakit menular seksual seperti HIV, herpes
simpleks virus, dan HPV. Pada ibu hamil, vaginosis bakterialis dapat
meningkatkan risiko terkena komplikasi kehamilan seperti melahirkan prematur,
abortus spontan, korioamnionitis, KPD, dan post partum endometriosis.
Vaginosis bakterialis berhubungan dengan aktivitas seksual, kebiasaan
douching, merokok, stress, kekurangan vitamin D, dan penggunaan kontrasepsi.
Diagnostik infeksi vaginosis bakterial dapat ditegakkan dengan beberapa metode,
yaitu Kriteria Nugent, Kriteria Amsel, Kriteria Spiegel. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterialis di antaranya
pemeriksaan sediaan basah duh vagina untuk melihat clue cell, whiff test,
pemeriksaan pH, dan pemeriksaan pewarnaan gram.
Skrining yang jelas pada wanita hamil maupun tidak hamil perlu
dilakukan, sehingga dapat menghindari risiko yang ada, memberikan
penatalaksanaan yang holistik, dan mencegah komplikasi dan morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kairys N, Garg M. Bacterial Vaginosis [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459216/
2. Bautista CT, Wurapa E, Sateren WB, Morris S, Hollingsworth B, Sanchez
JL. Bacterial vaginosis: a synthesis of the literature on etiology, prevalence,
risk factors, and relationship with chlamydia and gonorrhea infections. Mil
Med Res. 2016;3:4.
3. Koumans E, Sternberg M, Bruce C, McQuillan G, Kendrick J, Sutton M, et
al. The prevalence of bacterial vaginosis in the United States, 2001-2004;
associations with symptoms, sexual behaviors, and reproductive health. Sex
Transm Dis. 2007;34(11):864–9.
4. Allsworth J, Peipert J. Prevalence of bacterial vaginosis: 2001-2004
National Health and Nutrition Examination Survey data. Sex Transm Dis.
2007;109:114–20.
5. Chooruk A, Utto P, Teanpaisan R, Piwat S, Chandeying N, Chandeying V.
Prevalence of lactobacilli in normal women and women with bacterial
vaginosis. J Med Assoc Tai. 2013;96(5):519–22.
6. Pudjiastuti T, Murtiastutik D. Studi retrospektif: Vaginosis bakterial.
BIKKK. 2014;26(2):127–33.
7. Gunardi E, Wiknjosastro H. Anatomi panggul dan anatomi isi rongga
panggul. In: Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011. p. 1–32.
8. Hakimi M. Radang dan beberapa penyakit lain pada alat genital. In: Ilmu
Kandungan. 3rd ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2011. p. 218–37.
9. Mimi S. Bacterial Vaginosis Update. Adv Healthc Netw. 2016;
10. A fact sheet from the office on women’s health. Bacterial Vaginosis. Center
for Disease Control and Prevention. 2015;
11. Rebecca M, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F. Association
between cigarette smoking and thevaginal microbiota: a pilot study. BMC
Infect Dis. 2014;14:47.
12. Nansel T, Riggs M, Yu K, Andrew W, Schwebke J, Klebanoff M. The
association of psychosocial stress and bacterial vaginosis in a longitudinal
cohort. Am J Obs Gynecol. 2006;194(2):381–6.
13. D DS. Low Vitamin D linked to female infections: Study. J Nutr. 2009;
14. Tessa M, Jacyln M, Gina M, Jenifer E, Jeffrey F. Risk of bacterial
vaginosis in users of the intrauterine device: a longitudinal study. Sex
Transm Dis. 2012;39(3):217–22.
15. Sylvia Y, Julius E. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada kehamilan.
Bagian Mikrobiol Fak Kedokt Univ Trisakti. :74–8.

Anda mungkin juga menyukai