Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

Pyothorax (empyema pleura)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh Fakultas
Kedokteran Universitas Abulyatama

Preceptors:

dr. Nurfitriani, Sp.P

Oleh:

Maidina Aulia/21174044

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT PARU

RUMAH SAKIT UMUM MEURAXA KOTA

BANDA ACEH 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan
hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Pyothorax (empyema pleura)”Shalawat beserta salam penulis tujukan ke
pangkuan Nabi Muhammad S.A.W yang telah membawa manusia ke zaman yang
berpendidikan dan terang benderang.

Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan
klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Aceh di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda
Aceh. Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis selalu mendapat bantuan dan
pengarahan dari pembimbing yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Nurfitriani, Sp.P yang telah
banyak meluangkan waktu agar laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini.


Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus lain nantinya dan dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah S.W.T selalu memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Banda Aceh, 12 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

2.1 Definisi...........................................................................................................2

2.2 Klasifikasi......................................................................................................3

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.............................................................................4

2.4 Faktor risiko...................................................................................................6

2.5 Patogenesis Empiema....................................................................................6

2.6 Gejala klinis Empiema...................................................................................8

2.7 Diagnosis Empiema.......................................................................................9

2.8 Diagnosis Banding.......................................................................................10

2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................10

BAB III KASUS....................................................................................................13

3.1 IDENTITAS PASIEN.............................................................................13

3.2 ANAMNESIS..........................................................................................13

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................16

3.5 DIAGNOSA BANDING.........................................................................16

3.6 DIAGNOSA.................................................................................................16

3.7 PENATALAKSANAAN.............................................................................16

BAB IV ANALISA................................................................................................17

BAB V KESIMPULAN.........................................................................................19

ii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Empiema merupakan salah satu infeksi pleura yang terjadi akibat
kumpulan cairan eksudatif (pus) di rongga pleura. Empiema sering berhubungan
dengan terjadinya infeksi paru ipsilateral, namun penyakit ini dapat disebabkan
oleh kondisi lain seperti infeksi dari oragn tubuh lain, atau akibat tindakan
invasive. Penyakit ini pertama kali diketahui oleh Hippocrates dan dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi. Secara epidemiologi, insidensi empiema
meningkat pada anak dan dewasa. Penelitian Nayak dkk di Kanada menunjukkan
peningkatan kasus empyema, dimana pada tahun 1996 terdapat 2,9 kasus per
100.000 penduduk dan angka ini meningkat menjadi 6,7 kasus per 100.000
penduduk pada tahun 2014, dengan kelompok umur yang paling banyak
menderita empiema adalah kelompok usia 50-70 tahun. Penelitian oleh Gautam
dkk di Australia menunjukkan terdapat peningkatan kasus empiema pada anak,
dengan inidensi per tahun 8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan kelompok
anak yang paling banyak menderita empiema adalah anak berusia 1-5 tahun
sebanyak 70% kasus.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang


berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Empiema saat ini masih menjadi
masalah penting dalam bidang penyakit paru. Angka kematian penyakit ini
berkisar antara 5 hingga 30 persen dengan insiden bervariasi berdasar kondisi
komorbid. Walaupun penatalaksanaan empiema berkembang pesat, seperti
pemberian terapi antibiotik, drainase pleura dan pembedahan dekortikasi, tetapi
hal ini belum dapat menurunkan angka kematian akibat empiema. Pada 20-30%
pasien dengan empiema, pemberian antibiotika dan drainase dengan chest tube
gagal mengendalikan infeksi. Penelitian oleh Sahn menyatakan 5-10% pasien
pneumonia yang dirawat di rumah sakit berkembang menjadi empiema dan angka
kematian meningkat secara bermakna dibandingkan pasien pneumonia tanpa
empiema. Angka kematian juga akan meningkat hingga 40% pada kondisi
immunocompromised.2

Empiema dapat disebabkan oleh berbagai macam kondisi, seperti infeksi,


tindakan invasive, malignancy, trauma, dan beberapa kondisi lainnya yang masih
belum diketahui. Dalam perjalanan penyakitnya, empiema diawali dengan efusi
pleura yang terinfeksi. Diagnosis empiema sering terlambat Walaupun saat ini
pengobatan dan teknologi telah semakin maju, namun angka insidensi empiema
masih tetap meningkat Hal ini dapat diakibatkan oleh gagalnya pemberian
antibiotik pada pasien. Suatu penelitian dengan 1424 pasien menunjukkan pasien
pneumonia dengan efusi pleura cenderung untuk gagal pengobatan 2,7 kali
dibandingkan tanpa efusi pleura. Infeksi pleura yang tidak ditangani dengan baik
dapat mengakibatkan empiema, dan berpotensi untuk mengakibatkan lama
rawatan yang lebih lama. Lama rawatan pasien empiema adalah 15 hari, dengan
20% diantaranya memiliki masa rawatan satu bulan atau lebih. Pasien empiema
yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakitbatkan kematian. Sekitar 20%
pasien dengan empyema meninggal, dan 20% penderita lainnya membutuhkan
operasi dan sembuh dalam 12 bulan akibat infeksi. Oleh karena itu, perlu untuk

2
mengetahui mengenai empiema agar dapat mendeteksi kasus ini dengan baik dan
menurunkan angka mortalitas pada pasien empiema.1

2.2 Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi efusi parapneumonia diantaranya yang akan


disebutkan adalah klasifikasi menurut Light dan American College of Chest
Physicians (Tabel 1). Infeksi pleura merupakan suatu proses yang progresif,
dimana efusi pleura parapneumonik dapat membaik dengan sendirinya, namun
dapat juga berkembang menjadi terorganisasi dan fibrotik bersepta-septa yang
hanya dapat ditatalaksanakan melalui pembedahan. Klasifikasi berdasarkan
American College of Chest Physicians berguna untuk menjelaskan cara
mengevaluasi faktor risiko yang dapat memperburuk. Tiga variabel tersebut yaitu:
Anatomi rongga pleura, bakteriologi cairan pleura, dan kimia klinik cairan pleura.
Kategori ini digunakan untuk mengetahui prognosis pasien rawat inap. Pada
(Tabel 2) dijelaskan adanya empat tingkat risiko yaitu: risiko yang sangat rendah,
risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi.2

Tabel 1. Klasifikasi Efusi Parapneumonia dan Empyema menurut


Light

3
Tabel 2. Penggolongan risiko untuk terjadinya hasil akhir yang buruk
pada pasien efusi parapneumonia dan empyema

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Empiema disebabkan oleh adanya bakteri pada cairan pleura. Walaupun
penyebab tersering empyema adalah pneumonia, infeksi TB pleura dapat
menyebabkan efusi dan empyema. Sekitar 50 persen kasus pneumonia akan
berlanjut menjadi efusi pleura, dan 5-10% diantaranya akan menderita empiema.
Masuknya bakteri ke rongga pleura juga dapat disebabkan oleh tindakan invasif
dengan indikasi medis, termasuk diantaranya prosedur operasi, dan torakosintesis.
Sebagian penyebab masuknya bakteri ke rongga pleura tidak diketahui Sebuah
penelitian menyebutkan berbagai kondisi yang menyebabkan empiema pada 319
pasien. Persentase kasus penyebab empiema penelitian tersebut ditampilkan di
tabel 3.1

Tabel 3. Penyebab atau Kondisi yang Menyebabkan Empiema

4
Empiema dapat disebabkan oleh bakteri aerob, anaerob atau keduanya. Mengingat
empiema seringkali merupakan gagalnya terapi pneumonia, perlu
dipertimbangkan bahwa infeksi ini dapat berasal dari lingkungan
(communityacquired empyema), dan dari rumah sakit (hospital-acquired
empyema). Penyebab community- acquired empyema dan hospital-acquired
empyema dapat dilihat di gambar 1.1

Gambar 1. Bakteri Penyebab Hospital-Acquired Empyema dan Community


Acquired Empyema berturut-turut

Hasil kultur cairan pleura pada penderita empiema dapat ditemukan satu
atau lebih bakteri. Bakteri aerob lebih banyak ditemukan pada hasil kultur
dibandingkan bakteri anaerob. Sebagian besar bakteri aerob yang menyebabkan
empiema adalah S. aureus dan S. pneumoniae, sedangkan bakteri anaerob yang
paling banyak ditemukan adalah Bacteroides sp dan Peptostreptococcus.
Penelitian lain menunjukkan Streptococcus intermedius/milleri merupakan bakteri
utama penyebab community-acquired empyema. Bakteri gram postif aerob dua
kali lebih banyak ditemukan daripada bakteri gram negative anaerob. Organisme
lain yang dapat menyebabkan empiema adalah Klebsiella sp, Pseudomonas sp,

5
dan Hemophilus influenza. Organisme penyebab empiema djabarkan pada Tabel
3.1

Tabel 4. Organisme
penyebab Empiema

2.4 Faktor risiko

Insiden berkembangnya
empiema lebih tinggi pada
pasien PPOK dibandingkan
pada pasien tanpa PPOK. Beberapa
komorbiditas, seperti stroke, kanker, dan penyakit ginjal kronis, dikaitkan dengan
peningkatan risiko empiema pada pasien PPOK. Pasien dengan PPOK dan
penyakit penyerta mungkin memerlukan perhatian lebih karena mereka memiliki
risiko tinggi mengembangkan empyema.3

2.5 Patogenesis Empiema

Pleura dalam keadaan normal memproduksi cairan pleura sekitar 0,01


mL/kg/jam dan normalnya rongga pleura terisi cairan sekitar 5-10 ml yang
disekresi dari pleura parietalis dan diserap melalui beberapa mekanisme yaitu
tekanan gradient melalui pleura visceralis, drainase limfatik stoma dari pleura
parietal dan mekanisme seluler. Efusi pleura terjadi karena keseimbangan antara
produksi dan pengeluaran cairan pleura terganggu. Efusi pleura sekunder yang
terjadi oleh karena pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia.
Perkembangan proses empiema dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif
sederhana, fibrinopurulen dan organisasi.

A.Tahap eksudatif

6
Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan produksi sitokin proinflamasi
seperti interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a (TNFa) sehingga
menyebabkan peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan perubahan aktif
pada sel mesothelial pleura untuk semakin mempermudah cairan masuk ke dalam
rongga pleura. Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan jumlah leukosit yang
rendah, tingkat LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar pH dan kadar
glukosa dalam batas normal dan tidak mengandung organisme bakteri. Efusi
tersebut akan sembuh secara spontan dengan terapi antibiotik untuk pneumonia
yang mendasari.

B. Tahap Fibropurulen

Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka
inflamasi pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang
ditandai dengan peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga
pleura melalui endothelium yang rapuh. Invasi bakteri memicu respon imun
sehingga mendorong migrasi neutrophil dan aktivasi jalur koagulasi. Penekanan
aktivitas fibrinolitik disebabkan karena meningkatnya titer penghambat aktivitas
fibrinolitik spesifik seperti plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan PAI 2 dan
penurunan tissue type plasminogen activator (tPA). Hal ini mengakibatkan
endapan fibrin pada pleura visceralis dan parietalis, sehingga rongga pleura
terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi cairan dan adhesi pleura, membentuk ruangan
bersepta-septa yang akan mengganggu drainase dari pus. Metabolisme bakteri dan
aktivitas fagositosis neutrophil distimulasi oleh protease dan fragmen yang berasal
dari dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi asam laktat,
penurunan pH cairan pleura, serta peningkatan metabolisme glukosa dan
peningkatan kadar LDH. Karakteristik biomolekul tahap ini adalah pH 1000 IU/L.

C. Tahap organisasi

Terdapat proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Penelitian pada


hewan coba menunjukkan bahwa proses ini diperantara oleh beberapa faktor
seperti plateletderived growth factor-like growth factor (PDGF) dan transforming

7
growth factor beta (TGF-ß). Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan pleura
menjadi tebal dan tidak elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin fibrotik,
sehingga ekspansi paru menjadi terhambat, fungsi paru menurun dan rongga
pleura yang bersepta-septa akan membuat risiko infeksi semakin tinggi.
Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada yang mengalami
penyembuhan secara spontan dalam 12 minggu sementara yang lainnya menjadi
kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru. Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi pleura
parapneumonia yang dapat sembuh dengan sendirinya bisa berkembang menjadi
kompleks membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat
diterapi dengan tindakan bedah.2

2.6 Gejala klinis Empiema

Manifestasi klinis demam, nyeri dada dan sesak akan timbul jika cairan
efusi cukup banyak. Demam yang menetap setelah di diagnosis pneumonia perlu
dicurigai suatu empiema. Pemeriksaan pH dan pertanda biokimia merupakan
pemeriksa tambahan untuk menentukan diagnosis dan prognosis. Nilai pH
merupakan parameter terbaik untuk mengidentifikasi infeksi parapneumonia.
Nilai pH di bawah 7,20 tidak mempunyai sensitivitas 100%. Nilai pH pada efusi
pleura yang terlokalisir dapat berlainan antara satu lokasi dengan yang lain.
Beberapa kasus empiema memiliki kadar glukosa di bawah 40mg/dl dan LDH
mencapai 1000 U/l. Rendahnya pH cairan pleura selalu berkaitan dengan kadar
glukosa rendah dan LDH tinggi. Hal ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk
mengidentifikasi infeksi efusi parapneumonia.2

Setelah >7 hari pasien akan mulau mengeluhkan keluhan berupa sesak
napas dan nyeri dada yang terasa seperti tertusuktusuk (pleuritic pain) . Nyeri ini
muncul akibat penumpukan cairan pleura sudah melibatkan pleura parietal yang
banyak mengandung pembuluh saraf. Selain itu juga pasien biasanya akan lebih
nyaman tidur/berbaring ke sisi yang sakit. Pasien dapat muncul dengan adanya
tanda infeksi seperti demam dan menggigil, dan batuk dengan sputum yang
banyak. Keadaan ini biasanya dapat berlangsung lama. Penegakan diagnosis
dapat dilakukan ketika evaluasi pada pasien dengan pneumonia bacterial.2
8
2.7 Diagnosis Empiema

Diagnosis infeksi pelura umumnya sering terlambat ditemukan . Pasien


awalnya akan mengalami gejala yang tidak khas seperti batuk tidak produktif,
demam subfebrile, dan bau. Setelah >7 hari pasien akan mulau mengeluhkan
keluhan berupa sesak napas dan nyeri dada yang terasa seperti tertusuktusuk
(pleuritic pain). Nyeri ini muncul akibat penumpukan cairan pleura sudah
melibatkan pleura parietal yang banyak mengandung pembuluh saraf. Selain itu
juga pasien biasanya akan lebih nyaman tidur/berbaring ke sisi yang sakit. Pasien
dapat muncul dengan adanya tanda infeksi seperti demam dan menggigil, dan
batuk dengan sputum yang banyak. Keadaan ini biasanya dapat berlangsung lama.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan ketika evaluasi pada pasien dengan
pneumonia bacterial.1

Tabel 5. Karakteristik Cairan Pleura

Hasil pemeriksaan cairan pleura bergantung kepada perjalanan terjadinya


empyema. Efusi parapneumonia sederhana berhubungan dengan fase eksudatif
dan didapatkan penampakan cairan pleura yang keruh. Fase parapneumonia
kompleks, yang berhubungan dengan fase fibropurulen, akan didapatkan cairan
pleura yang berwarna putih seperti awan (cloudy). Apabila telah sampai pada
tahap organisasi, maka terjadi empyema dengan hasil cairan pleura yang
didapatkan adalah pus. Hasil drainase cairan pleura juga dapat digunakan untuk
kultur agar didapatkan organisme penyebab empyema. Karakteristik cairan pleura
pada masing-masing fase dijelaskan pada tabel 5.1

9
2.8 Diagnosis Banding

Pemeriksaan makroskopis cairan pleura dapat bervariasi dari warna cairan


dan karkater cairan. Variasi ini dapat menjadikan munculnya diagnosis banding
dalam menegakkan diagnosis empyema. Diagnosis banding berdasarkan cairan
pleura dapat dilihat pada tabel 6.1

Tabel 4 Diagnosis Banding berdasarkan Karakteristik Cairan Pleura

2.9 Penatalaksanaan

Non Farmakologis Tindakan drainase di indikasikan pada empiema, efusi


pleura terlokulasi yang luas, efusi parapneumonia dengan pH < 7,20, glukosa <
60mg/dl, atau ditemukannya kuman pada pewarnaan Gram ataupun kultur. Jika
mengacu kepada klasifikasi Light, tindakan drainase diperlukan pada kelas 3
hingga kelas 7. Drainase dari rongga pleura yang terinfeksi merupakan hal yang
mendasar dari tatalaksana empiema. Secara tradisional, torakostomi dilakukan
dengan kateter dengan lubang besar, tetapi sampai saat ini belum ada konsensus
mengenai ukuran drainase yang ideal. Apabila keputusan dilanjutkan dengan
intervensi bedah, pilihan dengan pendekatan terbuka versus torakoskopi harus
dibuat dengan 2 tujuan utama yaitu (1) evakuasi cairan dan/ atau bahan yang
berpotensi terinfeksi dan (2) ekspansi ulang paru secara lengkap. Dengan kedua
pendekatan tersebut, pertimbangan teknis utama dalam pelaksanaannya adalah

10
adanya akses yang aman ke dada, drainase rongga pleura, dan manuver untuk
memungkinkan ekspansi penuh paru (yaitu dengan pelepasan ligamentum
pulmonalis inferior) yang mengakibatkan obliterasi ruang kosong di hemitoraks .
Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) merupakan suatu metode
dekortikasi minimal invasif. VATS mencakup debridemen material piogenik
fibrinosa, membebaskan lokulasi dan drainase pus dari cavum pleura dibawah
pandangan langsung melalui 2-3 insisi kecil. Saat ini masih terdapat perbedaan
pendapat mengenai penggunaan VATS dibandingkan thoracotomy terbuka.
Beberapa literatur menyebutkan kelebihan penggunaan VAT dibandingkan
thoracotomy terbuka yaitu terdapat perbaikan kontrol nyeri pasca operasi, waktu
rawatan lebih pendek, lebih sedikit kehilangan darah, lebih sedikit gangguan
pernapasan, dan pengurangan komplikasi pasca operasi termasuk kematian 30
hari. Faktor lain yang mendukung pendekatan VATS adalah biayanya yang lebih
rendah dibandingkan dengan torakotomi terbuka.

Farmakologis

Tatalaksana definitif farmakologis empyema adalah pemberian antibiotic.


Pilihan antimikroba empiris harus dipandu oleh riwayat klinis, pola resistensi
antibiotik lokal, kebijakan penatalaksanaan menggunakan antibiotik, dan sifat
farmakologis antibiotik. Untuk pasien dengan community-acquired empyema, di
mana risiko untuk terinfeksi S.aureus yang resisten methicillin dan infeksi gram
negatif sangat rendah, sefalosporin generasi kedua atau anti pseudomonas,
sefalosporin generasi ketiga (misalnya Ceftriaxone) atau aminopenicillin dengan
beta laktamase inhibitor (misalnya, ampisilin/sulbaktam) akan efek yang baik
terhadap bakteri yang paling banyak diidentifikasi sebagai penyebab empyema.
Bakteri anaerob harus dieradikasi dengan baik. Walaupun pada kultur ditemukan
hanya bakteri aerobic monomikroba, pemberian antibiotic untuk eradikasi anaerob
tetap masuk akal utnuk diberikan dikarenakan frekuensi infeksi anaerob yang
lebih tinggi, dan akibat hasil kultur yang inkonsisten. Antibiotik empiris dengan
aktivitas melawan organisme atipikal umumnya tidak diperlukan Fibrinolitik
intrapleural telah digunakan untuk mengobati empiema dan efusi pleura kompleks
selama 65 tahun terakhir. Karena deposisi fibrin dan pembentukan lokulasi serta

11
adhesi mencirikan fase empiema fibrinopurulent sehingga masuk akal bahwa
terapi fibrinolitik dapat berhasil mengobati penyakit ini sebelum lapisan pleura
menjadi menebal. British Thoracic Society menerbitkan pedoman tentang
pengelolaan penyakit pleura pada tahun 2010.1

BAB III
KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M.R
Jenis Kelamin : Laki-laki
No CM : 154979
Umur/Tgl Lahir : 49 tahun
Agama : Islam
Alamat : Indrapuri, Aceh Besar

12
Masuk Perawatan : 07 Juli 2022

3.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
• Nyeri dada

Keluhan Tambahan :
• Batuk berdahak, sesak nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Paru RSUD Meuraxa bersama istrinya dengan
keluhan nyeri dada sejak 2 minggu yang lalu, batuk juga dirasakan dan membuat
pasien sulit tidur, pasien juga mengatakan sudah pernah dilakukan pemasangan
WSD 2 bulan yang lalu dan didapati cairan berwarna hijau seperti alpukat jumlah
nya 2 botol aqua 1L, pasien juga mengeluh nyeri dibagian bekas pemasangan

WSD. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih dan memberat
saat malam hari sejak 2 minggu ini, bercak darah (-) saat batuk ulu hati terasa
nyeri. BAB dan BAK normal, demam (-), mual (-) dan muntah (-)

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pemasangan WSD kurang lebih 2 bulan yang lalu

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang serupa dengan pasien

E. Riwayat Penggunaan Obat


Tidak ada
F. Riwayat Kebiasaan Sosial
Merokok ± 20 tahun dan berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu ketika
sebelum dilakukan pemasangan WSD, saat aktif merokok pasien bisa
menghabiskan 1 bungkus rokok/hari, 1 bungkus rokok isi 16 batang .

Alkohol (-)

13
3.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Umum
- Keadaan umum : Sedang
- Kesadaran : Compos mentis.
- BB : 50 kg
- TB : 170 cm
- IMT : 17,3 (underweight)
B. Vital Sign
- Tekanan Darah : 100/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 70 kali/menit
- Pernafasan : 20 kali/menit
- Suhu : 36,2oC

C. Status Generalisata
- Kepala :
o Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
- Mulut : mukosa kering (+), bibir sianosis (-), atropi papilla
lidah (-)
- Hidung : sekret (-)
- Telinga : Sekret (-/-), tragus sign (-/-)
- Leher : Pembesaran KGB (-)

- Thoraks :
Paru Depan :
o Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, kelainan bentuk
dinding dada (-), jejas (-), terdapat bekas
pemasangan WSD di bagian kanan
o Palpasi : Fremitus taktil menurun di paru kanan bagian
basal
14
o Perkusi : Pekak (-/+) basal paru
o Auskultasi : Vesikuler (↓/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-),

Paru Belakang :
o Inspeksi : kelainan bentuk tulang belakang (-),
o Palpasi : Fremitus takstil tidak meningkat
o Perkusi : Sonor (-/+)
o Auskultasi : Vesikuler (↓/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-)

- Jantung :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V midclavicula sinistra
kuat angkat
o Perkusi : Batas jantung normal
o Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen :
o Inspeksi : jejas (-), caput medusa (-), spider nevy (-),sikatrik
(+)
o Auskultasi : hiperperistaltik (+).
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
normal tidak teraba,
o Perkusi : timpani di seluruh lapangan perut.
- Ekstremitas :
Atas : CRT < 2 detik

Bawah : muscle wasting (-/-), edema (-/-)

- Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Laboratorium (darah rutin)
 Foto thorax AP

15
 CT scan thorax
 USG thorax

3.5 DIAGNOSA BANDING


 Empyema
 Efusi pleura
 Abses paru

3.6 DIAGNOSA
 Chest pain ec empyema

3.7 PENATALAKSANAAN
 Bed rest
 Codein 10 mg/ salbutamol 1mg/ dexamethasone 0,5 mg/ Glyceryl
guaiacolate (GG) 100 mg 3x1
 Neurodex 1x1
 Curcuma 3x1

BAB IV
ANALISA

Temuan pada pasien Analisa

Nyeri dada Nyeri dada adalah gejala umum yang pasien datang
ke penyedia perawatan primer mereka. Pasien
dengan nyeri dada akut menimbulkan tantangan
diagnostik bagi dokter umum karena berbagai
diagnosis mungkin, mulai dari infark miokard akut
yang mengancam jiwa dan emboli arteri pulmonalis
hingga ketegangan otot yang jauh lebih sering dan
16
tidak berbahaya milik kelompok dinding dada.
sindrom, serta penyebab gastrointestinal seperti
penyakit refluks gastroesofageal. Evaluasi klinis
pasien dengan nyeri dada akut didasarkan pada
penilaian klinis menyeluruh oleh dokter, termasuk
pemeriksaan fisik dan riwayat medis, terlepas dari
dari lokasi pemeriksaan. Ini diikuti dengan
pemeriksaan teknis lebih lanjut, seperti
elektrokardiogram 12 sadapan, dan diagnostik
laboratorium yang ditargetkan dengan tes perawatan,
termasuk tes troponin dan D-dimer. Jalur diagnostik
dan sistem skor, seperti Skor Jantung Marburg, telah
dikembangkan secara khusus untuk memungkinkan
penilaian pasien dan memberikan orientasi dalam
pengaturan perawatan primer.4
Batuk merupakan respon fisiologis terhadap
rangsangan mekanik dan kimia akibat iritasi reseptor
batuk yang terletak terutama di epitel saluran
pernapasan atas dan bawah, perikardium, esofagus,
Batuk diafragma, dan lambung. Sebuah busur refleks
kompleks melalui saraf motorik vagus, frenikus, dan
tulang belakang ke otot-otot ekspirasi menghasilkan
upaya inspirasi dan ekspirasi paksa untuk
membersihkan saluran udara.5
Dyspnea Dispnea, juga dikenal sebagai sesak napas atau
kelaparan udara, adalah pengalaman subjektif
ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari sensasi
kualitatif berbeda yang intensitasnya bervariasi.
dispnea secara konsisten digolongkan sebagai gejala
yang paling menyedihkan. Beban dispnea selanjutnya
diperparah oleh hal-hal lain yang terkait gejala seperti
kelelahan, kecemasan, dan depresi, mengakibatkan

17
keterbatasan fungsional, kualitas hidup terganggu,
dan peningkatan beban pengasuh informal (keluarga)6

18
BAB V
KESIMPULAN

Empiema merupakan salah satu infeksi pleura yang terjadi akibat


kumpulan cairan eksudatif (pus) di rongga pleura, dan sering berhubungan dengan
terjadinya infeksi paru ipsilateral Saat ini inisidensi infeksi pleura mulai
meningkat di semua kelompok umur dan menjadi perhatian di seluruh dunia.
Tatalaksana empyema terdiri atas tatalaksana non farmakologi dan farmakologi.
Tatalaksana non farmakologi empyema adalah drainase pus. Drainase ini dapat
menggunakan kateter, torakotomi terbuka atau mengguanakan VATS, sedangkan
tatalaksana farmakologi yang diberikan adalah antibiotic yang adekuat selama 2-6
minggu.1

Keterlambatan dalam tindakan drainase dapat meningkatkan angka


morbiditas dan mortalitas.2

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Journal HC, Andalas U. Diagnosis dan Penatalaksanaan Empiema. Hum


Care J. 2022;7(1):21-31.

2. Hasan H, Ambarwati D. Empiema. J Respirasi. 2019;4(1):26.


doi:10.20473/jr.v4-i.1.2018.26-32

3. Lu Y, Liao K-M. International Journal of COPD Dovepress risk of


empyema in patients with COPD. Int J COPD. 2018:13-317.
http://dx.doi.org/10.2147/COPD.S149835.

4. von Bezold M. Chest pain. Internist. 2021;62(1):17-23.


doi:10.1007/s00108-020-00918-6

5. Grief SN, Visca D, Beghè B, Fabbri LM, Papi A, Spanevello A. Since


January 2020 Elsevier has created a COVID-19 resource centre with free
information in English and Mandarin on the novel coronavirus COVID-
19 . The COVID-19 resource centre is hosted on Elsevier Connect , the
company ’ s public news and information . 2020;(January).

6. Hui D, Bohlke K, Bao T, et al. Management of Dyspnea in Advanced


Cancer: ASCO Guideline. J Clin Oncol. 2021;39(12):1389-1411.
doi:10.1200/JCO.20.03465

20

Anda mungkin juga menyukai