Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II

“Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)”


Dosen Pembimbing : Widaryati, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :

Nurul Fahmi 201410201054


Dwi Novita Sari 201510201055
Shaula Puspa Cempaka 201510201056
Restu Nurmalitasari 201510201057
Wijang Saputra 201510201083

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Gawat
Darurat II Pada akhirnya dalam penyelesaian makalah ini, penulis telah banyak
menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam waktu yang relatif singkat
makalah yang sederhana ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis berkenan, untuk
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta dan segenap keluarga besar yang telah banyak
memberi dukungan baik moral maupun material
2. Ibu Suratini, S.Kep., Ns., M. Kep.,Sp. Kom selaku Ketua Prodi Ilmu
Keperawatan
3. Ibu Widaryati,S.Kep.,M.Kep selaku Koordinator MK Keperawatan Gawat
Darurat II
4. Beserta semua tim Keperawatan Gawat Darurat II yang telah membimbing
kami
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Dengan iringan doa semoga makalah ini bisa bermanfaat dalam pengembangan
pendidikan dan wacana berpikir kita bersama.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 18 Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Ventilasi mekanik adalah alat bantu pernafasan bertekanan negatif atau
positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu
yang lama (Brunner dan Suddart, 1996). Sejalan dengan penggunaan ventilasi
mekanik juga dilakukan intubasi. Intubasi adalah teknik melakukan laringoskopi
dan memasukkan Endotracheal Tube(ETT) melalui mulut atau melalui hidung.
Terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung menuju
saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya antara
saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas
dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya saluran
nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyaring dan
menghangatkan udara. Selain itu, reflek batuk sering ditekan atau dikurangi
dengan adanya pemasangan ETT, dan gangguan pada pertahanan silia mukosa
saluran nafas karena adanya cidera pada mukosa pada saat intubasi dilakukan,
sehingga akan menjadi tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea. Keadaan
ini akan mengakibatkan peningkatan produksi dan sekresi sekret (Agustyn, 2007).
Sekret dalam saluran nafas akan tergenang dan menjadi media untuk pertumbuhan
bakteri (Agustyn, 2007).
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia
yang terjadi 48 jam atau lebih setelah ventilator mekanik diberikan. Meskipun
belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian ventilator associated pneumonia
(VAP) di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data
bahwa kejadian VAP bervariasi antara 9-27% angka kematiannya 27% bahkan
sudah mencapai 43% pada VAP yang disebabkan oleh resisten antibiotik, dan
lama hari rawat meningkat dari 5 sampai 7 hari (Augustyn, 2007). Berikut ini
adalah beberapa data mengenai kejadian VAP yang didapatkan dari berbagai
penelitian : Angka kejadian VAP di Amerika Serikat mencapai 2,9 per 1000
penggunaan ventilasi mekanik di ICU pediatrik dan 15,2 per 1000 penggunaan
ventilasi mekanik di ICU trauma, angka kematian berkisar antara 24-50%
bergantung pada tingkat keparahan penyakit pasien dan pathogen yang terlibat,
rata-rata lama hari rawat di ICU meningkat 6,1 hari, rata-rata lama hari rawat di
rumah sakit meningkat 10,5 hari, dan setiap kejadian VAP diestimasikan
menambah pengeluaran biaya perawatan $40.000 (Youngquist, 2007). Angka
kejadian VAP mencapai 27%, angka kematian mencapai lebih dari 43% pada VAP
yang disebabkan oleh resisten antibiotic, rata-rata lama hari rawat di ICU
meningkat 5-7 hari, dan setiap kejadian VAP diestimasikan menambah
pengeluaran biaya perawatan $1,2 Milyar per tahun (Augustyn, 2007).
Berdasarkan penelitian beberapa kasus di Amerika dilaporkan bahwa
kejadian VAP mencapai 9%-28% pada pasien dengan ventilator mekanik, dan
angka kematian akibat VAP sebanyak 24%-50%. Angka kematian dapat
meningkat mencapai 76% pada infeksi yang disebabkan pseudomonas atau
acinobacter. Disamping itu, kejadian VAP dapat memperpanjang waktu perawatan
di ICU dan meningkatkan biaya perawatan (Wiryana, 2007). VAP menduduki
peringkat kedua sebagai infeksi nosokomial yang sering terjadi dengan angka
kejadian VAP adalah 15% dari seluruh kejadian HAP, 27% dari seluruh kejadian
infeksi di ICU, 24% dari seluruh kejadian infeksi di CCU, dan setiap kejadian
VAP diestimasikan menambah pengeluaran biaya perawatan $50 million per tahun
(Jones, 2008).
VAP mempunyai banyak risiko, akan tetapi, banyak intervensi
keperawatan yang dapat menurunkan insiden VAP. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mencegah VAP di antaranya cuci tangan dan pemakaian sarung tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, dekontaminasi oral, intervensi
farmakologis oral, stress ulcer prophilaxis, pengisapan sekret endotrakheal,
perubahan posisi klien, posisi semi-fowler, pengisapan sekret orofaring dan
pemeliharaan sirkuit ventilator (Agustyn, 2007).
Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di
Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa
kejadian VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9–27% dan angka kematiannya bisa
melebihi 50%. Faktor-faktor Saanin (2006) dikutip dari Yuldanita (2009)
mengemukakan bahwa insiden VAP di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang pada
klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi adalah 15–59%.
Tingginya angka infeksi nosokomial ini tidak terlepas dari peranan tenaga
kesehatan terutama tenaga keperawatan sebagai tenaga mayoritas di rumah sakit
ini.Data laporan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
(PPIRS) Dr. M. Djamil Padang (2010), insiden VAP yang terjadi di ICU RS Dr.
M. Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi
adalah 15,52%. Data ini masih menggambarkan tingginya angka VAP di rumah
sakit ini. VAP mempunyai banyak risiko, akan tetapi, banyak intervensi
keperawatan yang dapat menurunkan insiden VAP.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah VAP di antaranya cuci
tangan dan pemakaian sarung tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
dekontaminasi oral, intervensi farmakologis oral, stress ulcer prophilaxis,
pengisapan sekret endotrakheal, perubahan posisi klien, posisi semi-fowler,
pengisapan sekret orofaring dan pemeliharaan sirkuit ventilator (Agustyn, 2007).
II. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penyusun merumuskan masalah
dalam amakalah ini adalah
A. Apa pengertian dari VAP?
B. Apa penyebab dari VAP?
C. Apa gejala dari VAP?
D. Bagaimana patofisiologis dari VAP?
E. Asuhan Keperawatan dari VAP
III. Tujuan
Penulis dan pembaca mampu menambah wawasan tentang pengertian
VAP, penyebab VAP, gejala VAP, patofisiologis VAP, dan Asuhan Keperawatan
dari VAP.
IV. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini, baik untuk penulis atau pembaca sebagai
sarana memperluas pengetahuan mengenai penyakit VAP.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan Teoritis
A. Pengertian
Pneumonia Terkait Ventilator / Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang
mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan
menggunakan ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama
(lebih dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang
paling penting. VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul lebih dari
48 jam setelah intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. VAP dibagi
menjadi onset dini (early onset) yang terjadi dalam 96 jam pertama pemberian
ventilasi mekanis dan onset lambat (late onset) yang terjadi lebih dari 96 jam
setelah pemberian ventilasi mekanis. pasien dengan terpasang ventilator
mekanik mempunyai resiko 6-21 kali lebih tinggi untuk terjadi pneumonia
nosokomial dari pada pasien yang tidak terpasang ventilator.
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
berkembang 48 jam atau lebih. VAP diakibatkan kontaminasi oral oleh
mikroorganisme pada penderitanya. VAP merupakan infeksi nosokomial
akibat pemasangan ventilator yang paling sering terjadi di (Intensive Care
Unit) ICU yang sampai sekarang masih menjadi masalah perawatan kesehatan
di rumah sakit seluruh dunia. American College of Chest Physicians
mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat
baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan
darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum
maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau
terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret
purulen.
B. Penyebab
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya VAP, diantaranya
tindakan suction yang tidak benar, kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan
dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan, pemasangan ventilator mekanik yang tidak benar, posisi istirahat
pasien yang tidak ditinggikan, penggunaan antibiotik, pemasangan pipa
nasogastrik, stress ulcer, dan pemberian obat penenang. Beberapa kuman
diduga sebagai penyebab VAP. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah
kuman gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp,
Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri
kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob,
Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus
(MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acetinobacter spp, dan MRSA. P. aeruginosa, bakteri patogen yang paling
sering ditemukan pada kasus VAP, resisten intrinsik terhadap berbagai
antimikroba. Resistensinya terhadap piperasilin, ceftazidim, cefepim,
golongan karbapenem, aminoglikosida dan fluorokuinolon makin sering
dilaporkan di Amerika Serikat. Beberapa isolat bakteri MDR tersebut hanya
sensitif terhadap polymixin-B. Klebsiella spp. memiliki resistensi intrinsik
terhadap golongan aminopenisilin misalnya ampisilin dan dapat menjadi
resisten terhadap golongan sefalosporin dan aztreonam dengan memproduksi
extended-spectrum Blactamases (ESBLs). Bakteri lain yang juga
memproduksi ESBL hingga resistensinya terhadap antimikroba juga
meningkat adalah golongan E. coli dan Enterobacter spp. Acinetobacter spp.
patogenisitasnya lebih rendah dibandingkan P. aeruginosa tetapi infeksinya
menjadi masalah karena meningkatnya resistensi terhadap berbagai antibiotik
seperti golongan karbapenem. Antibiotik yang dapat menjadi pilihan pada
kondisi tersebut adalah sulbactam. Bakteri MRSA dapat memproduksi
penicillinbinding protein yang dapat menurunkan afinitasnya terhadap
antibiotik golongan B-laktam tetapi masih cukup sensitif terhadap linezolid. S.
pneumoniae dan H. influenzae sering ditemukan pada pasien VAP awitan dini
dan biasanya berasal dari masyarakat (community acquired). Umumnya S.
Pneumoniae masih sensitif terhadap golongan kuinolon, vankomisin, linezolid
dan beberapa obat golongan sefalosporin meskipun mulai terdapat
peningkatan temuan resistensi terhadap golongan makrolid, penisilin,
sefalosporin, tetrasiklin dan klindamisin. Laporan resistensi H. influenzae
terhadap berbagai antibiotik jarang ditemukan. Pendekatan lain untuk
mengetahui kuman patogen penyebab VAP adalah dengan
mengelompokkannya menjadi tiga golongan yaitu endogen primer, endogen
sekunder dan eksogen. Kuman penyebab VAP yang mennginfeksi saat masuk
ICU merupakan endogen primer (S. pneumoniae, H. influenzae atau
methycillin-sensitive S .aureus-MSSA). Infeksi endogen sekunder awitannya
lambat dan terjadi pada pasien dengan kolonisasi bakteri di ICU (P.
aeruginosa, Acinetobacter spp. dan atau MRSA). Infeksi eksogen terjadi
karena kolonisasi bakteri sebelumnya sehingga penyebabnya sama dengan
infeksi endogen sekunder.
Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi tentang kuman
penyebab VAP, seperti terlihat pada tabel.

Tabel 1. Etiologi VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian


Patogen Frekuensi (%)
Pseudomonas aeruginosa 24,4
Acinetobacter spp 7,9
Stenotrophomonas maltophilia 1,7
Enterobacteriaceae 14,1
Haemophilus spp 9,8
Staphylococcus aureus 20,4
Streptococcus spp 8,0
Streptococcus pneumonia 4,1
Coagulase-negatif staphylococci 1,4
Neisseria spp 2,6
Anaerob 0,9
Jamur 0.9
Lain-lain 3,8

Selain hal tersebut faktor risiko yang mempengaruhi VAP adalah penyakit
dasar dari pasien yang antara lain pasien dengan riwayat trauma, penyakit
pada susunan saraf pusat, penyakit paru kronis, penyakit jantung, usia diatas
60 tahun, operasi dada dan abdomen atau adanya depresi kesadaran.

C. Gejala
Gejala pneumonia atau terdapat dua dari gejala berikut, yaitu demam,
takikardi, leukositosis disertai gambaran infiltrast baru ataupun perburukan di
foto toraks dan sekret purulen.

D. Patofisiologis
Patogenesis VAP sangat kompleks. Insiden VAP tergantung pada
lamanya paparan lingkungan dan penggunaan alat kesehatan tertentu, dan
faktor risiko lain. Faktor-faktor risiko ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya VAP dengan cara meningkatkan terjadinya kolonisasi traktus
aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan meningkatkan terjadinya
aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas bawah. Kuman
dalam aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas
bawah dan di parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman
untuk menginvasi parenkim paru lebih lanjut sampai kemudian terjadi reaksi
peradangan di parenkim paru. Lambung adalah reservoir utama kolonisasi dan
aspirasi mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti
pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan
pencegah/profilaksis stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi
enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien. Saluran pernapasan normal
memiliki berbagai mekanisme pertahanan paru terhadap infeksi seperti glotis
dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas
humoral serta sistem fagositik. Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan
tersebut terganggu dan adanya invasi mikroorganisme virulen. Sebagian besar
VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen yang berkolonisasi dipermukaan
mukosa orofaring, dimana intubasi akan mempermudah masuknya kuman dan
menyebabkan kontaminasi sekitar ujung pipa endotrakeal pada penderita
dengan posisi terlentang. Selain itu, VAP dapat pula terjadi akibat
makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai
trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen
kedalam saluran pernapasan bawah.

Bagan Patofisiologi VAP yang lebih lengkap dapat dilihat pada gambar.

- Faktor penjamu
- Pemberian awal antibiotik
- Starategi invasif
Kolonisasi
- Obat-obatan yang berpengaruh
saluran cerna
terhadap pengosongan lambung
dan pH
Aspirasi
Air yang terkontaminasi, obat-obatan
cair, alat dan bahan terapi pernapasan

Inhalasi Bronkhiolitis
Mekanime
pertahanan
saluran
Infeksi transtorak Bronkopneumonia
nafas
bakteremia primer fokal/multifokal
bawah dan
sistemik
Bakteremia sekunder Bronkopneumonia penjamu
Systemic berat
Inflammatory
Response Syndrome Abses paru
(SIRS) Disfungsi
organ nonpulmoner

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP
membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat dengan pemberian
antimikroba/antibiotik dan perawatan menyeluruh. Walaupun pengambilan
sampel mikrobiologi harus dilakukan sebelum memulai terapi, hal ini tidak
boleh menunda pemberian antibiotik. Sebagian besar penelitian menunjukkan
penundaan pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka
kematian. Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan epidemiologi dan
pola kuman setempat. Pada pasien dengan early onset VAP yang sebelumnya
belum pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan monoterapi dengan
generasi ketiga sefalosporin. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah
penggunaan ventilator mekanik jangka panjang dan telah pernah
menggunakan antibiotik sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar
dapat mengatasi patogen yang potensial.
Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan
untuk infeksi saluran pernapasan. Pemberian antibiotik yang adekuat sejak
awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP pada saat data
mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa
hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat
mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil
menunggu hasil biakan BAL. Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan
hasil bahwa penderita yang mendapatkan pengobatan penisilin anti-
pseudomonas ditambah penghambat β-laktamase serta aminoglikosida
memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam merupakan
antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan
aminoglikosida (25%). Siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar
kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus
aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita
dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).
Tabel 2. Dosis awal antibiotika intravena penderita VAP dewasa
Antibiotika Dosis
Sefalosporin antipseudomonas
 Cefepon 1-2 gr tiap 8-12 jam
 Ceftazidin 2 gr tiap 8 jam
Karbapenem
 Imipenem 500mg tiap 6 ja,/1gr tiao 8 jam
 Meropenem 1 gr tiap 8 jam
Kombinasi β laktam-penghambat β-
laktamase
 Piperasilin-tazobaktam noglikosida 4,5 gr tiap 6 jam
 Gentamisin 7 mg/kg/hari
 Tobramisin 7 mg/kg/hari
 Amikasin 20 mg/kg/hari
Kuinolon antipseudomonas
 Levofloksasin 750 mg tiap hari
 Siprofloksasin 400 mg tiap 8 jam
Vankomisin 15 mg/kg tiap 12 jam
Linezolid 600 tiap 12 jam

F. Pencegahan
Beberapa penelitian telah berhasil membuktikan keberhasilan
strategistrategi tertentu dalam mencegah kejadian VAP. Silvercoated tube
mengurangi pembentukan biofilm sehingga dapat mengurangi kolonisasi
kuman dengan angka risiko kecil, selain itu juga memperlambat durasi
kolonisasi internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari. Penderita di ICU yang
mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki insiden VAP lebih
rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pengurangan
penggunaan antibiotik di ICU juga dapat menurunkan insiden pneumonia
nosokomial akibat resistensi obat. Salah satu intervensi yang berkaitan dengan
penurunan insidensi VAP dan penggunaan antibiotik adalah ventilasi non
invasif pada penderita gagal napas akut.
Secara umum, pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi
saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang
bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi.
Intervensi pencegahan VAP :
1. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna:
a. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
b. Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi
c. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer
d. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna
secara selektif
e. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
f. Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko
tinggi
g. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
h. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

2. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi:


a. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa
endotrakeal segera mungkin
b. Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk
c. Menghindari distensi lambung berlebihan
d. Intubasi oral atau non-nasal
e. Pengaliran subglotik
f. Pengaliran sirkuit ventilator
g. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak
diperlukan
h. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
i. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperluka

BAB II
PEMBAHASAN

I. Kasus
Seorang laki- laki berusia 32 tahun terjatuh dari truk 4 hari yang lalu dan
langsung tidak sadarkan diri kemudian teman-teman pasien membawa ke rumah
sakit terdekat di Yogyakarta. Pasien mengalami cidera servikal dan setelah
dirawat di RS pasien sadarkan diri tetapi tidak bisa menggerakkan kedua tungkai
kaki dan tangan. Pasien terpasang tracheal tube, ventilator dengan metode SIMv,
nafas tersengal sengal, jumlah secret banyak, pasien tampak pucat dan pasien
sering menangis kesakitan akibat nyeri saat bernafas. Hasil rontgen pasien
erpasang pipa trakeostomi. Hasil tanda- tanda vital RR: 14x/mnt, nadi 76x/menit,
TD 125/70 mmHg, suhu 37oC

II. Pengkajian Keperawatan


A. Identitas Klien

Nama : Tn. “B”

Umur : 32 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Godean, Sleman

Status Marital : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : wiraswasta

Tanggal MRS : 15 Maret 2019

No Rekam Medis : 189xxx

Sumber Informasi : Data Pasien dan Keluarga Pasien

B. Status Kesehatan Saat Ini

1. Keluhan Utama : Terpasang ventilator dengan mode SIMV.


2. Faktor Pencetus : cidera sevikal akibat jatuh dari truk 4 hari SMRS.

3. Riwayat Penyakit dahulu : Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki


riwayat penyakit yang diderita

4. Riwayat Penyakit Sekarang : Ayah pasien mengatakan 4 hari SMRS


pasien terjatuh dari truk dan langsung tidak sadarkan diri. Teman-teman
pasien membawa pasien ke rumah sakit umum daerah Prabumulih.
Setelah 4 hari di rawat di RSUD Prabumulih, pasien sadar tetapi tidak
bisa menggerakkan keduaa tungkai kaki dan tangan, kemudian RSUD
prabumulih merujuk pasien ke IGD RSMH.

5. Diagnosa Medis : VAP + Spinal cord injury frankle A + spondilolittiesis


C4-5 + post stabilisasi posterior.

C. Riwayat Biologis

1. pola Nutrisi : Sebelum masuk rumah sakit, istri pasien mengatakan


pasien makan 3 x sehari dengan porsi satu piring. Nafsu makannya juga
baik. Pasien memakan makanan apa saja yang disukainya. semenjak
MRS pasien diit makanan cair melalui NGT 4x 200 kkal dan entramix
3x200 kkal.

2. Pola Eliminasi : Sebelum dirawat pola eliminasi pasien 4-6 kali sehari.
Semenjak MRS pasien terpasang kateter dengan output ± 2630ml/ 24
jam atau ±100 ml/jam. Warna urine kuning muda.

3. pola Istirahat dan tidur : Sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak
memiliki gangguan tidur. Semenjak MRS pasien tampak terbaring.

4. Pola Aktivitas dan bekerja: Semenjak MRS tingkat ketergantungan


pasien total care.

D. Aspek Psikososial

1. Pola pikir dan persepsi : Tidak bisa dikaji


2. Persepsi diri : Tidak bisa dikaji

3. Suasana hati : Tidak bisa dikaji

4. Hubungan / komunikasi : Tidak bisa dikaji

5. Pertahanan koping : Tidak bisa dikaji

6. Sistem nilai kepercayaan : Tidak bisa dikaji

E. Pengkajian Fisik

1. Pengkajian Sekunder

a. Airways

a) Jalan napas tidak efektif. Terpasang pipa trakeostomi no 7.5.

b) Breathing RR 22x/menit. Terpasang ventilator dengan mode SIMV.


TV: 340 ml ; MV: 4.3 ; IPL: 12 ; PEEP: 6 ; I:E rasio= 1:2.3 ; RR=
12/14 FIO2: 50%

c) Circulation

d) TD 125/78 mmHg, HR = 76 x/menit CRT=2 detik. SPO2 : 100% ,


e) Kesadaran (compos mentis) GCS E4MxVT

2. Pengkajian Sistem
a. Sistem Neurologi
Kesadaran : Compos mentis dengan GCS E4MxV T
Kejang : tidak kejang.
Reflek Hamer : +1
Trauma : servikalis
b. Sistem Penglihatan
Bentuk : Isokor
Visus : tidak dikaji
Konjungtiva : anemis
Ukuran Pupil : 2 mm
Akomodasi : tidak dikaji
Tanda radang : tidak ada
Alat bantu : pasien tidak menggunakan alat bantu melihat
Operasi : belum pernah
c. Sistem Pendengaran (THT)
ABD : tidak menggunakan ABD
Reaksi alergi : tidak ada
Kesulitan menelan : terpasang pipa trakeostomi no 7.5
Keluhan : tidak dapat dikaji.
d. Sistem Pernafasan
Pola Nafas : tidak teratur \
Respirasi Rate : 24 x / menit
Suara paru : ronchi (+)
Sesak nafas : -
Batuk : reflek batuk lemah
Sputum : Ada saat suctioning. Jumlah banyak, warna kuning,
kental, tidak berbau.
Nyeri : dengan behavioural pain score (BPS) 4-5
Trauma dada : tidak ada
e. Sistem Kardiovaskuler \
HR : 76 x / menit
TD : 125/ 78 mmHg
MAP : 87 mmHg (normal)
CRT : 2 detik
CVP : 2 cmH2O
EF : Tidak dikaji
suara Jantung : BJ I-II (+), gallop (-), murmur (-)
Edema : pada tungkai atas dan bawah.
Nyeri : tidak ada
Palpitasi : -
BAAL : tidak ada
Perubahan Warna Kulit : mukosa bibir kering dan pecah-pecah
Kuku : terlihat pucat
Akral : teraba hangat
Clubbing finger : tidak ada
f. Sistem Pencernaan
Nutrisi : Diet makanan cair 800 kalori/24 jam dengan komposisi
Karbohidrat = 118.8, lemak = 29.8 dan protein = 28.7
Intake total 24 jam : 2669 ml
Output total 24 jam :2630 ml
Nafsu Makan : tidak bisa dikaji
Jenis Diet : Diet Cair 4x 200kkal dan entramax 3x200kkal.
Mual, muntah : (-)
BB : 60 kg
TB : 160 cm
Eliminasi :
BAB : cair dan berwarna kuning terang.
BAK : kateter. Urine dengan ± 100 ml/1 jam.
Warna urine kuning tidak pekat.
Kateter : Terpasang kateter
Urin Output : ± 100 ml/ jam

g. Sistem Reproduksi :
GPA : Tidak bisa dikaji
Perdarahan : Tidak bisa dikaji
Keluhan : tidak ada
h. Sistem Muskuloskeletal :
Kekuatan Otot :
Pergerakan ekstremitas : ekstremitas atas dan bawah pasien tidak
dapat bergerak (dengan keinginan pasien).
Nyeri : tidak dapat dikaji
Edema : ektermitas atas dan bawah
i. Sistem Integumen :
Warna kulit : pucat.
Integritas : kulit tampak kering dan pucat. Terdapat luka decubitus
kemerahan dan lunak dengan panjang 1 cm lebar 1 cm di
pinggang belakang - m. dorso gluteal
turgor kulit : tidak elastis, CRT 2 detik

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Tgl 18 Maret 2019
Tanggal
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Pemeriksaan

18 Maret 2019 KIMIA KLINIK

Analisa Gas Darah : 50.0 % 7.35 – 7.45

FIO2 36.5 oC 35 - 45

Temperature 7.409* 83 – 108

pH 66.6 * 39 – 49

pCO2 134.1 * 13.2 – 17.3

pO2 98.8 21 – 28

SO2 36 -(-2) – (+3)

Hct 12.1

Hb 134.4

Na+ 2.96

K+ 42.5 *

HCO3 44.6

Total CO2 17.7

Kelebihan basa (BE) 15.6

Beb 16.9
O2Ct 16.7

O2Cap 279.9

A
18 Maret 2019 Hematologi

Hb 10.1 g/dl 13.48-17.40 g/dl

RBC 3.50 106/mm3 4.40-6.30 106/mm3

WBC 6.9 103/mm3 4.73-10.89 103/mm3

Hematokrit 31% 41-51%

Trombosit 176/μL 170-396 103/μL


Hitung jenis leukosit

Basofil 0% 0-1%

Eosinofil 1% 1-6%

Neutrofil 90 % 50-70%

Limfosit 4% 20-40%

Monosit 5% 2-8%
18 Maret 2019 Ginjal

Ureum 31 mg/dl 16.5-48.5 mg/dl

Kreatinin 0.09 mg/dl 0.50-0.90 mg/dl


Elektrolit

Ca 8.1 mg/dl 8.4-9.7 mg/d

Na 135 mEq/L 135-155 mEq/L

K 3.7 mEq/L 3.5-5.5 mEq/L

Cl 96 mmol/L 96.106ol/L

2. Pemeriksaan diagnostik lain :


a. Rontgen toraks
Pada pemeriksaan foto thorax Ap didapatkan:
- Posisi supine dan asimetris
- CTR sulit dievaluasi, kesan jantung tidak membesar
- Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak melebar
- Kedua hilus tidak menebal/melebar
- Tampak perselubungan di lapangan tengah paru kanan dan lapangan
atas tengah paru kiri
- Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip
- Tulang-tulang dan jaringan lunak baik
Kesan : Kontusio paru kanan kiri terutama kiri.
b. Biakan kultur sputum
Telah dilakukan pengambilan sample untuk biakan kultur ulang : Hasil
belum keluar.
G. Terapi Saat Ini
1. Meropenem 3x 1 gr (IV)
2. Omeperazole mg 1x 40 mg (IV)
3. Paracetamol 4x1gr (IV)
4. Ca gluconas 1x 2 gr (IV)
5. Levofloxacin 1x 750 mg (IV)
6. Heparin 2x 5000 iu (SC)
7. Mecobalamine 1x 1 amp (IM)
8. N-asetil-sistein 3x 200 mg (NGT)

H. Asuhan Keperawatan
1. Analisa Data
Data Diagnosa Keperawatan

DO : ketidakefektifan bersihan jalan nafas


 Tampak pucat (sianosis) berhubungan dengan peningkatan secret

 Nafas tersengal-sengal
 Pernafasan cuping hidung
 Jumlah secret banyak
 RR : 14x/menit
 Nadi : 76 x/mnt
 TD : 125/70 mmHg
 Suhu : 37o C
DS : tidak terkaji

DO: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan


 Terpasang tracheal tube dengan gangguan neurologis (trauma)

 Terpasang ventilator
 Terpasang pipa trakeostomi
 Nyeri saat bernafas
 RR : 14x/menit
 Nadi : 76 x/mnt
 TD : 125/70 mmHg
 Suhu : 37o C
DS: tidak terkaji
2. Format Perencanaan Keperawatan

Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan
NOC NIC Rasionalisasi
1. Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas
jalan nafas berhubungan perawatan selama 2 x 24
dengan peningkatan jam, diharapakan pasien • Memposisikan pasien untuk • Agar pasien merasa lebih
secret dapat meningkatkan status memaksimalkan ventilasi nyaman dan ventilasi dapat
pernafasan : kepatenan • Auskultasi suara nafas, catat optimal
jalan nafas dengan kriteria area yang ventilasinya • Monitor suara nafas guna
hasil : menurun atau tidak ada dan melihat perkembangan
adanya suara tambahan kondisi pasien saat dilakukan
• Frekuensi • Lakukan penyedotan melalui ventilasi
pernafasan (3) endotrakea atau • Agar endotrakea ataupun
• Irama pernafasan nasotrakea,sebagaimana nasotrakea bersih dari bakteri
(2) mestinya yang ada dikarenakan
• Kemampuan untuk • Kelola udara atau oksigen penumpukan secret atau
mengeluarkan yang dilembabkan , pemasangan yang yang lama.
sekret (3) sebagaimana mestinya • Agar pasien merasa nyaman
• Dipsnea saat • Posisikan untuk meringankan saat diberikan oksigen sesuai
istirahat (2) sesak nafas kebutuhan yang sudah
• Akumulasi sputum dilembabkan
(2) • Memberikan posisi yang
nyaman untuk meringankan
sesak nafas
3. Format Implementasi dan Evaluasi

No Diagnosa Hari/Tgl Implementasi Evaluasi


Keperawatan
1 Ketidakefektifan Rabu,10 April Manajemen jalan nafas S:
bersihan jalan 2019
berhubungan dengan • Memposisikan pasien untuk • pasien merasa nyaman
peningkatan secret memaksimalkan ventilasi setelah dilakukan
• Mengauskultasi suara nafas, catat perawatan
area yang ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara O:
tambahan
• melakukan penyedotan melalui • Pasien terpasang
endotrakea atau ventilasi
nasotrakea,sebagaimana mestinya
• mengelola udara atau oksigen yang • Telah dilakukan
dilembabkan , sebagaimana penyedotan secret pada
mestinya endotrakea
• memposisikan untuk meringankan
sesak nafas A:
• Masalah ketidakefektifan
jalan nafas teratasi
sebagian
P:
• Monitoring 1 jam sekali
irama, frekuensi nafas.

TTD
Perawat
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddart, 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran: EGC, hlm. 543–567.

Elliot, D., Aitken, LM., Chaboyer, W., 2007. Critical Care Nursing. Elsevier Australia:
Mosby, hlm. 73–89.

Agustyn, B., 2007. Ventilator-Associated Pneumonia Risk Factors and Preventions, (Online),
(http://aacn.org/WD/CETests/Media/C0742.pdf

Wiryana, M., 2007. Ventilator Associated Pneumonia. (Online),


(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ventilator%20associated%20pneumonia.pdf

Yuldanita, 2009. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Tindakan Pencegahan
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di Unit Perawatan Intensif RS Dr. M.
Djamil Padang Tahun 2009. Skripsi tidak Dipublikasikan. Padang: Universitas
Andalas.

Youngqist, P., et al. 2007. Implementing A Ventilator Bundle in A Community Hospital, The
Joint Commission Journal on Quality and Patient Safety, vol.33, no. 4, pp. 219-225.
http://www.allinahealth.org/ahs/unity.nsf/page/NursingresearchVAPapril2007.pdf/

Jones, A. 2008. Ventilator-Associated Pneumonia. Power Point Presentation. http://rc-


edconsultant.com/

http://eprints.undip.ac.id/44050/2/M_Reza_Zayinur_R_G2A009010_Bab1KTI.pdf

http://eprints.undip.ac.id/43765/3/DisaYolanda_G2A009073_BabIIKTI.pdf

http://www.klikpdpi.com/konsensus/pnenosokomial.pdf

http://kupdf.net_askep-vap.pdf

Anda mungkin juga menyukai