Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh Fakultas
Kedokteran Universitas Abulyatama
Preceptors:
Oleh:
Maidina Aulia/21174044
Puji syukur kehadiran Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan
hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Pyothorax (empyema pleura)”Shalawat beserta salam penulis tujukan ke
pangkuan Nabi Muhammad S.A.W yang telah membawa manusia ke zaman yang
berpendidikan dan terang benderang.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan
klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Aceh di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda
Aceh. Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis selalu mendapat bantuan dan
pengarahan dari pembimbing yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Nurfitriani, Sp.P yang telah
banyak meluangkan waktu agar laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
2.1 Definisi...........................................................................................................2
2.2 Klasifikasi......................................................................................................3
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................10
3.2 ANAMNESIS..........................................................................................13
3.6 DIAGNOSA.................................................................................................16
3.7 PENATALAKSANAAN.............................................................................16
BAB IV ANALISA................................................................................................17
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................19
ii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Empiema merupakan salah satu infeksi pleura yang terjadi akibat
kumpulan cairan eksudatif (pus) di rongga pleura. Empiema sering berhubungan
dengan terjadinya infeksi paru ipsilateral, namun penyakit ini dapat disebabkan
oleh kondisi lain seperti infeksi dari oragn tubuh lain, atau akibat tindakan
invasive. Penyakit ini pertama kali diketahui oleh Hippocrates dan dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi. Secara epidemiologi, insidensi empiema
meningkat pada anak dan dewasa. Penelitian Nayak dkk di Kanada menunjukkan
peningkatan kasus empyema, dimana pada tahun 1996 terdapat 2,9 kasus per
100.000 penduduk dan angka ini meningkat menjadi 6,7 kasus per 100.000
penduduk pada tahun 2014, dengan kelompok umur yang paling banyak
menderita empiema adalah kelompok usia 50-70 tahun. Penelitian oleh Gautam
dkk di Australia menunjukkan terdapat peningkatan kasus empiema pada anak,
dengan inidensi per tahun 8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan kelompok
anak yang paling banyak menderita empiema adalah anak berusia 1-5 tahun
sebanyak 70% kasus.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
mengetahui mengenai empiema agar dapat mendeteksi kasus ini dengan baik dan
menurunkan angka mortalitas pada pasien empiema.1
2.2 Klasifikasi
3
Tabel 2. Penggolongan risiko untuk terjadinya hasil akhir yang buruk
pada pasien efusi parapneumonia dan empyema
4
Empiema dapat disebabkan oleh bakteri aerob, anaerob atau keduanya. Mengingat
empiema seringkali merupakan gagalnya terapi pneumonia, perlu
dipertimbangkan bahwa infeksi ini dapat berasal dari lingkungan
(communityacquired empyema), dan dari rumah sakit (hospital-acquired
empyema). Penyebab community- acquired empyema dan hospital-acquired
empyema dapat dilihat di gambar 1.1
Hasil kultur cairan pleura pada penderita empiema dapat ditemukan satu
atau lebih bakteri. Bakteri aerob lebih banyak ditemukan pada hasil kultur
dibandingkan bakteri anaerob. Sebagian besar bakteri aerob yang menyebabkan
empiema adalah S. aureus dan S. pneumoniae, sedangkan bakteri anaerob yang
paling banyak ditemukan adalah Bacteroides sp dan Peptostreptococcus.
Penelitian lain menunjukkan Streptococcus intermedius/milleri merupakan bakteri
utama penyebab community-acquired empyema. Bakteri gram postif aerob dua
kali lebih banyak ditemukan daripada bakteri gram negative anaerob. Organisme
lain yang dapat menyebabkan empiema adalah Klebsiella sp, Pseudomonas sp,
5
dan Hemophilus influenza. Organisme penyebab empiema djabarkan pada Tabel
3.1
Tabel 4. Organisme
penyebab Empiema
Insiden berkembangnya
empiema lebih tinggi pada
pasien PPOK dibandingkan
pada pasien tanpa PPOK. Beberapa
komorbiditas, seperti stroke, kanker, dan penyakit ginjal kronis, dikaitkan dengan
peningkatan risiko empiema pada pasien PPOK. Pasien dengan PPOK dan
penyakit penyerta mungkin memerlukan perhatian lebih karena mereka memiliki
risiko tinggi mengembangkan empyema.3
A.Tahap eksudatif
6
Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan produksi sitokin proinflamasi
seperti interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a (TNFa) sehingga
menyebabkan peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan perubahan aktif
pada sel mesothelial pleura untuk semakin mempermudah cairan masuk ke dalam
rongga pleura. Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan jumlah leukosit yang
rendah, tingkat LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar pH dan kadar
glukosa dalam batas normal dan tidak mengandung organisme bakteri. Efusi
tersebut akan sembuh secara spontan dengan terapi antibiotik untuk pneumonia
yang mendasari.
B. Tahap Fibropurulen
Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka
inflamasi pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang
ditandai dengan peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga
pleura melalui endothelium yang rapuh. Invasi bakteri memicu respon imun
sehingga mendorong migrasi neutrophil dan aktivasi jalur koagulasi. Penekanan
aktivitas fibrinolitik disebabkan karena meningkatnya titer penghambat aktivitas
fibrinolitik spesifik seperti plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan PAI 2 dan
penurunan tissue type plasminogen activator (tPA). Hal ini mengakibatkan
endapan fibrin pada pleura visceralis dan parietalis, sehingga rongga pleura
terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi cairan dan adhesi pleura, membentuk ruangan
bersepta-septa yang akan mengganggu drainase dari pus. Metabolisme bakteri dan
aktivitas fagositosis neutrophil distimulasi oleh protease dan fragmen yang berasal
dari dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi asam laktat,
penurunan pH cairan pleura, serta peningkatan metabolisme glukosa dan
peningkatan kadar LDH. Karakteristik biomolekul tahap ini adalah pH 1000 IU/L.
C. Tahap organisasi
7
growth factor beta (TGF-ß). Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan pleura
menjadi tebal dan tidak elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin fibrotik,
sehingga ekspansi paru menjadi terhambat, fungsi paru menurun dan rongga
pleura yang bersepta-septa akan membuat risiko infeksi semakin tinggi.
Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada yang mengalami
penyembuhan secara spontan dalam 12 minggu sementara yang lainnya menjadi
kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru. Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi pleura
parapneumonia yang dapat sembuh dengan sendirinya bisa berkembang menjadi
kompleks membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat
diterapi dengan tindakan bedah.2
Manifestasi klinis demam, nyeri dada dan sesak akan timbul jika cairan
efusi cukup banyak. Demam yang menetap setelah di diagnosis pneumonia perlu
dicurigai suatu empiema. Pemeriksaan pH dan pertanda biokimia merupakan
pemeriksa tambahan untuk menentukan diagnosis dan prognosis. Nilai pH
merupakan parameter terbaik untuk mengidentifikasi infeksi parapneumonia.
Nilai pH di bawah 7,20 tidak mempunyai sensitivitas 100%. Nilai pH pada efusi
pleura yang terlokalisir dapat berlainan antara satu lokasi dengan yang lain.
Beberapa kasus empiema memiliki kadar glukosa di bawah 40mg/dl dan LDH
mencapai 1000 U/l. Rendahnya pH cairan pleura selalu berkaitan dengan kadar
glukosa rendah dan LDH tinggi. Hal ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk
mengidentifikasi infeksi efusi parapneumonia.2
Setelah >7 hari pasien akan mulau mengeluhkan keluhan berupa sesak
napas dan nyeri dada yang terasa seperti tertusuktusuk (pleuritic pain) . Nyeri ini
muncul akibat penumpukan cairan pleura sudah melibatkan pleura parietal yang
banyak mengandung pembuluh saraf. Selain itu juga pasien biasanya akan lebih
nyaman tidur/berbaring ke sisi yang sakit. Pasien dapat muncul dengan adanya
tanda infeksi seperti demam dan menggigil, dan batuk dengan sputum yang
banyak. Keadaan ini biasanya dapat berlangsung lama. Penegakan diagnosis
dapat dilakukan ketika evaluasi pada pasien dengan pneumonia bacterial.2
8
2.7 Diagnosis Empiema
9
2.8 Diagnosis Banding
2.9 Penatalaksanaan
10
adanya akses yang aman ke dada, drainase rongga pleura, dan manuver untuk
memungkinkan ekspansi penuh paru (yaitu dengan pelepasan ligamentum
pulmonalis inferior) yang mengakibatkan obliterasi ruang kosong di hemitoraks .
Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) merupakan suatu metode
dekortikasi minimal invasif. VATS mencakup debridemen material piogenik
fibrinosa, membebaskan lokulasi dan drainase pus dari cavum pleura dibawah
pandangan langsung melalui 2-3 insisi kecil. Saat ini masih terdapat perbedaan
pendapat mengenai penggunaan VATS dibandingkan thoracotomy terbuka.
Beberapa literatur menyebutkan kelebihan penggunaan VAT dibandingkan
thoracotomy terbuka yaitu terdapat perbaikan kontrol nyeri pasca operasi, waktu
rawatan lebih pendek, lebih sedikit kehilangan darah, lebih sedikit gangguan
pernapasan, dan pengurangan komplikasi pasca operasi termasuk kematian 30
hari. Faktor lain yang mendukung pendekatan VATS adalah biayanya yang lebih
rendah dibandingkan dengan torakotomi terbuka.
Farmakologis
11
adhesi mencirikan fase empiema fibrinopurulent sehingga masuk akal bahwa
terapi fibrinolitik dapat berhasil mengobati penyakit ini sebelum lapisan pleura
menjadi menebal. British Thoracic Society menerbitkan pedoman tentang
pengelolaan penyakit pleura pada tahun 2010.1
BAB III
KASUS
12
Masuk Perawatan : 07 Juli 2022
3.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
• Nyeri dada
Keluhan Tambahan :
• Batuk berdahak, sesak nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Paru RSUD Meuraxa bersama istrinya dengan
keluhan nyeri dada sejak 2 minggu yang lalu, batuk juga dirasakan dan membuat
pasien sulit tidur, pasien juga mengatakan sudah pernah dilakukan pemasangan
WSD 2 bulan yang lalu dan didapati cairan berwarna hijau seperti alpukat jumlah
nya 2 botol aqua 1L, pasien juga mengeluh nyeri dibagian bekas pemasangan
WSD. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih dan memberat
saat malam hari sejak 2 minggu ini, bercak darah (-) saat batuk ulu hati terasa
nyeri. BAB dan BAK normal, demam (-), mual (-) dan muntah (-)
Alkohol (-)
13
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Umum
- Keadaan umum : Sedang
- Kesadaran : Compos mentis.
- BB : 50 kg
- TB : 170 cm
- IMT : 17,3 (underweight)
B. Vital Sign
- Tekanan Darah : 100/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 70 kali/menit
- Pernafasan : 20 kali/menit
- Suhu : 36,2oC
C. Status Generalisata
- Kepala :
o Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
- Mulut : mukosa kering (+), bibir sianosis (-), atropi papilla
lidah (-)
- Hidung : sekret (-)
- Telinga : Sekret (-/-), tragus sign (-/-)
- Leher : Pembesaran KGB (-)
- Thoraks :
Paru Depan :
o Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, kelainan bentuk
dinding dada (-), jejas (-), terdapat bekas
pemasangan WSD di bagian kanan
o Palpasi : Fremitus taktil menurun di paru kanan bagian
basal
14
o Perkusi : Pekak (-/+) basal paru
o Auskultasi : Vesikuler (↓/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-),
Paru Belakang :
o Inspeksi : kelainan bentuk tulang belakang (-),
o Palpasi : Fremitus takstil tidak meningkat
o Perkusi : Sonor (-/+)
o Auskultasi : Vesikuler (↓/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-)
- Jantung :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V midclavicula sinistra
kuat angkat
o Perkusi : Batas jantung normal
o Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
o Inspeksi : jejas (-), caput medusa (-), spider nevy (-),sikatrik
(+)
o Auskultasi : hiperperistaltik (+).
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
normal tidak teraba,
o Perkusi : timpani di seluruh lapangan perut.
- Ekstremitas :
Atas : CRT < 2 detik
15
CT scan thorax
USG thorax
3.6 DIAGNOSA
Chest pain ec empyema
3.7 PENATALAKSANAAN
Bed rest
Codein 10 mg/ salbutamol 1mg/ dexamethasone 0,5 mg/ Glyceryl
guaiacolate (GG) 100 mg 3x1
Neurodex 1x1
Curcuma 3x1
BAB IV
ANALISA
Nyeri dada Nyeri dada adalah gejala umum yang pasien datang
ke penyedia perawatan primer mereka. Pasien
dengan nyeri dada akut menimbulkan tantangan
diagnostik bagi dokter umum karena berbagai
diagnosis mungkin, mulai dari infark miokard akut
yang mengancam jiwa dan emboli arteri pulmonalis
hingga ketegangan otot yang jauh lebih sering dan
16
tidak berbahaya milik kelompok dinding dada.
sindrom, serta penyebab gastrointestinal seperti
penyakit refluks gastroesofageal. Evaluasi klinis
pasien dengan nyeri dada akut didasarkan pada
penilaian klinis menyeluruh oleh dokter, termasuk
pemeriksaan fisik dan riwayat medis, terlepas dari
dari lokasi pemeriksaan. Ini diikuti dengan
pemeriksaan teknis lebih lanjut, seperti
elektrokardiogram 12 sadapan, dan diagnostik
laboratorium yang ditargetkan dengan tes perawatan,
termasuk tes troponin dan D-dimer. Jalur diagnostik
dan sistem skor, seperti Skor Jantung Marburg, telah
dikembangkan secara khusus untuk memungkinkan
penilaian pasien dan memberikan orientasi dalam
pengaturan perawatan primer.4
Batuk merupakan respon fisiologis terhadap
rangsangan mekanik dan kimia akibat iritasi reseptor
batuk yang terletak terutama di epitel saluran
pernapasan atas dan bawah, perikardium, esofagus,
Batuk diafragma, dan lambung. Sebuah busur refleks
kompleks melalui saraf motorik vagus, frenikus, dan
tulang belakang ke otot-otot ekspirasi menghasilkan
upaya inspirasi dan ekspirasi paksa untuk
membersihkan saluran udara.5
Dyspnea Dispnea, juga dikenal sebagai sesak napas atau
kelaparan udara, adalah pengalaman subjektif
ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari sensasi
kualitatif berbeda yang intensitasnya bervariasi.
dispnea secara konsisten digolongkan sebagai gejala
yang paling menyedihkan. Beban dispnea selanjutnya
diperparah oleh hal-hal lain yang terkait gejala seperti
kelelahan, kecemasan, dan depresi, mengakibatkan
17
keterbatasan fungsional, kualitas hidup terganggu,
dan peningkatan beban pengasuh informal (keluarga)6
18
BAB V
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20