Anda di halaman 1dari 19

Referat

Empiema Pleura

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Patologi Klinis Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:
Nadya Irena Habib
2007501010025

Pembimbing:
dr. Darma Satria, M.Si., M.Ked.Klin., Sp.BTKV

BAGIAN /SMF ILMU PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD DR.
ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Tinjauan Pustaka dengan judul “Empiema Pleura” diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Darma Satria,
M.Si., M.Ked.Klin., Sp.BTKV yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa dalam referat ini masih terdapat banyak kekurangan
dan kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat
membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.

Banda Aceh, 17 Mei 2022


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
2.1 Empiema Pleura.............................................................................................. 3
2.1.1 Definisi .....................................................................................................3
2.1.2 Anatomi Pleura........................................................................................... 3
2.1.3 Epidemiologi............................................................................................. 4
2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi.......................................................................... 4
2.1.5 Klasifikasi ................................................................................................. 6
2.1.6 Patologi Anatomi...................................................................................... 6
2.1.7 Manifestasi Klinis..................................................................................... 10
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 10
2.1.9 Diagnosis................................................................................................... 11
2.1.10 Terapi ..................................................................................................... 12

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 15


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Empiema pleura merupakan cairan eksudatif/nanah(pus) yang berkumpul pada


rongga pleura dan berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Penyebab tersering
empiema adalah komplikasi dari pneumonia, namun empiema juga dapat terjadi
dikarenakan infeksi dari tempat lain yang berdekatan (seperti di orofaring, esophagus,
mediastinum atau jaringan di subdiafragma), keganasan, kelainan vaskuler, trauma,
penyakit imunodefisiensi, dan tindakan operasi. Berbagai etiologi tersebut
memberikan manifestasi klinik beragam, tergantung dari organ utama atau tempat
yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya tahan tubuh.(1)
Sampai saat ini empiema pleura masih menjadi salah satu masalah penting pada
bidang penyakit paru. Empiema pleura memiliki tingkat mortalitas 5-30% dan
(2)
insidensi yang bermacam-macam sesuai dengan komorbid pasien. Tatalaksana
empiema pleura diantaranya pemberian antibiotik, drainase pleura, pembedahan , dan
dekortikasi, namun meski penatalaksanaan empiema pleura telah mengalami
kemajuan hal tersebut belum dapat menurunkan tingkat mortalitas empiema pleura.
Pemberian antibiotika dan drainase dengan chest tube pada 20-30% pasien empiema
pleura gagal mengendalikan infeksi.(3)
Sahn et al melakukan studi pada perbandingan tingkat kematian antara pasien
pneumonia dengan empiema dan tanpa empiema hasilnya didapat pasien pneumonia
dengan empiema tingkat kematiannya meningkat secara bermakna, 5-10% pasien
pneumonia yang dirawat dirumah sakit berkembang menjadi empiema. Pasien
empiema pleura dengan immunocompromised tingkat mortalitasnya akan meningkat
(2)
hingga 40%. Diagnosis empiema pleura ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan radiologis
(4,5)
diantaranya foto thoraks, CT Scan thoraks, dan USG. Perkembangan terbaru
dalam dunia kedokteran dan alat-alat kedokteran telah memudahkan penegakan
diagnosa dan tata laksana empiema pleura, selain itu sudah banyak jurnal yang

1
meningkatkan pemahaman terhadap patofisiologi, gambaran klinis serta tata laksana
dari empiema.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia Aplastik

2.1.1 Definisi
Empiema Pleura adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura.(1)
Menurut Vianna et al, empiema adalah efusi pleura dengan kultur bakteri yang
positif atau jumlah leukosit lebih besar dari 15,000/mm3 dan level protein diatas 3.0
g/dL. (6)

2.1.2 Anatomi Pleura


Pleura merupakan membran serosa yang tersusun dari lapisan sel yang
embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrional dan bersifat memungkinkan
organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami retraksi atau deformasi
sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan fisiologis suatu organisme.(17)
Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura interlobaris,
sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari otot dada dan
tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal (Gambar 1).(18) Pleura
viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi
pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan nervus
frenikus serta mendapat aliran darah sistemik.(11) Pleura viseral dan pleura parietal
terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura.

Gambar 1 Pleura viseral dan parietal serta struktur sekitar pleura (11)

3
2.1.3 Epidemiologi
Sekitar 80.000 orang di AS dan Inggris setiap tahunnya memiliki risiko
terkena infeksi pleura. Community-aquired pneumonia memiliki insiden 8 sampai
15 per 1000 per tahun. Empat puluh sampai 57% pasien pneumonia, dapat
berkembang menjadi efusi parapneumonik. Sekitar 5 sampai 10% dari efusi
(7)
parapneumonik berkembang menjadi empiema.

2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi


Pada keadaan normal pleura memproduksi sekitar 0,01 mL/kg/jam cairan pleura
dan rongga pleura normalnya terisi cairan sekitar 5-10 ml yang disekresi dari pleura
parietalis dan diserap.(5) Efusi pleura terjadi karena keseimbangan antara produksi
dan pengeluaran cairan pleura terganggu. Efusi pleura sekunder yang terjadi oleh
karena pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia.(8) Perkembangan proses
empiema dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif sederhana, fibrinopurulen dan
organisasi.(9)

a. Tahap eksudatif
Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti
interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a (TNFa) sehingga menyebabkan
peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kapiler.(9) Sehinga sel mesothelial pleura semakin mempermudah
cairan masuk ke dalam rongga pleura. Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan
jumlah leukosit yang rendah, tingkat LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar
pH dan kadar glukosa dalam batas normal dan tidak mengandung organisme
bakteri.(9)

b. Tahap Fibropurulen
Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka inflamasi
pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang ditandai dengan
peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga pleura melalui

4
endothelium yang rapuh.(5,9) Karakteristik biomolekul tahap ini adalah pH 1000
IU/L.(9)

c. Tahap organisasi
Terdapat proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Pada tahap ini lapisan
dikedua permukaan pleura menjadi tebal dan tidak elastis serta jaringan yang
bersepta akan semakin fibrotik, sehingga ekspansi paru menjadi terhambat, fungsi
paru menurun dan rongga pleura yang bersepta-septa akan membuat risiko infeksi
semakin tinggi.(9) Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada
yang mengalami penyembuhan secara spontan dalam 12 minggu sementara yang
lainnya menjadi kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru.(9) Dari keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi
pleura parapneumonia yang dapat sembuh dengan sendirinya bisa berkembang
menjadi kompleks membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat
diterapi dengan tindakan bedah.

Gambar 2. Fase perkembangan empiema pleura.

5
2.1.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi efusi parapneumonia diantaranya yang akan
disebutkan adalah klasifikasi menurut Light (Tabel 1). Infeksi pleura merupakan
suatu proses yang progresif, dimana efusi pleura parapneumonik dapat membaik
dengan sendirinya, namun dapat juga berkembang menjadi terorganisasi dan fibrotik
bersepta-septa yang hanya dapat ditatalaksanakan melalui pembedahan.(9)

Tabel 1. Klasifikasi Efusi Parapneumonia dan Empyema menurut Light. (8)

2.1.6 Patologi Anatomi

a. Makroskopis
Kavitas empiema umumnya dapat dilihat pada autopsy saat stage berat dan terdiri atas
massa local dengan cairan perdarahan dan pus yang terdapat pada kavitas pleura.
Abses juga dapat berada di parenkim paru. (15)

6
Gambar 3. Gambar makroskopis empiema

b. Sitologi
Empiema disebabkan oleh efusi parapneumonia yang terinfeksi, yang diawali oleh
berkumpulnya cairan steril. Stage pertama merupakan fase eksudatif, dengan cairan
nonviscous yang mengalir, yang tumpeng tindih dengan efusi parapneumonia. Stage
kedua merupakan fase fibrinopurulent (gambar 4), dengan cairan viscous, lokulasi dan
pengelupasan pleura. Stage terakhir adalah fase organizing, dengan fibrosis (gambar
5,6) serta organisme penyebab. (15)

7
Gambar 4. Empiema, stage awal. Terdapat eksudat fibrinopurulent dengan neutrophil.(15)

Gambar 5. Empiema, stage organizing, dekortikasi pleura. Terdapat granulasi jaringan dengan
fibrin. (15)

8
Gambar 6. Empiema, stage organizing, dekortikasi pleura. Terdapat granulasi jaringan dengan
fibrosis dan residu fibrin. (15)

Gambar 7. .Empiema dengan disconcordant cytology smear menunjukkan gambaran


paulicellular dan cairan proteinasea. (19)

Gambar 8. Empiema concordant cytology smear menunjukkan gambaran seluler yang


bercampur dengan PMN dan monosit dan sekoelompok debris fibrin . (Pewarnaan Wright
Giemsa) (19)

9
Inflamasi pada sitologi cairan pleura menandakan empyema atau terdapatnya bakteri
pada cairan pleura. (19)

Gambar 9.. (a) pewarnaan gram cairan pleura menunjukan banyak gram batang positif dan
neutrophil. (b) pertumbuhan anaerobic setelah 2 hari menunjukkan beta hemolisis double
zoned yang khas pada Clostridium perfringens (16)

2.1.7 Manifestasi Klinis

Perjalanan klinis efusi parapneumonia dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
berdasarkan infeksi oleh bakteri aerob atau bakteri anaerob. Pasien dengan infeksi
bakteri aerob memiliki gejala klinis yang sama dengan pneumonia.Manifestasi
klinis awal yaitu demam yang bersifat akut dengan nyeri dada, produksi sputum
yang meningkat dan leukositosis. Sedangkan pada infeksi bakteria anaerob akan
memperlihatkan gejala klinis sub akut. Gejala klinis akan mulai dirasakan setelah
>7 hari sejak pertama kali mendapatkan gejala seperti batuk tidak produktif,
demam subfebrile, bau mulut, leukositosis dan anemia. (8)

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Foto rontgen thoraks 2 posisi digunakan untuk mengevaluasi adanya efusi atau
empiema. Apabila dicurigai efusi maka diperlukan foto lateral dekubitus.
Ultrasonografi (USG) dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam volume
kecil disertai informasi kekentalannya. USG juga dapat menunjukkan adanya
pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat.

10
CT scan thoraks menyediakan informasi lebih banyak CT scan dapat
menggambarkan cairan, loculasi, dan perlengketan lapisan pleural. CT scan dan USG
dapat pula digunakan untuk memandu dalam penempatan kateter pada drainase.
Dua gambar hasil rontgen thoraks dan lateral dekubitus, tidak selalu dilakukan
di unit gawat darurat (UGD). Gambar hasil rontgen umumnya terbatas hanya pada sisi
tempat tidur pasien yang sakit berat. Sinar x tidak mungkin mendeteksi pengumpulan
cairan di ruang kecil sub pulmonik. USG dapat menunjukkan cairan pleura di dalam
septa namun kekurangannya USG kurang baik dalam menunjukkan ketebalan pleura.
USG dan CT scan digunakan untuk memandu dalam melakukan thorakosintesis.
Torakosintesis tunggal disertai penggunaan antibiotik dapat efektif pada empiema
pleura fase awal, namun jika efusi terjadi berulang maka penempatan selang atau
kateter thoraks untuk drainase dilakukan pada fase berikutnya.

2.1.9 Diagnosis
Manifestasi klinis demam, nyeri dada dan sesak akan timbul jika cairan efusi
cukup banyak. Demam yang menetap setelah di diagnosis pneumonia perlu dicurigai
suatu empiema.(8)
Pemeriksaan pH dan pertanda biokimia merupakan pemeriksaan tambahan
untuk menentukan diagnosis dan prognosis. Nilai pH merupakan parameter terbaik
untuk mengidentifikasi infeksi parapneumonia. Nilai pH di bawah 7,20 tidak
mempunyai sensitivitas 100%. Nilai pH pada efusi pleura yang terlokalisir dapat
berlainan antara satu lokasi dengan yang lain. Beberapa kasus empiema memiliki
kadar glukosa di bawah 40mg/dl dan LDH mencapai 1000 U/l. Rendahnya pH cairan
pleura selalu berkaitan dengan kadar glukosa rendah dan LDH tinggi. Hal ini dapat
digunakan sebagai alternatif untuk mengidentifikasi infeksi efusi parapneumonia.(1,8)
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior atau anteroposterior dan lateral
memperlihatkan gambaran infiltrat di parenkim atau konsolidasi. Foto toraks lateral
dekubitus dapat digunakan untuk melihat adanya cairan. Computed Tomography (CT
scan) dapat digunakan untuk membedakan rongga abses dengan cairan atau abses
intrapulmoner.4 Pemeriksaan CT scan dan ultrasonografi (USG) toraks dapat dilakukan
pada efusi parapneumonia. Pemeriksaan USG toraks dapat membantu semua kasus
yang diduga empiema, cairan di dalam pleura dan membuktikan efusi pleura
terlokulasi, membantu menentukan lokasi torakosintesis atau drain.17 Pemeriksaan CT
scan toraks berguna untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura,

11
mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokulasi, mengevaluasi permukaan
pleura dan membantu dalam penentuan terapi.(10)

Biopsi pleura dan kultur cairan pleura harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis empiema karena Tuberkulosis kultur mikobakterium biasanya positif,
sehingga biopsi pleura tidak diperlukan.(11)

2.1.9 Terapi

Tujuan dari penatalaksanaan empiema adalah eradikasi infeksi, mengembalikan sirkulasi


cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan mengembalikan fungsi respirasi normal.
Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen jika dibutuhkan, terapi cairan pada kasus dehidrasi,
antipiretik, analgesik dan antibiotik. Terapi spesifik untuk empiema terdiri dari terapi konservatif
sampai tindakan pembedahan.(12) Terapi empiema mencakup:

a. Pemberian antibiotik
Semua kategori efusi parapneumonia harus diobati dengan antibiotik empirik
(13)
yang dimulai sedini mungkin dan berdasarkan hasil kultur. Obat-obatan yang
memiliki penetrasi terbaik kedalam rongga pleura adalah aztreonam, klindamisin,
siprofloksasin, cefalosporin dan penisilin. Penisilin dan sefalosporin menunjukkan
penetrasi yang baik ke dalam rongga pleura. Penetrasi kuinolon lebih baik dari pada
penisilin. Konsentrasi sefalosporin stabil dan menetap didalam cairan pleura.
Pemakaian aminoglikosida sebaiknya dihindari terutama untuk terapi empiema,
karena aminoglikosida memiliki penetrasi yang buruk di dalam rongga pleura dan
tidak efektif dengan keadaan cairan pleura yang bersifat asam dan purulen.(13)
Berdasarkan organisme penyebab bakteri anaerob, gram negatif aerob dan
staphylococcus, terapi antibiotik empiris untuk empiema diberikan berupa terapi
tunggal dengan imipenem, ticarcilin, asam klavulanat atau terapi kombinasi dengan
klindamisin dan ceftazidime atau klindamisin dan aztreonam.(14) Golongan
aminoglikosida dapat diberikan bila cairan berbau busuk atau pengecatan gram
positif. Klindamisin oral atau penisilin harus tetap diberikan selama waktu
pengobatan setelah antibiotika parenteral dihentikan, karena kebanyakan empiema
disebabkan bakteri anaerob.(10) Lama pengobatan tergantung dari bakteri penyebab,
efektivitas drainase dan perbaikan gejala.(7) Menurut Baumer antibiotika oral
sebaiknya diberikan selama 1-4 minggu dan dapat lebih lama jika penyakit masih

12
ada. Pemberian antibiotika diteruskan sampai pasien tidak demam, leukosit normal,
cairan yang dihasilkan

b. Pemberian fibrinolitik
Penggunanaan fibrinolitik intrapleura menjadi terapi standar di banyak
negara. Fibrinolitik dimasukkan kedalam cavum pleura melalui chest drain untuk
melisiskan fibrin dan membersihkan stoma limfatik sehingga mengurangi oklusi
selang oleh debris, membuat drainase cairan pleura lebih baik dan memperbaiki
kembali sirkulasi pleura. Penggunaan fibrinolitik intrapleura (streptokinase,
urokinase dan alteplase) memberikan keuntungan yang signifikan baik pada anak
maupun dewasa, dengan mengurangi lama perawatan di rumah sakit, panas badan,
lama pemakaian drainase pleura dan tindakan pembedahan.(2)

c. Pembedahan
Tindakan drainase di indikasikan pada empiema, efusi pleura terlokulasi yang
luas, efusi parapneumonia dengan pH kurang dari 7.20, glukosa kurang dari 60mg/dl,
atau ditemukannya kuman pada pengecatan ataupun kultur. Pilihan pembedahan
terdiri atas selang torakostomi, dekortikasi dan video-assisted thoracoscopic surgery
(VATS). Mini thoracotomymerupakan prosedur debridement yang dilakukan melalui
insisi kecil yang mirip dengan VATS, tetapi selang torakostomi ini merupakan
prosedur pembedahan, yang meninggalkan scar linear kecil disepanjang garis
costae.(10)

13
BAB III
KESIMPULAN

Empiema pleura adalah cairan eksudatif yang berkumpul di rongga pleura


dan berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan oleh
komplikasi dari pneumonia tetapi dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi dari
tempat lain. Semua pasien dengan efusi parapneumonia dan empiema memerlukan
terapi antibiotik secara dini dan adekuat. Efusi pleura yang steril dengan PH ≥ 7,20
diobservasi dan dilindungi dengan pemberian antibiotik yang adekuat. Empiema
pleura dan efusi pleura yang terlokulasi serta efusi parapneumonia dengan PH <
7,20 atau glukosa < 60 mg/dL atau ditemukannya kuman pada pemeriksaan dan
kultur yang positif memerlukan tindakan drainase. Keterlambatan dalam tindakan
drainase dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Penatalaksanaan
efusi parapneumonia dan empiema pemberian antibiotik torakosentesis,
pemasangan selang torakostomi, torakostomi dengan fibrinolitik terapi,
torakoskopi, dekortikasi dan open torakotomi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. H. Hasan and D. Ambarwati, “Empiema”, JR, vol. 4, no. 1, pp. 26–32,


January. 2018.
2. Sahn SA. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and
empyema. Clin Infect Dis. 2007; 45: 1480-1486.
3. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R, et.al.
Pediatric Empyema Thoracis: Recommendation for Management. The
Thoracic Society of Australia and New Zealand. 2011: 1-39.
4. Sharma S. Empyema, pleuropulmonary. Available at: http://www.
emedicine.com/med/topic659.htm. Accesed on June 23 rd, 2008.
5. Garrido VV, Sancho JF, Blasco LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment
of pleural effusion. Arch Bronkoneumol. 2006; 42(7): 349-372.
6. Vianna NS. Non tuberculous bacterial empyema in patient with and without
underlying diseases. J. Am. Med Assoc. 1971: 215: 69-75.
7. Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R, et.al. Pediatric
Empyema Thoracis: Recommendation for Management. The Thoracic Society
of Australia and New Zealand. 2011: 1-39.
8. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Pleural disease. 3rd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1995; 129-153.
9. Helen E Davies, Robert J O Davies, on behalf of the BTS Pleural Disease
Guidline Group. Management of pleural infection in adults: British Thoracic
Society pleural disease guideline 2010. Thorax 2010;65(Suppl 2): 41-53.
Garrido VV, Sancho JF, Blasco LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment
of pleural effusion. Arch Bronkoneumol. 2006; 42: 349-372.
10. Koegelenberg CF, Diaconb AH, Chris T, Bolligere CT. Parapneumonic pleural
effusion and empyema. Respiration. 2008; 75(3); 241-250.
11. Light RW, Lee YG. Textbook of Pleural Disease. 2nd edition. UK. Hudder
Arnold. 2008: 26; 341-362.
12. Banga A, Khilnani GC, Sharma SK, Dey AB, Wig N, Banga N. A study of
empiema thoracis and role of intrapleural streptokinase in its management.
BMC Infectious Diseases. 2004; 4: 9-18.
16
13. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta: Dept. Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI.
14. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta: Dept. Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI. Diakses tanggal 27 Mei 2013: http://
staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf
15. Allen P. Burke. Nonneoplastic Diseases of the Pleura. 2021.
16. Oh DJ, Brecher S, Ruopp M. Clostridium perfringens empyema in a patient
with metastatic squamous cell carcinoma of the lung. Int J Crit Illn Inj Sci
2018;8:104-6
17. Antony VB. Immunological mechanisms in pleural disease. Eur Respir J.
2003;21:539–44.
18. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR eds. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed.
Ch. 1, Thorax. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 72–180.
19. Ferguson J, Kazimir M, Gailey M, Moore F, Schott E. Predictive Value of
Pleural Cytology in the Diagnosis of Complicated Parapneumonic Effusions
and Empyema Thoracis. Pulm Med. 2020 May 20;2020:7175451. doi:
10.1155/2020/7175451.

17

Anda mungkin juga menyukai