Anda di halaman 1dari 14

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI PADA


ABSES HEPAR PIOGENIK
Oleh:

JOOH ANDHIKA KAWENGIAN

20014101103

MASA KKM 26 April – 23 Mei 2021

Supervisor Pembimbing

dr. Joan F. J. Timban, M.Kes, Sp.Rad

BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

RSUP Prof. dr. R. D. KANDOU

MANADO

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan Judul:

GAMBARAN RADIOLOGI PADA


ABSES HEPAR PIOGENIK

Oleh:

JOOH ANDHIKA KAWENGIAN

20014101103

Masa KKM:

26 April – 23 Mei 2021

Telah dikoreksi, disetujui, dan dibacakan pada Mei 2021

Di Bagian/KSM Radiologi RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado

Supervisor Pembimbing

dr. Joan F. J. Timban, M.Kes, Sp.Rad

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena atas berkat

dan penyertaan-Nya maka saat ini penyusun dapat menyusun Referat dengan Judul

”GAMBARAN RADIOLOGI PADA ABSES HEPAR PIOGENIK”. Referat ini disusun dalam

rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Radiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado. Penyusun juga

mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Joan F. J. Timban, M.Kes,

Sp.Rad atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penyusunan Referat ini.

Penyusun menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi, tata

penulisan, maupun bahasa yang digunakan dalam Referat ini..Penyusun juga menyadari bahwa

pengetahuan, ketrampilan serta pengalaman penyusun yang masih minim oleh karena itu,

penyusun menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam penulisan Referat ini.

Kritik dan masukan dari pembaca sekalian akan diterima oleh penyusun dengan senang hati

untuk mengembangkan Referat ini lebih lanjut. Semoga Referat ini dapat bermanfaat untuk

pengembangan wawasan serta pengetahuan kita semua.

Manado, Mei 2021

Penyusun

Jooh Andhika Kawengian


3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... 3

DAFTAR ISI................................................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................6

A. Definisi..........................................................................................................................................................6
B. Patofisiologi.................................................................................................................................................9
C. Epidemiologi...............................................................................................................................................8

D. Diagnosis.....................................................................................................................................................11
a). Pemeriksaan USG Abses Hati Piogenik.......................................................................................10

b). Pemeriksaan CT-scan Abses Hati Piogenik................................................................................13

BAB III PENUTUP........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... .16

4
BAB I

PENDAHULUAN

Abses hati telah dikenal sejak zaman Hippocrates (400 SM). (1) Sampai sekarang penyakit ini

masih merupakan masalah di bagian bedah dengan angka morbiditas dan mortilitas yang tinggi. (1,2)

Penyakit ini banyak ditemukan pada anak di negara berkembang, terutama yang tinggal di daerah

tropis dan subtropis.(3)

Pada tahun 1938, Ochsner dkk (dikutip oleh Nickloes TA, 2009) pertama kali melaporkan suatu

serial kasus abses hati piogenik dengan case fatality rate 77%. (1) Diagnosis dini dan terapi yang

adekuat berhubungan dengan hasil yang lebih bagus.(5) Kemajuan di bidang radiologi diag-nostik

dan intervensi selama 3 dekade terakhir telah menghasilkan suatu prosedur invasif yang minimal

dalam tatalaksana penyakit ini. Kombinasi antibiotik dengan teknik drainase perkutaneus

merupakan terapi yang banyak digunakan, namun sebagian kecil pasien tidak mengalami perbaikan

dengan metoda ini sehingga tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhirnya.(6)

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Abses adalah pengumpulan cairan pus tebal, berwarna kekuningan disebabkan oleh bakteri,

protozoa atau invasi jamur kejaringan tubuh. Abses dapat terjadi di kulit, gusi, tulang, dan organ

tubuh seperti hati, paru-paru, bahkan otak, Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan

oleh infeksi bakteri, parasit, jamur, ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus,

terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. Organisme

mencapai hati melalui infeksi asendens di saluran empedu (kolangitis asendens), melalui pembuluh

darah baik porta atau arteri, infeksi langsung ke hati dari sumber disekitar, luka tembus. Abses hati

timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi, kemoterapi kanker disertai

kegagalan sumsum tulang).

Ada tiga bentuk utama dari abses hati, diklasifikasikan oleh etiologi, yaitu Abses hati piogenik

(AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess), Abses hati Amoeba (AHA), dan Abses hati Jamur.

ABSES HEPAR PIOGENIK

Yang paling sering polymicrobial, menyumbang 80% dari kasus abses hati di Amerika Serikat.

AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. Etiologi

AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella

pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus,

actinomyces, eikenella corrodens, yersiniaenterolitica, S. typhi, brucella militensis, dan fungal.

AHP secara relatif jarang. Hal ini telah dijelaskan sejak waktunya Hippocrates (400 masehi),

dengan review pertama yang diterbitkan oleh Bright muncul pada 1936. Pada era pre-

antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan pileflebitis.

Bakteri pathogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati,
sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal

(diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). Sedangkan saat era antibiotik, terjadi

peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini

karena makin tinggi angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai

penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik.

Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari(7)

1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pileflebitis porta

atau emboli septik.

2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik dapat

menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker,

striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.

3. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses

perinefrik, kecelakaan lalu lintas.

4. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.

5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.

B. PATOFISIOLOGI

Jika terjadi infeksi di sepanjang saluran pencernaan, mikroorganisme penyebab infeksi dapat

sampai ke hati. Mikroorganisme tersebut masuk ke hati melalui sitem billier, sistem vena porta,

sistem arterial hepatik. Kuman yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan akan

jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis),

kimiawi yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada

hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi respon

imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan

kimia oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan jaringan, kematian jaringan menstimulus untuk
terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda

awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor

terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik.

Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofaq mempengaruhi termoregulasi pada suhu lebih

tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi perubahan

diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel

darah mendekati dinding pembuluh darah didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel

sehingga langkah awal terjadi emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang

mengikuti fase hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarnya plasma

kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat tekanan hidrostatik

meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga

ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi

jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses menyebabkan rasa nyeri. Mediator

kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin, dan serotonin merusak ujung saraf sehingga

menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif yang

menimbulkan nyeri dan muncul gangguan pola tidur. Adanya edema akan mengganggu gerak

jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
(8)

C. EPIDEMIOLOGI

Di Negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih

sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis

dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per kasus

AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan

prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016%.


AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih

dari 40 tahun.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis dilakukan berdasarkan keberadaan udara pada ruang pleura yang dapat disimpulkan

dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

1. Ultrasonografi Hepar

Pada pemeriksaan dengan USG terhadap kasus abses hepar, akan

didapatkan gambaran beragam mulai dari gambaran hipoekoik hingga

hiperekoik, didapatkan juga gambaran gelembung-gelembung gas. Pada

pemeriksaan dengan Colour Doppler akan sulit dijumpai perfusi pembuluh darah

hepar pada daerah sekitar abses.

Pada pemeriksaan dengan menggunakan contrast akan dijumpai

gambaran dinding yang lebih hiperekoik (enhancement) pada arterial phase dan

akan segera menghilang pada portal or late phases. Daerah nekrotik akibat abses

biasanya tidak terlihat. Penggunaan contrast digunakan untuk menentukan

karakteristik lesi, menilai ukuran lesi, dan melihat gambaran septa pada abses.

Pada abses dengan ukuran kecil (< 3cm) dan dengan septa yang lebih tebal, tidak

diperlukan tindakan drainase.


Gambaran USG Abses Hepar.

Abses hepar pada USG khasnya tidak berbatas tegas dengan penampakan yang
bervariasi, mulai dari gambaran dominan hipoekoik.

Pada pasien dengan infeksi monomicrobial K pneumoniae, akan terlihat

lesi yang solid dan sering disalah artikan sebagai tumor hepar.

2. CT-Scan Abdomen

Pada pemeriksaan dengan CT-Scan Abdomen akan dijumpai gambaran

yang bervariasi. Umumnya akan didapatkan gambaran yang lebih hiperdense

pada bagian perifer sedangkan bagian tengah lesi lebih hipodense. Biasanya

akan terlihat juga gambaran yang solid dan mengandung gas Occasionally.

perfusi segmental dengan gambaran hiperdense biasanya dijumpai pada abses

hepar.
Gambaran CT-Scan pada Abses Hepar.

Gambaran CT-Scan pada Abses Hepar.

CT (C+ portal venous phase) abses hepar besar pada lobus kiri hepar
BAB III
PENUTUP

Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit,

jamur, ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan hati

nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. Ada tiga bentuk utama dari abses

hati, diklasifikasikan oleh etiologi, yaitu Abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess,

Bacterial Liver Abcess), Abses hati Amoeba (AHA), dan Abses hati Jamur.

Mendiagnosa abses hepar dapat dilakukan dengan pemeriksaan Radiologi seperti

pemeriksaan CT-Scan dan pemeriksaan Ultrasonografi. Pada pemeriksaan dengan USG

terhadap kasus abses hepar, akan didapatkan gambaran beragam mulai dari gambaran

hipoekoik hingga hiperekoik, sedangkan pada pemeriksaan ct-scan umumnya akan didapatkan

gambaran yang lebih hiperdense pada bagian perifer sedangkan bagian tengah lesi lebih hipodense.
DAFTAR PUSTAKA
1. Malik AA, Bari SUL, Rouf KA, Wani KA. Pyogenic liver abscess: Changing patterns in

approach. World J Gastrointest Surg 2010;2(12):395-401.

2. Khan R, Hamid S, Abid S, Jafri W, Abbas Z, Islam M, et al. Predictive factors for early

aspiration in liver abscess. World J Gastroenterol 2008; 14(13):2089-93.

3. Giorgio A, de Stefano G, Di Sarno A, Liorre G, Ferraioli G. Percutaneous Needle

Aspiration of Multiple Pyogenic Abscesses of the Liver: 13-Year Single-Center

Experience. AJR 2006; 187:1585–90.

4. Heneghan HM, Healy NA, Martin ST, Ryan RS, Nolan N, Traynor O, et al. Modern

management of pyogenic hepatic abscess: a case series and review of the literature.

BMC Research Notes 2011;4:80.

5. Abses Hepar;https://fdokumen.com/document/tinjauan-pustaka-abses-hepardocx.html. Di

akses pada tanggal 13 April 2021;Hal 6

6. Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

7. Grainger RG,Alison DJ, adam.A, Dixon AK..Diagnostic Radiology A Texbook of Medical

Imaging. 4 th edition . Churchill Livingstone .2003:1237–72

8. Sutton D.Texbook of Radiology and Imaging Vol.2.Churchill Livingstone.

2003 : 737-86

Anda mungkin juga menyukai